Anda di halaman 1dari 6

Hand Out 02

Kuliah Agama Islam III/Fisipol-UMY/HI/Semester Genap/2005-2006

TEKSTUALISASI DAN KONTEKSTUALISASI


PEMAHAMAN ATAS TEKS

A. Pendahuluan

Kekuatan persyarikatan Umat Islam antara lain terletak pada


kemampuan melakukan harmonisasi antara gerakan tajdid
dengan mengandalkan paradigma kontekstualitas dan
pemurnian pemahaman terhadap Islam dengan bertumpu pada
paradigma tekstualitas. Upaya harmonisasi tersebut dilakukan
dengan mengidentifikasi, memelihara, dan mentaati batas-batas
kedua kawasan gerak tersebut dengan cermat. Tentu saja upaya
demikian merupakan keniscayaan yang harus dilakukan secara
berkelanjutan, karena pada tingkat detilnya belum tergarap
dengan baik, termasuk tekstualisasi dan kontekstualisasi teks-
teks al-Quran maupun hadis dalam bidang aqidah, ibadah,
mu’amalah dan akhlaq.

B. Pengertian Kontekstualitas dan Tekstualitas

Dalam bahasa Inggris kata context antara lain berarti


circumtances in which an event occurs – lingkungan di mana
suatu peristiwa berlangsung-, sedang kata contextual diartikan
sebagai according to the context – menurut atau sesuai dengan
konteks (Hornby, 1979 : 130). Memahami teks-teks Islam secara
kontekstual, artinya memahaminya menurut atau sesuai dengan
lingkungan sosiohistoris. Bagaimana kemudian ketika lingkungan
sosiohistoris tersebut berubah? Dalam hal ini tentu saja harus
diadakan penyesuaian-penyesuaian dengan lingkungan dan
zaman barunya. Upaya demikian disebut dengan kontekstualisasi
pemahaman teks-teks Islam. Berbeda dengan ini, memahami
teks-teks Islam tanpa mengaitkannya dengan lingkungan
keberadaannya, semata-mata dengan melihat teks disebut
memahaminya secara tekstual. Kontekstualisasi pemahaman
teks-teks Islam dilakukan dengan langkah-langkah sebagai
berikut :

Pertama, Memahami teks-teks Islam untuk menemukan


dan mengidentifikasikan antara legas spesifiknya dan moral
idealnya dengan cara melihat kaitannya dengan melihat
kaitannya dengan konteks lingkungan awalnya yaitu Makkah,
Madinah dan sekitarnya pada saat teks-teks tersebut turun.

Kedua, Memahami lingkungan baru yang padanya teks-


teks Islam akan diaplikasikan, sekaligus membandingkannya

Yogyakarta, 11 Maret 2006 1


Hand Out 02
Kuliah Agama Islam III/Fisipol-UMY/HI/Semester Genap/2005-2006

dengan lingkungan awalnya untuk menemukan perbedaan-


perbedaan dan persamaan-persamaannya.

Ketiga, Jika ternyata perbedaan-perbedaannya bersifat


lebih esensial daripada persamaan-persamaannya, dilakukan
penyesuaian pada legal- spesifik teks-teks tersebut dengan
konteks lingkungan barunya sambil tetap berpegang pada moral
idealnya. Namun jika ternyata sebaliknya, diaplikasikan nash-
nash tersebut tanpa diperlukan penyesuaian-penyesuaian
dengan lingkungan barunya (bandingkan dengan Rahman, 1982 :
5–7)

Masalahnya ialah apakah kontekstualisasi pemahaman


teks-teks Islam tersebut absah ? Jika absah, sampai di mana
batas-batasnya serta apa signifikan bagi eksistensi pemahaman
tersebut?

C. Dasar-dasar Kontekstualisasi Teks-teks Islam

Ada beberapa alasan mengapa kontekstualisasi pemahaman


teks-teks Islam tersebut menjadi niscaya, sekaligus absah.
Alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Masyarakat yang dihadapi oleh Nabi Saw bukan lingkungan
yang sama sekali kosong dari pranata-pranata kultural
yang tidak dinafikan semuanya oleh kehadiran-kehadiran
nash-nash (teks-teks) yang menyebabkan sebagianya
bersifat tipikal, pranata dhihar, misalnya dengan ungkapan
sebagai berikut: ‫ – أنممت علممي كظهممر أمممي‬bagiku engkau bak
punggung ibuku – adalah sangat tipikal Arab.
2. Nabi Saw sendiri dalam beberapa kasus telah memberikan
hukum secara berlawanan satu sama lain atas dasar
adanya konteks yang berbeda-beda, misalnya ziarah kubur,
yang semula dilarang kemudian diperintahkan (riwayat
Muslim).
3. Di masa Umar bin Khatab talak tiga sekali ucap yang
semula jatuh satu, diputuskan jatuh tiga adalah cerminan
adanya kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam.
4. Implementasi pemahaman terhadap teks-teks Islam secara
tekstual seringkali tidak sejalan dengan kemaslahatan yang
justru menjadi reason d’tre kehadiran Islam itu sendiri.
5. Pemahaman secara membabibuta terhadap nash secara
tekstual berarti mengingkari adanya hukum perubahan dan
keanekaragaman yang justru diintrodusir oleh nash sendiri.
6. Pemahaman secara kontekstual yang merupakan jalan
menemukan moral ideal nash berguna untu mengatasi

Yogyakarta, 11 Maret 2006 2


Hand Out 02
Kuliah Agama Islam III/Fisipol-UMY/HI/Semester Genap/2005-2006

keterbatasan teks berhadapan dengan kontinuitas


perubahan ketika dilakukan perumusan legal spesifik yang
baru.
7. Penghargaan terhadap aktualisasi intelektual manusia lebih
dimungkinkanpada upaya pemahan teks-teks Islam secara
kontekstual dibanding secara tekstual yang justru menjadi
trade mark dari Islam itu sendiri yang dalam ungkapan
Ridla (1935 : 211) berbunyi: ‫لسٍالما دين العقل و الفكر‬
‫ا ل‬
– Islam itu agama rasional dan intelektual.
8. Kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam mengandung
makna bahwa masyarakat di mana saja dan kapan saja
berada, selalu dipandang positif optimis oleh Islam yang
dibuktikan dengan sikap khasnya yaitu akomodatif
terhadap pranata sosial yang ada (yang mengandung
kemaslahatan) yang dirumuskan dengan kaidah: ‫العادة‬
‫ محكمة‬- Tradisi itu dipandang sebagai sesuatu yang legal
(Suyuti, Tanpa tahun, : 89).
9. Keyakinan bahwa teks-teks Islam adalah petunjuk terakhir
dari langit yang berlaku spanjang masa, mengandung
makna bahwa di dalam teksnya yang terbatas itu memiliki
dinamika internal yang sangat kaya, yang harus terus
menerus dilakukan eksternalisasi melalui unterpretasi yang
tepat. Jika interpretasi dilakukan secara tekstual, maka
dinamika internalnya tidak dapat teraktualisasikan secara
optimal. Aktualisasi secara optimal hanya dimungkinkan
melalui interpretasi kontekstual terus menerus.

Dengan alasan demikian, tampak bahwa kontekstualisasi


pemahaman teks-teks Islam itu memang merupakan
keniscayaan dan absah.

Keberatan terhadap kontekstualisasi pemahaman teks-teks


Islam sering diajukan dengan menyatakan jika pemahaman
tersebut bersifat kontektual tentu tidak universal, dan pada
gilirannya nanti cetak biru (blue print) Islam itu tidak akan ada
lagi bekasnya. Keberatan semacam itu tidak seluruhnya salah,
tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Benar, jika kontekstualisasi
itu diberlakukan terhadap keseluruhan pemahaman teks-teks
Islam, maka Islam akan kehilangan cetak birunya. Salah, karena
kontekstualisasi itu tidak diberlakukan pada semua aspek
pemahaman teks-teks Islam, ada batas-batas yang harus dijaga.
Batas-batas ini adalah sebagai berikut :

Pertama, Untuk bidang ibdah murni (Ibadah Mahdlah) dan


aqidah tidak ada kontekstualisasi, dalam arti penambahan

Yogyakarta, 11 Maret 2006 3


Hand Out 02
Kuliah Agama Islam III/Fisipol-UMY/HI/Semester Genap/2005-2006

ataupun pengurangan untuk kepoentingan penyesuaian dalam


konteks lingkungan tertentu, karena yang demikian berarti
membuat bid’ah, khurafat dan tahayyul yang jelas-jelas dilarang
dalam Islam.

Kedua, Untuk bidang di luar ibadah murni dan aqidah,


kontekstualisasi dilakukan dengan tetap berpegang pada moral
ideal nash, untuk selanjutnya dirumuskan legal spesifik yang
baru yang menggantikan legal-spesifik lamanya.

Dengan batas-batas seperti itu, tampak bahwa teks-teks


Islam tidak akan kehilangan cetak birunya yang terletak pada
norma-norma bidang ibadah murni dan aqidahnya serta terletak
pada moral ideal bidang di luar keduanya. Demikian pula
pemahaman teks-teks Islam tidak akan kehilangan sifat
universalnya, karena tetap terpeliharanya cetak biru tersebut
yang memang bersifat universal.

Signifikansi kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam


adalah jelas yaitu agar interpretasi tersebut tetap eksis, tetap
sesuai dengan perkembangan dan perubahan sosial, sehingga
tetap memiliki elan vital dalam menjawab persoalan-persoalan
aktual yang muncul dalam era globalisasi dewasa ini.

D. Penutup

Berdasarkan paparan diatas disimpulkan bahwa oleh karena


cetak biru Islam itu terletak pada ibadah murni dan aqidahnya,
maka tekstualisasi dilakukan untuk memelihara dari segala
bid’ah, khurafat, dan tahayyul. Sekalipun demikian, secara
terbatas terdapat aspek-aspek yang berkaitan dengan keduanya
yang memerlukan kontekstualisasi.

Bahan Bacaan:

Bukhari, Muhammad bin Isma’il al. Tanpa Tahun. Shahih al-


Bukhariy. Tanpa Tempat: al-Sya’b.

Buthi, Muhammad Sa’id Ramadhan. 1977. Dlawabith al-


Mashlahah fi al-Syari’ah al-Islam-iyyah. Bairut: Muassasah
al-Risalah.

Yogyakarta, 11 Maret 2006 4


Hand Out 02
Kuliah Agama Islam III/Fisipol-UMY/HI/Semester Genap/2005-2006

Coulson, Noel J. 1969. Conflicts and Tensions in Islamic


Jurisprudence. Chicago and London: The University of
Chicago Press.

------------. 1964. A History of Islamic Law. Edinburgh: The


University Press.

Departemen Agama RI. 1977. Al-Qur’an dan Terjemahnya.


Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Pentafsir Al-
Qur’an.

Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Tanpa Tahun.


al-Mushtasyfa. Jilid I. Tanpa Tempat: al-Amiriyah.

Hassan, Husain Hamid. 1971. Nadhariyyah al-Mashlahah fi al-


Fiqh al-Islamiy. Bairut: Dar al-Nahdlah al-‘Arabiyah.

Jauziyah, Ibn Qayyim al. 1973. A’lam al-Muwaqqi’in. Jilid III.


Bairut: Dar al-Jail.

Khatib, Muhammad ‘Ajjaj al-. 1975. Ushul al-Hadis, ‘Ulumuh wa


Musthalahuh. Bairut: Dar al- Fikr.

Khayyath, ‘Abd al ‘Aziz. 1977. Nadhariyyah al-‘Urf. Omman:


Maktabah al-Aqsha.

Muslim. Tanpa Tahun. al-Jami’ al-Shahih. Jilid IV. Mesir: al-Babi al-
Halabi.

Rahman, Fazlur. 1982. Islam and Modernity: Transformation of


and Intellectual Tradition. Chicago and London: The
University of Chicago Press.

-----------. 1986. “Interpreting the Qur’an” dalam Inquiry. Mei


1986.

Ridla, Muhammad Rasyid. 1935. al- Wahy al-Muhammadiy. Mesir:


Mathba’ah al-Manar.

Suyuthi, Jalal al-Din al. Tanpa tahun. al-Asybah wa al-Nadha-ir.


Mesir: al-Babi al-Halabi.

Voll, John Obert. 1982. Islam: Continuity and Change in the


Modern World. Colorado: Westview Press.

Yogyakarta, 11 Maret 2006 5


Hand Out 02
Kuliah Agama Islam III/Fisipol-UMY/HI/Semester Genap/2005-2006

Yamani, Ahmad Zaki. 1970. al-Syariah al-Khalidah wa Musykilah


al-‘Ashr. Saudi: al-Dar al-Sa’udiyyah li al-Nasy wa al-Tauzi’.

Zahrah, Muhammad Abu. 1974. 1974. al-‘Uqubah. Tanpa Tempat:


Dar al-Fikr al-‘Arabiy.

-------------. Tanpa Tahun. Ushul al-Fiqh. Tanpa Tempat: Dar al-Fikr.

Yogyakarta, 11 Maret 2006 6

Anda mungkin juga menyukai