Anda di halaman 1dari 8

Patogenesis dan Patologi

Membran dan isi sel-sel eritrosit diterima oleh sirkulasi perifer selama siklus
skizogoni.Tubuh mengeluarkan produk-produk asing dan respon fagosit yang
disebabkan oleh adanya pigmen malaria. Makrofag dalam system retikuloendotelial
dan dalam sirkulasi menangkap pigmen dan menyebabkan warna agak kelabu pada
sebagian besar jaringan dan organ tubuh. Kaskade pembekuan darah dan kinin
vasoaktif dapat teraktifasi oleh karena adanya pirogen yang masuk ke sirkulasi
skizogoni.

Patogenesis malaria lebih ditekankan pada terjadinya peningkatan


permeabilitas pembuluh darah daripada koagulasi intravaskular. Biasanya anemia
disebabkan oleh karena saat siklus skizogoni eritrosit mengalami kerusakan. Beratnya
anemia yang tidak sebanding dengan parasitemia menunjukkan adanya kelainan
eritrosit selain yang mengandung parasit. Pada percobaan binatang dibuktikan adanya
gangguan transportasi natrium sehingga keluar dari eritrosit yang mengandung parasit
dan tanpa parasit malaria. Diduga terdapat toksin malaria yang menyebabkan
gangguan fungsi eritrosit dan sebagian eritrosit pecah saat melalui limpa dan
keluarlah parasit. Faktor lain yang menyebabkan terjadinya anemia mungkin karena
terbentuknya antibodi terhadap eritrosit. Bentuk khusus anemia hemolitik malaria
diantaranya berupa black water fever, yaitu bentuk malaria berat yang disebabkan
oleh Plasmodium falciparum, ditandai oleh hemolisis intravascular berat,
hemoglobinuria, kegagalan ginjal akut akibat nekrosis tubulus, disertai angka
kematian yang tinggi. Telah lama dicurigai bahwa kina dapat memprovokasi
terjadinya black water fever. Pada infeksi malaria, limpa akan membesar, mengalami
pembendungan dan pigmentasi sehingga mudah pecah. Dalam limpa dijumpai banyak
parasit dalam makrofag dan sering terjadi fagositosis dari eritrosit yang terinfeksi
maupun yang tidak terinfeksi. Pada malaria kronis terjadi hiperplasi dan retikulum
disertai peningkatan makrofag. Pada sindrom pembesaran limpa di daerah tropis atau
penyakit pembesaran limpa pada malaria kronis biasanya dijumpai bersama dengan
peningkatan kadar IgM, hal ini menimbulkan respons imunologis yang tidak lazim
pada malaria kronis.

Pada malaria juga terjadi pembesaran hepar, sel Kupffer – seperti sel dalam
sistem retikuloendotelial – terlibat dalam respon fagositosis. Sebagai akibatnya hati
menjadi berwarna kecoklatan agak kelabu atau kehitaman. Pada malaria kronis terjadi
infiltrasi difus oleh sel mononukleus pada periportal yang meningkat sejalan dengan
berulangnya serangan malaria. Hepatomegali dengan infiltrasi sel mononukleus
merupakan bagian dari sindrom pembesaran hati di daerah tropis. Nekrosis
sentrilobulus terjadi pada syok. Ginjal dan otak merupakan organ yang sering
diserang oleh malaria, contohnya pada malaria serebral otak dapat menjadi berwarna
kelabu karena adanya pigmen malaria, selain itu sering disertai edema dan hiperemis.
Perdarahan berbentuk petekia tersebar pada substansi putih otak dan dapat menyebar
sampai ke sumsum tulang belakang. Pada pemeriksaan mikroskopik, sebagian besar
dari pembuluh darah kecil dan menengah dapat terisi eritrosit yang telah mengandung
parasite dan dapat dijumpai bekuan fibrin, dan terdapat reaksi selular pada ruang
perivaskular yang luas. Terserangnya pembuluh darah oleh malaria tidak saja terbatas
pada otak tetapi juga dapat dijumpai pada jantung atau saluran cerna atau di tempat
lain dari tubuh, yang berakibat pada berbagai manifestasi klinik.

Pada ginjal selain terjadi pewarnaan oleh pigmen malaria juga dijumpai salah
satu atau dua proses patologis yaitu nekrosis tubulus akut dan/atau membran
proliferatif glomerulonefritis. Nekrosis tubulus akut dapat terjadi bersama dengan
hemolisis masif dan hemoglobinuria pada black water fever tetapi dapat juga terjadi
tanpa hemolisis, akibat berkurangnya aliran darah karena hipovolemia dan
hiperviskositas darah. Plasmodium falciparum menyebabkan nefritis sedangkan
Plasmodium malariae menyebabkan glomerulonefritis kronik dan sindrom nefrotik.
Patofisiologi

Gejala malaria timbul saat pecahnya eritrosit yang mengandung parasit.


Gejala yang paling mencolok adalah demam yang diduga disebabkan oleh pirogen
endogen, yaitu TNF dan interleukin-1. Akibat demam terjadi vasodilatasi perifer yang
mungkin disebabkan oleh bahan vasoaktif yang diproduksi oleh parasit. Pembesaran
limpa disebabkan oleh terjadinyan peningkatan jumlah eritrosit yang terinfeksi
parasit, teraktivasinya system retikuloendotelial untuk memfagositosis eritrosit yang
terinfeksi parasit dan sisa eritrosit akibat hemolisis. Juga terjadi penurunan jumlah
trombosit dan leukosit neutrofil. Terjadinya kongesti pada organ lain meningkatkan
resiko terjadinya ruptur limpa.

Anemia terutama disebabkan oleh pecahnya eritrosit dan difagositosis oleh


sistem retikuloendotelial. Hebatnya hemolisis tergantung pada jenis Plasmodium dan
status imunitas pejamu. Anemia juga disebabkan oleh hemolisis autoimun, sekuestrasi
oleh hemolisis berat dapat terjadi hemoglobinuria dan hemoglobinemia. Hiperkalemia
dan hiperbilirubinemia juga sering ditemukan. Kelainan patologis pembuluh darah
kapiler pada malaria tropika, disebabkan oleh karena sel darah merah yang terinfeksi
menjadi kaku dan lengket, sehingga perjalanannya dalam kapiler terganggu dan
mudah melekat pada endotel kapiler karena adanya penonjolan membran eritrosit.
Setelah terjadi penumpukan sel dan bahan pecahan sel, maka aliran kapiler terhambat
dan timbul hipoksi jaringan, terjadi gangguan integritas kapiler dan dapat terjadi
perembesan cairan bahkan perdarahan ke jaringan sekitarnya. Rangkaian kelainan
patologis ini dapat menimbulkan manifestasi klinis sebagai malaria serebral, edema
paru, gagal ginjal, dan malabsorpsi usus.

Pertahanan tubuh individu terhadap malaria dapat berupa faktor yang


diturunkan terutama penting untuk melindungi anak kecil/bayi karena sifat khusus
eritrosit yang relatif resisten terhadap masuk dan berkembang-biaknya parasit
malaria. Masuknya parasit tergantung pada interaksi antara organel spesifik pada
merozoit dan struktur khusus pada permukaan eritrosit. Sebagai contoh eritrosit yang
mengandung glikoprotein A penting untuk masuknya Plasmodium falciparum.
Individu yang tidak mempunyai determinan golongan darah Duffy (termasuk
kebanyakan negro Afrika) mempunyai resistensi alamiah terhadap Plasmodium vivax;
spesies ini mungkin memerlukan protein pada permukaan sel yang spesifik untuk
dapat masuk ke dalam eritrosit. Resistensi relatif yang diturunkan pada individu
dengan HbS terhadap malaria telah lama diketahui dan pada kenyataannya terbatas
pada daerah endemis malaria. Seleksi yang sama juga dijumpai pada hemoglobinopati
tipe lain, kelainan genetik tertentu dari eritrosit, thalassemia, defisiensi enzim G6PD
dan defisiensi pirufatkinase. Masing-masing kelainan ini menyebabkan resistensi
membran eritrosit atau keadaan sitoplasma yang menghambat pertumbuhan parasit.

Imunitas humoral dan seluler terhadap malaria didapat sejalan dengan infeksi
ulangan. Namun imunitas ini tidak mutlak dapat mengurangi gambaran klinis infeksi
ataupun dapat menyebabkan asimptomatik dalam periode panjang. Pada individu
dengan malaria dapat dijumpai hipergamaglobulinemia poliklonal, yang merupakan
suatu antibodi spesifik yang diproduksi untuk melengkapi beberapa aktivitas opsonin
terhadap eritrosit yang terinfeksi, tetapi proteksi ini tidak lengkap dan hanya bersifat
sementara bilamana tanpa disertai infeksi ulangan.Tendensi malaria untuk
menginduksi imunosupresi, dapat diterangkan sebagian oleh tidak adekuatnya respon
ini. Antigen yang heterogen terhadap Plasmodium mungkin juga merupakan salah
satu faktor. Monosit/ makrofag merupakan partisipan selular yang terpenting dalam
fagositosis eritrosit yang terinfeksi..

Manifestasi Klinis

Gejala malaria infeksi tunggal pada pasien non-imun terdiri atas beberapa
serangan demam dengan interval tertentu, hingga terdapat suatu periode bebas
demam. Gejala yang biasanya dialami pasien sebelum demam diantaranya lemah,
nyeri kepala, tidak ada nafsu makan, mual atau muntah. Pasien yang terinfeksi lebih
dari satu jenis Plasmodium , maka serangan demam terus-menerus, sedangkan
pejamu yang imun gejala klinisnya minimal.

Terdapat tiga stadium periode paroksisme diantaranya, stadium dingin (cold


stage), stadium demam (hot stage), dan stadium berkeringat (sweating stage). Periode
tersebut biasanya lebih sering terlihat pada pasien yang dewasa. Masa inkubasi terjadi
antara 9-30 hari tergantung pada spesies parasit. Plasmodium falciparum memiliki
masa inkubasi 10 hari pada malaria akibat transfuse darah. Plasmodium vivax 16 hari
dan Plasmodium malariae 40 hari atau lebih setelah transfuse. Secara alamiah masa
inkubasi penularan masing-masing spesies parasit diantaranya, Plasmodium
falciparum 12 hari, Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale 13-17 hari, dan
Plasmodium malariae 28-30 hari. Setelah masa inkubasi tersebut timbul gejala
demam yang terbagi dalam tiga stadium yaitu :

1. Stadium dingin
Gejala yang dialami pada stadium ini awalnya pasien akan merasa menggigil ,
kemudian gigi gemeretak dan biasananya tubuhnya ditutupi segala macam
pakaian. Nadi cepat tetapi lemah, bibir dan jari-jari pucat atau sianosis, kulit
kering dan pucat, pasien juga dapat mengalami muntah serta pada anak dapat
terjadi kejang. Lamanya stadium ini berlangsung 15 menit sampai 1 jam.
2. Stadium Demam
Lamanya stadium ini berlangsung sekitar 2-12 jam. Pasien mengalami
kepanasan setelah sebelumnya menggigil. Gejala lainnya muka merah, kulit
kering, dan terasa sangat panas seperti terbakar, nyeri kepala, sering juga
terjadi mual dan muntah. Nadi dapat menjadi kuat kembali. Pasien dapat
merasa sangat haus dan meningkat suhunya sampai 41⁰C atau lebih. Skizon
yang pecah dalamm sel darah merah yang telah matang dan masuknya
merozoit darah kedalam aliran darah menyebabkan timbulnya gejala demam.
Plasmodium vivax, dan Plasmodium ovale, merupakan spesies yang
mengalami kematangan skizon setiap 48 jam sekali, sehingga timbul demam
setiap hari ketiga terhitung dari serangan demam sebelumnya. Sedangkan
untuk Plasmodium malariae, demam terjadi pada 72 jam, sehingga disebut
malaria kuartana, serta pada Plasmodium falciparum setiap 24-48 jam.
3. Stadium Berkeringat
Manifestasi klinis pada stadium ini pasien akan berkeringat banyak sekali,
suhu badan akan menurun dengan cepat, terkadang sampai di bawah normal
namun setiap pasien tidak selalu sama. Gejala klinis berat terjadi pada malaria
tropika yang dapat berupa koma, kejang sampai gangguan fungsi ginjal.
Komplikasi berat dapat berupa black water fever, yaitu munculnya
hemoglobin pada urin sehingga menyebabkan warna urin berwarna tua atau
hitam, selain itu juga dapat muncul muntah yang berwarna seperti empedu.
Black water fever ini biasanya sering dialami oleh penderita malaria
Plasmodium falciparum.

Seringkali tidak muncul gejala klinis pada orang yang tinggal di daerah yang
endemisnya tinggi walau dalam darahnya mengandung parasit, karena imunitas yang
telah timbul setelah infeksi yang berulang. Pada serangan pertama yang berat atau
setelah beberapa serangan limpa biasanya membesar, tetapi semakin lama akan
mengecil kembali setelah diberi obat.

Malaria Tanpa Komplikasi

Pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun sering muncul malaria akut karena
kontrol malaria yang tidak efektif, tetapi menginduksi imunitas secara aktif. Semakin
besar anak tersebut gejala klinisnya akan menjadi lebih ringan. Infeksi akut dapat
terjadi pada anak besar yang mendapat kemoprofilaksis yang tidak sempurna atau
lupa minum obat pada saat masuk ke daerah endemis malaria. Semua usia dapat
terserang malaria saat tinggal di daerah yang hipoendemik terhadap malaria. Gejala
yang muncul awalnya dapat berupa letargik, anoreksia, mengantuk dan gelisah,
sampai nyeri kepala dan mual. Yang selalu dijumpai adalah demam, sedangkan yang
jarang ditemukan ialah muntah, nyeri perut, dan diare. Pembesaran hati biasanya
terjadi pada awal perjalanan penyakit, biasanya lebih sering terjadi daripada
pembesaran limpa. Hati biasanya lunak dan terus membesar sesuai progresifitas
penyakit, namun fungsinya jarang terganggu dibandingkan dengan orang dewasa.
Ikterus dapat dijumpai pada beberapa anak, terutama berhubungan dengan hemolysis.
Kadar transaminase darah sedikit meningkat untuk waktu singkat.

Biasanya limpa yang membesar dapat diraba pada minggu kedua. Limpa
dapat sangat besar dengan konsistensi keras pada anak yang telah mengalami
serangan berulang. Pada infeksi akut, beratnya anemia berhubungan langsung dengan
derajat parasitemia. Malaria tertiana mempunyai gejala yang lebih berat dibandingkan
Malaria ovale. Anak menjadi gelisah, anoreksia pada akhir masa inkubasi. Demam
periodic tiap 48 jam tetapi stadium dingin dan menggigil jarang dijumpai pada bayi
dan balita. Selama periode demam, anak selalu merasa dingin, dan menggigil dalam
waktu singkat. Demam sering terjdai pada sore hari. Pada anak jarang terjadi
parasitemia berat, terdapa kurang dari 2%. Malaria tertian dan ovale jarang disertai
anemia berat. Terkadang dapat ditemukan bilirubin total yang meningkat disertai
ikterus. Kadar transaminase dapat meningkat sedikit dalam waktu singkat. Pada
minggu kedua limpa dapat teraba karena bertambah besar. Pada usia 6 bulan sampai 5
tahun kejang dapat terjadi saat demam tinggi. Kematian pada anak sangat jarang
terjadi, dapat terjadi apabila disertai berbagai penyakit lain yang berat, gizi buruk, dan
anemia berat. Pada malaria tertian dan ovale bentuk dormant dari parasit dapat tetap
berada dalam hati dan dapat menyebabkan relaps. Gambaran klinis malaria kuartana
menyerupai malaria tertian, hanya periode demam terjadi tiap 72 jam. Pada usia 2
sampai 12 tahun dapat terjadi sindrom nefrotik. Gejala yang ditemukan pada sindrom
nefrotik tersebut diantaranya edema berat, proteinuria berat yang menetap,
hipoproteinemia berat dengan asites. Serum albumin kurang dari 2g/dL. Biasanya
tekanan darah normal dan tidak jelas adanya azotemia dan hematuria.

Malaria Berat
Malaria ini biasanya disebabkan oleh Plasmodium falciparum stadium aseksual.
Dikatakan malaria berat apabila disertai satu atau lebih kelainan tertera dibawah ini :

1. Malaria serebral dengan kesadaran menurun (delirium, stupor, koma)


2. Anemia berat, kadar hemoglobin <5g/dL
3. Dehidrasi, gangguan asam basa dan gangguan elektrolit
4. Gagal ginjal
5. Hipoglikemia berat
6. Edema paru akut
7. Kegagalan sirkulasi
8. Kecenderungan terjadi perdarahan
9. Hiperpireksia
10. Hemoglobinuria/ Black water fever
11. Ikterus
12. Hiperparasitemia

Anda mungkin juga menyukai