Anda di halaman 1dari 50

Laporan Kasus

Kandidiasis Oral Pada Kasus Chronic Kidney Disease


(Ckd) dan Diabetes Mellitus

Oleh:

Saktheeswary Achanan 04011381320078

Muh

Pembimbing:

Drg. Billy Sujato, SpKG

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN GIGI DAN MULUT


RSUP DR.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018

1
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

Judul

Kandidiasis Oral pada Kasus CKD dan DM

Oleh:

Mela Roza, S.Ked 04054821719066

Tri Kurniati, S.Ked 04054821719067

Dian Amalia Azka,S.Ked 04054821719068

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan
Klinik di Bagian Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Univesitas Sriwijaya Rumah
Sakit Mohammad Hoesin Palembang.

Palembang, April 2018

Drg. Merryca Belinda, SpKG

2
KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas rahmat dan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
‘Kandidiasis Oral pada CKD dan DM’ ini sebagai salah satu syarat mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di bagian Gigi dan Mulut RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang/ FK Universitas Sriwijaya.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada drg. Merryca Belinda, SpKG


selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan
penyusunan telaah ilmiah ini, serta semua pihak yang telah membantu hingga
selesainya telaah ilmiah ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan telaah ilmiah


ini disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak untuk perbaikan
di masa yang akan datang. Semoga telaah ilmiah ini dapat memberi manfaat bagi yang
membacanya.

Palembang, April 2018

Penulis

3
BAB I
PENDAHULUAN

Laporan kasus pasien dengan penyakit sistemik seperti CKD dan DM serta
kaitannya dengan kesehatan gigi dan mulut dianggap penting untuk dibahas guna
menambah ilmu pengetahuan baik bagi dokter maupun masyarakat luas.

BAB I
STATUS PASIEN

1.1 Identifikasi Pasien


Nama : Nn. AL
Umur : 12 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status Perkawinan : Kelum Kawin
Agama : Islam
Alamat : Pemulutan Barat, Palembang
Kebangsaan : Indonesia
Pekerjaan : Mahasiswa
Pendidikan : SD
Ruangan : Selincah, Lantai 2, Kamar 3
Konsul : 03 April 2018
4
1.2 Anamnesis
a. Keluhan Utama:
Pasien dikonsulkan ke bagian gigi dan mulut RSMH dengan
Pancytopenia suspect Acute Leukaemia + Limfadenopati Colli untuk
dilakukan pemeriksaan gigi dan mulut untuk mengevaluasi dan tatalaksana
adanya fokal infeksi.

b. Keluhan tambahan:
Tidak ada

c. Riwayat Perjalanan Penyakit:


Pasien dirawat di bagian penyakit dalam RSMH dengan diagnosis
Pancytopenia suspect Acute Leukaemia + Limfadenopati Colli. Pasien
kemudian dikonsultasikan ke bagian gigi dan mulut untuk melihat ada
tidaknya fokal infeksi. Pasien juga mengeluhkan terdapat bercak putih
kekuningan pada permukaan atas lidahnya sejak ± 2 minggu yang lalu.
Pasien merasa tidak nyaman saat makan karena sulit untuk membuka mulut.
Pasien belum pernah mengobati kondisi ini.

d. Riwayat pengobatan:
Tidak ada

e. Riwayat Penyakit atau Kelainan Sistemik


Penyakit atau Kelainan Sistemik Ada Disangkal
Alergi : debu, dingin √
Penyakit Jantung √
Penyakit Tekanan Darah Tinggi √
Penyakit Diabetes Melitus √
Penyakit Kelainan Darah √
Penyakit Hepatitis A/B/C/D/E/F/G/H √

5
Kelainan Hati Lainnya √
HIV/ AIDS √
Penyakit Pernafasan/paru √
Kelainan Pencernaan √
Penyakit Ginjal √
Penyakit Rinosinusitis √
Epilepsi √

f. Riwayat Penyakit Gigi dan Mulut Sebelumnya


 Riwayat cabut gigi (-)
 Riwayat tumpat gigi (-)
 Riwayat membersihkan karang gigi (-)
 Riwayat trauma (-)

g. Riwayat Kebiasaan
Pasien memiliki kebiasaan menggosok gigi 2 kali sehari.

1.3 Pemeriksaan Fisik (Selasa, 03 April 2018, pukul 11.00 WIB)


a. Status Umum Pasien
1. Keadaan Umum Pasien : Tampak sakit sedang.
2. Kesadaran : Compos mentis.
3. Vital Sign
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Respiration rate : 18 x/menit
Temperatur : 36,50C
4. Berat Badan : 28kg
5. Tinggi Badan :135 cm
6. Kesan Gizi : Kurang

b. Pemeriksaan Ekstra Oral


Wajah : Simetris
6
Bibir : cheilitis
Kelenjar getah bening submandibula
Kanan : tidak teraba dan tidak sakit
Kiri : tidak teraba dan tidak sakit

c. Pemeriksaan Intra Oral


Debris : Ada di semua regio
Plak : Ada di semua regio
Kalkulus : Ada di semua regio
Perdarahan papila interdental : Tidak ada
Gingiva : eritem dan edema pada rahang
atas dan bawah
Mukosa : Cheilitis pada bibir atas dan
bawah
Palatum : Tidak ada kelainan
Lidah : Terdapat lesi berupa lapisan.plak
berwarna putih yang.tersebar pada
seluruh permukaan bagian atas
lidah.
Dasar mulut : Tidak ada kelainan
Hubungan rahang : Orthognathi

d. Odontogram

7
e. Temuan
a. Plak, debris dan kalkulus disemua regio
b. Abrasi pada gigi 1.1, 1.4, 2.2, 2.3, 2.6
c. Pulpitis reversible pada gigi 1.5
d. Gangren Radix pada gigi 2.5, 3.3
e. Periodontitis kronik + mobility derajat II pada gigi 1.2
f. Missing teeth pada 1.7, 1.3, 3.4, 3.5, 3.6, 3.7, 3.8, 4.1, 4.2, 4.8 karena
mobility
g. Lidah terdapat plak berwarna putih
h. Cheilitis bibir atas dan bawah

f. Perencanaan
a. Plak, debris, dan kalkulus gigi : Pro scaling
b. Abrasi : Pro prepanasi
c. Pulpitis reversible : Pro prepanasi
d. Ganggren radix : Pro ekstraksi (bila KU baik)
e. Gingiva eritem dan edema : Pro scaling (bila KU baik)
f. Lidah terdapat plak berwarna putih : pro swab lidah untuk pemeriksaan
mikrobiologi dan medikamentosa
g. Cheilitis bibir : pro medikamentosa
h. Dental Health Education

1.4. Pemeriksaan Penunjang (02 April 2018)


Pemeriksaan Hasil Rujukan normal Kesan

Hematologi

Hemoglobin 9.8 g/dL 13,4-17,40 g/dL Tidak


Normal

8
Eritrosit 3.68 /mm3 4,4-6,3x106/mm3 Tidak
Normal

Leukosit 1,0 /mm3 4,73-10,89/mm3 Tidak


Normal

Hematokrit 29 % 41-51% Tidak


Normal

Trombosit 44 /mm3 170.000-396.000/mm3 Tidak


Normal

1.5. Prognosis
Quo ad Vitam : Dubia ad Bonam
Quo ad Fungsionam : Dubia ad Bonam

1.6. Jawaban Konsul


Pada pasien ditemukan fokal infeksi, yaitu abrasi pada gigi 1.1, 1.4, 2.2, 2.3, 2.6
pro preparasi, pulpitis reversible pada gigi 1.5 pro preparasi, gangren radix pada
gigi 2.5, 3.3 pro ekstraksi, periodonitis kronik pada gigi 1.2 pro ekstraksi (bila KU
baik), gingiva eritem dan edema pro scaling (bila KU baik), kandidiasis oral pada
lidah pro oral swab dan medikamentosa, cheilitis bibir pro medikamentosa.

1.7. Lampiran Foto Pasien

9
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Rongga Mulut


Rongga mulut merupakan sebuah bagian tubuh yang terdiri dari : lidah bagian
oral (dua pertiga bagian anterior dari lidah), palatum durum (palatum keras), dasar dari
mulut, trigonum retromolar, bibir, mukosa bukal, ‘alveolar ridge’, dan gingiva. Tulang
mandibula dan maksila adalah bagian tulang yang membatasi rongga mulut.

Anantomi rongga mulut


Rongga mulut yang disebut juga rongga bukal, dibentuk secara anatomis oleh
pipi, palatum keras, palatum lunak, dan lidah. Pipi membentuk dinding bagian lateral
masing - masing sisi dari rongga mulut. Pada bagian eksternal dari pipi, pipi dilapisi
oleh kulit. Sedangkan pada bagian internalnya, pipi dilapisi oleh membran mukosa,
yang terdiri dari epitel pipih berlapis yang tidak terkeratinasi. Otot-otot businator (otot
yang menyusun dinding pipi) dan jaringan ikat tersusun diantara kulit dan membran
mukosa dari pipi. Bagian anterior dari pipi berakhir pada bagian bibir.

3.1.1 Bibir dan Palatum


Bibir adalah lekukan jaringan lunak yang mengelilingi bagian yang terbuka dari
mulut. Bibir terdiri dari otot orbikularis oris dan dilapisi oleh kulit pada bagian

10
eksternal dan membran mukosa pada bagian internal. Secara anatomi,bibir dibagi
menjadi dua bagian yaitu bibir bagian atas dan bibir bagian bawah. Bibir bagian atas
terbentang dari dasar dari hidung pada bagian superior sampai ke lipatan nasolabial
pada bagian lateral dan batas bebas dari sisi vermilion pada bagian inferior. Bibir
bagian bawah terbentang dari bagian atas sisi vermilion sampai ke bagian komisura
pada bagian lateral dan ke bagian mandibula pada bagian inferior
Kedua bagian bibir tersebut, secara histologi, tersusun dari epidermis, jaringan
subkutan, serat otot orbikularis oris, dan membran mukosa yang tersusun dari bagian
superfisial sampai ke bagian paling dalam. Bagian vermilion merupakan bagian yang
tersusun atas epitel pipih yang tidak terkeratinasi. Epitel- epitel pada bagian ini melapisi
banyak pembuluh kapiler sehingga memberikan warna yang khas pada bagian tersebut.
Selain itu, gambaran histologi juga menunjukkan terdapatnya banyak kelenjar liur
minor. Folikel rambut dan kelejar sebasea juga terdapat pada bagian kulit pada bibir,
namun struktur tersebut tidak ditemukan pada bagian vermilion.
Permukaan bibir bagian dalam dari bibir atas maupun bawah berlekatan
dengangusi pada masing-masing bagian bibir oleh sebuah lipatan yang berada di bagian
tengah dari membran mukosa yang disebut frenulum labial. Saat melakukan proses
mengunyah, kontraksi dari otot-otot businator di pipi dan otot-otot orbukularis oris di
bibir akan membantu untuk memosisikan agar makanan berada di antara gigi bagian
atas dan gigi bagian bawah. Otot-otot tersebut juga memiliki fungsi untuk membantu
proses berbicara. Palatum merupakan sebuah dinding atau pembatas yang membatasi
antara rongga mulut dengan rongga hidung sehingga membentuk atap bagi rongga
mulut. Struktur palatum sangat penting untuk dapat melakukan proses mengunyah dan
bernafas pada saat yang sama. Palatum secara anatomis dibagi menjadi dua bagian yaitu
palatum durum (palatum keras) dan palatum mole (palatum lunak).
Palatum durum terletak di bagian anterior dari atap rongga mulut. Palatum
durum merupakan sekat yang terbentuk dari tulang yang memisahkan antara rongga
mulut dan rongga hidung. Palatum durum dibentuk oleh tulang maksila dan tulang
palatin yang dilapisi oleh membran mukosa. Bagian posterior dari atap rongga mulut
dibentuk oleh palatum mole. Palatum mole merupakan sekat berbentuklengkungan yang
membatasi antara bagian orofaring dan nasofaring. Palatum mole terbentuk dari

11
jaringan otot yang sama halnya dengan paltum durum, juga dilapisi oleh membran
mukosa

3.1.2 Lidah
Lidah merupakan salah satu organ aksesoris dalam sistem pencernaan. Secara
embriologis, lidah mulai terbentuk pada usia 4 minggu kehamilan. Lidah tersusun dari
otot lurik yang dilapisi oleh membran mukosa. Lidah beserta otot-otot yang
berhubungan dengan lidah merupakan bagian yang menyusun dasar dari rongga mulut.
Lidah dibagi menjadi dua bagian yang lateral simetris oleh septum median yang berada
disepanjang lidah. Lidah menempel pada tulang hyoid pada bagian inferior, prosesus
styloid dari tulang temporal dan mandibula.
Setiap bagian lateral dari lidah memiliki komponen otot-otot ekstrinsik dan
intrinsik yang sama. Otot ekstrinsik lidah terdiri dari otot hyoglossus, otot genioglossus
dan otot styloglossus. Otot-otot tersebut berasal dari luar lidah (menempel pada tulang
yang ada di sekitar bagian tersebut) dan masuk kedalam jaringan ikat yang ada di lidah.
Otot-otot eksternal lidah berfungsi untuk menggerakkan lidah dari sisi yang satu ke sisi
yang berlawanan dan menggerakkan ke arah luar dan ke arah dalam. Pergerakan lidah
karena otot tersebut memungkinkan lidah untuk memosisikan makanan untuk dikunyah,
dibentuk menjadi massa bundar, dan dipaksa untuk bergerak ke belakang mulut untuk
proses penelanan.
Selain itu, otot-otot tersebut juga membentuk dasar dari mulut dan
mempertahankan agar posisi lidah tetap pada tempatnya. Otot-otot intrisik lidah berasal
dari dalam lidah dan berada dalam jaringan ikat lidah. Otot ini mengubah bentuk dan
ukuran lidah pada saat berbicara dan menelan. Otot tersebut terdiri atas : otot
longitudinalis superior, otot longitudinalis inferior, otot transversus linguae, dan otot
verticalis linguae. Untuk menjaga agar pergerakan lidah terbatas ke arah posterior dan
menjaga agar lidah tetap pada tempatnya, lidah berhubungan langsung dengan frenulum
lingual, yaitu lipatan membran mukosa yang berada pada bagian tengah sumbu tubuh
dan terletak di permukaan bawah lidah, yang menghubungkan langsung antara lidah
dengan dasar dari rongga mulut.
Pada bagian dorsum lidah (permukaan atas lidah) dan permukaan lateral lidah,
lidah ditutupi oleh papila. Papila adalah proyeksi dari lamina propria yang ditutupi oleh
12
epitel pipih berlapis. Sebagian dari papila memiliki kuncup perasa, reseptor dalam
proses pengecapan, sebagian yang lainnya tidak. Namun, papila yang tidak memiliki
kuncup perasa memiliki reseptor untuk sentuhan dan berfungsi untuk menambah gaya
gesekan antara lidah dan makanan, sehingga mempermudah lidah untuk menggerakkan
makanan di dalam rongga mulut.

3.2 Kandidiasis Oral

3.2.1. Definisi
Kandidiasis oral merupakan salah satu manifestasi dari penyakit mulut berupa
infeksi yang disebabkan oleh jamur candida albicans. Penyakit kandidiasi oral ini sering
ditemukan pada pada orang memiliki imunitas rendah.

3.2.2. Epidemiologi

Kandidiasis oral atau dikenal juga dengan thrush adalah infeksi oportunistik
umum pada rongga mulut yang disebabkan oleh pertumbuhan yang berlebihan dari
spesies Candida. Penyakit ini kerap terjadi pada pasien HIV/AIDS yang jumlah CD4+
3
dibawah 200sel/mm (Akpan A, 2008; Gabler IG et al, 2008). Kira-kira 40% dari
populasi mempunyai spesies Candida di dalam mulut dalam jumlah kecil sebagai
bagian yang normal dari mikroflora oral, dengan berbagai hal mikroflora oral normal ini
bisa menjadi pathogen pada keadaan: imunokompromise, obat-obatan (antibiotik,
kortikosteroid), chemotherapy, diabetes mellitus, produksi saliva yang menurun, dan
protese (Lewis Michael AO, 1998; Suhonen RE, 1999).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka prevalensi untuk kandidiasis oral
pada pasien HIV/AIDS di India sekitar 43,2%, di Rumah sakit Eduardo de Menezes di
Brazil sekitar 50%, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta sekitar 80,8%,
Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung sekitar 27%, RSUP H Adam Malik Medan
jumlah kasus kandidiasis oral dari tahun 2008 sampai tahun 2009 terdapat 28,7%
(Gabler IG, et al. 2008; Sudjana P, 2009; VCT- Pusyansus RSUP. HAM Medan, 2009).
Prevalensi kandidiasis oral pada penderita diabetes mellitus menurut Harina
(2002) menunjukkan hanya 42,8% yang mempunyai koloni C. Albicans.

13
3.2.3 Faktor resiko

Pada orang yang sehat, Candida albicans umumnya tidak menyebabkan


masalah apapun dalam rongga mulut, namun karena berbagai faktor, jamur tersebut
dapat tumbuh secara berlebihan dan menginfeksi rongga mulut. Faktor-faktor tersebut
dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Patogenitas jamur
Beberapa faktor yang berpengaruh pada patogenitas dan proses infeksi Candida
adalah adhesi, perubahan dari bentuk ragi ke bentuk hifa, dan produksi enzim
ekstraseluler. Adhesi merupakan proses melekatnya sel Candida ke dinding sel epitel
host. Perubahan bentuk dari ragi ke hifa diketahui berhubungan dengan patogenitas
dan proses penyerangan Candida terhadap sel host. Produksi enzim hidrolitik
ekstraseluler seperti aspartic proteinase juga sering dihubungkan dengan patogenitas
Candida Albicans.
b. Faktor Host
Faktor host dapat dibedakan menjadi dua, yaitu faktor lokal dan faktor sistemik.
Termasuk faktor lokal adalah adanya gangguan fungsi kelenjar ludah yang dapat
menurunkan jumlah saliva. Saliva penting dalam mencegah timbulnya kandidiasis
oral karena efek pembilasan dan antimikrobial protein yang terkandung dalam saliva
dapat mencegah pertumbuhan berlebih dari Candida, itu sebabnya kandidiasis oral
dapat terjadi pada kondisi Sjogren syndrome, radioterapi kepala dan leher, dan obat-
obatan yang dapat mengurangi sekresi saliva. Pemakaian gigi tiruan lepasan juga
dapat menjadi faktor risiko timbulnya kandidiasis oral. Sebanyak 65% orang tua
yang menggunakan gigi tiruan penuh rahang atas menderita infeksi Kandida, hal ini
dikarenakan pH yang rendah, lingkungan anaerob dan oksigen yang sedikit
mengakibatkan Kandida tumbuh pesat. Selain dikarenakan faktor lokal, kandidiasis
juga dapat dihubungkan dengan keadaan sistemik, yaitu usia, penyakit sistemik
seperti diabetes, kondisi imunodefisiensi seperti HIV, keganasan seperti leukemia,
defisiensi nutrisi, dan pemakaian obat-obatan seperti antibiotik spektrum luas dalam
jangka waktu lama, kortikosteroid, dan kemoterapi.

14
Tabel 1. Faktor Risiko

Faktor Sistemik Faktor Lokal

Faktor Psycological Xerostemia


- Bayi - Radioterapi
- Usia Tua - Obat-obatan

Gangguan Endokrin Obat


- Diabetes Melitus - Antibiotik spektrum lua
- Hipotiroid - Kortikosteroid

Faktor Gizi Diet Karbohidrat tinggi


- Besi
- Asam folat
- Kekurangan B12

Keganasan Gigi Palsu


- Leukemia akut - Hygene gigi palsu
- Agranulositosis - Trauma

Imunosupresi, Gangguan Imun Merokok


- AIDS

Sumber Journal of Marmara University Institute of Health Sciences Volume: 1, Number: 2, 2011

3.2.4. Manifestasi Klinis


Pada stadium awal tampak selaput lendir bewarna merah dengan gambaran
granula yang kasar. Pada hari berikutnya tampak bercak putih sebesar jatum pentul,
dalam waktu 2-3 hari akan bergabung menjadi bercak besar seperti membran. Bagian
yang paling sering terkena adalah mukosa bukalis bagian dorsal dan lateral lidah , dan
gusi. Terasa nyeri yang terutam terjadi bila tersentuh makanan.
Pada kasus infeksi HIV, candidiasis bukanlah disebabkan oleh infeksi HIV nya
tetapi karena terjadinya penurunan barisan sel darah putih (lifosit CD4) yang berguna
pada pertahanan tubuh terhadap infeksi candida.

15
Kecenderungan keberadaan C. Albicans pada penderita diabetes mellitus,
disebabkan kadar glukosa darah yang tinggi dan tidak terkontrol, serta makanan yang
kaya dengan karbohidrat mempermudah timbulnya C. Albicans dan infeksi C. Albicans.

3.2.5. Klasifikasi
Kandidiasi oral dapat dikelompokkan menjadi tiga:
1. Kandidiasis Oral Akut
a. Kandidiasis pseudomembranous Akut
Kandidiasis pseudomembranous akut yang disebut juga sebagai trush,
pertama kali tampak plak mukosa yang putih, difus, bergumpal atau seperti
beludru terdiri dari sel epitel dekumuasi, fibrin dan hifa jamur dapat dihapus
sehingga meninggalkan permukaan merah dan kasar. Biasanya dijumpai
pada mukosa pipi, lidah dan palatum lunak dan sering biasanya
mengeluhkan rasa terbakar pada mulut. Kandidiasis pseudomembranous
akut ini sering pada pasien imun rendah, seperti HIV/ AIDS, pasien yang
mengkonsumsi kortikosteroid dan kemoterapi. Diagnosanya dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, kultur jamur, atau pemeriksaan
mikrokopis yang langsung kerokan dari jamur.

Gambar 1. Kandidiasis Pseudomembranosus Akut pada lidah dan mukosa bukal pasien

b. Kandidiasis Atropik Akut


Kandidiasis jenis ini biasanya disebut sebagai antibiotik sore tongue atau
atau kandidiasis eritematus dan biasanya dijumpai pada daerah mukosa
bukal, palatum, dan bagian dorsalis lidah dengan daerah permukaan mukosa
oral yang mengelupas dan tampak sebai bercak-bercak merah difus yang
rata. Infeksis ini terjadi karena pemakaian antibiotik berspektrum lua
16
terutam tetrasiklin yang mana obat mengganggu keseimbangan ekosistem
oral antara Lactobacilus acidophilus dan kandida albikan. Pasien biasanya
mengelu sakit seperti terbakar.

Gambar 2. Kandidiasis Atropik Akut

2. Kandidiasis oral kronik


a. Kandidiasis atropik kronik
Kandidiasis ini disebut juga ‘dentura stomatitis’ atau ‘alergi gigi tiruan’
merupakan bentuk kandidiasis yang paling umum ditemukan 24-60%
pengguna gigi tiruan. Mukosa palatum maupun mandibula tertutup basis gigi
tiruan akan menjadi merah, kondisi ini dikategorikan sebagai bentuk infeksi
Kandidia. Gigi tiruan yang menutup mukosa dari saliva menyebabkan
daerah tersebut mudah terinfeksi jamur
Berdasarkan gambaran klinis yang terlihat pada mukosa terinflamasi di
bawah gigi tiruan rahang atas diklasifikasikan atas tiga yaitu :
 Tahap I : tahap awal dengan adanya pin point hiperemi yang
terlokalisir
 Tahap II : tampak eritema difus pada mukosa yang berkontak dengan
gigi tiruan
 Tipe III : tipe granular (inflamatory papilary hyperplasia) yang
baisanya tampak pada bagian tengah palatum keras.

17
Gambar 3. Kandidiasis Atropik Kronik
b. Kandidiasi Hiperplastik Kronik
Infeksi Jamur timbul pada mukosa bukal atau tepi lateral lidah berupa bintik-
bintik putih yang tepinya menimbul tegas dengan beberapa daerah merah.
Kondisi ini dapat berkembang menjadi displasia berat atau keganasan, dan
kadang disebut sebagai kandida leukoplakia. Bintik-bintik putih tersebut
tidak dapat dihapus , sehingga diagnosa harus ditentukan dengan biopsi.
Kandidiasis ini paling sering diderita oleh perokok

Gambar 4. Kandidiasis Hiperplastik Kronik

c. Median Rhomboid Glositis


Median rombhoid Glositis adalah daerah simetris kronis di anterior lidah ke
papila sirkumvalata, tepatnya terletak pada duapertiga anterior dan sepertiga
posterior lidah.

18
Gambar 5. Median Rhomboid Glositis
3. Kelitis Angularis
Kelitis angularis merupakan infeksi kandida albican pada sudut mulut, dapat
bilateral maupun unilateral. Sudut mulut yang terkena infeksi tampak merah dan
pecah-pecah dan terasa sakit ketika membuka mulut. Kelitis angularis ini dapat
terjadi pada penderita defisiensi vitamin B12 dan anemia defisiensi besi.

Gambar 6. Angular Cheilitis

3.2.6. Patofisiologi
Terjadinya kandidiasis pada rongga mulut di awali dengan adanya kemampuan
kandida untuk melekat pada mukosa mulut, hal ini yang menyebabkan awal terjadinya
infeksi. Sel ragi atau jamur tidak melekat apabila mekanisme pembersihan oleh saliva,
pengunyahan dan penghancuran oleh asam lambung berjalan normal. Perlekatan jamur
pada mukosa mulut mengakibatkan proliferasi, kolonisasi tanpa atau dengan gejala
infeksi.
Bahan-bahan polimerik ekstra selular (mannoprotein) yang menutupi permukaan
kandida albikans merupakan komponen penting untuk perlekatan pada mukosa mulut.
Kandida albikans menghasilkan proteinnase yang dapat mengdegradasi protein saliva
19
termasuk sekretori imunoglobulin A, laktoferin, musin dan keratin juga sitotoksis
terhadap sel host. Batas – batas hidrolisis dapat terjadi pada pH 3.0/3.5 – pH 6.0. Dan
mungkin melibatkan beberapa enzim lain seperti fosfolipase, akan di hasilkan pada pH
3.5 – 6.0. Enzim ini menghancurkan membran sel selanjutnya akan terjadi invasi jamur
tersebut pada jaringan host. Hifa mampu tumbuh meluas pada permukaan sel host.

3.2.7. Pemeriksaan
Diagnosis kandidiasis harus dilakukan pemeriksaan mikroskopis, disamping
pemeriksaan klinis dan mengetahui riwayat penyakit. Bahan pemeriksaan dapat diambil
dengan beberapa cara yaitu usapan (swab) atau kerokan (scraping) lesi pada mukosa
atau kulit. Juga dapat digunakan darah, sputum dan urine. Selanjutnya bahan
pemeriksaan tersebut diletakkan pada gelas objek dalam larutan potassium hydroksida
(KOH) 10%, hasilnya akan terlihat pseudohyphae yang tidak beraturan atau
blastospora. Selain pemeriksaan mikroskopis.dapat dilakukan kultur dengan
menggunakan agar sabouraud`s atau eosinmethylene blue pada suhu 37 % C, hasilnya
akan terbentuk koloni dalam waktu 24 – 48 jam. Pada kasus hyperplastik kandidiasis
kronis pada umumnya dilakukan biopsi, bahan pemeriksaan dapat diwarnai dengan
periodic acid schiff (P.A.S),hasilnya akan terlihat pseudomyselia dan hifa.Disamping
itu akan terlihat parakeratosis dan leukosit polimorfonuklear.
Adapun tes tambahan yaitu:
1. Sitologi eksfoliatif
2. Kultur
3. Biopsi jaringan

3.2.8. Tatalaksana
Menejemen yang dilakukan pada kandidiasis oral adalah dengan pengobatan
secara topikal. Setelah dilakukan pengobatan topikal maka dilanjutkan pengobatan
selama dua minggu setelah terjadinya resolusi pada lesi. Ketika terapi topikal
mengalami kegagalan maka dilanjutkannya terapi sistemik karena gagalnya respon obat
adalah merupakan pertanda adanya penyakit sistemik yang mendasari. Follow up
setelah 3 sampai 7 hari pengobatan untuk mengecek efek dari obat-obatan. Adapun
tujuan utama dari pengobatan adalah.
20
1. Untuk mengidentifikasi dan mengeliminasi faktor-faktor yang berkontribusi.
2. Untuk mencegah penyebaran sistemik.
3. Untuk mengurangi kekurangnyamanan yang terjadi.
4. Untuk mengurangi perkembangbiakan kandida.

Pengobatan pada kandidiasis terdiri atas lini pertama dan pengobatan lini kedua.
Pengobatan kandidiasis oral lini pertama yaitu:
1. Nistatin
Nistatin merupakan obat lini pertama pada kandidiasis oral yang terdapat dalam
bentuk topikal. Obat nistatin tersedia dalam bentuk krim dan suspensi oral. Tidak
terdapat interaksi obat dan efek samping yang signifikan pada penggunaan obat
nistatis sebagai anti kandidiasis.
2. Ampoterisin B
Obat ini dikenal dengan Lozenge (fungilin 10 mg) dan suspensi oral 100 mg/ml
dimana diberikan tiga sampai empat kali dalam sehari. Ampoterisin B
menginhibisi adhesi dari jamur kandida pada sel epitel. Efek samping pada obat
ini adalah efek toksisitas pada ginjal.
3. Klotrimazol
Obat ini mengurangi pertumbuhan jamur dengan menginhibisi ergosterol.
Klotrimazol dikontraindikasikan pada infeksi sistemik. Obat ini tersedia dalam
bentuk krim dan tablet 10 mg. Efek utama pada obat ini adalah rasa sensasi tidak
nyaman pada mulut, peningkatan level enzim hati, mual dan muntah.

Adapun pengobatan kandidiasis lini kedua yaitu:


a. Ketokonazol
Ketokonazol memblok sintesis ergosterol pada membran sel fungal dan diserap
dari gastrointestinal dan dimetabolisme di hepar. Dosis yang dianjurkan adalah
200-400 mg tablet yang diberikan sakali atau dua kali dalam sehari selama dua
minggu. Efek samping adalah mual, muntah, kerusakan hepar dan juga
interaksinya dengan antikoagulan.
b. Flukonazol

21
Obat ini menginhibisi sitokrom p450 fungal. Obat ini digunakan pada
kandidiasis orofaringeal dengan dosis 50-100mg kapsul sekali dalam sehari
dalam dua sampai tiga minggu. Efek samping utama pada pengobatan dengan
menggunakanflukonazol adalah mual, muntah dan nyeri kepala.
c. Itrakonazol
trakonazol merupakan salah satu antifungal spektrum luas dan
dikontraindikasikan pada kehamilan dan penyakit hati. Dosis obat adalah
100 mg dalam bentuk kapsul sehari sekali selama dua minggu. Efek samping
utama adalah mual, neuropati dan alergi.

Tabel 2. Antifungal Drugs for treatment of Oropharyngeal candidiasis

Sumber Dangi, Y. Sngh. 2010. Oral Candidiasis. Institute of Pharmaceutical Sciences, Guru Ghasidas
Central University.Vol 2.

3.2.9. Diagnosis Banding


1. Pseudomembranous Candidiasis (Thrush) dengan difeteia.
Perbedaan dapat dilihat pada letak maksudnya thrush lesi putih terletak
dipalatum daan membran mukosa bukal sedangkan pada penyakit difteri
terletak pada faring. Perbedan lainnya adalah apabila pada trush lesi putih
tersebut diangkat hanya akan menimbulkan bekas merah sedangkan pada
difteri akan timbul perdarahnan
2. Chronic Hyperpalstic Candidiasis dengan Leukoplakia

22
3.2.10. Komplikasi
Kandidiasis oral yang disebabkan oleh jamur candida, apabila candida masuk ke
esofagus (pada kasus yang berat) maka akan terjadi candidiasis esofaghitis maka pasien
akan mengalami kesulitan dalam menelan dan apabila tidak di obati maka akan tertelan
ke usus sehingga menyebab timbulnya difeteri dan lebih parahnya akan terjadi infeksi
usus.

3.2.11. Prognosis
Prognosis dari oral kandidiasis adalah baik ketika faktor-faktor predisposisi
yang berhubungan dengan infeksi ini tereliminasi. Ketika faktor-faktor predisposisi
meningkat pada pasien kandidiasis primer maka meningkatkan pula resiko yang lebih
buruk pada kandidiasis. Pada kebanyakan kasus kandidiasis oral adalah penyebab dari
infeksi superfisial sekunder yang dapat dengan mudah diobati dengan terapi antifungal.
3.3. Periodontitis pada diabetes mellitus dan chronic kidney injury
Penyakit periodontal atau biasa disebut periodontitis merupakan kelainan yang
sering dijumpai dan terjadi pada manusia dengan faktor resiko yang jelas berperan
terhadap gangguan fungsi pengunyahan dan hilangnya gigi geligi. Berdasarkan data
epidemiologi sekitar 10% orang dewasa di Negara maju menderita penyakit
periodontitis lanjut, sedangkan sekitar 44-57% mengalami periodontitis ringan. Hal
tersebut menunjukkan bahwa angka kesakitan akibat penyakit periodontal terjadi
hampir di seluruh dunia.
Penyakit periodontal secara umum disebabkan oleh bakteri plak yang terdapat
pada permukaan gigi, dimana plak merupakan deposit lunak berupa lapisan tipis biofilm
yang berisi kumpulan mikroorganisme patogen seperti Porphyromonas gingivalis,
Actinobacillus actinomycetemcomitans, Prevotela intermedia,Tannerella forsythia
serta Fusobacterium nucleate. Kemampuan bakteri dalam mendegradasi jaringan
dengan cara menghasilkan beberapa produk bakteri seperti kolagenase, protease,
hialuronidase, kondroitin sulfatese serta lipopolisakarida dan asam lipotheikholik.
Produk lain seperti indol, amonia, hydrogen sulfide juga berperan terhadap kerusakan
jaringan. Adapun kondisi yang dapat berperan terhadap prevalensi dan keparahan
periodontitis selain peranan bakteri adalah adanya penyakit sistemik seperti diabetes
melitus (DM). Beberapa peneliti menyatakan bahwa terdapat hubungan yang saling
23
berkaitan antara penyakit sistemik dan periodontitis walaupun terkadang tidak dapat
dijelaskan secara nyata.

DM adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya gangguan metabolik


berupa hiperglikemia akibat defisiensi dan kegagalan pankreas dalam memproduksi insulin
didalam tubuh. Hiperglikemi mengakibatkan terjadinya kerusakan mikrovaskular seperti
retinophaty, nephrophaty serta neurophaty jaringan. Kecenderungan peningkatan kadar glukosa
darah pada penderita DM juga berpengaruh terhadap kaparahan penyakit periodontal. Studi
epidemiologi menunjukkan bahwa DM meningkatkan faktor resiko dan keparahan penyakit
periodontal.

Beberapa peneliti menyatakan bahwa keparahan penyakit periodontal pada


penderita DM dipengaruhi oleh penurunan respon imun. Kondisi tersebut ditandai
terjadinya sejumlah perubahan jaringan yang menyebabkan kerentanan terhadap
penyakit. Perubahan vaskuler yang terjadi menunjukkan adanya peningkatan aktivitas
kolagen serta perubahan respon dan kemotaksis dari PMN terhadap antigen plak,
sehingga menyebabkan fagositosis terhambat.
Peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) pada penderita DM
menyebabkan komplikasi berupa mikrovaskuler yang ditandai dengan Peningkatan
AGE pada plasma dan jaringan. Sekresi dan sintesis sitokin yang diperantarai oleh
adanya infeksi periodontal, memperkuat besarnya respon sitokin yang dimediasi AGEs
atau sebaliknya. Advanced glycation end- product yang terbentuk dapat terjadi pada
protein, lipid dan asam nukleat. Pembentukan AGE pada protein, menyebabkan rantai
silang antara polipeptida kolagen dan menangkap plasma non glikosilasi atau protein
interstitial. Pengendapan low density lip oprotein (LDL) terjadi pada pembuluh darah
besar dan deposit kolesterol di intima. Advanced glycationend- product menyebabkan
terbentuknya rantai silang kolagen tipe IV membran basalis, berakibat melemahnya
interaksi kolagen dan komponen matriks lain (laminin, proteoglikan), menghasilkan
jejas struktur dan fungsi membran basalis.
Keadaan hiperglikemia akan menimbulkan AGEs, yang kemudian berinteraksi
dengan RAGE pada endotel sehingga menimbulkan stres oksidatif, sebagai akibatnya
akan terjadi gangguan pembuluh darah pada jaringan periodontal. Gangguan pembuluh
darah akan menyebabkan gangguan distribusi nutrisi dan oksigen pada jaringan

24
periodontal, sehingga bakteri gram negatif anaerob yang merupakan bakteri komensal
pada poket periodontal akan menjadi lebih patogen. Gangguan pembuluh darah juga
akan mempengaruhi pembuangan sisa metabolisme dalam jaringan periodontal,
sehingga akan terjadi toksikasi jaringan periodontal dan gingiva.
Advanced glycation end-product juga mengadakan ikatan dengan reseptor
bermacam sel seperti endotelium, monosit, makrofag, limfosit dan mesenkim. Ikatan
menyebabkan aktivitas biologic seperti emigrasi monosit, pembebasan sitokin dan
factor pertumbuhan oleh makrofag, peningkatan permeabilitas endotelial, peningkatan
aktivitas prokoagulan sel endotel dan makrofag, peningkatan proliferasi dan sintesis
matriks ekstraseluler oleh fibroblas dan sel otot halus, efek ini menyebabkan
peningkatan komplikasi DM .
Pada kasus CKD merupakan salah satu faktor risiko terjadinya periodontitis
dikarenakan kaitannya dengan obat-obat hipertensi yang menyebabkan mulut kering
dan mengganggu indera pengecap, seperti obat-obat kalsium antagonis menyebabkan
gusi bengkak. Perubahan stuktur lumen dan dinding pembuluh darah menyebbakan
disfungsi endotel akibat dari inflamasi yang menyeluruh.
Penelitian oleh Castelli et al ditemukan proliferasi tunica intima dengan
penyempitan lumen pembuluh darah yang memperdarahi membran peridontal pada
hipertensi. Sedangkan posisi dan pergerakan gigi dipengaruhi oleh kekuatan tekanan
darah yang melalui pembuluh darah periodontal.

3.4 Manifestasi Oral DM

Ada sejumlah manifestasi oral pada pasien dengan DM, banyak kaitannya
dengan tingkat kontrol glikemik. Kondisi mukosa mulut antara lain dysesthesia,
burning mouth, perubahan penyembuhan luka, peningkatan terjadinya infeksi, dan
infeksi kandida (khususnya kandidiasis pseudomembran akut pada lidah, mukosa bukal,
dan gingiva). Xerostomia dan pembesaran kelenjar ludah bilateral atau sialadenitis
(terutama di kelenjar parotis) dapat terjadi, dan keduanya sering berhubungan dengan
kontrol glikemik yang buruk. Pengobatan pada pasien DM yang terkait dengan kondisi
sistemik atau tidak dapat menghasilkan hipofungsi saliva. Dengan demikian, xerostomia
terlihat pada pasien ini dapat diperparah oleh karena pengobatan dibandingkan dari

25
kondisi diabetes itu sendiri. Permukaan mukosa yang kering disebabkan oleh kelenjar
saliva yang mudah teriritasi, sehingga dapat menimbulkan ulserasi mukosa kecil,
sensasi terbakar didalam mulut, dan kemungkinan peningkatan pertumbuhan berlebih
dari organisme jamur. Neuropati dari sistem otonom juga dapat menyebabkan
perubahan sekresi saliva karena aliran saliva dikendalikan oleh saraf simpatis dan
parasimpatis. Tingginya insiden dan keparahan karies gigi pada pasien diabetes mellitus
telah dikaitkan dengan xerostomia, peningkatan kadar glukosa pada cairan sulkus
gingiva, dan peningkatan akumulasi plak gigi.

DM juga merupakan faktor risiko prevalensi dan keparahan gingivitis dan


periodontitis. Tergantung pada tingkat kontrol glikemik, DM meningkatkan inflamasi
gingiva dalam merespon plak bakteri ke tingkat yang lebih besar dibandingkan yang
terlihat pada DM terkontrol dengan baik ataupun individu nondiabetes. Hiperglikemia
meningkatan kadar glukosa dalam cairan sulkus gingiva. Hal ini dapat terjadi setelah
penyembuhan luka secara signifikan dengan mengubah interaksi antara sel dan matriks
ekstraselulernya dalam periodonsium. Perubahan vaskular terlihat pada retina,
glomerulus, dan daerah perineural terjadi pasien DM yang tidak terkontrol juga terjadi
pada periodonsium; sehingga, periodontitis destruktif secara progresif sering pada
pasien dengan kontrol glikemik yang buruk. Selain hiperglikemia, kebersihan mulut
yang buruk dan merokok berkontribusi pada peningkatan kejadian dan keparahan
periodontitis dengan DM. Semua faktor ini harus dipertimbangkan dalam perawatan
gigi pasien dengan DM.

Manajemen Gigi

Perawatan gigi secara menyeluruh pada pasien DM.

Secara umum, orang dewasa dengan DM yang terkontrol baik memiliki risiko
yang sama untuk progresi penyakit mulut dan merespon sama halnya dengan
kebanyakan prosedur yang dilakukan pada individu nondiabetes.Namun, respon pasien
DM untuk perawatan gigi tergantung pada faktor-faktor tertentu untuk setiap
individu.Salah satunya adalah kontrol glikemik, masalah medis yang sedang diderita,
diet, kebersihan mulut, dan kebiasaan seperti mengkonsumsi alkohol dan tembakau

26
secara berlebihan.Sebagai contoh, pasien DM dengan kebersihan mulut yang buruk,
riwayat merokok, pemeriksaan gigi yang tidak teratur, dan tingginya konsumsi
makanan yang dapat difermentasi serta asupan karbohidrat secara berlebihan semakin
besar kemungkin untuk mengalami penyakit mulut seperti karies dan periodontitis.
Pasien ini kemungkinan mengalami respon pengobatan yang terlambat dibandingkan
dengan penderita DM tanpa faktor-faktor tersebut.

Kontrol glikemik mempunyai peran untuk merespon bedah periodontal pada


pasien DM. Penderita diabetes tidak terkontrol sangat rentan terhadap infeksi
dentoalveolar, respon yang terbentuk kurang menguntungkan untuk kedua terapi
periodontal bedah dan non-bedah, dan penyembuhan jangka pendek dalam kesehatan
periodontal sering disertai dengan regresi dan kekambuhan penyakit.Oleh karena itu,
sangat penting bahwa dokter gigi memiliki pengkajian terbaru dari tingkat kontrol
glikemik pada masing-masing pasien sebelum memulai pengobatan dan memelihara
hubungan kerja yang erat antara dokter dengan pasien.Seorang pasien dengan tanda-
tanda dan gejala tidak terdiagnosis atau DM tidak terkontrol harus dirujuk ke dokter
untuk diagnosis dan pengobatan.Antibiotik profilaksis dapat diindikasikan jika tingkat
HbAlc pasien sangat tinggi (> 11 - 12%) dan ada tanda-tanda infeksi bakteri intraoral
yang berlulang.Praktisi kesehatan mulut juga harus akrab dengan tes umum yang
digunakan untuk mendiagnosa dan memantau DM. Mereka harus memiliki alat
pengukur glukosa atauglucometers agar dengan mudah memperoleh informasi
langsung mengenai status glikemik jika diperlukan. Alat ini dapat memberikan hasil
yang cepat dalam beberapa detik. Hal sangat penting ketika saat penuh tekanan, bedah,
atau prosedur jangka panjang dijadwalkan sehingga dokter gigi dapat membantu
menghindari peristiwa hipoglikemik (lihat di bawah untuk rekomendasi manajemen).
Hal ini juga berguna untuk menentukan apakah kadar glukosa berada di kisaran rendah
dari normal selama prosedur sehingga makanan berkarbohidrat dapat diberikan untuk
membantu mencegah peristiwa hipoglikemik.

Langkah pertama dalam melakukan perwatan gigi pasien dengan DM adalah


menentukan jenis DM, metode pengobatan (diet, oral hipoglikemik, insulin, dan
kombinasinya), tingkat kontrol, dan adanya komplikasi DM ini mungkin memerlukan
pengkajian karena dapat mempengaruhi ketentuan perawatan gigi, misalnya, hipertensi,
27
penyakit jantung, dan gagal ginjal memerlukan pemantauan tekanan darah dan
modifikasi obat antikoagulan (misalnya, aspirin) sebelum dan sesudah bedah mulut.
Jika pasien mengalami insufisiensi ginjal, obat yang berpotensi nefrotoksik (misalnya
asetaminofen, asiklovir, aspirin, nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID) harus
dihindari atau dosis direvisi. Pasien hemodialisis atau dialisis peritoneal dapat
mengganggu sistem kekebalan dan beresiko endarteritis dan endokarditis.

Prosedur dentoalveolar dan bedah mulut harus hati-hati direncanakan untuk


mengurangi risiko hipoglikemia dan kekurangan gizi.Glucometers sangat berguna untuk
memeriksa kadar glukosa darah sebelum prosedur ini.Jika kadar glukosa umumnya di
bawah 60mg/dL, modifikasi khusus untuk pengobatan yang diperlukan, prosedur
perawatan gigi mungkin harus dijadwal ulang, dan konsultasi medis harus
dilakukan.Pasien yang menjalani prosedur bedah periodontal atau bedah mulut lainnya,
pencabutan yang sederhana harus diberikan instruksi makanan pasca-operasi, instruksi
ini harus ditetapkan dengan masukan dari dokter yang menangani pasien dan ahli
gizi.Total kandungan kalori dan rasio protein / karbohidrat / lemak harus tetap sama
sehingga kontrol glikemik yang tepat dipertahankan.Jika ada infeksi oral akut, terutama
pada DM tidak terkontrol, antibiotik harus diresepkan dan modifikasi yang sesuai
mungkin diperlukan dalam obat pasien.Sebagai contoh, mungkin perlu untuk
meningkatkan dosis insulin untuk mencegah hiperglikemia berhubungan dengan rasa
sakit dan tekanan terhadap infeksi namun setiap perubahan obat-obatan harus dilakukan
oleh dokter umum pasien.

Jadwal pertemuan sering ditentukan oleh pola dari medikasi individu.Secara


tradisional, dianjurkan bahwa pasien medis yang kompleks, termasuk mereka dengan
DM, menerima perawatan gigi di pagi hari untuk mengurangi stres, tetapi hal ini tidak
sepenunya benar untuk beberapa pasien dengan DM.Pelepasan epinefrin endogen dari
stres dapat memiliki efek pada regulasi balik dari tindakan insulin, menyebabkan
hiperglikemia.Oleh karena itu, dokter gigi harus meninjau pasien dari obat diabetes,
makanan, dan cairan yang digunakan sebelum perawatan gigi.

Umumnya, waktu terbaik untuk dilakukan perawatan gigi adalah sebelum atau
setelah periode dari aktivitas insulin yang tertinggi.Hal ini akan mengurangi risiko
28
reaksi hipoglikemik perioperatif, yang paling sering terjadi selama puncak dari aktivitas
insulin.Bagi mereka yang menggunakan insulin, risiko terbesar hipoglikemia akan
terjadi sekitar 30 sampai 90 menit setelah suntik insulin lispro, 2 sampai 3 jam setelah
insulin reguler, dan 4 sampai 10 jam setelah NPH atau lente insulin, bagi mereka yang
memakai oral sulfonyureas, aktivitas insulin tertinggi tergantung pada jenis obat yang
individu gunakan.Mettormin dan thiazolidinediones jarang menyebabkan
hipoglikemia.Faktor utama yang harus dipertimbangkan dalam menentukan waktu
perawatan yaitu aktivitas insulin tertinggi dan jumlah glukosa yang diserap dari usus
setelah asupan makanan terakhir.Risiko terbesar akan terjadi pada pasien yang
membutuhkan insulin dengan dosis biasanya atau zat hipoglikemik oral tetapi
mengurangi atau tidak makan sebelum perawatan gigi.Sebagai contoh, jika pasien
membutuhkan dosis reguler insulinsebelum sarapan tapi kemudian gagal untuk makan
atau makan kurang dari jumlah yang biasa, pasien akan mengalami peningkatan risiko
hipoglikemia selama perjanjian perawatan gigi pada pagi hari.Pasien dengan glikemik
tidak terkontrol jangka panjang dan pasien dengan riwayat kejadian hipoglikemia berat
adalah berisiko lebih besar terjadi hipoglikemia diwaktu mendatang.Seringkali tidak
mungkin untuk merencanakan perawatan gigi dengan cara menghindari aktivitas insulin
tertinggi.Hal ini terutama berlaku untuk pasien yang membutuhkan suntikan insulin
yang sering, pasien ini memiliki risiko lebih besar terkena hipoglikemia
perioperatif.Kadar glukosa darah pretreatment dapat diukur dengan sebuah glucometer,
dan harus ada sumber karbohidrat yang terbaca di klinik gigi.Sebuah rekomendasi
umum terakhir untuk pasien dengan DM adalah bahwa dokter gigi harus membantu
dalam mengubahkebiasaan pasien yang dapat merusak kesehatan. Hal ini termasuk
merokok, kebiasaan makan yang buruk, penyalahgunaan obat diabetes, pemantauan
glukosa yang jarang dilakukan, tidak memenuhi kunjungan ke dokter, dan kebersihan
mulut serta olahraga yang tidak cukup.

Panduan Perawatan Khusus Untuk Pasien DM

Penggunaan epinefrin.Dalam situasi yang penuh tekanan, produksi endogen


epinephrine dan kortisol meningkat.Hormon ini dapat meningkatkan kadar glukosa
darah dan mengganggu kontrol glikemik.Oleh karena itu, selama perawatan gigi,
mengontrol rasa sakit dan mengurangi stres adalah hal yang terpenting.Ephinephrine
29
bukan kontraindikasi pada pasien ini karena membantu meningkatkan fungsi anestesi
gigi dengan lebih baik dan secara signifikan menurunkan jumlah epinefrin endogen
yang dilepaskan dalam merespon rasa sakit dan stres.Namun, pada pasien dengan
penyakit kardiovaskular atau ginjal secara bersamaan, tingkat epinefrin mungkin perlu
dikurangi menjadi dua atau lebih sedikit carpules anestesi lokal yang mengandung
1:100.000.

Kandidiasis oral.Infeksi jamur oral dapat menandakan DM tidak terkontrol dan


dapat terlihat dengan adanya hipofungsi saliva.Pengobatan infeksi jamur oral pada
pasien dengan DM yaitu mirip dengan resimen standar kecuali bahwa obat antijamur
topikal harus bebas gula.Jika terapi antijamur topikal tidak sukses setelah 7 sampai 10
hari, obat antijamur sistemik mungkin diperlukan.

Perawatan infeksi virus herpes simpleks yang berulang.Pengobatan infeksi


orofasial virus herpes simplex yang rekuren harus dimulai lebih awal, jika mungkin
dalam tahap prodromal, untuk mengurangi lamanya dan gejala dari lesi.Oral acyclovir,
famciclovir, atau valacyclovir dapat digunakan untuk terapi atau profilaksis, tergantung
pada lamanya dan intensitas kejadian herpes berulang.Jika pasien DM juga memiliki
insufisiensi ginjal atau gagal ginjal, obat antivirus nefrotoksik (acyclovir, famciclovir,
valacyclovir) maka dibutuhkan perubahan dosis.

Perawatan sindrom Burning Mouth.Pada DM tidak terkontrol, xerostomia dan


kandidiasis juga berkontribusi untuk gejala yang berhubungan dengan rasa terbakar di
dalam mulut.Selain mengobati kedua kondisi, peningkatan kontrol glikemik adalah
penting untuk meringankan sensasi terbakar.Menariknya, amitriptyline, obat yang
digunakan untuk gejala rasa terbakar dalam mulut, juga telah digunakan untuk
mengobati neuropati otonom di DM.

Pertimbangan bedah periodontal dan perawatannya, sebelum prosedur bedah


mulut, prosedur perawatan kesehatan mulut harus menininjau dari riwayat komplikasi
bedah, menilai kontrol glikemik, dan memperbarui manajemen DM secara
bersamaan.Setelah prosedur bedah mulut, sangat penting bagi pasien untuk
mempertahankan diet normal untuk menghindari hipoglikemia.Secara umum, penderita

30
DM dewasa yang terkontrol dengan baik mungkin tidak memerlukan antibiotik selama
dan setelah prosedur bedah, sedangkan antibiotik harus dipertimbangkan untuk infeksi
orofacial dan prosedur bedah mulut pada pasien DM tidak terkontrol.Keputusan untuk
memberikan antibiotika harus didasarkan pada beberapa faktor yang meliputi tingkat
saat ini dan durasi kontrol glikemik, luasnya prosedur bedah yang direncanakan, adanya
infeksi yang mendasari, masalah medis yang terjadi pada saat yang sama, tingkat
diantisipasi nyeri pasca operasi dan stres, dan estimasi masa penyembuhan.Cakupan
antibiotik yang dipilih harus didasarkan pada jenis dan lingkup infeksi, sensitivitas
mikroba, dan hasil spesifisitas yang ditentukan dalam konsultasi dengan dokter pasien.

Penyakit periodontal telah disebut sebagai komplikasi keenam DM, dan semakin
lama durasi DM, semakin besar kemungkinan mengembangkan penyakit periodontal
yang parah.Periodontitis berat juga telah disarankan untuk menjadi faktor risiko untuk
glikemik contol miskin.Karena kontrol glikemik terhubung ke diseas periodontal e dan
perkembangan kehilangan tulang alveolar, perawatan periodontal harus dilakukan
secara paralel dengan pengobatan DM.Pengobatan utama penyakit periodontal pada
pasien DM biasanya pembedahan karena prosedur bedah mungkin memerlukan
modifikasi obat pasien sebelum dan setelah perawatan dan dapat mengakibatkan
penyembuhan berkepanjangan.Infeksi periodontal juga dapat mengembangkan
tergantung pada tingkat kontrol glikemik, oleh karena itu, antibiotik harus
dipertimbangkan.

Kombinasi debridement tanpa pembedahan dan antibiotik sistemik pada pasien


DM dengan periodontitis canggih telah ditunjukkan untuk meningkatkan pengobatan
periodontitis dan menghasilkan pengaruh positif potensial pada kontrol glikemik.Dalam
uji klinis terkontrol, kombinasi tetrasiklin atau doksisiklin dengan scaling dan
perencanaan akar menghasilkan kontrol periodontal yang lebih baik dibandingkan
dengan scaling dan root perencanaan saja.Hasil serupa juga telah ditunjukkan pada
pasien yang menerima topik intrasulcular doksisiklin.Mekanisme yang diusulkan untuk
kepentingan terapi tambahan dari tetrasiklin dan doxycyclines adalah bahwa antibiotik
menghambat matriks metaloproteinase manusia (misalnya, kolagenase, gelatinase),
yang ikat enzim jaringan-merendahkan.Misalnya, subterapeutik dosis rendah
doxycycline telah terbukti dapat menghambat kolagenase gingiva cairan sulkus
31
manusia, yang secara signifikan menghilangkan risiko resistensi bakteri.Oleh karena itu
obat-obatan berbasis tetrasiklin dapat berfungsi sebagai penghambat resorpsi tulang
atau tulang keropos, properti yang independen dari aktivitas antimikroba mereka.

Jika operasi periodontal diperlukan, beberapa faktor harus dipertimbangkan


tergantung pada tingkat operasi, tingkat diantisipasi rasa sakit pasca operasi dan stres,
dan tingkat kontrol glikemik.Ini termasuk penggunaan antibiotik, konseling gizi, dan
perubahan dalam obat DM.Mendukung periodontal juga harus diberikan pada interval
relatif dekat dari 2 sampai 3 bulan.

Oral D Manajemen isease dengan rticosteroids Co.Terapi kortikosteroid untuk


kondisi vesiculobullous oral dapat meningkatkan kadar glukosa.Kortikosteroid harus
digunakan dengan hati-hati bekerja sama dengan dokter pasien.Jika kortikosteroid
sistemik diperlukan, penyesuaian obat DM mungkin diperlukan.Pemantauan berkala
kadar glukosa akan penting untuk memastikan kontrol glikemik yang baik.

3.5 Manifestasi oral pada penyakit ginjal kronis


Apabila aspek fungsional ginjal terganggu pada tahap terminal, maka fungsi
ginjal hampir tidak ada sehingga glomerulus filtration rate terus menurun dan retensi
dari berbagai produk buangan sistemik akan memberikan gambaran penyakit ginjal
kronis pada rongga mulut apabila kondisi tubuh dari azotemik menjadi uremik.
Berikut merupakan manifestasi penyakit ginjal kronis pada rongga mulut, yaitu :

(a). Oral Malodor / Bau Mulut Tak Sedap


Gejala yang paling sering muncul dan paling awal terjadi apabila ginjal gagal
berfungsi adalah oral malodor atau timbulnya rasa kecap logam akibat alterasi
sensasi pengecapan, terutama pada pagi hari. Rasa kecap logam ini berupa bau
ammonia, dan kondisi ini sering dialami oleh penderita yang menjalani
hemodialisis. Uremic fetor atau ammoniacal odor ini terjadi karena konsentrasi urea
yang tinggi dalam rongga mulut, dan pecah menjadi ammonia pada penderita
dengan gejala uremia.

32
(b). Serostomia
Serostomia adalah kondisi mulut kering. Pada penderita ginjal kronis dan
penderita yang menjalani hemodialisis, gejala ini sangat sering dan signifikan. Hal
ini sering terjadi sebagai hasil dari manifestasi beberapa faktor seperti inflamasi
kimia, dehidrasi, pernafasan melalui mulut (Kussmaul’s respiration) dan
keterlibatan langsung kelenjar salivarius, restriksi konsumsi cairan, dan efek
samping dari obat.

Serostomia cenderung menambah kerentanan penderita terhadap karies dan


inflamasi gusi, kandidiasis, serta menyebabkan kesulitan berbicara, penurunan
retensi gigi palsu, kesulitan mastikasi, disfagia, dan gangguan penciuman.

(c). Plak, Kalkulus dan Karies.


Terdapat berbagai teori yang menentang hubungan antara efek dari penyakit
ginjal kronis terhadap pembentukan plak dan kalkulus. Dalam satu penelitian,
serostomia akan meningkatkan predisposisi penderita terhadap karies karena retensi
produk urea serta pengaliran dan produksi saliva yang sedikit. Proses dialisis dapat
memperburukkan kondisi rongga mulut di mana jumlah kalkulus meningkat, dan
banyaknya dijumpai lesi karies. Deposit kalkulus dapat bertambah akibat dari
hemodialisis.
Namun menurut beberapa penelitian, hidrolisis urea akan menghasilkan
konsentrasi ammonia yang tinggi dan mengubah pH saliva menjadi basa pada
penderita penyakit ginjal kronis sehingga meningkatkan substansi fosfat dan
ammonia dalam saliva dan hasilnya kapasitas buffer yang tinggi disertai risiko
karies menurun. Hal ini turut didukung oleh peneliti, di mana hidrolisis urea mampu
meningkatkan kapasitas antibakteri akibat peningkatan urea nitrogen dalam saliva.
Kebenaran teori ini terus diperkuat terutama pada anak-anak walaupun konsumsi
gula yang tinggi dan kurang penjagaan kesehatan rongga mulut, risiko karies tetap
rendah dan terkontrol.
Pembentukan kalkulus pada jaringan keras gigi berkaitan erat dengan
gangguan homeostasis kalsium-fosfor. Presipitasi kalsium dan fosfor yang didorong
oleh pH yang buruk pada penderita penyakit ginjal kronis karena hidrolisis urea
saliva menjadi ammonia, dimana ammonia berperan dalam menyebabkan pH
33
menjadi basa. Secara langsung, retensi urea akan menfasilitasi alkanisasi plak gigi,
dan meningkatkan pembentukan kalkulus terutama pada penderita yang menjalani
hemodialisis. Selain itu, penderita yang menjalani hemodialisis memiliki jumlah
magnesium saliva yang sangat rendah. Pada kalkulus penderita yang menjalani
hemodialisis mengandung oksalat, dan pada kondisi uremia turut menyebabkan
retensi oksalat.

(d). Pembesaran Gusi


Pembesaran gusi sekunder akibat penggunaan obat adalah manifestasi oral
pada penyakit ginjal yang paling sering dilaporkan. Hal ini dapat diakibatkan oleh
cyclosporin dan/atau calcium channel blockers. Prinsipnya mempengaruhi papila
interdental labia, walaupun kadang dapat menjali lebih luas, yaitu dengan
melibatkan tepi gusi dan lidah serta permukaan palatum.

(i) Pembesaran Gusi akibat Cyclosporin


Prevalensi pembesaran gusi pada orang yang mengkonsumsi cyclosporin
masih belum jelas, dan dilaporkan memiliki rentang yang luas dari 6 sampai 85%.
Hal ini dapat terlihat pada pemakaian cyclosporin dalam 3 bulan. Anak-anak dan
remaja mungkin lebih rentan terkena pembesaran gusi akibat cyclosporin
dibandingkan dengan dewasa. Jika higienitas mulut jelek, orang yang lebih tua juga
rentan terkena pembesaran gusi.
Perbaikan pada higienitas mulut dan pembersihan secara profesional
menghasilkan pengurangan pembesaran gusi berhubungan dengan cyclosporin.
Akan tetapi, ini mungkin dikarenakan berkurangnya peradangan yang berhubungan
dengan plak bukan karena pembesaran gusi yang berhubungan dengan obat.

34
Gambar 1: Pembesaran
Gusi akibat
Cyclosporin
(Sumber :
Periodontology
for the Dental
Hygienist 3rd ed.
2007.
Missouri:112)

(ii) Pembesaran Gusi akibat Calcium Channel-blocker


Prevalensi yang dilaporkan pembesaran gusi akibat penggunaan nifedipin
bervariasi dan terjadi pada 10 sampai 83% pada yang mengkonsumi obat ini. Tidak
ada data penelitian mengenai frekuensi pembesaran gusi yang diakibatkan oleh
calcium channel-blocker lainnya. Keberadaan plak gigi mungkin merupakan
predisposisi terjadinya pembesaran gusi akibat nifedipine. Tetapi itu tidak sangat
berpengaruh dalam perkembangannya. Dosis dan durasi pengobatan tidak berkaitan
dengn prevalensi terjadinya pembesaran gusi. Beberapa penelitian telah
melaporkan penurunan pembesaran gusi setelah penggantian nifedipin dengan
calcium channel-bocker lain, tetapi obat-obat ini juga sebagian masih dapat
menyebabkan pembesaran gusi.

35
(e). Lesi Mukosa
Spektrum lesi mukosa yang luas dapat timbul pada rongga mulut tetapi lebih
cenderung terjadi plak atau ulserasi keputih-putihan, yang sering didapat pada
penderita yang menjalani transplantasi dan hemodialisis (Tabel 1). Plak ini disebut
uremic frost (Gambar.2), dan terjadi apabila sisa kristal urea terdeposit pada
permukaan epitel dari evaporasi respirasi, juga karena aliran saliva yang berkurang.
Penyakit lichenoid juga dapat terjadi akibat efek dari terapi obat, dan oral hairy
leukoplakia yang juga dapat bermanifestasi sekunder dari efek imunosupresi obat.

4. Table 1 Oral Mucosal Lesions Reported in Chronic Renal Disease

White patch Macules/nodules


Erythematous Fibro-epithelial
patch polyps
Ulceration Geographic
tongue Black
Lichen hairy tongue
planus Papilloma
Oral hairy Pyogenic granuloma
leukoplakia
Uremic
stomatitis

Stomatitis uremik perlu diperhatikan dan dapat muncul sebagai daerah


berpigmentasi putih, merah maupun keabuan pada mukosa oral. Pada stomatitis
uremik tipe eritematous, suatu lapisan pseudomembran keabuan yang akan melapisi
lesi eritema dan lesi ini selalu menyakitkan. Stomatitis uremik tipe ulseratif
memiliki gambaran merah dan ditutupi lapisan yang pultaceous. Secara umumnya,
gambaran stomatitis uremik amat luas tetapi unik dan tidak paralel secara klinis.
Manifestasi klinis ini dapat terjadi akibat peningkatan nitrogen yang membentuk
trauma kimia secara langsung akibat gagal ginjal.

36
Gambar 2 : Uremic Frost pada
penderita penyakit
ginjal kronis pada
sublingual. (Sumber :
Burket’s Oral Medicine
11th ed. 2008.
Hamilton:374)

37
(f). Perubahan Warna Mukosa
Mukosa rongga mulut penderita gagal ginjal sering terlihat lebih pucat. Hal ini
disebabkan karena pengaruh anemia dari penderita tersebut dan kondisi ini disebut
pallor. Gejala lain yang sering terlihat adalah warna kemerahan pada mukosa akibat
deposit beta-karotin.

(g). Keganasan Rongga Mulut


Risiko karsinoma sel skuamosa pada mulut pada pasien yang menerima
hemodialisis adalah sama dengan risiko pada populasi orang yang sehat, walaupun telah
ada laporan yang menunjukkan bahwa terapi yang menyertai tranplantasi ginjal
merupakan predisposisi kejadian displasia epitelial dan karsinoma pada bibir. Mungkin,
Sarkoma Kaposi dapat muncul pada mulut resipien transplantasi ginjal yang mengalami
imunosupresi. Ada beberapa laporan kejadian karsinoma sel skuamosa di daerah
pembengkakan gusi yang disebabkan penggunaan siklosporin. Tiap peningkatan risiko
keganasan mulut pada pasien gagal ginjal kronis mungkin menunjukkan efek
imunosupresan iatrogenik, yang meningkatkan kejadian tumor yang berhubungan
dengan virus seperti sarkoma Kaposi atau limfoma Non Hodgkin. Perkembangan tumor
juga bisa berkaitan erat dengan penderita AIDS yang menderita penyakit ginjal kronis,
sebagai faktor risiko primer maupun sekunder.

(h). Infeksi Rongga Mulut


Infeksi rongga mulut pada penyakit ginjal kronis biasa lebih banyak terjadi pada
pasien yang menjalani transplantasi ginjal akibat menurunnya imunitas tubuh oleh obat-
obatan imunosupresan, juga pada beberapa pasien hemodialisis. Infeksi yang sering
terjadi adalah infeksi jamur dan virus. Angular cheilitis merupakan salah satu
manifestasi infeksi jamur dan terjadi 4% pada pada pasien yang menjalani transplantasi
ginjal dan hemodialisis yang dilaporkan pada suatu penelitian, dan juga lesi jamur
lainnya pada rongga mulut, seperi pseudomembranous (1.9%), erythemoatous (3.8%),
dan chronic atrophic candidiosis (3.8%). Sedangkan Infeksi virus pada penyakit ginjal
kronis biasannya berupa infeksi hepres yang pernah dilaporkan pada pasien yang

38
menerima transplantasi ginjal, tetapi sekarang ini penggunaan rejimen anti herpes telah
mengurangi frekuensi kejadian tersebut.

Gambar 3 : a. Angular chelitis. b. Pseudomembranous.

c. Erythematous d. Chronic atrophic candidosis.

(Sumber :Medscape)

(i). Kelainan Gigi


Beberapa kelainan struktur gigi seperti hipoplasia enamel, erosi gigi,
peningkatan mobiliti gigi, dan maloklusi dapat terjadi pada penderita penyakit ginjal
kronis. Gigi lambat tumbuh dilaporkan pada anak-anak dengan gagal ginjal kronis.
Hipoplasi enamel pada gigi susu maupun permanen dengan atau tanpa warnanya
berubah menjadi coklat juga dapat timbut akibat dari perubahan metabolisme kalsium
dan fosfor. Selain itu, pada gigi penderita tampak juga adanya erosi. Menurut beberapa
39
penelitian, erosi yang parah pada gigi tersebut merupakan hasil mual dan muntah
setelah menjalani perawatan dialisis.

Manifestasi klinis lain termasuk mobiliti gigi, maloklusi, dan kalsifikasi jaringan
lunak. Peningkatan mobiliti dan drifting pada gigi tanpa pembentukan kantung
periodontal yang patologis bisa terjadi dan dapat mengakibatkan pelebaran pada
ligamen periodontal. Apabila keadaan ini semakin berlanjut maka dapat terjadi
maloklusi.

(j). Lesi Tulang Alveolar


Beragam jenis kelainan tulang dapat dijumpai pada penyakit ginjal kronis. Ini
menunjukkan bermacam jenis kelainan metabolisme kalsium, termasuk hidroksilasi dari
1- hidroksikolekalsiferol menjadi vitamin D aktif, penurunan ekskresi ion hidrogen (dan
asidosis yang diakibatkannya), hiperpospatemia, hipokalsemia,dan hiperparatiroidisme
sekunder yang diakibatkan, dan terakhir gangguan biokimiawi pospat oleh proses
dialisis. Hiperparatiroidisme sekunder mempengaruhi 92% pasien yang menerima
hemodialisis. Hiperparatiroidisme dapat berakibat antara lain menjadi tumor coklat
maksila, pembesaran tulang basis skeletal dan mempengaruhi mobilitas gigi. Beberapa
kelainan pada tulang yang lain antara lain adalah demineralisasi tulang, fraktur rahang,
lesi fibrokistik radiolusen, penurunan ketebalan korteks tulang, dan lain-lain. Sedang
pada gigi dan jaringan periodonsium antara lain, terlambat tumbuh, hipoplasi enamel,
kalsifikasi pulpa, penyempitan pulpa, dan lain-lain.

PENATALAKSANAAN GIGI PADA PENDERITA PENYAKIT GINJAL KRONIS


Pasien yang menderita penyakit ginjal kronis memerlukan perawatan gigi yang
khusus, bukan hanya karena adanya hubungan antara sistemik dan rongga mulut tetapi
karena efek samping dan karasteristik dari perawatan yang diterima harus diperhatikan
agar tidak menambah beban dan rasa sakit pada penderita. Perawatan secara klinis yang
teratur sangat penting untuk identifikasi dini dari komplikasi rongga mulut dari penyakit
ginjal. Perawatan yang diindikasikan adalah perawatan periodontal yang teratur, dan

40
non-bedah. Selain itu, meskipun memiliti tingkat kebutuhan untuk perawtan gigi yang
tinggi, kehadiran pasien ketempat perawatan gigi tidak lebih baik dibandingkan mereka
yang tanpa penyakit ginjal.
Dokter gigi harus membentuk komunikasi dengan dokter penyakit dalam,
terutama konsultasi dengan nefrologis untuk memberikan informasi mengenai status
penyakit, jenis pengobatan, dan waktu yang tepat untuk perawatan gigi, ataupun
mengenai komplikasi kesehatan apabila terjadi. Setiap adanya perubahan pengobatan
yang digunakan oleh pasien atau aspek lain dari pengobatan mereka harus
dikonsultasikan terlebih dahulu dengan nefrologis.
Kondisi hematologik yang paling membutuhkan perhatian adalah perdarahan
yang berlebihan dan anemia pada penyakit ginjal kronis sehingga disarankan agar tes
hematologi seperti darah rutin dan tes koagulasi dilakukan sebelum perawatan invasif
dilakukan. Infeksi rongga mulut harus dieliminasi dan profilaksis antibiotik harus
dipertimbangkan apabila risiko endokarditis infektif (pada penderita yang menjalani
hemodialisis) dan septimia meningkat. Contohnya, pada saat pencabutan gigi,
perawatan periodontal dan bedah. Demi mengurangi risiko perdarahan, perawatan dapat
dijadwalkan pada hari setelah hemodialisis supaya heparin dalam darah berada pada
tingkat paling minimal. Sebelum perawatan dimulai, tekanan darah penderita harus
diperhatikan dan disaran untuk mengurangi perasaan cemas pada penderita dengan
sedasi.
Kebersihan mulut yang teliti dapat menurunkan plak yang berhubungan dengan
penyakit gusi, tetapi mungkin masih ada beberapa penyakit pembesaran gusi yang
diakibatkan oleh obat. Penatalaksanakan pembesaran gusi akibat efek obat idealnya
adalah dengan mengganti dengan obat lain, tetapi ini tidak selamanya dapat dilakukan,
satu penelitian melaporkan penggunakan obat kumur antimikrobial seperti
metronidazole untuk mengurangi pembesaran gusi, tetapi metronidazole juga dapat
meningkatkan konsentrasi siklosporin dan berpotensial untuk nefrotoksik. Rekurensi
sering terjadi sehingga disarankan agar melakukan kontrol plak yang efektif dan dapat
dibantu dengan pemberian klorheksidin glukonat topikal atau triklosan.

41
BAB IV
ANALISIS KASUS

Ny. MBD, 54 tahun dikonsulkan ke bagian gigi dan mulut RSMH dengan CKD stage
V on HD+ DM nefropati +DM tipe 2 + HT stage II untuk diakukan pemeriksaan gigi dan
mulut untuk mengevaluasi dan tatalaksana adanya fokal infeksi.
Pasien mengeluh gigi berlubang sudah lama dirasakan pada hampir seluruh gigi.
Awalnya gigi terasa sakit, sakit tersebut dirasakan penderita berdenyut-denyut dan ngilu.
Pasien juga mengeluhkan terdapat bercak putih kekuningan pada permukaan atas lidahnya
sejak ± 1 minggu yang lalu. Pasien merasa tidak nyaman saat makan karena lidahnya
terasa kotor. Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran
compos mentis, TD 150/90mmHg, nadi 80x/menit, RR 22x/menit, suhu tubuh 36,50C,
kesan gizi baik.
Pada pemeriksaan ekstra oral didapatkan wajah simetris, bibir cheilitis, kelenjar getah
bening submandibula kanan dan kiri tidak sakit. Pada pemeriksaan intraoral didapatkan
debris pada semua regio, plak pada semua regio, kalkulus pada semua regio. Mukosa labial
terdapat cheilitis pada bibir, pada lidah terdapat lesi berupa lapisan plak berwarna putih
yang tersebar pada seluruh permukaan batas atas lidah dan tidak ditemukan perdarahan
papila intradental. Debris disebabkan oleh sisa makanan yang menempel dan indikasi
kurangnya perlindungan kesehatan gigi dan mulut (oral hygiene) pasien. Hal ini menjadi
faktor risiko terjadinya infeksi karena apabila oral hygiene yang buruk, jumlah bakteri yang
berkolonisasi di gigi meningkat 2-10 kali lipat dan memungkinkan lebih banyak bakteri
melewati jaringan dan masuk ke pembuluh darah, menimbulkan peningkatan prevalensi
dan besarnya bakeremia.
Pada status lokalis didapatkan temuan sebagai berikut:
a. Plak, debris dan kalkulus di semua regio
b. Abrasi pada gigi1.1, 1.4, 2.2, 2.3, 2.6
c. Pulpitis reversible pada gigi 1.5
d. Gangren Radix pada gigi 2.5, 3.3
42
e. Periodonitis kronik pada gigi 1.2
f. Missing teeth pada1.7, 1.3, 3.4, 3.5, 3.6, 3.7, 3.8, 4.1, 4.2, 4.8
g. Lidah terdapat plak berwarna putih
h. Cheilitis bibir
Pada kasus ini ditemukan lidah terdapat plak berwarna putih menandakan adanya
kandidiasisi oral. Kandidiasis oral merupakan salah satu manifestasi dari penyakit mulut
berupa infeksi yang disebabkan oleh jamur candida albicans.
Pada kasus ini kandidiasis oral diduga karena adanya faktor sistemik dari pasien, yaitu
penyakit diabetes meliitus. Kecenderungan keberadaan C. Albicans pada penderita diabetes
mellitus, disebabkan kadar glukosa darah yang tinggi dan tidak terkontrol, serta makanan
yang kaya dengan karbohidrat mempermudah timbulnya C. Albicans dan infeksi C.
Albicans.

Faktor yang berpengaruh dalam kasus ini adalah faktor patogenitas jamur dan faktor
host. Faktor yang berpengaruh pada patogenitas dan proses infeksi Candida adalah adhesi,
adhesi merupakan proses melekatnya sel Candida ke dinding sel epitel host, pada penderita
DM mengalami peningkatan adhesi terhadap beberapa mikroorganisme patogen di mukosa
mulut. Selain itu terdapat faktor host yang terbagi menjadi dua, yaitu faktor lokal dan
sistemik, pada pasien penderita DM dan CKD terjadi gangguan fungsi kelenjar ludah yang
menurunkan saliva yang berfungsi untuk mencegah timbulnya candidiasis.

Serostomia adalah kondisi mulut kering. Pada penderita ginjal kronis dan
penderita yang menjalani hemodialisis, gejala ini sangat sering dan signifikan. Hal ini
sering terjadi sebagai hasil dari manifestasi beberapa faktor seperti inflamasi kimia,
dehidrasi, pernafasan melalui mulut (Kussmaul’s respiration) dan keterlibatan langsung
kelenjar salivarius, restriksi konsumsi cairan, dan efek samping dari obat.
Serostomia dan pembesaran kelenjar ludah bilateral atau sialadenitis (terutama di
kelenjar parotis) dapat terjadi, dan keduanya sering berhubungan dengan kontrol glikemik
yang buruk. Pengobatan pada pasien DM dan CKD yang terkait dengan kondisi sistemik
atau tidak dapat menghasilkan hipofungsi saliva. Dengan demikian, xerostomia terlihat

43
pada pasien ini dapat diperparah oleh karena pengobatan dibandingkan dari kondisi
diabetes itu sendiri. Permukaan mukosa yang kering disebabkan oleh kelenjar saliva yang
mudah teriritasi, sehingga dapat menimbulkan ulserasi mukosa kecil, sensasi terbakar
didalam mulut, dan kemungkinan peningkatan pertumbuhan berlebih dari organisme jamur.
Neuropati dari sistem otonom juga dapat menyebabkan perubahan sekresi saliva karena
aliran saliva dikendalikan oleh saraf simpatis dan parasimpatis. Tingginya insiden dan
keparahan karies gigi pada pasien diabetes mellitus telah dikaitkan dengan xerostomia,
peningkatan kadar glukosa pada cairan sulkus gingiva, dan peningkatan akumulasi plak
gigi.

Plak, Kalkulus dan Karies.


Terdapat berbagai teori yang menentang hubungan antara efek dari penyakit
ginjal kronis terhadap pembentukan plak dan kalkulus. Dalam satu penelitian,
serostomia akan meningkatkan predisposisi penderita terhadap karies karena retensi
produk urea serta pengaliran dan produksi saliva yang sedikit. Proses dialisis dapat
memperburukkan kondisi rongga mulut di mana jumlah kalkulus meningkat, dan
banyaknya dijumpai lesi karies. Deposit kalkulus dapat bertambah akibat dari
hemodialisis.
Namun menurut beberapa penelitian, hidrolisis urea akan menghasilkan
konsentrasi ammonia yang tinggi dan mengubah pH saliva menjadi basa pada penderita
penyakit ginjal kronis sehingga meningkatkan substansi fosfat dan ammonia dalam
saliva dan hasilnya kapasitas buffer yang tinggi disertai risiko karies menurun. Hal ini
turut didukung oleh peneliti, di mana hidrolisis urea mampu meningkatkan kapasitas
antibakteri akibat peningkatan urea nitrogen dalam saliva. Kebenaran teori ini terus
diperkuat terutama pada anak-anak walaupun konsumsi gula yang tinggi dan kurang
penjagaan kesehatan rongga mulut, risiko karies tetap rendah dan terkontrol.
Pembentukan kalkulus pada jaringan keras gigi berkaitan erat dengan gangguan
homeostasis kalsium-fosfor. Presipitasi kalsium dan fosfor yang didorong oleh pH yang
buruk pada penderita penyakit ginjal kronis karena hidrolisis urea saliva menjadi
ammonia, dimana ammonia berperan dalam menyebabkan pH menjadi basa. Secara
44
langsung, retensi urea akan menfasilitasi alkanisasi plak gigi, dan meningkatkan
pembentukan kalkulus terutama pada penderita yang menjalani hemodialisis. Selain itu,
penderita yang menjalani hemodialisis memiliki jumlah magnesium saliva yang sangat
rendah. Pada kalkulus penderita yang menjalani hemodialisis mengandung oksalat, dan
pada kondisi uremia turut menyebabkan retensi oksalat.

Pembesaran Gusi
Pembesaran gusi sekunder akibat penggunaan obat adalah manifestasi oral pada
penyakit ginjal yang paling sering dilaporkan. Hal ini dapat diakibatkan oleh
cyclosporin dan/atau calcium channel blockers. Prinsipnya mempengaruhi papila
interdental labia, walaupun kadang dapat menjali lebih luas, yaitu dengan melibatkan
tepi gusi dan lidah serta permukaan palatum.

a. Pembesaran Gusi akibat Cyclosporin

Prevalensi pembesaran gusi pada orang yang mengkonsumsi cyclosporin


masih belum jelas, dan dilaporkan memiliki rentang yang luas dari 6 sampai
85%. Hal ini dapat terlihat pada pemakaian cyclosporin dalam 3 bulan.
Anak-anak dan remaja mungkin lebih rentan terkena pembesaran gusi akibat
cyclosporin dibandingkan dengan dewasa. Jika higienitas mulut jelek, orang
yang lebih tua juga rentan terkena pembesaran gusi.

Perbaikan pada higienitas mulut dan pembersihan secara profesional


menghasilkan pengurangan pembesaran gusi berhubungan dengan
cyclosporin. Akan tetapi, ini mungkin dikarenakan berkurangnya peradangan
yang berhubungan dengan plak bukan karena pembesaran gusi yang
berhubungan dengan obat.

b. Pembesaran Gusi akibat Calcium Channel-blocker

Prevalensi yang dilaporkan pembesaran gusi akibat penggunaan nifedipin


bervariasi dan terjadi pada 10 sampai 83% pada yang mengkonsumi obat ini.
Tidak ada data penelitian mengenai frekuensi pembesaran gusi yang

45
diakibatkan oleh calcium channel-blocker lainnya. Keberadaan plak gigi
mungkin merupakan predisposisi terjadinya pembesaran gusi akibat
nifedipine. Tetapi itu tidak sangat berpengaruh dalam perkembangannya.
Dosis dan durasi pengobatan tidak berkaitan dengn prevalensi terjadinya
pembesaran gusi. Beberapa penelitian telah melaporkan penurunan
pembesaran gusi setelah penggantian nifedipin dengan calcium channel-bocker
lain, tetapi obat-obat ini juga sebagian masih dapat menyebabkan pembesaran
gusi.

Pasien yang menderita penyakit ginjal kronis memerlukan perawatan gigi yang
khusus, bukan hanya karena adanya hubungan antara sistemik dan rongga mulut tetapi
karena efek samping dan karasteristik dari perawatan yang diterima harus diperhatikan
agar tidak menambah beban dan rasa sakit pada penderita. Perawatan secara klinis yang
teratur sangat penting untuk identifikasi dini dari komplikasi rongga mulut dari penyakit
ginjal. Perawatan yang diindikasikan adalah perawatan periodontal yang teratur, dan
non-bedah. Selain itu, meskipun memiliti tingkat kebutuhan untuk perawtan gigi yang
tinggi, kehadiran pasien ketempat perawatan gigi tidak lebih baik dibandingkan mereka
yang tanpa penyakit ginjal.
Dokter gigi harus membentuk komunikasi dengan dokter penyakit dalam,
terutama konsultasi dengan nefrologis untuk memberikan informasi mengenai status
penyakit, jenis pengobatan, dan waktu yang tepat untuk perawatan gigi, ataupun
mengenai komplikasi kesehatan apabila terjadi. Setiap adanya perubahan pengobatan
yang digunakan oleh pasien atau aspek lain dari pengobatan mereka harus
dikonsultasikan terlebih dahulu dengan nefrologis.
Kondisi hematologik yang paling membutuhkan perhatian adalah perdarahan
yang berlebihan dan anemia pada penyakit ginjal kronis sehingga disarankan agar tes
hematologi seperti darah rutin dan tes koagulasi dilakukan sebelum perawatan invasif
dilakukan. Infeksi rongga mulut harus dieliminasi dan profilaksis antibiotik harus
dipertimbangkan apabila risiko endokarditis infektif (pada penderita yang menjalani
hemodialisis) dan septimia meningkat. Contohnya, pada saat pencabutan gigi,

46
perawatan periodontal dan bedah. Demi mengurangi risiko perdarahan, perawatan dapat
dijadwalkan pada hari setelah hemodialisis supaya heparin dalam darah berada pada
tingkat paling minimal. Sebelum perawatan dimulai, tekanan darah penderita harus
diperhatikan dan disaran untuk mengurangi perasaan cemas pada penderita dengan
sedasi.

47
DAFTAR PUSTAKA

1. Hakim, luqmanul dan Ricky ramadian.2015.Kandidiasis Oral. Fakultas Kedokteran


Lampung. Volume 4; nomor 18
2. Lukisari, cane dan 2010. Penatalksanaan Kandidiasis oral disebabkan Candida
tropikalis pada anak dengan gangguan sistemik. Fakultas Gigi Universitas Airlangga.
Vol. 9; no. 2
3. Mourent, Miftahul Laila. 2010. Kandidiasis Oral Pada penderita Leukemia Akut yang
Menjalani Kemoterapi. FKG Universitas Sumatra Utara. Diakses
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17808/3/Chapter%20II.pdf
4. Rao, Prasanna Kumar. 2012. Oral Candidiasis –Review. Scholarly Journal of
Medicine. ISSN 2276-7134
5. Grenberg, M.S. 2008. Burket Oral Medicine 8th ed. BC Pecker Inc, Hamilton Ontario.
6. Snell,Richard S, . 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran; alih bahasa
Liliana Sugiharto; Ed 6. EGC : Jakarta.
7. Tarcin, B. Gumru. 2011.Oral Candidiasis, Aetiology, Clinical Manifestasion,
Diagnosis and Management. Journal of Marmara University Institute of Health
Sciences Volume: 1, Number: 2
8. Herawati E. 2008. Kandidiasis Rongga Mulut, Gambaran Klinis, dan Terapinya.
Bandung : FKG UNPAD.
9. Bagian ilmu penyakit kulit & kelamin. 2009. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. FKUI:
Jakarta
10. Dangi, Y. Sngh. 2010. Oral Candidiasis. Institute of Pharmaceutical Sciences, Guru
Ghasidas Central University.Vol 2. ISSN-0975-1491
11. Harina.2002. Hubungan antara kadar glukosa saliva dengan jumlah koloni Candida
albicans rongga mulut pada penderita diabetes mellitus. Journal of the indonesian
dental association.274-277.
12. Westbrook P, Bednarczyk EM, Carlson M, Sheehan H, Bissada NF. Regression of
nifedipine-induced gingival hyperplasia following switch to a same class calcium
channel blocker, isradipine. J Periodontol. 1997 Jul;68(7):645-50.
48
13. de la Rosa Garcia E, Mondragon Padilla A, Aranda Romo S, Bustamante Ramirez
MA. Oral mucosa symptoms, signs and lesions, in end stage renal disease and non-
end stage renal disease diabetic patients. Med Oral Patol Oral Cir Bucal. 2006 Nov-
Dec;11(6):E467-73.
14. Scott S. DeRossi D, S. Garry Cohen D. Renal Disease. In: Martin S. Greenberg D,
Michael Glick D, editors. Burkett's Oral Medicine. 11th ed. Ontario: BC Decker
Inc; 2008. p. 407 - 28.
15. Proctor R, Kumar N, Stein A, Moles D, Porter S. Oral and dental aspects of chronic
renal failure. J Dent Res. 2005 Mar;84(3):199-208.
16. Suhardjono. The development of a continuous ambulatory peritoneal
dialysis program in Indonesia. Perit Dial Int. 2008 Jun;28 Suppl 3:S59-62.
17. Hamid MJ, Dummer CD, Pinto LS. Systemic conditions, oral findings and
dental management of chronic renal failure patients: general considerations and
case report. Braz Dent J. 2006;17(2):166-70.
18. Craig RG, Spittle MA, Levin NW. Importance of periodontal disease in the
kidney patient. Blood Purif. 2002;20(1):113-9.
19. Akar H, Akar GC, Carrero JJ, Stenvinkel P, Lindholm B. Systemic consequences of
poor oral health in chronic kidney disease patients. Clin J Am Soc Nephrol. Jan;
6(1):218-26.
20. Guzeldemir E, Toygar HU, Tasdelen B, Torun D. Oral health-related quality of
life and periodontal health status in patients undergoing hemodialysis. J Am
Dent Assoc. 2009 Oct;140(10):1283-93.
21. Oedijani, Mekanisme Biokimia dan Biomolekular Komplikasi Diabetes Mellitus
dan Periodontitis, JKGUI 2003,, Edisi Khusus:578-585
22. Rubianto, M., Hernawan, I., Stress Oksidan Pada Jaringan Periodontal Penderita
Diabetes Melitus dengan Periodontitis, Majalah Ilmiah, 2001; Dies Natalis FKG
UGM ke-40, 95-98
23. Manson, J. D., Elley, B. B., Buku Ajar Periodonsia (terj.) . Edisi 2. Jakarta:
Hipocrates. 1993: 48-49
24. Newman, M. G, Takei, H. H., Carranza, F.A Carranza’s Clinical Periodontology .
49
9th ed. Philadelphia: W.B. Saunders Co. 2002: 67-68
25. Kinane, O. F., dan Marshall, G.J., Periodontal Manifestation of Systemic Disease,
Australian Dental journal , 2001; 46 (1):2-12
26. Matthew DC, The Relationship Between Diabetes and Periodontal disease, J. Can
Dent Assoc, 2002; 68 (3) 161-4

50

Anda mungkin juga menyukai