Anda di halaman 1dari 8

Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi dalam

Filsafat Ilmu
Sponsors Link
Ilmu komunikasi berhubungan dekat dengan filsafat. Filsafat merupakan salah satu cabang ilmu
pengetahuan yang luas cakupannya. Ia berusaha untuk memahami sesuatu atau understanding dan
memiliki kebijaksanaan atau wisdom.
ads

Ada tiga macam landasan ilmu komunikasi dalam filsafat. Yaitu :

1. Ethos yang merupakan komponen filsafat yang berisi tentang rambu-rambu normatif dalam proses
pengembangan ilmu. Hasil yang dicapai dari ethos ini akan menjadi kunci penting diantara hubungan
masyarakat dan ilmu pengetahuan. (Baca juga: Teori Komunikasi Antar Budaya)
2. Pathosyaitu komponen filsafat yang membahas tentang aspek emosi. Aspek ini amat berkaitan erat
dengan perasaan manusia. Dengan kedua komponen yaitu Ethos dan Pathos tersebut, manusia memiliki
peluang besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan. (baca: Teori Komunikasi Politik)
3. Sementara logos sebagai komponen filsafat yang ketiga, bertugas membimbing para ilmuwan untuk
mengambil suatu keputusan. Hal ini tentu berdasarkan pemikiran yang logis dan rasional.

Selain ketiga di atas, komponen yang lain adalah komponen pikir, yang terdiri dari tiga hal, yaitu etika,
logika, dan estetika. Semua komponen ini saling bersinergi dengan aspek kajian ontologi atau keapaan,
epistemologi atau kebagaimanaan, dan aksiologi yang bermakna kegunaan.

Baca juga:

 Sistem Komunikasi Interpersonal


 Proses Komunikasi Interpersonal
 Komunikasi Pembangunan

Berikut penjelasan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi sebagai bagian dari filsafat ilmu komunikasi.

Ontologi
Kata ontologi sendiri berakar dari bahasa Yunani. Onto berarti ada dan logos berarti ilmu. Dengan
demikian, ontologi dimaknai sebagai ilmu yang membahas tentang keberadaan. Atau dengan kata lain,
ontologi berarti cara untuk memahami hakikat dari jenis ilmu komunikasi. (baca: Teori komunikasi Massa)

Ontologi sendiri merupakan cabang ilmu filsafat mengenai sifat (wujud) atau fenomena yang ingin
diketahui manusia. Dalam ilmu sosial ontologi berkaitan dengan sifat pada interaksi sosial atau
komunikasi sosial. Ontology merupakan mengerjakan terjadinya pengetahuan dari sebuah gagasan kita
tentang realitas. Bagi ilmu sosial ontologi memiliki keluasan eksistensi kemanusiaan (Stephen Litle John).

Membahas ilmu ini tentunya tak lepas dari pertanyaan tentang apa sebenarnya ilmu komunikasi itu, apa
yang di bahas di dalamnya, objek apa yang masuk kajiannya dan lain sebagainya. Jawaban-jawaban
tersebut akan membantu kita untuk memahami apa sebenarnya objek kajian dalam hakikat komunikasi.
(Baca juga: Sejarah Televisi Indonesia)
Dalam aspek ontologi, ilmu komunikasi khususnya pada komunikasi massa seperti berita, berfokus pada
keberadaan berita yang mempengaruhi keingintahuan masyarakat. Pada abad 19, pernah terjadi
fenomena berita yang ingin mendapatkan audiens, para redaksi menitikberatkan pada berita kriminalitas,
seks, menegangkan yang mengundang sensasi. Sehingga telah munculnya istilah ‘Jurnalisme Kuning’
pada masa itu.

Dalam aspek ontologi, bahwa Ilmu komunikasi dapat dipelajari dengan mengkaji 2 obyek, yaitu objek
materi dan objek formal. Ilmu komunikasi sendiri dapat diartikan sebagai sesuatu yang monoteistik pada
tingkat yang paling abstrak dan paling tinggi dalam kesatuan dan kesamaannya sebagai makluk hidup
atau benda. Hakikat inilah yang dipandang sebagai obyek materi. Sementara jika dilihat dari objek formal
maka ini adalah salah satu sudut pandang yang mampu menentukan cakupan studi di dalamnya. Sejarah
ilmu komunikasi, teori komunikasi, tradisi ilmu komunikasi, dan komunikasi manusia adalah contoh-
contoh dari aspek ontologis tersebut. (Baca juga: Pengertian Media Menurut Para Ahli)

Seiring berkembangnya jaman dan teknologi, fenomena jurnalisme yang dulu hanya bisa didapatkan
melalui televise dan radio, kini bisa didapatkan melalui online seperti youtube yang bisa diputar berulang
kali. Dan kelemahan televise pun telah dimanfaatkan oleh pihak redaksi online. Karena di televisi telah
membatasi berita yang terekspos seperti membatasi kata, gambar, dan sebagainya. sedangkan
di online, masyarakat bisa bebas mendapatkan berita yang akurat. (baca: Teori Public Relations)

Seperti pada zaman orde baru, Harmoko yang merupakan Menteri Penerangan pada masa itu, terdapat
banyak surat kabar kuning muncul yang diwarnai dengan antuias publik. Bahkan Arswendo Atmowiloto
pun telah menerbitkan Monitor “Jurnalisme Kuning di Indonesia.”

Baca juga:

 Media Komunikasi Modern


 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Komunikasi
 Teknik Dasar Fotografi

ads

Epistemologi
Epistemologi adalah salah satu cabang filsafat yang mempelajari tentang asal, sifat, metode, dan
batasan pengetahuan manusia. Epistemologi sendiri dinamakan sebagai teori pengetahuan. Kata
epistemologi berakar dari bahasa Yunani. Kata ini terdiri dari dua gabungan kata yaitu episteme yang
artinya cara dan logos yang artinya ilmu. Jika diartikan secara keseluruhan, epistemologi adalah ilmu
tentang bagaimana seorang ilmuwan membangun ilmunya. (baca: Teori Komunikasi Kelompok)

Di dalam kajian epistemologi, ilmu komunikasi dititikberatkan pada berita yang sesuai dengan bukti dan
fakta untuk menjadi berita yang bernilai tinggi. Sehingga pesan yang disampaikan cenderung bersifat
netral tanpa memihak siapapun dengan sifat yang obyektif. Kunci standar penulisan yang menggunakan
pendekatan ketepatan pelaporan faktualisasi peristiwa, yaitu akurat, seimbang, obyektif, jelas dan singkat
serta mengandung waktu kekinian (Charnley, 1965: 22;30). (Baca juga: Etnografi Komunikasi)

Dengan adanya aspek epistemologi, maka dapat membuat para wartawan lebih mendekati kejadian yang
akurat. Cara memperoleh faktanya pun menjadi landasan filosofis dalam sebuah berita yang disampaikan
yang disusun sesuai rencana yang matang, mapan, sistematis, dan logika. (baca: Teori Fenomenologi)

Persoalan-persoalan yang dibahas dalam epistemologi antara lain tentang apa sebenarnya yang
dimaksud dengan pengetahuan, bagaimana cara manusia mengetahui sesuatu, darimana pengetahuan
dapat diperoleh, bagaimanakah cara menilai validitas, apa perbedaan antara pengetahuan apriori dengan
pengetahuan aposteriori. Selain itu dibahas juga apa perbedaan antara kepercayaan, pengetahuan,
pendapat, fakta, kenyataan, kesalahan, bayangan, gagasan, kebenaran, kebolehjadian dan kepastian.
Proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan menjadi ilmu beserta prosedurnya juga menjadi
pembicaraan penting yang akan mengarahkan kita ke cabang fisafat metodologi. (Baca juga: Strategi
Komunikasi Pemasaran)

Dengan adanya perkembangan komunikasi sesuai era teknologi, iklan di televise pun mulai turun
peminatnya, setelah terjadinya kebebasan pers. Walaupun kebebasan pers tersebut masih ada yang
masih mengabaikan kualitas berita. Semua berita yang tersebar dapat didapatkan di mana saja seperti
komputer bahkan telepon genggam. Fenomena berita online ini mulai tidak terhindarkan lagi di dunia
jurnalisme. Bahkan masyarakat pun mulai menilai berita dari rating suatu berita.

Ilmu epistemologi mencakup tentang kemampuan untuk berpikir deduktif dan induktif. Berpikir deduktif
artinya mampu bersikap rasional kepada pengetahuan ilmiah dan konsisten dengan pengetahuan yang
telah dikurnpulkan sebelumnya. Ranah ini menuntut kita untuk berpikir secara sistematik dan kumulatif.
Pengetahuan ilmiah disusun setahap demi setahap dengan menyertakan argumen-argumen yang logis.
Ilmu ini berusaha menjelaskan objek yang berada dalam fokus penelaahan secara konsisten dan
koheren dan rasional. (Baca juga: Prospek Kerja Ilmu Komunikasi)

Aksiologi
Aksiologi berasal dari bahasa Yunani. Istilah ini terdiri dari dua gabungan kata
yaitu axios dan logos. Axios berarti nilai, sedangkan logos bermakna ilmu atau teori. Jika diartikan
keseluruhan maka artinya adalah “teori tentang nilai”. Aksiologi adalah teori nilai yang berhubungan
dengan kegunaan dari pengetahuan yang didapatkan. Ilmu ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu:
pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral yang melahirkan etika. Kedua, esthetic expression, atau
ekspresi keindahan, Ketiga, sosio-political life, atau kehidupan sosial politik. Dari bahasan ketiga inilah
lahir filsafat sosio-politik. Aksiologi merubakan cabang filsafat yang berkaitan dengan etika, estetika, dan
agama. Aksiologis merupakan bidang kajian filosofis yang membahas value (Litle John).

Ilmu komunikasi khususnya berita, dalam kajian aksiologis bahwa fungsi berita dilihat dan dititikberatkan
pada suatu hiburan masyarakat. Sehingga para redaksi berita harus mampu menarik audiens dengan
menampilkan sesuatu yang ringan seperti halnya artike feature.

Baca juga:

 Teori Jarum Hipodermik


 Teori Komunikasi Persuasif
 Teori Interaksi Simbolik

Sehingga, para redaksi media pun mulai menargetkan untuk menaikan rating beritanya agar semakin
banyak peluang mendapatkan iklan. Dengan kata lain, berita akan bersifat ringan tanpa mengutamakan
kepentingan masyarakat karena iklan merupakan sumber utama pada suatu berita. Sehingga berita
ringan dan hoax pun tetap tersebar demi menaikan rating dan menghasilkan iklan sebanyak-banyaknya.
(baca: Teori Difusi Inovasi)
Sponsors Link

Kesimpulan dan Hubungan


Semua bahasan di atas merupakan cabang ilmu yang dipelajari dalam ilmu komunikasi. Ilmu ini sangat
penting untuk dikuasai karena berkaitan dengan bagaimana cara menggunakan ilmu pengetahuan
tersebut yang tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah moral di masyarakat. Ilmu ini juga berkaitan erat
dengan operasionalisasi metode ilmiah dalam menciptakan teori dan aplikasi ilmu komunikasi. Tentu
dengan mempertimbangkan norma moral dan profesional yang berlaku di masyarakat. (Baca
juga: Macam-Macam Komposisi Fotografi)

Jika disimpulkan bahwa epistemologis adalah perkembangan, ontologi adalah eksistensinya, dan
aksiologi adalah nilainya pada suatu berita. Dalam hal ini, kebutuhan untuk mempengaruhi, kemampuan
berbicara di ranah publik, penyebaran informasi, propaganda, adalah merupakan beberapa manfaat yang
didapatkan dari pengaplikasian Ilmu Komunikasi. Secara pragmatis, aspek aksiologisnya mampu
menjawab kebutuhan manusia.

Dari bahasan diatas, kita bisa menyimpulkan bahwa aksiologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang nilai-
nilai etika yang harus dimiliki seorang ilmuwan. Mempelajari bidang ilmu ini akan menjawab pertanyaan
apa sebenarnya manfaat dari ilmu pengetahuan. Selain itu apa hubungan ilmu pengetahuan dengan
kaidah-kaidah moral dan profesional jika dihubungkan dengan metode ilmiah. Semua jawaban ini akan
mengarahkan kita pada cabang ilmu filsafat yang sedang berkembang. (Baca juga: Teori Semiotika
Charles Sander Peirce)

Di dalam buku Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa aksiologi adalah nama lain
dari value dan valuation. Terdapat tiga macam value dan valuation. Yaitu yang pertama, nilai digunakan
untuk menunjukkan suatu kata benda abstrak. Kedua, nilai dilambangkan sebagai kata benda konkret.
Sementara yang ketiga adalah kemampuan nilai untuk digunakan sebagai kata kerja dalam menunjukkan
ekspresi menilai. (baca: Teori Uses and Gratifications)

Pada akhirnya aksiologi dianggap sebagai teori nilai. Dan dalam perkembangannya mampu melahirkan
sebuah masalah yang berkaitan dengan kebebasan pengetahuan pada nilai. Inilah yang disebut sebagai
netralitas pengetahuan atau value free. Sementara itu ada jenis pengetahuan yang didasarkan pada
keterikatan nilai atau disebut value bound. Dengan begitu kita dapat memilih mana yang lebih baik antara
netralitas pengetahuan dan pengetahuan yang berkaitan dengan nilai. Demikian pembahasan ini
membuat kita sadar betapa pentingnya ilmu komunikasi dalam menunjang kehidupan
manusia.(baca: Teori Interaksi Simbolik)

Demikian penjelasan terkait apa itu arti dari ontologi, epistemologi, dan aksiologi sebagai bagian dari
dalam Filsafat Ilmu Komunikasi. semoga penjelasan ini memberikan pemahaman lebih terkait kajian yang
ada di dalam ilmu komunikasi.
suatu komunitas ilmuwan tertentu untuk memelajari obyek keilmuan mereka— satu sama lain mungkin
bertolak belakang dan sulit dipertemukan. Bila Denzin dan Lincoln menilai “ A paradigm encompasses
three elements : epistmology, ontology, and methodology” (Denzin dan Lincoln, 1994: 99), maka
perbedaan antara paradigma bisa meliputi perbedaan yang mendasar dari segi ontologi, epistemologi,
dan metodologi. Perbedaan yang paradigmatik antara peneliti— atau perberdaan yang mancakup
dimensi epistemologi, ontologi, dan metodologi — akan menyebabkan keduanya tidak bisa
dipertemukan.

Tabel 3 ELEMEN-ELEMEN PARADIGMA ( Guba, 1999)

ONTOLOGY EPISTEMOLOGY METHODOLOGY

Asumsi tentang “realitas” Asumsi tentang hubungan antara peneliti dengan yang diteliti Asumsi
metodologis tentang bagaimana peneliti memeroleh pengetahuan

What is the nature of “reality” What is the nature of the relationship between the inquirer and the
knowable? How should the inquirer go about finding out knowledge?

Empat paradigma yang dikemukakan Burrel dan Morgan ( dalam Rosengreen, 1979, lihat Tabel 1 tulisan
terdahulu), sebagai contoh, sebenanrnya berangkat dari pengutuban teori-teori sosial dalamsebuah
kontinum antara konsepsi yang menekankan subyektivitas di kutub yang satu dengan obyektivitas di
kutub yang lain. Dalam kontinum obyektif – subyektif tersebut, sekurangnya terdapat pengutuban yang
menyangkut 4 asumsi mengenai ilmu-ilmu sosial.

Pertama, dari segi ontologi, pengutuban antara realisme –nominalisme; dari segi epistemologi,
pengutuban antara positivism— anti-positivism; dari segi metodologi, antara nomothetic – ideographic;
kemudian dari segi asumsi tentang manusia, kutub objektivis berangkat dari asumsi yang deterministik,
sedangkan kutub subjektivis berpijak pada asumsi voluntaristik ( Rosengreen, 1979:186-187).

Di luar dimensi-dimensi epistemologi, ontologi dan metodologi, sejumlah pakar lain secara implisit
ataupun eksplisit menilai sebuah paradigma juga memuat elemen axiology ( Lihat Littlejohn, 1992: 30-
34) yang berkaitan dengan sosial value judgment, etika atau pilihan moral sang peneliti dalam
melakukan penelitian.

Oleh karena itu, perbedaan antarparadigma tersebut juga bisa didasarkan atas 4 ( empat) dimensi yaitu :

Epistemologis, yang antara lain menyangkut asumsi mengenai hubungan antara peneliti dan yang diteliti
dalam proses untuk memeroleh pengetahuan mengenai obyek uang diteliti. Kesemuanya menyangkut
teori pengetahuan ( theory og knowledge) yang melekat dalam perspektif teori dan metodologi.
Ontologis, yang berkaitan dengan asumsi mengenai obyek atau realitas sosial yang diteliti.

Metodologi, yang berisi asumsi-asumsi mengenai bagaimana cara memeroleh pengetahuan mengenai
suatu obyek pengetahuan.

Aksiologis, yang berkaitan dengan posisi value judgment, etika, dan pilihan moral peneliti dalam suatu
penelitian.

Tebel 4 a- 4d berikut ini merupakan identifikasi perbedaan antara paradigma klasik, kritis, konstruktivis
berdasarkan 4 elemen yang dimiliki masing-masing paradigma ( epistemologi, ontologi, metodologi dan
aksiologi),yang merupakan rangkuman atau penyimpulan dari sejumlah kepustakaan ( a.l. Guba, 1994;
Denzin dan Lincoln, 1994;Crotty, 1998).

Tabel 4a PERBEDAAN ONTOLOGIS

KLASIK KONSTRUKTIVIS KRITIS

Critical realism:

Ada realitas yang “real” yang diatur oleh kaidah-kaidah tertentu yang berlaku universival, walapaun
kebenaran pengetahuan tsb. Mungkin hanya bisa diperoleh secara probabilistik

Relativism :

Realitas merupakan konstruksi sosial. Kebenaran suatu realitas bersifat relatif, berllaku sesuai konteks
spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial

Historical realism:

Realitas yang teramati merupakan realitas “semu” ( virtual reality” yang telah terbentuk oleh proses
sejarah dan kekuatan-kekuatan sosial budaya, dan ekonomi politik

Tabel 4b PERBEDAAN EPISTEMOLOGIS

KALSIK KONSTRUKTIVIS KRITIS

Dualist/Objectivist :

Ada ralitas objetif, sebagai suatu realitas yang eksternal di luar diri peneliti. Peneliti harus sejauh
mungkin membuat jarak dengan objek penelitian.

Transacsionalist/Subjectivist:

Pemahaman suatu realitas atau temuan suatu penelitian merupakan produk interaksi peneliti dengan
yang diteliti.

Transacsionalist/Subjectivist:
Hubungan peneliti dengan yang diteliti selalu dijembatani nilai-nilai tertentu. Pemahaman tentang suatu
realitas merupakan value mediated findings.

Tabel 4c PERBEDAAN AKSIOLOGIS

KLASIK KONSTRUKTIVIS KRITIS

Observer

Nilai, etika dan pilihan moral harus berada di luar proses penelitian.

Peneliti berperan sebagai disinterest scientist

Tujuan penelitian: Eksplanasi, prediksi dan kontrol relitas sosial

Facilitator

Nilai, etika dan pilihan moral merupakan bagian tak terpisahkan dari penelitian

Peneliti sebagai passionate participant,fasilitator yang menjembatani keragamana subjektivitas pelaku


sosial

Tujuan penelitian: rekonstruksi realitas sosial secara dialektis antara peneliti dengan yang diteliti

Activist

Nilai, etika dan pilihan moral merupakan bagian tak terpisahkan dari peneltian.

Peneliti menempatkan diri sebagai transformative intelectual, advokat dan aktivis

Tujuan penelitian: Kritik sosial, transformasi, emansipasi dan social empowerment

Tabel 4d PERBEDAAN METODOLOGIS

KLASIK KONSTRUKTIVIS KRITIS

Interventionist :

pengujian hipotesis dalam struktur hypothetico-deductive method, melalui lab eksperimen atau survai
eksplanatif, dengan analisis kuantitatif Reflective/ Dialectical:Menekankan empati, dan interaksi
dialektis antaa peneliti –responden untuk merekonstruksi realitas yang diteliti, melalui metode-metode
kualitatif seperti participant observation. Participative :Mengutamakan analisis komprehensif,
kontekstual, dan multi-level analysis yang bisa dilakukan melalui penempatan diri sebagai
aktivis/partisipan dalam proses transformasi sosial

Kriteria kualitas penelitian :Objectivity, Realibility dan Validity ( Internal dan external validity) Kriteria
kualitas penelitian :Authenticity dan reflectivity:Sejauhmana temuan merupakan refleksi otentik dari
realitas yang dihayati oleh pelaku sosial. Kriteria kualitas penelitian :Historical situadness: sejauhmana
penelitian memerhatikan konteks historis, sosial, budaya, ekonomi, dan politik
Beberapa hal yang perlu digarisbawahi mengenai perbedaan dari ketiga paradigma tersebut adalah:

Pertama : peneliti dari kubu paradigma klasik merasa harus menempatkan diri sebagai value free
researcher, yang harus senantiasa membuat pemisahan antara nilai-nilai subjektif yang dimilikinya
dengan fakta objektif yang diteliti. Seballiknya peneliti dari kubu kritis dan konstruktivis melihat hal
tersebut merupakan sesuatu yang tidak mungkin dan tidak perlu dilakukan. Sebab, setiap penelitian
selalu melibatkan value judgment dan keberpihakan pada nilai-nilai tertentu. Pemilihan apa yang akan
diteliti ( misalnya efektivitas iklan rokok ataukah akibat negatif iklan rokok merupakan pilihan yang
didasarkan atas suatu penilaian subjektif.) Lebih dari itu, dalam sebuah ilmu yang menjadikan manusia
sebagai pokok perhatian, usaha untuk secara “objektif” menempatkan manusia sebagai halnya objek-
objek ilmu alam jelas telah merupakan suatu values judgment juga.

Kedua: penelitian paradigma klasik berangkat dari asumsi ada suatu realitas sosial yang objektif, karena
itu suatu penelitian juga haris objektif, yakni untuk memeroleh pengetahuan tentang suatu objek atau
realitas sosial sebagaimana adanya. Untuk itu seorang peneliti harus menjaga jarak dengan objek yang
diteliti, mencegah agar tidak terjadi interaksi antara subjektivitas dirinya dengan objek yang diteliti.
Tujuannya adalah untuk memerolah manfaat, atau signifikansi dari segi akademis, praktis ataupun
metodologis.

Sebaliknya, peneliti paradigma kritis justru melihat bahwa objek atau realitas sosial yang mereka amati
merupakan penampakan realitas semu ( virtual reality) atau sekedar ekspresi kesadaran palsu ( false
consciousness) yang dimiliki manusia, bukan merupakan suatu realitas objektif atau realitas yang sesuai
dengan “esensi sebenarnya” —yang diyakini oleh para peneliti dari kubu kritis seharusnya dimiliki
manusia dan dunianya. Tujuannya antara lain untuk memeroleh temuan yang memiliki signifikansi
sosial.

Sementara itu, varian tertentu dalam tradisi penelitian konstruktivis merupakan penelitian yang
refleksif, yang ingin merefleksikan suatu realitas sosial sesuai dengan penghayatan subjek-subjek yang
terkait dalam realitas itu sendiri.

Ketiga : masing-masing paradigma memiliki sendiri kriteria penilaian kualitas suatu penelitian ( goodness
criteria).Oleh karena itu sulit, atau bahkan tidak selayaknya kita mempergunakan kriteria yang berlaku
dalam paradigma klasik untuk menilai kualitas sebuah penelitian yang berpijak atas asumsi-asumsi
epistemologism ontologis, dan aksilogis dari paradigma lain, demikian pula sebaliknya. (Bersambung)

Anda mungkin juga menyukai