Anda di halaman 1dari 13

4

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Apendiks


Appendix vermiformis atau yang sering disebut apendiks merupakan organ
sempit, berbentuk tabung yang mempunyai otot dan mengandung banyak jaringan
limfoid. Panjang apendiks bervariasi dari 3–4 inci (8–13 cm). Dasarnya melekat
pada permukaan sekum. Sekum adalah bagian dari usus besar yang terletak di
perbatasan ileum dan usus besar. Bagian apendiks lainnya bebas. Apendiks ditutupi
seluruhnya oleh peritoneum, yang melekat pada lapisan bawah mesenterium
intestinum tenue melalui mesenteriumnya sendiri yang pendek yang dinamakan
mesoapendiks. Mesoapendiks berisi arteri, vena dan saraf-saraf (Snell, 2006).

Gambar 2.1 Posisi dari usus besar. (1) sekum. (2) apendiks vermiformis.
(3) ascending colon. (4) transverse colon. (5) descending colon. (6) sigmoid
colon. (7) rektum. (8) anal canal.

Sumber: Color Atlas of Human Anatomy Internal Organ

Universitas Sumatera Utara


5

Apendiks terletak di regio iliaka dekstra dan pangkal diproyeksikan ke


dinding anterior abdomen pada titik sepertiga bawah garis yang menghubungkan
spina iliaca anterior superior kanan dan umbilikus. Ujung apendiks mudah bergerak
dan mungkin ditemukan pada tempat-tempat berikut ini:
1. Tergantung ke bawah ke dalam pelvis berhadapan dengan dinding pelvis
kanan,
2. Melengkung di belakang sekum,
3. Menonjol ke atas sepanjang pinggir lateral sekum, dan
4. Di depan atau di belakang pars terminalis ileum.
Posisi pertama dan kedua merupakan posisi yang paling sering ditemukan (Snell,
2006).
Posisi apendiks sangat variabel dibandingkan daripada organ-organ
lainnya. Yang paling sering, sekitar 75 % terletak di belakang sekum. Sekitar 20%
menggantung ke bawah di bawah tulang panggul (Ellis, 2006).

Gambar 2.2 Variasi dalam posisi apendiks vermiformis

Sumber: Color Atlas of Human Anatomy Internal Organ

Persarafan apendiks berasal dari cabang-cabang saraf simpatis dan


parasimpatis. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang
mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis, sedangkan
persarafan simpatis berasal dari nervus thorakalis X.
Perdarahan apendiks berasal dari arteri apendikularis yang merupakan
arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya pada thrombosis, apendiks
akan mengalami gangren (Sjamsuhidajat & de Jong, 2007).

Universitas Sumatera Utara


6

2.2 Histologi Apendiks


Apendiks terletak di bagian awal usus besar dan yang merupakan
evaginasi dari sekum. Apendiks ditandai dengan lumen yang relatif kecil dan
irregular, kelenjar tubuler yang lebih pendek dan kurang padat, dan tidak memiliki
taeniae coli. Apendiks tidak memiliki fungsi pencernaan, tetapi merupakan
komponen penting sebagai MALT(Mucosa-Associated Lymphoid Tissue), dengan
sejumlah besar folikel limfoid pada dindingnya (Mescher, 2010) .

Gambar 2.3 Histologi Apendiks dengan pewarnaan Hematoxylin-Eosin


(1) Mesenteriolum. (2) Mucosa with crypts. (3) Lymph follicles with germinal centers.
(4) Tela submucosa. (5) Tunica muscularis.

Sumber: Color Atlas of Cytology, Histology, and Microscopic Anatomy

2.3 Fungsi Apendiks


Apendiks merupakan suatu jaringan limfoid. Jaringan limfoid adalah
jaringan yang memproduksi, menyimpan atau memproses limfosit (Sherwood,
2009).
Apendiks menghasilkan lendir sebanyak 1-2ml per hari, yang dikeluarkan
ke dalam lumen dan mengalir ke sekum. Imunoglobulin yang dihasilkan oleh
GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna
termasuk apendiks ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung
terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi

Universitas Sumatera Utara


7

sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfoid disini kecil sekali jika
dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh
(Sjamsuhidajat & de Jong, 2007).

2.4 Apendisitis
2.4.1 Definisi
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis dan merupakan penyebab
nyeri akut abdomen yang paling sering (Wibisono dan Jeo, 2013).

2.4.2 Etiologi dan Patogenesis


Obstruksi pada lumen merupakan etiologi paling sering pada apendisitis akut.
Fecalith (Faex = tinja, lithos = batu) merupakan penyebab paling umum obstruksi
apendiks. Penyebab yang paling jarang adalah pembesaran dari jaringan limfoid,
penggumpalan barium dalam pemeriksaan x-ray, tumor, sayur-sayuran dan biji-
bijian dari buah, dan parasit dari usus halus. Frekuensi obstruksi meningkat seiring
dengan tingkat keparahan proses inflamasi. Fecalith ditemukan pada 40% kasus
apendisitis akut, pada 65% kasus apendisitis gangren tanpa adanya ruptur apendiks,
dan 90% kasus pada apendisitis gangren dengan ruptur apendiks (Berger, 2010).
Obstruksi pada bagian apendiks menyebabkan tertutupnya kedua ujung segmen
usus (close-loop obstruction), dan sekreksi pada mukosa apendiks yang normalnya
terus menerus menyebabkan distensi pada apendiks. Kapasitas lumen dari apendiks
normalnya hanya 0,1 ml. Sekresi cairan pada distal apendiks yang melebihi
kapasitas menyebabkan peningkatan tekanan di dalam lumen apendiks. Distensi
dari apendiks akan menstimulasi serabut saraf aferen viseral yang menyebabkan
rasa sakit yang tumpul, menyebar dan tidak terlokalisir di bagian tengah abdomen
dan bawah epigastrium. Distensi yang terjadi tiba-tiba juga menstimulasi terjadinya
peristaltik sehingga pada beberapa nyeri viseral pada apendiks didahului oleh kram
perut. Sekresi mukosa yang berlanjut dan berkembangnya bakteri dalam apendiks
semakin meningkatkan distensi. Distensi pada tingkat ini juga menyebabkan mual,
muntah dan nyeri viseral yang berat.

Universitas Sumatera Utara


8

Tekanan pada organ yang semakin meningkat melebihi tekanan pada vena
menyebabkan kapiler dan pembuluh darah venule tersumbat tetapi aliran darah
arteriole sehingga menyebabkan pembesaran dan kongesti vascular. Proses
inflamasi kemudian melibatkan bagian serosa pada apendiks dan kemudian ke arah
peritoneum parietal dimana dihasilkan karakteristik nyeri yang berpindah ke
kuadran kanan bawah.
Mukosa saluran cerna termasuk apendiks rentan terhadap gagguan pada aliran
darah. Oleh sebab itu integritas mukosa apendiks menjadi terganggu. Dengan
distensi yang berlanjut, invasi bakteri, aliran darah yang tidak adekuat, progresi dari
nekrosis jaringan dapat menyebabkan munculnya perforasi. Perforasi biasanya
muncul di sisi luar obstruksi daripada ujung karena efek tekanan intraluminal pada
dinding yang paling tipis (Berger, 2010).

2.4.3 Patofisiologi dan Gejala Klinis


Patofisiologi apendisitis dapat dimulai di mukosa dan kemudian melibatkan seluruh
lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama. Sistem pertahanan tubuh
berusaha membatasi proses radang ini dengan menutup apendiks dengan omentum,
usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periapendikuler yang dikenal
dengan istilah apendicial mass. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa
abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan
sembuh dan selanjutnya akan mengurai diri secara lambat (Sjamsuhidajat & de
Jong, 2007).
Gejala dari apendisitis dapat berupa:
1. Nyeri kolik periumbilikus
Nyeri abdomen merupakan keluhan utama apendisitis akut. Nyeri pada awalnya
terpusat pada epigastrium atau periumbilikus, nyeri bersifat berat menetap dan
biasanya disertai dengan kram intermiten.Distensi dari apendiks akan menstimulasi
serabut saraf aferen viseral yang menyebabkan rasa sakit yang tumpul, menyebar
dan tidak terlokalisir di bagian tengah abdomen dan bawah epigastrium.

Universitas Sumatera Utara


9

2. Nyeri pada fossa-iliaca kanan


Nyeri akan berpindah setelah beberapa jam dari periumbilikus ke kanan bawah
daerah fosa iliaka kanan. Disini, nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya
sehingga merupakan nyeri somatik setempat.
3. Demam (Pyrexia)
Demam biasanya ringan dengan suhu sekitar 37,5-38,5oC. Bila suhu lebih tinggi
kemungkinan sudah terjadinya perforasi.
4. Mual, muntah, dan anoreksia
Nyeri perut bagian sentral berhubungan dengan mual, muntah, dan anoreksia.
Apendisitis hampir selalu disertai dengan anoreksia dan biasanya terjadi satu atau
dua kali episode muntah. Hal ini konstan sehingga pada saat diagnosis harus
ditanyakan ada tidaknya keluhan anoreksia. Walaupun 75% pasien menunjukkan
gejala muntah namun hal itu tidak berlangsung lama, kebanyakan hanya satu atau
dua kali saja. Gejala muntah ini disebabkan stimulasi dari neuron maupun gerakan
dari usus. Pada 95% pasien dengan apendisitis akut, anoreksia merupakan gejala
utama diikuti oleh nyeri abdomen kemudian dilanjutkan dengan gejala muntah. Jika
muntah lebih dominan dari gejala nyeri abdomen maka apendisitis harus
dipertanyakan (Berger, 2010).

2.4.4 Penegakan Diagnosa


2.4.4.1 Anamnesis
Apendisitis harus dipikirkan sebagai diagnosis banding pada semua pasien dengan
nyeri abdomen akut yang sesuai dengan gejala klinis yakni mual dan muntah pada
keadaan awal yang diikuti dengan nyeri perut periumbilikal yang kemudian nyeri
perut kuadran kanan bawah yang makin progresif. Urutan munculnya gejala
memiliki peranan penting dalam diagnosis banding apendisitis (Wibisono dan Jeo,
2013).

2.4.4.2 Pemeriksaan Fisik


Pasien dengan apendisitis akut akan tampak kesakitan dan berbaring. Umumnya
demam sekitar 38oC. Pada pemeriksaan abdomen, bising usus akan berkurang dan

Universitas Sumatera Utara


10

nyeri tekan daerah apendiks pada titik sepertiga bawah garis antara umbilicus
dengan spina iliaka anterior superior (McBurney’s point). Pada palpasi akan
didapatkan muscle guarding. Nyeri tekan dan nyeri lepas akan dijumpai, batuk juga
akan meningkatkan rasa nyeri pada apendisitis.

Gambar 2.4 McBurney’s point

Sumber: Bailey & Love’s Short Pratice of Surgery

Tanda khas yang dapat ditemukan pada apendisitis akut adalah:


 Pointing sign
Nyeri pada kuadran kanan bawah pada Mc’Burney point.
 Rovsing sign
Nyeri pada fosa iliaka kanan pada saat palpasi dalam di region fosa iliaka kiri.
Pemeriksaan ini sangat membantu dalam diagnosis klinis apendisitis.
 Psoas sign
Disebut juga cope sign (Dorland, 2007). Penderita akan memfleksikan pinggul atau
nyeri pada hiperekstensi pinggul akibat kontak antara prosesus yang meradang
dengan otot psoas.

Universitas Sumatera Utara


11

 Obturator sign
Nyeri pada pinggul pada saat dilakukan rotasi internal. Apendiks yang mengalami
inflamasi akan menyebabkan nyeri pada daerah hipogastrium ketika dilakukan
manuver ini (O’Connel, 2008).
Pada apendisitis perforata, nyeri abdomen menjadi sangat hebat dan tersebar,
peningkatan spasme daripada otot abdomen sehingga menyebabkan kaku otot
(muscle rigidity). Denyut jantung akan meningkat dan temperatur akan meningkat
hingga melebihi 39oC (Maa, 2007).

2.4.4.3 Pemeriksaan tambahan


Pemeriksaan Laboratorium
Pada kebanyakan pasien, sel darah putih akan meningkat dengan neutrofil lebih dari
75%. Kadar leukosit normal pada apendisitis ditemukan pada 10% kasus. Kadar
leukosit yang tinggi, lebih dari 20.000/ml didapatkan apabila terjadinya gangren
atau apendisitis perforasi. Urinalisis dapat dilakukan untuk menyingkirkan
diagnosis banding pyelonephritis atau nephrolithiasis (Wibisono dan Jeo, 2013).
Pemeriksaan Radiografi
 Pemeriksaan Ultrasonografi
Ultrasonografi dapat digunakan dengan penemuan diameter anteroposterior
apendiks yang lebih besar dari 7mm, penebalan dindng, struktur lumen yang tidak
dapat dikompresi, atau adanya apendikolit.
 CT-scan
CT-scan merupakan pilihan untuk pasien pria, pasien yang lebih tua dan ketika
pasien diduga terdapat abses sekitar apendiks. Diagnosis CT-scan pada apendisitis
didasarkan pada penemuan sebagai berikut:
1. dilatasi apendiks hingga > 6mm,
2. apendiks dikelilingi oleh gambaran inflamasi atau abses,
3. abses pericecal atau massa inflamasi dengan pembentukan
apendicolith (Brant & Helms, 2007).

Universitas Sumatera Utara


12

2.4.5 Diagnosis Banding


Menurut Sjamsuhidajat & de Jong (2007) beberapa penyakit perlu dipertimbangkan
sebagai diagnosa banding, yaitu:

 Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual muntah dan diare mendahului rasa nyeri. Nyeri perut
sifatnya lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Sering dijumpai adanya
hiperperistaltik. Demam dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan
apendisitis akut.
 Demam Dengue
Demam dengue dapat dimulai dengan nyeri perut mirip peritonitis. Pada penyakit
ini, didapatkan hasil tes positif untuk Rumpel leede trombositopenia dan
peningkatan hematokrit
 Limfadenitis mesenterika
Limfadenitis mesenterika yang biasa didahului olen enteritis atau gastroenteritis,
ditandai olehnyeri perut, terutama perut sebelah kanan, serta perasaan mual dan
nyeri tekan perut yang sifatnya samar, terutama perut sebelah kanan.
 Kelainan ovulasi
Folikel ovarium yang pecah pada ovulasi dapat menimbulkan nyeri pada perut
kanan bawah di tengah siklus menstruasi. Pada anamnesis nyeri yang sama pernah
timbul lebih dahulu. Tidak ada tanda radang dan nyeri biasa hilang dalam waktu 24
jam, tetapi mungkin dapat mengganggu selama dua hari.
 Infeksi panggul
Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Suhu biasanya
lebih tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah perut biasanya
disertai keputihan dan infeksi urin. Pada colok vagin, akan timbul nyeri hebat di
panggul jika uterus diayunkan. Pada gadis dapat dilakukan colok dubur jika perlu.

 Kehamilan di luar kandungan


Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak menentu. Jika
ada ruptur tuba atau abortus kehamilan di luar rahim dengan perdarahan, akan

Universitas Sumatera Utara


13

timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin terjadi syok
hipovolemik. Pada pemeriksaan vagina, didapatkan nyeri dan penonjolan rongga
Douglas.
 Kista ovarium terpuntir
Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan teraba massa dalam
rongga pelvis pada pemeriksaan perut, colok vagina atau colok rektal. Tidak
terdapat demam. Pemeriksaan ultrasonografi dapat menentukan diagnosis ini.
 Endometriosis eksterna
Endometrium di luar rahim akan menimbulkan nyeri di tempat endometriosis
berada, dan darah menstruasi terkumpul di tempat itu karena tidak ada jalan keluar.
 Urolitiasis pielum/ureter kanan
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut yang menjalar ke inguinal kanan
merupakan gambaran yang khas. Eritrosit pada urin sering ditemukan. Foto polos
perut atau urografi intravena dapat memastikan diagnosis penyakit ini.
 Penyakit saluran cerna lainnya
Penyakit lain yang perlu dipikirkan adalah peradangan di perut, seperti divertikulus
Meckel, perforasi tukak duodenum atau lambung, kolesistitis akut, pankreatitis,
obstruksi usus, perforasi kolon, demam tifoid abdominalis, karsinoid dan mukokel
apendiks.

2.4.6 Penatalaksanaan
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu-satunya
pilihan yang baik adalah apendektomi. Menurut Wibisono dan Jeo (2013), ada hal-
hal yang perlu diperhatikan:

1. Pre operatif
Observasi ketat,tirah baring dan puasa. Pemeriksaan abdomen dan rektal serta
pemeriksaan darah dapat diulang secara periodik. Foto abdomen dan toraks dapat
dilakukan untuk mencari penyulit lain. Antibiotik intravena spektrum luas dan
analgesik dapat diberikan. Pada apendisitis perforasi perlu diberikan resusitasi
cairan sebelum operasi.

Universitas Sumatera Utara


14

2. Operatif
 Apendektomi terbuka dilakukan dengan insisi transversal pada kuadran
kanan bawah (Davis-Rockey) atau insisi oblik (McArthur-McBurney).
Pada diagnosis yang belum jelas dapat dilakukan subumbilikal pada garis
tengah.
 Laparoskopi apendektomi, teknik operasi dengan luka dan kemungkinan
infeksi lebih kecil.
3. Pasca operatif
Perlu dilakukan observasi tanda vital untuk mengantisipasi adanya perdarahan
dalam, syok, hipertermi atau gangguan pernapasan. Pasien dibaringkan dalam
posisi Fowler dan selama 12 jam dipuasakan terlebih dahulu. Pada operasi dengan
perforasi atau peritonitis umum, puasa dilakukan hingga fungsi usus kembali
normal. Secara bertahap pasien diberi minum, makanan saring, makanan lunak dan
makanan biasa.

2.4.7 Komplikasi
Komplikasi yang paling membahayakan adalah perforasi, baik berupa perforasi
bebas maupun perforasi pada apendiks yang mengalami pendindingan sehingga
berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks , sekum, dan lekuk usus halus.
 Massa apendikular
Massa Apendiks terjadi bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi
atau di bungkus oleh omentum. Pada massa periapendikuler dengan pembentukan
dinding yang belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga
peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu,
massa periapendikuler yang masih bebas (mobile) sebaiknya segera dioperasi untuk
mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasinya masih mudah. Pada anak,
dipersiapkan operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa dengan massa
periapendikuler yang terpancang dengan pendindingan yang sempurna sebaiknya
dirawat terlebih dahulu dan diberi antibiotik sambil dilakukan pemantauan terhadap
suhu tubuh, ukuran massa serta luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada demam,
massa periapendikuler hilang, dan leukosit normal, penderita boleh pulang dan

Universitas Sumatera Utara


15

apendektomi dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar pendarahan akibat


perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk
abses apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi,
bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya angka
leukosit.
Apendektomi dilakukan pada infiltrat periapendikuler tanpa pus yang telah
ditenangkan. Sebelumnya, pasien diberi antibiotik kombinasi yang aktif terhadap
kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu
kemudian, dilakukan apendektomi. Pada anak kecil, wanita hamil, dan penderita
usia lanjut, jika secara konservatif tidak membaik atau berkembang menjadi abses,
dianjurkan operasi secepatnya.
Bila sudah terjadi abses, dianjurkan drainase saja. Apendektomi dikerjakan setelah
6-8 minngu kemudian. Jika pada saat dilakukan drainase bedah, apendiks mudah
diangkat, dianjurkan sekaligus dilakukan apendektomi (Sjamsuhidajat & de Jong,
2007).
 Apendisitis perforata
Adanya fekalit didalam lumen, penderita pada usia anak-anak maupun orangtua,
dan keterlambatan diagnosis, merupakan faktor yang berperanan dalam terjadinya
perforasi apendiks. Insidensi perforasi pada penderita di atas usia 60 tahun
dilaporkan sekitar 60%. Faktor yang mempengaruhi tingginya insidensi perforasi
pada orang tua adalah gejalanya yang samar, keterlambatan berobat, adanya
perubahan anatomi apendiks berupa penyempitan lumen, dan arteriosklerosis.
Insidensi tinggi pada anak disebabkan oleh dinding apendiks yang masih tipis, anak
kurang komunikatif sehingga memperpanjang waktu diagnosis, dan proses
pendindingan kurang sempurna akibat perforasi yang berlangsung cepat dan
omentum anak belum berkembang.
Perforasi apendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan
demam tinggi, nyeri makin hebat yang meliputi seluruh perut, perut menjadi
distensi(tegang dan kembung). Nyeri tekan dan defans muskuler terjadi di seluruh
perut, mungkin disertai dengan pungtum maksimun di regio iliaka kanan, peristalsis
usus dapat menurun sampai menghilang akibat adanya ileus paralitik. Abses rongga

Universitas Sumatera Utara


16

peritoneum dapat terjadi bila pus yang menyebar terlokalisasi di suatu tempat,
paling sering di rongga pelvis dan subdiafragma. Adanya massa intraabdomen yang
nyeri disertai demam harus dicurigai sebagai abses. Ultrasonografi dapat membantu
mendeteksi adanya abses.
Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian antibiotik untuk kuman Gram
negatif dan positif serta kuman anaecrob, dan pemasangan pipa nasogastrik perlu
dilakukan sebelum pembedahan.
Perlu dilakukan laparatomi dengan insisi yang panjang, supaya dapat dilakukan
pencucian ronga peritoneum dari pus maupun pengeluaran fibrin yang adekuat
secara mudah serta pembersihan abses. Akhir-akhir ini mulai banyak dilaporkan
pengelolaan apendisitis perforasi secara laparoskopi apendektomi. Pada prosedur
ini, rongga abdomen dapat dibilas dengan mudah. Hasilnya dilaporkan tidak
berbeda jauh dibandingkan dengan laparatomi terbuka, tetapi keuntungannya
adalah lama rawat lebih pendek dan secara kosmetik lebih baik (Sjamsuhidajat &
de Jong, 2007).

2.4.8 Prognosis
Tingkat mortalitas dan morbiditas sangat kecil dengan diagnosis yang akurat serta
pembedahan. Tingkat mortalitas keseluruhan berkisar antara 0,2-0,8% dan
disebabkan oleh komplikasi penyakit dan pada intervensi bedah. Pada anak, angka
ini berkisar antara 0,1-1%, sedangkan pada pasien diatas 70 tahun angka ini
meningkat di atas 20% terutama karena keterlambatan diagnosis dan terapi
(Wibisono dan Jeo, 2013).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai