Anda di halaman 1dari 29

TINJAUAN PUSTAKA

Tatalaksana Stroke

OLEH :

Ahia Zakira Rosmala


H1A 013 003

PEMBIMBING :

dr.Rohadi, Sp.BS

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
RSU PROVINSI NTB
MATARAM
2017
Tatalaksana Stroke

Pendahuluan
Stroke atau infark serebral atau disebut cerebrovascular accident (CVA) merupakan
penyebab kematian kedua terbanyak di dunia. Stroke didefinisikan secara klinis oleh World
Health Organization (WHO) sebagai gangguan fokal serebral yang berkembang secara cepat dan
menyebabkan kematian. Stroke dibagi menjadi dua yaitu, stroke iskemik dan stroke hemoragik.
Stroke iskemik atau infark serebral adalah kasus yang paling sering terjadi yaitu 70% - 80% dari
total kasus stroke. Intracranial hemorrhage (ICH) spontan memiliki persentase sekitar 20% dari
total kasus stroke, namun sering menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas pada stroke. Stroke
hemoragik terbagi menjadi dua tipe yaitu ICH dan subarahchnoid hemorrhage (SAH). Kematian
neuron terjadi dalam waktu 2 – 3 menit. Pada banyak kasus stroke, terdapat penumbra yang
mampu bertahan dalam jangka waktu tertentu melalui perfusi suboptimal. Tujuan dari
tatalaksana stroke adalah untuk mencegah terjadinya gangguan neurologi lebih lanjut dan
kejadian berulang.3,5,9

Tatalaksana Stroke
Edukasi telah diberikan ke masyarakat sebelum tahun 2008, tentang 5 suddens of stroke,
tiba – tiba lemas, tiba – tiba kesulitan berbicara, tiba – tiba kehilangan penglihatan, tiba – tiba
pusing, dan tiba – tiba sakit kepala berat. Face, Arm, Speech, dan Time (FAST) juga diberikan ke
masyarakat. Satu atau lebih kelemahan pada muka, kelemahan pada tangan, dan kesulitan
berbicara terjadi sekitar 88% dari total kasus stroke. Pada satu penelitian, 100% individu
mengingat tiga bulan setelah edukasi tersebut, bahwa wajah terkulai, bicara yang tidak jelas dan
98% mengingat kelemahan pada tangan merupakan tanda – tanda stroke. Apabila menemukan
pasien dengan tanda – tanda tersebut segera hubungi nomer darurat fasilitas rumah sakit
terdekat.4

Evaluasi awal pada stroke adalah mengetahui riwayat kapan terakhir kali pasien terlihat
normal, gejala klinis, dan melengkapi National Institute of Health (NIH) Stroke Scale. CT scan
tanpa kontras harus segera dikerjakan untuk melihat apakah terjadi perdarahan (intraparenkim
atau SAH), hematoma, iskemik, infark yang sudah lama atau lesi lainnya.5
Prehospital Management1
Tatalaksana ICH sebelum di rumah sakit hampir sama dengan tatalaksana stroke iskemik
akut seperti yang tertera dalam panduan American Heart Association (AHA). Emergency
Medical Services (EMS) harus dapat menyediakan segala keperluan untuk mempertahankan
jalan napas, menyokong kebutuhan jantung dan pembuluh darah, dan membawa pasien ke
fasilitas terdekat untuk mengobati pasien dengan stroke akut. Selanjutnya, fokus EMS adalah
mengetahui waktu munculnya gejala atau kapan terakhir kali pasien terlihat normal, informasi
tentang riwayat medis pasien, penggunaan obat – obatan, dan informasi kontak keluarga. EMS
harus segera mengabari Emergency Departement (ED) sehingga tatalaksana dini dapat segera
dilakukan setibanya di unit gawat darurat.

ED Management1
Setiap unit gawat darurat harus segera menyiapkan memberikan terapi pada pasien ICH
atau memiliki rencana untuk segera merujuk pasien ke fasilitas rumah sakit tersier. Dalam
mengatasi pasien ICH dibutuhkan dokter dan perawat yang sudah terlatih. Konsultan harus
segera dihubungi secepat mungkin.

Pemeriksaan Penunjang
Sulit untuk mengetahui apakah gejala yang muncul disebabkan oleh iskemik atau
hemoragik bila hanya berdasarkan karakteristik gejala saja. Muntah, tekanan sistolik lebih dari
220 mmHg, sakit kepala berat, penurunan kesadaran atau koma, dan perkembangan gejala menit
hingga jam, semua merupakan indikasi terjadinya ICH, meskipun tidak ada temuan spesifik,
sehingga dibutuhkan neuroimaging. MRI atau CT scan harus segera dikerjakan untuk evaluasi
dini. CT scan merupakan modalitas yang sensitif untuk identifikasi hemoragik akut dan dijadikan
sebagai pemeriksaan “gold standard” pada stroke. Hasil dari CT scan kontras dan CT
Angiography (CTA) juga dapat mengidentifikasi pasien dengan faktor resiko tinggi terjadi
perluasan ICH, yang disebut sebagai spot sign.1
Tabel 1. Komponen Integral Riwayat Penyakit, Pemeriksaan Fisik, dan Workup Pasien ICH di
Unit Gawat Darurat
Riwayat Penyakit
- Onset penyakit
- Gejala awal dan perkembangan
gejala
- Faktor resiko vaskular - Riwayat stroke atau ICH,
hipertensi, diabetes, dan
merokok.
- Obat – obatan - Antikoagulan, antiplatelet,
antihipertensi, simpatomimetik,
dan obat diet.
- Riwayat trauma atau operasi - Endarterektomi carotid atau
stenting
- Demensia - Berhubungan dengan amyloid
angiopathy
- Konsumsi alkohol - Kokain dan obat
simpatomimetik
- Kejang
- Penyakit hati - Berhubungan dengan
koagulopati
- Kanker atau gangguan - Berhubungan dengan
hematologi koagulopati
Pemeriksaan Fisik
- Tanda – tanda vital
- Head to toe
- Pemeriksaan neurologis - Pemeriksaan terstruktur seperti
National Institute of Health
Stroke Scale atau pemeriksaan
GCS
Pemeriksaan Serum dan Urin
- Darah lengkap, elektrolit,
ureum dan kreatinin, serta
glukosa
- PTT dan APTT
- Troponin
- Toksikologi untuk deteksi
kokain dan obat lainnya
- Urinalisis dan kultur urin
Pemeriksaan Rutin
- Neuroimaging - MRI atau CT scan dengan
kontras
- EKG

American Heart Association 2015

Waktu pemberian terapi:


- Dalam 4 – 5 jam onset gejala
o Pasien dapat diberikan Tissue Plasminogen Activator (tPA) melalaui intravena
o Gagal respon pemberian intravena tPA namun memiliki derajat klinis NIHSS
yang bagus, maka dapat diberikan tPA melalui intraarteri atau mechanical
embolectomy/clot disruption. Kontraindikasi pemberian tPA adalah, ICH,
gejala klinis SAH walaupun negatif pada CT, intracranial aneurysm atau
AVM, perdarahan aktif internal, dan perdarahan diathesis seperti penggunaan
antikoagulan atau penggunaan heparin 48 jam dan platelet <100.000/mm3.
- 4.5 – 6 jam setelah gejala
o Intraarterial tPA
o Mechanical embolectomy/clot disruption
- 6 – 8 jam, cek perfusi dengan CTP atau MRI-DWI sebelum mechanical embolectomy.
Kontraindikasi embolectomy, apabila stroke dengan distribusi >1/3 MCA (faktor
resiko ICH dengan perfusi).
Tatalaksana Stroke Iskemik
Pada stroke iskemik terdapat gangguan neuron dan glia karena kekurangan darah akibat
sumbatan arteri menuju otak atau perfusi otak yang tidak adekuat. Sumbatan dapat disebabkan
oleh dua hal yaitu, trombosis dan emboli. Stroke iskemik atau infark serebral memiliki patologi
primer ruptur vaskular dan ekstravasasi darah di jaringan sekitarnya. Infark serebral paling sering
terjadi di Middle Cerebral Arteri (MCA). Edema malignan menyebabkan peningkatan tekanan
intrakranial (TIK) lebih awal dan subsequent brain herniation juga kematian.3,6,7

Hasil CT scan biasanya memperlihatkan pembuluh darah cerebral dimana yang paling
sering adalah MCA dengan densitas tinggi, mengindikasikan terjadinya klot intraarteri (thrombus
atau embolus). Terapi medis pada stroke iskemik adalah pemberian trombolisis, antikoagulasi,
manitol, hiperventilasi, dan salin hipertonik. Semua terapi tersebut, belum ada yang dapat
mencegah herniasi otak dan membuat kondisi pasien menjadi lebih baik.3

- Decompressive Craniectomy
Pada tahun 1908, Harvey Cushing menyadari pentingnya dekompresi tidak hanya
untuk masa seperti hematoma, namun dekompresi juga dapat digunakan untuk gejala
peningkatan TIK skunder akibat edema serebral. Decompression Craniectomy (DC) telah
digunakan untuk kondisi di mana masa edema memberikan dampak yang mengancam
nyawa seperti, hematoma akut, cedera otak traumatis, dan infark. Dalam penatalaksanaan
stroke, DC juga digunakan untuk meningkatkan survival dari large Middle Cerebral
Artery (MCA) dan stroke serebelum.2

Gambar 1. Infark MCA3


Sindrom terlihat jelas dan terjadi 10% dari total kasus stroke, yang membawa
pada angka kematian hingga 80%. Umumnya paling sering karena postischemic cerebral
edema yang berat, terjadinya peningkatan TIK, kemudian herniasi. Pada pasien, biasanya
ditemukan stroke hemisfer berat, yaitu hemiplegia, forced eye dan deviasi kepala
bersamaan dengan temuan infark pada CT scan dalam 12 jam pertama. Terdapat
perburukan kondisi dalam 2 hari pertama dan subsequent transtentorial herniation dalam
2 – 4 hari stroke. Kondisi fatal seringnya ditemani dengan gejala mengantuk berat, dense
hemiplegia, usia lebih dari 45 tahun – 50 tahun, hipodens parenkim lebih dari 50%
distribusi MCA pada CT scan, midline shift lebih dari 8 – 10 mm, dan arteri hiperdens.
Spesialis bedah saraf dapat menangani kasus seperti ini, karena penanganan yang cepat
dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas.5

Beberapa pilihannya adalah:5


- Mengontrol TIK baik itu dengan ICP monitor atau tidak
- Penggunaan medika mentosa seperti manitol (namun penggunaan medika mentosa
belum dapat meningkatkan perbaikan kondisi pasien)
- Hemicraniectomy (DC). Beberapa penelitian menyatakan hemicraniectomy yang
dilakukan dalam waktu 48 jam setelah munculnya gejala stroke, dapat menurunkan
angka mortalitas. Indikasinya adalah:
o Usia kurang dari 70 tahun
o Nondominan hemisfer (biasanya kanan)
o Secara klinis dan CT scan, terdapat bukti akut, infark MCA, serta
pembengkakan hemisfer otak yang berat.

DC merupakan terapi dengan pengangkatan large bone flap, ipsilateral dari sisi
infark (hemicraniectomy) diikuti rekonstruksi dura dengan bantuan flap yang diambil dari
fasia temporal atau dengan graft yang tersedia (duroplasty). Operasi lainnya yang dapat
dilakukan untuk tatalaksana stroke iskemik akut adalah embolektomi, carotid
endartrectomy, stenting, dan revaskularisasi emergensi. The National Institute of
Neurological Disorders and Strokes (NINDS) terapi trombolitik dengan pemberian
intravena recombinant tissue plasminogen activator (t-PA), efektif dalam meningkatkan
prognosis pasien dengan infark serebral akut dalam tiga jam setelah onset.3

- Carotid Endartrectomy (CEA)

Gambar 2. Arteri Karotis


Operasi arteri karotis dapat menurunkan faktor resiko terjadinya stroke bila
dibandingkan dengan terapi obat saja. Operasi arteri karotis digunakan pada pasien
dengan oklusi akut karotis dan stroke. Kontraindikasi endartrektomi karotis adalah faktor
resiko yang dapat terjadi karena anastesi dan infark parenkim yang luas. Operasi arteri
karotis juga membantu mencegah terjadinya subsequent brain ischaemic skunder dari
insufisiensi hemodinamis, emboli arteri dan trombolisis. Stenosis berulang terjadi 5% -
10% per tahun setelah operasi namun tidak selalu memberikan gejala. Mortalitas terjadi
kurang dari 2% dan resiko stroke kurang dari 4%.3

Gambar 3. Posisi CEA Kiri. Insisi linear anterior sternokleidomastoid.11


Posisi pasien pada meja operasi adalah supinasi dengan kepala ekstensi dan
menghadap arah berlawanan dari sisi yang akan dioperasi. Pembuluh karotis berada di
anteroposterior, sehingga rotasi sedang dari kepala akan membuat ICA menjadi lebih
mudah untuk diakses saat operasi. Pada pasien yang dengan angiography dapat
memperlihatkan ICA, maka rotasi kepala tidak terlalu dibutuhkan. Biasanya ICA berada
di posisi rotasi medial dibawah ECA (terkadang disebut “twisted” atau konfigurasi
karotis side by side). Oleh karena itu, ECA harus diesktensikan dan diputar medial agar
ICA dapat terlihat. Kulit dan subkutan dibagi tajam hingga platisma dan hemostasis
dipertahankan dengan electrocautery. Jika diberikan perhatian penuh pada setiap titik
perdarahan, maka perdarahan dapat diminimalisir atau bahkan tidak ada sama sekali saat
diberikan heparin dan nantinya mempermudah penutupan.11
Retraktor ditempatkan dan dipertahankan pada jaringan lemak yang telah
terdiseksi hingga tepi anterior dari sternokleidomastoid dapat terlihat. Diseksi dilanjutkan
pada bagian medial sternokleidomastoid hingga ditemukan vena jugular. Vena jugular
ditahan menggunakan retraktor tumpul agar mencegah terjadinya cedera vaskular.
Beberapa vena kecil dan satu vena besar facial terlihat sehingga harus diligasi dan
dibagi.11

Gambar 4. Vena jugular dibelakang vena facial. Karotis belum terlihat.11


Arteri karotis baru dapat terlihat saat vena jugular telah diretraksi. Biasanya yang
lebih dulu sering ditemukan adalah CCA. CCA dan ECA tidak dilakukan diseksi
sepenuhnya dari tempatnya untuk mencegah terjadinya kinking dan coiling pada
pembuluh setelah operasi. Selanjutnya, penting untuk mendapatkan tampakan ICA yang
adekuat dan mengontrol sisi distal dari plak sebelum membuka pembuluh. Ekstensi dari
plak dapat teraba oleh jari yang sudah berpengalaman. Dari segi visual, pembuluh tampak
pinker daripada kuning. Saat exposure komplit, langkah terakhir preparasi cross-
clamping adalah memastikan shunt clamp dapat ditempatkan di sekitar ICA. Shunt yang
digunakan adalah loftus carotid shunt clamp. Instrumen lainnya yang digunakan adalah
pen steril untuk member tanda garis arteriotomi pada pembuluh. Arteriotomi dibuat di
permukaan anterior ICA.11

Gambar 5. Loftus Carotid Shunt Clamp.11

Gambar 6. Karotis telah dilakukan diseksi dan arteriotomi telah diberi tanda dengan pen
steril. Pada kuadran kiri atas, nervus hipoglossus telah terdiseksi dan diisolasi
menggunaka vessel loop. Karotis eksternal dan arteri tiroid superior diikat dengan benang
silk. Sisi kiri arteri karotis interna yang terdapat plak di dalamnya juga diikat
menggunakan benang silk.11
Gambar 7. Setelah pembuluh terbuka, plak dapat dilihat dengan baik dengan cara
membalik tepi arteri menggunakan forcep vaskular.11
Dengan atau tanpa shunt, diseksi plak dari dinding arteri dilakukan dengan freer
elevator. Vaskular pickup digunakan untuk menahan dinding arteri, dan freer elevator
dipindahkan dari sisi ke sisi dinding lateral ateriotomy. Diseksi plak dilakukan pada sisi
medial CCA menggunakan gunting church. Selanjutnya, fokus untuk diseksi plak dari
ICA secara lateral baru kemudian medial, dan plak dilepaskan perlahan dari ICA. Fokus
terakhir adalah melepaskan plak dari ECA dengan beberapa traksi pada plak, ECA
dibalik sehingga plak dapat terdiseksi sejauh mungkin. Hal tersebut dapat difasilitasi
dengan mendorong arteri external distal proksimal dengan klam atau forcep.

Gambar 8. Fokus pada ECA. Plak diangkat secara gentle menggunakan hemostat dan
traksi.11
Gambar 9. Hemashield patch ditempatkan pada kedua ujung arteriotomy dengan double
armed prolene 6-0.11
Tatalaksana setelah operasi CEA:5
- Monitor pasien di ICU
- Jaga kondisi pasien hidrasi yang baik
- Tekanan darah sistolik 110 – 150 mmHg
o Tekanan darah biasanya berubah – ubah pada 24 jam pertama setelah operasi,
yang bisa terjadi karena tekanan baru pada karotis
o Hipotensi
 Cek EKG
 Bila hipotensi sedang, berikan cairan kristaloid atau koloid
 Phenylephrine untuk hipotensi resistant
o Hipertensi, terapi pilihan yang diberikan adalah nicardipine
Hindari penggunaan antiplatelet pada 24 – 48 jam setelah operasi

- Angioplasty/Stenting
Indikasi:5
- Kelainan jantung dan vaskular yang berat
o Gagal jantung kongestif atau disfungsi berat ventrikel kiri
o Operasi jantung dibutuhkan dalam waktu 6 minggu
o Infark miokardial (<24 jam dan >4minggu)
o Unstable angina
o Oklusi karotis kontralateral
- Kondisi khusus, beberapa di antaranya adalah:
o Contralateral laryngeal nerve palsy
o Terapi radiasi leher
o Riwayat CEA dengan recurrent restenosis
o Penyakit paru berat
o Usia >80 tahun

Dalam eliminasi gejala iskemik atau untuk mencegah terjadinya iskemik


berulang, pilihan terapi yang dapat dilakukan adalah bypass surgery. Beberapa
pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah, laboratorium dimana indikasi dilakukan pada
penyakit moyamoya dengan stroke penyebab yang tidak jelas, profil hiperkoagulabilitas
dapat membantu. Abnormalitas signifikan stroke iskemik seperti, protein C, protein S,
antithrombin III, hemosistein, dan factor V leiden. Pemeriksaan seperti, cerebral
angiography menjadi standar pemeriksaan.11

Penyakit Moyamoya adalah penyakit kronis yaitu terjadi oklusi serebrovaskular,


di bagian terminal intrakranial arteri karotis internal dan segmen awal dari arteri serebral
tengah dan anterior, sehingga terjadi penyumbatan atau penyempitan. Oleh karena itu
produksi aliran darah ke otak berkurang, dan pembuluh darah kecil di otak membesar
menjadi collateral pathway. Pembuluh darah tersebut, dikenal sebagai pembuluh
moyamoya, karena pada gambaran angiography pembuluh darah membentuk gambaran
awan atau puff dari asap rokok, yang dalam bahasa Jepang disebut moyamoya yang juga
memiliki arti gambaran kabur atau ide yang tidak jelas tentang sesuatu. Kudo
menamakan moyamoya sebagai oklusi spontan pada circle of Willis.11

Tanda dan gejala moyamoya adalah iskemik otak dan perdarahan. Gejala awal
moyamoya baik itu pada juvenile (<15 tahun) dan usia tua, seringnya adalah gangguan
motorik. Pada penelitian Jepang, onset moyamoya pada usia tua disertai dengan ICH
(43%) dan gejala iskemik otak, seperti gangguan motorik, mental dan fisik (20%).
Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan adalah MRI dan MRA. Infark akut dapat
dideteksi dengan diffusion-weighted, sedangkan infark kronis menggunakan T1 dan T2
weighted-imaging. Hilangnya aliran darah kortikal karena moyamoya dapat ditunjukkan
dengan gambaran fluid-attenuated inversion recovery (FLAIR) menunjukkan tanda linier
tinggi yang mengikuti pola sulcal, yang disebut “ivy sign”. Temuan sugestif moyamoya
pada MRI adalah berkurangnya flow void di internal, tengah, dan anterior dari rteri
serebral disertai penonjolan flow void melalui ganglia basalis dan thalamus. Temuan ini
dapat menjadi tanda diagnostik moyamoya, dan juga disebut "the sign of termite nest."

Gambar 2. Moyamoya.

Suzuki dan takaku, serta Fukuyama dan Umezu membuat enam tahap moyamoya:

- Tahap 1: narrowing of carotid fork


- Tahap 2: inisiasi pembuluh moyamoya dan dilatasi arteri serebral
- Tahap 3 3: intensifikasi pembuluh moyamoya, nonfilling arteri serebral middle dan
anterior
o Tahap 3a: nonfilling parsial
o Tahap 3b: partial preservation
o Tahap 3c: complete lack
- Tahap 4: minimisasi pembuluh moyamoya, hilangnya arteri serebral posterior
- Tahap 5: reduksi pembuluh moyamoya, hilangnya arteri yang berasal dari arteri
karotis interna
- Tahap 6: hilang total pembuluh moyamoya.
Pada stadium akut, pengobatannya sama dengan infark serebral atau perdarahan
spontan intraserebral akibat etiologi lainnya. Pada perdarahan ventrikel, operasi drainase
ventrikel eksternal dikerjakan apabila pasien berada dalam evolusi akut dengan tanda
peningkatan TIK. Pada ICH, indikasi tatalaksana awal medis bila total perdarahan <25
cc. Apabila total volume perdarahan >25 cc, disertai dengan topografi lobar, dan
menunjukkan efek masa pada struktur midline, maka operasi evakuasi perdarahan dapat
dilakukan. Bypass surgery pada stadium akut penyakit ini tidak diindikasikan.11

Anastomosis vaskular dibagi menjadi direct dan indirect. Pada anastomosis


direct, diseksi STA dan dilakukan anastomosis MCA pada permukaan otak. Teknik
bedah ini menghasilkan cerebral blood flow (CBF) yang tinggi segera setelah operasi.
Namun, diameter arteri kortikal sangat kecil, sedangkan teknik anastomik yang baik
membutuhkan diameter arteri kortikal setidaknya berukuran 1 mm. Pada penyakit
moyamoya, biasanya kedua hemisfer serebral mengalami iskemik sehingga operasi
bypass dilakukan bilateral. Operasi pertama dilakukan pada hemisfer yang lebih iskemik,
kemudian 2 atau 3 bulan setelahnya dilakukan pada sisi lainnya. Terdapat banyak teknik
anastomosis indirect dengan teknik yang sering digunakan adalah Encephalo-duro-
arterio-synangiosis (EDAS) dan Encephalo-myo-synangiosis (EMS) yang akan
dijelaskan selanjutnya.11

Donor pembuluh darah harus ditentukan dengan diameter eksternal tidak lebih
kecil dari 1 mm karena diameter pembuluh darah yang lebih kecil, memiliki
kemungkinan tinggi untuk terjadinya oklusi, tidak berguna dan membuat anastomosis
menjadi lebih sulit. Posisi kepala pasien berputar ke arah kontralateral dan sisi temporal
menghadap ke lantai dan dipertahankan dengan head holder.11
Gambar 2. Posisi Kepala.11

- Direct bypass surgery


Superficial Temporal Artery (STA) – Middle Cerebral Artery (MTA)
Bypass pertama STA-MCA dilakukan sebagai terapi untuk moyamoya atau
iskemik vaskular serebral lainnya. Setelah semua persiapan operasi sudah siap, insisi
dilakukan mulai dari zigoma dengan scalpel ukuran 15, STA terlihat dan skeletonized
dengan diseksi halus, keduanya dengan scalpel dan gunting. Cabang dari frontal atau
parietal digunakan, tergantung yang mana yang memiliki panjang dan diameter lebih
luas. Jaringan kolagen di sekitar arteri dapat digunakan untuk menghindari cedera,
mengurangi vasospasme arteri, dan memudahkan dokter untuk handle pembuluh darah
tanpa membuat kerusakan pada dinding arteri. Panjang arteri diperlukan tergantung jarak
antara sisi awal STA menuju sisi bypass. Arteri dipisahkan dan terlindungi. Selanjutnya,
superomedial temporal craniotomy dengan diameter minimal 4 cm dibuat menyebrang
atau melewati anteroposterior rejection fisura sylvian.11
Gambar 3. Anastomosis11
Lapisan duramater terbuka mengikuti craniotomy dan mikroskop untuk
mendeteksi arteri resipien, dengan diameter outer ideal berukuran 1 mm atau lebih.
Pembuluh darah resipien dapat terlihat menggunakan diseksi meticulous mebran
arachnoid, dengan panjang 6 – 10 mm mengikuti arteri. Plastik kecil ditempatkan
dibawah cabang MCA yang terpilih, sehingga dapat memudahkan operasi. Dibawah
mikroskop, anastomosis dilakukan menggunakan jahit monofilamen 10-0. Jahitan
pertama dilakukan di ujung dari insisi dan lima jahitan pada tepi dinding distal.
Selanjutnya diulangi kembali lima jahitan pada dinding terdekat. Intima selalu dilibatkan
untuk menghindari peningkatan tekanan pada jahitan. Aspirin diberikan sebagai terapi
platelet antiaggregant.11

Anastomosis pathway terdapat tiga kolateral untuk suplay ke otak yaitu,


ekstrakranial-intrakranial anastomosis, circle of willis, dan leptomeninges. Ekstrakranial
– intrakranial anastomosis yaitu potensial anastomosis antara arteri karotis eksterna dan
arteri karotis interna atau arteri vertebra. Anastomosis tersebut memiliki peran pada
penyakit oklusi serebrovaskular.12
- Common carotid artery – vertebra artery bypass12

Gambar 10. Membagi scapula Gambar 11. Membagi ramus


levator. Vagus, vena jugular anterior untuk melihat arteri
interna, dan arteri karotis interna vertebra.
berada anterior dari otot.

Gambar 12. Setelah pleksus vena Gambar 13. Komplit bypass CCA
vertebra dilakukan diseksi, arteri dan arteri vertebra menggunakan
vertebra ditahan menggunakan vena saphena.
polymeric silicone untuk clamping
dan anastomosis.
- External carotid artery – vertebra artery transposition12

Gambar 14. ECA diputar


sedemikian rupa melalui ICA dan
dibawah vena jugular untuk
anastomosis dengan arteri vertebra.
Setelah itu, arteri vertebra
disumbat dengan clip persis
dibawah anastomosis.

- Internal carotid artery – vertebra artery transposition12

Gambar 15. Straightforwarded


anastomosis ICA dengan arteri
vertebra

- Indirect bypass surgery


Encephalo-Duro-Arterio-Synangiosis (EDAS)
Gambar 4. EDAS. A: dura terbuka. B: Jahitan STA dengan tepi galea ke tepi dura.11

EDAS merupakan alternatif dari STA-MCA bypass. Insisi dilakukan di muskulus


temporalis. Craniotomy bikonveks dikerjakan dengan membuat dua lubang menggunakan
drill automatic dan secara langsung sisi craniotomy mengarahkan letak STA. Beberapa
peneliti menyarankan untuk membuat lubang kecil pada duramater dan pia-arachnoid
sebagai penghubung antara STA dan korteks serebral.11
Selanjutnya, jaringan ikat di sekitar STA dijahit menuju duramater dengan benang
monofilamen. Papaverine topikal digunakan untuk mencegah vasospasme dan Doppler
digunakan saat craniotomy telah direposisi untuk memastikan terdapat aliran distal
adekuat melalui arteri. Setelah fiksasi craniotomy, muskulus temporalis, galea, dan kulit
dijahit kembali.11

- Encephalo-Myo-Synangiosis (EMS)

Gambar 5. EMS. Flap muskulus


temporalis dijahit pada tepi dura
dan temporari superfisial STA-
MCA anastomosis.11

Flap dari muskulus temporalis dijahit menuju tepi dural sehingga posisi muskulus
lebih dekat pada permukaan otak. Seperti pada STA, dilakukan craniotomy
frontotemporal dan arachnoid terbuka selebar mungkin. Selanjutnya, tepi duramater
dijahit menuju tepi flap otot. Neovaskularisasi terjadi di otot menuju parenkim otak,
sehingga aliran darah kolateral lebih banyak menuju otak.11
- EDAS plus Encephalo-Galeo-Synangiosis (EGS)

Gambar 6. EDAS dan EGS.11

Operasi dilakukan dua kali, awalnya dilakukan di tempat yang hemodinamis


mempengaruhi hemisfer serebral, dengan jarak waktu antara prosedur yang pertama dan
kedua sekitar 6 hingga 8 bulan. Untuk lebih mengurangi sirkulasi kolateral di arteri
serebral anterior, dilakukan EDAS dan EGS di region bifrontal. Scalp diinsisi dua kali,
pertama untuk EDAS dan kedua EGS. Pada sisi EGS, insisi membentuk huruf S
sepanjang 2 cm dari anterior menuju corona. Lalu, diseksi dan insisi galea dan atau
periosteum dibuat membentuk huruf S Roman dengan arah anteroposterior seperti
zigzag.11
Craniotomy dikerjakan dengan panjang 4 – 8 cm, melewati sinus superior
longitudinal. Selanjutnya, insisi duramater pada kedua hemisfer dengan dua flap berbeda.
Lapisan arachnoid disingkirkan agar dasar otak dapat terlihat. Flap galeal dan atau
periosteum, terlapis pada korteks serebral dan dimasukkan sedalam mungkin di fisura
interhemisfer, menjahitnya ke duramater. Akhirnya, craniotomy selesai dilakukan, dan
kulit serta galea ditutup kembali.11

Tatalaksana Stroke Hemoragik


Intracerebral Hemorrhage
Intracerebral hemorrhage (ICH) adalah perdarahan yang terjadi pada parenkim otak.
ICH atau perdarahan intraserebral spontan yang bukan disebabkan oleh trauma, masih menjadi
penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Insiden ICH terjadi 12 hingga 15
kasus per 100.000 individu atau sekitar 40.000 kasus per tahun di United States.3,5,8 Faktor resiko
adalah: 5,11
- Usia. insiden meningkat signifikan setelah usia 55 tahun hingga usia lebih dari 80 tahun
- Jenis kelamin. ICH lebih sering dialami oleh laki – laki dibandingkan dengan wanita.
- Ras. Di United States, ICH lebih sering dialami oleh kulit hitam dibandingkan dengan
kulit putih
- Riwayat stroke sebelumnya, tipe apapun itu meningkatkan resiko dengan perbandingan
23:1
- Hipertensi
- Konsumsi alkohol
- Merokok. Meningkatkan resiko SAH dan infark iskemik namun tidak meningkatkan
resiko ICH (dibutuhkan klarifikasi lebih jauh)
- Street drugs: kokain, amfetamin, dan phencyclidinie
- Gangguan hati

Berdasarkan penyebabnya, ICH diklasifikasikan menjadi ICH primer dan skunder. ICH
primer dengan jumlah kasus sekitar 80% disebabkan oleh ruptur spontan pembuluh darah oleh
karena hipertensi kronik dan amyloid angiopathy. ICH skunder berhubungan dengan kelainan
vaskular, tumor, infark serebral atau gangguan koagulopati. Hipertensi kronis menyebabkan
perubahan degeneratif pada dinding dari penetrasi arteri, seperti arteri serebral posterior, middle,
dan anterior. Amyloid angiopathy, protein B-amyloid, materi acellular eosinophilic, yang
terdeposit pada korteks serebral dan leptomeninges, yang menyebabkan ICH primer pada white
matter lobus serebral, khususnya area parietal dan oksipital.11
ICH biasanya terjadi di white matter cerebral (10% - 20%), ganglia basalis, umumnya di
putamen, namun termasuk pula nucleus lenticular, kapsul interna, dan globus palidus (50%),
thalamus (15%), pons (10%-15%), brain-stem lainnya (1%-6%), dan serebelum (10%). ICH
lobus frontal menyebabkan sakit kepala bagian depan dengan hemiparesis kontralateral, biasanya
pada lengan dan kaki serta kelemahan pada wajah. ICH lobus parietal menyebabkan
hemisensoris kontralateral dengan hemiparesis. ICH lobus occipital memiliki gejala nyeri mata
ipsilateral dan contralateral homonymous hemianopsia.11

Intraventricular hemorrhage (IVH) terjadi pada 45% pasien dengan ICH spontan.
Kebanyakan IVH adalah skunder dan berhubungan dengan hipertensi hemorrhage melibatkan
ganglia basalis dan thalamus. Meskipun penggunaan Ventricular Catether (VC) secara teori
dapat drainage darah dan CSF, namun penggunaan VC saja tidak efektif karena sulitnya
mempertahankan patensi kateter dan dibutuhkan waktu yang lama untuk mengeluarkan darah
intraventrikular. Oleh karena itu banyak penelitian yang menggunakan trombolitik pada
pemasangan VC. Terdapat prosedur alternatif untuk IVH seperti, endoscopic surgical evacuation
dan ventrikulostomi, namun masih belum cukup bukti ilmiah untuk penggunaannya. Beberapa
penelitian menyatakan kemungkinan craniectomy pada peningkatan TIK yang disebabkan oleh
ICH.1

ICH lebih sering terjadi daripada sub-arachnoid hemorrhage (SAH). SAH sendiri tidak
memerlukan tatalaksana operasi, namun beberapa penyebab dan komplikasinya membutuhkan
operasi, seperti aneurisma, malformasi vascular, dan hidrosefalus atau edema malignan setelah
terjadinya SAH. Operasi dibutuhkan pada cerebral hematom apabila:3
- Terdapat fosa posterior yang menyempit
- Penekanan pada ventrikel empat sedang hingga berat
- Hidrosefalus atau
- GCS kurang dari 13

Panduan terbaru tatalaksana ICH di tahun 2015 mencakup diagnosis emergensi ICH,
hemostasis dan koagulopati, mengatasi tekanan darah, mengatasi peningkatan TIK,
Intraventricular Hemorrhage (IVH), peran dari operasi untuk menghilangkan klot, mencegah
terjadinya ICH berulang, dan rehabilitasi.1
ICH adalah kondisi kegawatdaruratan medis. Diagnosis cepat dan perhatian penuh dalam
mengatasi ICH sangat dibutuhkan oleh karena perburukan kondisi sering ditemukan pada
beberapa jam pertama setelah onset ICH. Lebih dari 20% pasien akan mengalami penurunan dua
atau lebih point Glasgow Coma Scale (GCS) saat Emergency Medical Services (EMS) sebelum
di rumah sakit dan saat evaluasi dini di Unit Gawat Darurat (UGD). Selanjutnya, 15% hingga
20% pasien mengalami perburukan kondisi lebih lanjut setelah satu jam pertama tiba di rumah
sakit.1

Terapi Medis ICH1:

- Kelainan hemostatik dapat menjadi penyebab terjadinya ICH. Pasien yang memiliki
resiko tersebut salah satunya adalah pengguna Oral Anticoagulant Drugs (OAC), agen
antiplatelet, defisiensi faktor koagulasi didapat dan kongenital, dan kelainan platelet.
Panduan bagi pasien ICH dengan faktor resiko OAC adalah konsumsi vitamin K
bersamaan dengan pemberian Fresh Frozen Plasma (FFP) yang telah menjadi terapi
pilihan di United States selama bertahun – tahun. Baru – baru ini terapi lainnya memiliki
potensi untuk digunakan seperti, Prothrombin Complex Concentrates (PCC), PCC
FEIBA (factor VIII inhibitor bypassing activity) aktif, dan Recombinant Activated Factor
VIIa (rFVIIa). Vitamin K diberikan melalui jalur intravena. PCC sebenarnya digunakan
untuk terapi hemophilia B. Tiga faktor yang terdapat di dalam PCC adalah faktor II, IX
dan X serta terdapat faktor keempat yaitu faktor VII. PCC dapat diberikan dengan
volume 20 ml hingga 40 ml dan digunakan untuk inactivate agen infeksius. Beberapa
terapi tersebut masih tetap dilakukan penelitian terkait keefektifan atau kegunaannya
masing – masing.
- Tatalaksana ICH di ICU adalah monitoring TIK, Cerebral Perfussion Pressure (CPP),
fungsi hemodinamik, terapi TIK, tekanan darah, ventilasi mekanik, demam, serum
glukosa, dan pencegahan komplikasi imobilitas, pertahankan jalan napas, dan mobilisasi.
- Terapi glukosa pada pasien ICH masih kontroversi. Nantinya, terapi optimal
hiperglikemia pada ICH dan target glukosa harus diklarifikasi. Kondisi hiperglikemi
maupun hipoglikemi harus dihindari.
- Terapi suhu pasien harus dilakukan karena demam menyebabkan perburukan kondisi
pasien dengan ICH.
- Frekuensi kejang muncul dalam satu minggu terjadinya ICH. Area kortikal yang terlibat
merupakan faktor resiko penting terjadinya kejang dini. Banyak penelitian yang
mengatakan obat profilaksis anti kejang, fenitoin, memiliki hubungan dengan
peningkatan disabilitas dan kematian pada ICH.
- Monitoring dan terapi TIK. Pada beberapa penelitian TIK biasanya tidak terlalu
meningkat selama monitoring dan pemasangan Ventricular Catether (VC). Pada kasus
biasanya, karena peningkatan TIK terjadi hidrosefalus dari intraventrikular hemorrhage
(IVH) atau efek masa dari hematoma, pasien dengan hematoma kecil dan IVH terbatas
tidak diberikan terapi untuk menurunkan TIK. Pasien dengan score GCS ≤8 dengan bukti
klinis terjadinya herniasi tentorial atau dengan IVH atau hidrosefalus, dapat dilakukan
monitoring dan terapi TIK. Peningkatan TIK pada ICH sebaiknya tidak diterapi dengan
pemberian kortikosteroid.

Operasi untuk pasien dengaan ICH spontan masih kontroversi. Alasan rasional
untuk dilakukannya operasi atau evakuasi hematom adalah mencegah terjadinya herniasi,
menurunkan TIK, dan mengurangi efek masa. Beberapa penelitian terbaru mengatakan
kemungkinan craniectomy yang membandingkan pengobatan konservatif dan operasi,
tidak memberikan keuntungan yang jelas pada pilihan operasi. Metode untuk evakuasi
perdarahan ada dua yaitu craniotomy/craniectomy dan invasif minimal yang terbagi
menjadi dua yaitu:3,10
o Blind Procedures
Aspirasi burr-hole dengan atau tanpa bantuan fibrinolisis dan stereotaxy.
o Neuroendoskopi
Neuroendoskopi merupakan metode yang lebih baik daripada stereotaxy dan
craniotomy untuk evakuasi ICH di ganglia basalis pada pasien yang tidak koma.
Setelah memasuki ventrikel tiga melalui foramen monro, pasien dengan
hidrosefalus akut diberi tindakan dengan membentuk ventrikulostomi tiga, diikuti
dengan dilatasi aqueduct of sylvius. Hematoma dievakuasi dengan dibilas
menggunakan saline. Drain ventrikular eksterna ditempatkan dan diberikan 6000
U urokinase 3 jam setelah operasi. Keunggulan endoskopi dibandingkan dengan
stereotaxy dan open craniotomy adalah waktu yang dibutuhkan dan sebagai terapi
hidrosefalus.11
Craniotomy

Craniotomy dapat dilakukan pada beberapa lokasi anatomi terjadinya ICH.


Evakuasi perdarahan pada ganglia basalis, evakuasi total dengan open craniotomy,
memberikan hasil yang lebih bagus bila dilakukan pada pasien dengan semikoma disertai
tanda herniasi. Berdasarkan letak anatomis, ICH thalamus sulit untuk dilakukan operasi.
Resiko tinggi dapat terjadi seperti, defisit neurologis dari lobus parietal, kapsul interna,
dan transcallosal transventricular. Penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan
antara operasi dengan terapi obat pada ICH thalamus, begitu pula pada pontine
hematom.11

- Perdarahan supratentorial
Penelitian dilakukan International Surgical Trial in Intracerebral Hemorrhage
(STICH) I dengan membandingkan antara terapi awal konservatif dengan operasi, yang
memberikan hasil tidak terdapat perbedaan yang signifikan. STICH II dilakukan untuk
menjawab pertanyaan apakah pemilihan operasi lebih awal pada pasien dengan
perdarahan lobar superfisial 10 – 100 mm3, 1 cm dan kortikal dengan kesadaran baik dan
tanpa IVH, dapat memberikan hasil yang lebih baik. Hasilnya adalah, tindakan operasi
atau evakuasi perdarahan yang dilakukan lebih awal belum bisa menunjukkan
keuntungan pada ICH supratentorial.1,10
- Perdarahan fossa posterior
Sejumlah penelitian menyarankan pasien dengan perdarahan serebral >3cm atau
pasien dengan perdarahan serebral dan bersamaan dengan kompresi otak, atau
hidrosefalus obstruktif, memiliki hasil yang baik dengan operasi dekompresi. Berbeda
dengan perdarahan serebral, perdarahan pada brainstem tidak dianjurkan untuk dilakukan
operasi.1,11
Perdarahan serebral dievakuasi menggunakan craniotomy suboccipital untuk
perdarahan medial, atau insisi paramedian untuk perdarahan serebral unilateral. Oleh
karena fossa posterior memiliki ruang kecil untuk akomodasi perdarahan setelah operasi
daripada supratentorial, craniectomy suboccipital menjadi metode terpilih untuk evakuasi
perdarahan di lokasi tersebut. Ventrikulostomi digunakan untuk relieve hidrosefalus.11
Rekomendasi tatalaksana operasi pada ICH1

- Pasien dengan perdarahan serebral yang telah mengalami gangguan neurologis atau yang
memiliki kompresi brainstem dan atau hidrosefalus karena obstruksi ventrikel diharuskan
mengambil tindakan operasi sedini mungkin.
- Pada pasien dengan ICH supratentorial, manfaat operasi masih belum pasti.
- Evakuasi hematom dini belum memiliki kejelasan dibandingkan evakuasi hematom pada
pasien dengan kondisi buruk.
- Evakuasi hematom supratentorial pada pasien dengan kondisi buruk dapat disebut
sebagai life-saving measures.
- DC dengan atau tanpa evakuasi hematom dapat menurunkan angka mortalitas pada
pasien dengan ICH supratentorial yang sedang dalam kondisi koma, hematoma yang luas
dengan signifikan midline shift, atau mengalami peningkatan TIK.
- Kegunaan dari invasif minimal evakuasi klot dengan stereostatik atau aspirasi endoskopi
dengan atau tanpa trombolitik, masih belum jelas.
Daftar Pustaka

1. American Heart Association. 2015. Guidelines for the Management of Spontaneous


Intracerebral Hemorrhage. Available at:
http://stroke.ahajournals.org/content/early/2015/05/28/STR.0000000000000069
2. Aqarwalla PK, Stapleton CJ, Oqilvy CS. 2014. Craniectomy in acute ischemic stroke.
Neurosurgery suppl 1:51-62. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24402484
3. Javid G, Tahir MZ, Enam SA. 2008. Role of neurosurgery in the management of stroke. J
Pak Med Assoc. 58(7):378-84. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18988411
4. American Heart Association. 2013. Guidelines for the Early Management of Patients
With Acute Ischemic Stroke. Available at:
http://stroke.ahajournals.org/content/44/3/870/tab-supplemental

5. Greenberg MS. Handbook of Neurosurgery. Edisi 8, volume (1). New York: Thieme.
2006. pp.1375-1376.

6. Kemenkes RI. 2013. Pedoman Pengendalian Stroke.

7. Kaye, AH. Essentials Neurosurgery. Edisi 3. 2005. Australia: Blackwell.

8. Aguilar MI, Brott, TG. 2011. Update in Intracerebral Hemorrhage. The neurohospitalist
1(3): 148-159. Available at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3726132/

9. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi klinis dasar. 2012. Jakarta: Dian Rakyat. pp.269-290

10. Reichart, R. Frank, S. 2011. Intracerebral Hemorrhage, Indication for Surgical Treatment
and Surgical Techniques. The Open Critical Care Medicine Journal 4:68-71. Available
at: https://benthamopen.com/contents/pdf/TOCCMJ/TOCCMJ-4-68.pdf

11. Hinojosa AQ. Schmidek and Sweet: Operative Neurosurgical Techniques. Edisi 6,
volume (1). 2012. Philadelphia: Elsevier.

12. Cronenwett JL, Johnston KW. Vascular surgery’s. edisi 8. 2014. Philadelphia: Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai