Anda di halaman 1dari 13

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lahan sawah merupakan lahan yang dikelola sedemikian rupa untuk
budidaya tanaman padi sawah, di mana pada lahan tersebut dilakukan
penggenangan selama atau sebagian dari masa pertumbuhan padi. Pada lahan
sawah, penggenangan tidak dilakukan terus-menerus tetapi mengalami masa
pengeringan sehingga terjadi perbedaan lamanya penggenangan dan pengeringan
(Pardosi et al. 2013). Adanya masa penggenangan dan pengeringan pada lahan
sawah akan mempengaruhi sifat tanah yang merupakan indikator kualitas suatu
tanah. Kualitas tanah diukur berdasarkan pengamatan kondisi dinamis indikator
kualitas tanah. Indikator kualitas tanah dipilih dari sifat-sifat yang menunjukkan
kapasitas fungsi tanah (Partoyo 2005). Indikator kualitas tanah dapat dinilai dari
kuantitas dan kualitas tanah. Penilaian kualitas tanah dikumpulkan melalui
analisis tanah baik secara kimia, fisika, maupun biologi serta didukung dengan
wawancara petani (Dang 2007).
Kualitas tanah merupakan kemampuan tanah untuk dapat berfungsi di
dalam ekosistemnya untuk mendukung produktivitas tanaman dan hewan,
meningkatkan kualitas air dan udara serta mendukung kesehatan manusia dan
lingkungan. Kualitas tanah pada suatu lahan dapat dipengaruhi oleh kandungan
unsur-unsur hara dan bahan organik yang terdapat di dalam tanah (Ngo-Mbogba
et al. 2015). Kandungan bahan organik yang tinggi di dalam tanah akan
meningkatkan sifat kimia, fisika, dan biologi tanah sehingga kualitas tanah juga
akan semakin meningkat (Nugroho et al. 2011).
Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Pati Nomor 5 Tahun 2011 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pati Tahun 2010-2030, luas lahan sawah
di Kabupaten Pati kurang lebih 59.332 Ha yag tersebar di beberapa kecamatan.
Rata-rata produksi padi sawah di Kabupaten Pati dari tahun 2010-2013 yaitu
560.936 ton, sedangkan rata-rata produktivitas padi sawah dari tahun 2010-2012
yaitu 5,6 ton/ha (Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah 2014). Dalam Berita
Resmi Statistik Kabupaten Pati Nomor 13/11/3318/Th.I, menyatakan bahwa

1
2

Angka Ramalan (ARAM) II produksi padi Kabupaten Pati tahun 2014


diperkirakan sebesar 498,48 ribu ton GKG, mengalami penurunan produksi
sebanyak 85,79 ribu ton (14,68%) dibandingkan dengan produksi tahun 2013.
Penurunan angka produksi ini dipengaruhi oleh luas panen yang cukup signifikan
yaitu sebesar 11,35 ribu hektar (10,91%) dari 103,99 ribu hektar pada tahun 2013
menjadi 92,65 ribu hektar pada tahun 2014. Keadaan ini didukung dengan
penurunan angka produktivitas padi di tahun 2014 dibanding tahun 2013. Adanya
penurunan hasil padi tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang terdapat
disekitarnya, seperti kondisi tanah yang berhungan erat dengan kualitas tanah
lahan padi tersebut. Oleh karena itu, dilakukan penelitian mengenai kualitas tanah
sawah di Kabupaten Pati agar dapat mengetahui lebih lanjut tentang keadaan
lahan di daerah tersebut.

B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana kondisi fisik, kimia, dan biologi tanah berdasarkan analisis
kualitatif dan kuantitatif tanah sawah Kabupaten Pati?
2. Indikator fisika, kimia, dan biologi apa yang paling mempengaruhi kualitas
tanah sawah di Kabupaten Pati?

C. Tujuan Penelitian
1. Menganalisis kualitas tanah sawah di Kabupaten Pati secara kualitatif dan
kuantitatif.
2. Mengidentifikasi indikator yang tepat untuk menilai kualitas tanah sawah di
Kabupaten Pati.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat hasil penelitian yang telah dilakukan adalah diperoleh data yang
dapat digunakan untuk mengevaluasi perbaikan lahan sawah di Kabupaten Pati,
sehingga dapat memberikan informasi yang berguna untuk menentukan tindakan-
tindakan yang harus dilakukan pada kegiatan perbaikan lahan selanjutnya yang
dapat mempengaruhi kualitas tanah sawah sehingga produktivitas padi meningkat.
3

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kualitas Tanah
Tanah merupakan campuran berbagai partikel yang berbeda bentuk dan
ukurannya, material hidup dan mati termasuk mikroorganisme, akar, sisa-sisa
tanaman dan binatang, udara dan air. Di dalam tanah, reaksi fisik, kimiawi, dan
biologi terjadi dan saling berhubungan. Bentuk fisik tanah memegang peranan
penting dalam reaksi alami biologis dan kimia. Faktor tersebut berpengaruh
terhadap kualitas tanah (Prihastanti 2010).
Kualitas tanah adalah kemampuan suatu tanah untuk berfungsi dalam
berbagai batas ekosistem untuk mendukung produktivitas biologi,
mempertahankan kualitas lingkungan dan meningkatkan kesehatan tanaman,
hewan, dan manusia. Secara umum, terdapat tiga makna pokok dari definisi
tersebut yakni: 1) produksi berkelanjutan yaitu kemampuan tanah untuk
meningkatkan produksi dan tahan terhadap erosi, 2) mutu lingkungan yaitu tanah
diharapkan mampu untuk mengurangi pencemaran air tanah, udara, penyakit, dan
kerusakan sekitarnya, dan 3) kesehatan makhluk hidup (Suriadi dan Nazam 2005).
Kualitas tanah merupakan kapasitas dari suatu tanah dalam suatu lahan
untuk menyediakan fungsi-fungsi yang dibutuhkan manusia atau ekosistem alami.
Kualitas tanah sebagai kapasitas tanah berfungsi dalam batas-batas ekosistem dan
berinteraksi secara positif dengan lingkungan. Batas-batas dan interaksi tanah
dengan lingkungan tersebut merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kualitas
tanah yang berkaitan dengan pengelolaan tanah. Pengelolaan tanah seperti
pengolahan tanah, pemupukan, rotasi tanaman, pengelolaan air, pengapuran, dan
tanaman penutup secara signifikan mempengaruhi kualitas tanah (Karlen et al.
2004).
Penentuan ciri-ciri kualitas tanah yang tinggi tergantung pada faktor yang
melekat pada tanah, bentuk lahan, iklim, dan penggunaan lahan. Kualitas tanah
dianggap tinggi apabila: 1) kandungan bahan organik dan aktivitas biologis tinggi,
2) tanah gembur dengan agregat yang stabil, 3) mudah ditembus oleh akar
tanaman, 4) mudah diresapi air daripada air di atas permukaan, dan 5) sedikit

3
4

gulma dan penyakit (Lewandowski et al. 1999). Gunino et al. (2009) menyatakan
bahwa karakteristik kualitas tanah meliputi tanah yang baik, kedalaman yang
dapat ditembus akar untuk pertumbuhan, pasokan nutrisi yang cukup, populasi
pathogen dan hama rendah, bebas dari bahan kimia dn beracun, tahan terhadap
degradasi serta tahan terhadap kondisi yang tidak menguntungkan.

B. Indikator Kualitas Tanah


Kualitas tanah adalah kombinasi dari sifat fisika, kimia, dan biologi tanah
yang mudah berubah sebagai respon dari berbagai kondisi tanah (Marzaioli et al.
2010). Kualitas tanah diukur berdasarkan pengamatan kondisi dinamis indikator-
indikator kualitas tanah. Indikator-indikator kualitas tanah dipilih dari sifat-sifat
yang menunjukkan kapasitas fungsi tanah. Menurut Soil Quality Institute (2001),
indikator kualitas tanah adalah sifat, karakteristik atau proses fisika, kimia, dan
biologi tanah yang dapat menggambarkan kondisi tanah tersebut. Pemilihan
indikator kualitas tanah yang sesuai dapat digunakan untuk mengevaluasi dampak
perubahan lahan dan megukur keberhasilan setiap praktik pertanian (Garcia-Ruiz
2008).
Ada dua pendekatan umum untuk menilai kualitas tanah yaitu kualitatif
dan kuantitatif tanah. Indikator kualitas tanah kualitatif dapat digambarkan
melalui pengamatan langsung, artinya petani menggunakan pengetahuan dan
pengalaman dalam mengkarakterisasi status dan mendiagnosa setiap perubahan
kualitas tanah secara langsung. Pengamatan langsung yang dilakukan oleh petani
biasanya menggambarkan sifat-sifat tanah berdasarkan tampilan, bau, dan tekstur.
Untuk penilaian kualitas tanah kuantitatif dilakukan menggunakan prosedur yang
lebih canggih yang melibatkan analisis data. Indikator kualitas tanah kuantitatif
meliputi sifat fisika, kimia, dan biologi tanah (Dang 2007). Menurut Rahmanipour
et al. (2014) indikator kualitas tanah adalah beberapa sifat fisika, kimia, dan
biologi tanah yang digunakan untuk menaksir kualitas tanah dan sifat-sifat tanah
tersebut sensitif terhadap gangguan.
Sifat kimia tanah dapat dipengaruhi oleh penambahan bahan organik,
pemupukan, atau pengapuran, dan sifat fisik oleh pengaruh pengolahan tanah,
pembalikan lapisan bawah permukaan, pembubunan atau drainase (Sitorus 2004).
5

Menurut hasil penelitian Nugroho et al. (2011), menyatakan bahwa sifat kimia
tanah terutama pH merupakan faktor yang paling menentukan kualitas tanah. pH
tanah atau dapat disebut dengan reaksi tanah merupakan faktor yang
mempengaruhi kelarutan nutrisi. Hal ini juga berpengaruh pada aktivitas
mikroorganisme yang bertanggungjawab dalam merombak bahan organik dan
transformasi kimia dalam tanah (USDA Natural Resources Conservation Service
1998).
pH tanah merupakan ukuran kemasaman atau kebasaan dari tanah yang
mempengaruhi ketersediaan nutrisi tanaman, aktivitas mikroorganisme, dan
kelarutan mineral tanah. Faktor utama yang mempengaruhi pH tanah adalah suhu
dan curah hujan, yang mengontrol intensitas pencucian dan pelapukan tanah. Pada
umumnya keasaman terkait dengan pencucian tanah. pH merupakan ukuran
kemasaman tanah yang didefinisikan sebagai nilai negatif logaritma dari aktivitas
ion H+ dalam larutan dimana kemasaman tersebut merupakan parameter tanah
yang penting karena dapat mempengaruhi kondisi dan mobilitas nutrisi tanaman
serta penyerapannya oleh akar tanaman.Pengukuran nilai pH tanah menunjukkan
banyaknya konsentrasi ion hidrogen (H+) di dalam tanah (USDA Natural
Resources Conservation Service 1999). Makin tinggi kadar ion H+ di dalam tanah,
semakin masam tanah tersebut (Soewandita 2008). pH tanah yang tinggi atau
mendekati netral memiliki kandungan bahan organik rendah di dalam tanah. pH
tanah dapat meningkat atau menurun tergantung oleh tingkat kematangan bahan
organik yang ditambahkan pada tanah (Nusantara et al. 2012).
Sifat kimia tanah yang lainnya yang berpengaruh terhadap kualitas tanah
yaitu kandungan C-organik di dalam tanah. Karbon (C) organik merupakan salah
satu parameter yang digunakan untuk menentukan kandungan bahan organik di
dalam tanah. Kandungan bahan organik pada lahan pertanian berasal dari biomasa
tanaman yang akan terangkut keluar bersamaan dengan produksi. Sistem
pengolahan tanah yang dilakukan pada lahan pertanian dapat mempercepat
pengurasan bahan organik. Pengolahan tanah yang intensif akan menyebabkan
kandungan bahan organik semakin rendah (Arifin 2011). Bahan organik yang
ditambahkan ke dalam tanah akan mengalami beberapa fase perombakan oleh
6

mikroorganisme tanah untuk menjadi humus. Bahan organik dapat berperan


sebagai sumber energi dan makanan mikroba tanah sehingga dapat meningkatkan
aktivitas mikroba dalam penyediaan hara tanaman (Firdaus et al. 2013). Bahan
organik mempunyai peranan penting sebagai bahan pemicu kesuburan tanah, baik
secara langsung sebagai pemasok hara bagi tanaman (Subowo 2010). Bahan
organik dapat memasok hampir separuh dari jumlah hara N dan P yang
dibutuhkan tanaman (Hadisudarmo dan Supriyadi 2014). Kandungan bahan
organik di tanah akan mempengaruhi beberapa sifat kimia tanah yang lain seperti
pH tanah, tingkat ketersediaan hara, dan Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah.
KTK menunjukkan kemampuan tanah untuk menahan kation-kation tukar dan
mempertukarkan kation tersebut yang dapat dipergunakan sebagai petunjuk
penyediaan unsur hara. Tanah yang mempunyai KTK tinggi akan mempunyai
kemampuan tinggi dalam menyimpan unsur hara (Yusanto 2009).KTK
merupakan kemampuan tanah untuk menyuplai dan menyimpan unsur hara yang
dipengaruhi oleh pengelolaan tanah (Yao et al. 2013). KTK merupakan sifat kimia
tanah yang sangat erat hubungannya dengan kesuburan tanah. Tanah dengan KTK
tinggi mampu menyerap dan menyediakan unsur hara lebih baik daipada tanah
dengan KTK rendah, karena unsur-unsur hara terdapat dalam kompleks jerapan
koloid maka unsur-unsur hara tersebut tidak mudah hilang tercuci oleh air. Tanah-
tanah dengan kandungan bahan organik tinggi akan memiliki KTK yang tinggi
(Soewandita2008).
N merupakan unsur penting bagi pertumbuhan tanaman dan ditambahkan
dalam pemupukan untuk merangsang produktivitas tanaman (Doole 2015).
Ketersediaan unsur hara N bagi tanaman dihasilkan dari bahan organik sangat
berguna bagi peningkatan jumlah anakan padi sehingga produktivitas tanaman
padi dapat menigkat (Tambunan et al. 2013). P-tersedia sangat bergantung pada
bentuk P di tanah yang kelarutannya dikendalikan oleh pH tanah (Amacher et al.
2007). Nilai pH tanah netral menyebabkan kandungan P-tersedia tanah menjadi
tinggi (Arifin 2011). Unsur Kalium (K) merupakan unsur hara yang sangat mudah
tercuci, akibatnya tanah akan sering kekurangan unsur kalium (Mujiyanti dan
Supriyadi 2009). Pengembalian unsur kalium dari sisa tanaman merupakan
7

sumber yang penting dalam menjaga keseimbangan kadar kalium dalam tanah
(Damanik et al. 2010).
Menurut Arsyad (2006), tekstur tanah merupakan ukuran butir dan
proporsi kelompok ukuran butir-butir primer bagian mineral tanah. Butir-butir
primer tanah terkelompok dalam liat (clay), debu (silt), dan pasir (sand). Pada
tanah dengan unsur dominan liat ikatan antar partikel-partikel tanah tergolong
kuat memantapkan agregat tanah sehingga tidak mudah tererosi (Butar 2013).
Tingginya kandungan liat juga berpotensi tinggi untuk formasi agregat. Agregat
makro akan melindungi bahan organik dari mineralisasi lebih lanjut (Supriyadi
2008).
Kemantapan agregat juga dipengaruhi oleh kemiringan lereng.
Kemiringan lereng merupakan unsur topografi yang berpengaruh terhadap aliran
permukaan dan erosi. Semakin curam lereng, erosi dan aliran permukaan yang
terjadi semakin besar. Begitu juga dengan kandungan bahan organik, semakin
curam lereng maka kandungan bahan organik semakin rendah (Refliaty 2010).
Penurunan agregat tanah berkaitan dengan penurunan bahan organik tanah,
aktivitas perakaran tanaman, dan mikroorganisme tanah. Penurunan ketiga agen
pengikat agregat tanah tersebut selain menyebabkan agregat tanah relatif mudah
pecah sehingga menjadi agregat atau partikel yang lebih kecil (Suprayogo et al.
2011). Agregat tanah dapat dipengaruhi oleh bobot volume (BV). Bobot volume
(BV) merupakan petunjuk untuk kemampatan tanah, semakin padat suatu tanah
maka makin tinggi berat volumenya, yang berarti semakin sulit meneruskan air
atau ditembus akar tanaman (Waluyaningsih 2008). Jika BV rendah maka tanah
akan semakin gembur sehingga memudahkan penetrasi akar, sirkulasi udara, dan
air dalam tanah menjadi lebih baik karena jumlah pori yang tersedia lebih
memadai. Penurunan BV menyebabkan agregat tanah menjadi lebih baik (Mondal
et al. 2015).
C. Lahan Sawah dan Tanaman Padi
Tanaman padi merupakan tanaman pangan utama yang dibudidayakan di
Indonesia. Secara umum, tanaman padi ditanam dengan dua sistem yaitu dengan
penanaman benih langsung (tabela) dan penanaman secara pindah tanam
8

(transplanting) (Izaniyah et al. 2013). Sebelum disemai, benih padi direndam air
terlebih dahulu selama 2 x 24 jam untuk memecahkan dormansi. Menurut Priadi
(2007) dalam percobaannya, perlakuan pemanasan pada suhu 50 oC dan
perendaman dengan air selama 48 jam dapat menghilangkan pengaruh dormansi
yang biasa terdapat pada jenis padi-padian. Bibit padi hasil persemaian yang siap
dipindahtanam (transplanting) saat bibit berumur 3 – 4 minggu atau bibit
memiliki minimal 4 daun (Purwanto dan Purnamawati 2007). Pada penanaman
benih padi dengan sistem tanam benih langsung (tabela) dilakukan dengan cara
tugal langsung di petak sawah. Mulsa singgang dan gulma yang berada di sekitar
area tanam benih langsung (tabela) ini dapat diratakan atau dibenamkan dahuu
sehingga benih padi dapat langsung kontak dengan tanah (Martodireso dan
Suryanto 2001).
Padi merupakan tanaman yang beradaptasi pada lingkungan tergenang
(anaerob) karena pada akarnya terdapat saluran aerenchyma. Aerenchyma
berfungsi sebagai penyedia oksigen bagi daerah perakaran (Purwanto dan
Purnamawati 2007). Pertumbuhan akar tanaman padi dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan, tekstur, jenis tanah, air, dan cara pengelolaan tanah. Keterbatasan air
yang diserap oleh akar mempengaruhi pembelahan sel,pertumbuhan, dan hasil
(Suardi 2002).
Pengaruh suatu karakteristik lahan terhadap produktivitas dapat terlihat
jelas pada kondisi di mana karakteristik lahan tersebut menjadi pembatas untuk
penggunaan lahan sawah. Karakteristik lahan seperti jenis tanah, fisiografi,
kemiringan lereng, elevasi, curah hujan, luas area garapan, dan aksesibilitas dapat
mempengaruhi produktivitas padi sawah. Semakin besar pembatas dari
karakteristik lahan tersebut, akan menyebabkan semakin rendah produktivitas
pada lahan sawah tersebut (Yudarwati 2010).
9

III. METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2015 sampai dengan November
2015 di lahan sawah Kabupaten Pati. Analisis indikator kualitas tanah
dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Laboratorium Fisika
dan Konservasi Tanah, Laboratorium Biologi dan Bioteknologi Tanah, dan untuk
analisis GIS (Geographic Information System) dilaksanakan di Laboratorium
Pedologi dan Survei Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret
Surakarta.

B. Bahan dan Alat Penelitian


Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain perlengkapan
analisis lapangan meliputi peta, cangkul, rol meter, altimeter, klinometer, GPS
(Global Positioning System), belati, bor tanah, linggis, monolith, flakon, toples,
cooling box, plastik, kuisioner; perlengkapan untuk analisis laboratorium meliputi
botol timbang, erlenmeyer, flakon, tabung reaksi, oven, petridish, gelas ukur,
tabung reaksi, mikropipet, tip, autoklaf, dan lain-lain. Bahan yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu sampel tanah dan khemikalia untuk analisis
laboratorium yang meliputi aquadest, KOH, BaCl2, indikator Mo, indikator PP,
garam fisiologi, amonium asetat, alkohol, HCl 0,1 N, larutan Bray I, amonium
molybdat, potato dextrose agar.

C. Perancangan Penelitian
Penelitian merupakan penelitian deskriptif eksploratif melalui survei
lapangan. Metode penelitian deskriptif eksploratif yaitu metode penelitian yang
berusaha menyampaikan atau menggambarkan keadaan apa adanya di lapang
secara mendalam dengan mengambil sampel di lapang dan didukung dengan
analisis di laboratorium.

9
10

D. Teknik Penentuan Sampel


Penentuan titik sampel tanah dilakukan secara sengaja (purposive
sampling). Titik pengamatan, pengukuran dan pengambilan sampel tanah
ditetapkan secara stratified random sampling berdasar pendekatan karakteristik
kimia, fisika dan biologi yang terdapat dilahan sawah Kabupaten Pati yang
memiliki kesamaan atau kemiripan: penggunaan lahan, curah hujan, kemiringan
lereng, dan jenis tanah.
1. Penggunaan lahan, diidentifikasi dari peta penggunaan lahan.
2. Curah hujan, diidentifikasi dari peta curah hujan.
3. Kemiringan lereng, diidentifikasi dari peta kemiringan lereng.
4. Jenis tanah, diidentifikasi dari peta jenis tanah.
Penentuan sampel yang dilakukan dengan mengoverlay keempat jenis peta
tersebut di atas sehingga akan didapatkan titik-titik lokasi pengambilan sampel
tanah sejumlah 12 titik sampel yaitu Wegil, Tayukulon, Karangkonang, Baleadi,
Payang, Pohgading, Wonorejo, Pundenrejo, Trimulyo, Bumiayu, Tambakromo,
dan Winong. Titik koordinat masing-masing titik sampel dapat dilihat pada hasil
dan pembahasan (Halaman 14).

E. Jenis dan Sumber Data


Jenis data yang digunakan pada penelitian ini meliputi data primer dan
data sekunder.
1. Data primer: pengamatan sifat fisika, kimia, dan biologi tanah lahan sawah,
serta wawancara secara lagsung kepada petani.
2. Data sekunder: kondisi wilayah dan aspek pengelolaan tanah yang meliputi:
a. Curah hujan
b. Kemiringan lereng
c. Jenis tanah
d. Penggunaan lahan
11

F. Teknik Pengumpulan Data


1. Data Primer
Indikator fisika, kimia, dan biologi tanah pada masing-masing titik
sampel dianalisis di laboratorium dengan indikator fisika, kimia dan biologi
tanah yang dianalisis yaitu:
Tabel 1.Variabel pengamatan kualitas tanah
No Indikator Metode
Metode Tinggi Air Konstan/
Sifat Fisik Constant Head Method (Balai
1. Permeabilitas Tanah
Tanah Besar Litbang Sumberdaya
Lahan Pertanian 2006).
pH Tanah Elektrometrik
Kjeldal (Balai Penelitian
N-total Tanah
Tanah 2005).
Metode Bray I (Balai
P-tersedia Tanah
Penelitian Tanah 2005).
Sifat Metode Flamefotometri
2. Kimia K-tersedia Tanah (Balai Penelitian Tanah
Tanah 2005).
Metode Penjenuhan
Kapasitas Tukar Kation ammonium asetat (Rhoades
1982).
Walkey dan Black (Walkey
Bahan Organik Tanah
dan Black 1934).
Sifat
3. Respirasi tanah
Biologi Soil Quality Institute (2004)
Tanah
12

2. Data Sekunder
Data sekunder yang diperlukan pada penelitian ini berupa data kondisi
wilayah serta aspek pengelolaan tanah pada lahan sawah. Teknik pengumpulan
data sekunder pada penelitian ini dengan mengumpulkan data dari beberapa
instansi terkait.
Tabel 2. Kondisi wilayah dan aspek pengelolaan tanah lahan sawah
Data kondisi wilayah dan aspek
No. Sumber Data
pengelolaan tanah lahan sawah
1. Peta curah hujan abuzadan.staff.uns.ac.id
2. Peta kemiringan lereng erfan1977.wordpress.com
3. Peta jenis tanah erfan1977.wordpress.com
4. Peta penggunaan lahan erfan1977.wordpress.com

G. Metode Analisis Data


Metode analisis data yang digunakan dalam menentukan indikator
kualitas tanah (kimia, fisika dan biologi) ditetapkan berdasarkan sifat minimal
yang paling berpengaruh dalam menentukan kualitas tanah atau dengan Minimum
Data Set (MDS). Minimum Data Set (MDS) diperoleh dengan menggunakan
perhitungan Principal Components Analysis (PCA) dengan menggunakan
software Minitab 16. PCA (Principal Components Analysis) adalah suatu metode
ekstraksi ciri atau pengkompresian data yang mampu mengidentifikasikan ciri
tertentu yang merupakan karakteristik suatu citra. Metode PCA (Principal
Components Analysis) digunakan untuk memilih indikator paling tepat yang akan
menghasilkan data-data yang disebut principal component (PC) (Paz-Kagan et al.
2014; Navas et al. 2011). Analisis PC akan menghasilkan Minimum Data Set
(MDS) (Supriyadi et al. 2014). PC yang digunakan sebagai MDS yaitu PC dengan
nilai eigen>1 dan dalam setiap PC hanya dipilih satu faktor yang sangat berbobot
(Li et al. 2013; Liu et al. 2015). Nilai dari indikator terpilih pada tiap PC ini
dikalikan dengan skoring masing-masing indikator terpilih untuk menentukan
nilai indeks kualitas tanah di setiap titik sampel pada lokasi penelitian.
Indikator yang telah terpilih tersebut, selanjutnya digunakan untuk
menghitung IKT (Indeks Kualitas Tanah). Liu et al. (2014) menyatakan bahwa
IKT (Indeks Kualitas Tanah) dapat dihitung menggunakan rumus:
13

Keterangan:
IKT = Indeks Kualitas Tanah
Si = Skor indikator tanah terpilih dalam Minimum Data Set (MDS)
N = Jumlah indikator dalam Minimum Data Set (MDS)
Wi = Weight of each indicator (Indeks bobot)

Nilai IKT (Indeks Kualitas Tanah) yang telah dianalisis tersebut


kemudian dapat dikelaskan berdasarkan kelas kualitas tanah. Untuk dapat
dikelaskan maka nilai IKT tersebut dilakukan perhitungan dengan rumus berikut:

IKT =

Kelas kualitas tanah terbagi menjadi lima kelas, berikut ini adala tabel
kelas kualitas tanah (Cantu et al. 2007).
Tabel 3. Kelas kualitas tanah
Kualitas Tanah Skala Kelas
Sangat Baik (SB) 0,80 – 1 1
Baik (B) 0,60 – 0,79 2
Sedang (S) 0,35 – 0,59 3
Rendah (R) 0,20 – 0,34 4
Sangat Rendah (SR) 0 – 0,19 5

Anda mungkin juga menyukai