Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PERILAKU MEMILIH DAN PARTISIPASI POLITIK

Paper ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Politik

Disusun oleh:
Kelompok 3

1. Syaiful Bahrie Abdillah (025)

2. Bayu Aji Kurniawan (044)

3. Ali Muliawiharto (045)

4. Prayogi Seno Utomo (073)

5. I Gusti Ngurah Agung P (123)

6. Norhendra Ardhanaputra (151)

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkahnya, kami dapat menyelesaikan tugas yang berjudul “ Perilaku Memilih dan
Partisipasi Politik ”untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Politik dalam
semester Enam angkatan 2015/2016.

Makalah ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu pada kesempatan kali ini kami menyampaikan rasa terimakasih yang
setulusnya kepada berbagai pihak yang turut serta dalam pembuatan makalah ini.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, kami yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dari dosen pengampu kami, Bapak Ahmad Mujab Masykur,
S.Psi, M.A demi kesempurnaan makalah ini.

Semarang , 1 April 2018

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ 1


DAFTAR ISI .......................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 3
BAB II ISI ............................................................................................................. 4
A. Perilaku Memilih ........................................................................................ 4
B. Golput ......................................................................................................... 5
C. Kerangka Analisis ...................................................................................... 8
BAB III KESIMPULAN ........................................................................................ 10
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 11

2
BAB I

PENDAHULUAN

Dalam psikologi, perilaku memilih atau voting behavior merupakan keputusan


seseorang pemilih dalam memberikan suara kepada kandidat tertentu baik dalam
pemilihan anggota legislatif maupun eksekutif (Afan, 1992). Beberapa faktor yang
menimbulkan perilaku memilih tersebut, diantaranya: 1) kepercayaan terhadap politik
(political trust), seseorang yang tidak lagi percaya dengan sistem politik baik karena
keadaan politik yang sudah tidak lagi kondusif atau karena alasan ideologis membuat
motivasi untuk memilih dalam pemilihan umum menurun (Pattie & Johnston, 2001;
Be’langer & Nadeu, 2005; Gronlund & Steela 2007).

Sedangkan bagi mereka yang masih percaya bahwa sistem politik dapat berubah
di kemudian hari dengan keikutsertaan mereka dalam pesta demokrasi, membuat
motivasi mereka lebih tinggi. 2) Efikasi politik (political efficacy) atau dapat
menggunakan diksi lain yaitu keyakinan politik. Menurut teori pilihan rasional, individu
akan memilih jika mereka percaya bahwa suara mereka dapat membuat perbedaan
(memiliki dampak yang signifikan). Akhir-akhir ini muncul ajakan untuk golput karena
menurut beberapa orang ada tidaknya pemilu tidak memiliki dampak langsung dengan
kehidupan mereka.

3
BAB II
ISI

A. Partisipasi Politik

Menurut Miriam Budiarjo, (dalam Cholisin 2007:150) menyatakan


bahwa partisipasi politik secara umum dapat didefinisikan sebagai kegiatan
seseorang atau sekelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan
politik, yaitu dengan jalan memilih pemimpin Negara dan langsung atau tidak
langsung mempengaruhi kebijakan publik (public policy). Kegiatan inimencakup
tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, mengahadiri rapat
umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan
hubungan (contacting) dengan pejabat pemerintah atau anggota perlemen, dan
sebagainya. Keith Faulks (1999) memberikan definisi partisipasi politik sebagai
keterlibatan secara aktif (the active engagement)dari individu atau kelompok ke
dalam proses pemerintahan. Keterlibatan ini mencakup keterlibatan dalam
proses pengambilan keputusan maupun berlaku oposisi terhadap pemerintah.
Dari pendapat yang dikemukankan oleh para ahli di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa partisipasi politik adalah hal-hal yang berkaitan dengan
kegiatan seseorang atau sekelompok orang dalam hal penentuan atau
pengambilan kebijakan pemerintah baik itu dalam hal pemilihan pemimpin
ataupun penentuan sikap terhadap kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah
untuk di jalankan, yang dilakukan

secara langsung atau tidak langsung dengan cara konvensional ataupun


dengan cara non konvensional atau bahkan dengan kekerasan (violence).

Sudiono Sastroatmodjo (1995), menyatakan bahwa perilaku politik


merupakan perilaku yang menyangkut persoalan politik, perilaku politik
berkenaan dengan tujuan suatu masyarakat,kebijakan untuk mencapai suatu
tujuan, serta sistem kekuasaan yang memungkinkan adanya suatu otoritas untuk

4
mengatur kehidupan masyarakat ke arah pencapaian tujuan tersebut. Perilaku
politik yang ditujukan oleh individu merupakan hasil pengaruh beberapa faktor,
baik faktor internal maupun faktor eksternal, yang menyangkut lingkungan alam
maupun sosial budaya. Sementara itu perilaku pemilih diartikan oleh J. Kristiadi
(1996) sebagai suatu keterikatan seseorang untuk memberikan suara dalam
proses pemilihan umum berdasarkan psikologis, faktor sosiologis dan faktor
rasionalitas si pemilih atau disebut dengan teori Voting Behaviour. Berdasarkan
uraian di atas dapat dikatakan bahwa perilaku adalah suatu tindakan yang
dilakukan seseorang yang terbentuk dari perwujudan suatu sikap. Maka disini
disimpulkan bahwa perilaku pemilih adalah sejauh

mana seseorang untuk bertindak atau melakukan tindakan yang berkaitan


dengan politik, dalam hal ini yaitu penggunaan hak suara pada suatu pemilihan
umum.

Adman Nursal (2004) menyebutkan ada 4 (empat) pendekatan untuk


melihat perilaku pemilih, yakni (1) Pendekatan sosiologis (madzhab
Columbia); (2) Pendekatan psikologis (madzhab Michigan); (3) Pendekatan
rasional; dan (4) Pendekatan domain kognitif (pendekatan marketing). Secara
sosiologis perilaku memilih seseorang ditentukan oleh karakteristik dan
pengelompokan- pengelompokan sosial, baik secara formal (organisasi,
kelompok, okupasi, lembaga) maupun secara informal (keluarga, pertemanan,
kelompok kecil). Ikatan-ikatan sosiologis semacam agama, kelas sosial,
karakteristik demografis dan geografis, umur serta jenis kelamin, secara
teoritis dapat digunakan untuk menjelaskan aktivitas dan pilihan politik
seseorang. Sedangkan secara psikologis, perilaku memilih lebih dititik
beratkan pada konsep sosialisasi dan sikap ketimbang pengelompokan sosial.
Sosialisasi politik yang diterima (baik dari institusi formal maupun informal)
sangat mempengaruhi sikap politik mereka. Selain itu sudut pandang psikologis
ini juga menganggap sikap politik seseorang dalam memilih adalah refleksi
kepribadiannya. Sikap memilih tersebut dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu
ikatan emosional pada suatu parpol, orientasi terhadap isu-isu, dan orientasi

5
terhadap kandidat. Pendekatan ini lebih memberikan perhatian kepada
aspek psikologis pemilih. Menurut pendekatan ini, kecenderungan atau pilihan
seseorang terhadap partai/ kandidat tertentu bukan hanya karena partai/ kandidat
mempunyai kesamaan latar belakang/ karakteristik sosiologis dengan pemilih,
tetapi juga secara psikologis dekat dengan pemilih. Menurut model ini, Aspek
sosiologis dan psikologis ini saling berkaitan (sosio-psikologis). Faktor-
faktor sosiologis tersebut tidak langsung mempengaruhi keputusan untuk
memilih, tapi diperantarai oleh persepsi dan sikap, baik terhadap faktor
sosiologis tersebut maupun terhadap partai politik ( Haris dan Syafarani, 2005).
Salah satu variabel utama dari pendekatan ini adalah identifikasi seseorang atau
individu terhadap partai politik. Identifikasi Partai adalah perasaan keterlibatan
dan memiliki yang terdapat dalam diri seseorang terhadap sebuah partai politik.
Sehingga, ini bisa dikatakan sebagai sikap dan perasaan psikologis yang terdapat
di dalam diri seseorang. Kedekatan ini umumnya terbangun dalam proses yang
panjang. Identitas partai politik ini yang menjadi perantara dari faktor-faktor
sosiologis dengan opini dan sikap terhadap partai politik (Eriyanto, 2007).

Selain faktor sosiologis dan psikologis, Rui Antunes ( 2011)


menambahkan faktor pilihan rasional sebagai faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku memilih. Model rasional/ekonomi politik
menekankan kepada penilaian rasional pemilih. Ahli politik mengadaptasi teori
tentang ekonomi politik untuk menjelaskan perilaku pemilih dengan
memperhitungkan apa dampak yang bisa dirasakan langsung oleh pemilih di
masa datang kalau ia memilih partai tertentu. Menurut model ini, pilihan
terhadap partai politik/kandidat bukan hanya masalah psikologis dan
partisanship tapi merupakan pertimbangan rasional terutama kemampuan
dalam mengatasi dan menangani masalah ekonomi: Bagaimana seseorang
memposisikan dirinya terhadap isu tertentu, dan bagaimana partai dan calon
menyikapi isu-isu tersebut. Pertemuan antara posisi atau preferensi atas isu
seorang pemilih dengan posisi atas isu yang sama dari calon atau partai politik
menentukan perilaku memilih seseorang (Eriyanto, 2007)

6
B. Golput

Golput adalah mereka yang dengan sengaja dan dengan suatu maksud
dan tujuan yang jelas menolak memberikan suara dalam pemilu (Joko
Prihatmoko, 2003:150). Beberapa ahli berpandangan bahwa warga yang
berhalangan hadir di tempat pemilihan suara (TPS) karena alasan teknis, seperti
jauhnya TPS atau luput dari pendaftaran, otomatis tidak termasuk kategori
golput. Perilaku tidak memilih atau lebih dikenal dengan golput merupakan
bentuk pemikiran yang terbentuk dari pribadi masing-masing yang terbentuk
sendiri maupun terbentuk dari pengaruh lingkungan/orang lain. Berdasarkan
penjelasan dan pendapat mengenai golput dari para ahli di atas, golput dapat
diartikan sebagai suatu gerakan sekelompok orang (masyarakat) atau individu
yang tidak menggunakan hak pilihnya. Sekelompok orang atau individu tersebut
memiliki alasan yang sengaja untuk tidak memilih serta memiliki tujuan yang
jelas mengenai hal yang dilakukannya tersebut dan juga dengan dampak atau
akibat yang akan terjadi nantinya. Golput juga sebagai wujud protes politik
dikarenakan adanya perasaan yang tidak puas dalam kehidupan masyarakat yang
disebabkan oleh sistem dan objek politik yang ada disekitarnya.

1. Kategori dan Implikasi Golput

Ketidakpuasan dan ketidakpercayaan tersebut hanya sebagian


alasan yang melandasi pilihan untuk menjadi golput. Menurut Eep Saefullah
dalam Efriza (2012:546-547) fenomena golput terpilah ke dalam tiga kategori
besar, antara lain:

1) Golput teknis

Golput teknis ini dijelaskan ke dalam beberapa kelompok seperti di


bawah ini:

- Pemilih yang berhalangan hadir karena ketiduran seusai


bergadang semalaman sehingga kehilangan kesempatan
mencoblos. Selain itu absen di tempat pemungutan suara karena
kelelahan, sakit atau harus mengurus jenazah dan memakamkan
kerabatnya.
- Pemilik suara tidak sah karena keliru mencoblos akibat gagalnya
sosialisasi atau minimnya pengetahuan pemilih.

7
- Pemilih yang kurang pengetahuan misalnya di pelosok daerah.
Mereka yang tak tahu untuk apa pemilu diadakan dan untuk apa
mereka memilih, kaitan pilihan dan kepentingan, bahkan tak tahu
apa yang ia inginkan sehingga gamang dan tak mencoblos.

- Pemilik suara tidak dapat memilih karena tidak mendapat


undangan dan tidak terdaftar sebagai pemilih (tidak masuk dalam
daftar pemilih tetap) atau disengaja tidak diberikan undangan
oleh pihak panitia walaupun sudah terdaftar dalam daftar pemilih
tetap.

2) Golput politis

Golput politis ini terdiri atas beberapa kelompok, antara lain:

- Pemilih tidak memiliki pilihan dari salah satu kandidat karena


tidak sesuai dengan harapannya sehingga dia tidak mau
mencoblos.
- Pemilih tidak percaya formalisme sekalipun bersahabat dengan
elitisme dan tak percaya formalisme sekaligus elitisme. Biasanya
mereka anti terhadap hal-hal formal, seperti partai, pemilu,
parlemen, dan pemerintah).

- Pemilih yang tidak mau memilih karena menganggap


demokratisasi sebagai arena permainan elite menggunakan arena
dan kendaraan formal. Mereka tidak percaya pemilu dan pilihan
mereka membawa perubahan terhadap kehidupan mereka.

3) Golput ideologis

Golput ini cenderung bersifat permanen. Golput ideologis terbagi terdiri


dari ideologi sayap kanan maupun sayap kiri. Masyarakat menganggap golput
sebagai perwujudan keyakinan ideologis.

- Pada sayap kiri, mereka menolak berpartisipasi dalam pemilu


sebagai konsekuensi dari penolakan atas demokrasi liberal.
Masyarakat tidak percaya pada mekanisme demokrasi yang
dianggap liberal, untuk itu mereka tidak mau terlibat di
dalamnya.

 Pada sayap kanan, mereka berasal dari kalangan fundamentalisme


agama terutama Islam. Mereka beranggapan demokrasi dan pemilu
bertentangan dengan syariat agama.

8
Beberapa alasan yang melatarbelakangi sekelompok atau seorang
pemilih menjadi golput dapat disimpulkan menjadi beberapa kategori lainnya.
Pengklasifikasian golput tersebut dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok,
yaitu :

1) Kelompok anggota masyarakat yang kecewa dengan kondisi selama


reformasi (kalangan mahasiswa dan masyarakat awam). Kelompok ini merasa
tidak puas dalam tiga hal, yakni :

a) kepemimpinan yang lemah dan cenderung korup.

b) partai politik yang tidak mampu membangun kompetensi dan


kredibilitas.

c) elite politik yang lebih mengurus diri sendiri daripada mencurahkan


perhatian dan tindakan untuk kepentingan rakyat.

2) Kelompok anggota masyarakat yang tidak aksesibel terhadap


informasi pemilu, perubahan sistem pemilu, dan teknik pencoblosan karena
kurangnya sosialisasi pemilu. Kelompok ini umumnya berpendidikan rendah,
sebagian tinggal di pedesaan, dan perkotaan, dan menghadapi kemiskinan
struktural.

3) Kelompok aparat dan pendukung partai-partai yang tidak bisa ikut


pemilu. (Joko Prihatmoko, 2003:162-163)

Adanya golput ini memiliki implikasi pada proses-proses demokrasi


selanjutnya. Pahmi Sy (2010:69-70) menjelaskan setidaknya ada lima implikasi
dari keberadaan golput, yaitu:

1) Lemahnya legitimasi pemenang pemilu sehingga pemerintahan yang


dibentuk tidak begitu kuat karena lemahnya dukungan politik.

2) Munculnya sikap apatisme masyarakat golput karena kecewa dengan


partai politik.

3) Melemahnya optimisme publik terhadap penyelenggara pemilu.

4) Menularnya antipati masyarakat terhadap pemilu sehingga


pengetahuan dan penggunaan hak pilih berikutnya dalam sistem
pemilu semakin tidak mendapat dukungan rakyat.

5) Golput merupakan protes terhadap perilaku peserta pemilu,


penyelenggara pemilu, pengawas pemilu, dan pemenang pemilu

9
sehingga menjadikan mereka untuk berubah perilaku pada pemilu
berikutnya.

3.2 Bentuk Perilaku Golput


Memahami perilaku golput memang tidak sebatas pengamatan
semata. Perilaku golput juga susah untuk dijelaskan karena alasan yang berbeda-
beda dari pemikiran dan latar belakang setiap pemilih. Muhammad Asfar
menjelaskannya dalam tulisan “perilaku golput” untuk membantu dalam
memahami perilaku bentuk golput, diantaranya:

1) Pendukung golput yang mengaku akan mengekspresikan perilakunya


dengan cara tidak menghadiri bilik suara, setidaknya ada empat alasan sebagai
argumentasi mereka tidak hadir di bilik suara, yaitu:

- Sebagai aksi protes terhadap pemerintah, anggota DPR, dan parpol.

- Tidak adanya nilai yang lebih dari proses pemilu yang terjadi.

- Adanya urusan yang lebih penting seperti disinggung di atas mengenai


tidakadanya nilai yang lebih dari proses pemilu.

- Dikarenakan malas saja karena tidakadanya nilai lebih dari aktivitas


politik melalui kehadiran di bilik suara.

2) Pendukung golput yang beralasan tetap hadir ke tempat pemungutan


suara meskipun sudah menetapkan tidak memilih, ada beberapa alasan yang
melatarbelakanginya, yaitu:

- Untuk menghindari sorotan pengurus kampung, khususnya Ketua RT.

- Untuk menghindari perbincangan para tetangga.

- Sebagai tindak pencegahan atas kecurangan yang mungkin bisa


dilakukan panitia pemilihan akibat ketidakhadirannya ke TPS.

3) Pendukung golput yang mengekspresikan perilakunya dengan


mencoblos lebih dari satu kandidat atau tanda gambar, memasukkan kartu suara
kosong atau mencoblos bagian putih dari kertas suara, pertimbangannya sebagai
berikut:

- Sebagai aksi protes baik kepada pemerintah, anggota DPR-DPRD, dan


parpol.

10
- Agar kertas suara tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab.

- Untuk memberikan dorongan dan keberanian pada publik agar berani


menunjukkan sikap protes mereka melalui merusak kertas suara.

- Agar parpol dan kandidat memperhitungkan keberadaan kelompok


golput.

3.3 Faktor-Faktor Penyebab Golput

Berdasarkan hasil tulisan Muhammad Asfar dalam “Presiden


Golput”, Efriza (2012:537-544) setidaknya menyimpulkan ada empat faktor
yang menjadi penyebab golput, yaitu:

1) Faktor Psikologis

Faktor ini berkaitan dengan ciri-ciri kepribadian seseorang dan orientasi


kepribadian. Perilaku golput berkaitan dengan kepribadian seseorang melihat
bahwa kepribadian yang tidak toleran, otoriter, tak acuh, perasaan tidak aman,
perasaan khawatir, kurang mempunyai tanggung jawab secara pribadi, dan
semacamnya. Orientasi kepribadian melihat dari rendahnya sosialisasi politik,
tidak merasakan kepuasan dari aktivitas politik, merasakan aktivitas politik tidak
memengaruhi peristiwa maupun kebijaksanaan politik, menganggap dirinya
tidak terlibat urusan politik, dan pemerintah tidak berpengaruh terhadap
hidupnya.

2) Faktor Sistem Politik

Faktor ini berkaitan dengan sistem politik khususnya sistem pemilu


secara langsung. Pemilih melakukan protes terhadap sistem politik dan sistem
pemilu terutama kecewa dengan kebijakan dan implementasi dari pemerintah.
Sistem politik yang dibangun rezim berkuasa saat ini dirasakan pemilih tidak
mampu membangun demokrasi yang sehat. Sistem pemilu proporsional juga
dinilai tidak membawa perubahan politik dan tidak menjamin kedekatan antara
wakil dan terwakili

3) Faktor Kepercayaan Politik

Faktor ini sebagai bentuk perilaku golput sebagai ekspresi atas


kepercayaan yang rendah terhadap sistem politik atau sebagai suatu ekspresi atas
perasaan keterasingan (alienasi). Fenomena faktor kepercayaan politik ini
biasanya muncul karena ketidakpercayaan terhadap saluran politik dalam bentuk

11
partai dan akhirnya adanya keinginan warga negara untuk melakukan
delegitimasi politik terhadap kekuasaan.

4) Faktor Latarbelakang Status Sosial-Ekonomi

Faktor ini terbagi lagi ke dalam tiga indikator, yaitu tingkat pendidikan,
tingkat pekerjaan, dan tingkat pendapatan. Raymond E. Wolfinger dan Steven J.
Rossenstone menjelaskan bahwa:

- Tingkat pendidikan tinggi menciptakan kemampuan lebih besar


untuk mempelajari kehidupan politik tanpa rasa takut, sedangkan yang kurang
berpendidikan berpengaruh untuk menghindari politik karena kekurangan
mereka terhadap kepentingan dalam proses politik. Penelitian Raymond E.
Wolfinger dan Steven J. Rossenstone menunjukkan hubungan antara tingkat
pendidikan dengan tingkat ketidakhadiran selalu menunjukkan arah berlawanan.
Pemilih yang tingkat pendidikannya rendah cenderung menunjukkan angka
ketidakhadiran dalam pemilu cukup tinggi.
- Tingkat pekerjaan tertentu lebih menghargai partisipasi warga.
Para pemilih yang bekerja di lembaga berkaitan langsung dengan pemerintah
cenderung lebih tinggi tingkat kehadirannya dalam pemilu dibandingkan para
pemilih yang bekerja pada lembaga yang tidak mempunyai kaitan langsung
dengan kebijakan pemerintah.

Tingkat pendapatan tinggi memudahkan orang menanggung beban


finansial akibat keterlibatannya dalam proses pemilu. Menurut Raymond E.
Wolfinger dan Steven J. Rossenstone, para pemilih yang tingkat pendapatannya
rendah cenderung menunjukkan angka ketidakhadiran cukup tinggi dan
sebaliknya.

C. Kerangka Analisis

Memahami kecenderungan partisipasi politik dan perilaku memilih pada


pemilu 2014. Faktor-faktor yang mempengaruhi hal tersebut ada tiga yaitu
faktor sosiologis, psikologis, dan pilihan rasional terhadap perilaku memilih
pemilih Indonesia. Ada tiga model atau mazhab (school of thought) yang
digunakan dalam studi perilaku memilih, yaitu model sosiologis, model
psikologis, dan model pilihan rasional atau model ekonomi-politik. Model
terakhir juga dikenal dengan nama model pilihan rasional. Berikut ini akan

12
diuraikan masing-masing asumsi dan faktorfaktor yang ditawarkan ketiga model
tersebut.

1. Model Sosiologis
Asumsi dasar dari pendekatan ini adalah bahwa setiap manusia terikat di
dalam berbagai lingkaran sosial, seperti keluarga, tempat kerja, lingkungan
tempat tinggal, dan sebagainya. Setiap individu didorong untuk menyesuaikan
diri sehingga perilakunya dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Konteks ini
berlaku dalam soal pemberian suara dalam pemilu. Menurut pendekatan ini,
memilih sebenarnya bukan sepenuhnya merupakan pengalaman pribadi,
melainkan suatu pengalaman kelompok. Perilaku memilih seseorang cenderung
mengikuti arah predisposisi politik lingkungan sosial dimana ia berada. Dari
berbagai ikatan sosial yang ada di tengah masyarakat, banyak sarjana ilmu
politik biasanya menunjuk tiga faktor utama sebagai indeks paling awal dari
pendekatan ini yaitu: status sosial-ekonomi, agama, dan daerah tempat tinggal.

2. Model Psikologis
Menurut pendekatan ini, yang berpengaruh langsung terhadap pilihan
pemilih bukan struktur sosial, sebagaimana dianalisis oleh pendekatan
sosiologis, melainkan faktor-faktor jangka pendek dan jangka panjang terhadap
pemilih. Orientasi terhadap isu atau tema merupakan konseptualisasi pengaruh
jangka pendek yang diperkenalkan oleh pendekatan psikologis. Isuisu khusus
hanya dapat mempengaruhi perilaku pemilih apabila memenuhi tiga persyaratan
berikut ini: (1) isu tersebut dapat ditangkap oleh pemilih; (2) isu tersebut
dianggap penting oleh pemilih; (3) pemilih dapat menggolongkan posisinya
terhadap isu tersebut, baik positif maupun negatif.

3. Model Pilihan Rasional


Teori pilihan rasional (rational-choice) yang diperkenalkan pertama kali
oleh Anthony Downs sebenarnya tidak hanya terbatas pada studi pemilu. Ia
menulis bagaimana demokrasi “diukur” dengan menggunakan pendekatan dalam
ilmu ekonomi. Salah satu elemen kunci dalam teori ekonomi Downs dan para
penerusnya tentang demokrasi adalah bahwa arena pemilihan umum itu seperti
sebuah pasar, yang membutuhkan penawaran (partai) dan permintaan (pemilih).
Dalam perspektif penawaran dan permintaan ala teori ekonomi, pemilih rasional
hanya akan ada jika partai yang akan mereka pilih juga bertindak rasional.
Seperti juga pemilih, partai mempunyai kebutuhan untuk memaksimalkan
utilitas mereka, antara lain dari pendapatan pemerintah, kekuasaan, dan gengsi.

13
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Kajian mengenai perilaku pemilih menghadapi pemilu legislatif, yang berkaitan


dengan faktor sosiologis, memuat beberapa hal yang harus digarisbawahi. Pertama,
dalam diri pemilih, ketaatan seseorang dalam menjalankan ibadah sesuai agamanya
tidak selalu memberikan pengaruh pada pilihan partai poltiknya. Namun demikian,
ketika pemilih dihadapkan pada pilihan calon legislatif dalam pemilu, latar belakang
agama caleg memberi pengaruh terhadap pilihan calegnya, dimana pemilih cenderung
memilih caleg yang menganut agama yang sama dengan dirinya.

Kedua, dalam survei ini, adanya janji-janji pemberian bantuan materi memang
tidak banyak mempengaruhi para pemilih dalam menentukan pilihannya. Namun
demikian, bagi pemilih yang telah berusia lanjut, tinggal di pedesaan, dan berpendidikan
rendah, maka janji-janji pemberian bantuan materi tersebut merupakan hal yang
menjadi pertimbangan dalam memberikan suaranya dalam pemilu legislatif tersebut.

Ketiga, dalam menentukan pilihan politiknya, para pemilih pemula sering


terpengaruh oleh pilihan orang-orang di sekitarnya seperti keluarga dan teman
sekelompoknya. Para pemilih pemula ini khususnya yang tinggal di pedesaan, mayoritas
mengikuti sikap orang tuanya atau tokoh yang dihormati di lingkungannya. Dalam
kaitannya dengan pilihan terhadap partai politik, kaum pemilih pemula ini cenderung
meneruskan tradisi keluarga dengan memilih partai politik yang selama ini telah dipilih
secara turun menurun oleh keluarganya dari generasi ke generasi. Sementara itu, dalam
memilih calon legislatif, kaum pemilih pemula ini cenderung memilih figur yang
terkenal meskipun mereka tahu lebih lanjut tentang latar belakang dan visi misi caleg
tersebut.

14
DAFTAR PUSTAKA

Antunes,Rui. (2011). Theoretical models of voting behavior diakses dari


www.exedrajournal.com/.../10C_Rui-Antunes pada 1 April 2018

Cholisin. (2007). Dasar-dasar ilmu politik. Yogyakarta : UNY Press

Faulks, K. (1999). Political sociology : A critical introduction. Einburgh : University Press

Eriyanto. (2007). Studi perilaku pemilih, kajian bulanan LSI, diakses dari www.lsi.co.id pada 1
April 2018

Eriyanto danSukanta. (2008). Kasus pilkada jawa tengah dan nusa tenggara barat” ,kajian
bulanan LSI, diakses dar iwww.lsi.co.id pada 1 April 2018

Firmanzah. (2010). Marketing Politik:Antara Pemahaman dan Realitas, Jakarta:Yayasan Obor


Indonesia

Halili. (2009). “Praktik Politik Uang Dalam Pemilihan Kepala Desa:Studi di Desa Pakandangan
Barat Bluto Sumenep Madura ”, Jurnal Humaniora, Volume14, Nomor2, LemlitUNY

Haris. (2005). Syamsuddin Haris dan Tri Rainni Syafarani, “Pola dan Kecenderungan Perilaku
Memilih” dalam Lili Romli dkk, Pemilihan Presiden Langsung 2004 dan Masalah
Konsolidasi Demokrasi di Indonesia, Jakarta:P2p-LIPI

Prihatmoko, J. Joko. 2003. Pemilu 2004 dan Konsolidasi Demokrasi. Semarang:

LP2I.

Efriza. 2012. Political Explore. Bandung: Alfabeta

Pahmi, SY. 2010. Perspektif Baru Antropologi Pedesaan. Gaung Persada Press

(GP Press), Jakarta.

Yustiningrum, R. E., & Ichwanuddin, W. (2015). Partisipasi Politik Dan Perilaku


Memilih Pada Pemilu 2014. Jurnal Penelitian Politik , 117-135.

15

Anda mungkin juga menyukai