Tatalaksana Stroke
OLEH :
PEMBIMBING :
dr.Rohadi, Sp.BS
Pendahuluan
Stroke atau infark serebral atau disebut cerebrovascular accident (CVA) merupakan
penyebab kematian kedua terbanyak di dunia. Stroke didefinisikan secara klinis oleh World
Health Organization (WHO) sebagai gangguan fokal serebral yang berkembang secara cepat dan
menyebabkan kematian. Stroke dibagi menjadi dua yaitu, stroke iskemik dan stroke hemoragik.
Stroke iskemik atau infark serebral adalah kasus yang paling sering terjadi yaitu 70% - 80% dari
total kasus stroke. Intracranial hemorrhage (ICH) spontan memiliki persentase sekitar 20% dari
total kasus stroke, namun sering menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas pada stroke. Stroke
hemoragik terbagi menjadi dua tipe yaitu ICH dan subarahchnoid hemorrhage (SAH). Kematian
neuron terjadi dalam waktu 2 – 3 menit. Pada banyak kasus stroke, terdapat penumbra yang
mampu bertahan dalam jangka waktu tertentu melalui perfusi suboptimal. Tujuan dari
tatalaksana stroke adalah untuk mencegah terjadinya gangguan neurologi lebih lanjut dan
kejadian berulang.3,5,9
Tatalaksana Stroke
Edukasi telah diberikan ke masyarakat sebelum tahun 2008, tentang 5 suddens of stroke,
tiba – tiba lemas, tiba – tiba kesulitan berbicara, tiba – tiba kehilangan penglihatan, tiba – tiba
pusing, dan tiba – tiba sakit kepala berat. Face, Arm, Speech, dan Time (FAST) juga diberikan ke
masyarakat. Satu atau lebih kelemahan pada muka, kelemahan pada tangan, dan kesulitan
berbicara terjadi sekitar 88% dari total kasus stroke. Pada satu penelitian, 100% individu
mengingat tiga bulan setelah edukasi tersebut, bahwa wajah terkulai, bicara yang tidak jelas dan
98% mengingat kelemahan pada tangan merupakan tanda – tanda stroke. Apabila menemukan
pasien dengan tanda – tanda tersebut segera hubungi nomer darurat fasilitas rumah sakit
terdekat.4
Evaluasi awal pada stroke adalah mengetahui riwayat kapan terakhir kali pasien terlihat
normal, gejala klinis, dan melengkapi National Institute of Health (NIH) Stroke Scale. CT scan
tanpa kontras harus segera dikerjakan untuk melihat apakah terjadi perdarahan (intraparenkim
atau SAH), hematoma, iskemik, infark yang sudah lama atau lesi lainnya.5
Prehospital Management1
Tatalaksana ICH sebelum di rumah sakit hampir sama dengan tatalaksana stroke iskemik
akut seperti yang tertera dalam panduan American Heart Association (AHA). Emergency
Medical Services (EMS) harus dapat menyediakan segala keperluan untuk mempertahankan
jalan napas, menyokong kebutuhan jantung dan pembuluh darah, dan membawa pasien ke
fasilitas terdekat untuk mengobati pasien dengan stroke akut. Selanjutnya, fokus EMS adalah
mengetahui waktu munculnya gejala atau kapan terakhir kali pasien terlihat normal, informasi
tentang riwayat medis pasien, penggunaan obat – obatan, dan informasi kontak keluarga. EMS
harus segera mengabari Emergency Departement (ED) sehingga tatalaksana dini dapat segera
dilakukan setibanya di unit gawat darurat.
ED Management1
Setiap unit gawat darurat harus segera menyiapkan memberikan terapi pada pasien ICH
atau memiliki rencana untuk segera merujuk pasien ke fasilitas rumah sakit tersier. Dalam
mengatasi pasien ICH dibutuhkan dokter dan perawat yang sudah terlatih. Konsultan harus
segera dihubungi secepat mungkin.
Pemeriksaan Penunjang
Sulit untuk mengetahui apakah gejala yang muncul disebabkan oleh iskemik atau
hemoragik bila hanya berdasarkan karakteristik gejala saja. Muntah, tekanan sistolik lebih dari
220 mmHg, sakit kepala berat, penurunan kesadaran atau koma, dan perkembangan gejala menit
hingga jam, semua merupakan indikasi terjadinya ICH, meskipun tidak ada temuan spesifik,
sehingga dibutuhkan neuroimaging. MRI atau CT scan harus segera dikerjakan untuk evaluasi
dini. CT scan merupakan modalitas yang sensitif untuk identifikasi hemoragik akut dan dijadikan
sebagai pemeriksaan “gold standard” pada stroke. Hasil dari CT scan kontras dan CT
Angiography (CTA) juga dapat mengidentifikasi pasien dengan faktor resiko tinggi terjadi
perluasan ICH, yang disebut sebagai spot sign.1
Tabel 1. Komponen Integral Riwayat Penyakit, Pemeriksaan Fisik, dan Workup Pasien ICH di
Unit Gawat Darurat
Riwayat Penyakit
- Onset penyakit
- Gejala awal dan perkembangan
gejala
- Faktor resiko vaskular - Riwayat stroke atau ICH,
hipertensi, diabetes, dan
merokok.
- Obat – obatan - Antikoagulan, antiplatelet,
antihipertensi, simpatomimetik,
dan obat diet.
- Riwayat trauma atau operasi - Endarterektomi carotid atau
stenting
- Demensia - Berhubungan dengan amyloid
angiopathy
- Konsumsi alkohol - Kokain dan obat
simpatomimetik
- Kejang
- Penyakit hati - Berhubungan dengan
koagulopati
- Kanker atau gangguan - Berhubungan dengan
hematologi koagulopati
Pemeriksaan Fisik
- Tanda – tanda vital
- Head to toe
- Pemeriksaan neurologis - Pemeriksaan terstruktur seperti
National Institute of Health
Stroke Scale atau pemeriksaan
GCS
Pemeriksaan Serum dan Urin
- Darah lengkap, elektrolit,
ureum dan kreatinin, serta
glukosa
- PTT dan APTT
- Troponin
- Toksikologi untuk deteksi
kokain dan obat lainnya
- Urinalisis dan kultur urin
Pemeriksaan Rutin
- Neuroimaging - MRI atau CT scan dengan
kontras
- EKG
Hasil CT scan biasanya memperlihatkan pembuluh darah cerebral dimana yang paling
sering adalah MCA dengan densitas tinggi, mengindikasikan terjadinya klot intraarteri (thrombus
atau embolus). Terapi medis pada stroke iskemik adalah pemberian trombolisis, antikoagulasi,
manitol, hiperventilasi, dan salin hipertonik. Semua terapi tersebut, belum ada yang dapat
mencegah herniasi otak dan membuat kondisi pasien menjadi lebih baik.3
- Decompressive Craniectomy
Pada tahun 1908, Harvey Cushing menyadari pentingnya dekompresi tidak hanya
untuk masa seperti hematoma, namun dekompresi juga dapat digunakan untuk gejala
peningkatan TIK skunder akibat edema serebral. Decompression Craniectomy (DC) telah
digunakan untuk kondisi di mana masa edema memberikan dampak yang mengancam
nyawa seperti, hematoma akut, cedera otak traumatis, dan infark. Dalam penatalaksanaan
stroke, DC juga digunakan untuk meningkatkan survival dari large Middle Cerebral
Artery (MCA) dan stroke serebelum.2
DC merupakan terapi dengan pengangkatan large bone flap, ipsilateral dari sisi
infark (hemicraniectomy) diikuti rekonstruksi dura dengan bantuan flap yang diambil dari
fasia temporal atau dengan graft yang tersedia (duroplasty). Operasi lainnya yang dapat
dilakukan untuk tatalaksana stroke iskemik akut adalah embolektomi, carotid
endartrectomy, stenting, dan revaskularisasi emergensi. The National Institute of
Neurological Disorders and Strokes (NINDS) terapi trombolitik dengan pemberian
intravena recombinant tissue plasminogen activator (t-PA), efektif dalam meningkatkan
prognosis pasien dengan infark serebral akut dalam tiga jam setelah onset.3
Gambar 6. Karotis telah dilakukan diseksi dan arteriotomi telah diberi tanda dengan pen
steril. Pada kuadran kiri atas, nervus hipoglossus telah terdiseksi dan diisolasi
menggunaka vessel loop. Karotis eksternal dan arteri tiroid superior diikat dengan benang
silk. Sisi kiri arteri karotis interna yang terdapat plak di dalamnya juga diikat
menggunakan benang silk.11
Gambar 7. Setelah pembuluh terbuka, plak dapat dilihat dengan baik dengan cara
membalik tepi arteri menggunakan forcep vaskular.11
Dengan atau tanpa shunt, diseksi plak dari dinding arteri dilakukan dengan freer
elevator. Vaskular pickup digunakan untuk menahan dinding arteri, dan freer elevator
dipindahkan dari sisi ke sisi dinding lateral ateriotomy. Diseksi plak dilakukan pada sisi
medial CCA menggunakan gunting church. Selanjutnya, fokus untuk diseksi plak dari
ICA secara lateral baru kemudian medial, dan plak dilepaskan perlahan dari ICA. Fokus
terakhir adalah melepaskan plak dari ECA dengan beberapa traksi pada plak, ECA
dibalik sehingga plak dapat terdiseksi sejauh mungkin. Hal tersebut dapat difasilitasi
dengan mendorong arteri external distal proksimal dengan klam atau forcep.
Gambar 8. Fokus pada ECA. Plak diangkat secara gentle menggunakan hemostat dan
traksi.11
Gambar 9. Hemashield patch ditempatkan pada kedua ujung arteriotomy dengan double
armed prolene 6-0.11
Tatalaksana setelah operasi CEA:5
- Monitor pasien di ICU
- Jaga kondisi pasien hidrasi yang baik
- Tekanan darah sistolik 110 – 150 mmHg
o Tekanan darah biasanya berubah – ubah pada 24 jam pertama setelah operasi,
yang bisa terjadi karena tekanan baru pada karotis
o Hipotensi
Cek EKG
Bila hipotensi sedang, berikan cairan kristaloid atau koloid
Phenylephrine untuk hipotensi resistant
o Hipertensi, terapi pilihan yang diberikan adalah nicardipine
Hindari penggunaan antiplatelet pada 24 – 48 jam setelah operasi
- Angioplasty/Stenting
Indikasi:5
- Kelainan jantung dan vaskular yang berat
o Gagal jantung kongestif atau disfungsi berat ventrikel kiri
o Operasi jantung dibutuhkan dalam waktu 6 minggu
o Infark miokardial (<24 jam dan >4minggu)
o Unstable angina
o Oklusi karotis kontralateral
- Kondisi khusus, beberapa di antaranya adalah:
o Contralateral laryngeal nerve palsy
o Terapi radiasi leher
o Riwayat CEA dengan recurrent restenosis
o Penyakit paru berat
o Usia >80 tahun
Tanda dan gejala moyamoya adalah iskemik otak dan perdarahan. Gejala awal
moyamoya baik itu pada juvenile (<15 tahun) dan usia tua, seringnya adalah gangguan
motorik. Pada penelitian Jepang, onset moyamoya pada usia tua disertai dengan ICH
(43%) dan gejala iskemik otak, seperti gangguan motorik, mental dan fisik (20%).
Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan adalah MRI dan MRA. Infark akut dapat
dideteksi dengan diffusion-weighted, sedangkan infark kronis menggunakan T1 dan T2
weighted-imaging. Hilangnya aliran darah kortikal karena moyamoya dapat ditunjukkan
dengan gambaran fluid-attenuated inversion recovery (FLAIR) menunjukkan tanda linier
tinggi yang mengikuti pola sulcal, yang disebut “ivy sign”. Temuan sugestif moyamoya
pada MRI adalah berkurangnya flow void di internal, tengah, dan anterior dari rteri
serebral disertai penonjolan flow void melalui ganglia basalis dan thalamus. Temuan ini
dapat menjadi tanda diagnostik moyamoya, dan juga disebut "the sign of termite nest."
Gambar 2. Moyamoya.
Suzuki dan takaku, serta Fukuyama dan Umezu membuat enam tahap moyamoya:
Donor pembuluh darah harus ditentukan dengan diameter eksternal tidak lebih
kecil dari 1 mm karena diameter pembuluh darah yang lebih kecil, memiliki
kemungkinan tinggi untuk terjadinya oklusi, tidak berguna dan membuat anastomosis
menjadi lebih sulit. Posisi kepala pasien berputar ke arah kontralateral dan sisi temporal
menghadap ke lantai dan dipertahankan dengan head holder.11
Gambar 2. Posisi Kepala.11
Gambar 12. Setelah pleksus vena Gambar 13. Komplit bypass CCA
vertebra dilakukan diseksi, arteri dan arteri vertebra menggunakan
vertebra ditahan menggunakan vena saphena.
polymeric silicone untuk clamping
dan anastomosis.
- External carotid artery – vertebra artery transposition12
- Encephalo-Myo-Synangiosis (EMS)
Flap dari muskulus temporalis dijahit menuju tepi dural sehingga posisi muskulus
lebih dekat pada permukaan otak. Seperti pada STA, dilakukan craniotomy
frontotemporal dan arachnoid terbuka selebar mungkin. Selanjutnya, tepi duramater
dijahit menuju tepi flap otot. Neovaskularisasi terjadi di otot menuju parenkim otak,
sehingga aliran darah kolateral lebih banyak menuju otak.11
- EDAS plus Encephalo-Galeo-Synangiosis (EGS)
Berdasarkan penyebabnya, ICH diklasifikasikan menjadi ICH primer dan skunder. ICH
primer dengan jumlah kasus sekitar 80% disebabkan oleh ruptur spontan pembuluh darah oleh
karena hipertensi kronik dan amyloid angiopathy. ICH skunder berhubungan dengan kelainan
vaskular, tumor, infark serebral atau gangguan koagulopati. Hipertensi kronis menyebabkan
perubahan degeneratif pada dinding dari penetrasi arteri, seperti arteri serebral posterior, middle,
dan anterior. Amyloid angiopathy, protein B-amyloid, materi acellular eosinophilic, yang
terdeposit pada korteks serebral dan leptomeninges, yang menyebabkan ICH primer pada white
matter lobus serebral, khususnya area parietal dan oksipital.11
ICH biasanya terjadi di white matter cerebral (10% - 20%), ganglia basalis, umumnya di
putamen, namun termasuk pula nucleus lenticular, kapsul interna, dan globus palidus (50%),
thalamus (15%), pons (10%-15%), brain-stem lainnya (1%-6%), dan serebelum (10%). ICH
lobus frontal menyebabkan sakit kepala bagian depan dengan hemiparesis kontralateral, biasanya
pada lengan dan kaki serta kelemahan pada wajah. ICH lobus parietal menyebabkan
hemisensoris kontralateral dengan hemiparesis. ICH lobus occipital memiliki gejala nyeri mata
ipsilateral dan contralateral homonymous hemianopsia.11
Intraventricular hemorrhage (IVH) terjadi pada 45% pasien dengan ICH spontan.
Kebanyakan IVH adalah skunder dan berhubungan dengan hipertensi hemorrhage melibatkan
ganglia basalis dan thalamus. Meskipun penggunaan Ventricular Catether (VC) secara teori
dapat drainage darah dan CSF, namun penggunaan VC saja tidak efektif karena sulitnya
mempertahankan patensi kateter dan dibutuhkan waktu yang lama untuk mengeluarkan darah
intraventrikular. Oleh karena itu banyak penelitian yang menggunakan trombolitik pada
pemasangan VC. Terdapat prosedur alternatif untuk IVH seperti, endoscopic surgical evacuation
dan ventrikulostomi, namun masih belum cukup bukti ilmiah untuk penggunaannya. Beberapa
penelitian menyatakan kemungkinan craniectomy pada peningkatan TIK yang disebabkan oleh
ICH.1
ICH lebih sering terjadi daripada sub-arachnoid hemorrhage (SAH). SAH sendiri tidak
memerlukan tatalaksana operasi, namun beberapa penyebab dan komplikasinya membutuhkan
operasi, seperti aneurisma, malformasi vascular, dan hidrosefalus atau edema malignan setelah
terjadinya SAH. Operasi dibutuhkan pada cerebral hematom apabila:3
- Terdapat fosa posterior yang menyempit
- Penekanan pada ventrikel empat sedang hingga berat
- Hidrosefalus atau
- GCS kurang dari 13
Panduan terbaru tatalaksana ICH di tahun 2015 mencakup diagnosis emergensi ICH,
hemostasis dan koagulopati, mengatasi tekanan darah, mengatasi peningkatan TIK,
Intraventricular Hemorrhage (IVH), peran dari operasi untuk menghilangkan klot, mencegah
terjadinya ICH berulang, dan rehabilitasi.1
ICH adalah kondisi kegawatdaruratan medis. Diagnosis cepat dan perhatian penuh dalam
mengatasi ICH sangat dibutuhkan oleh karena perburukan kondisi sering ditemukan pada
beberapa jam pertama setelah onset ICH. Lebih dari 20% pasien akan mengalami penurunan dua
atau lebih point Glasgow Coma Scale (GCS) saat Emergency Medical Services (EMS) sebelum
di rumah sakit dan saat evaluasi dini di Unit Gawat Darurat (UGD). Selanjutnya, 15% hingga
20% pasien mengalami perburukan kondisi lebih lanjut setelah satu jam pertama tiba di rumah
sakit.1
- Kelainan hemostatik dapat menjadi penyebab terjadinya ICH. Pasien yang memiliki
resiko tersebut salah satunya adalah pengguna Oral Anticoagulant Drugs (OAC), agen
antiplatelet, defisiensi faktor koagulasi didapat dan kongenital, dan kelainan platelet.
Panduan bagi pasien ICH dengan faktor resiko OAC adalah konsumsi vitamin K
bersamaan dengan pemberian Fresh Frozen Plasma (FFP) yang telah menjadi terapi
pilihan di United States selama bertahun – tahun. Baru – baru ini terapi lainnya memiliki
potensi untuk digunakan seperti, Prothrombin Complex Concentrates (PCC), PCC
FEIBA (factor VIII inhibitor bypassing activity) aktif, dan Recombinant Activated Factor
VIIa (rFVIIa). Vitamin K diberikan melalui jalur intravena. PCC sebenarnya digunakan
untuk terapi hemophilia B. Tiga faktor yang terdapat di dalam PCC adalah faktor II, IX
dan X serta terdapat faktor keempat yaitu faktor VII. PCC dapat diberikan dengan
volume 20 ml hingga 40 ml dan digunakan untuk inactivate agen infeksius. Beberapa
terapi tersebut masih tetap dilakukan penelitian terkait keefektifan atau kegunaannya
masing – masing.
- Tatalaksana ICH di ICU adalah monitoring TIK, Cerebral Perfussion Pressure (CPP),
fungsi hemodinamik, terapi TIK, tekanan darah, ventilasi mekanik, demam, serum
glukosa, dan pencegahan komplikasi imobilitas, pertahankan jalan napas, dan mobilisasi.
- Terapi glukosa pada pasien ICH masih kontroversi. Nantinya, terapi optimal
hiperglikemia pada ICH dan target glukosa harus diklarifikasi. Kondisi hiperglikemi
maupun hipoglikemi harus dihindari.
- Terapi suhu pasien harus dilakukan karena demam menyebabkan perburukan kondisi
pasien dengan ICH.
- Frekuensi kejang muncul dalam satu minggu terjadinya ICH. Area kortikal yang terlibat
merupakan faktor resiko penting terjadinya kejang dini. Banyak penelitian yang
mengatakan obat profilaksis anti kejang, fenitoin, memiliki hubungan dengan
peningkatan disabilitas dan kematian pada ICH.
- Monitoring dan terapi TIK. Pada beberapa penelitian TIK biasanya tidak terlalu
meningkat selama monitoring dan pemasangan Ventricular Catether (VC). Pada kasus
biasanya, karena peningkatan TIK terjadi hidrosefalus dari intraventrikular hemorrhage
(IVH) atau efek masa dari hematoma, pasien dengan hematoma kecil dan IVH terbatas
tidak diberikan terapi untuk menurunkan TIK. Pasien dengan score GCS ≤8 dengan bukti
klinis terjadinya herniasi tentorial atau dengan IVH atau hidrosefalus, dapat dilakukan
monitoring dan terapi TIK. Peningkatan TIK pada ICH sebaiknya tidak diterapi dengan
pemberian kortikosteroid.
Operasi untuk pasien dengaan ICH spontan masih kontroversi. Alasan rasional
untuk dilakukannya operasi atau evakuasi hematom adalah mencegah terjadinya herniasi,
menurunkan TIK, dan mengurangi efek masa. Beberapa penelitian terbaru mengatakan
kemungkinan craniectomy yang membandingkan pengobatan konservatif dan operasi,
tidak memberikan keuntungan yang jelas pada pilihan operasi. Metode untuk evakuasi
perdarahan ada dua yaitu craniotomy/craniectomy dan invasif minimal yang terbagi
menjadi dua yaitu:3,10
o Blind Procedures
Aspirasi burr-hole dengan atau tanpa bantuan fibrinolisis dan stereotaxy.
o Neuroendoskopi
Neuroendoskopi merupakan metode yang lebih baik daripada stereotaxy dan
craniotomy untuk evakuasi ICH di ganglia basalis pada pasien yang tidak koma.
Setelah memasuki ventrikel tiga melalui foramen monro, pasien dengan
hidrosefalus akut diberi tindakan dengan membentuk ventrikulostomi tiga, diikuti
dengan dilatasi aqueduct of sylvius. Hematoma dievakuasi dengan dibilas
menggunakan saline. Drain ventrikular eksterna ditempatkan dan diberikan 6000
U urokinase 3 jam setelah operasi. Keunggulan endoskopi dibandingkan dengan
stereotaxy dan open craniotomy adalah waktu yang dibutuhkan dan sebagai terapi
hidrosefalus.11
Craniotomy
- Perdarahan supratentorial
Penelitian dilakukan International Surgical Trial in Intracerebral Hemorrhage
(STICH) I dengan membandingkan antara terapi awal konservatif dengan operasi, yang
memberikan hasil tidak terdapat perbedaan yang signifikan. STICH II dilakukan untuk
menjawab pertanyaan apakah pemilihan operasi lebih awal pada pasien dengan
perdarahan lobar superfisial 10 – 100 mm3, 1 cm dan kortikal dengan kesadaran baik dan
tanpa IVH, dapat memberikan hasil yang lebih baik. Hasilnya adalah, tindakan operasi
atau evakuasi perdarahan yang dilakukan lebih awal belum bisa menunjukkan
keuntungan pada ICH supratentorial.1,10
- Perdarahan fossa posterior
Sejumlah penelitian menyarankan pasien dengan perdarahan serebral >3cm atau
pasien dengan perdarahan serebral dan bersamaan dengan kompresi otak, atau
hidrosefalus obstruktif, memiliki hasil yang baik dengan operasi dekompresi. Berbeda
dengan perdarahan serebral, perdarahan pada brainstem tidak dianjurkan untuk dilakukan
operasi.1,11
Perdarahan serebral dievakuasi menggunakan craniotomy suboccipital untuk
perdarahan medial, atau insisi paramedian untuk perdarahan serebral unilateral. Oleh
karena fossa posterior memiliki ruang kecil untuk akomodasi perdarahan setelah operasi
daripada supratentorial, craniectomy suboccipital menjadi metode terpilih untuk evakuasi
perdarahan di lokasi tersebut. Ventrikulostomi digunakan untuk relieve hidrosefalus.11
Rekomendasi tatalaksana operasi pada ICH1
- Pasien dengan perdarahan serebral yang telah mengalami gangguan neurologis atau yang
memiliki kompresi brainstem dan atau hidrosefalus karena obstruksi ventrikel diharuskan
mengambil tindakan operasi sedini mungkin.
- Pada pasien dengan ICH supratentorial, manfaat operasi masih belum pasti.
- Evakuasi hematom dini belum memiliki kejelasan dibandingkan evakuasi hematom pada
pasien dengan kondisi buruk.
- Evakuasi hematom supratentorial pada pasien dengan kondisi buruk dapat disebut
sebagai life-saving measures.
- DC dengan atau tanpa evakuasi hematom dapat menurunkan angka mortalitas pada
pasien dengan ICH supratentorial yang sedang dalam kondisi koma, hematoma yang luas
dengan signifikan midline shift, atau mengalami peningkatan TIK.
- Kegunaan dari invasif minimal evakuasi klot dengan stereostatik atau aspirasi endoskopi
dengan atau tanpa trombolitik, masih belum jelas.
Daftar Pustaka
5. Greenberg MS. Handbook of Neurosurgery. Edisi 8, volume (1). New York: Thieme.
2006. pp.1375-1376.
8. Aguilar MI, Brott, TG. 2011. Update in Intracerebral Hemorrhage. The neurohospitalist
1(3): 148-159. Available at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3726132/
9. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi klinis dasar. 2012. Jakarta: Dian Rakyat. pp.269-290
10. Reichart, R. Frank, S. 2011. Intracerebral Hemorrhage, Indication for Surgical Treatment
and Surgical Techniques. The Open Critical Care Medicine Journal 4:68-71. Available
at: https://benthamopen.com/contents/pdf/TOCCMJ/TOCCMJ-4-68.pdf
11. Hinojosa AQ. Schmidek and Sweet: Operative Neurosurgical Techniques. Edisi 6,
volume (1). 2012. Philadelphia: Elsevier.
12. Cronenwett JL, Johnston KW. Vascular surgery’s. edisi 8. 2014. Philadelphia: Elsevier.