Anda di halaman 1dari 27

PENDAHULUAN

Ruptur urethra adalah suatu kegawatdaruratan bedah yang sering terjadi

oleh karena fraktur pelvis akibat kecelakaan lalulintas atau jatuh dari ketinggian.

Sekitar 70% dari kasus fraktur pelvis yang terjadi akibat dari kecelakaan

lalulintas/kecelakaan kendaraan bermotor, 25% kasus akibat jatuh dari ketinggian,

dan 90% kasus cedera urethra akibat trauma tumpul. Secara keseluruhan pada

fraktur pelvis akan terjadi pula cedera urethra bagian posterior (3,5%-19%) pada

pria, dan (0%-6%) pada urethra perempuan.1

Fraktur pelvis merupakan penyebab utama terjadinya ruptur urethra

posterior dengan angka kejadian 20 per 100.000 populasi dan penyebab utama

terjadinya fraktur pelvis adalah kecelakaan bermotor (15,5%), diikuti oleh cedera

pejalan kaki (13,8%), jatuh dari ketinggian lebih dari 15 kaki (13%), kecelakaan

pada penumpang mobil (10,2%) dan kecelakaan kerja (6%). Fraktur pelvis

merupakan salah satu tanda bahwa telah terjadi cedera intraabdominal ataupun

cedera urogenitalia yang kira-kira terjadi pada 15-20% pasien. Cedera organ

terbanyak pada fraktur pelvis adalah pada urethra posterior (5,8%-14,6%), diikuti

oleh cedera hati (6,1%-10,2%) dan cedera limpa (5,2%-5,8%)1

Fraktur pelvis yang tidak stabil atau fraktur pada ramus pubis bilateral

merupakan tipe fraktur yang paling memungkinkan terjadinya cedera pada urethra

posterior. Dilaporkan, cedera pada urethra posterior sekitar 16% pada fraktur

pubis unilateral dan meningkat menjadi 41% pada fraktur pubis bilateral. Cedera

1
urethra prostatomembranaceus bervariasi mulai dari jenis simple ( 25%), ruptur

parsial (25%) dan ruptur komplit ( 50%).

Di Amerika Serikat angka kejadian fraktur pelvis pada laki-laki yang

menyebabkan cedera urethra bervariasi antara 1-25% dengan nilai rata-rata 10%.

Cedera urethra pada wanita dengan fraktur pelvis sebenarnya jarang terjadi, tetapi

beberapa kepustakaan melaporkan insiden kejadiannya sekitar 4-6%.2

Angka kejadian cedera urethra yang dihubungkan dengan fraktur pelvis

kebanyakan ditemukan pada awal dekade keempat, dengan umur rata-rata 33

tahun. Pada anak (<12 tahun) angka kejadiannya sekitar 8%.Terdapat perbedaan

persentasi angka kejadian fraktur pelvis yang menyebabkan cedera urethra pada

anak dan dewasa. Fraktur pelvis pada anak sekitar 56% kasus yang merupakan

resiko tinggi untuk terjadinya cedera urethra.2

Trauma urethra lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding wanita,

perbedaan ini disebabkan karena urethra wanita pendek, lebih mobilitas dan

mempunyai ligamentum pubis yang tidak kaku.1

2
RUPTUR URETHRA

A. ANATOMI URETHRA

Urethra merupakan tabung yang menyalurkan urin keluar dari buli-buli

melalui proses miksi. Secara anatomis urethra dibagi menjadi 2 bagian yaitu

urethra posterior dan urethra anterior. Pada pria, organ ini berfungsi juga dalam

menyalurkan cairan semen. Urethra dilengkapi dengan sfingter urethra interna

yang terletak pada perbatasan vesica urinari dan urethra, serta sfingter urethra

eksterna yang terletak pada perbatasan urethra anterior dan posterior. Sfingter

urethra interna terdiri atas otot polos yang dipersarafi oleh sistem simpatik

sehingga pada saat vesica urinari penuh, sfingter ini terbuka. Sfingter urethra

eksterna terdiri atas otot lurik dipersarafi oleh sistem somatik yang dapat

diperintah sesuai dengan keinginan seseorang. Pada saat miksi sfingter ini tetap

terbuka dan tetap tertutup pada saat menahan miksi.3

Urethra adalah saluran kecil yang dapat mengembang, berjalan dari vesika

urinaria sampai keluar tubuh, yang berfungsi untuk menyalurkan urin dari vesika

urinaria hingga bermuara ke meatus urinarius externus.2

Secara anatomis, urethra pada pria terbagi dua menjadi pars anterior dan pars

posterior, yang saling berbatasan pada diafragma urogenital. Urethra proksimal

mulai dari perbatasan dengan buli-buli, orificium urethra internum dan urethra

prostatica. Urethra postatica seluruhnya terdapat di dalam prostat dan berlanjut

menjadi urethra membranaceus. Struktur yang menjaga adalah ligamentum

puboprostatika yang melekatkan prostat pada arkus anterior pubis. Urethra

3
membranaceus terdapat pada ujung anterior diafragma urogenital dan menjadi

bagian proksimal urethra anterior setelah melewati membran perineum. Urethra

bulbosa, agak menonjol pada proksimal anterior, berjalan di sepanjang bagian

proksimal korpus spongiosum dan berlanjut menjadi urethra pendulosa di

sepanjang urethra anterior. Ductus dari glandula Cowper bermuara di urethra

bulbosa. Urethra penil atau pendulosa berjalan di sepanjang penis dimana berakhir

pada fossa naviculare dan meatus urethra eksternus.2

Gambar 2.1 Anatomi Urogenital pada Pria (Potongan sagital)10

Urethra diperlengkapi dengan sfingter urethra interna yang terletak pada

perbatasan buli – buli dan urethra, serta sfingter urethra eksterna yang terletak

pada perbatasan antara urethra anterior dan posterior. Sfingter urethra interna

terdiri atas otot polos yang dipersarafi oleh sistem simpatis sehingga pada saat

4
buli – buli penuh, sfingter ini terbuka. Sfingter urethra eksterna terdiri atas otot

bergaris dipersarafi oleh sistem somatik yang dapat diperintah sesuai dengan

keinginan seseorang. Pada saat kencing sfingter ini terbuka dan tetap tertutup pada

saat menahan kencing. Panjang urethra pada pria sekitar 8 inci (20 cm),

Gambar 2.2 Anatomi Urogenital pada Pria (potongan axial)

sedangkan pada urethra wanita sekitar 11/2 inci (4cm), yang berada di bawah

simfisis pubis dan bermuara di sebelah anterior vagina. Di dalam urethra

bermuara kelenjar periurethra, diantaranya adalah kelenjar skene. Kurang lebih

sepertiga medial urethra, terdapat sfingter urethra eksterna yang terdiri atas otot

5
bergaris. Tonus otot sfingter urethra eksterna dan tonus otot levator ani berfungsi

mempertahankan agar urin tetap berada di dalam buli – buli pada saat perasaan

ingin miksi. Miksi terjadi jika tekanan intravesica melebihi tekanan intraurethra

akibat kontraksi otot detrusor, dan relaksasi sfingter urethra eksterna. (smith,

2009)

Gambar 2.3 Anatomi Urogenitalia Wanita (Potongan Sagital)10

Panjang urethra wanita lebih kurang 4 cm dengan diameter 8 mm. Berada

di bawah simfisis pubis dan bermuara disebelah anterior vagina. Di dalam urethra

bermuara kelenjar periurethra, di antaranya adalah kelenjar Skene. Kurang lebih

sepertiga medial urethra, terdapat sfingter urethra eksterna yang terdiri atas otot

bergaris. Tonus otot sfinter urethra eksterna dan tonus otot Levator ani yang

berfungsi mempertahankan agar urine tetap berada di dalam buli-buli pada saat

6
perasaan ingin miksi. Miksi terjadi jika tekanan intravesika melebihi tekanan

intraurethra akibat kontraksi otot detrusor, dan relaksasi sfingter urethra eksterna.3

Gambar 2.4 Anatomi Traktus Urinarius Wanita (Potongan Axial)

B. DEFINISI RUPTUR URETHRA

Ruptur urethra adalah trauma urethra yang terjadi karena jejas yang

mengakibatkan memar dinding dengan atau tanpa robekan mukosa baik parsial

ataupun total. Ruptur urethra dibagi berdasarkan anatomi yaitu ruptur urethra

anterior dan ruptur urethra posterior dengan etiologi yang berbeda diantara

keduanya.4

C. ETIOLOGI

Trauma urethra terjadi akibat cedera yang berasal dari luar (eksternal) dan

cedera iatrogenik akibat instrumentasi pada urethra. Trauma tumpul yang

menimbulkan fraktur tulang pelvis menyebabkan ruptur urethra pars

7
membranasea, sedangkan trauma tumpul pada selangkangan atau straddle injury

dapat menyebabkan ruptur urethra pars bulbosa. Pemasangan kateter atau businasi

pada urethra yang kurang hati-hati dapat menimbulkan robekan urethra karena

false route atau salah jalan, demikian pula tindakan operasi trans urethra dapat

menimbulkan cedera urethra iatrogenik.3

Ketika urethra mengalami trauma kemungkinan juga berkaitan dengan

perkembangan penyakit obstruksi atau striktur urethra. Striktur urethra ketika

urethra mengalami trauma atau luka karena infeksi dalam jangka panjang,

mengakibatkan terganggunya saluran berkemih dan semen.3

D. EPIDEMIOLOGI

Fraktur pelvis merupakan penyebab utama terjadinya ruptur urethra posterior

dengan angka kejadian 20 per 100.000 populasi dan penyebab utama terjadinya

fraktur pelvis adalah kecelakaan bermotor (15,5%), diikuti oleh cedera pejalan

kaki (13,8%), jatuh dari ketinggian lebih dari 15 kaki (13%), kecelakaan pada

penumpang mobil (10,2%) dan kecelakaan kerja (6%). Fraktur pelvis merupakan

salah satu tanda bahwa telah terjadi cedera intraabdominal ataupun cedera

urogenitalia yang kira-kira terjadi pada 15-20% pasien. Cedera organ terbanyak

pada fraktur pelvis adalah pada urethra posterior (5,8%-14,6%), diikuti oleh

cedera hati (6,1%-10,2%) dan cedera limpa (5,2%-5,8%).1

Di Amerika Serikat angka kejadian fraktur pelvis pada laki-laki yang

menyebabkan cedera urethra bervariasi antara 1-25% dengan nilai rata-rata 10%.

8
Cedera urethra pada wanita dengan fraktur pelvis sebenarnya jarang terjadi, tetapi

beberapa kepustakaan melaporkan insiden kejadiannya sekitar 4-6%.2

Angka kejadian cedera urethra yang dihubungkan dengan fraktur pelvis

kebanyakan ditemukan pada awal dekade keempat, dengan umur rata-rata 33

tahun. Pada anak (<12 tahun) angka kejadiannya sekitar 8%.Terdapat perbedaan

persentasi angka kejadian fraktur pelvis yang menyebabkan cedera urethra pada

anak dan dewasa. Fraktur pelvis pada anak sekitar 56% kasus yang merupakan

resiko tinggi untuk terjadinya cedera urethra.2

Trauma urethra lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding wanita,

perbedaan ini disebabkan karena urethra wanita pendek, lebih mobilitas dan

mempunyai ligamentum pubis yang tidak kaku.2

E. KLASIFIKASI

Ruptur urethra dibagi berdasarkan anatomi:

1. Ruptur urethra anterior

Terletak di distal dari diafragma urogenital. Terbagi atas 3 segmen, yaitu:

Bulbous urethra, Pendulous urethra, Fossa navicularis. Namun, yang paling

sering terjadi adalah rupture urethra pada pars bulbosa yang disebabkan oleh

Saddle Injury, dimana robekan urethra terjadi antara ramus inferior os pubis

dan benda yang menyebabkannya.3

a. Etiologi

Sebagian besar cedera urethra anterior disebabkan oleh kecelakaan

kendaraan, jatuh, atau pukulan. Berbeda dengan cedera urethra posterior,

9
cedera urethra anterior jarang berhubungan dengan patah tulang panggul.

Biasanya tipe straddle injury yang disebabkan oleh pukulan benda tumpul

terhadap perineum, seperti setang sepeda atau bagian atas pagar. Dalam

hal ini bulbar urethra yang relatif bergerak terjepit di antara kekuatan

langsung di atasnya dan permukaan inferior simfisis pubis. Cedera ini

lebih sering terjadi pada anak-anak daripada orang dewasa.5

Penyebab lain dari cedera urethra anterior adalah trauma penis

yang berat, trauma iatrogenik dari kateterisasi, atau masuk benda asing.

Cedera urethra iatrogenik akibat instrumentasi sejauh ini merupakan

penyebab paling umum dari trauma urethra.5

Cedera urethra anterior akibat dari trauma tumpul lebih sering

daripada trauma tajam. Adapun etiologi dari ruptur urethra anterior pada

tabel berikut:6

10
Gambar 2.7 Etiologi Ruptur Urethra Anterior

b. Mekanisme trauma

Urethra anterior terbungkus di dalam korpus spongiosum penis. Korpus

spongiosum bersama dengan korpora kavernosa penis dibungkus oleh fascia

buck’s dan fascia Colles. Jika terjadi ruptur urethra beserta korpus

spongiosum, darah dan urin keluar dari urethra tapi masih terbatas pada fascia

buck’s dan secara klinis terlihat hematoma yang berbatas pada penis. Namun

jika fascia buck ikut robek, ektravasasi urin dan darah hanya dibatasi oleh

fascia colles sehingga darah dapat menjalar hingga skrotum atau ke dinding

abdomen. Robekan ini memberikan gambaran seperti kupu-kupu sehingga

disebut butterfly hematoma.3

11
c. Klasifikasi

Menurut Rosenstein, dkk 2006, ada beberapa klasifikasi jejas urethra

anterior yang digambarkan oleh McAninch dan Armenakas berdasarkan

temuan radiografis pada urethrogram:

1) Kontusio; gambaran klinis menunjukan adanya jejas urethra, tetapi pada

uretrografi retrograd normal

2) Incomplete disruption; pada uretrografi menunjukkan ekstravasasi, tetapi

kontunuitas urethra sebagian masih terjaga. Kontras bisa mengisi pada

proksimal urethra ataupun di vesika urinaria

3) Complete disruption; pada uretrografi menunjukkan ekstravasasi, dengan

tidak terisinya kontras pada proksimal urethra atau pada vesika urinaria

Kontunuitas urethra terputus.

d. Diagnosis

1) Gambaran Klinis

Untuk mendiagnosis adanya trauma pada urethra anterior dimulai dari

anamnesis, apakah ada riwayat trauma tumpul atau trauma penetrasi pada

perineum, genitalia atau pelvis yang dicurigai menyebabkan jejas pada

urethra. Terdapatnya nyeri dan bengkak pada jejas dengan ekimosis,

kemudian terdapatnya darah keluar dari meatus urethra dan susah buang

air kecil selalu ditemukan pada trauma urethra anterior. Pada kasus yang

berat saat buang air kecil terasa nyeri dan membengkak pada perineum dan

skrotum oleh karena urin dan kumpulan darah di jaringan periurethra.6

12
Cedera urethra karena kateterisasi dapat menyebabkan obstruksi

karena udem atau bekuan darah. Abses periurethral atau sespis

mengakibatkan demam. Ekstravasasi urin dengan atau tanpa darah dapat

meluas jauh, tergantung fasia yang turut rusak. Pada ekstravasasi ini

mudah timbul infiltrat yang disebut infiltrat urin yang mengakibatkan

selulitis dan septisemia bila terjadi infeksi.4

2) Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologik dengan uretrogram retrograde dapat memberi

keterangan letak dan tipe ruptur urethra. Uretrogram retrograde akan

menunjukkan gambaran ekstravasasi, bila terdapat laserasi urethra,

sedangkan kontusio urethra tidak tampak adanya ekstravasasi. Bila tidak

tampak adanya ekstravasasi maka kateter urethra boleh dipasang.5

e. Tatalaksana

1) Manajemen awal

Suprapubik Cystostomy

Cystostomy suprapubik awal adalah pengobatan pilihan untuk cedera

straddle atau cedera tumpul yang menghantam urethra. Sebagian robekan

dapat dikelola dengan kateter suprapubik atau kateterisasi urethra.

Cystostomy suprapubik memiliki keuntungan tidak hanya mengalihkan

urin jauh dari lokasi cedera, tetapi juga menghindari manipulasi urethra.

Selain itu, memungkinkan untuk urethrocystogram dilaksanakan di

kemudian hari. Jika kandung kemih tidak ditemukan, maka USG

13
transabdominal harus digunakan untuk memandu penempatan kateter.

Kateter cystostomy dipertahankan selama kurang lebih 4 minggu untuk

memungkinkan penyembuhan urethra. Jika direncanakan delayed repair

cedera urethra, dilakukan pemasangan kateter suprapubik, dan perbaikan

sekunder direncanakan dalam waktu 6 minggu sampai 3 bulan pasca

cedera. (Wein AJ, dkk, 2007)7

Komplikasi cedera urethra yaitu striktur dan infeksi. Ekstravasasi

darah atau urin dari robekan urethra menghasilkan reaksi peradangan

yang dapat berkembang menjadi pembentukan abses. Perluasan dari

infeksi tergantung pada fascia yang rusak. Potensi gejala sisa dari infeksi

ini termasuk fistula urethrocutaneous, divertikula periurethra, dan yang

jarang terjadi yaitu necrotizing fasciitis. Diversi urin yang cepat ditambah

dengan pemberian antibiotik yang tepat menurun kejadian komplikasi

ini.7

2) Delayed rekontruksi

Pasien dengan cedera straddle dengan obliterasi urethra total

membutuhkan diversi suprapubik. Sebelum prosedur yang direncanakan,

diperlukan urethrogram retrograde dan cystourethrogram untuk

menentukan lokasi dan panjang struktur urethra. Jika daerah cedera tidak

jelas, dapat dilakukan sonourethrogram saat pasien berada di bawah

anestesi, sebelum prosedur rekonstruksi. Injeksi retrograde larutan saline

dikombinasikan dengan antegrade pengisian kandung kemih akan mengisi

14
urethra proksimal dan distal, dan sonogram 10-MHz jelas akan

menentukan sejauh mana struktur yang akan dipotong. Penyempitan

parsial urethra awalnya dapat diobati dengan sayatan endoskopik dengan

keberhasilan yang lebih tinggi. Urethroplasty anastomotic adalah prosedur

pilihan pada kasus obliterasi urethra setelah cedera straddle. Jika panjang

struktur 1,5 hingga 2 cm urethra proksimal dan distal dapat dimobilisasi

untuk menghindari ketegangan saat end-to-end anastomosis.5

3) Penanganan trauma iatrogenik

Pemasangan stent urethra sementara dengan kateter adalah pilihan

terapi konvensional untuk mengobati bagian kerusakan yang akut . Jika

pemasangan kateter urethra tidak mungkin, bantuan endoskopi atau

pemasangan kateter suprapubik mungkin diperlukan. Striktur anastomosis

iatrogenik setelah prostatektomi radikal dapat berhasil diobati dengan

manajemen endoskopi, baik dengan sayatan atau reseksi. Penempatan stent

urethra pada leher kandung kemih bersama-sama dengan penempatan

sfingter buatan juga telah dilaporkan sebagai pilihan yang valid dalam

striktur yang berulang, tetapi harus dilakukan hanya pada pasien tertentu.

Alternatif terapi lain dengan indewelling kateter yang permanen, dilatasi

urethra, intermiten kateterisasi, atau prosedur yang terbuka. Prosedur

terbuka membentuk suatu anastomosis vesicourethral baru memberikan

peningkatan morbiditas dan juga terkait dengan penempatan sfingter

buatan.

15
Penelitian jangka panjang mengenai hasil dari semua prosedur ini

sangat langka. Prosedur alternatif dalam kasus yang berulang dan Lesi

sphincteric ganda (inkontinensia dan striktur) pasca TUR-P adalah diversi

urin, Continent vesicostomy atau kateter suprapubik permanen.5

Adapun algoritma menurut Pineiro L,M, 2007, untuk pengobatan

striktur urethra setelah cedera akibat insersi kateter yang tidak tepat,

prostatektomi radikal, dan operasi besar pada abdomen atau radioterapi,

sebagai berikut:

16
f. Komplikasi

Komplikasi meurut Wein AJ, dkk. 2007:

1) Impotensi

Impotensi akibat transeksi saraf parasimpatis penis atau arteri

corporal profunda bilateral ditemukan pada 6% pasien dengan trauma

penis / urethra akibat luka tembakan kecepatan rendah. Cedera straddle

dari trauma tumpul menyebabkan disfungsi ereksi lebih sering

dikarenakan crush injury pada arteri penis dan saraf.

2) Striktur urethra

Striktur setelah perbaikan primer cedera urethra parsial akibat luka

tembakan biasanya jarang terjadi (12%). Striktur yang terjadi setelah

urethroplasty anastomotic persentase kejadiannya kurang dari 5%.

17
2. Ruptur urethra posterior

Terletak di proksimal diafragma urogenital, hampir selalu disertai fraktur

tulang pelvis. Akibat fraktur tulang pelvis, terjadi robekan pars membranasea

karena prostat dengan urethra prostatika tertarik ke cranial bersama fragmen

fraktur, sedangkan urethra membranasea terikat di diafragma urogenital.

Ruptur urethra posterior dapat terjadi total atau inkomplit. Pada rupture total,

urethra terpisah seluruhnya dan ligamentum puboprostatikum robek sehingga

buli-bulidan prostat terlepas ke kranial.3

Fraktur yang mengenai ramus atau simfisis pubis dan menimbulkan

kerusakan pada cincin pelvis, menyebabkan robekan urethra pars prostato-

membranasea. Fraktur pelvis dan robekan pembuluh darah yang berada

didalam kavum pelvis menyebabkan hematoma yang luas pada kavum retzius

sehingga ligamentum pubo-prostatikum ikut terobek, prostat beserta buli-buli

akan terangkat ke kranial.3

a. Klasifikasi

Menurut Colapinto dan McCollum (1977) cedera urethra posterior dapat

diklasifikasikan berdasarkan luas cederanya, yaitu:

Tipe I : Cedera tarikan urethra.

Tipe II : Cedera pada proksimal diafragma urethra.

Tipe II : Cedera urethra pada proksimal dan distal diafragma

genitourinaria.

18
The American Asosiasi for Surgery Trauma (AAST) mengusulkan

klasifikasi trauma urethra seperti pada tabel berikut:

Tabel 2.1 Organ injury scaling III classification of urethral injury

b. Diagnosis

1) Gambaran klinis

Secara klinis, ruptur urethra posterior akan memberikan gambaran

klinis yang khas berupa trias: 1) adanya darah di meatus urethra, 2)

retensi urin, dan 3) kandung kemih teraba penuh. Jumlah perdarahan

meatus tidak berkorelasi dengan keparahan cedera. Hematoma perineum

atau pembengkakan dari ekstravasasi urin dan darah juga dapat dilihat.

Ketika darah di meatus urethra ditemukan, maka disarankan untuk

mendapatkan urethrogram retrograde segera untuk menyingkirkan

cedera urethra. Jika temuan normal, kateter urethra boleh dipasang. Jika

terdapat gambaran cedera urethra, pasien dibawa ke ruang operasi untuk

19
pemasangan kateter urine suprapubik, eksplorasi kandung kemih, dan

perbaikan cedera kandung kemih jika ada.7

High riding prostat merupakan tanda klasik yang biasa ditemukan

pada ruptur urethra posterior. Hematoma pada pelvis, ditambah dengan

fraktur pelvis kadang-kadang menghalangi palpasi yang adekuat pada

prostat yang ukurannya kecil. Sebaliknya terkadang apa yang dipikirkan

sebagai prostat yang normal mungkin adalah hematoma pada pelvis.

Pemeriksaan rektal lebih penting untuk mengetahui ada tidaknya jejas

pada rektal yang dapat dihubungkan dengan fraktur pelvis. Darah yang

ditemukan pada jari pemeriksa menunjukkan adanya suatu jejas pada

lokasi yang diperiksa.7

2) Pemeriksaan Radiologi

Diagnosis trauma urethra dilakukan dengan pemeriksaan

urethrography retrograde, yang harus dilakukan sebelum pemasangan

kateter urethra untuk menghindari cedera lebih lanjut pada urethra.

Ekstravasasi kontras menunjukkan lokasi robekan. Pengelolaan

selanjutnya didasarkan pada temuan urethrography dan kondisi

keseluruhan pasien.5

20
Gambar 2.6 Urethrogram
Gambar 2.5 Urethrogram
menunjukkan ruptur urethra
menunjukkan ruptur urethra Komplit
parsial

3) Pemeriksaan Urethroscopy

Uretroscopy tidak memiliki peran dalam diagnosis awal

trauma urethra posterior pada laki-laki. Namun hal itu mungkin

memberikan informasi yang berguna dalam evaluasi gangguan parsial dari

21
urethra anterior distal. Pada wanita, urethroscopy mungkin merupakan

tambahan penting untuk identifikasi dan stadium cedera urethra.5

d. Tatalaksana

1) Ruptur urethra parsial

Ruptur urethra parisial, adanya robekan sebagian dari urethra posterior

harus dikelola dengan kateter suprapubik atau urethra. Urethrography

harus dilakukan pada interval 2 minggu sampai terjadinya penyembuhan.

Sebagian robekan dapat sembuh sendiri tanpa jaringan parut atau obstruksi

yang bermakna. Sisa ruptur atau striktur selanjutnya harus dikelola dengan

dilatasi urethra atau urethrotomy optik jika pendek dan tipis, dan dengan

urethroplasty anastomotic jika padat atau panjang.5

2) Ruptur urethra komplit

Ruptur urethra posterior yang komplit harus dikelola dengan kateter

suprapubik. Masih ada kontroversi antara yang mendukung intervensi

awal untuk mereposisi urethra dan menguras hematoma pelvis dan yang

mendukung cystostomy suprapubik awal saja dengan penundaan

perbaikan dari defek urethra.

Pengobatan akut meliputi:

1) Primary Endoscopy Realigment ; biasanya dilakukan selama 10 hari

pertama setelah cedera. Dilakukan repair yang membutuhkan

pemasangan kateter suprapubik pada saat cedera awal. Reposisi

22
internal bertujuan untuk memperbaiki cedera yang berat dan mencegah

striktur.

2) Immediate Open Urethroplasty (<48 jam setelah cedera); Namun, ini

adalah eksperimental dan karena itu tidak diindikasikan karena

visualisasi yang buruk dan ketidakmampuan untuk menilai gangguan

urethra selama fase akut karena pembengkakan luas dan ekimosis.

Inkontinensia (21%) dan impotensi (56%) tingkatnya lebih tinggi

dibandingkan dengan teknik lain. Namun, cedera urethra posterior

yang berhubungan dengan leher kandung kemih bersamaan dengan

cedera rectal, harus segera dilakukan eksplorasi terbuka, perbaikan

dan mereposisi urethra dengan kateter.9

3) Delayed urethral reconstruction

Rekonstruksi urethra dikerjakan dalam 3 bulan. Diduga pada saat ini

tidak ada abses pelvis atau bukti lain dari infeksi pelvis. Sebelum

rekonstuksi, dilakukan kombinasi sistogram dan uretrogram untuk

menentukan panjang sebenarnya dari striktur urethra. Panjang striktur

biasanya 1-2 cm dan lokasinya dibelakang dari tulang pubis. Metode yang

dipilih adalah “single-stage reconstruction” pada ruptur urethra dengan

eksisi langsung pada daerah striktur dan anastomosis urethra pars bulbosa

ke apeks prostat lalu dipasang kateter urethra ukuran 16 F melalui

sistotomi suprapubik. Kira-kira 1 bulan setelah rekonstuksi, kateter urethra

dapat dilepas. Sebelumnya dilakukan sistogram, jika sistogram

memperlihatkan urethra utuh dan tidak ada ekstravasasi, kateter

23
suprapubik dapat dilepas. Jika masih ada ekstravasasi atau striktur, kateter

suprapubik harus dipertahankan. Uretrogram dilakukan kembali dalam 2

bulan untuk melihat perkembangan striktur.5

Penanganan pasien yang optimal tidak hanya didasarkan atas pilihan

delayed repair atau “early repair” tetapi berdasarkan penilaian keadaan

klinis awal. Intervensi harus dipandu oleh keadaan klinis.

24
Asosiasi Urologi Eropa (EAU) memberikan pedoman penanganan cedera

urethra sesuai algoritma berikut:

25
e. Komplikasi

Komplikasi pada ruptur urethra posterior: Striktur, impotensi, dan

inkotinensia urin merupakan komplikasi rupture prostatomembranosa

paling berat yang disebabkan trauma pada sistem urinaria. Striktur yang

mengikuti perbaikan primer dan anastomosis terjadi sekitar 50% dari

kasus.Jika dilakukan sistotomi suprapubik, dengan pendekatan “delayed

repair” maka insidens striktur dapat dikurangi sampai sekitar 5%. Insidens

impotensi setelah “primary repair”, sekitar 30-80% (rata-rata sekitar

50%).Hal ini dapat dikurangi hingga 30-35% dengan drainase suprapubik

pada rekontruksi urethra tertunda. Jumlah pasien yang mengalami

inkotinensia urin <2 % biasanya bersamaan dengan fraktur tulang sakrum

yang berat dan cedera nervus S2-4.8

F. PROGNOSIS

Prognosis pada pasien dengan ruptur urethra ketika penanganan awal baik

dan tepat akan lebih baik. Ruptur urethra anterior mempunyai prognosis yang

lebih baik ketika diketahui tidak menimbulkan striktur urethra karena apabila

terjadi infeksi dapat membaik dengan terapi yang tepat. Sedangkan pada

ruptur urethra posterior ketika disertai dengan komplikasi yang berat maka

prognosis akan lebih buruk.9

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Schreiter F, et al. Reconstruction of the bulbar and membranous urethra. In :


Schreiter F, et al, editors. Urethral reconstructive surgery.Germany : Springer
Medizin Verlag Heidelberg; 2006 . p.107-20
2. Smith, J.W & Grabb C.W, 2009. Plastic Surgery 9th Edition oleh Emil A.
Tanagho, Donald Ridgeway Smith, Jack W. McAninch, Brown and Company,
Boston.USA
3. Purnomo, Basuki B. 2003. Dasar-dasar urologi. Edisi 3. Jakarta : Sagung Seto
4. Sjamsuhidayat R, Jong W. 2005. Buku ajar ilmu bedah. Ed.2. EGC: Jakarta.
5. Pineiro LM, Djakov M, Plas E, et al. 2010. EAU guidelines on urethral
trauma. European Urology 57 (2010) 79-803.
6. Rosenstein, Daniel I, Alsikafi NF. 2006. Diagnosis and clasification of
uretrhal injuries. Urologic Clinic of North America. 33 (2006) 73-85.
7. Wein AJ, Kavoussi LR, Novick AC, Partin AW, Peters CA. Campbell-walsh
urology. 9th Edition. Philadelphia : Saunders elsevier; 2007
8. Tanagho EA, et al. Injuries to the genitourinary tract. In : McAninch, editor.
Smith’s general urology.17th Edition. United States of America : Mc Graw
Hill; 2008. p.278-9
9. Palinrungi AM. Lecture notes on urological emergencies & trauma. Makassar:
Division of Urology, Departement of Surgery, Faculty of Medicine,
Hasanuddin University; 2009. p. 131-6
10. Snell, Richard S. 2006. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. Ed. 6.
EGC: Jakarta
11. Hansen, John T. 2005. Netter’s clinical anatomy. 2nd Edition. Philadelpia :
Elseivers Sanders

27

Anda mungkin juga menyukai