Anda di halaman 1dari 9

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Defenisi

Fraktur adalah terputusnya kontuinitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya,
fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya
(Smelter & Bare, 2002).

Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik (Price,
1995).

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, kebanyakan fraktur akibat dari trauma,
beberapa fraktur sekunder terhadap proses penyakit seperti osteoporosis, yang menyebabkan
fraktur yang patologis (Barret dan Bryant, 1990).

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang ditandai oleh rasa nyeri,
pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan, dan krepitasi (Doenges, 2000).

Fraktur adalah teputusnya jaringan tulang/tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh
ruda paksa.

B. Jenis Fraktur
1. Berdasarkan sifat fraktur
a. Fraktur tertutup
Apabila fagmen tulang yang patah tidak tampak dari luar

b. Fraktur terbuka
Apabila fragmen tulang yang patah tampak dari luar

2. Berdasarkan komplit / tidak komplit fraktur


a. Fraktur komplit
Patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran bergeser
dari posisi normal)
b. Fraktur inkomplit
Patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang

Misal : - Hair line fraktur

- Green stick  fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang sisi yang
lain membengkok

3. Berdasarkan bentuk garis patah & hubungan dengan mekanisme tauma


a. Fraktur transversal
Arah melintang dan merupakan akibat trauma angulasi / langsung

b. Fraktur oblik
Arah garis patah membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat dari
trauma langsung

c. Fraktur spiral
Arah garis patah spiral dan akibat dari trauma rotasi

d. Fraktur kompresi
Fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang belakang)

4. Istilah lain
a. Fraktur komunitif
Fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen

b. Fraktur depresi
Fraktur dengan bentuk fragmen terdorong ke dalam (sering terjadi pada tulang
tengkorak dan tulang wajah).

c. Fraktur patologik
Fraktur yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit (kista tulang, tumor, metastasis
tulang).

d. Fraktur avulsi
Tertariknya fragmen tulang oleh ligamen atau tendon pada perlekatannya.
(Smelter & Bare, 2002).

C. Etiologi
1. Menurut Oswari E (1993)
a. Kekerasan langsung
Terkena pada bagian langsung trauma

b. Kekerasan tidak langsung


Terkena bukan pada bagian yang terkena trauma

c. Kekerasan akibat tarikan otot


2. Menurut Barbara C Long (1996)
a. Benturan & cedera (jatuh, kecelakaan)
b. Fraktur patofisiologi (oleh karena patogen, kelainan)
c. Patah karena letih

D. Manifestasi Klinik
1. Nyeri
2. Deformitas (kelainan bentuk)
3. Krepitasi (suara berderik)
4. Bengkak
5. Peningkatan temperatur lokal
6. Pergerakan abnormal
7. Echymosis (perdarahan subkutan yang lebar-lebar)
8. Kehilangan fungsi
(Smelter & Bare, 2002).

E. Prinsip Penatalaksanaan Dengan Konservatif & Operatif


1. Cara Konservatif
Dilakukan pada anak-anak dan remaja dimana masih memungkinkan terjadinya
pertumbuhan tulang panjang. Selain itu, dilakukan karena adanya infeksi atau
diperkirakan dapat terjadi infeksi. Tindakan yang dilakukan adalah dengan gips dan
traksi.
a. Gips
Gips yang ideal adalah yang membungkus tubuh sesuai dengan bentuk tubuh.
Indikasi dilakukan pemasangan gips adalah :

 Immobilisasi dan penyangga fraktur


 Istirahatkan dan stabilisasi
 Koreksi deformitas
 Mengurangi aktifitas
 Membuat cetakan tubuh orthotik
Sedangkan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemasangan gips adalah :

 Gips yang pas tidak akan menimbulkan perlukaan


 Gips patah tidak bisa digunakan
 Gips yang terlalu kecil atau terlalu longgar sangat membahayakan klien
 Jangan merusak / menekan gips
 Jangan pernah memasukkan benda asing ke dalam gips / menggaruk
 Jangan meletakkan gips lebih rendah dari tubuh terlalu lama
b. Traksi (mengangkat / menarik)
Secara umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban dengan tali pada
ekstermitas pasien. Tempat tarikan disesuaikan sedemikian rupa sehingga arah tarikan
segaris dengan sumbu panjang tulang yang patah. Metode pemasangan traksi antara
lain :

 Traksi manual
Tujuannya adalah perbaikan dislokasi, mengurangi fraktur, dan pada keadaan
emergency

 Traksi mekanik, ada 2 macam :


 Traksi kulit (skin traction)
Dipasang pada dasar sistem skeletal untuk sturktur yang lain misal otot.
Digunakan dalam waktu 4 minggu dan beban < 5 kg.

 Traksi skeletal
Merupakan traksi definitif pada orang dewasa yang merupakan balanced
traction. Dilakukan untuk menyempurnakan luka operasi dengan kawat
metal / penjepit melalui tulang / jaringan metal.

Kegunaan pemasangan traksi, antara lain :

 Mengurangi nyeri akibat spasme otot


 Memperbaiki & mencegah deformitas
 Immobilisasi
 Difraksi penyakit (dengan penekanan untuk nyeri tulang sendi)
 Mengencangkan pada perlekatannya
Prinsip pemasangan traksi :

 Tali utama dipasang di pin rangka sehingga menimbulkan gaya tarik


 Berat ekstremitas dengan alat penyokong harus seimbang dengan pemberat agar
reduksi dapat dipertahankan
 Pada tulang-tulang yang menonjol sebaiknya diberi lapisan khusus
 Traksi dapat bergerak bebas dengan katrol
 Pemberat harus cukup tinggi di atas permukaan lantai
 Traksi yang dipasang harus baik dan terasa nyaman
2. Cara operatif / pembedahan
Pada saat ini metode penatalaksanaan yang paling banyak keunggulannya mungkin
adalah pembedahan. Metode perawatan ini disebut fiksasi interna dan reduksi terbuka.
Pada umumnya insisi dilakukan pada tempat yang mengalami cedera dan diteruskan
sepanjang bidang anatomik menuju tempat yang mengalami fraktur. Hematoma fraktur
dan fragmen-fragmen tulang yang telah mati diirigasi dari luka. Fraktur kemudian
direposisi dengan tangan agar menghasilkan posisi yang normal kembali. Sesudah
direduksi, fragmen-fragmen tulang ini dipertahankan dengan alat-alat ortopedik berupa
pen, sekrup, pelat, dan paku.
Keuntungan perawatan fraktur dengan pembedahan antara lain :

 Ketelitian reposisi fragmen tulang yang patah


 Kesempatan untuk memeriksa pembuluh darah dan saraf yang berada didekatnya
 Dapat mencapai stabilitas fiksasi yang cukup memadai
 Tidak perlu memasang gips dan alat-alat stabilisasi yang lain
 Perawatan di RS dapat ditekan seminimal mungkin, terutama pada kasus-kasus yang
tanpa komplikasi dan dengan kemampuan mempertahankan fungsi sendi dan fungsi
otot hampir normal selama penatalaksanaan dijalankan

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Rontgen Spinal, yang memperlihatkan adanya perubahan degeneratif pada tulang
belakang, atau tulang intervetebralis atau mengesampingkan kecurigaan patologis lain
seperti tumor, osteomielitis.
2. Elektromiografi, untuk melokalisasi lesi pada tingkat akar syaraf spinal utama yang
terkena.
3. Venogram Epidural, yang dapat dilakukan di mana keakuratan dan miogram terbatas.
4. Fungsi Lumbal, yang dapat mengkesampingkan kondisi yang berhubungan, infeksi
adanya darah.
5. Tanda Le Seque (tes dengan mengangkat kaki lurus ke atas) untuk mendukung diagnosa
awal dari herniasi discus intervertebralis ketika muncul nyeri pada kaki posterior.
6. CT - Scan yang dapat menunjukkan kanal spinal yang mengecil, adanya protrusi discus
intervetebralis.
7. MRI, termasuk pemeriksaan non invasif yang dapat menunjukkan adanya perubahan
tulang dan jaringan lunak dan dapat memperkuat adanya herniasi discus.
8. Mielogram, hasilnya mungkin normal atau memperlihatkan “penyempitan” dari ruang
discus, menentukan lokasi dan ukuran herniasi secara spesifik.
PATHWAY

kondisi patologis, Trauma Facial


osteoporosis, neoplasma
Langsung/tidak langsung

Absorbsi calcium

Rentan fraktur Multiple Fraktur perdarahan

Defisit volume cairan

Deprasi saraf nyeri Tindakan Bedah

Gangguan rasa
nyaman : nyeri

Pre op Intra Op Post Op

Defisit pengetahuan Perdarahan Efek anestesi Luka insisi

Mual, muntah Imflamasi bakteri


Ansietas Defisit volume cairan

Kelemahan
Nutrisi kurang dari kebutuhan

Resti infeksi

Hambatan mobilitas fisik


G. Pengkajian Fokus
Neurosensori dan kognitif
1. Gejala (subyektif)
a. Adanya nyeri :
P : nyeri terasa walaupun sedang istirahat, nyeri bertambah ketika tangan digerakkan
Q : nyeri terasa seperti ditusuk, nyeri kadang terasa nyut-nyutan, nyeri terus menerus
R : klien merasa nyeri pada paha kanan yang mengalami patah tulang
S : skala nyeri 5 (nyeri sedang)
T : berapa lama dan kapan nyeri timbul tidak menentu, nyeri hilang timbul
b. Tidak ada rasa ingin pingsan, tidaka ada rasa pusing
c. Tidak ada rasa kesemutan, tidak ada rasa kebas, tidsk ada kelemahan
d. Klien tidak mengalami kejang
e. Penglihatan klien baik, pendengaran baik, telinga tidak berdengung
f. Tidak ada epistaksis
2. Tanda (Objektif)
a. Status mental
Kesadaran : Composmetis
b. Skala Coma Glasgow (GCS)
Respon membuka mata :4
Respon motorik :6
Respon verbal :5
c. Klien tidak mengalami disorientasi terhadap waktu, tempat dan orang
d. Klien mengalami halusinasi, ilusi dan delusi
e. Memori saat ini dan masalalu baik, tidak ada gangguan memori
f. Klien tidak menggunakan alat bantu pendengaran dan penglihatan
g. Klien tampak menjaga area yang sakit
h. Respon emosi baik

H. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b/d trauma jaringan syaraf
I. Intervensi Keperawatan
No. H/tgl/jam Tujuan dan Kriteria Hasil Perencanaan

1 Kamis NOC : NIC


24 mei Setelah dilakukan tindakan Pain Management
2018 keperawatan selama 3 X 24 jam 1. Kaji tipe atau lukasi nyeri.
klien mampu mengontrol nyeri, Perhatikan intensitas pada
dengan kriteria hasil : skala 0-10. Perhatikan
2. Kolaborasi dengan perawat
 Melaporkan nyeri hilang atau
senior melakukan terapi
terkontrol
musik dibutuhkan untuk
 Mengikuti program penghilangan
pengobatan yang diberikan nyeri/ketidaknyamanan.
3. Dukung istrahat/tidur yang
 Menunjukan penggunaan
adekuat
tehnik relaksasi
4. Berikan edukasi terhadap
tindakan yang akan di
berikan
5. Dorong keluarga terhadap
penyembuhan klien
6. Kaji kembali tipe atau lukasi
nyeri. Perhatikan intensitas
pada skala 0-10. Perhatikan

Anda mungkin juga menyukai