Disusun oleh:
Pendahuluan
Sindroma koroner akut (SKA) adalah istilah yang digunakan untuk kumpulan
simptom yang muncul akibat iskemia miokard akut. SKA yang terjadi akibat
infark otot jantung disebut infark miokard. Termasuk di dalam SKA adalah
unstable angina pektoris, infark miokard non elevasi segmen ST (Non STEMI),
dan infark miokard elevasi segmen ST (STEMI) (Ramrakha, 2006).
Infark miokard adalah nekrosis miokard yang berkembang cepat oleh karena
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen otot-otot jantung (Fenton,
2009). Hal ini biasanya disebabkan oleh ruptur plak yang kemudian diikuti oleh
pembentukan trombus oleh trombosit. Lokasi dan luasnya miokard infark
bergantung pada lokasi oklusi dan aliran darah kolateral (Irmalita, 1996).
Di Amerika Serikat pada pertengahan abad, penyakit kardiovaskular menyumbang
lebih dari setengah dari semua kematian. Pada paruh kedua abad ini, 85% dari
penurunan angka kematian usia disesuaikan dari semua penyebab bisa berasal
penurunan kematian akibat penyakit jantung dan stroke. Sekitar setengah dari
penurunan dramatis seperti angka kematian akibat penyakit jantung iskemik (IHD)
dapat dijelaskan oleh pencegahan primer dan sekunder dan setengah dengan
perbaikan terapeutik. Epidemiologi rejimen terapeutik pada infark miokard akut
(AMI) menunjukkan peningkatan yang cukup besar dalam penggunaan terapi
trombolitik, aspirin, beta-blocker dan, di beberapa negara, angioplasti koroner.
Hasil jangka panjang beberapa percobaan trombolitik telah menunjukkan
kegigihan manfaat awal sampai 10 tahun setelah AMI. Namun, sekitar setengah
dari pasien dengan AMI yang dirawat di rumah sakit terlambat untuk sepenuhnya
manfaat dari terapi trombolitik, dan seperempat dari pasien yang memenuhi syarat
tidak menerima segala bentuk reperfusi.
Angioplasti primer yang dianjurkan oleh beberapa orang sebagai terapi pilihan pada
AMI. Hasil ini tidak cukup meyakinkan untuk menginduksi reorganisasi sangat
kompleks dan mahal dari sistem kesehatan, yang memungkinkan akses langsung ke
angiografi koroner untuk semua atau sebagian besar pasien dengan AMI. Namun,
stenting arteri koroner infark di lokasi oklusi sebelumnya muncul untuk
meningkatkan hasil segera dan jangka menengah prosedur revaskularisasi koroner.
Sekitar setengah dari korban AMI yang rehospitalized dalam waktu 1 tahun setelah
peristiwa indeks, dan angka kematian pasca infark masih sangat tinggi. Setelah AMI,
prosedur prognostik dan terapi telah diperkenalkan dalam ketiadaan bukti dari
percobaan terkontrol profil efektivitas mereka. Penelitian hasil pekerjaan yang
diperlukan untuk membakukan kebijakan pasca-AMI efektif. Selain itu, strategi baru
diperlukan untuk mengurangi angka kejadian dan kematian kejadian iskemik akut.
Sejumlah faktor risiko calon baru untuk IHD muncul, mereka berhubungan dengan
disfungsi endotel, negara thrombogenic, dan negara inflamasi. Diharapkan bahwa
kemajuan dalam pendekatan molekuler untuk penyakit kardiovaskular, genetika
molekuler dan teknik transgenik akan memungkinkan strategi terapi yang lebih baik
pemahaman dan lebih efektif untuk mencegah dan mengendalikan IHD (Am Heart J.
1999).
Menurut laporan WHO, pada tahun 2004, penyakit infark miokard akut merupakan
penyebab kematian utama di dunia (WHO, 2008). Terhitung sebanyak 7.200.000
(12,2%) kematian terjadi akibat penyakit ini di seluruh dunia. Penyakit ini adalah
penyebab utama kematian pada orang dewasa di mana-mana (Garas, 2010). Infark
miokard akut adalah penyebab kematian nomor dua pada negara berpenghasilan
rendah, dengan angka mortalitas 2.470.000 (9,4%) (WHO, 2008). Di Indonesia pada
tahun 2002, penyakit infark miokard akut merupakan penyebab kematian pertama,
dengan angka mortalitas 220.000 (14%) (WHO, 2008). Direktorat Jendral Yanmedik
Indonesia meneliti, bahwa pada tahun 2007, jumlah pasien penyakit jantung yang
menjalani rawat inap dan rawat jalan di rumah sakit di Indonesia adalah 239.548 jiwa.
Kasus terbanyak adalah panyakit jantung iskemik, yaitu sekitar 110,183 kasus. Case
Fatality Rate (CFR) tertinggi terjadi pada infark miokard akut (13,49%) dan
kemudian diikuti oleh gagal jantung (13,42%) dan penyakit jantung lainnya (13,37%)
(Depkes, 2009).
Menurut data rekam medik RSUD Dr. Moewardi tahun pada bulan Oktober-
Desember tahun 2012 AMI termasuk dalam tujuh kasus besar dengan total 70 kasus.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka perlu dilakukan audit klinik asuhan
keperawatan nyeri pada pasien AMI di ruang ICVCU RSUD Dr. Moewardi yang
bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan asuhan keperawatan pada umumnya
dan meningkatkan kepatuhan terhadap standar asuhan keperawatan AMI pada
khususnya.
2. Metode
2.1. Penyusunan pedoman audit keperawatan
Instrumen audit keperawatan disusun berdasarkan hasil diskusi dan konsensus tim
adhoc yang terdiri dari Vitri Utami AMK, Wahyu Dwi AMK, Ainur Rofiah,
S.Kep, Ns., dan Eny Widaryanti, S.Kep., Ns. Ahli Manajemen Asuhan
Keperawatan Kritis Kardiovascular dan mengacu kepada referensi dari American
Heart Association 2010. Instrumen audit klinik terdiri dari: Kriteria, Standar,
Perkecualian dan Petunjuk pengambilan data (tabel 1).
Tindak tujuan di
lanjut