Oleh:
Muh
Pembimbing:
1
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Kasus
Judul
Oleh:
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan
Klinik di Bagian Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Univesitas Sriwijaya Rumah
Sakit Mohammad Hoesin Palembang.
2
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas rahmat dan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
‘Kandidiasis Oral pada CKD dan DM’ ini sebagai salah satu syarat mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di bagian Gigi dan Mulut RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang/ FK Universitas Sriwijaya.
Penulis
3
BAB I
PENDAHULUAN
Laporan kasus pasien dengan penyakit sistemik seperti CKD dan DM serta
kaitannya dengan kesehatan gigi dan mulut dianggap penting untuk dibahas guna
menambah ilmu pengetahuan baik bagi dokter maupun masyarakat luas.
BAB I
STATUS PASIEN
b. Keluhan tambahan:
Tidak ada
d. Riwayat pengobatan:
Tidak ada
5
Kelainan Hati Lainnya √
HIV/ AIDS √
Penyakit Pernafasan/paru √
Kelainan Pencernaan √
Penyakit Ginjal √
Penyakit Rinosinusitis √
Epilepsi √
g. Riwayat Kebiasaan
Pasien memiliki kebiasaan menggosok gigi 2 kali sehari.
d. Odontogram
7
e. Temuan
a. Plak, debris dan kalkulus disemua regio
b. Abrasi pada gigi 1.1, 1.4, 2.2, 2.3, 2.6
c. Pulpitis reversible pada gigi 1.5
d. Gangren Radix pada gigi 2.5, 3.3
e. Periodontitis kronik + mobility derajat II pada gigi 1.2
f. Missing teeth pada 1.7, 1.3, 3.4, 3.5, 3.6, 3.7, 3.8, 4.1, 4.2, 4.8 karena
mobility
g. Lidah terdapat plak berwarna putih
h. Cheilitis bibir atas dan bawah
f. Perencanaan
a. Plak, debris, dan kalkulus gigi : Pro scaling
b. Abrasi : Pro prepanasi
c. Pulpitis reversible : Pro prepanasi
d. Ganggren radix : Pro ekstraksi (bila KU baik)
e. Gingiva eritem dan edema : Pro scaling (bila KU baik)
f. Lidah terdapat plak berwarna putih : pro swab lidah untuk pemeriksaan
mikrobiologi dan medikamentosa
g. Cheilitis bibir : pro medikamentosa
h. Dental Health Education
Hematologi
8
Eritrosit 3.68 /mm3 4,4-6,3x106/mm3 Tidak
Normal
1.5. Prognosis
Quo ad Vitam : Dubia ad Bonam
Quo ad Fungsionam : Dubia ad Bonam
9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
10
eksternal dan membran mukosa pada bagian internal. Secara anatomi,bibir dibagi
menjadi dua bagian yaitu bibir bagian atas dan bibir bagian bawah. Bibir bagian atas
terbentang dari dasar dari hidung pada bagian superior sampai ke lipatan nasolabial
pada bagian lateral dan batas bebas dari sisi vermilion pada bagian inferior. Bibir
bagian bawah terbentang dari bagian atas sisi vermilion sampai ke bagian komisura
pada bagian lateral dan ke bagian mandibula pada bagian inferior
Kedua bagian bibir tersebut, secara histologi, tersusun dari epidermis, jaringan
subkutan, serat otot orbikularis oris, dan membran mukosa yang tersusun dari bagian
superfisial sampai ke bagian paling dalam. Bagian vermilion merupakan bagian yang
tersusun atas epitel pipih yang tidak terkeratinasi. Epitel- epitel pada bagian ini melapisi
banyak pembuluh kapiler sehingga memberikan warna yang khas pada bagian tersebut.
Selain itu, gambaran histologi juga menunjukkan terdapatnya banyak kelenjar liur
minor. Folikel rambut dan kelejar sebasea juga terdapat pada bagian kulit pada bibir,
namun struktur tersebut tidak ditemukan pada bagian vermilion.
Permukaan bibir bagian dalam dari bibir atas maupun bawah berlekatan
dengangusi pada masing-masing bagian bibir oleh sebuah lipatan yang berada di bagian
tengah dari membran mukosa yang disebut frenulum labial. Saat melakukan proses
mengunyah, kontraksi dari otot-otot businator di pipi dan otot-otot orbukularis oris di
bibir akan membantu untuk memosisikan agar makanan berada di antara gigi bagian
atas dan gigi bagian bawah. Otot-otot tersebut juga memiliki fungsi untuk membantu
proses berbicara. Palatum merupakan sebuah dinding atau pembatas yang membatasi
antara rongga mulut dengan rongga hidung sehingga membentuk atap bagi rongga
mulut. Struktur palatum sangat penting untuk dapat melakukan proses mengunyah dan
bernafas pada saat yang sama. Palatum secara anatomis dibagi menjadi dua bagian yaitu
palatum durum (palatum keras) dan palatum mole (palatum lunak).
Palatum durum terletak di bagian anterior dari atap rongga mulut. Palatum
durum merupakan sekat yang terbentuk dari tulang yang memisahkan antara rongga
mulut dan rongga hidung. Palatum durum dibentuk oleh tulang maksila dan tulang
palatin yang dilapisi oleh membran mukosa. Bagian posterior dari atap rongga mulut
dibentuk oleh palatum mole. Palatum mole merupakan sekat berbentuklengkungan yang
membatasi antara bagian orofaring dan nasofaring. Palatum mole terbentuk dari
11
jaringan otot yang sama halnya dengan paltum durum, juga dilapisi oleh membran
mukosa
3.1.2 Lidah
Lidah merupakan salah satu organ aksesoris dalam sistem pencernaan. Secara
embriologis, lidah mulai terbentuk pada usia 4 minggu kehamilan. Lidah tersusun dari
otot lurik yang dilapisi oleh membran mukosa. Lidah beserta otot-otot yang
berhubungan dengan lidah merupakan bagian yang menyusun dasar dari rongga mulut.
Lidah dibagi menjadi dua bagian yang lateral simetris oleh septum median yang berada
disepanjang lidah. Lidah menempel pada tulang hyoid pada bagian inferior, prosesus
styloid dari tulang temporal dan mandibula.
Setiap bagian lateral dari lidah memiliki komponen otot-otot ekstrinsik dan
intrinsik yang sama. Otot ekstrinsik lidah terdiri dari otot hyoglossus, otot genioglossus
dan otot styloglossus. Otot-otot tersebut berasal dari luar lidah (menempel pada tulang
yang ada di sekitar bagian tersebut) dan masuk kedalam jaringan ikat yang ada di lidah.
Otot-otot eksternal lidah berfungsi untuk menggerakkan lidah dari sisi yang satu ke sisi
yang berlawanan dan menggerakkan ke arah luar dan ke arah dalam. Pergerakan lidah
karena otot tersebut memungkinkan lidah untuk memosisikan makanan untuk dikunyah,
dibentuk menjadi massa bundar, dan dipaksa untuk bergerak ke belakang mulut untuk
proses penelanan.
Selain itu, otot-otot tersebut juga membentuk dasar dari mulut dan
mempertahankan agar posisi lidah tetap pada tempatnya. Otot-otot intrisik lidah berasal
dari dalam lidah dan berada dalam jaringan ikat lidah. Otot ini mengubah bentuk dan
ukuran lidah pada saat berbicara dan menelan. Otot tersebut terdiri atas : otot
longitudinalis superior, otot longitudinalis inferior, otot transversus linguae, dan otot
verticalis linguae. Untuk menjaga agar pergerakan lidah terbatas ke arah posterior dan
menjaga agar lidah tetap pada tempatnya, lidah berhubungan langsung dengan frenulum
lingual, yaitu lipatan membran mukosa yang berada pada bagian tengah sumbu tubuh
dan terletak di permukaan bawah lidah, yang menghubungkan langsung antara lidah
dengan dasar dari rongga mulut.
Pada bagian dorsum lidah (permukaan atas lidah) dan permukaan lateral lidah,
lidah ditutupi oleh papila. Papila adalah proyeksi dari lamina propria yang ditutupi oleh
12
epitel pipih berlapis. Sebagian dari papila memiliki kuncup perasa, reseptor dalam
proses pengecapan, sebagian yang lainnya tidak. Namun, papila yang tidak memiliki
kuncup perasa memiliki reseptor untuk sentuhan dan berfungsi untuk menambah gaya
gesekan antara lidah dan makanan, sehingga mempermudah lidah untuk menggerakkan
makanan di dalam rongga mulut.
3.2.1. Definisi
Kandidiasis oral merupakan salah satu manifestasi dari penyakit mulut berupa
infeksi yang disebabkan oleh jamur candida albicans. Penyakit kandidiasi oral ini sering
ditemukan pada pada orang memiliki imunitas rendah.
3.2.2. Epidemiologi
Kandidiasis oral atau dikenal juga dengan thrush adalah infeksi oportunistik
umum pada rongga mulut yang disebabkan oleh pertumbuhan yang berlebihan dari
spesies Candida. Penyakit ini kerap terjadi pada pasien HIV/AIDS yang jumlah CD4+
3
dibawah 200sel/mm (Akpan A, 2008; Gabler IG et al, 2008). Kira-kira 40% dari
populasi mempunyai spesies Candida di dalam mulut dalam jumlah kecil sebagai
bagian yang normal dari mikroflora oral, dengan berbagai hal mikroflora oral normal ini
bisa menjadi pathogen pada keadaan: imunokompromise, obat-obatan (antibiotik,
kortikosteroid), chemotherapy, diabetes mellitus, produksi saliva yang menurun, dan
protese (Lewis Michael AO, 1998; Suhonen RE, 1999).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka prevalensi untuk kandidiasis oral
pada pasien HIV/AIDS di India sekitar 43,2%, di Rumah sakit Eduardo de Menezes di
Brazil sekitar 50%, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta sekitar 80,8%,
Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung sekitar 27%, RSUP H Adam Malik Medan
jumlah kasus kandidiasis oral dari tahun 2008 sampai tahun 2009 terdapat 28,7%
(Gabler IG, et al. 2008; Sudjana P, 2009; VCT- Pusyansus RSUP. HAM Medan, 2009).
Prevalensi kandidiasis oral pada penderita diabetes mellitus menurut Harina
(2002) menunjukkan hanya 42,8% yang mempunyai koloni C. Albicans.
13
3.2.3 Faktor resiko
14
Tabel 1. Faktor Risiko
Sumber Journal of Marmara University Institute of Health Sciences Volume: 1, Number: 2, 2011
15
Kecenderungan keberadaan C. Albicans pada penderita diabetes mellitus,
disebabkan kadar glukosa darah yang tinggi dan tidak terkontrol, serta makanan yang
kaya dengan karbohidrat mempermudah timbulnya C. Albicans dan infeksi C. Albicans.
3.2.5. Klasifikasi
Kandidiasi oral dapat dikelompokkan menjadi tiga:
1. Kandidiasis Oral Akut
a. Kandidiasis pseudomembranous Akut
Kandidiasis pseudomembranous akut yang disebut juga sebagai trush,
pertama kali tampak plak mukosa yang putih, difus, bergumpal atau seperti
beludru terdiri dari sel epitel dekumuasi, fibrin dan hifa jamur dapat dihapus
sehingga meninggalkan permukaan merah dan kasar. Biasanya dijumpai
pada mukosa pipi, lidah dan palatum lunak dan sering biasanya
mengeluhkan rasa terbakar pada mulut. Kandidiasis pseudomembranous
akut ini sering pada pasien imun rendah, seperti HIV/ AIDS, pasien yang
mengkonsumsi kortikosteroid dan kemoterapi. Diagnosanya dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, kultur jamur, atau pemeriksaan
mikrokopis yang langsung kerokan dari jamur.
Gambar 1. Kandidiasis Pseudomembranosus Akut pada lidah dan mukosa bukal pasien
17
Gambar 3. Kandidiasis Atropik Kronik
b. Kandidiasi Hiperplastik Kronik
Infeksi Jamur timbul pada mukosa bukal atau tepi lateral lidah berupa bintik-
bintik putih yang tepinya menimbul tegas dengan beberapa daerah merah.
Kondisi ini dapat berkembang menjadi displasia berat atau keganasan, dan
kadang disebut sebagai kandida leukoplakia. Bintik-bintik putih tersebut
tidak dapat dihapus , sehingga diagnosa harus ditentukan dengan biopsi.
Kandidiasis ini paling sering diderita oleh perokok
18
Gambar 5. Median Rhomboid Glositis
3. Kelitis Angularis
Kelitis angularis merupakan infeksi kandida albican pada sudut mulut, dapat
bilateral maupun unilateral. Sudut mulut yang terkena infeksi tampak merah dan
pecah-pecah dan terasa sakit ketika membuka mulut. Kelitis angularis ini dapat
terjadi pada penderita defisiensi vitamin B12 dan anemia defisiensi besi.
3.2.6. Patofisiologi
Terjadinya kandidiasis pada rongga mulut di awali dengan adanya kemampuan
kandida untuk melekat pada mukosa mulut, hal ini yang menyebabkan awal terjadinya
infeksi. Sel ragi atau jamur tidak melekat apabila mekanisme pembersihan oleh saliva,
pengunyahan dan penghancuran oleh asam lambung berjalan normal. Perlekatan jamur
pada mukosa mulut mengakibatkan proliferasi, kolonisasi tanpa atau dengan gejala
infeksi.
Bahan-bahan polimerik ekstra selular (mannoprotein) yang menutupi permukaan
kandida albikans merupakan komponen penting untuk perlekatan pada mukosa mulut.
Kandida albikans menghasilkan proteinnase yang dapat mengdegradasi protein saliva
19
termasuk sekretori imunoglobulin A, laktoferin, musin dan keratin juga sitotoksis
terhadap sel host. Batas – batas hidrolisis dapat terjadi pada pH 3.0/3.5 – pH 6.0. Dan
mungkin melibatkan beberapa enzim lain seperti fosfolipase, akan di hasilkan pada pH
3.5 – 6.0. Enzim ini menghancurkan membran sel selanjutnya akan terjadi invasi jamur
tersebut pada jaringan host. Hifa mampu tumbuh meluas pada permukaan sel host.
3.2.7. Pemeriksaan
Diagnosis kandidiasis harus dilakukan pemeriksaan mikroskopis, disamping
pemeriksaan klinis dan mengetahui riwayat penyakit. Bahan pemeriksaan dapat diambil
dengan beberapa cara yaitu usapan (swab) atau kerokan (scraping) lesi pada mukosa
atau kulit. Juga dapat digunakan darah, sputum dan urine. Selanjutnya bahan
pemeriksaan tersebut diletakkan pada gelas objek dalam larutan potassium hydroksida
(KOH) 10%, hasilnya akan terlihat pseudohyphae yang tidak beraturan atau
blastospora. Selain pemeriksaan mikroskopis.dapat dilakukan kultur dengan
menggunakan agar sabouraud`s atau eosinmethylene blue pada suhu 37 % C, hasilnya
akan terbentuk koloni dalam waktu 24 – 48 jam. Pada kasus hyperplastik kandidiasis
kronis pada umumnya dilakukan biopsi, bahan pemeriksaan dapat diwarnai dengan
periodic acid schiff (P.A.S),hasilnya akan terlihat pseudomyselia dan hifa.Disamping
itu akan terlihat parakeratosis dan leukosit polimorfonuklear.
Adapun tes tambahan yaitu:
1. Sitologi eksfoliatif
2. Kultur
3. Biopsi jaringan
3.2.8. Tatalaksana
Menejemen yang dilakukan pada kandidiasis oral adalah dengan pengobatan
secara topikal. Setelah dilakukan pengobatan topikal maka dilanjutkan pengobatan
selama dua minggu setelah terjadinya resolusi pada lesi. Ketika terapi topikal
mengalami kegagalan maka dilanjutkannya terapi sistemik karena gagalnya respon obat
adalah merupakan pertanda adanya penyakit sistemik yang mendasari. Follow up
setelah 3 sampai 7 hari pengobatan untuk mengecek efek dari obat-obatan. Adapun
tujuan utama dari pengobatan adalah.
20
1. Untuk mengidentifikasi dan mengeliminasi faktor-faktor yang berkontribusi.
2. Untuk mencegah penyebaran sistemik.
3. Untuk mengurangi kekurangnyamanan yang terjadi.
4. Untuk mengurangi perkembangbiakan kandida.
Pengobatan pada kandidiasis terdiri atas lini pertama dan pengobatan lini kedua.
Pengobatan kandidiasis oral lini pertama yaitu:
1. Nistatin
Nistatin merupakan obat lini pertama pada kandidiasis oral yang terdapat dalam
bentuk topikal. Obat nistatin tersedia dalam bentuk krim dan suspensi oral. Tidak
terdapat interaksi obat dan efek samping yang signifikan pada penggunaan obat
nistatis sebagai anti kandidiasis.
2. Ampoterisin B
Obat ini dikenal dengan Lozenge (fungilin 10 mg) dan suspensi oral 100 mg/ml
dimana diberikan tiga sampai empat kali dalam sehari. Ampoterisin B
menginhibisi adhesi dari jamur kandida pada sel epitel. Efek samping pada obat
ini adalah efek toksisitas pada ginjal.
3. Klotrimazol
Obat ini mengurangi pertumbuhan jamur dengan menginhibisi ergosterol.
Klotrimazol dikontraindikasikan pada infeksi sistemik. Obat ini tersedia dalam
bentuk krim dan tablet 10 mg. Efek utama pada obat ini adalah rasa sensasi tidak
nyaman pada mulut, peningkatan level enzim hati, mual dan muntah.
21
Obat ini menginhibisi sitokrom p450 fungal. Obat ini digunakan pada
kandidiasis orofaringeal dengan dosis 50-100mg kapsul sekali dalam sehari
dalam dua sampai tiga minggu. Efek samping utama pada pengobatan dengan
menggunakanflukonazol adalah mual, muntah dan nyeri kepala.
c. Itrakonazol
trakonazol merupakan salah satu antifungal spektrum luas dan
dikontraindikasikan pada kehamilan dan penyakit hati. Dosis obat adalah
100 mg dalam bentuk kapsul sehari sekali selama dua minggu. Efek samping
utama adalah mual, neuropati dan alergi.
Sumber Dangi, Y. Sngh. 2010. Oral Candidiasis. Institute of Pharmaceutical Sciences, Guru Ghasidas
Central University.Vol 2.
22
3.2.10. Komplikasi
Kandidiasis oral yang disebabkan oleh jamur candida, apabila candida masuk ke
esofagus (pada kasus yang berat) maka akan terjadi candidiasis esofaghitis maka pasien
akan mengalami kesulitan dalam menelan dan apabila tidak di obati maka akan tertelan
ke usus sehingga menyebab timbulnya difeteri dan lebih parahnya akan terjadi infeksi
usus.
3.2.11. Prognosis
Prognosis dari oral kandidiasis adalah baik ketika faktor-faktor predisposisi
yang berhubungan dengan infeksi ini tereliminasi. Ketika faktor-faktor predisposisi
meningkat pada pasien kandidiasis primer maka meningkatkan pula resiko yang lebih
buruk pada kandidiasis. Pada kebanyakan kasus kandidiasis oral adalah penyebab dari
infeksi superfisial sekunder yang dapat dengan mudah diobati dengan terapi antifungal.
3.3. Periodontitis pada diabetes mellitus dan chronic kidney injury
Penyakit periodontal atau biasa disebut periodontitis merupakan kelainan yang
sering dijumpai dan terjadi pada manusia dengan faktor resiko yang jelas berperan
terhadap gangguan fungsi pengunyahan dan hilangnya gigi geligi. Berdasarkan data
epidemiologi sekitar 10% orang dewasa di Negara maju menderita penyakit
periodontitis lanjut, sedangkan sekitar 44-57% mengalami periodontitis ringan. Hal
tersebut menunjukkan bahwa angka kesakitan akibat penyakit periodontal terjadi
hampir di seluruh dunia.
Penyakit periodontal secara umum disebabkan oleh bakteri plak yang terdapat
pada permukaan gigi, dimana plak merupakan deposit lunak berupa lapisan tipis biofilm
yang berisi kumpulan mikroorganisme patogen seperti Porphyromonas gingivalis,
Actinobacillus actinomycetemcomitans, Prevotela intermedia,Tannerella forsythia
serta Fusobacterium nucleate. Kemampuan bakteri dalam mendegradasi jaringan
dengan cara menghasilkan beberapa produk bakteri seperti kolagenase, protease,
hialuronidase, kondroitin sulfatese serta lipopolisakarida dan asam lipotheikholik.
Produk lain seperti indol, amonia, hydrogen sulfide juga berperan terhadap kerusakan
jaringan. Adapun kondisi yang dapat berperan terhadap prevalensi dan keparahan
periodontitis selain peranan bakteri adalah adanya penyakit sistemik seperti diabetes
melitus (DM). Beberapa peneliti menyatakan bahwa terdapat hubungan yang saling
23
berkaitan antara penyakit sistemik dan periodontitis walaupun terkadang tidak dapat
dijelaskan secara nyata.
24
periodontal, sehingga bakteri gram negatif anaerob yang merupakan bakteri komensal
pada poket periodontal akan menjadi lebih patogen. Gangguan pembuluh darah juga
akan mempengaruhi pembuangan sisa metabolisme dalam jaringan periodontal,
sehingga akan terjadi toksikasi jaringan periodontal dan gingiva.
Advanced glycation end-product juga mengadakan ikatan dengan reseptor
bermacam sel seperti endotelium, monosit, makrofag, limfosit dan mesenkim. Ikatan
menyebabkan aktivitas biologic seperti emigrasi monosit, pembebasan sitokin dan
factor pertumbuhan oleh makrofag, peningkatan permeabilitas endotelial, peningkatan
aktivitas prokoagulan sel endotel dan makrofag, peningkatan proliferasi dan sintesis
matriks ekstraseluler oleh fibroblas dan sel otot halus, efek ini menyebabkan
peningkatan komplikasi DM .
Pada kasus CKD merupakan salah satu faktor risiko terjadinya periodontitis
dikarenakan kaitannya dengan obat-obat hipertensi yang menyebabkan mulut kering
dan mengganggu indera pengecap, seperti obat-obat kalsium antagonis menyebabkan
gusi bengkak. Perubahan stuktur lumen dan dinding pembuluh darah menyebbakan
disfungsi endotel akibat dari inflamasi yang menyeluruh.
Penelitian oleh Castelli et al ditemukan proliferasi tunica intima dengan
penyempitan lumen pembuluh darah yang memperdarahi membran peridontal pada
hipertensi. Sedangkan posisi dan pergerakan gigi dipengaruhi oleh kekuatan tekanan
darah yang melalui pembuluh darah periodontal.
Ada sejumlah manifestasi oral pada pasien dengan DM, banyak kaitannya
dengan tingkat kontrol glikemik. Kondisi mukosa mulut antara lain dysesthesia,
burning mouth, perubahan penyembuhan luka, peningkatan terjadinya infeksi, dan
infeksi kandida (khususnya kandidiasis pseudomembran akut pada lidah, mukosa bukal,
dan gingiva). Xerostomia dan pembesaran kelenjar ludah bilateral atau sialadenitis
(terutama di kelenjar parotis) dapat terjadi, dan keduanya sering berhubungan dengan
kontrol glikemik yang buruk. Pengobatan pada pasien DM yang terkait dengan kondisi
sistemik atau tidak dapat menghasilkan hipofungsi saliva. Dengan demikian, xerostomia
terlihat pada pasien ini dapat diperparah oleh karena pengobatan dibandingkan dari
25
kondisi diabetes itu sendiri. Permukaan mukosa yang kering disebabkan oleh kelenjar
saliva yang mudah teriritasi, sehingga dapat menimbulkan ulserasi mukosa kecil,
sensasi terbakar didalam mulut, dan kemungkinan peningkatan pertumbuhan berlebih
dari organisme jamur. Neuropati dari sistem otonom juga dapat menyebabkan
perubahan sekresi saliva karena aliran saliva dikendalikan oleh saraf simpatis dan
parasimpatis. Tingginya insiden dan keparahan karies gigi pada pasien diabetes mellitus
telah dikaitkan dengan xerostomia, peningkatan kadar glukosa pada cairan sulkus
gingiva, dan peningkatan akumulasi plak gigi.
Manajemen Gigi
Secara umum, orang dewasa dengan DM yang terkontrol baik memiliki risiko
yang sama untuk progresi penyakit mulut dan merespon sama halnya dengan
kebanyakan prosedur yang dilakukan pada individu nondiabetes.Namun, respon pasien
DM untuk perawatan gigi tergantung pada faktor-faktor tertentu untuk setiap
individu.Salah satunya adalah kontrol glikemik, masalah medis yang sedang diderita,
diet, kebersihan mulut, dan kebiasaan seperti mengkonsumsi alkohol dan tembakau
26
secara berlebihan.Sebagai contoh, pasien DM dengan kebersihan mulut yang buruk,
riwayat merokok, pemeriksaan gigi yang tidak teratur, dan tingginya konsumsi
makanan yang dapat difermentasi serta asupan karbohidrat secara berlebihan semakin
besar kemungkin untuk mengalami penyakit mulut seperti karies dan periodontitis.
Pasien ini kemungkinan mengalami respon pengobatan yang terlambat dibandingkan
dengan penderita DM tanpa faktor-faktor tersebut.
Umumnya, waktu terbaik untuk dilakukan perawatan gigi adalah sebelum atau
setelah periode dari aktivitas insulin yang tertinggi.Hal ini akan mengurangi risiko
28
reaksi hipoglikemik perioperatif, yang paling sering terjadi selama puncak dari aktivitas
insulin.Bagi mereka yang menggunakan insulin, risiko terbesar hipoglikemia akan
terjadi sekitar 30 sampai 90 menit setelah suntik insulin lispro, 2 sampai 3 jam setelah
insulin reguler, dan 4 sampai 10 jam setelah NPH atau lente insulin, bagi mereka yang
memakai oral sulfonyureas, aktivitas insulin tertinggi tergantung pada jenis obat yang
individu gunakan.Mettormin dan thiazolidinediones jarang menyebabkan
hipoglikemia.Faktor utama yang harus dipertimbangkan dalam menentukan waktu
perawatan yaitu aktivitas insulin tertinggi dan jumlah glukosa yang diserap dari usus
setelah asupan makanan terakhir.Risiko terbesar akan terjadi pada pasien yang
membutuhkan insulin dengan dosis biasanya atau zat hipoglikemik oral tetapi
mengurangi atau tidak makan sebelum perawatan gigi.Sebagai contoh, jika pasien
membutuhkan dosis reguler insulinsebelum sarapan tapi kemudian gagal untuk makan
atau makan kurang dari jumlah yang biasa, pasien akan mengalami peningkatan risiko
hipoglikemia selama perjanjian perawatan gigi pada pagi hari.Pasien dengan glikemik
tidak terkontrol jangka panjang dan pasien dengan riwayat kejadian hipoglikemia berat
adalah berisiko lebih besar terjadi hipoglikemia diwaktu mendatang.Seringkali tidak
mungkin untuk merencanakan perawatan gigi dengan cara menghindari aktivitas insulin
tertinggi.Hal ini terutama berlaku untuk pasien yang membutuhkan suntikan insulin
yang sering, pasien ini memiliki risiko lebih besar terkena hipoglikemia
perioperatif.Kadar glukosa darah pretreatment dapat diukur dengan sebuah glucometer,
dan harus ada sumber karbohidrat yang terbaca di klinik gigi.Sebuah rekomendasi
umum terakhir untuk pasien dengan DM adalah bahwa dokter gigi harus membantu
dalam mengubahkebiasaan pasien yang dapat merusak kesehatan. Hal ini termasuk
merokok, kebiasaan makan yang buruk, penyalahgunaan obat diabetes, pemantauan
glukosa yang jarang dilakukan, tidak memenuhi kunjungan ke dokter, dan kebersihan
mulut serta olahraga yang tidak cukup.
30
DM dewasa yang terkontrol dengan baik mungkin tidak memerlukan antibiotik selama
dan setelah prosedur bedah, sedangkan antibiotik harus dipertimbangkan untuk infeksi
orofacial dan prosedur bedah mulut pada pasien DM tidak terkontrol.Keputusan untuk
memberikan antibiotika harus didasarkan pada beberapa faktor yang meliputi tingkat
saat ini dan durasi kontrol glikemik, luasnya prosedur bedah yang direncanakan, adanya
infeksi yang mendasari, masalah medis yang terjadi pada saat yang sama, tingkat
diantisipasi nyeri pasca operasi dan stres, dan estimasi masa penyembuhan.Cakupan
antibiotik yang dipilih harus didasarkan pada jenis dan lingkup infeksi, sensitivitas
mikroba, dan hasil spesifisitas yang ditentukan dalam konsultasi dengan dokter pasien.
Penyakit periodontal telah disebut sebagai komplikasi keenam DM, dan semakin
lama durasi DM, semakin besar kemungkinan mengembangkan penyakit periodontal
yang parah.Periodontitis berat juga telah disarankan untuk menjadi faktor risiko untuk
glikemik contol miskin.Karena kontrol glikemik terhubung ke diseas periodontal e dan
perkembangan kehilangan tulang alveolar, perawatan periodontal harus dilakukan
secara paralel dengan pengobatan DM.Pengobatan utama penyakit periodontal pada
pasien DM biasanya pembedahan karena prosedur bedah mungkin memerlukan
modifikasi obat pasien sebelum dan setelah perawatan dan dapat mengakibatkan
penyembuhan berkepanjangan.Infeksi periodontal juga dapat mengembangkan
tergantung pada tingkat kontrol glikemik, oleh karena itu, antibiotik harus
dipertimbangkan.
32
(b). Serostomia
Serostomia adalah kondisi mulut kering. Pada penderita ginjal kronis dan
penderita yang menjalani hemodialisis, gejala ini sangat sering dan signifikan. Hal
ini sering terjadi sebagai hasil dari manifestasi beberapa faktor seperti inflamasi
kimia, dehidrasi, pernafasan melalui mulut (Kussmaul’s respiration) dan
keterlibatan langsung kelenjar salivarius, restriksi konsumsi cairan, dan efek
samping dari obat.
34
Gambar 1: Pembesaran
Gusi akibat
Cyclosporin
(Sumber :
Periodontology
for the Dental
Hygienist 3rd ed.
2007.
Missouri:112)
35
(e). Lesi Mukosa
Spektrum lesi mukosa yang luas dapat timbul pada rongga mulut tetapi lebih
cenderung terjadi plak atau ulserasi keputih-putihan, yang sering didapat pada
penderita yang menjalani transplantasi dan hemodialisis (Tabel 1). Plak ini disebut
uremic frost (Gambar.2), dan terjadi apabila sisa kristal urea terdeposit pada
permukaan epitel dari evaporasi respirasi, juga karena aliran saliva yang berkurang.
Penyakit lichenoid juga dapat terjadi akibat efek dari terapi obat, dan oral hairy
leukoplakia yang juga dapat bermanifestasi sekunder dari efek imunosupresi obat.
36
Gambar 2 : Uremic Frost pada
penderita penyakit
ginjal kronis pada
sublingual. (Sumber :
Burket’s Oral Medicine
11th ed. 2008.
Hamilton:374)
37
(f). Perubahan Warna Mukosa
Mukosa rongga mulut penderita gagal ginjal sering terlihat lebih pucat. Hal ini
disebabkan karena pengaruh anemia dari penderita tersebut dan kondisi ini disebut
pallor. Gejala lain yang sering terlihat adalah warna kemerahan pada mukosa akibat
deposit beta-karotin.
38
menerima transplantasi ginjal, tetapi sekarang ini penggunaan rejimen anti herpes telah
mengurangi frekuensi kejadian tersebut.
(Sumber :Medscape)
Manifestasi klinis lain termasuk mobiliti gigi, maloklusi, dan kalsifikasi jaringan
lunak. Peningkatan mobiliti dan drifting pada gigi tanpa pembentukan kantung
periodontal yang patologis bisa terjadi dan dapat mengakibatkan pelebaran pada
ligamen periodontal. Apabila keadaan ini semakin berlanjut maka dapat terjadi
maloklusi.
40
non-bedah. Selain itu, meskipun memiliti tingkat kebutuhan untuk perawtan gigi yang
tinggi, kehadiran pasien ketempat perawatan gigi tidak lebih baik dibandingkan mereka
yang tanpa penyakit ginjal.
Dokter gigi harus membentuk komunikasi dengan dokter penyakit dalam,
terutama konsultasi dengan nefrologis untuk memberikan informasi mengenai status
penyakit, jenis pengobatan, dan waktu yang tepat untuk perawatan gigi, ataupun
mengenai komplikasi kesehatan apabila terjadi. Setiap adanya perubahan pengobatan
yang digunakan oleh pasien atau aspek lain dari pengobatan mereka harus
dikonsultasikan terlebih dahulu dengan nefrologis.
Kondisi hematologik yang paling membutuhkan perhatian adalah perdarahan
yang berlebihan dan anemia pada penyakit ginjal kronis sehingga disarankan agar tes
hematologi seperti darah rutin dan tes koagulasi dilakukan sebelum perawatan invasif
dilakukan. Infeksi rongga mulut harus dieliminasi dan profilaksis antibiotik harus
dipertimbangkan apabila risiko endokarditis infektif (pada penderita yang menjalani
hemodialisis) dan septimia meningkat. Contohnya, pada saat pencabutan gigi,
perawatan periodontal dan bedah. Demi mengurangi risiko perdarahan, perawatan dapat
dijadwalkan pada hari setelah hemodialisis supaya heparin dalam darah berada pada
tingkat paling minimal. Sebelum perawatan dimulai, tekanan darah penderita harus
diperhatikan dan disaran untuk mengurangi perasaan cemas pada penderita dengan
sedasi.
Kebersihan mulut yang teliti dapat menurunkan plak yang berhubungan dengan
penyakit gusi, tetapi mungkin masih ada beberapa penyakit pembesaran gusi yang
diakibatkan oleh obat. Penatalaksanakan pembesaran gusi akibat efek obat idealnya
adalah dengan mengganti dengan obat lain, tetapi ini tidak selamanya dapat dilakukan,
satu penelitian melaporkan penggunakan obat kumur antimikrobial seperti
metronidazole untuk mengurangi pembesaran gusi, tetapi metronidazole juga dapat
meningkatkan konsentrasi siklosporin dan berpotensial untuk nefrotoksik. Rekurensi
sering terjadi sehingga disarankan agar melakukan kontrol plak yang efektif dan dapat
dibantu dengan pemberian klorheksidin glukonat topikal atau triklosan.
41
BAB IV
ANALISIS KASUS
Ny. MBD, 54 tahun dikonsulkan ke bagian gigi dan mulut RSMH dengan CKD stage
V on HD+ DM nefropati +DM tipe 2 + HT stage II untuk diakukan pemeriksaan gigi dan
mulut untuk mengevaluasi dan tatalaksana adanya fokal infeksi.
Pasien mengeluh gigi berlubang sudah lama dirasakan pada hampir seluruh gigi.
Awalnya gigi terasa sakit, sakit tersebut dirasakan penderita berdenyut-denyut dan ngilu.
Pasien juga mengeluhkan terdapat bercak putih kekuningan pada permukaan atas lidahnya
sejak ± 1 minggu yang lalu. Pasien merasa tidak nyaman saat makan karena lidahnya
terasa kotor. Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran
compos mentis, TD 150/90mmHg, nadi 80x/menit, RR 22x/menit, suhu tubuh 36,50C,
kesan gizi baik.
Pada pemeriksaan ekstra oral didapatkan wajah simetris, bibir cheilitis, kelenjar getah
bening submandibula kanan dan kiri tidak sakit. Pada pemeriksaan intraoral didapatkan
debris pada semua regio, plak pada semua regio, kalkulus pada semua regio. Mukosa labial
terdapat cheilitis pada bibir, pada lidah terdapat lesi berupa lapisan plak berwarna putih
yang tersebar pada seluruh permukaan batas atas lidah dan tidak ditemukan perdarahan
papila intradental. Debris disebabkan oleh sisa makanan yang menempel dan indikasi
kurangnya perlindungan kesehatan gigi dan mulut (oral hygiene) pasien. Hal ini menjadi
faktor risiko terjadinya infeksi karena apabila oral hygiene yang buruk, jumlah bakteri yang
berkolonisasi di gigi meningkat 2-10 kali lipat dan memungkinkan lebih banyak bakteri
melewati jaringan dan masuk ke pembuluh darah, menimbulkan peningkatan prevalensi
dan besarnya bakeremia.
Pada status lokalis didapatkan temuan sebagai berikut:
a. Plak, debris dan kalkulus di semua regio
b. Abrasi pada gigi1.1, 1.4, 2.2, 2.3, 2.6
c. Pulpitis reversible pada gigi 1.5
d. Gangren Radix pada gigi 2.5, 3.3
42
e. Periodonitis kronik pada gigi 1.2
f. Missing teeth pada1.7, 1.3, 3.4, 3.5, 3.6, 3.7, 3.8, 4.1, 4.2, 4.8
g. Lidah terdapat plak berwarna putih
h. Cheilitis bibir
Pada kasus ini ditemukan lidah terdapat plak berwarna putih menandakan adanya
kandidiasisi oral. Kandidiasis oral merupakan salah satu manifestasi dari penyakit mulut
berupa infeksi yang disebabkan oleh jamur candida albicans.
Pada kasus ini kandidiasis oral diduga karena adanya faktor sistemik dari pasien, yaitu
penyakit diabetes meliitus. Kecenderungan keberadaan C. Albicans pada penderita diabetes
mellitus, disebabkan kadar glukosa darah yang tinggi dan tidak terkontrol, serta makanan
yang kaya dengan karbohidrat mempermudah timbulnya C. Albicans dan infeksi C.
Albicans.
Faktor yang berpengaruh dalam kasus ini adalah faktor patogenitas jamur dan faktor
host. Faktor yang berpengaruh pada patogenitas dan proses infeksi Candida adalah adhesi,
adhesi merupakan proses melekatnya sel Candida ke dinding sel epitel host, pada penderita
DM mengalami peningkatan adhesi terhadap beberapa mikroorganisme patogen di mukosa
mulut. Selain itu terdapat faktor host yang terbagi menjadi dua, yaitu faktor lokal dan
sistemik, pada pasien penderita DM dan CKD terjadi gangguan fungsi kelenjar ludah yang
menurunkan saliva yang berfungsi untuk mencegah timbulnya candidiasis.
Serostomia adalah kondisi mulut kering. Pada penderita ginjal kronis dan
penderita yang menjalani hemodialisis, gejala ini sangat sering dan signifikan. Hal ini
sering terjadi sebagai hasil dari manifestasi beberapa faktor seperti inflamasi kimia,
dehidrasi, pernafasan melalui mulut (Kussmaul’s respiration) dan keterlibatan langsung
kelenjar salivarius, restriksi konsumsi cairan, dan efek samping dari obat.
Serostomia dan pembesaran kelenjar ludah bilateral atau sialadenitis (terutama di
kelenjar parotis) dapat terjadi, dan keduanya sering berhubungan dengan kontrol glikemik
yang buruk. Pengobatan pada pasien DM dan CKD yang terkait dengan kondisi sistemik
atau tidak dapat menghasilkan hipofungsi saliva. Dengan demikian, xerostomia terlihat
43
pada pasien ini dapat diperparah oleh karena pengobatan dibandingkan dari kondisi
diabetes itu sendiri. Permukaan mukosa yang kering disebabkan oleh kelenjar saliva yang
mudah teriritasi, sehingga dapat menimbulkan ulserasi mukosa kecil, sensasi terbakar
didalam mulut, dan kemungkinan peningkatan pertumbuhan berlebih dari organisme jamur.
Neuropati dari sistem otonom juga dapat menyebabkan perubahan sekresi saliva karena
aliran saliva dikendalikan oleh saraf simpatis dan parasimpatis. Tingginya insiden dan
keparahan karies gigi pada pasien diabetes mellitus telah dikaitkan dengan xerostomia,
peningkatan kadar glukosa pada cairan sulkus gingiva, dan peningkatan akumulasi plak
gigi.
Pembesaran Gusi
Pembesaran gusi sekunder akibat penggunaan obat adalah manifestasi oral pada
penyakit ginjal yang paling sering dilaporkan. Hal ini dapat diakibatkan oleh
cyclosporin dan/atau calcium channel blockers. Prinsipnya mempengaruhi papila
interdental labia, walaupun kadang dapat menjali lebih luas, yaitu dengan melibatkan
tepi gusi dan lidah serta permukaan palatum.
45
diakibatkan oleh calcium channel-blocker lainnya. Keberadaan plak gigi
mungkin merupakan predisposisi terjadinya pembesaran gusi akibat
nifedipine. Tetapi itu tidak sangat berpengaruh dalam perkembangannya.
Dosis dan durasi pengobatan tidak berkaitan dengn prevalensi terjadinya
pembesaran gusi. Beberapa penelitian telah melaporkan penurunan
pembesaran gusi setelah penggantian nifedipin dengan calcium channel-bocker
lain, tetapi obat-obat ini juga sebagian masih dapat menyebabkan pembesaran
gusi.
Pasien yang menderita penyakit ginjal kronis memerlukan perawatan gigi yang
khusus, bukan hanya karena adanya hubungan antara sistemik dan rongga mulut tetapi
karena efek samping dan karasteristik dari perawatan yang diterima harus diperhatikan
agar tidak menambah beban dan rasa sakit pada penderita. Perawatan secara klinis yang
teratur sangat penting untuk identifikasi dini dari komplikasi rongga mulut dari penyakit
ginjal. Perawatan yang diindikasikan adalah perawatan periodontal yang teratur, dan
non-bedah. Selain itu, meskipun memiliti tingkat kebutuhan untuk perawtan gigi yang
tinggi, kehadiran pasien ketempat perawatan gigi tidak lebih baik dibandingkan mereka
yang tanpa penyakit ginjal.
Dokter gigi harus membentuk komunikasi dengan dokter penyakit dalam,
terutama konsultasi dengan nefrologis untuk memberikan informasi mengenai status
penyakit, jenis pengobatan, dan waktu yang tepat untuk perawatan gigi, ataupun
mengenai komplikasi kesehatan apabila terjadi. Setiap adanya perubahan pengobatan
yang digunakan oleh pasien atau aspek lain dari pengobatan mereka harus
dikonsultasikan terlebih dahulu dengan nefrologis.
Kondisi hematologik yang paling membutuhkan perhatian adalah perdarahan
yang berlebihan dan anemia pada penyakit ginjal kronis sehingga disarankan agar tes
hematologi seperti darah rutin dan tes koagulasi dilakukan sebelum perawatan invasif
dilakukan. Infeksi rongga mulut harus dieliminasi dan profilaksis antibiotik harus
dipertimbangkan apabila risiko endokarditis infektif (pada penderita yang menjalani
hemodialisis) dan septimia meningkat. Contohnya, pada saat pencabutan gigi,
46
perawatan periodontal dan bedah. Demi mengurangi risiko perdarahan, perawatan dapat
dijadwalkan pada hari setelah hemodialisis supaya heparin dalam darah berada pada
tingkat paling minimal. Sebelum perawatan dimulai, tekanan darah penderita harus
diperhatikan dan disaran untuk mengurangi perasaan cemas pada penderita dengan
sedasi.
47
DAFTAR PUSTAKA
50