Anda di halaman 1dari 7

SISTEM INTERKONEKSI

Pada sistem interkoneksi terdapat banyak pusat-pusat listrik yang besar di atas 100 MW,
umumnya beroperasi dalam listrik dan banyak pusat beban (yang disebut gardu induk/GI) yang
dihubungkan satu sama lain oleh saluran transmisi.
Di setiap GI terdapat beban berupa jaringan distribusi yang melayani para konsumen tenaga
listrik. Jaringan distribusi beserta konsumen ini merupakan suatu subsistem distribusi dan
subsistem dari setiap GI umumnya tidak mempunyai hubungan listrik satu sama lain
(interkoneksi).

Tujuan dari sistem interkoneksi antara lain adalah untuk menjaga kontinuitas penyediaan
tenaga listrik karena apabila salah satu pusat pembangkit mengalami gangguan masih dapat
disuplai dari pembangkit lain yang terhubung secara interkoneksi. Tujuan lainnya adalah saling
memperingan beban yang harus ditanggung oleh suatu pusat listrik.

Gambar diatas menunjukkan sebagian dari sistem interkoneksi yang terdiri dari sebuah
pusat listrik, dua buah GI beserta subsistem distribusinya. Karena operasi pusat-pusat listrik dalam
sistem interkoneksi saling mempengaruhi satu sama lain, maka perlu ada koordinasi operasi.
Koordinasi operasi ini dilakukan oleh pusat pengatur beban.

Koordinasi terutama meliputi:


1) Koordinasi dalam pemeliharaan.
2) Pembagian beban secara ekonomis.
3) Pengaturan frekuensi.
4) Pengaturan tegangan.
5) Prosedur mengatasi gangguan

PROSES PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK

Proses penyedian listrik dimulai dari GI, yang kemudian tenga listrik dinaikkan teggannya
menggunak Trafo Step Up untuk disalurkan melalui saluran transmisi.

Dari GI, energy didistribusikan melalui saluran udara atau kabel tanah, dan terdapat gardu
distribusi yang berfungsi untuk menurunkan tegangan dengan menggunakan Trafo step down
menjadi tegangan rendah 380/220 Volt.

Keterangan:

PMT : Pemutus Tegangan/CB (Circuit Braker)


TSU : Trafo Step Up (transformator penaik tegangan)
TSD : Trafo Step Down (transformator penurun tegangan)
TPS : Trafo Pemakai Sendiri

PROSES PENYEDIAAN LISTRIK BAGI KONSUMEN


Setelah tenaga listrik yang dihasilkan oleh GI masuk ke gardu distribusi dan tegangannya
diturunkan menggunakan transformator step down, maka tenaga listrik akan disalurkan melalui
JTM, dari JTM tenaga listrik akan masuk ke transformator distribusi yang kemudian akan di
distribusikan melalui JTR agar bisa digunakan oleh konsumen.
Keterangan :

GI : Gardu Induk
JTM : Jaringan Tegangan Menengah
TD : Trafo Distribusi
JTR : Jaringan Tegangan Rendah

Dalam pembangunan pembangkit tenaga listrik, secara umum ada


beberapa pertimbangan dan tahapan yang harus diperhatikan, yaitu
:
1. Studi analisa mengenai dampak lingkungan (amdal). Di sini dianalisa dan
diperhitungkan mengenai berbagai dampak yang mungkin akan timbul
pada saat pembangunannya dan pada saat pembangkit tenaga listrik
tersebut dioperasikan.
2. Memperhitungkan dan memprekdisikan tersedianya sumber daya
penggerak (air, panas bumi dan bahan bakar), sehingga benar-benar
feasible untuk penggunaan dalam jangka waktu yang lama dan bisa
mendukung kontinyuitas operasional pembangkit tersebut.
3. Tersedianya lahan beserta prasarana dan sarananya, baik untuk
pembangkit tenaga listrik itu sendiri maupun untuk penyalurannya, karena
hal ini merupakan satu kesatuan untuk melayani beban.
4. Pertimbangan dari segi pemakaian pembangkit tenaga listrik tersebut,
apakah untuk melayani dan menanggung beban puncak, beban yang
besar, beban yang kecil atau sedang, beban yang bersifat fluktuatif atau
hanya untuk stand by saja.
5. Biaya pembangunannya harus ekonomis dan diupayakan memakan waktu
sesingkat mungkin. Selain itu juga harus dipertimbangkan dari segi
operasionalnya tidak boleh terlalu mahal.
6. Pertimbangan dari segi kemudahan dalam pengoperasian, keandalan yang
tinggi, mudah dalam pemeliharaan dan umur operasional (life time)
pembangkit tenaga listrik tersebut harus panjang.
7. Harus dipertimbangkan kemungkinan bertambahnya beban, karena hal ini
akan berkaitan dengan kemungkinan perluasan pembangkit dan
penambahan beban terpasang pada pembangkit.
8. Berbagai pertimbangan sosial, teknis dan lain sebagainya yang mungkin
akan menghambat dalam pelaksanaan pembanguna serta pada
pembangkit tenaga listrik tersebut beroperasi. Dari berbagai
pertimbangan tersebut, ada satu hal yang dijadikan pedoman dan filosofi
dalam membangun pembangkit tenaga listrik yaitu pembangunan paling
murah dan investasi paling sedikit (least cost generation and least
invesment).

Berdasarkan sistem transmisi dan kapasitas tegangan yang disalurkan terdiri:

1. Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) 200kV-500kV


Pada umumnya saluran transmisi di Indonesia digunakan pada pembangkit
dengan kapastas 500 kV. Dimana tujuannya adalah agar drop tegangan dari
penampang kawat dapat direduksi secara maksimal, sehingga diperoleh
operasional yang efektif dan efisien. Akan tetapi terdapat permasalahan
mendasar dalam pembangunan SUTET ialah konstruksi tiang (tower) yang
besar dan tinggi, memerlukan tanah yang luas, memerlukan isolator yang
banyak, sehingga memerlukan biaya besar. Masalah lain yang timbul dalam
pembangunan SUTET adalah masalah sosial, yang akhirnya berdampak pada
masalah pembiayaan.

2. Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) 30kV-150kV

Pada saluran transmisi ini memiliki tegangan operasi antara 30kV sampai
150kV. Konfigurasi jaringan pada umumnya single atau doble sirkuit, dimana 1
sirkuit terdiri dari 3 phasa dengan 3 atau 4 kawat. Biasanya hanya 3 kawat dan
penghantar netralnya diganti oleh tanah sebagai saluran kembali. Apabila
kapasitas daya yang disalurkan besar, maka penghantar pada masing-masing
phasa terdiri dari dua atau empat kawat (Double atau Qudrapole) dan Berkas

3. Saluran Kabel Tegangan Tinggi (SKTT) 30kV-150kV

Saluran kabel bawah tanah (underground cable), saluran transmisi yang


menyalurkan energi listrik melalui kabel yang dipendam didalam tanah.
Kategori saluran seperti ini adalah favorit untuk pemasangan didalam kota,
karena berada didalam tanah maka tidak mengganggu keindahan kota dan juga
tidak mudah terjadi gangguan akibat kondisi cuaca atau kondisi alam. Namun
tetap memiliki kekurangan, antara lain mahal dalam instalasi dan investasi serta
sulitnya menentukan titik gangguan dan perbaikkannya.

Saluran transmisi ini menggunakan kabel bawah tanah, dengan alasan beberapa
pertimbangan :
a. ditengah kota besar tidak memungkinkan dipasang SUTT, karena sangat
sulit mendapatkan tanah untuk tapak tower.
b. Untuk Ruang Bebas juga sangat sulit karena padat bangunan dan banyak gedung-gedung tinggi.
c. Pertimbangan keamanan dan estetika.
d. Adanya permintaan dan pertumbuhan beban yang sangat tinggi.

Untuk saluran transmisi tegangan tinggi, dimana jarak antara menara/tiang berjauhan, maka dibutuhkan
kuat tarik yang lebih tinggi, oleh karena itu digunakan kawat penghantar ACSR. Kawat penghantar
alumunium, terdiri dari berbagai jenis, dengan lambang
sebagai berikut :
1. AAC (All-Alumunium Conductor), yaitu kawat penghantar yang seluruhnya
terbuat dari alumunium.
2. AAAC (All-Alumunium-Alloy Conductor), yaitu kawat penghantar yang
seluruhnya terbuat dari campuran alumunium.
3. ACSR (Alumunium Conductor, Steel-Reinforced), yaitu kawat penghantar
alumunium berinti kawat baja.
4. ACAR (Alumunium Conductor, Alloy-Reinforced), yaitu kawat penghantar
alumunium yang diperkuat dengan logam campuran.

Transmisi. Panjang Transmisi 500 kV sistem tenaga listrik Jawa Bali


Tahun 2010 bertambah menjadi 5.052 kms. Transmisi 150 kV menjadi
12.370 kms, sedangkan Transmisi 70 kV menjadi 3.608 kms.

Anda mungkin juga menyukai