Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkemihan merupakan salah satu sistem dalam tubuh manusia yang
didalamnya terjadi proses penyaringan darah sehingga darah terbebas dari zat-
zat yang tidak dibutuhkan oleh tubuh. Zat yang dibutuhkan oleh tubuh akan
kembali beredar keseluruh tubuh melalui pembuluh darah kapiler darah ginjal,
kemudian masuk kedalam pembuluh darah untuk beredar keseluruh tubuh.
Organ penyusun sistem perkemihan yaitu ginjal, ureter, vesika urinaria, dan
uretra. Ginjal berfungsi untuk memproduksi urin dan disalurkan ke kandung
kemih melalui ureter, setelah ditampung dalam kandung kemih, urine kemudian
dikeluarkan melalui uretra. Uretra merupakan organ perkemihan yang paling
akhir, hal inilah yang menjadikan sering timbulnya penyakit pada uretra. Salah
satu penyakit pada uretra adalah striksi uretra. Striksi uretra adalah penyempitan
karena adanya jaringan fibrotik pada uretra sehingga pasien dengan diagnosa
striksi uretra mengalami nyeri, sukar membuang air kecil, serta dapat
menimbulkan hilangnya proses miksi.
Hipospadia merupakan kegagalan meatus urinarius meluas ke ujung penis.
(Gruendemann & Fernsebner, 2006) Insiden hipospadia terjadi pada 1 dalam
300 kelahiran anak laki-laki. Perkembangan uretra in uretro di mulai usia 8
minggu dan selesai dalam 15 minggu. Uretra terbentuk dari penyatuan lipatan
uretra sepanjang permukaan ventral penis. Glandula uretra terbentuk dari
kanalisasi funikulus ektoderm yang tumbuh melalui glands untuk menyatu
dengan lipatan uretra yang menyatu. Hipospadia terjadi bila penyatuan di garis
tengah lipatan uretra tidak lengkap sehingga meatus uretra terbuka pada sisi
ventral penis.
Ada berbagai derajat kelainan letak ini seperti pada glandular (letak meatus
yang salah pada glands), korona (pada sulkus korona), penis (di sepanjang
batang penis), penoskrotal (pada pertemuan ventra penis dan skrotum), dan
perineal (pada perineum). Prepusium tidak ada pada sisi ventral dan menyerupai
topi yang menutupi sisi dorsal glans. Pita jaringan fibrosa yang di kenal

1
sebagai chordee, pada sisi ventral menyebabkan kurvatura (lengkungan)
ventral dari penis.
Epispadia adalah suatu anomali kongenital yaitu meatus uretra terletak pada
permukaan dorsal penis. Insiden epispadia yang lengkap sekitar 1 dalam
120.000 laki-laki. Keadaan ini biasanya tidak terjadi sendirian, tetapi juga
disertai anomali saluran kemih. Inkontinensia urine timbul pada epispadia
penopubis (95%) dan penis (75%) karena perkembangan yang salah dari
spingter urinarius. Perbaikan dengan pembedahan dilakukan untuk
memperbaiki inkontinensia, memperluas uretra ke glans. Prepusium digunakan
dalam proses rekonstruksi, sehingga bayi baru lahir dengan epispadia tidak
boleh di sirkumsisi.
Hidronefrosis adalah dilatasi piala dan kaliks ginjal pada salah satu atay
kedua ginjal akibat obstruksi. Obstruksi pada aliran normal urin menyebabkan
urin mengalir balik, sehingga tekanan diginjal meningkat. Jika obstruksi terjadi
di uretra atau kandung kemih, tekanan balik akan mempengaruhi kedua ginjal,
tetapi jika obstruksi terjadi disalah satu ureter akibat adanya batu atau kekakuan,
maka hanya satu ginjal saja yang rusak. (Smeltzer & Bare, 2002). Penyebab
umum Hydronephrosis termasuk ureteroceles, katup uretra posterior dan batu
ginjal. Jika USG bayi Anda menunjukkan tanda-tanda masalah ini, Anda akan
diberikan informasi tentang kondisi dan bagaimana hal itu dapat diobati.
Penyakit ginjal masih merupakan penyakit yang sering ditemui di
Indonesia. Menurut PERNEFRI Perhimpunan Nefrologi Indonesia), penduduk
Indonesia yang menderita Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah sebanyak
8,6%. Penyakit ginjal sendiri bermanifestasi dalam 2 bentuk yaitu Penyakit
Ginjal Kronik dan Gangguan Ginjal Akut atau Acute Kidney Injury (AKI).
Prognosis dari Hydronephrosis sangat bervariasi, dan tergantung dari
kondisi yang mengawali terjadinya Hydronephrosis, unilateral atau bilateral
dari ginjal yang terserang Hydronephrosis, fungsi ginjal yang tersisa, durasi
terjadinya Hydronephrosis, dan apakah Hydronephrosis terjadi pada ginjal
yang sedang masih dalam masa pertumbuhan pada bayi atau pada ginjal yang
sudah matang. Kasus bilateral Prenatal Hydronephrosis pada prenatal atau bayi
yang ginjalnya masih berkembang dapat menghasilkan prognosis buruk jangka

2
panjang, yang berakibat pada kerusakan ginjal permanen meskipun
obstruksinya sembuh pada saat postnatal (Onen, 2007).
Berdasarkan uraian di atas kelompok kami membuat makalah ini untuk
dapat mengetahui dan memahami gangguan Hydronephrosis serta agar dapat
memberikan pencegahan dan asuhan keperawatan yang tepat bagi klien dengan
gangguan hidronefrosis

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimanakah anatomi dari uretra?
1.2.2 Apakah definisi dari striktur uretra?
1.2.3 Apakah klasifikasi dari striktur uretra?
1.2.4 Apakah etiologi dari striktur uretra?
1.2.5 Apakah manifestasi klinis dari striktur uretra?
1.2.6 Apakah patofisiologi dari striktur uretra?
1.2.7 Bagaimana Web of Caution dari striktur uretra?
1.2.8 Apakah macam-macam pemeriksaan diagnostik dari striktur uretra?
1.2.9 Bagaimanakah penatalaksanaan pada pasien striktur uretra?
1.2.10 Apakah komplikasi dari striktur uretra?
1.2.11 Bagaimanakah asuhan keperawatan pada klien dengan striktur uretra?
1.2.12 Bagaimanakah anatomi dari penis?
1.2.13 Apakah definisi dari hipospadia/ epispadia?
1.2.14 Apakah etiologi dari hipospadia / epispadia?
1.2.15 Apakah manifestasi klinis dari hipospadia / epispadia?
1.2.16 Apakah patofisiologi dari hipospadia / epispadia?
1.2.17 Bagaimana Web of Caution dari hipospadia /epispadia?
1.2.18 Apakah macam-macam pemeriksaan diagnostik dari hipospadia /
epispadia?
1.2.19 Bagaimanakah penatalaksanaan pada pasien hipospadia / epispadia?
1.2.20 Apakah komplikasi dari hipospadia /epispadia?
1.2.21 Apakah prognosis dari hipospadia /epispadia?
1.2.22 Bagaimanakah asuhan keperawatan pada klien dengan hipospadia /
epispadia?

3
1.2.23 Apakah definisi dari Hidronefrosis?
1.2.24 Apakah klasifikasi dari Hidronefrosis?
1.2.25 Apakah etiologi dari Hidronefrosis?
1.2.26 Apakah manifestasi klinis dari Hidronefrosis?
1.2.27 Apakah patofisiologi dari Hidronefrosis?
1.2.28 Bagaimana Web of Caution dari Hidronefrosis?
1.2.29 Apakah macam-macam pemeriksaan diagnostik dari Hidronefrosis?
1.2.30 Bagaimanakah penatalaksanaan pada pasien Hidronefrosis?
1.2.31 Apakah komplikasi dari Hidronefrosis?
1.2.32 Apakah prognosis dari Hidronefrosis?
1.2.33 Bagaimanakah asuhan keperawatan pada klien dengan Hidronefrosis?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Khusus
Penanganan pasien dengan penyakit striktur uretra, hipodpadia dan
hidronefrosis dapat teratasi dengan cepat dan tepat sesuai pengkajian secara
lengkap yang dilakukan oleh perawat.

1.3.2 Tujuan Umum


1.3.2.1 Mengetahui dan mampu menjelaskan anatomi dari uretra
1.3.2.2 Mengetahui dan mampu menjelaskan definisi dari striktur uretra.
1.3.2.3 Mengetahui dan mampu menjelaskan klasifikasi dari striktur
uretra.
1.3.2.4 Mengetahui dan mampu menjelaskan etiologi dari striktur uretra.
1.3.2.5 Mengetahui dan mampu menjelaskan manifestasi klinis dari
striktur uretra
1.3.2.6 Mengetahui dan mampu menjelaskan patofisiologi dari striktur
uretra.
1.3.2.7 Mengetahui dan mampu menjelaskan Web of Caution dari striktur
uretra
1.3.2.8 Mengetahui dan mampu menjelaskan macam-macam pemeriksaan
diagnostik dari striktur uretra.

4
1.3.2.9 Mengetahui dan mampu menjelaskan penatalaksanaan pada
pasien striktur uretra
1.3.2.10 Mengetahui dan mampu menjelaskan komplikasi dari striktur
uretra
1.3.2.11 Mengetahui dan mampu menjelaskan serta menerapkan asuhan
keperawatan pada klien dengan striktur uretra.
1.3.2.12 Mengetahui dan mampu menjelaskan anatomi dar penis
1.3.2.13 Mengetahui dan mampu menjelaskan definisi dari hipospadia /
epispadia.
1.3.2.14 Mengetahui dan mampu menjelaskan etiologi dari hipospadia /
epispadia.
1.3.2.15 Mengetahui dan mampu menjelaskan manifestasi klinis dari
hipospadia / epispadia.
1.3.2.16 Mengetahui dan mampu menjelaskan patofisiologi dari
hipospadia / epispadia.
1.3.2.17 Mengetahui dan mampu menjelaskan Web of Caution dari
hipospadia / epispadia
1.3.2.18 Mengetahui dan mampu menjelaskan macam-macam pemeriksaan
diagnostik dari hipospadia / epispadia.
1.3.2.19 Mengetahui dan mampu menjelaskan penatalaksanaan pada
pasien hipospadia / epispadia.
1.3.2.20 Mengetahui dan mampu menjelaskan komplikasi dari hipospadia
/ epispadia.
1.3.2.21 Mengetahui dan mampu menjelaskan prognosis dari hipospadia /
epispadia.
1.3.2.22 Mengetahui dan mampu menjelaskan serta menerapkan asuhan
keperawatan pada klien dengan hipospadia / epispadia.
1.3.2.23 Mengetahui dan mampu menjelaskan definisi dari Hidronefrosis.
1.3.2.24 Mengetahui dan mampu menjelaskan klasifikasi dari
Hidronefrosis.
1.3.2.25 Mengetahui dan mampu menjelaskan etiologi dari Hidronefrosis.

5
1.3.2.26 Mengetahui dan mampu menjelaskan manifestasi klinis dari
Hidronefrosis
1.3.2.27 Mengetahui dan mampu menjelaskan patofisiologi dari
Hidronefrosis.
1.3.2.28 Mengetahui dan mampu menjelaskan Web of Caution dari
Hidronefrosis
1.3.2.29 Mengetahui dan mampu menjelaskan macam-macam pemeriksaan
diagnostik dari Hidronefrosis.
1.3.2.30 Mengetahui dan mampu menjelaskan penatalaksanaan pada
pasien Hidronefrosis
1.3.2.31 Mengetahui dan mampu menjelaskan komplikasi dari
Hidronefrosis
1.3.2.32 Mengetahui dan mampu menjelaskan prognosis dari Hidronefrosis
1.3.2.33 Mengetahui dan mampu menjelaskan serta menerapkan asuhan
keperawatan pada klien dengan Hidronefrosis.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fisiologi Uretra


Uretra Merupakan saluran sempit yang berpangkal pada vesika urinaria yang
berfungsi menyalurkan air kemih ke luar dari buli-buli melalui proses miksi.
Secara anatomi dibagi menjadi dua bagian yaitu uretra posterior dan interior.
Pada laki-laki panjangnya kira-kira 13,7-16,2 cm, terdiri dari:
a. Uretra pars prostatika
b. Uretra pars membranosa
c. Uretra pars spongiosa.
Uretra posterior pada pria terdiri atas uretra pars prostatika yaitu
bagian uretra yang dilingkupi oleh kelenjar prostat, dan uretra pars
membranasea. Dibagian posterior lumen uretra prostatika terdapat suatu
tonjolan verumontanum, dan disebelah kranial dan kaudal dari verumontanum
ini terdapat krista uretralis. Bagian akhir dari vasdeferen yaitu kedua duktus
ejakulatorius terdapat dipinggir kanan dan kiri verumontanum, sedangkan
sekresi kelenjar prostat bermuara didalam duktus prostatiks yang tersebar di
uretra prostatika.
Uretra anterior adalah bagian uretra yang dibungkus oleh korpus
spongiosum penis. Uretra anterior terdiri atas:
1. Pars bulbosa,
2. Pars pendularis,
3. Fossa navikulare, dan
4. Meatus uretra eksterna.
Didalam lumen uretra anterior terdapat beberapa muara kelenjar yang
berfungsi dalam proses reproduksi, yaitu kelenjar Cowperi berada didalam
diafragma urogenitalis bermuara diuretra pars bulbosa, serta kelenjar Littre
yaitu kelenjar para uretralis yang bermuara di uretra pars pendularis.
Uretra pada wanita panjangnya kira-kira 3,7-6,2 cm. sphincter uretra
terletak di sebelah atas vagina (antara clitoris dan vagina) dan uretra disini
hanya sebagai saluran ekskresi (Panahi, 2010).

7
2.2 Definisi Striktur uretra
Striktur urethra adalah penyempitan akibat dari adanya pembentukan jaringan
fibrotik (jaringan parut) pada urethra atau daerah urethra

2.3 klasifikasi Striktur uretra


Klasifikasi berdasarkan penyebab/etiologinya striktur dibagi menjadi 3 jenis:
a. Striktur urethra kongenital
Striktur ini bisanya sering terjadi di fossa navikularis dan pars
membranase, sifat striktur ini adalah stationer dan biasanya timbul
terpisah atau bersamaan dengan anomalia sakuran kemih yang lain

8
b. Striktur urethra traumatic
Trauma ini akibat trauma sekunder seperti kecelakaan, atau karena
instrumen, infeksi, spasmus otot, atau tekanan dari luar, atau tekanan oleh
struktur sambungan atau oleh pertumbuhan tumor dari luar serta biasanya
terjadi pada daerah kemaluan dapat menimbulkan ruftur urethra, Timbul
striktur traumatik dalam waktu 1 bulan. Striktur akibat trauma lebih
progresif daripada striktur akibat infeksi. Pada ruftur ini ditemukan
adanya hematuria gross
c. Struktur akibat infeksi
Struktur ini biasanya sissebabkan oleh infeksi veneral. Timbulnya lebih
lambat daripada striktur traumatic

Derajat penyempitan uretra

Sesuai dengan derajat penyempitan lumennya, striktur uretra dibagi menjadi 3


tingkatan yaitu

1. Ringan : jika oklusi yang terjadi kurang dari 1/3 diameter lumen
uretra
2. Sedang : jika terdapat oklusi 1/3 sampai ½ diameter lumen uretra
3. Berat : jika terdapat oklusi lebih besar dari ½ diameter lumen
uretra. Kadang kala teraba jaringan keras di korpus spongiosum yang
dikenal dengan spongiofibrosis

9
2.4 Etiologi Striktur uretra
Striktur uretra dapat terjadi secara:
1. Kongenital
Striktur uretra dapat terjadi secara terpisah ataupun bersamaan dengan
anomali saluran kemih yang lain.
Striktur ini bisanya sering terjadi di fossa navikularis dan pars
membranase, sifat striktur ini adalah stationer dan biasanya timbul
terpisah atau bersamaan dengan anomalia sakuran kemih yang lain.
2. Didapat
a. Cedera uretral (akibat insersi peralatan bedah selama operasi
transuretral, kateter indwelling, atau prosedur sitoskopi)
b. Cedera akibat peregangan
c. Cedera akibat kecelakaan
d. Uretritis gonorheal yang tidak ditangani
e. Spasmus otot
f. Tekanan dai luar misalnya pertumbuhan tumor (C. Smeltzer,
Suzanne;2002 hal 1468 dan C. Long , Barbara;1996 hal 338)
3. Post operasi
Beberapa operasi pada saluran kemih dapat menimbulkan striktur uretra,
seperti operasi prostat, operasi dengan alat endoskopi.
4. Infeksi
Merupakan faktor yang paling sering menimbulkan striktur uretra, seperti
infeksi oleh kuman gonokokus yang menyebabkan uretritis gonorrhoika
atau non gonorrhoika telah menginfeksi uretra beberapa tahun
sebelumnya namun sekarang sudah jarang akibat pemakaian antibiotik,
kebanyakan striktur ini terletak di pars membranasea, walaupun juga
terdapat pada tempat lain, infeksi chlamidia sekarang merupakan
penyebab utama tapi dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan
individu yang terinfeksi atau menggunakan kondom

10
2.5 Patofisiologi Striktur uretra
Trauma yang menyebabkan striktura uretra adalah trauma tumpul pada
selangkangan (straddle injury) dan fraktur tulang pelvis. Proses radang akibat
trauma atau infeksi pada uretra akan menyebabkan terbentuknya jaringan
sikatriks pada uretra. Jaringan sikatriks pada lumen uretra menimbulkan
hambatan aliran urine hingga retensi urine. Aliran urine yang terhambat
mencari jalan keluar di tempat lain (di sebelah proksimal striktura) dan
akhirnya mengumpul di rongga periuretra. Jika terinfeksi menimbulkan abses
periuretra yang kemudian pecah membentuk fistula uretrokutan. Pada
keadaan tertentu banyak dijumpai fistula sehingga disebut sebagai fistula
seruling. Tindakan yang kurang hati-hati
pada pemasangan kateter dapat menimbulkan salah jalan (false route) yang
menimbulkan kerusakan uretra dan menyisakan strikture dikemudian hari.
Demikian pula fiksasi kateter yang tidak benar pada pemakaian kateter
menetap yang menyebabkan penekanan kateter pada perbatasan uretra bulbo-
pendulare yang mengakibatkan penekanan uretra terusmenerus,
menimbulkan hipoksia uretra daerah itu, yang pada akhirnya menimbulkan
fistula atau strikur uretra.

2.6 Web Of Caution (dilampirkan)


2.7 Manifestasi klinis Striktur uretra
Keluhan: kesulitan dalam berkemih, harus mengejan, pancaran
mengecil, pancaran bercabang dan menetes sampai retensi urine.
Pembengkakan dan getah / nanah di daerah perineum, skrotum dan terkadang
timbul bercak darah di celana dalam. Bila terjadi infeksi sistemik
penderita febris, warna urine bisa keruh (Nursalam, 2008, Hal 86)
Gejala dan tanda striktur biasanya mulai dengan hambatan arus kemih
dan kemudian timbul sindrom lengkap obstruksi leher kandung kemih seperti
digambarkan pada hipertrofia prostat. Striktur akibat radang uretra sering
agak luas dan mungkin multiple. (Smeltzer.C,2002, hal 1468)

11
2.8 Pemeriksaan Diagnostik Striktur uretra
1. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk pelengkap pelaksanaan
pembedahan. Selain itu, beberapa dilakukan untuk mengetahui adanya
tanda –tanda infeksi melalui pemeriksaan urinalisis dan kultur urine.
2. Uroflowmetri
Uroflowmetri adalah pemeriksaan untuk menentukan kecepatan pancaran
urine. Volume urine yang dikeluarkan pada waktu miksi dibagi dengan
lamanya proses miksi. Kecepatan pancaran urine normal pada pria adalah
20 ml/detik dan pada wanita 25 ml/detik. Bila kecepatan pancaran kurang
dari harga normal menandakan adanya obstruksi.
3. Radiologi
Diagnosis pasti dibuat dengan uretrografi sehingga dapat melihat letak
penyempitan dan besarnya penyempitan uretra. Untuk mengetahui lebih
lengkap mengenai panjang striktur adalah dengan sistouretrografi yaitu
memasukkan bahan kontras secara antegrad dari buli-buli dan secara
retrograd dari uretra. Dengan pemeriksaan ini, panjang striktur dapat
diketahui sehingga penting untuk perencanaan terapi atau operasi.
( Muttaqin.A, 2011 hal 234)

2.9 Penatalaksanaan Striktur uretra


Striktur uretra tidak dapat dihilangkan dengan jenis obat-obatan apapun.
Pasien yang datang dengan retensi urin, secepatnya dilakukan sistostomi
suprapubik untuk mengeluarkan urin, jika dijumpai abses periuretra dilakukan
insisi dan pemberian antibiotika. Pengobatan striktur uretra banyak pilihan
dan bervariasi tergantung panjang dan lokasi dari striktur, serta derajat
penyempitan lumen uretra. Tindakan khusus yang dilakukan terhadap striktur
uretra adalah:
1. Bougie (Dilatasi)
Sebelum melakukan dilatasi, periksalah kadar hemoglobin pasien
dan periksa adanya glukosa dan protein dalam urin. Tersedia beberapa
jenis bougie. Bougie bengkok merupakan satu batang logam yang ditekuk

12
sesuai dengan kelengkungan uretra pria; bougie lurus, yang juga terbuat
dari logam, mempunyai ujung yang tumpul dan umumnya hanya sedikit
melengkung; bougie filiformis mempunyai diameter yang lebih kecil dan
terbuat dari bahan yang lebih lunak.
Berikan sedatif ringan sebelum memulai prosedur dan mulailah
pengobatan dengan antibiotik, yang diteruskan selama 3 hari. Bersihkan
glans penis dan meatus uretra dengan cermat dan persiapkan kulit dengan
antiseptik yang lembut. Masukkan gel lidokain ke dalam uretra dan
dipertahankan selama 5 menit. Tutupi pasien dengan sebuah duk lubang
untuk mengisolasi penis.
Apabila striktur sangat tidak teratur, mulailah dengan memasukkan
sebuah bougie filiformis; biarkan bougie di dalam uretra dan teruskan
memasukkan bougie filiformis lain sampai bougie dapat melewati striktur
tersebut. Kemudian lanjutkan dengan dilatasi menggunakan bougie lurus.
Apabila striktur sedikit tidak teratur, mulailah dengan bougie bengkok
atau lurus ukuran sedang dan secara bertahap dinaikkan ukurannya.
Dilatasi dengan bougie logam yang dilakukan secara hati-hati.
Tindakan yang kasar tambah akan merusak uretra sehingga menimbulkan
luka baru yang pada akhirnya menimbulkan striktur lagi yang lebih berat.
Karena itu, setiap dokter yang bertugas di pusat kesehatan yang terpencil
harus dilatih dengan baik untuk memasukkan bougie. Penyulit dapat
mencakup trauma dengan perdarahan dan bahkan dengan pembentukan
jalan yang salah (false passage). Perkecil kemungkinan terjadinya
bakteremi, septikemi, dan syok septic dengan tindakan asepsis dan dengan
penggunaan antibiotik.

13
2. Uretrotomi interna

Tindakan ini dilakukan dengan menggunakan alat endoskopi yang


memotong jaringan sikatriks uretra dengan pisau Otis atau dengan pisau
Sachse, laser atau elektrokoter. Otis uretrotomi dikerjakan pada striktur
uretra anterior terutama bagian distal dari pendulans uretra dan fossa
navicularis, otis uretrotomi juga dilakukan pada wanita dengan striktur
uretra. Indikasi untuk melakukan bedah endoskopi dengan alat Sachse
adalah striktur uretra anterior atau posterior masih ada lumen walaupun
kecil dan panjang tidak lebih dari 2 cm serta tidak ada fistel, kateter
dipasang selama 2-3 hari pasca tindakan. Setelah pasien dipulangkan,
pasien harus kontrol tiap minggu selama 1 bulan kemudian 2 minggu
sekali selama 6 bulan dan tiap 6 bulan sekali seumur hidup. Pada waktu
kontrol dilakukan pemeriksaan uroflowmetri, bila pancaran urinnya < 10
ml/det dilakukan bouginasi.

14
3. Uretrotomi eksterna

Tindakan operasi terbuka berupa pemotongan jaringan fibrosis


kemudian dilakukan anastomosis end-to-end di antara jaringan uretra
yang masih sehat, cara ini tidak dapat dilakukan bila daerah strikur lebih
dari 1 cm.
Cara Johansson; dilakukan bila daerah striktur panjang dan banyak
jaringan fibrotik.
a. Stadium I, daerah striktur disayat longitudinal dengan menyertakan
sedikit jaringan sehat di proksimal dan distalnya, lalu jaringan fibrotik
dieksisi. Mukosa uretra dijahit ke penis pendulans dan dipasang
kateter selama 5-7 hari
b. Stadium II, beberapa bulan kemudian bila daerah striktur telah
melunak, dilakukan pembuatan uretra baru.

Uretroplasty dilakukan pada penderita dengan panjang striktur uretra


lebih dari 2 cm atau dengan fistel uretro-kutan atau penderita residif
striktur pasca Uretrotomi Sachse. Operasi uretroplasty ini bermacam-
macam, pada umumnya setelah daerah striktur di eksisi, uretra diganti
dengan kulit preputium atau kulit penis dan dengan free graft atau pedikel
graft yaitu dibuat tabung uretra baru dari kulit preputium/kulit penis
dengan menyertakan pembuluh darahnya.

2.10 Komplikasi Striktur uretra


Striktur uretra menyebabkan retensi urin di dalam kantung kemih.
Penumpukan urin dalam kantung kemih beresiko tinggi untuk terjadinya
infeksi, yang dapat menyebab ke kantung kemih, prostat, dan ginjal. Abses di
atas lokasi striktur juga dapat terjadi, sehingga menyebabkan kerusakan uretra
dan jaringan di bawahnya. Selain itu, resiko terjadinya batu kandung kemih
juga meningkat, timbul gejala sulit ejakulasi, fistula uretrokutaneus
(hubungan abnormal antara uretra dengan kulit), dan gagal ginjal.

15
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Asuhan Keperawatan Umum


Pengkajian
Pengkajian merupakan pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan
untuk mengumpulkan informasi atau data tentang klien agar dapat
mengidentifikasi mengenai masalah kebutuhan kesehatan dan keperawatan
klien baik fisik, mental, sosial, dan lingkungan. (Nasrul Effendi, 1995 : 18).
A. Pengumpulan Data
1. Identitas klien
Meliputi : nama, umur, nomor register, jenis kelamin, status, alamat,
tanggal MRS, diagnosa medis.
2. Keluhan utama
Keluhan pada klien berbeda – beda antara klien yang satu dengan yang
lain. Kemungkinan keluhan yang bisa timbul pada klien adalah keluhan
rasa tidak nyaman, nyeri karena spasme kandung kemih atau karena
adanya bekas insisi pada waktu pembedahan. Hal ini ditunjukkan dari
ekspresi klien dan ungkapan dari klien sendiri.
3. Keadaan umum
menarik diri, cemas, kelemahan, gelisah, dan kesakitan..
4. Pola aktivitas sehari-hari
Pola aktivitas sehari-hari pada klien yang mengalami striktur uretra
meliputi frekuensi makan, jenis makanan, porsi makan, jenis dan
kuantitas minum dan eliminasi yang meliputi BAB (Frekuensi, warna,
konsistensi) serta BAK (frekuensi, banyaknya urine yang keluar setiap
hari dan warna urine). Personal hygiene (frekuensi mandi, mencuci
rambut, gosok gigi, ganti pakaian, menyisir rambut dan menggunting
kuku). Olahraga (frekuensi dan jenis) serta rekreasi (frekuensi dan
tempat rekreasi).

16
5. Sistem pernafasan
Perlu dikaji mulai dari bentuk hidung, ada tidaknya sakit pada lubang
hidung, pergerakan cuping hidung pada waktu bernafas, kesimetrisan
gerakan dada pada saat bernafas, auskultasi bunyi nafas dan gangguan
pernafasan yang timbul. Apakah bersih atau ada ronchi, serta frekuensi
nafas. hal ini penting karena imobilisasi berpengaruh pada
pengembangan paru dan mobilisasi secret pada jalan nafas.
6. Sistem kardiovaskuler
Mulai dikaji warna konjungtiva, warna bibir, ada tidaknya peninggian
vena jugularis dengan auskultasi dapat dikaji bunyi jantung pada dada
dan pengukuran tekanan darah dengan palpasi dapat dihitung frekuensi
denyut nadi.
7. Sistem pencernaan
Yang dikaji meliputi keadaan gigi, bibir, lidah, nafsu makan, peristaltik
usus, dan BAB. Tujuan pengkajian ini untuk mengetahui secara dini
penyimpangan pada sistem ini. Sistem genitourinaria Dapat dikaji dari
ada tidaknya pembengkakan dan nyeri pada daerah pinggang, observasi
dan palpasi pada daerah abdomen bawah untuk mengetahui adanya
retensi urine dan kaji tentang keadaan alat-alat genitourinaria bagian
luar mengenai bentuknya ada tidaknya nyeri tekan dan benjolan serta
bagaimana pengeluaran urinenya, lancar atau ada nyeri waktu miksi,
serta bagaimana warna urine.
8. Sistem musculoskeletal
Yang perlu dikaji pada sistem ini adalah derajat Range of Motion dari
pergerakan sendi mulai dari kepala sampai anggota gerak bawah,
ketidaknyamanan atau nyeri yang dilaporkan klien waktu bergerak,
toleransi klien waktu bergerak dan observasi adanya luka pada otot
harus dikaji juga, karena klien imobilitas biasanya tonus dan kekuatan
ototnya menurun.

17
9. Sistem integument
Yang perlu dikaji adalah keadaan kulitnya, rambut dan kuku,
pemeriksaan kulit meliputi : tekstur, kelembaban, turgor, warna dan
fungsi perabaan.
10. Sistem neurosensory
Sistem neurosensori yang dikaji adalah fungsi serebral, fungsi saraf
cranial, fungsi sensori serta fungsi refleks.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri Akut b.d insisi bedah sitostomi suprapubik
2. Retensi urine b.d sitostomi suprapubik
3. Resiko terhadap infeksi b.d adanya kateter suprapubik, insisi bedah
sitostomi suprapubik

C. INTERVENSI
NO DIAGNOSA NOC NIC
1. Nyeri akut b.d Tujuan : nyeri berkurang/ 1. Kaji sifat, intensitas, lokasi, lama
insisi bedah hilang dan faktor pencetus dan
sitostomi Kriteria hasil: penghilang nyeri
suprapubik a. Melaporkan penurunan 2. Kaji tanda nonverbal nyeri (
nyeri gelisah, kening berkerut,
b. Ekspresi wajah dan posisi mengatupkan
tubuh terlihat relaks rahang, peningkatan TD)
3. Berikan pilihan tindakan rasa
nyaman
4. Bantu pasien mendapatkan posisi
yang nyaman
5. Ajarkan tehnik relaksasi dan bantu
bimbingan imajinasi
6. Jika tindakan gagal untuk
mengurangi nyeri, konsultasikan
dengan dokter.

18
2. Retensi urine Tujuan : Fluit Management (2080)
b.d sitostomi Setelah dilakukan tindakan 1. Monitoring eliminasi urin
suprapubik keperawatan retensi urine (pola eliminasi, frekuensi
pada klien dapat diatas eliminasi)
dengan kriteria hasil : 2. Menganjurkan pasien dan
Domain 2 kelas F Urinary keluarga untuk mencatat
Elimination (0503) pengeluaran urin untuk
- Pola eliminasi : 5 menghitung intake outpun
- Frekuensi berkemih cairan.
normal 3. Mempertahankan status
- Tidak adanya retensi intake output pasien yang
urin adekuat
4. Memonitor adanya tanda dan
gejala retensi urin
5. Membatasi cairan bila
diperlukan
3. Resiko terhadap Tujuan: tidak terjadi infeksi 1. Periksa suhu setiap 4 jam dan
infeksi b.d adanya Kriteria hasil : laporkan jika diatas 38,5o
kateter a. Suhu tubuh pasien dalam 2. Perhatikan karakter urin,
suprapubik, insisi batas normal laporkan bila keruh dan bau
bedah sitostomi b. Insisi bedah kering, tidak busuk
suprapubik terjadi infeksi 3. Kaji luka insisi adanya nyeri,
c. Berkemih dengan urin kemerahan, bengkak, adanya
jernih tanpa kesulitan kebocoran urin, tiap 4 jam
sekali
4. Ganti balutan dengan
menggunakan tehnik steril
5. Pertahankan sistem drainase
gravitas tertutup
6. Pantau dan laporkan tanda dan
gejala infeksi saluran
perkemihan

19
7. Pantau dan laporkan jika terjadi
kemerahan, bengkak, nyeri atau
adanya kebocoran di sekitar
kateter suprapubis.

D. EVALUASI
1. Klien mengatakan nyeri berkurang
2. Tidak terjadi infeksi pada saluran kemih

20
3.2 Asuhan Keperawatan Khusus
Tn. R 35 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan tidak dapat BAK. Awalnya
biasa namun 2 bulan terakhir BAK sedikit-sedikit yang semakin lama semakin
memberat. Tidak didapatkan kencing batu, namun seringkali penderita merasa
nyeri ketika BAK. Klien memiliki riwayat terkena benturan stang sepeda tepat
terkena perut bagian bawah sekitar 1 tahun yang lalu namun tidak berobat
karena dianggap tiadak ada masalah. Lima bulan yang lalu klien mulai merasa
susah kencing namun kadar nya masih jarang. Seminggu yang lalu klien merasa
lebih susah kencing disertai nyeri saat kencing. Klien merasa cemas dengan
penyakit yang di alaminya. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan kelainan,
kecuali ditemukan buli kesan penuh, 3 jari diatas simpisis. Hasil uretrogram
didapatkan striktur pasrsial pada uretra posterior. Klien disarankan oleh dokter
untuk menjalani oprasi unruk pelebaran uretra (Bougination). RR : 18x/menit
; TD : 120/70 mmHg ; N : 82 x/menit.
A. Pengkajian
1. Identitas pasien
a. Nama : Tn R
b. Usia : 35 tahun
c. Pekerjaan : pegawai swasta
d. Alamat : Surabaya
e. Keluhan utama : nyeri saat BAK
2. Riwayat penyakit sekarang : Klien memiliki riwayat terkena benturan stang
sepeda tepat terkena perut bagian bawah sekitar 1 tahun yang lalu namun
tidak berobat karena dianggap tiadak ada masalah dan saat ini Tn. P masuk
rumah sakit dengan keluhan susah BAK dan nyeri saat BAK.
3. Riwayat penyakit keluarga : tidak ada riwayat keluarga yang mempengaruhi
penyakitnya sekarang
4. Riwayat psikososial : klien merasa cemas akan penyakit yang dialami saat
ini
5. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi : terdapat pembengkakan pada supra pubik
b. Palpasi : teraba keras jaringan parut pada sepanjang uretra anterior

21
c. Perkusi : normal
d. Auskultasi : normal
6. Pemeriksaan Review of System
a. Breathing : RR : 18x/menit
b. Blood : TD : 120/70 mmHg ; N : 82 x/menit
c. Brain : normal tidak ada keluhan dari klien
d. Bladder : klien tidak dapat merasakan miksi (kencing menetes namun
tidak terasa)
e. Bowel : normal tidak ada keluhan dari klien
f. Bone and integument : normal tidak ada keluhan dari klien
B. Diagnosa keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan penyempitan lumen uretra
2. Retensi urin berhubungan dengan retensi urine akibat penyempitan lumen
uretra
3. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan mengenai proses
penyakit
4. Resiko infeksi behubungan dengan pemasangan CIC akibat businasi
C. Intervensi

Diagnosa : Nyeri akut berhubungan dengan penyempitan lumen uretra

NOC NIC

Pain control (1605) Manajemen nyeri (1400)

Domain IV, kelas Q 1. Kurangi faktor presipitasi (khususnya dari


lingkungan)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 1x24 jam klien dapat mengontrol 2. Ajarakan cara non farmakolohgi untuk distraksi
nyeri dengan indicator : mengurangi nyeri (misal : mendengarkan music)

a. Mengenali penyebab nyeri 3. Tingkatkan istirahat

b. Mencari bantuan dari tenaga


kesehatan

22
c. Melaporkan gejala pada tenaga 4. Control ruangan yang dapat mempengaruhi
kesehatan nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan, dan
kebisingan
d. Mengenali gejala-gejala nyeri
5. Evaluasi nyeri masa lampu untuk mengetahui
e. Dapat menginformaskan skala
perkembangannnya
nyeri dan diharapkan nyeri telah
berkurang 6. Kolaborasi dengan pengguaan analgesic yang
sesuai dengan advis dokter.

Diagnose : retensi urin berhubungan dengan retensi urine akibat penyempitan lumen uretra

NOC NIC

23
Tujuan : Urinary Elimination management (0590)

Setelah dilakukan tindakan 1. Monitoring eliminasi urin (pola eliminasi,


keperawatan selama 2 x 24 jam frekuensi eliminasi)
eliminasi urin pada klien kembali
2. Mengidentifikasi factor penyebab dari gangguan
normal dengan kriteria hasil :
eliminasi urin (trauma, pasca businasi, dll)
Domain 2 kelas F Urinary Elimination
3. Mencatat waktu terakhir eliminasi urin, bila
(0503)
diperlukan untuk digunakan pemeriksaan
- Pola eliminasi : 5
4. Menganjurkan pasien dan keluarga untuk
- Frekuensi berkemih normal mencatat pengeluaran urin untuk menghitung
intake outpun cairan.
- Tidak adanya retensi urin
5. Membatasi cairan bila diperlukan

24
D. Evaluasi
1. Nyeri saat BAK berkurang dari level 7 ke level 4
2. Klien tidak lagi mengalami kesulitan pada saat BAK
3. Klien merasa lebih tenang karena telah mengethaui proses penyakit yang
dialami dan mampu menerima penyakit yang sekarang telah diderita.
4. Tidak terjadi infeksi pada saluran kemih.

25

Anda mungkin juga menyukai