PDF Appendiksitis PDF
PDF Appendiksitis PDF
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2.1 Posisi dari usus besar. (1) sekum. (2) apendiks vermiformis.
(3) ascending colon. (4) transverse colon. (5) descending colon. (6) sigmoid
colon. (7) rektum. (8) anal canal.
sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfoid disini kecil sekali jika
dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh
(Sjamsuhidajat & de Jong, 2007).
2.4 Apendisitis
2.4.1 Definisi
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis dan merupakan penyebab
nyeri akut abdomen yang paling sering (Wibisono dan Jeo, 2013).
Tekanan pada organ yang semakin meningkat melebihi tekanan pada vena
menyebabkan kapiler dan pembuluh darah venule tersumbat tetapi aliran darah
arteriole sehingga menyebabkan pembesaran dan kongesti vascular. Proses
inflamasi kemudian melibatkan bagian serosa pada apendiks dan kemudian ke arah
peritoneum parietal dimana dihasilkan karakteristik nyeri yang berpindah ke
kuadran kanan bawah.
Mukosa saluran cerna termasuk apendiks rentan terhadap gagguan pada aliran
darah. Oleh sebab itu integritas mukosa apendiks menjadi terganggu. Dengan
distensi yang berlanjut, invasi bakteri, aliran darah yang tidak adekuat, progresi dari
nekrosis jaringan dapat menyebabkan munculnya perforasi. Perforasi biasanya
muncul di sisi luar obstruksi daripada ujung karena efek tekanan intraluminal pada
dinding yang paling tipis (Berger, 2010).
nyeri tekan daerah apendiks pada titik sepertiga bawah garis antara umbilicus
dengan spina iliaka anterior superior (McBurney’s point). Pada palpasi akan
didapatkan muscle guarding. Nyeri tekan dan nyeri lepas akan dijumpai, batuk juga
akan meningkatkan rasa nyeri pada apendisitis.
Obturator sign
Nyeri pada pinggul pada saat dilakukan rotasi internal. Apendiks yang mengalami
inflamasi akan menyebabkan nyeri pada daerah hipogastrium ketika dilakukan
manuver ini (O’Connel, 2008).
Pada apendisitis perforata, nyeri abdomen menjadi sangat hebat dan tersebar,
peningkatan spasme daripada otot abdomen sehingga menyebabkan kaku otot
(muscle rigidity). Denyut jantung akan meningkat dan temperatur akan meningkat
hingga melebihi 39oC (Maa, 2007).
Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual muntah dan diare mendahului rasa nyeri. Nyeri perut
sifatnya lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Sering dijumpai adanya
hiperperistaltik. Demam dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan
apendisitis akut.
Demam Dengue
Demam dengue dapat dimulai dengan nyeri perut mirip peritonitis. Pada penyakit
ini, didapatkan hasil tes positif untuk Rumpel leede trombositopenia dan
peningkatan hematokrit
Limfadenitis mesenterika
Limfadenitis mesenterika yang biasa didahului olen enteritis atau gastroenteritis,
ditandai olehnyeri perut, terutama perut sebelah kanan, serta perasaan mual dan
nyeri tekan perut yang sifatnya samar, terutama perut sebelah kanan.
Kelainan ovulasi
Folikel ovarium yang pecah pada ovulasi dapat menimbulkan nyeri pada perut
kanan bawah di tengah siklus menstruasi. Pada anamnesis nyeri yang sama pernah
timbul lebih dahulu. Tidak ada tanda radang dan nyeri biasa hilang dalam waktu 24
jam, tetapi mungkin dapat mengganggu selama dua hari.
Infeksi panggul
Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Suhu biasanya
lebih tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah perut biasanya
disertai keputihan dan infeksi urin. Pada colok vagin, akan timbul nyeri hebat di
panggul jika uterus diayunkan. Pada gadis dapat dilakukan colok dubur jika perlu.
timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin terjadi syok
hipovolemik. Pada pemeriksaan vagina, didapatkan nyeri dan penonjolan rongga
Douglas.
Kista ovarium terpuntir
Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan teraba massa dalam
rongga pelvis pada pemeriksaan perut, colok vagina atau colok rektal. Tidak
terdapat demam. Pemeriksaan ultrasonografi dapat menentukan diagnosis ini.
Endometriosis eksterna
Endometrium di luar rahim akan menimbulkan nyeri di tempat endometriosis
berada, dan darah menstruasi terkumpul di tempat itu karena tidak ada jalan keluar.
Urolitiasis pielum/ureter kanan
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut yang menjalar ke inguinal kanan
merupakan gambaran yang khas. Eritrosit pada urin sering ditemukan. Foto polos
perut atau urografi intravena dapat memastikan diagnosis penyakit ini.
Penyakit saluran cerna lainnya
Penyakit lain yang perlu dipikirkan adalah peradangan di perut, seperti divertikulus
Meckel, perforasi tukak duodenum atau lambung, kolesistitis akut, pankreatitis,
obstruksi usus, perforasi kolon, demam tifoid abdominalis, karsinoid dan mukokel
apendiks.
2.4.6 Penatalaksanaan
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu-satunya
pilihan yang baik adalah apendektomi. Menurut Wibisono dan Jeo (2013), ada hal-
hal yang perlu diperhatikan:
1. Pre operatif
Observasi ketat,tirah baring dan puasa. Pemeriksaan abdomen dan rektal serta
pemeriksaan darah dapat diulang secara periodik. Foto abdomen dan toraks dapat
dilakukan untuk mencari penyulit lain. Antibiotik intravena spektrum luas dan
analgesik dapat diberikan. Pada apendisitis perforasi perlu diberikan resusitasi
cairan sebelum operasi.
2. Operatif
Apendektomi terbuka dilakukan dengan insisi transversal pada kuadran
kanan bawah (Davis-Rockey) atau insisi oblik (McArthur-McBurney).
Pada diagnosis yang belum jelas dapat dilakukan subumbilikal pada garis
tengah.
Laparoskopi apendektomi, teknik operasi dengan luka dan kemungkinan
infeksi lebih kecil.
3. Pasca operatif
Perlu dilakukan observasi tanda vital untuk mengantisipasi adanya perdarahan
dalam, syok, hipertermi atau gangguan pernapasan. Pasien dibaringkan dalam
posisi Fowler dan selama 12 jam dipuasakan terlebih dahulu. Pada operasi dengan
perforasi atau peritonitis umum, puasa dilakukan hingga fungsi usus kembali
normal. Secara bertahap pasien diberi minum, makanan saring, makanan lunak dan
makanan biasa.
2.4.7 Komplikasi
Komplikasi yang paling membahayakan adalah perforasi, baik berupa perforasi
bebas maupun perforasi pada apendiks yang mengalami pendindingan sehingga
berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks , sekum, dan lekuk usus halus.
Massa apendikular
Massa Apendiks terjadi bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi
atau di bungkus oleh omentum. Pada massa periapendikuler dengan pembentukan
dinding yang belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga
peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu,
massa periapendikuler yang masih bebas (mobile) sebaiknya segera dioperasi untuk
mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasinya masih mudah. Pada anak,
dipersiapkan operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa dengan massa
periapendikuler yang terpancang dengan pendindingan yang sempurna sebaiknya
dirawat terlebih dahulu dan diberi antibiotik sambil dilakukan pemantauan terhadap
suhu tubuh, ukuran massa serta luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada demam,
massa periapendikuler hilang, dan leukosit normal, penderita boleh pulang dan
peritoneum dapat terjadi bila pus yang menyebar terlokalisasi di suatu tempat,
paling sering di rongga pelvis dan subdiafragma. Adanya massa intraabdomen yang
nyeri disertai demam harus dicurigai sebagai abses. Ultrasonografi dapat membantu
mendeteksi adanya abses.
Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian antibiotik untuk kuman Gram
negatif dan positif serta kuman anaecrob, dan pemasangan pipa nasogastrik perlu
dilakukan sebelum pembedahan.
Perlu dilakukan laparatomi dengan insisi yang panjang, supaya dapat dilakukan
pencucian ronga peritoneum dari pus maupun pengeluaran fibrin yang adekuat
secara mudah serta pembersihan abses. Akhir-akhir ini mulai banyak dilaporkan
pengelolaan apendisitis perforasi secara laparoskopi apendektomi. Pada prosedur
ini, rongga abdomen dapat dibilas dengan mudah. Hasilnya dilaporkan tidak
berbeda jauh dibandingkan dengan laparatomi terbuka, tetapi keuntungannya
adalah lama rawat lebih pendek dan secara kosmetik lebih baik (Sjamsuhidajat &
de Jong, 2007).
2.4.8 Prognosis
Tingkat mortalitas dan morbiditas sangat kecil dengan diagnosis yang akurat serta
pembedahan. Tingkat mortalitas keseluruhan berkisar antara 0,2-0,8% dan
disebabkan oleh komplikasi penyakit dan pada intervensi bedah. Pada anak, angka
ini berkisar antara 0,1-1%, sedangkan pada pasien diatas 70 tahun angka ini
meningkat di atas 20% terutama karena keterlambatan diagnosis dan terapi
(Wibisono dan Jeo, 2013).