Anda di halaman 1dari 24

A.

Konsep Dasar

1. Definisi

Amputasi adalah sebuah tindakan yang dilakukan untuk mengobati luka cedera,

kanker, gangrene tungkai yang meluas, dan penyakit pembuluh darah yang

mengancam nyawa atau nyeri saat istirahat. Walaupun alat protesis dapat

mengembalikan fungsi setelah amputasi dilakukan, hilangnya bagian tubuh yang

terlihat menyebabkan masalah emosional yang tidak terjadi pada operasi-operasi

lainnya (Black & Hawks, 2014).

Bagian anggota tubuh yang diamputasi bertujuan untuk mengobati penyakit

vascular perifer, trauma, tumor, infeksi atau anomali kongenital. Tindakan amputasi

ini sebagai altenatif untuk menyelamatkan anggota gerak yang dilakukan sesuai

prosedur rekonstruksi, dikarenakan hal ini berkaitan dengan permasalahan psikologis

dan perubahan citra tubuh maka hal itu memerlukan kerjasama dari multidisiplin

ilmu (Miller, 2008).


2. Etiologi

Klien dengan penyakit vascular perifer adalah kandidat tersering untuk amputasi

pada ekstermitas bawah. Penyakit diabetes mellitus merupakan penyebab utama

penyumbatan pembuluh darah dan berhubungan lebih dari 55% dari sebagian besar

amputasi pada klien dengan penyakit penyumbatan pembuluh darah ekstermitas

bawah (Black & Hawks, 2014). Selain itu gangren, tumor ganas, infeksi dan

arterosklerosis (Permana, 2014).

Cedera akibat trauma juga merupakan penyebab tersering dilakukan amputasi

(Black & Hawks, 2014). Amputasi traumatik ekstermitas bawah merupakan

karakteristik dari beberapa cedera tubrukan akibat terjepit, percobaan bunuh diri, atau

kecelakaan lalu lintas pada pejalan kaki (Kneale&Davis, 2011).

3. Jenis Amputasi

a. Amputasi selektif/ terencana

Amputasi jenis ini dilakukan pada penyakit yang diagnosis dan mendapat

penanganan yang baik serta terpantau secara terus-menerus. Amputasi dilakukan

sebagai salah satu tindakan alrternatif terakhir.

b. Amputasi akibat trauma

Merupakan amputasi yang terjadi akibat trauma dan tidak direncanakan. Kegiatan

tim kesehatan adalah memperbaiki kondisi lokasi amputasi serta memperbaiki

lokasi umum klien.


c. Amputasi darurat

Kegiatan amputasi dilakukan secara darurat oleh tim kesehatan. Biasanya

merupakan tindakan yang memerlukan kerja yang cepat seperti trauma dengan

patah tulang multiple dan kerusakan/ kehilangan kulit yang luas.

Jenis Amputasi yang dikenal:

a. Amputasi terbuka

Amputasi terbuka dilakukan pada kondisi infeksi yang berat dimana pemotongan

pada tulang dan otot pada tingkat yang sama.

b. Amputasi tertutup

Amputasi tertutup dilakukan dalam kondisi yang lebih memungkinkan

dimana dibuat skaif kulit untuk menutup luka yang dibuat dengan memotong

kurang lebih 5 sentimeter dibawah potongan otot dan tulang.

Setelah dilakukan tindakan pemotongan, maka kegiatan selanjutnya

meliputi perawatan luka operasi/ mencegah terjadinya infeksi, menjaga kekuatan


otot/ mencegah kontraktur, mempertahankan intaks jaringan dan persiapan untuk

penggunaan protesa (mungkin) (Permana, 2014).

4. Patofisiologi

Infeksi, DM, dsb Penurunan suplai oksigen

Kerusakan pembulu kapiler


Trauma/injury
Proliferasi sel abnormal
Fraktur multiple, Iskemik
combutio, dsb Tumor maligna

Kerusakan jaringan/ Nefrosis


ekstermitas yang tidak Tumor ganas di
mungkin diperbaiki ekstermitas
Terbentuk gangren (atas/bawah)

Risiko Infeksi Indikasi operasi/bedah Amputasi

Kehilangan salah satu Kurangnya perawatan diri Kehilangan anggota


anggota tubuh/ (mandi, sikat gigi, berpakaian) tubuh
ekstermitas

Kecacatan
Kesulitan untuk Defisit Perawatan Diri
melakukan aktivitas
Timbul rasa malu,
sehari-hari/mobilisasi
depresi, stres

Hambatan mobilitas fisik Gangguan citra tubuh

Post operasi

Luka Operasi
Proses penyembuhan

Terputusnya kontinuitas
jaringan
Tirah baring lama Kebutuhan
mobilisasi
Nyeri akut
Kerusakan integritas

(Nurarif & Kusuma, 2015)


5. Manifestasi Klinis

Gejala yang ditimbulkan setelah dilakukan tindakan amputasi adalah rasa nyeri

tunggul yang spontan dalam jangka panjang. Dampak masalah dalam sistem tubuh:

a. Kecepatan metabolisme

Jika seseorang dalam keadaan imobilisasi maka akan menyebabkan penekanan

pada fungsi simpatik serta penurunan katekolamin dalam darah sehingga

menurunkan kecepatan metabolisme basal.

b. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit

Adanya penurunan serum protein tubuh akibat proses katabolisme lebih besar

dari anabolisme, maka akan mengubah tekanan osmotic koloid plasma, hal ini

menyebabkan pergeseran cairan intravaskuler keluar ke ruang intestisial pada

bagian tubuh yang rendah sehingga menyebabkan edema. Imobilitas

menyebabkan sumber stressor bagi klien sehingga menyebabkan kecemasan yang

akan memberikan rangsangan ke hipotalamus posterior untuk menghambat

pengeluaran ADH, sehingga terjadi peningkatan diuresis.

c. Sistem respirasi

1) Penurunan kapasitas paru

Pada klien imobilisasi dalam posisi baring terlentang maka kontraksi otot

interkosta relative kecil, diafragma otot perut dalam rangka mencapai

inspirasi maksimal dan ekspirasi paksa


2) Perubahan perfusi setempat

Dalam posisi tidur terlentang, pada sirkulasi pulmonal terjadi perbedaan rasio

ventilasi dengan perfusi setempat, jika secara mendadak maka akan terjadi

peningkatan metabolisme (karna latihan atau infeksi) terjadi hipoksia.

3) Mekanisme batuk tidak efektif

Akibat imobilisasi terjadi penurunan kerja siliaris saluran pernapasan

sehingga sekresi mucus mempuk dan menjadi lebih kental dan mengganggu

gerakan siliaris normal.

d. Sistem kardiovaskuler

1) Peningkatan denyut nadi

Terjadi sebagai manifestasi klinis pengaruh faktor metabolic, endokrin dan

mekanisme pada keadaan yang menghasilkan adrenergic sering dijumpai

pada pasien imobilisasi.

2) Penurunan cardiac reserve

Dibawah pengaruh adrenergic denyut jantung meningkat, hal ini

mengakibatkan waktu pengisian diastolic memendek dan penurunan isi

sekuncup.

3) Orthostatis hipotensi

Pada keadaan imobilisasi terjadi perubahan sirkulasi perifer, dimana anterior

dan venula tungkai berkontraksi tidak adekuat, vasodilatasi lebih panjang dari

pada vasokontriksi sehingga darah banyak berkumpul di ekstermitas bawah,

volume darah yang bersiskulasi menurun, jumlah darah ke ventrikel saat

diastolik tidak cukup untuk memenuhi perfusi ke otak dan tekanan darah
menurun, akibatnya klien merasa pusing saat bangun tidur serta dapat juga

merasakan pingsan

e. Sistem muskuluskeletal

a) Penurunan kekuatan otot

Dengan adanya imobilisasi dan gangguan sistem vaskuler memungkinkan

suplai o2 dan nutrisi sangat berkurang pada jaringan, demikian pula dengan

pembuangan sisa metabolisme akan terganggu sehingga menjadikan

kelelahan otot.

b) Atropi otot

Karna adanya penurunan stabilitas dari anggota gerak dan adanya penurunan

fungsi pensarapan hal ini menyebabkan terjadinya atropi dan paralisis otot.

c) Kontraktur sendi

Kombinasi dari adanya atropi dan penurunan otot serta adanya keterbatasan

gerak.

d) Osteoporosis

Terjadinya penurunan metabolisme kalsium. Hal ini menurunkan

pensenyawaan organic dan anorganik sehingga masa tulang menipis dan

tulang menjadi keropos.

f. Sistem pencernaan

a) Anoreksi

Akibat penurunan dari sekresi kelenjar pencernaan dan mempengaruhi sekresi

kelenjar pencernaan dan mempengaruhi perubahan sekresi serta penurunan

kebutuhan kalori yang menyebabkan menurunnya nafsu makan.


b) Konstipasi

Meningkatnya jumlah adrenergic akan menghambat peristaltic usus dan

spinter anus akan menjadi konstriksi sehingg reabsorsi cairan meningkat

dalam kolon, menjadikan feses lebih keras dan orang sulit buang air besar.

g. Sistem perkemihan

Dalam kondisi tidur terlentang renal pelvis ureter dan kandung kencing berada

dalam keadaan sejajar, sehingga aliran urin harus melawan gaya gravitasi, pelvis

renal banyak menahan urin sehingga dapat menyebabkan:

a) Akumulasi endapan urin di renal pelvis akan mudah membentuk batu ginjal.

b) Tertahannya urin pada ginjal akan menyebabkan berkembang biaknya kuman

dan dapat menyebabkan ISK.

h. Sistem integument

Tirah baring yang lama, maka tubuh bagian bawah seperti punggung dan bokong

akan tertekan sehingga akan menyebabkan penurunan suplai darah dan nutrisi ke

jaringan. Jika hal ini dibiarkan akan terjadi iskemia, hiperemisis dan akan normal

kembali jika tekanan dihilangkan dan kulit di masase untuk meningkatkan suplai

darah.

(Nurarif & Kusuma, 2015)

6. Pemeriksaan Penunjang

a. Foto rontge : mengidentifikasi abnormalitas tulang.

b. Scan C : mengidentifikasi lesi neoplastic, osteomyelitis, pembentukan

hematoma

c. LED : mengidentifikasi respon inflamasi


d. Kultur luka : mengidentifikasi adanya luka/infeksi dan organisme penyebab.

e. Biopsy : mengkonfirmasikan diagnosa masa benigna/maligna.

(Nurarif & Kusuma, 2015)

7. Komplikasi

a. Nyeri-sensasi nyeri dirasakan diseluruh bagian yang diamputasi, hal ini terjadi

dihampir seluruh orang dewasa yang telah mengalami amputasi. Biasanya

berkurang seiring berjalannya waktu. Rasa nyeri seperti terbakar, sensasi nyeri

ini terasa didalam tulang yang diamputasi. Penyebab umum dari bagian yang

terasa sakit adalah kompleks (refleks simpatik) atau causalgia.

b. Pembengkakan post operasi terjadi setelah amputasi. Hal ini dapat menghambat

penyembuhan luka dan membuat ketegangan pada jaringan. Balutan yang keras

dan tekanan yang lembut dapat membantu dalam mengurangi permasalahan

tersebut. Pembengkakan yang terjadi setelah peradangan pada bagian yang telah

diamputasi biasanya disebabkan oleh balutan yang buruk, permasalahan medis,

atau trauma. Pembengkakan yang kronis dapat menyebabkan hyperplasia

verrucosa, pertumbuhan kulit dengan pigmentasi dan pelepasan serosa. Hal ini

harus ditangani dengan balutan total, hal ini dapat mengurangi pembengkakan.

c. Kontraktur sendi, komplikasi ini sering kali ditemui pada kontraktur pinggang,

fleksi pinggang dan lutut dimana pada penatalaksanaan operasinya dengan

menempelkan otot berturut-turut ke sendi-sendi pada posisi yang difleksikan.

Kontraktur sendi dapat dicegah dengan memastikan bahwa tungkai yang akan

diamputasi dalam posisi yang tepat.


d. Luka sulit untuk sembuh. Komplikasi ini sering kali terjadi pada pasien dengan

penyakit diabetes dan vascular. Jika lukanya tidak membaik dengan perawatan

terbuka terbuka. Mengksisi jaringan lunak dan tulang dengan penutut dan tanpa

peregangan merupakan treatmen yang lebih dianjurkan

B. Asuhan Keperawatan

1. Pra Operasi

Hal-hal yang dikaji pada fase praoperatif adalah sebagai berikut:

a. Penyebab pasien mendapat intervensi amputasi kaki.

b. Faktor-faktor yang meningkatkan komplikasi intervensi amputasi. Terutama

kondisi status kardiovaskular, seperti adanya anemia dan trombositopenia yang

sering terjadi pada pasien dengan kerusakan jaringan yang luas; fraktur multipel;

dan kondisi keganasan tulang ekstremitas bawah yang memberikan komplikasi

serius selam pembedahan. Implikasi keperawatan yang dilakukan dengan

mengkaji pemeriksaan laboratorium menilai kadar hemoglobin dan trombosit.

c. Status nyeri pasien apabila didapatkan nyeri yang tak tertahankan perlu untuk

kolaborasi dengan medic untuk pemberian analgessik narkotik.

d. Respon psikologis dan pengetahuan pasien tentang pembedahan .

e. Pengkajiam lokal (Musttaqin & Sari, 2009).

Pengkajian praoperasi banyak dilakukan. Tim rehabilitasi juga membuat

rencana perawatan individu yang lebih memusatkan perhatian pada klien secara

keseluruhan dibandingkan pada penyakit atau hilangnya tungkai. Sebelum

diamputasi, dokter bedah dan tim rehabilitasi mempertimbangkan hal-hal sebagai

berikut :
Kondisi fisik klien : kondisi fisik berikut dapat memprediksikan rehabilitasi

yang akan dijalani. Usia klien, kemampuan untuk dapat berjalan kembali atau

tetap dapat berjalan, tingkat pemahaman klien, kesediaan klien untuk

berpartisipasi dalamn program rehabilitasi, dan kondisi klien sebelum sakit

(seperti adanya gangguan mental kronis dan progresif, masalah neurologis,

penyakit obstruktif paru kronis, atau penyakit jantung dengan gagal jantung atau

angina) (Black & Hawks, 2014).

Tipe amputasi yang dilakukan : Ada dua tipe prosedur amputasi: amputasi

terbuka atau guilotin, dan amputasi tertutup atau telekap. Indikasi utama

dilakukannya amputasi guilotin adalah infeksi. Pada amputasi terbuka, dokter

bedah tidak segera menutup celah luka dengan transplantasi kulit namun dibiarkan

terbuka pada ujungnya untuk drainase. Obat-obat antibiotik diberikan. Saat infeksi

sudah diatasi secara tuntas, klien akan menjalani operasi selanjutnya untuk

penutupan celah luka (Black & Hawks, 2014).

Saat amputasi telekap dilakukan, dokter bedah menutup atau membungkus

celah dengan lapisan kulit yang ditransplantasikan hingga menutupi tepi celah.

Tipe amputasi ini adalah yang paling umum dilakukan saat tidak adanya infeksi

dan, oleh sebab itu, drainase, terbuka tidak diperlukan. Akan tetapi, dokter bedah

dapat memasukkan drainase kecil untuk mempercepat penyembuhan luka (Black

& Hawks, 2014).

Tingkatan amputasi yang diperlukan. Tingkat amputasi pada ekstremitas

manapun haruslah sebisa mungkin di bagian terdistal. Arteriografi digunakan

untuk membantu dokter memutuskan tingkat amputasi. Klien dengan amputasi di


bawah lutut (bahkan bilateral) akan mencapai fungsi mandiri lebih baik dengan

penggunaan alat prostesis dibandingkan apabila diamputasi di atas lutut (Black &

Hawks, 2014).

Perilaku umum klien terhadap amputasi. Perilaku terhadap amputasi banyak

bergantung pada usia dan kedewasaan klien. Klien berusia muda kemungkinan

besar akan menolak amputasi walaupun amputasi akan memperbaiki fungsi tubuh

mereka. Untuk beberapa orang, pemikiran akan amputasi mencetuskan konflik

dengan gambaran diri. Sebaliknya beberapa klien yang menderita nyeri iskemik

kronis menerima amputasi dengan terbuka. Klien-klien ini lebih memikirkan

untuk menghilangkan sumber nyeri daripada pada perubahan gambaran dan fungsi

tubuh (Black & Hawks, 2014).

Pemeriksaan diagnostik meliputi pemeriksaan darah dan radiografi. Klien juga

harus menjalani arteriografi untuk menentukan tingkat aliran darah pada

ekstremitas. Doppler digunakan untuk mengukur kecepatan aliran darah, dan

kadar oksigen pada jaringan transkutan. Alat ini dapat membantu untuk

menentukan tingkat amputasi dengan penyembutan cepat (Black & Hawks, 2014).

Pengkajian

Lakukan pengkajian praoperasi dan berikan dukungan kepada klien dan

keluarga dalam melewati nyeri, penderitaan yang dirasakan dan keputusan yang

diambil sehingga klien dapat mempersiapkan diri dengan amputasi secara fisik

dan psikologi. Jika saat amputasi dilakukan terjadi infeksi, berikan antibiotik dan

monitor adanya sepsis (perubahan status mental, demam, dan menggigil,

peningkatan nyeri, atau bau dari luka, dan peningkatan jumlah sel darah putih).
Jika klien mengalami infeksi pada tungkai yang akan diamputasi, hal yang

penting adalah bagian tungkai lainnya tidak terluka atau terkena infeksi. Ulkus

yang terdapat pada telapak kaki sangatlah berbahaya, sehingga naikkan tungkai

untuk menghilangkan tekanan pada telapak kaki. Klien dengan diabetes harus

memonitor ketat kadar gula darah karena infeksi dapat mengacaukan regulasi

darah. Rencanakan program rehabilitasi untuk menjaga atau meningkatkan

kekuatan lengan atas. Ajari klien untuk menggunakan restok gantung dan pagar

pengaman tempat tidur untuk bergerak mandiri. Pertahankan atau tingkatkan

nutrisi untuk membantu proses penyembuhan. Klien berusia tua dapat memiliki

beberapa masalah yang dapat menyebabkan kondisi malnutrisi. Konsultasikan

kepada ahli gizi untuk mengevaluasi asupan nutrisi dan pengajaran tentang

kebutuhan kalori dan protein (Black & Hawks, 2014).

1. Diagnosis. Resiko terhambatnya penyembuhan pascaoperasi yang berhubungan

dengan kondisi kesehatan lainnya.

Hasil yang diharapkan. Risiko terhambatnya penyembuhan pascaoperasi dapat

diminimalkan.

Intervensi. Klien dengan diabetes mellitus merupakan kelompok bedah berisiko

tinggi dan membutuhkan pengkajian rutin kadar gula darah. Kadar gula darah

dapat kembali normal dengan pemeriksaan rutin kadar gula darah (misalkan

4x/hari) dan pemberian insulin untuk penurunan progresif kadar gula dengan skala

geser. Klien dnegan ulkus pada kaki atau osteomielitis dapat diobati dengan

perawatan luka, antibiotik, dan elevasi kaki ketika istirahat. Klien malnutrisi akan

diberi asupan makanan tinggi protein atau makanan dapat diberikan melalui slang
makanan. Suplemen vitamin dan mineral juga baik bila diberikan. Klien anemia

berat membutuhkan preparat besi dan tranfusi darah. Klien yang mengalami

dehidrasi harus mendapatkan cairan intravena sebelum dioperasi untuk menjaga

keseimbangan kadar cairan tubuh.

2. Diagnosis. Kecemasan yang berhubungan dengan kehilangan tungkai,

perubahan mobilitas, kehilangan kemampuan independen, nyeri, perubahan

bentuk, serta ketakutan akan yang dirasakan setelah amputasi.

Hasil yang diharapkan. Klien dapat mengatasi kecemasannya dengan berdiskusi

terbuka tentang yang dirasakann dan menunjukkan perbaikan kecemasan sebelum

operasi dilakukan.

Intervensi. Lakukan komunikasi terbuka dan jujur. Biarkan klien

mengekspresikan ketakutan dan perasaannya perihal hilangnya salah satu

ekstremitas. Tanyakan anggota keluarga lain mengenai apa yang mereka rasakan

mengenai amputasi dan bagaimana persepsi mereka terhadap respons klien akan

hal itu. Para pekerja sosial atau psikolog mungkin perlu dilibatkan bila respons

klien kurang baik.

3. Diagnosis. Nyeri akut berhubungan dengan iskemik tungkai.

Hasil yang dihgarapkan. Klien merasakan kenyamanan yang lebih baik, yang

dibuktikan dengan menyatakan hal tersebut dan menunjukkan terlihat dari

peredaan nyeri, pengurangan dosis opioid yang digunakan (misalkan: nyeri dapat

dikontrol tanpa kenaikan dosis obat), kemampuan untuk bergerak bebas, tidur atau

beristirahat.
Intervensi. Berikan obat-obatan analgesik bila diperlukan untuk meredakan nyeri.

Berikan juga alat pendukung, seperti penggunaan papan kaki dan bantalan untuk

mencegah tekanan pada tungkai yang cedera atau iskemik. Jaga tungkai yang

iskemik agar tetap hangat dengan cara membungkus tungkai memakai sepatu bot

vaskular berbahan domba.

4. Diagnosis. Kurang pengetahuan mengenai harapan setelah operasi dilakukan.

Hasil yang diharapkan. Klien dapat memahami rejimen pascaoperasi.

Interversi. Klien ingin mengetahui apa yang dapat diharapkan setelah menjalani

operasi dan apa yang diharapkan dari tenaga medis profesional. Ketahui bahwa

klien adalah bagian terpenting dari sebuah tim rehabilitasi. Untuk meraih

kemandirian, ajari klien mengenai hal-hal berikut ini:

 Latihan tungkai dan lengan beberapa kali per hari

 Batasi gerakan yang menopang berat badan (terutama pada tungkai yang

diamputasi) sampai diperbolehkan

 Pelajari bentuk ekstremitas setelah diamputasi dan penggunaan alat prostesis

Kuasasi penggunaan alat prosthesis

(Black & Hawks, 2014).

2. Pasca Operasi

Setelah operasi selesai, dokter bedah akan membalut dengan kassa seluruh

bagian paling distal dari batas amputasi. Umumnya yang digunakan adalah balutan

yang bersifat kaku (biasanya gips) yang memberikan tekanan merata di seluruh

bagian distal dari batas amputasi. Gips melindungi bagian ini dari cedera dan

mengurangi pembengkakan dengan cara memberi tekanan pada jaringan. Kantung


yang berada pada bagian distal gips aka disambungkan ke tiang. Tiang ini merupakan

alat sambungan tungkai yang kaku dan dapat disesuaikan, bagian proksimal dari tiang

ini menempel pada kantung gips di bawah lutut atau sampai ke bagian atas lutut dari

prostesis. Ujung distal gips ini menyambung sampai ke pergelangan kaki. Balutan

kaku biasanya diganti tiga sampai empat empat kali sebelum akhirnya permanen

prostesis dipasang. Penggantian gips diperlukan oleh karena ekstremitas yang

diamputasi perlahan akan memendek sejalan dengan proses penyembuhan sehingga

tekanan dari gips sudah tidak adekuat (Black & Hawks, 2014).

Edema yang terjadi dapat dikontrol dengan cara meninggikan ekstremitas yang

diamputasi pada 24 jam pertama setelah operasi. Kemudian, posisikan rata dengan

tempat tidur untuk mengurangi kontraktur panggul. Pembengkakan ini juga dapat

dikontrol dengan teknik pembungkusan ekstremitas yang diamputasi. Pada amputasi

bawah lutut, lutut dimobilisasi untuk menghindari fleksi sendi. Penyangga tempat

tidur dipasang untuk membantu klien melatih kekuatan lengan atas dan pundak

(Black & Hawks, 2014).

a. Pengkajian.

Setelah diamputasi, perawatan pascaoperasi umum diberikan. Perhatikan

adanya perdarahan, rembesan atau darah yang mengalir. Bila terlihat, perhatikan

drainase, termasuk saat aliran merembes pada prostesis atau balutan. Jika aliran

berasal dari luka , monitor ketat jumlah dan jenis drainase (Black & Hawks,

2014).

Manajemen pascaoperasi pada nyeri akut sangatlah penting. Pengkajian dan

manajemen nyeri operasi akut dilakukan sama seperti teknik yang digunakan pada
klien pascaoperasi lainnya. Untuk mencegah peningkatan nyeri, perawat akan

berhati-hati menangani ekstremitas yang diamputasi saat mengkaji area atau

drainase di bawah balutan atau ekstremitas yang diamputasi (Black & Hawks,

2014).

Oleh karena kondisi-kondisi penyerta sebelumnya seperti diabetes, luka

terbuka yang terinfeksi, dan penurunan perfusi, klien masih dalam risiko tinggi

infeksi. Perawat akan memantau manifestasi infeksi luka pada klien dan luka,

yang umumnya timbul pada 72 jam pascaoperasi. Antibiotik spektrum luas

umumnya diberikan pada beberapa hari setelah operasi, sampai terlihat adanya

tanda-tanda penyembuhan luka (Black & Hawks, 2014).

b. Diagnosis Keperawatan

1) Diagnosis Keperawatan: Resiko terjadinya kekurangan volume cairan yang

berhubungan dengan perdarahan, hematom, perpindahan cairan, atau diuresis

dari efek kontras pada angiografi.

Hasil yang Diharapkan (NOC): Keseimbangan cairan, hidrasi, fungsi ginjal,

penurunan perdarahan.

Intervensi:

a) Observasi klien bila ada peningkatan denyut nadi, penurunan tekanan

darah, kelelahan, kegelisahan, pusat, sianosis, kehausan, oliguria, kulit

yang teraba dingin dan lembab, kolaps/lemahnya vena, dan penurunan

kesadaran.
Rasional: syok perdarahan akan terjadi saat operasi atau kehilangan

darah pascaoperasi. Darah akan berpindah dari perifer oleh karena efek

stimulasi system saraf simpatis.

b) Periksa balutan klien bila ada drainase berlebih. Periksa juga di bawah

tungkai.

Rasional: perdarahan dapat terlihat pada balutan dan juga dapat

ditemukan dibawah tungkai oleh karena gravitasi.

c) Periksa tekanan arteri pulmonaris klien dan curah jantung jika terdapat

parameter.

Rasional: tekanan arteri pulmonaris dan parameter curah jantung adalah

indikasi untuk melihat stabilitas hemodinamika.

d) Periksa berat badan harian klien, monitor jumlah cairan yang masuk dan

keluar secara teliti.

Rasional: jumlah cairan yang masuk dan keluar harus seimbang. Berat

badan adalah indikator keseimbangan cairan.

e) Periksa nilai hematokrit dan hemoglobin serta beritahukan dokter bila

nilai abnormal.

Rasional: kadar hematokrit dan hemoglobin normalnya turun sedikit

karena kehilangan darah saat operasi. Transfuse mungkin dibutuhkan.

f) Periksa kadar kreatinin klien setelah dilakukan angiografi.

Rasional: kontras dikeluarkan melalui ginjal.

2) Diagnosis Keperawatan: Nyeri akut yang berhubungan dengan insisi

operasi.
Hasil yang Diharapakan Berdasarkan NOC: tingkat nyeri, kontrol nyeri,

tingkat kenyamanan.

Intervensi:

a) Periksa tingkat nyeri pada klien: tipe, durasi, dan lokasi.

Rasional: data dasar dipakai untuk mengevaluasi keefektifan

penatalaksanaan dan digunakan sebagai pedoman untuk menentukan tipe

analgesia yang dibutuhkan.

b) Beri pengobatan dengan obat analgetik berdasarkan pada nyeri yang

dirasakan saat ini dan keefektifannya.

Rasional: obat analgesic diberikan untuk memberikan rasa nyaman,

evaluasi dari respons nyeri terhadap pemberian analgesic sebelumnya dan

tingkat nyeri yang dirasakan saat ini sebagai pedoman mengambil

keputusan.

c) Evaluasi ketidakefektifan pengobatan nyeri setiap setelah pemberian

obat-obatan.

Rasional: hal ini dapat menentukan apakah obat analgesik yang

diberikan sudah adekuat.

d) Beritahu klien bagaimana nyeri dapat dikontrol.

Rasional: klien dapat berpartisipasi dalam manajemen nyeri dengan cara

memberitahu perawat sebelum nyeri berat dirasakan dan dengan

menggunakan alat analgesia kendali klien (PCA).

e) Posisikan tungkai untuk mendukung aliran Darah dan menjaga tungkai

tetap hangat.
Rasional: aliran arteri yang masuk dan menghangatkan didapatkan

melalui posisi terlentang.

3) Diagnosis Keperawatan: Gangguan mobiliasi fisik yang berhubungan

dengan prosedur operasi, nyeri, kondisi praoperasi atau cedera saraf akibat

iskemik.

Hasil yang Diharapkan berdasarkan NOC: ambukasi, keseimbangan,

koordinasi gerakan, mobilitas.

Intervensi:

a) Periksa faktor penyebab imobilisasi dan batas gerak klien dan

kemampuan untuk ambulasi.

Rasional: mobilisasi dapat difasilitasi saat penyebab imobilisasi dapat

diketahui.

b) Berikan dorongan untuk latihan gerak saat klien berbaring diatas tempat

tidur.

Rasional: aktivitas ini dapat melancarkan aliran balik vena dan kekuatan

otot.

c) Kemampuan ambulasi harus dinaikkan setiap hari. Monitor toleransi

ambulasi. Monitor keseimbangan, stamina, dan kemampuan bergerak

tidak stabil jika terdapat atrofi otot.

Rasional: ambulasi dapat meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.

Klien yang tidak dapat melakukan ambulasi selama beberapa waktu perlu

mendapatkan pengawasan keselamatan (keseimbangan dan kemampuan

berjalan) serta tingkat stamina.


d) Anjurkan konsultasi terapi fisik bila dibutuhkan.

Rasional: alat bantu dibutuhkan sewaktu-waktu untuk ambulasi.

e) Dorong kemandirian pada aktivitas hidup harian klien.

Rasional: kemandirian dapat mempercepat penyembuhan fisik dan

psikologis.

4) Diagnosis Keperawatan: Risiko kerusakan integritas kulit yang

berhubungan dengan terganggunya sirkulasi, status nutrisi, infeksi, dan

prosedur operasi.

Hasil yang Diharapkan (NOC): Konsekuensi imobilitas: fisiologis,

penyembuhan luka: perhatian utama

Intervensi:

a) Periksa ekstremitas bawak klien setiap hari termasuk bila terdapat bentuk

kaki terjatuh kebawah (footdrop).

Rasional: deteksi awal akan adanya ulkus dapat menentukan pengobatan

lesi yang lebih awal.

b) Monitor demam yang tidak terlalu tinggi pada klien, peningkatan jumlah

sel darah putih, adanya drainase pada luka, dan tandur yang terlihat pada

setiap lapisan kulit.

Rasional: banyak terdapat manifestasi klinis bila terjadi infeksi luka.

c) Monitor status nutrisi klien, asupan oral, berat badan, kadar prealbumin

dan albumin. Konsultasikan ke ahli gizi bila diperlukan.

Rasional: malnutrisi adalah penyebab tersering penyembuhan luka lama.

d) Lakukan perawatan kulit yang baik menggunakan krim berbahan lanolin.


Rasional: kulit yang lembut tidak mudah bersisik.

e) Lindungi ekstremitas bawah klien dari truma.

Rasional: perfusi jaringan akan menurun dan lokasi luka akan

mengalami penyembuhan lama.

f) Gunakan sepatu bot berbulu domba bila diperlukan.

Rasional: sepatu bot melindungi dari cedera kulit dan menjaga tungkai

tetap hangat.

g) Naikkan kaki dari alas tempat tidur.

Rasional: ulkus yang terjadi karena tekanan pada kaki kemungkinan

dapat sembuh lama oleh karena lemahnya sirkulasi.

h) Hindari pemakaian plester pada kulit di bawah lutut klien.

Rasional: sensasi terbakar dari plester ketika plester diangkat dapat

sembuh lambat.

i) Observasi teknik aseptic saat penggantian balutan.

Rasional: teknik aseptik dapat mengurangi resiko infeksi.

j) Instruksikan klien untuk memeriksa kaki dan insisi setiaphari.

Rasional: sirkulasi ke tungkai dan kaki terganggu oleh karena

arteriosclerosis. Pemeriksaan harian dan perawatan adekuat bertujuan

untuk intervensi dini.

5) Diagnosis Keperawatan: Resiko perfusi jaringan tidak efektif yang

berhubungan dengan thrombosis tandru, sindrom kompartemen, penyakit

arteri progresif, atau antikoagulasi yang tidak adekuat.


Hasil yang Diharapkan Berdasarkan NOC: status sirkulasi, perfusi

jaringan perifer, fungsi ginjal.

Intervensi:

a) Pemeriksaan denyut pada kaki klien setiap jam dalam 24 jam, lalu setiap

pergantian jaga, atau bila diminta. Periksa tekanan menggunakan alat

Doppler setiap diminta dokter. Bandingkan dengan nilai dasar.

Rasional: denyut nadi menunjukkan patensi tandur.

b) Periksa fungsi sensori dan motoric pada ekstremitas klien.

Rasional: kompartemen sindrom dapat terjadi karena perdarahan.

c) Periksa adanya hematoma tau bengkak berat pada tungkai klien.

Rasional: bengkak yang berat dapat mengganggu aliran melalui tandur.

d) Monitor kadar keratin fosfokinase saat diperlukan.

Rasional: enzim akan dihasilkan dari otot yang mengalami iskemik.

e) Laporkan perubahan urine menjadi merah gelap atau coklat dan

terdapatnya sel darah merah di dalam urine klien.

Rasional: manifestasi ini dapat disebabkan oleh myoglobin yang

terproduksi akibat otot yang mengalami iskemik.

f) Laporkan bila terdapat deviasi yang tidak diharapkan pada perfusi ke

dokter.

Rasional: laporan secepatnya dapat membantu pemberian intervensi dini.

g) Hindari meninggikan bagian lutut dengan menggunakan tempat tidur

gatch dan posisikan bantal dibawah lutut klien.

Rasional: tekanan dapat meningkatkan risiko thrombosis.


(Black & Hawks, 2014)

3. Perawatan Mandiri

Saat merencanakan pemulangan klien pasca amputasi (dan mungkin dengan alat

prostesis), pertimbangkan tingkat kemampuan ambulasi klien dan aktivitas-aktivitas

yang memungkinkan klien membutuhkan bantuan. Biasanya, klien yang menjalani

amputasi memperhatikan pola perubahan yang dialami saat mereka berada di rumah,

sendirian dan tanpa informasi atau saran apa pun yang dapat mempersiapkan mereka

menghadapi hidup baru. Perlu dilakukan kunjungan rumah secara berkala oleh para

perawat dari lembaga kesehatan sampai klien dapat beradaptasi dengan hidupnya

yang baru, merasakan kenyamanan, dan dapat merawat diri sendiri dengan percaya

diri (Black & Hawks, 2014).

Anda mungkin juga menyukai