Politik Dinasti
Politik Dinasti
Fenomena dinasti politik ini sebenarnya bukan khas Indonesia. Fenomena ini terjadi
pula di berbagai negara, baik di negara berkembang maupun negara maju. Di India
dan Pakistan misalnya, terdapat dinasti politik Gandhi dan Bhutto. Di Thailand dan
Filipina terdapat dinasti politik Sinawatra dan Aquino. Di Lebanon-Timur Tengah,
terdapat dinasti politik Gemayel dan Hariri. Di Amerika Serikat terdapat dinasti politik
Bush, Clinton, dan tentu saja yang paling terkenal adalah dinasti politik Kennedy.
Lalu, mengapa dinasti politik dipermasalahkan di Indonesia? Apa yang salah dengan
dinasti politik di Indonesia? Bukankah mengikuti kontestasi politik untuk menjadi
pimpinan jabatan publik, seperti kepala daerah, merupakan hak politik tiap warga
negara?
Itulah kira-kira beberapa gambaran pertanyaan yang diajukan oleh para penentang
pembatasan dinasti politik di Indonesia. Untuk menyikapi isu dinasti politik secara
bijak, alangkah lebih baik kalau diperjelas terlebih dahulu apa yang dimaksud
dengan dinasti politik.
Dinasti Politik?
Dinasti politik merupakan sebuah serangkaian strategi politik manusia yang
bertujuan untuk memperoleh kekuasaan, agar kekuasaan tersebut tetap berada di
pihaknya dengan cara mewariskan kekuasaan yang sudah dimiliki kepada orang lain
yang mempunyai hubungan keluarga dengan pemegang kekuasaan sebelumnya.
Itulah pengertian netral dari dinasti politik. Terdapat pula pengertian positif dan
negatif tentang dinasti politik. Negatif dan positif tersebut bergantung pada proses
dan hasil (outcomes) dari jabatan kekuasaan yang dipegang oleh jaringan dinasti
politik bersangkutan. Kalau proses pemilihannya fair dan demokratis serta
kepemimpinan yang dijalankannya mendatangkan kebaikan dalam pembangunan
dan kesejahteraan masyarakat maka dinasti politik dapat berarti positif. Akan tetapi,
bisa berarti negatif jika yang terjadi sebaliknya. Selain itu, positif dan negatif arti
dinasti politik juga ditentukan oleh realitas kondisi sosial masyarakat, sistem hukum
dan penegakan hukum, dan pelembagaan politik bersangkutan. Dinasti politik yang
terdapat pada masyarakat dengan tingkat pendidikan politik yang rendah, sistem
hukum dan penegakan hukum yang lemah serta pelembagaan politik yang belum
mantap, maka dinasti politik dapat berarti negatif. Dinasti politik tidak bermasalah
bila kondisinya berkebalikan dengan yang tersebut di atas, seperti dinasti politik
Bush dan Kenndey di Amerika Serikat.
Istilah lain yang sepadan dengan pengertian dinasti politik adalah tren politik
kekerabatan. Menurut Dosen ilmu politik Fisipol UGM, A.G.N. Ari Dwipayana, tren
politik kekerabatan itu sebagai gejala neopatrimonialistik. Benihnya sudah lama
berakar secara tradisional. Yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan
regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit system, dalam
menimbang prestasi. Menurutnya, kini disebut neopatrimonial, karena ada unsur
patrimonial lama, tapi dengan strategi baru. "Dulu pewarisan ditunjuk langsung,
sekarang lewat jalur politik prosedural." Anak atau keluarga para elite masuk institusi
yang disiapkan, yaitu partai politik. Oleh karena itu, patrimonialistik ini terselubung
oleh jalur prosedural.
Kekuasaan tak boleh lepas dari genggaman orang yang punya hubungan
persaudaraan, sehingga hanya terdistribusi dan bergerak melingkar di antara pihak-
pihak yang memiliki pertalian darah. Merujuk pada dalil blood is thicker than water
itu, di era modern, para politikus mewariskan kekuasaan kepada kerabatnya dengan
cara memanipulasi sistem politik demokrasi.
Para kerabat --lantaran pertalian darah-- dianggap lebih dapat dipercaya dan tak
mungkin berkhianat seperti lazim dilakukan politikus pemburu kekuasaan. Maka,
para elite politik Indonesia secara massif mengusung anggota keluarga menjadi
caleg atau calon kepala daerah. "Ini bentuk manipulasi sistem politik modern melalui
mekanisme demokrasi prosedural yang memang mengandung banyak kelemahan.
Mereka menjadi caleg atau calon kepala daerah lebih karena political privileges
keluarga, yang hanya memproduksi politisi tiban atau karbitan. Bukan political
credentials kreasi mereka sendiri, yang melahirkan politisi sejati nan otentik.
Political credentials bisa diperoleh melalui tiga jalan. Pertama, aktivisme sosial-politik
yang mendapat pengakuan publik sehingga melahirkan sosok politisi genuine,
kredibel, dan bereputasi cemerlang. Kedua, pendidikan yang mengantarkan
seseorang menjadi politikus terpelajar dengan prestasi individual yang secara
objektif diakui masyarakat. Ketiga, kombinasi antara aktivisme sosial-politik dan
pengalaman pendidikan yang panjang.
Di Indonesia, terdapat pula tokoh politik nasional yang tumbuh, selain karena
mewarisi darah aristokrasi politik keluarga, juga memiliki political credentials yang
mereka bangun sendiri. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur bisa disebut mewakili
tokoh politik yang membangun political credentials melalui kombinasi dua jalan tadi.
Sedangkan Megawati menempuhnya melalui jalan yang pertama.
(5) Di Jambi, terjadi persaingan untuk jabatan gubernur mendatang di antara dua
orang keluarga dekat Gubernur Zulkifli Nurdin, yang telah menjabat dua periode,
yaitu Hazrin Nurdin, adik gubernur, dan Ratu Munawwaroh, istri gubernur.
(8) Di Sulawesi Selatan, terdapat dinasti keluarga Yasin Limpo. Pensiunan Angkatan
Darat ini pernah menjadi Bupati Luwuk, Majene, dan Gowa. Yasin telah pensiun.
Tapi istri dan anak-anaknya tetap berkiprah di ranah politik. Pada periode 2004-
2009, istri Yasin, Nurhayati, menjadi anggota DPR-RI. Putra pertamanya, Tenri Olle,
jadi anggota DPRD Gowa. Tenri bertugas mengawasi adiknya, Ichsan Yasin (putra
kelima), selaku Bupati Gowa. Putra kedua, Syahrul Yasin, menjadi Wakil Gubernur
Sulsel dan sejak April 2008 naik jadi gubernur setempat.
(9) Di Jawa Tengah, terdapat salah satu keluarga legendaris sebagai pemasok
pejabat publik setempat yaitu keluarga pasangan R. Sugito Wiryo Hamidjoyo dan R.
Rustiawati. Lima dari 11 putra Sugito meramaikan bursa jabatan publik di Jawa
Tengah dan Jawa Barat pada periode 2004-2009. Putra kedua, Don Murdono, jadi
Bupati Sumedang sejak 2003 dan terpilih untuk kedua kalinya pada 2008. Adiknya,
Hendy Boedoro, menjadi Bupati Kendal sejak tahun 2000 dan terpilih untuk kedua
kalinya pada 2005. Karier Hendy tersandung. Sejak Desember 2006, ia ditetapkan
sebagai tersangka korupsi oleh KPK. Si bungsu, Murdoko, juga tak mau kalah. Ia
melesat jadi Ketua DPRD Jawa Tengah 2004-2009 dan terpilih untuk kedua kalinya
pada 2009. Sang ayah, Sugito, dulu adalah Sekretaris PNI Kendal.
Pemilu 2004 dan 2009 serta sejumlah Pemilukada semenjak 2005 telah
menghasilkan peta pemimpin daerah yang kental pertalian kerabat.
Secara pribadi, penulis setuju dengan gagasan pemerintah untuk membatasi dinasti
politik di daerah. Saya senada dengan apa yang telah dikatakan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono: “Tidak patut jika kepala daerah yang telah habis masa
jabatannya digantikan oleh anak atau isterinya” (Kompas, 24 Agustus 2010). Akan
tetapi, lebih jauh penulis mendorong agar terdapat pula regulasi yang membatasi
dinasti politik di tingkat nasional. Regulasi tersebut bisa dituangkan dalam UU
Pilpres yang akan datang.
Dinasti politik perlu dibatasi karena pertimbangan berikut. Pertama, dinasti politik,
terutama di daerah, hanya akan memperkokoh politik oligarkhi yang bernuansa
negatif. Bila jabatan-jabatan penting di lembaga eksekutif dan legislatif dikuasai oleh
satu keluarga, maka mekanisme checks and balances tidak akan efektif. Akibatnya,
rawan terjadi penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan diri dan keluarga.
Kedua, dinasti politik mengarah pada terbentuknya kekuasaan yang absolut. Bila
jabatan kepala daerah misalnya, dipegang oleh satu keluarga dekat yang
berlangsung lama secara terus menerus, misalnya setelah 10 tahun menjabat,
kemudian digantikan oleh istrinya selama sepuluh tahun lagi, kemudian oleh
anaknya dan seterusnya, maka akan muncul fenomena kekuasaan Soeharto ala
orde baru. Kekuasaan absolut yang rawan korup akan terbentuk, sebagaimana
adagium politik terkenal dari Lord Acton: “Power tends to corrupt, and Absolute
Power Tends to Corrupt Absolutely” (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan
yang absolut akan cenderung korup secara absolut pula).
Ketiga, dinasti politik pada masyarakat Indonesia yang pendidikan politiknya relatif
kurang dan sistem hukum serta penegakan hukum (law enforcement) yang lemah,
maka akan menyebabkan proses kontestasi politik menjadi tidak adil. Keluarga
incumbent yang maju dalam kontestasi politik, seperti Pemilukada, akan dengan
mudah memanfaatkan fasilitas pemerintah dan jaringan incumbent untuk
memenangkan pertarungan seraya menyingkirkan para kompetitornya. Apalagi, bila
keluargapun turut berbisnis ikut dalam tender-tender dalam proyek pemerintah di
daerah bersangkutan, maka dapat dibayangkan dana-dana pemerintah dalam
bentuk proyek mudah menjadi bancakan dengan aneka warna KKNnya. Dana
pemerintah seolah milik uang keluarga.
Keempat, dinasti politik dapat menutup peluang warga negara lainnya di luar
keluarga incumbent untuk menjadi pejabat publik. Tentu hal ini, bila terjadi, akan
mendegradasi kualitas demokrasi kita. Untuk itu memang perlu diatur agar jabatan
kepala pemerintahan puncak, tidak dijabat secara terus menerus oleh satu keluarga
inti secara berurutan.
Prinsipnya, pembatasan dinasti politik itu untuk mengatur bukan mematikan hak
politik seseorang sama sekali. Oleh karenanya, penulis tidak setuju dengan
anggapan bahwa pembatasan tersebut melanggar hak asasi manusia (HAM) seperti
yang dilontarkan oleh Sekjend Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP),
Muchtar Sindang.
Tujuan
Makalah lebih menitikberatkan pada posisi sudut
pandang netralitas dalam menilai politik dinasti ini.
Pembahasan
Politik dinasti, satu kata yang dapat dikaji maknanya
melalui kajian etika dalam kehidupan sehari-hari,
keakhlak dan budi pekertian, kemultikulturalisme dan
identitas kebangsaan, geopolitik dan geostrategi,
wilayah kenegaraan, serta hukum, konstitusi,
kedaulatan, dan pendidikan demokrasi.
Pertama dikaji dalam etika kehidupan sehari-hari;
secara garis besar, pengertian etika dapat
disederhanakan menjadi suatu hal yang digunakan
untuk membatasi, meregulasi, melarang dan
memerintahkan tindakan mana yang diperlukan dan
mana yang dijauhi. Pun demikian dengan etika dalam
berpolitik. Berbicara soal moralitas merupakan hal yang
cukup pelik. Sebab moralitas bukan sekedar tugas
pemberian nasehat yang hanya menyentuh dan berupa
himbauan yang bersifat teoretik serta tidak sampai pada
upaya pemecahan masalah konkret. Etika sebagai
sistem pengkajian terhadap moral pun bukan
sekedar bertugas menyusun sederetan daftar perbuatan
baik yang harus dikerjakan
serta perbuatan buruk yang harus ditinggalkan. Etika
justru memiliki sifat dasar kritis, yang mempertanyakan
landasan argumentatif dari hak berlakunya norma, hak
perorangan, masyarakat, lembaga masyarakat, ketika
memberlakukan norma yang harus ditaati oleh orang
lain, sehingga orang lain tersebut wajib taat terhadap
norma tersebut. Dengan kata lain etika dapat
mengantarkan orang mampu bersikap rasional, sadar
dan kritis untuk membentuk pendapatnya sendiri dan
bertindak sesuai dengan keyakinan dan kebebasannya,
sehingga manusia yang otonom secara utuh dengan
sungguh-sungguh mempertanggungjawabkan pendapat
serta pilihan tindakannya
Saat ini, perkembangan politik di Indonesia seakan-akan
mulai meninggalkan etika yang seharusnya perlu untuk
dijaga. Etika dalam kehidupan masyarakat dan dunia
politik pada dasarnya adalah sama. Keduanya
merupakan pembatas bagi tindakan mana yang
diperlukan dan tindakan mana yang perlu dijauhi.
Sebagai contohnya, adalah semakin kentalnya
pemerintahan ini dengan politik dinasti. Sejalan dengan
sebutannya, politik dinasti mengarah pada adanya
hubungan darah antar pemegang kekuasaan di dalam
pemerintahan. Sehingga hal ini tentu menguntungkan
bagi anggota keluarga yang memiliki kerabat dalam
pemerintahan. Akibatnya, akan terbentuk keluarga
politik yang nantinya akan mengarah kembali kepada
terjadinya nepotisme, seperti di zaman orde baru.
Bahaya, itulah kata yang menggambarkan dampak
negatif adanya politik dinasti. Politik dinasti berdampak
tumbuhnya sentralisasi kekuasaan yang diikuti dengan
adanya kepentingan keluarga dan kroninya dalam
pemerintahan. Hal tersebut tentu akan menjadi batu
sandungan dalam mewujudkan pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat yang notabene
merupakan bentuk ideal demokrasi.
Praktis, laju pemerintahan pun akan kehilangan navigasi
yang disebabkan adanya kepentingan keluarga dalam
pemerintahan, bukan lagi berorientasi pada kepentingan
rakyat. Namun, tentu tidak pula menutup kemungkinan
adanya kemajuan dan perkembangan positif dalam
pemerintahan terkait dengan politik dinasti.
Perkembangan yang positif dapat timbul jika
kepentingan rakyat adalah hal yang selalu diutamakan,
bukan kepentingan keluarga dan kroninya. Tentu bukan
kesalahan jika anggota keluarga yang mewarisi
pengaruh politik pendahulunya, tanpa unsur nepotisme,
merupakan tokoh yang berkompeten, memiliki
kredibilitas, dan berkapabilitas dalam menjalankan
pemerintahan yang bersih.
Hal yang diuraikan di atas akan membawa kita kembali
pada etika dalam kehidupan bermasyarakat, dalam hal
ini lebih terfokus pada pemerintahan. Seperti yang telah
diuraikan, etika akan menjadi pembatas atau regulator
tentang tindakan mana yang perlu dilakukan dan perlu
dijauhi. Politik dinasti yang berkaitan dengan nepotisme
dengan orientasi untuk menjalankan kepentingan
keluarga atau kroninya jelas merupakan hal yang dapat
merusak suatu pemerintahan yang berdampak pada
dikesampingkannya kesejahteraan rakyat. Namun akan
lain ceritanya jika politik dinasti tersebut tidak terkait
dengan nepotisme serta berorientasi pada
kesejahteraan rakyat, dimana anggota keluarga yang
terlibat benar-benar memiliki kompetensi, kredibelitas,
dan kapabilitas dalam menjalankan pemerintahan bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan
demikian, etika dalam kehidupan pemerintahan, terkait
dengan timbulnya politik dinasti, memiliki peran yang
sangat vital untuk menjaga tujuan pemerintah dalam
mensejahterakan rakyat.
Kajian kedua mengenai penerapan akhlak dan budi
pekerti ini, politik dinasti ini sangat tidak sesuai dengan
hal tersebut. Seharusnya dalam menentukan siapa yang
berhak duduk dipemerintahan itu harus berdasarkan
kapasitas dan kompetensi yang dimilikinya bukan
berdasarkan siapa yang membawanya kedalam
pemerintahan. Peran akhlak dan budi pekerti sangat
penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
sebagai penyaring budaya – budaya yang tidak sesuai
dengan kepribadian bangsa Indonesia. Budaya dalam
hal ini adalah budaya yang marak terjadi ketika masa
pra-reformasi yakni memasukan anggota keluarga
kedalam pemerintahan. Akhlak dan budi pekerti dipakai
sebagai filter sehingga politik dinasti ini sebaiknya tidak
dilakukan di Indonesia karena tidak sesuai dengan
kepribadian bangsa Indonesia yang notabene Indonesia
adalah negara yang demokrasi; negara yang
mengizinkan setiap warga negaranya yang kompeten
untuk berperan aktif dalam pemerintahan; bukan malah
mengizinkan orang yang tidak sama sekali kompeten
duduk di pemerintahan menjadi wakil rakyat, yang
nantinya harus menampung dan menyalurkan aspirasi
rakyat, hanya karena status penting orang tuanya di
pemerintahan.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.partaigerindra.or.id/index.php?
option=com_content&task=view&id=1201&Itemid=28, 2
7 November 2010.
http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?
id=62199, 27 November 2010.
http://www.sumbawanews.com/berita/opini/parpol-dan-
pelaksanaan-pendidikan-politik.html, 27 November
2010.
http://www.pikiran-rakyat.com/node/127549, 27
November 2010.
http://umum.kompasiana.com/2009/02/01/pendidikan-
politik-rakyat/, 27 November 2010.
http://id.shvoong.com/law-and-politics/politics/2064423-
iwan-fals-vs-oom-pasikom/, 27 November 2010.
Pengarang : Slamet Soemiarno dkkData Publikasi :
Soemiarno, Kartono dkk. 2010.
Buku Ajar III Bangsa, Budaya, dan Lingkungan Hidup di
Indonesia. Jakarta. Balai Penerbit FKUI
Dalam system demokrasi, dimana suara rakyat adalah suara yang menentukan nasib bangsa,
apabila dikaitkan dengan dinasti politik, maka secara prinsipil hal tersebut merupakan sebuah
hal yang lumrah dan diperbolehkan untuk dilakukan. Dinasti politik secara sederhana memang
dapat diartikan sebagai sebuah penggunaan hak-hak politik rakyat dalam “boleh memilih dan
dipilih”. Hal itu dibolehkan, karena subjek dari dinasti politik tersebut pastilah warga Negara
atau dengan kata lain salah satu dari rakyat yang memenuhi persyaratan dalam penggunaan
hak politiknya sehingga ak tersebut dapat digunakan.
Tapi dinasti politik disini juga dapat dilihat sebagai sebuah pisau yang bermata dua, dimana
hal tersebut merupakan sebuah kemacetan “Bottle neck” dari sebuah penggunaan hak warga
Negara lainnya. Hal tersebut dapat dilihat dari asumsi, bahwa dengan berkembangnya dinasti
politik, maka kemungkinan besar, rakyat hanya akan disuguhkan actor-aktor politik yang itu-itu
saja yang berasal dari satu keluarga dan tidak jarang, actor-aktor tersebut menerapkan pola
kelakuan politik yang sama mengingat berasal dari sebuah keluarga yang sama.
Yang menjadi permasalahan utama politik dinasti–begitu yang penulis sebut—adalah politik
dinasti sebenarnya ditentukan oleh generasi pertama dalam sebuah dnasti tersebut, dimana
hal tersebut akan menjadi sebuah tolak ukur bagi rakyat, apakah pada generasi pertama
tersebut, dalam menjalankan peran politiknya, mampu untuk mengejawantahkannya secara
benardalam menyejahteraakan rakyat dan memberikan pendidikan politik kepada rakyat,
ataukah justru generasi pertama tersebut malah merusak tatanan kehidupan bernegara dan
berbangsa. Hal itulah yang akan menjadi factor utama penerimaan masyarakat terhadap
bentuk dinasti politik atau pilitik dinasti tersebut. Tapi tak jarang juga sebuah politik dinasti
justru lahir untuk membetulkan kesalahan-kesalahan dari generasi-generasi sebelumnya yang
dianggap gagal. Tapi semua itu akan menjadi hak rakyat dalam sebuah system demokrasi,
apakah akan merestui terbentuknya politik dinasti tersebut ataukan malah akan menolak
politik dinasti tersebut.
Dinasti Politik dan Korupsi
Dalam melihat aspek penyelewengan kekuasaan yang berorientasi terhadap keuntungan pribadi
dalam aspek dinasti politik dalam system demokrasi. Kita seharusnya dapat melihat terlebih
dahulu mengenai definsisi korupsi itu sendiri secara baku. Dalam hal ini penulis memperluas
cakupan korupsi itu sendiri dengan mendampingkannya terhadap dua aspek penyelewengan
lainnya, yaitu kolusi dan nepotisme. Penulis melihat pada dasarnya Korupsi adalah sebuah
penyelewengan, sehingga kolusi dan nepotisme merupakan sebuah hal yang merupakan
kelanjutan dari korupsi itu tersebut.
Apabila memakai asumsi tersebut dipakai, maka dinasti poltik adalah sebuah mekanisme yang
sangat rentan terhadap korupsi tersebut. Hal ini akan terlihat sangat jelas dengan llogika
bahwa seseorang yang duduk dalam bangku kekuasaan akan memprioritaskan kerbat dekatnya
atau keluarganya untuk juga bisa mendapatkan kekuasaan atau dalam level terkecil
mendapatkan jabatan sebagai aparatur Negara atau lingkup-lingkup dibawahnya.
Menilik dari adagium Lord Acton tersebut, dinasti politik yang berpola seperti diatas akan
terlihat sebagai sebuah penyalahgunaan wewenang dan otoritas, yang tentu sja hal itu
merupakan sebuah bentuk korupsi (KKN). Dalam lingkup sederhana sebenarnya dinasti politik
dapat dibenarkan, dengan cara memberikan pembelajaran politik terhadap kerabat terdekat
atau bahkan keluarga agar jiwa politik yang didasarkan pada pemahaman tata kehidupan
bernegara dan berbangsa dapat tumbuh di kalangan kerabat terdekat maupun keluarga.
Sehingga dalam pembahasan dinasti politik dan korupsi tersebut lebih menitik beratkan kepada
actor politiknya itu sendiri, apakah mereka membangun sebuah dinasti politik berdasarkan
kesadaran untuk menciptakan tata kehidupan bernegara dan berbangsa dengan baik dan benar
ataukah membangun sebuah dinasti politik dengan kesadaran untuk mempertahankan
kekuasaan yang orientasinya adalah keuntungan pribadi.