PENDAHULUAN
Toleransi adalah istilah dalam konteks sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan
perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau
tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah toleransi beragama,
dimana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat mengizinkan keberadaan agama-agama
lainnya[2].Kata toleransi sebenarnya bukanlah bahasa “asli” Indonesia, tetapi serapan dari bahasa
Inggris “tolerance”, yang definisinya juga tidak jauh berbeda dengan kata toleransi/toleran. Menurut
Oxford Advanced Learners Dictionary of Current English, toleransi adalah quality of tolerating
opinions, beliefs, customs, behaviors, etc, different from one’s own[3].Adapun dalam bahasa Arab,
istilah yang lazim dipergunakan sebagai padanan dari kata toleransi adalah سماحةatau تسامح. Kata ini
pada dasarnya berarti al-jûd (kemuliaan). atau sa’at al-shadr (lapang dada) dan tasâhul (ramah, suka
memaafkan). Makna ini selanjutnya berkembang menjadi sikap lapang dada/ terbuka (welcome)
dalam menghadapi perbedaan yang bersumber dari kepribadian yang mulia[4].
Etika adalah dalam bahasa Yunani “Ethos”, berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom).
Etika biasanya berkaitan erat dengan perkataan moral yang merupakan istilah dari bahasa Latin,
yaitu “Mos” dan dalam bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup
seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan), dan menghindari hal- hal tindakan
yang buruk[5].
A. QS:al kafirun1-6
“Katakanlah: “Hai orang-orang kafir,aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.dan kamu
bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang
kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. untukmu
agamamu, dan untukkulah, agamaku.”
Surat ini adalah surat makkiyah, surat yang diturunkan pada periode Makkah, meskipun ada juga
pendapat yang menyebutkan bahwa, surat ini turun pada periode Madinah. Imam Ibnu Katsir dalam
tafsirnya menyebutkan bahwa, surat ini adalah surat penolakan (baraa’) terhadap seluruh amal
ibadah yang dilakukan oleh orang-orang musyrik, dan yang memerintahkan agar kita ikhlas dalam
setiap amal ibadah kita kepada Allah, tanpa ada sedikitpun campuran, baik dalam niat, tujuan
maupun bentuk dan tata caranya. Karena setiap bentuk percampuran disini adalah sebuah
kesyirikan, yang tertolak secara tegas dalam konsep aqidah dan tauhid Islam yang murni[6].
Surat al kafirun turun sekaligus sebagai jawaban atas ajakan kaum musyrikin Quarisy kepada nabi
Muhammad SAW. Mereka itu, antara lain al-As bin Wail as-Sahim, al-Aswad bin Abdul Muthalib,
Umayah bin Khalaf, dan Walid bin Mughirah. Mereka mengajak Nabi Muhammad SAW agar mau
sedikit toleran dan berkompromi dengan bergantian dalam menyembah Tuhan. Kaum Musyrikin
akan menyembah Tuhan yang di sembah Nabi Muhammad SAW. Dan waktu yang lain, Nabi
Muhammad SAW dan pengikutnya di minta untuk menyembah apa yang mereka sembah[7].
Secara umum, surat ini memiliki dua kandungan utama. Pertama, ikrar kemurnian tauhid, khususnya
tauhid uluhiyah (tauhid ibadah). Kedua, ikrar penolakan terhadap semua bentuk dan praktek
peribadatan kepada selain Allah, yang dilakukan oleh orang-orang kafir[8].
Kemudian QS Al-Kafirun ini ditutup dengan pernyataan secara timbal balik, yaitu untukmu agamamu
dan untuku agamaku. Dengan demikian, masing-masing pemeluk agama dapat melaksanakan apa
yang dianggapnya benar dan baik sesuai dengan keyakinannya tanpa memaksakan pendapat kepada
orang lain dan sekaligus tidak mengabaikan keyakinan masing-masing serta akan dipertanggung
jawabkan masing-masing dihadapan Allah. Dengan turunnya ayat ini, Hilanglah harapan orang-orang
musyrikin Quraisy yang berusaha membujuk Nabi Muhammad SAW agar bersikap toleran dengan
jalan untuk kompromi dalam bidang Aqidah Islam[9].
Q:S Yunus:40-41
“di antara mereka ada orang-orang yang beriman kepada Al Quran, dan di antaranya ada (pula)
orang-orang yang tidak beriman kepadanya. Tuhanmu lebih mengetahui tentang orang-orang yang
berbuat kerusakan.jika mereka mendustakan kamu, Maka Katakanlah: “Bagiku pekerjaanku dan
bagimu pekerjaanmu. kamu berlepas diri terhadap apa yang aku kerjakan dan akupun berlepas diri
terhadap apa yang kamu kerjakan”.
Pada ayat ke 40 surat Yunus Allah menjelaskan orang yang tidak beriman (kaun Kafir) yang
mendustakan Al Qur’an dibagi menjadi dua. Pertama golongan yang benar-benar mempercayai
dengan iktikad baik terhadap Al Qur’an, mereka termasuk orang yang menghormati pendapat orang
lain. Kedua golongan yang sama sekali tidak mempercayai dan terus menerus di dalam kekafiran,
mereka termasuk orang membuat kerusakan.
Pada ayat yang ke 41 surat Yunus “Bagiku pekerjaanku bagi kamu pekerjaan kamu”, bahwa Islam
sangat menghargai perbedaan-perbedaan diantara manusia, karena masing-masing punya hak. Dan
tidak boleh memaksakan orang lain memeluk agama Islam, sekalipun Islam agama yang benar. Yakni
biarlah kita berpisah secara baik-baik dan masing-masing akan dinilai Allah serta diberi balasan dan
ganjaran yang sesuai[10].
“dan Katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman)
hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir”. Sesungguhnya Kami telah
sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka
meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang
menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek”.
Ayat ini menegaskan bahwa manusia semua termasuk kaum Musyrikin yang angkuh itu bahwa “
Kebenaran (al-Qura’an) yang turun dan aku sampaikan ini datangnya dari Tuhan yang memelihara
alam semesta; maka barang siapa yang mau beriman tentang apa yang kusampaikan ini maka
hendaklah ia beriman. Hal demikian sebab keuntungan dan manfaat dari ke imanan mereka akan
kembali kepada dirinya sendiri. Dan barang siapa ingin kafir, ingkar dan menolak ayat-ayat
Allah,maka biarlah ia kafir – walau sekaya apapun dan tingginya kedudukan seseorang baik dalam
jabatan formal maupun sosialnya.Allah SWT tidak akan merasa kerugian dan berkurangnya
kekuasanNya dengan kekefiran mereka. Malah sebaliknya, Mereka akan merasa merugi dan celaka
dengan keingkaran dan menolak ayat-ayat Allah tersebut. Malahan Allah telah menyedikan neraka
yang kobaran apinya mengepung segala arah, Sehingga mereka tidak dapat menghindar.
Kata سرادقterambil dari kata Persia, Ahli tafsir mengartikan kata ini dengan Kemah dan ahli tafsir
lain menterjemahkan dengan Penghalang.Yakni neraka menggambarkan bangunan yang mempunyai
penghalang berupa kobaran api, sehingga manusia yang disiksa tidak akan bias keluar dari neraka,
dan pihak lain pun tidak bias masuk untuk member pertolongan. Dengan demikian yang disiksa
benar-benar diliputi oleh api itu[11].
Hadis Pertama
ْ ق اْل ُم
س ِلم ِ س ِم ْن َح ٌ يرة قال قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم َخ ْم َ عَن اَبِي ُه َر
اظ ِس ِ َيض َوتَش ِْم َيتُ الغِ از ِة َو ِعيَا َد ِة ال َم ِر ُ س ِل ْم َر ُد الت َ ِحيَ ِة َواِ َجابَةُ ال َدع َْو ِة َو
َ َش ُهو ُد ال َجن ْ عَلى اْل ُم
. ُاِدَا َح ِمدَهللا
Dari Abi Hurairah ra. berkata, Rasullah bersabda:ada lima kewajiban orang islam terhadap orang
islam lainnya, yaitu membalas salam, memenuhi undangan, melayat jenazah, menengok orang sakit,
)dan berdoa bagi orang yang bersin yang memuji Allah (membaca hamdallah).(Ibnu majah)
Dalam hadis di atas Rasullah Saw memberi pelajaran kepada orang-orang islam tentang
kewajiban dan haknya dalam pergaulan sehari-hari. Hak dan kewajiban itu antara lain:
1) Kewajiban membalas salam
Apabila ada orang islam yang memberi salam atau mengucapkan salam, yaitu “assalamu’alaikum”
maka orang islam lainnya berkewajiban membalas atau menjawab salam itu. Memberi salam adalah
sunah.
2) Kewajiban memenuhi Undangan
Orang islam apabila diundang oleh orang islam lainnya, wajib memenuhi atau menghadirinya,
terutama adalah undangan pernikahan atau walimatul ursy.
3) Kewajiban Melayat orang islam yang meninggal
Apabila ada orang islam yang meninggal dunia, maka orang islam lainnya berkewajiban melayatnya.
Hukumnya adalah wajib kifayah.
4) Kewajiban mendoakan orang islam yang bengkis
Apabila ada oarng islam bengkis lalu ia mengucapkan “alhamdulilah” maka orang islam yang
mendengarkannya berkewajiban mendoakannya dengan mengucapkan doa” Yarhakumullah”.
Perintah yang di pesankan dalam hadis tersebut tampak sangat manusiawi dan sesuai dengan
hukum sosial. Sebagaimana diakui dalam sosialogi bahwa pada kehidupan masyarakat apapun dan
dimana pun beradanya sangat memerlukan adanya perilaku yang seimbang diantara anggotanya.
Oleh karena itu apa yang di anjurkan hadis tersebut merupakan tata aturan/hukum sosial
kemasyarakatan yang sangat indah dan manusiawi. Lebih dari itu etika sosial tadi hukumnya bukan
hanya mengandung nilai-nilai budaya luhur, tetapi juga mengandung nilai peribadatan, karena dalam
praktiknya banyak mengandung doa guna membesarkan hati, menggembirakan, menentramkan,
menghibur orang yang bersangkutan.
Hadis Kedua
. سه َِر َواْل ُح َمى رواه البخارى والمسلم َ سائ ِِر اْل َج
َ س ِد ِبال ُ ُستَكَى مِ ْنه
َ ُعض ٌْو تَدَاعَى َله َ طف ِِه ْم َمث َ ُل اْل َج
ْ س ِد اِدَاا ُ َمث َ ُل اْل ُمؤْ مِ نِ ْينَ فِي تَ َوا ِد ِه ْم َوت َ َراحِ مِ ِه ْم َوتَعَا
Perumpamaan sesama orang-orang mukmin dalam mencinta, menyayangi, dan merasakan lemah
lembut seperti satu tubuh manusia, Jika diantara satu anggotanya merasa sakit maka seluruh tubuh
akan merasakan gelisah dan sakit panas.(HR.Bukhori dan Muslim)
Hadis ini menerangkan tentang etika atau tata pergaulan sosial kemasyarakatan sesama muslim.
Dalam hadis ini Rasullalah memberi pelajaran bagaimana hubungan sosial orang-orang islam dengan
orang islam lainnya. Cinta kasih sayang dan kemesraan hubungan orang0orang muslim dengan
muslim lainnya itu digambarkan oleh Rasulallah SAW ibarat satu tubuh. Dalam hadis ini juga
menjelaskan tentang pentingnya solideritas dalam kehidupan antara umat islam.
Kita tahu dan sadar bahwa manusia tidak bisa hidup kecuali dalam kebersamaan. Kebersamaan baru
dapat diwujudkan manakala solideritas tercermin dalam kehidupan masyarakatnya. Oleh karena itu
anjuran hadist tersebut kepada umat islam untuk mewujudkan solideritas dalam kehidupan antra
mereka merupakan ajakan yang positif dan itulah etika pergaulan sesama umat islam.