Anda di halaman 1dari 8

Penyebab Bank Gagal

29 May, 2014 Artikel Umum Uncategorized gusary

Pada tahun 1988 US Comptroller of the Currency melakukan penelitian dan menemukan
bahwa kegagalan bank-bank di Amerika Serikat terjadi karena kualitas asset yang buruk,
manajemen yang buruk, kondisi ekonomi yang lemah dan penipuan sebagai berikut :
(dirangkum dari Andrew Fight dalam bukunya Understanding International Banking).

Kondisi ekonomi di negara-negara berkembang mempunyai peranan yang besar atas


kegagalan bank, tetapi hanya sekitar lima puluh persen saja yang terpengaruh. Karena di
banyak negara yang mengalami krisis keuangan, termasuk di Argentina, bank – bank swasta
dengan manajemen yang baik dapat selamat dari kebangkrutan. Hal ini menunjukkan bahwa
kerugian bank dapat dihindari melalui manajemen resiko yang baik dan tersedianya modal
yang cukup.

Kerugian bank bisa terjadi karena lemahnya kebijakan perkreditan, pengelolaan utang yang
buruk, kerugian operasional, spekulasi atau melakukan transaksi tanpa memperhitungkan
resiko, tidak efisien maupun tindakan penipuan. Ketika kerugian melebihi dari jumlah modal
bank dan cadangannya, maka bank akan mengalami kebangkrutan karena tidak mampu
membayar kewajibannya (insolvency). Namun bisa saja kerugian dapat dikendalikan dan
diminimalisir oleh manajemen bank yang berkualitas.

1. Kualitas aset yang buruk

Penyebab utama dari kegagalan bank adalah karena adanya masalah pada kualitas asset atau
yang dikenal dengan sebutan kredit bermasalah (bad lending atau non performing loan /
NPL). Ekspansi yang berlebihan atau pertumbuhan yang terlalu cepat untuk mencapai target
membawa kearah pengabaian standar kualitas kredit yang sehat dan konsekuensi
kerugiannya. Kualitas asset yang buruk atau kredit bermasalah, secara umum dilahirkan oleh
hal-hal sebagai berikut:

 Lalai dalam penerapan standar kredit.

Biasanya pengabaian penerapan standar kredit disebabkan karena keinginan untuk melakukan
pertumbuhan kredit yang sangat cepat, dan atau adanya konsentrasi pembiayaan yang
didominasi pada sektor industri yang spekulatif seperti property dan minyak. Kondisi ini
mengakibatkan 40% kegagalan bank. Tercatat korban dari kelalaian dalam penerapan standar
kredit adalah Penn Square Bank, Continental Illinois dan Southeast Bank.
 Pemberian kredit kepada pemilik atau perusahaan group sendiri

Kejadian ini tidak hanya terjadi di barat saja tetapi juga di dunia. Akibat dari praktek –
praktrek seperti ini mengakibatkan 40% kegagalan bank. Sebagai contoh pada tahun 1990
negara di kawasan teluk memberikan kredit yang melampaui batas maksimum kepada
pemilik atau koleganya yang berbisnis di industri minyak. Peristiwa ini bisa terjadi pada
negara-negara yang penegakan peraturan perbankannya lemah dan adanya “crony capitalism”
seperti Indonesia (Andromeda Bank), Rusia (Autovasbank) dan bahkan juga di Amerika
Serikat (Enron/Bush).

 Kekeliruan, korupsi, investasi yang tidak sah dan penipuan

Contoh penipuan atau fraud yang terkait dengan pemberian kredit adalah kredit telah
diberikan tetapi dokumen kredit yang seharusya ada tidak lengkap atau palsu. Kejadian
seperti ini dialami oleh Banque Arabe et Internationale d’Investissement dan Franco-Arab
Consortium Bank. Tindakan penipuan jugalah yang mengakibatkan bank besar seperti BCCI
mengalami kerugian besar dan akhirnya menjadi bangkrut.

Dari pengalaman yang pernah terjadi, penyebab-penyebab kegagalan bank tersebut tidak
selalu berdiri sendiri, melainkan banyak permasalahan terjadi karena kombinasi dari beberapa
faktor diatas.

Kerugian karena pemberian kredit (credit losses)

Kerugian bank tidak dapat dikaitkan semata-mata dari adanya guncangan ekonomi. Negara –
negara seperti Aljazair, India, Kenya dan Pakistan telah menikmati pertumbuhan ekonomi
yang cepat, tetapi sistem perbankan dari masing-masing negara mengalami kredit bermasalah
dengan berbagai alasan. Di India dan Pakistan kebijakan alokasi kredit bank-bank BUMN
memainkan peran penting. Walaupun merugi bank-bank BUMN diminta untuk tetap
menyalurkan pinjaman kepada masyarakat, khususnya di daerah pedesaan, dan meminjamkan
dana dengan suku bunga di bawah harga pasar untuk tujuan ekonomi dan kesejahteraan
masyarakat. Juga di Aljazair, walaupun merugi bank-bank diharapkan memberikan pinjaman
kepada perusahaan BUMN sehingga mendukung kebijakan penyerapan tenaga kerja (full
employment) negara. Pemberian kredit yang berbasis kebijakan tersebut merupakan
penyebab yang semestinya dapat dipertanggungjawabkan atas terjadinya kerugian pinjaman
dengan volume yang signifikan. Bank memberikan pinjaman sesuai dengan arah kebijakan
kredit yang ditetapkan pemerintah dan mengabaikan standar pemberian kredit yang benar
karena mereka percaya bahwa negara akan memberikan jaminan atas fasilitas kredit yang
telah diberikan.

Dengan mendasarkan pada kebijakan kredit seperti itu mengakibatkan potfolio kredit dari
bank-bank di negara – negara tersebut menjadi banyak bermasalah (non performing loan)
hingga mencapai 60% dari total pinjaman. Lemahnya keterampilan manajemen dan penipuan
(fraud), serta ketidakmampuan untuk mengatur dan menjaga kebijakan pemberian kredit yang
sehat, ditambah lagi dengan adanya fakta bahwa bank – bank tersebut dimiliki oleh faksi-
faksi politik, menyebabkan terjadinya kegagalan bank.

Pemberian kredit kepada kelompoknya (connected lending)


Bank – bank di Argentina. Chili, Kolombia dan Spanyol mengalami kebangkrutan karena
bank – bank yang dimiliki oleh group – group perusahaan besar memberikan pinjaman
dengan jumlah yang besar untuk membiayai kegiatan dalam kelompoknya sendiri. Kegagalan
terbesar adalah terjadi pada kelompok Rumasa di Spanyol, yang dinasionalisasi pada tahun
1983. Rumasa adalah konglomerat yang kegiatan usahanya terdiri dari perdagangan minuman
anggur (wine), pariwisata dan konstruksi, serta memperluas bisnis melalui akuisisi bank –
bank kecil di daerah Spanyol dan dikelola oleh teman-teman dan keluarga. Bank – bank ini
memberikan pinjaman lebih dari 70% dari total eksposur kredit mereka ke kelompok
perusahaan Rumasa (yang berjumlah sekitar 300 anak perusahaan). Namun akhirnya
bangkrut dan untuk mencegah keruntuhannya, bank – bank tersebut dinasionalisasi oleh
pemerintah Spanyol pada tahun 1983.

Porfolio dari warisan (Inherited portfolios)

Sejumlah bank didirikan pada masa transisi dari sistem perbankan nasional yang tersentralisir
menjadi ekonomi yang berbasis pasar seperti di Ceko dan Slovakia, Hungaria dan Polandia.
Namun bank – bank tersebut diwarisi portofolio kredit bermasalah yang besar untuk
kepentingan perusahaan – perusahaan BUMN dan pemerintah. Melalui bank, negara
membantu dan memberikan subsidi kepada perusahaan – perusahaan BUMN yang usahanya
merugi.

Warisan kredit yang diterima bank – bank tersebut berkualitas rendah dan sebagian dari
pinjaman itu bermasalah. Tahun 1990-1991 perusahaan – perusahaan BUMN tersebut
menderita kerugian karena guncangan ekonomi sehingga mengakibatkan bank – bank
mengalami kerugian karena kredit macet yang besar.

Guncangan komoditi (commodity shocks)

Sistem perbankan dengan standar pengawasan yang cukup ketat seperti Malaysia, Norwegia
dan Texas di Amerika Serikat juga menderita kerugian parah dari jatuhnya harga minyak dan
gas pada tahun 1984 -1985.

Di Amerika Serikat, kejadian ini digambarkan oleh kasus Penn Square Bank, Continental
Illinois yang bangkrut serta Chase Manhattan Bank. Pada dekade sebelum keruntuhannya,
bank di daerah menikmati keuntungan yang tinggi dari bisnis yang sedang booming. Ledakan
ini menciptakan bubble di sektor real estate sehingga menimbulkan spekulasi pembelian
properti dan harga saham melonjak. Pembelian property ini dibiayai oleh bank untuk
mengejar keuntungan yang lebih tinggi. Dalam pencapaian keuntungan tinggi ini bank
melakukan dua kesalahan yaitu pertama, mengabaikan batasan ratio konsentrasi industri
dengan mengorbankan diversifikasi portofolio yang memadai. Kedua, mencari keuntungan
dengan cara yang mudah dengan menghindari dan mengabaikan prinsip – prinsip pemberian
fasilitas kredit yang hati – hati (prudential banking).

Untuk menyelamatkan perbankan dan perekonomian nasional, pemerintah melakukan


intervensi melalui bank sentral atau lembaga asuransi deposito negara. Dalam kasus
Continental Illinois dan Credit Lyonnais di Perancis, asset – asset bank yang nilainya sudah
jatuh dan macet dipisah dari bank dan ditempatkan dalam special purpose vehicle untuk
dikelola secara terpisah sehingga memungkinkan untuk dilakukan penjualan asset dan agar
neraca bank bisa menjadi terlihat sehat.
Baca artikel mengenai kasus bank – bank yang mengalami kegagalan karena kualitas asset
yang buruk antara lain Penn Square Bank, Continental Illinois, Southeast Bank, Credit
Lyonnais dan BCCI (Bank of Credit and Commerce International).

2. Biaya yang berlebihan (excessive overhead)

Bank – bank di negara berkembang umumnya mempunyai biaya administrasi yang tinggi
seperti adanya kelebihan pegawai, kantor cabang yang berlebihan dan pengeluaran –
pengeluaran yang boros. Semua ini karena bank dipergunakan sebagai kendaraan untuk
implementasi kebijakan negara dan penyedia lapangan kerja. Sebelum restrukturisasi, bank di
Ghana mengeluarkan biaya operasional non-bunga setara dengan 6% dari total aset,
dibandingkan dengan rata-rata 1% sampai 2% di bank-bank OECD. Biaya ini lebih dari 75%
dari total pendapatan bunga. Bank di Aljazair juga dikatakan kelebihan staf sebesar empat
puluh persen, meskipun faktanya profitabilitas yang dihasilkan bank lemah, dan lebih dari
empat puluh persen pinjamannya bermasalah. Persoalannya di negara – negara ini adalah
bahwa tidak ada kemauan politik dari pemerintah untuk mengatasi masalah ini. Misalnya
dengan menyelesaikan pinjaman – pinjaman yang bermasalah, mengurangi karyawan yang
berlebihan dan menggantikannya dengan generasi muda yang bebas dari nilai-nilai yang
diwariskan generasi terdahulunya serta melaksanakan kebijakan portofolio kredit yang benar.

3. Ketidaksesuaian suku bunga (interest rate mismatch)

Penyebab kedua dari kegagalan bank adalah karena adanya ketidaksesuaian antara jangka
waktu kredit dan jangka waktu dana. Ketidaksesuaian jangka waktu terjadi di hampir setiap
bank, dan jika memperoleh positif yield curve dimana suku bunga jangka panjang selalu lebih
tinggi dari pada suku bunga jangka pendek, bank akan mendapat keuntungan jika mengambil
dana jangka pendek untuk digunakan untuk kredit jangka panjang.

Namun yang paling penting untuk dipahami adalah sampai sejauh mana ketidaksesuaian
jangka waktu tersebut bukan merupakan spekulasi, melainkan harus dikelola dengan baik
sehingga tidak berpotensi menimbulkan kerugian, bahkan diharapkan tetap mendapatkan
keuntungan. Berdasarkan pengalaman, pengelolaan mismatch ini hanya dapat terjadi dalam
jangka pendek saja dan bukan untuk jangka panjang.

Pada dasarnya risiko suku bunga (interest rate risk) yang merupakan risiko kerugian akibat
adanya pergerakan suku bunga di pasar yang berlawanan dengan posisi bank dalam trading
book, dapat dicegah potensi kerugiannya dengan melakukan pengelolaan suku bunga dengan
tertib (interest rate risk management).

Contoh kasus di Amerika Serikat pada tahun 1980 ketika terjadi krisis yang disebabkan oleh
maturity mismatch kredit dan pendanaan, dimana bank melakukan pembiayaan kredit
perumahan (mortgage) selama lebih dari 20 tahun dengan suku bunga tetap (fixed rates),
namun sumber dananya diambil dari dana jangka pendek dengan suku bunga mengambang
(floating rates). Kebijakan ini adalah suatu spekulasi. karena kejadiannya setelah dua tahun
sejak kredit diberikan, suku bunga pasar meningkat signifikan, yang berarti suku bunga dana
naik sampai pada titik yang lebih tinggi daripada suku bunga kreditnya. Hal ini
mengakibatkan perbankan di Amerika Serikat menderita kerugian sekitar USD 100 miliar
(eqv. Rp 1.000 triliun) sehingga mengakibatkan bank – bank tersebut pada tahun 1982
mengalami kebangkrutan.
Contoh lainnya adalah pada bulan Desember 1994, Orange County, sebuah pemerintah
daerah di negara bagian California, Amerika Serikat, mengejutkan pasar setelah
mengumumkan kerugian investasi sebesar USD 1,6 miliar yang merupakan kerugian
investasi terbesar yang pernah tercatat dilakukan oleh sebuah pemerintah daerah. Kerugian
tersebut diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan oleh treasurer atas portfolio sebesar USD 7,5
miliar yang dimiliki oleh sekolah, kota dan pemerintah daerah itu sendiri. Dengan melakukan
investasi dalam bentuk pengambilan posisi derivatif, treasurer mempertaruhkan seluruh
dananya dengan spekulasi bahwa tingkat suku bunga akan turun atau tetap rendah. Strategi
investasi ini berjalan dengan baik sampai dengan tahun 1994 ketika Federal Reserve Board
melakukan serangkaian kebijakan untuk menaikkan suku bunga yang mengakibatkan
kerugian besar atas investasi tersebut.

4. Ketidaksesuaian valuta asing (foreign exchange mismatch)

Salah satu kegiatan bisnis bank adalah melakukan penjualan dan pembelian mata uang asing
(foreign exchange), obligasi, transaksi derivatif maupun produk-produk keuangan lainnya.
Dalam transaksi ini bank mendapatkan penghasilan (spread) atau keuntungan (profit) dari
adanya perbedaan harga penjualan dan pembelian. Oleh karena itu agar transaksi ini tidak
menjadi transaksi spekulasi dan aman maka harus diawasi dengan ketat dan mengikuti aturan
main yang sudah ditentukan bank maupun regulator. Transaksi jual beli mata uang asing
adalah bisnis yang mempunyai risiko tinggi dan keuntungan yang tinggi (high risk and high
return). Sebagai contoh kasus pada tahun 1974 Herstatt Bank suatu bank swasta di Jerman
mengalami kebangkrutan karena transaksi yang dilakukan oleh chief dealernya dalam
transaksi jual beli mata uang asing. Insiden ini dalam keuangan internasional terkenal dengan
sebutan settlement risk. Dimana pada saat transaksi jual beli mata uang asing USD/DEM,
bank counterparty yang membeli mata uang Deutsche Marks (DEM) telah merilis
pembayaran DEM ke Herstatt di Frankfurt, dan semestinya pada saat yang sama Herstatt
Bank menyediakan mata uang USD di New York. Dengan adanya perbedaan zona waktu
dengan New York, Herstatt Bank menunda untuk penyediaan USD, namun karena hari itu
bank tersebut diberhentikan operasinya oleh regulator maka bank counterparty tidak
menerima pembayaran USD mereka.

Latar belakang runtuhnya Herstatt Bank adalah karena masalah eksposur valuta asing yang
besar yaitu sampai delapan puluh kali lebih banyak dari batas eksposurnya (exposure limit)
dan tiga kali lebih besar dari modal bank. Audit khusus yang dilakukan oleh kantor
pengawasan perbankan federal (Federal Banking Supervisory Office) mendorong manajemen
bank untuk menutup posisi jual beli mata uang asing (foreign exchange positions). Strategi
yang diambil bank dalam melakukan spekulasi atas pergerakan dolar merupakan salah satu
yang menjadi penyebab terjadinya kerugian yang sangat besar atas transaksi jual beli valuta
asing yang mencapai DEM 470 juta (eqv. Rp. 3,29 triliun), sementara total asset bank hanya
sebesar DEM 1,2 miliar (eqv. Rp. 8,4 triliun). Saking terkenalnya insiden ini terjadi di
Herstatt Bank, sering juga risiko ini disebut sebagai risiko Herstatt.

Kegagalan Herstatt Bank adalah salah satu faktor yang menyebabkan penciptaan platform
Continuous Linked Settlement (CLS) yang diluncurkan pada tahun 2002, hampir 30 tahun
kemudian setelah insiden transaksi tersebut. Sistem pembayaran ini menggunakan
mekanisme Payment Versus Payment (PVP) yang dirancang untuk menyelesaikan transaksi
jual beli mata uang asing (foreign exchange) antara bank penjual dan bank pembeli secara
real time dan simultan, dengan tujuan menghilangkan settlement risk yang disebabkan adanya
perbedaan waktu penyelesaian pembayaran mata uang tertentu (misal DEM yang
menggunakan waktu kliringnya di Jerman) dengan penyelesaian pembayaran mata uang USD
(yang menggunakan waktu kliring New York). Jadi pihak bank yang mempunyai kewajiban
menyerahkan USD tidak bisa lagi menyelesaikan pembayarannya pada hari besoknya dengan
memanfaatkan perbedaan zona waktu New York.

Kasus di Polandia dan Yugoslavia, pada saat masyarakat banyak menyimpan dana dalam
bentuk mata uang asing, dan tiba-tiba pada tahun 1980 pemerintah setempat melakukan
devaluasi mata uang domestik. Hal ini mengakibatkan bank-bank di negara tersebut
mengalami kerugian besar.

Nick Leeson, seorang dealer muda dari Barings Bank yang melakukan transaksi saham
(equity futures) dengan jumlah yang sangat besar di Singapura, mengakibatkan habisnya
modal Barings Bank. Tahun 1995 Barings Bank kolaps dengan merugi sebesar USD 1,3
miliar (Eqv. Rp 13 triliun) karena investasi spekulasi kontrak berjangka (futures contracts)
yang dilakukan Nick Leeson dari kantor cabangnya di Singapura. Masalahnya dalam kasus
ini adalah adanya transaksi yang dilakukan oleh orang yang tidak kompeten, terlalu ambisi
dan tidak jujur. Peristiwa – peristiwa seperti ini bisa terjadi karena kurang ketatnya sistem
pengawasan manajemen.

Kasus di Indonesia pada bulan Agustus 1998 dimana dilaporkan bahwa Telekomunikasi
Indonesia telah mengalami kerugian netto sebesar USD 101 juta akibat kerugian valuta asing.
Kerugian timbul akibat pinjaman valuta asing sebesar USD 306 juta, JPY 11 miliar dan FRF
130 juta yang telah dikonversi ke dalam Rupiah. Dan kemudian terjadi devaluasi Rupiah
terhadap USD, JPY dan FRF yang mengakibatkan kenaikan cost of repayment menjadi lebih
besar dari pinjaman awal.

Pada dasarnya risiko nilai tukar adalah potensi kerugian yang timbul akibat pergerakan nilai
tukar di pasar yang berlawanan dengan posisi bank, baik yang tercatat pada neraca (on
balance sheet) maupun rekening administrative (off balance sheet). Risiko ini dapat dicegah
potensi kerugiannya dengan menerapkan manajemen risiko nilai tukar yang prudent.

5. Diversifikasi yang berlebihan (excessive diversification)

Diversifikasi yang berlebihan adalah penyebab lain dari masalah perbankan. Hal ini terjadi
ketika lembaga keuangan percaya bahwa melebarkan sayap diluar bisnis inti merupakan hal
yang menarik. Namun jika melakukan akuisisi yang relatif besar dapat menyebabkan bencana
dan akan bisa masuk dalam kesulitan atau gagal untuk mengendalikannya. Seperti misalnya,
bank pedagang Henry Ansbacher mengakuisisi sebuah rumah investasi Amerika Serikat yang
relatif besar dibandingkan dengan bisnisnya sendiri. Dalam enam bulan, investasi ini
menghapuskan kekayaan bersihnya. Ansbacher hanya diselamatkan oleh suntikan modal dari
Kelompok Pargessa dan BBL.

Sebenarnya kegiatan bank tidak perlu diversifikasi yang berlebihan. Karena inti dari
keberlangsungan bank adalah kepercayaan deposan. Jika kepercayaan hilang, deposan akan
menarik dananya dan kemungkinan rush bisa terjadi. Penarikan besar-besaran dana nasabah
cukup sering terjadi di beberapa bank di dunia, termasuk juga Intra Bank Beirut yang
mengalami krisis likuiditas saat uang kas habis, dan kemudian berkembang menjadi krisis
solvabilitas, sehingga akhirnya bank ditutup.

6. Penipuan (fraud)
Penipuanadalah salah satu penyebab yang cukup sering dari kegagalan bank. Di negara
belahan mana pun di dunia ini, tindakan menipu merupakan suatu perilaku yang tidak terpuji.
Penipuan sering terjadi karena terkait dengan kasus-kasus lainnya, seperti kasus hancurnya
BCCI.

Akibat penipuan dan kesalahan dalam manajemen, BCCI pada tahun 1991 menderita
kerugian sebesar USD 10 milyar dari total assets USD 20 milyar. Di Guinea lima bank milik
pemerintah pada tahun 1985 ditutup karena 78% dari asetnya ditemukan sebagai asset
bodong alias fiktif. Juga kasus sertifikat deposito palsu di Jepang yang mengakibatkan bank-
bank disana menderita kerugian besar.

7. Kebijakan liberalisasi perbankan

Kalau ditelusuri secara lebih mendalam banyak permasalahan bank yang terjadi pada tahun
1980–an disebabkan karena adanya kebijakan yang liberal dari pemerintah dalam perizinan
dan pendirian bank baru. Syarat–syarat untuk mendirikan bank dipermudah, yaitu hanya
dengan modal kecil dan tidak adanya pengalaman maupun keahlian seseorang dalam
mengelola bank, dapat menjadi pemilik atau pengurus bank.

Demikian juga kesiapan pengawasan bank dari otoritas moneter atau bank sentral yang belum
memadai, memberikan andil dalam banyaknya bank yang mengalami kegagalan dalam
menjalankan usahanya seperti di Argentina, Chile, Kenya, Spanyol dan Uruguay.

8. Understanding the big picture

Sebagaimana telah kita lihat, kegagalan perbankan tidak memiliki penyebab tunggal. Untuk
menyalahkan semata-mata kegagalan manajemen, kesalahan kebijakan, atau kecenderungan
melakukan spekulasi dan risiko tinggi pada bisnis baru yang tidak diketahuinya.

Sebuahdiagnosa yang tepat untuk mengetahui kegagalan


bankmembutuhkanpemahamanmenyeluruh tentangkebijakan danekonomi, kelembagaan,
praktek perbankan, kualitaspengawasan bankdan pemberian insentifpada perusahaan.

Pembuat kebijakan menjadi semakin sadar bahwa insentif yang diambil pemerintah, misalnya
deregulasi di sektor tertentu dapat menyebabkan kegagalan bank jika dibiarkan. Sebagai
contoh, terdapat bukti yang menunjukkan bahwa insentif dapat menimbulkan moral hazard
(keserakahan dan oportunisme). Insentif pajak yang berlebihan untuk real estate, misalnya
dapat merangsang booming properti yang akhirnya mengarah menjadi kelebihan pasokan dan
menyebabkan kerugian kredit real estate di bank-bank AS atau Perancis.

Meskipun ada kesepakatan umum bahwa pengawasan dan penegakan hukum yang efektif
diperlukan untuk menjaga stabilitas dalam sistem keuangan, bahkan pengawas bank yang
paling canggih di negara-negara maju OECD belum mampu sepenuhnya mencegah
kegagalan bank.Pengawasan bank juga diperlukan untuk terus berkembang dengan tetap
menjamin stabilitas perbankan.

Oleh karena itu otoritas pengawas harus lebih memperhatikan isu-isu sektor dan ketidak-
seimbangan nasional yang dapat mengganggu kestabilan sektor perbankan. Ini berarti harus
ada pembaharuan akuntansi, alokasi sumber daya kepada otoritas pengawas, dan yang paling
penting memiliki kemauan politik yang diperlukan untuk membuat langkah ini efektif.
Setelah semua, tabungan dan bencana kredit di Amerika Serikat, runtuhnya Credit Lyonnais
di Perancis, dan gelombang skandal korporasi di Amerika Serikat pada tahun 2002. Semua itu
merupakan buah akumulasi dari kebijakan pemerintah yang dikenal sebagai “pro bisnis”.

kinerjabank.com/reiner

Anda mungkin juga menyukai