Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Air limbah merupakan air buangan dari masyarakat hasil sisa dari berbagai aktifitas manusia.
Kandungan zat kimia dalam air limbah perlu diketahui sebagai langkah awal untuk menentukan
perlakuan yang tepat terhadap air limbah tersebut. Selain itu, hal ini juga dilakukan untuk
mengetahui tingkat pencemaran yang terjadi. Adanya bahan-bahan organik dalam suatu air limbah
dapat mempengaruhi kehidupan dari makhluk hidup tertentu seperti ikan, serangga dan organisme
lain yang sangat bergantung pada oksigen (Hindarko,2003).

Salah satu contoh air limbah adalah deterjen. Deterjen merupakan bahan pembersih yang umum
digunakan oleh usaha industri ataupun rumah tangga. Produksi deterjen terus meningkat setiap
tahunnya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan bahan pembersih (Connel dan Miller,1995).
Deterjen merupakan gabungan dari berbagai senyawa dimana komponen utama dari gabungan
tersebut adalah surface active agents atau surfaktan. Surfaktan deterjen yang paling sering
digunakan adalah LAS atau Linier Alkilbenzen Sulfonat (Supriyono dkk., 1998). LAS adalah sebuah
alkil aril sulfonat yang mempunyai struktur rantai lurus tanpa cabang, sebuah cincin benzen dan
sebuah sulfonat. LAS merupakan konversi dari Aliklbenzen sulfonat atau ABS, dimana LAS lebih
mudah terdegradasi dalam air dan merupakan deterjen ’lunak’ (Hirsch, 1963 dalam Abel, 1974).
Limbah deterjen merupakan salah satu pencemar yang bisa membahayakan kehidupan

organisme di perairan karena menyebabkan suplai oksigen dari udara sangat lambat akibat
busanya yang menutupi permukaan air (Connel dan Miller,1995).

Pengaruh deterjen terhadap lingkungan dapat diketahui dengan menganalisis kadar surfaktan
anion atau deterjen pada sampel beberapa limbah dengan metode MBAS (Methylen Blue Active
Surfactant) yakni menambahkan zat metilen biru yang akan berikatan dengan surfaktan dan
dianalisis dengan spektrofotometer UV-Vis. Konsentrasi yang terbaca adalah kadar surfaktan anion
pada sampel limbah yang berikatan dengan metilen biru.
1.2. Tujuan Praktik Kerja Lapangan

Tujuan diadakan penelitian ini adalah untuk:

1. Mempraktekkan dan mengetahui metode penentuan kadar surfaktan anion (deterjen) dengan
MBAS

2. Menentukan kadar surfaktan anion (deterjen) dengan metode spektrofotometri

1.3. Manfaat
Manfaat diadakan penelitian ini adalah untuk :
1. Dapat mempraktekkan dan mengetahui metode penentuan kadar surfaktan anion dengan MBAS

2. Dapat menentukan kadar surfaktan anion dari pembacaan spektrofotometer UV-Vis

1.4. Tempat Pelaksanaan PKL

Kegiatan Praktek Kerja Lapangan (PKL) ini dilaksanakan di Laboratorium Pengujian Balai Besar
Pencegahan Pencemaran Industri (BBTPPI) Semarang yang beralamat di Jalan Ki Mangunsarkoro 6
Semarang, dimulai dari tanggal 1 Februari sampai 29 Februari 2012.

1.5. Metodologi

Untuk mendapatkan data penulisan laporan praktek kerja lapangan ini diperlukan metode atau
cara kerja yang baik dan sesuai. Metodologi adalah ”kerangka teoritis yang dipergunakan oleh
penulis untuk menganalisis, mengerjakan, atau mengatasi masalah yang dihadapi (Keraf, 1997).

Untuk memperoleh data yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan, maka penulis
menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut :

1. 1. Metode Wawancara

Penulis mengajukan pertanyaan kepada analis mengenai proses pengujian surfaktan anion pada air
limbah secara MBAS dan cara penentuan kadar surfaktan anion menggunakan spektrofotometer
UV-Vis.

1. 2. Metode Eksperimen

Data diperoleh dengan melakukan pengujian dengan metode MBAS dan spektrofotometri UV-Vis.

1. 3. Metode Pustaka

Penulis mencari sumber pustaka seperti buku, jurnal dan sumber bacaan lain untuk menunjang
penulisan laporan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Air

Menurut Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 82 Tahun 2001, air merupakan sumber daya alam
yang memenuhi hajat hidup orang banyak sehingga perlu dilindungi agar dapat tetap bermanfaat
bagi hidup dan kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya.

Air di bumi tidak pernah terdapat dalam keadaan murni bersih, tetapi selalu ada senyawa atau
mineral lain yang terlarut di dalamnya. Sebagai contoh, air hujan yang digunakan atau
dimanfaatkan sebagai air aki dan air yang diambil dari mata air di pegunungan yang langsung
diminum (Wardhana, 1995).

2.2. Air Limbah

Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP-51/MENLH/10/1995, Limbah


cair adalah limbah dalam wujud cair yang dihasilkan oleh kegiatan/industri yang dibuang ke
lingkungan dan diduga dapat menurunkan kualitas lingkungan baik secara langsung ataupun tidak
langsung. Limbah cair terdiri dari limbah industri (industri skala besar dan skala kecil) dan limbah
domestik.

Hindarko (2003) menyatakan bahwa air limbah adalah air yang tersisa setelah makhluk hidup
melakukan suatu aktifitas. Air limbah selalu mengalami fluktuasi setiap hari karena berbagai
aktifitas makhluk hidup, khususnya manusia.

Air limbah dapat berasal dari berbagai sumber. Sugiharto (1987) mengklasifikasikan sumber-
sumber air limbah sebagai berikut:

1. Air limbah rumah tangga (domestic waste)

Sumber utama air limbah rumah tangga dari masyarakat adalah berasal dari perumahan dan
daerah perdagangan. Jumlah aliran air limbah di daerah perumahan tergantung dari luas daerah
yang ditempati, kepadatan penduduk serta ada atau tidaknya daerah industri. Selain dari
perumahan atau perdagangan, daerah kelembagaan dan rekreasi juga dikategorikan sebagai
pemasok air limbah rumah tangga.

2. Air limbah industri (industrial waste)

Air limbah yang berasal dari industri sangat bervariasi, tergantung dari jenis dan besar-kecilnya
industri, pengawasan pada proses industri, derajat penggunaan air serta derajat pengolahan air
limbah yang ada pada masing-masing industri. Sebanyak 85-95 % dari jumlah air yang dipergunakan
adalah berupa air limbah apabila industri tersebut tidak menggunakan air limbah. Apabila industri
tersebut memanfaatkan kembali air limbahnya, maka jumlahnya akan lebih kecil.

3. Air limbah rembesan dan tambahan

Bila hujan turun di suatu daerah, maka air yang turun secara cepat akan mengalir masuk ke dalam
saluran pengering atau saluran air hujan. Apabila saluran ini tidak mampu menampungnya, maka
limpahan air hujan akan bergabung dengan saluran air limbah. Selain masuk melalui limpahan, air
hujan juga diserap oleh tumbuh-tumbuhan dan merembes ke dalam tanah. Apabila permukaan air
tanah bertemu dengan saluran air limbah, maka mungkin terjadi penyusupan air tanah ke saluran
limbah melalui sambungan-sambungan pipa atau celah-celah yang ada (Sugiharto,1987).
Baku mutu limbah cair adalah batas kadar yang diperkenankan bagi zat atau pencemar untuk
dibuang dari sumber pencemar ke dalam air pada sumber air sehingga tidak mengakibatkan
dilampauinya baku mutu air (Kristianto, 2002).

Tabel 1. Sifat-sifat Fisik, Kimia, Biologis dan Air Limbah serta sumber asalnya (Sugiharto, 1987).
Sifat-sifat air limbah Sumber asal air limbah

Sifat fisik :

Warna Air buangan rumah tangga dan industri serta


bangkai benda organis.
Bau
Pembusukan air limbah dan limbah industri.
Endapan
Penyediaan air minum, air limbah rumah
Temperatur. tangga dan industri, erosi tanah, aliran air
rembesan.
Kandungan bahan kimia :
Organik ; Air limbah rumah tangga dan industri.

Karbohidrat Air limbah rumah tangga, perdagangan serta


limbah industri.
Minyak, lemak, gemuk
Air limbah rumah tangga, perdagangan serta
Pestisida limbah industri.

Fenol Air limbah pertanian.

Protein Air limbah industri.

Deterjen Air limbah rumah tangga, perdagangan.

Lain-lain Air limbah rumah tangga, industri

Anorganik : Bangkai bahan organik alamiah.

Kesadahan Air limbah dan air minum serta rembesan air

Klorida tanah.

Logam berat Air limbah dan air minum rumah tangga,

Nitrogen rembesan air dan pelunak air.

Fosfor Air limbah industri.


Belerang Air limbah rumah tangga dan pertanian.

Bahan-bahan beracun Air limbah rumah tangga dan industri serta


pelimpahan air hujan.

Air limbah dan air minum rumah tangga serta


air limbah industri.

Air limbah industri.

Sumber: Metcalf dan Eddy, 1979

2.4. 2.3 Surfaktan Anion (Deterjen)


Surfaktan-zat aktif permukaan atau tensides- adalah zat yang menyebabkan turunnya tegangan
permukaan cairan, khususnya air. Ini menyebabkan pembentukan gelembung dan pengaruh
permukaan lainnya yang memungkinkan zat-zat ini bertindak sebagai zat pembersih atau
penghambur dalam industri dan untuk tujuan rumah tangga (Connell, 1995).
Surfaktan atau surface active agent atau wetting agent merupakan bahan organik yang berperan
sebagai bahan aktif pada deterjen, sabun dan shampoo. Surfaktan dapat menurunkan tegangan
permukaan sehingga memungkinkan partikel-partikel yang menempel pada bahan-bahan yang
dicuci terlepas dan mengapung atau terlarut dalam air (Effendi, 2003).
Surfaktan dikelompokkan menjadi empat, yaitu surfaktan anion, surfaktan kationik, surfaktan
nonionik dan surfaktan amphoteric (zwitterionic) (Effendi, 2003).

Untuk keperluan rumah tangga digunakan kelompok surfaktan anion (deterjen). Telah dikenal dua
macam deterjen anion, yakni alkil sulfonat linear dan alkil benzene sulfonat (Sastrawijaya, 1991).

Bentuk deterjen merupakan salah satu jenis bahan pembersih yang digunakan untuk mengurangi
kotoran dari pakaian, piring, dan barang lainnya (Sawyer, 1967).

2.3.1 Deterjen Sintetis


Setelah Perang Dunia II, dikembangkan deterjen sintetis. Seperti sabun, deterjen adalah
surfaktan anion-garam dari sulfonat atau sulfat berantai panjang dari natrium (RSO3-Na+ dan
ROSO3-Na+). Deterjen sintetis mempunyai keunggulan dalam hal tidak mengendap bersama ion
logam dalam air sadah (Fessenden, 1986).
Unsur kunci dari deterjen adalah bahan surfaktan atau bahan aktif permukaan, yang beraksi dalam
menjadikan air menjadi lebih basah (wetter) dan sebagai bahan pencuci yang lebih baik (Achmad,
2004).
Salah satu deterjen sintetis yang digunakan adalah p-alkilbenzenasulfonat (ABS) dengan gugus alkil
yang sangat bercabang. Bagian alkil senyawa ini disintesis dengan polimerisasi propilena dan
dilekatkan pada cincin benzene dengan reaksi alkilasi Friedel-Craft. Sulfonasi yang disusul dengan
pengolahan basa, menghasilkan deterjen itu (Fessenden, 1986).
Rumus bangun Alkil Benzena Sulfonat (ABS)

Gambar 2.1 reaksi pembentukan ABS

ABS sangat tidak menguntungkan karena ternyata sangat lambat terurai oleh bakteri pengurai
disebabkan adanya rantai bercabang pada strukturnya. Dengan tidak terurainya secara biologi
deterjen ABS, lambat laun perairan yang terkontaminasi oleh ABS akan dipenuhi oleh busa
(Achmad, 2004). Deterjen ini lolos lewat instalasi pengolahan limbah tanpa berubah, sehingga
menyebabkan sungai berbusa-busa dan dalam beberapa hal, bahkan menyebabkan air PAM
berbusa. Pada tahun 1965, industri mengubahnya menjadi deterjen yang biodegradable, seperti
senyawa Alkil Linear Sulfonat (LAS) dengan rantai menerus sebagai ganti rantai bercabang
(Fessenden, 1986). Secara sederhana, digambarkan seperti ini:

Gambar 2.2 Struktur LAS

Sejak LAS menggantikan penggunaan ABS dalam deterjen, masalah-masalah yang timbul seperti
penutupan permukaan air oleh gumpalan busa dapat dihilangkan dan toksisitasnya terhadap ikan
di perairan telah banyak dikurangi (Achmad, 2004).

Pada umumnya, deterjen mengandung bahan-bahan berikut :

a. Surfaktan (Surface active agent)


Zat aktif permukaan mempunyai ujung berbeda yaitu hydrophile (suka air) dan hydrophobe(suka
lemak). Bahan aktif ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan air sehingga dapat melepaskan
kotoran yang menempel pada permukaan bahan. Berupa anion (Alkyl
BenzeneSulfonate/ABS, Linier Alkyl Benzene Sulfonate/LAS, Alpha Olein Sulfonate/AOS), kationik
(Garam Ammonium), Nonionik (Nonyl Phenol Polyethoxyle), Amfoterik (Acyl Ethylenediamines).
b. Builder (Pembentuk)
Zat yang berfungsi meningkatkan efisiensi pencuci dari surfaktan dengan cara menon-aktifkan
mineral penyebab kesadahan air. Berupa phosphates (Sodium Tri Poly Phosphate/STTP). Asetat
(Nitril Tri Acetate/NTA, Ethylene Diamine Tertra Acetate/EDTA) dan Sitrat (asam sitrat).
c. Filler (Pengisi)

Bahan tambahan deterjen yang tidak mempunyai kemampuan meningkatkan daya cuci, tetapi
menambah kuantitas atau dapat memadatkan dan memantapkan sehingga dapat menurunkan
harga. Contoh: Sodium sulfate.

d. Additivies (Zat Tambahan)


Bahan suplemen/tambahan untuk membuat produk lebih menarik, misalnya pewangi, pelarut,
pemutih, pewarna dan sebagainya yang tidak berhubungan langsung dengan daya cuci
deterjen. Additivies ditambahkan untuk maksud komersialisasi produk. Contoh
: Enzyme,Borax, Sodium chloride, Carboxy Methyl Cellulose (CMC) dipakai agar kotoran yang telah
dibawa oleh deterjen ke dalam larutan tidak kembali ke bahan cucian pada waktu mencuci.
Wangi-wangian atau parfum dipakai agar cucian berbau harum, sedangkan air sebagai bahan
pelarut (Admin, 2010).
2.3.2 Toksisitas Deterjen
Kemampuan deterjen untuk menghilangkan berbagai kotoran yang menempel pada kain atau objek
lain, mengurangi keberadaan kuman dan bakteri yang menyebabkan infeksi. Tanpa mengurangi
makna manfaat deterjen dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, harus diakui bahwa bahan kimia
yang digunakan pada deterjen dapat menimbulkan dampak negatif baik terhadap kesehatan
maupun lingkungan. Dua bahan terpenting dari pembentuk deterjen yakni surfaktan dan builders,
diidentifikasi mempunyai pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap manusia dan
lingkungannya (Admin, 2010).

Kadar surfaktan 1 mg/liter dapat mengakibatkan terbentuknya busa diperairan. Meskipun tidak
bersifat toksik, keberadaan surfaktan dapat menimbulkan rasa pada air dan dapat menurunkan
absorpsi oksigen di perairan (Effendi, 2003).

Pengaruh lingkungan yang paling jelas adalah adanya busa pada aliran sungai. Hynes dan Roberts
(1962), dalam studi aliran sungai di Inggris yang menerima limbah air mengandung surfaktan (2-4
ppm) tidak dapat mendeteksi perubahan apa pun dalam struktur komunitas biota air karena
surfaktan (Connell, 1995).

Deterjen keras berbahaya bagi ikan biarpun konsentrasinya kecil, misalnya natrium dodesil
benzene sulfonat dapat merusak insang ikan, biarpun hanya 5 ppm. Tanaman air juga dapat
menderita jika kadar deterjen tinggi. Kemampuan fotosintetis dapat terhenti (Sastrawijaya,
1991).

Permasalahan juga ditimbulkan oleh deterjen yang mengandung banyak polifosfat yang merupakan
penyusun deterjen yang masuk ke badan air. Poliposfat dari deterjen ini diperkirakan memberikan
kontribusi sekitar 50 % dari seluruh fosfat yang terdapat diperairan. Keberadaan fosfat yang
berlebihan menstimulir terjadinya eutrofikasi (pengkayaan) perairan (Effendi, 2003).
2.4 Penentuan Surfaktan dengan Metilen Biru
Metode ini membahas tentang perpindahan metilen biru yaitu larutan kationik dari larutan air ke
dalam larutan organik yang tidak dapat campur dengan air sampai pada titik jenuh
(keseimbangan). Hal ini terjadi melalui formasi (ikatan) pasangan ion antara anion dari MBAS
(methylene blue active substances) dan kation dari metilen biru. Intensitas warna biru yang
dihasilkan dalam fase organik merupakan ukuran dari MBAS (sebanding dengan jumlah surfaktan).
Surfaktan anion adalah salah satu dari zat yang paling penting, alami dan sintetik yang
menunjukkan aktifitas dari metilen biru. Metode MBAS berguna sebagai penentuan kandungan
surfaktan anion dari air dan limbah, tetapi kemungkin adanya bentuk lain dari MBAS (selain
interaksi antara metilen biru dan surfaktan anion) harus selalu diperhatikan. Metode ini relatif
sangat sederhana dan pasti. Inti dari metode MBAS ini ada 3 secara berurutan yaitu: Ekstraksi
metilen biru dengan surfaktan anion dari media larutan air ke dalam kloroform (CHCl3) kemudian
diikuti terpisahnya antara fase air dan organik dan pengukuran warna biru dalam CHCl3 dengan
menggunakan alat spektrofotometri pada panjang gelombang 652 nm (Franson, 1992). Batas
deteksi surfaktan anion menggunakan pereaksi pengomplek metilen biru sebesar 0,026 mg/L,
dengan rata-rata persen perolehan kembali 92,3% (Rudi dkk., 2004).
2.5 Analisis Spektrofotometri pada Metode MBAS

Spektrometri merupakan metode pengukuran yang didasarkan pada interaksi radiasi


elektromagnetik dengan partikel, dan akibat dari interaksi tersebut menyebabkan energi diserap
atau dipancarkan oleh partikel dan dihubungkan pada konsentrasi analit dalam larutan. Prinsip
dasar dari spektrofotometri UV-Vis adalah ketika molekul mengabsorbsi radiasi UV atau visible
dengan panjang gelombang tertentu, elektron dalam molekul akan mengalami transisi atau
pengeksitasian dari tingkat energi yang lebih rendah ke tingkat energi yang lebih tinggi dan
sifatnya karakteristik pada tiap senyawa. Penyerapan cahaya dari sumber radiasi oleh molekul
dapat terjadi apabila energi radiasi yang dipancarkan pada atom analit besarnya tepat sama
dengan perbedaan tingkat energi transisi elektronnya (Rudi,2004).

Metilen biru digunakan untuk uji coba bahan pewarna organik. Bahan pewarna organik yang
berwarna biru tua ini, akan menjadi tidak berwarna apabila oksigen pada sampel (air yang
tercemar yang sedang dianalisis) telah habis dipergunakan (Mahida, 1981).

Surfaktan anion bereaksi dengan warna biru metilen membentuk pasangan ion baru yang terlarut
dalam pelarut organik, intensitas warna biru yang terbentuk diukur dengan spektrofotometer
dengan panjang gelombang 652 nm. Serapan yang diukur setara dengan kadar surfaktan anion
(Anonim, 2009).

BAB III
METODOLOGI
3.1 Sampel, Alat dan Bahan
3.1.1 Sampel

Sampel yang akan dianalisis adalah sampel air limbah dari berbagai sumber. Bentuk sampel berupa
cairan tak berwarna yang dikemas dalam botol plastik.

3.1.2 Alat

Alat-alat yang dipergunakan dalam proses analisis meliputi:

1. Spektrofotometer U-2010
2. Labu ukur 100 mL
3. Corong pisah
4. Pipet volume 25 mL dan 50 mL
5. Beker glass 250 mL
6. Filler pipet
7. Gelas ukur 50 mL
8. Erlenmeyer 100 mL
3.1.3 Bahan
 Air Suling
 Larutan methylene blue
Larutkan 0,05g methylene blue lalu tambahkan 50g NaH2(PO4)2.H2O ke dalam labu ukur 1000 mL
kemudian tambahkan 6,8 mL asam sulfat (p.a), ditepatkan hingga tanda tera.
 Larutan Pencuci
Larutkan 50 g Natrium dihidrogen fospat / NaH2(PO4)2.H2O kedalam labu ukur 1000 mL,
penambahan asam sulfat (p.a). Ditambahkan air suling hingga garis tera.
 Kloroform
 Larutan induk detergen 1000 mg/L ASL
Larutkan 0,5 g ASL 100% aktif atau Natrium Lauril Sulfat ( C12H25OSO3Na) dalam labu ukur 500mL ,
ditepatkan hingga garis tera , disimpan dalam lemari es untuk menghindari biodegradasi, jika
perlu dibuat seminggu sekali.
3.2 Prosedur Kerja
3.2.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi
1. Larutan induk detergent diambil sebanyak 0, 250, 500, 750 dan 1000 mL dan dimasukkan ke
dalam labu ukur 500 mL, ditambahkan air suling hingga tanda tera, kemudian diaduk hingga
homogen. Diperoleh kadar 0,00; 0,2; 0,4; 1,0; 1,2 dan 2,0 mg/L MBAS.
2. Larutan baku diambil dengan volum masing – masing 100 mL dan dimasukkan ke dalam corong
pemisah 30 mL.
3. Ditambahkan larutan biru methylene sebanyak 25mL.
4. Ditambahkan 10 mL CHCl3 , digojog kuat – kuat selama 30 detik , sekali kali buka tutup corong
untuk mengeluarkan gas.
5. Didiamkan hingga terjadi pemisahan fase, corong pemisah digoyang perlahan – lahan, jika
terbentuk emulsi, tambahkan sedikit isopropil alkohol (10 mL), lapisan bawah (CHCl 3)
dikeluarkan dan ditampung dalam corong pemisah lain.
6. Ekstraksi diulangi seperti butir 4 dan 5 sebanyak 2 kali dan larutan ekstrak digabung dengan
larutan ekstrak pada butir 5.
7. Ditambahkan 50 mL larutan pencuci ke dalam larutan ekstrak (kloroform gabungan) dan digojog
kuat – kuat selama 30 detik.
8. Didiamkan sampai terjadi pemisahan fase, corong digoyangkan perlahan – lahan, lapisan bawah
(Chloroform) dikeluarkan melalui serabut kaca, dimasukkan ke dalam labu ukur (jaga agar
lapisan air tidak terbawa).
9. Ekstraksi diulangi terhadap larutan pencuci dengan kloroform seperti butir 4 dan 5 sebanyak 2
kali.
10. Serabut kaca dicuci dengan kloroform sebanyak 5 mL dan digabung dengan larutan ekstrak
diatas.
11. Larutan ekstrak dimasukkan kedalam labu ukur 50 mL dan ditambahkan kloroform sampai tanda
tera.
12. Larutan ekstrak dimasukkan kedalam cuvet pada alat spektrofotometer , dibaca dan dicatat
absorbansinya pada panjang gelombang 652 nm, pembacaan dilakukan tidak lebih dari 3 jam
setelah ektraksi.
13. Apabila perbedaan hasil pengukuran serapan masuk secara duplo lebih besar dari 2% periksa alat
dan ulangi pekerjaan dari langkah awal, apabila lebih kecilatau sama dengan 2% , rata – ratakan
hasil.
14. Kurva kalibrasi dibuat dari data 13 dan ditentukan persamaan garisnya.
3.2.2 Prosedur Uji Kadar Surfaktan
1. Sampel diambil masing – masing 100 mL dan dimasukkan ke dalam corong pemisah 500 mL.
2. Ditambahkan larutan biru methylene sebanyak 25 mL.
3. Ditambahkan 50 mL kloroform , digojog kuat – kuat selama 30 detik , sekali kali buka tutup
corong untuk mengeluarkan gas.
4. Didiamkan hingga terjadi pemisahan fase, corong pemisah digoyangkan perlahan – lahan.
5. Ditambahkan 50 mL larutan pencuci ke dalam larutan ekstrak (kloroform gabungan) dan digojog
kuat – kuat selama 30 detik.
6. Didiamkan sampai terjadi pemisahan fase, digoyang perlahan – lahan , lapisan bawah (kloroform)
dikeluarkan melalui serabut kaca, dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 mL (jaga agar lapisan
air tidak terbawa).
7. Larutan ekstrak dimasukkan ke dalam kuvet pada alat spektrofotometer , dibacan dan dicatat
absorbansinya pada panjang gelombang 652 nm, pembacaan dilakukan tidak lebih dari 3 jam
setelah ektraksi.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil

Penentuan kadar surfaktan anion dalam sampel air limbah dengan menggunakan metode MBAS
secara spektrofotometri menggunakan panjang gelombang 652 nm. Terlebih dahulu dilakukan
pengukuran absorbansi dari larutan standar MBAS yang telah dibuat sebelumnya. Tabel 4.1
memperlihatkan nilai absorbansi dari larutan standar MBAS. Gambar 4.1 memperlihatkan kurva
kalibrasi standar dari larutan standar MBAS.

4.1.1 larutan Standar

Tabel 2 Absorbansi larutan standar MBAS

Konsentrasi Standar (ppm) Absorbansi

0 0

0,2 0,132
0,4 0,254

0,8 0,482

1,2 0,731

2,0 1,222

Sumber : Data primer hasil pengujian

Gambar 4.1 Kurva kalibrasi larutan standar MBAS

Berdasarkan pengukuran larutan standar MBAS, maka didapatkan kurva kalibrasi pada gambar 4.1.
Larutan standar MBAS yang telah diukur mempunyai persamaan y = 0,607x + 0,004 dengan nilai
koefisien korelasi (r) sebesar 0,999.

4.1.2 Hasil Pembacaan Spektrofotometri pada Sampel


Sampel Konsentrasi (ppm) Absorbansi

RK.II.8 0,0134 0,0192

RK.II.10 1,5783 0,9640

PA.49 0,0218 0,0133

PA.50 0,8188 0,5001

PA.51 0,2115 0,1292

UD.II.34 0,2390 0,1460

IN.16 1,3101 0,8002

UD.II.34-2 0,2686 0,1641

PA.51+0,4 SPIKE 0,6681 0,4081

Tabel 3. Data absorbansi dan konsentrasi sampel

4.1.3 Analisis Data


Data yang telah diperoleh kemudian dilakukan analisis dengan menghitung harga RPD
(RelativePercent Different) dan % Recovery. Harga RPD merupakan Kontrol Mutu Hasil Uji (IQC)
untuk mengetahui ketelitian (presisi) hasil analisis sedangkan % recovery digunakan untuk kontrol
akurasi, untuk mengetahui adanya gangguan matrik. Harga RPD kemudian dicocokkan dengan tabel
Horwirtz . Kebijakan di laboratorium Pengujian BBTPPI Semarang % recovery yang dijinkan
berkisar antara 85% dan 115 %. Angka ini dapat ditinjau ulang sejalan dengan penerapan
kebijakan continously improvement yang diterapkan di laboratorium.
 Perhitungan RPD (Relative Percent Different)

Pada pengukuran konsentrasi dilakukan 2 kali pengukuran dalam suatu sampel (duplo) yaitu pada
sampel UD.II.34, sehingga:

dimana rata-rata=

RPD digunakan untuk mengetahui presisi data yang diperoleh pada pengukuran sampel.
Presisimenunjukkan tingkat reliabilitas dari data yang diperoleh. Hal ini dapat dilihat dari standar
deviasi yang diperoleh dari pengukuran, presisi yang baik akan memberikan standar deviasi yang
kecil dan bias yang rendah. Dalam tabel Horwitz (lihat lampiran) konsentrasi dalam kisaran 0,2
ppm tidak boleh mempunyai nilai RPD lebih dari 14,5 % jadi, nilai RPD 11,66 % sudah memenuhi
standar analisis.
 Perhitungan % recovery (Persen Temu Balik)

dengan pengertian:

A adalah Kadar contoh uji yang di spike (mg/L);


B adalah Kadar contoh uji yang tidak di spike (mg/L);
C adalah Kadar standar yang diperoleh (target value) (mg/L);

dengan,

dengan pengertian:

Y adalah volume standar yang ditambahkan (mL);

Z adalah kadar standar MBAS yang ditambahkan (mg/L);

V adalah volume akhir (mL).

Maka:

recovery digunakan untuk mengetahui keakuratan data yang diperoleh dari kesesuaian antara hasil
uji dengan perolehan kembali standar yang ditambahkan agar mengetahui efek matriks pada
sampel yang dilakukan dengan cara contoh uji diperkaya menggunakan larutan baku dengan kadar
tertentu.
4.2 Pembahasan
4.2.1. Preparasi dan Penentuan Kurva Kalibrasi Pada Larutan Standar MBAS
Kurva kalibrasi merupakan grafik yang menyatakan hubungan kadar larutan baku dengan hasil
pembacaan absorbansi larutan, yang biasanya merupakan garis lurus. Dalam pembuatan kurva
kalibrasi standar MBAS yang harus dilakukan adalah membuat beberapa larutan standar yang telah
diketahui konsentrasinya dari analit yang akan ditentukan konsentrasinya dalam sampel. Fungsi
dari larutan standar ini adalah sebagai standar dalam pengukur analit yang nantinya hasilnya akan
diplotkan pada kurva standar untuk menentukan nilai regresi dari kurva.

Dalam analisis ini digunakan konsentrasi larutan standar MBAS yang diperoleh melalui pengenceran
larutan induk LAS 1000 ppm dengan menggunakan persamaan V1 . N1 = V2 . N2sehingga didapatkan
larutan standar MBAS dengan konsentrasi 0; 0,2 ; 0,4 ; 0,8 ; 1,2 ; dan 2,0 ppm. Larutan standar
untuk membuat kurva kalibrasi ini harus baru dan setiap analisis harus dibuat lagi karena sifatnya
yang tidak stabil dalam waktu yang lama.

Larutan standar yang telah dibuat, terlebih dahulu diperlakukan sebagaimana perlakuan terhadap
larutan sampel agar didapatkan hasil yang maksimal dalam pengukuran absorbansi. Nilai
absorbansi yang didapat kemudian dibuatkan kurva kalibrasinya versus nilai konsentrasi larutan
standar sehingga akan didapatkan nilai koefisien korelasi (r). Jika nilai regresi tersebut mendekati
1 atau > 0,95 (di Lab. Pengujian BBTPPI nilai R minimum adalah 0,998) maka dapat dikatakan
bahwa hasil dari pembuatan larutan standar memiliki tingkat keakuratan yang cukup baik, karena
data regresi yang dihasilkan sudah mendekati data sebenarnya atau memiliki selisih yang cukup
kecil.

4.2.2. Ekstraksi Pelarut MBAS


Setelah penentuan kurva kalibrasi larutan standar, selanjutnya dilakukan ekstraksi pelarut pada
sampel limbah. Prinsipnya adalah distribusi zat berdasarkan kelarutan terhadap pelarut yang
ditambahkan. Tujuan dari perlakuan ini adalah agar surfaktan anionic terikat dengan metilen
biru dan terlarut dalam fase kloroform. Pada saat dilakukan penggojogan, akan timbul gelembung-
gelembung yang merupakan emulsi sebab air limbah lebih kompleks kandungan materinya. Jika
kadar surfaktan anion dalam sampel limbah tinggi, maka akan menunjukkan warna biru pekat
pada fase kloroform setelah digojog.

Struktur metilen biru adalah sebagai berikut:

Gambar 4.2 Struktur metilen biru

Struktur dari LAS adalah sebagai berikut:

Gambar 4.3 Struktur deterjen LAS

Ikatan yang terbentuk antara metilen biru dengan Linier Alkyl Sulfonate (LAS) adalah sebagai
berikut:

Gambar 4.4 Struktur ikatan metilen biru dengan LAS


Sisi dari metilen biru yang akan berikatan dengan LAS adalah di bagian cincin yang mengandung S
bermuatan positif. Akibatnya untuk dapat berikatan dengan metilen biru, gugus sulfonil dari LAS
harus melepaskan ion Na terlebih dahulu sehingga O yang awalnya berikatan dengan Na+akan
menjadi O bermuatan negatif. Gugus S+dari metilen biru juga dapat terikat pada O-dari LAS pada
posisi O nomer 2 dan O nomer 3 asalkan gugus O mampu beresonansi menghasilkan O parsial
negatif yang mampu berikatan dengan S parsial positif.

4.2.3. Penentuan Kadar MBAS dengan Spektrofotometer UV-Vis


Prinsipnya adalah surfaktan anion akan berikatan dengan metilen biru membentuk senyawa
kompleks berwarna biru yang larut dalam fase kloroform ketika diekstraksi dan dibaca
konsentrasinya menggunakan spektrofotometer UV-VIS pada panjang gelombang 675 nm.

Absorbansi suatu zat menunjukkan kemampuan dari zat tersebut untuk menyerap radiasi
elektromagnetik pada panjang gelombang maksimum. Konsentrasi adalah jumlah zat terlarut
dalam setiap satuan larutan atau pelarut. Absorbansi yang dihasilkan berbanding lurus dengan
konsentrasi larutan standar yaitu semakin besar konsentrasi yang digunakan, maka absorbansinya
juga semakin besar. Setelah dilakukan penentuan kurva kalibrasi larutan standar MBAS maka
didapatkan nilai regresi. Regresi dapat digunakan untuk analisis jika nilai regresi tersebut
mendekati 1 atau > 0,95 maka dapat dikatakan bahwa hasil dari pembuatan larutan standar
memiliki tingkat keakuratan yang baik.

Dilakukan penentuan kadar MBAS dalam air limbah sehingga diperoleh data konsentrasi MBAS
dalam sampel. Dari data tersebut kemudian dilakukan standar pengujian atau IQC (Internal
Quality Control) yaitu dengan menghitung harga RPD dan Recoverinya ini merupakan standar
pengujian yang diberlakukan di laboratorium BBTPPI. Penghitungan Recovery dilakukan untuk
mengetahui tingkat keakuratan data yang diperoleh pada kesesuaian antara hasil uji dengan
perolehan kembali dari standar yang ditambahkan agar mengetahui efek matriks pada sampel yang
dapat dikatakan sebagai tingkat akurasi, sedangkan RPD dibuat untuk mengetahui presisi atau
ketelitian data yang diperoleh pada pengukuran sampel, presisi yang baik akan memberikan
standar deviasi yang kecil dan bias yang rendah (Tahrir, 2008).
Dari perhitungan diperoleh nilai RPD hasil analisis sebesar 11,66%. Pada tabel Horwitz (lihat
lampiran) dalam kisaran konsentrasi 0,2 ppm nilai RPD tidak boleh lebih dari 14,5 % jadi nilai RPD
11,66 % sudah memenuhi standar mutu, sedangkan nilai Recovery pada analisis ini adalah sebesar
114,15 %. Dari nilai RPD dan Recovery yang diperoleh dapat dikatakan memiliki tingkat presisi yang
cukup baik karena jika dilihat dari data pengulangan yang dilakukan, kesalahan acak yang
ditimbulkan cukup kecil hal ini ditunjukkan dengan nilai RPD yang mendekati nilai 0, dan jika
dilihat data %Recoverinya maka kurang akurat karena nilai tersebut berada sangat dekat dengan
batas atas %recovery , yakni 115%, pada diagram control chart. Dari nilai %recoverytersebut, juga
menunjukkan adanya matriks pengganggu yang cukup banyak.
Dalam analisis penentuan kadar surfaktan anion diperoleh hasil bahwa kadar surfaktan anion atau
deterjen pada semua sampel limbah yang dianalisis masih memenuhi baku mutu yang telah
ditetapkan oleh Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 10 Tahun 2004, yakni dibawah 5
mg/L air limbah.

BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Deterjen merupakan salah satu senyawa organik yang berasal dari buangan industri yang
berbahaya bagi lingkungan dan manusia. Kadar deterjen dalam suatu air limbah dapat diuji
dengan MBAS menggunakan metode Spektrofotometri Uv-Vis sedangkan prinsip metode ini adalah
Prinsipnya adalah surfaktan anionik akan berikatan dengan methylene blue membentuk senyawa
kompleks berwarna biru yang larut dalam fase kloroform ketika diekstraksi dan dibaca
konsentrasinya menggunakan spektrofotometer UV-VIS pada panjang gelombang 675 nm. Dari
analisis tersebut diperoleh nilai konsentrasi deterjen dalam air limbah sebesar 0,2390 ppm dan
0,2686 ppm, masih memenuhi baku mutu yang telah ditetapkan oleh Peraturan Daerah Provinsi
Jawa Tengah Nomor 10 Tahun 2004, yakni dibawah 5 mg/L air limbah. Data yang telah diperoleh
dilakukan IQC (Internal Quality Control) yaitu dengan menghitung harga RPD
dan %Recoverinya.Harga RPD yang diperoleh 11,6% sedangkan harga %Recoverinya sebesar
114,15%. Hasil tersebut menunjukkan data yang presisi namun kurang akurat.
5.2. Saran
Dalam analisis kadar deterjen, penggojogan sampel dan metilen biru saat proses ekstraksi pelarut
harus sempurna agar deterjen benar-benar terekstrasi dari sampel. Bila hasil ekstraksi terlalu
pekat, dapat diencerkan agar diperoleh hasil pembacaan absorbansi yang sesuai
denganrange kurva kalibrasi.

a akan didapatkan eter UV-VIS

DAFTAR PUSTAKA

Abel, P.D., 1974, Toxicity of Synthetic Detergents to Fish aquatic Invertebrates, J.Fish, Biol

Achmad, Rukaesih, 2004, Kimia Lingkungan, Edisi kesatu, ANDI : Yogyakarta


Admin, 2010, Pencemaran Limbah Detergent, Dampak dan Penanganan Limbah
Detergent, platika.blogspot [18 Februari 2012]
Anonim, 2009, Mengetahui Dampak Air Limbah Deterjen Terhadap Organisme Air.
(http://tutorjunior.blogspot.com) [18 Februari 2012]
Connel, D.W.; miller, G.J., 1995, Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran, UI-Press: Jakarta
Effendi, H, 2003, Telaah kualitas Air Bagi pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan,Jurusan MSP Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Bogor
Fessenden, Ralph, 1986, Kimia Organik, edisi ketiga, Wadsworth, Inc., Belmont: California; a.b. :
Pudjaatmaka, A.H., Erlangga : Jakarta

Hindarko, S., 2003, “ Mengolah Air Limbah Supaya Tidak Mencemari Orang Lain”, ESHA, Jakarta

Justitia, Maya, 2011, Analisis Surfaktan Anionik (Deterjen) Pada Limbah Cair Domestik
Menggunakan Metode MBAS, Skripsi Program Diploma III Analisis Farmasi dan Makanan Fakultas
Farmasi USU, Medan

Kristianto, P., 2002, Ekologi Industri, LPPM, Penerbit ANDI , Yogyakarta

Metcalf, R., Eddy, I., 1979, “Wastewater Engineering: Treatment, Disposal and Re-use, McGraw-
Hill Company, New York

Rudi, La, Suratno, W., dan Paundanan, J., 2004, Perbandingan Penentuan Surfaktan Anionik
Dengan Spektrofotometer UV-ST Menggunakan Pengompleks Malasit hijau Dan Metilen biru,
Jurnal Kimia Lingkungan, Vol. 6 No. 1, Surabaya: Universitas Airlangga

Sastrawijaya, A. T., 1991, “Pencemaran Lingkungan”, Rineka Cipta, Jakarta

Sawyer, C. N., McCarthy, P. L., and Parkin, G. F.,1967, “ Chemistry for the Environmental
Engineering and Science”, McGraw-Hill Company, Singapore

Sugiharto, 1987, “Dasar-dasar Pengelolahan Air Limbah”, Edisi Pertama, UI Press, Jakarta

Supriyono, E.; Takashima, F.; Strussman, C.A., 1998, Toxicity of LAS to Juvenile Kuruma Shrimp,
Penaeus japonicus : A Histopathological Study On Acute and Subchronic Levels, Journal of Tokyo
University of Fisheries, Japan, Vol. 85- 1-10

Anda mungkin juga menyukai