Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH PENDEKATAN PRILAKU MEMILIH(RATION

CHOICE,PSIKOLOGIS CHOICE,SOSIOLOGIS CHOICE)

DOSEN PEMBIMBING
Hatta Abdi Muhammad, S.IP., M.I.P.

DISUSUN OLEH
1. Esteria Tamba
2. Jodi Setiawan
3. Rafif Zharifelno
4. Ilham Ramadhan
5. Putri Amanda Cetrine Munthe
6. Marsanda Syuhardi Putri

UNIVERSITAS JAMBI
FAKULTAS HUKUM
ILMU POLITIK

2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul [judul makalah] ini tepat pada
waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas [dosen/guru]
pada [bidang studi/mata kuliah] [nama bidang studi/mata kuliah]. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang [topik makalah] bagi para pembaca dan juga
bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada [bapak/ibu] [nama guru/dosen], selaku [guru/dosen]
[bidang studi/mata kuliah] [nama bidang studi/mata kuliah] yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya
tekuni.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

[tempat, tanggal pembuatan makalah]


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................................2
BAB 1 PENDAHULUAN...........................................................................................................................4
1.1 latar belakang..............................................................................................................................4
BAB 2.....................................................................................................................................................5
2.1 pembahasan................................................................................................................................5
BAB 3.....................................................................................................................................................9
3.1 KESIMPULAN................................................................................................................................9
BAB IV..................................................................................................................................................10
4.1 PENUTUPAN..............................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................10
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 latar belakang
Setidaknya terdapat tiga aliran pemikiran politik ketika membincangkan perilaku pemilih,
yaitu i) pendekatan sosiologikal atau biasa disebut The Columbia Study , ii) pendekatan
psikologikal atau biasa disebut Michigan Model, dan iii) pendekatan pilihan rasional
(Rational Choice). Walaupun di luar itu, terdapat juga pendekatan berbeda yang
dikembangkan oleh Lau dan Redlawsk (2006) dalam Haryanto (2014) yakni rational choice,
early socialization, fast and frugal, dan bounded rationality. Dalam artikel ini, hanya
menguraikan secara singkat ketiga pendekatan pertama sebagai landasan memahami perilaku
pemilih di Indonesia berdasarkan hasil survey persepsi public terkini.

Model Sosiologis
The Columbia Study dipelopori oleh Lezarsfeild pada tahun 1940. The Columbia Study
kemudian lebih dikenal dengan model atau pendekatan sosiologis.

Model Psikologis
Pendekatan perilaku memilih selanjutnya yakni The Michigan Model, sebuah metode untuk
mengetahui perilaku memilih yang berkembang awal tahun 1950-an

Model Rational Choice


Berangkat dari asumsi pemilih tak ubahnya dengan konsumen yang selalu berperilaku
memaksimalkan manfaat yang didapatkan (utility maximation) dari setiap proses transaksi,
Anthony Downs mengembangkan model bahwa pemilih itu tak ubahnya manusia ekonomi
yang egois karena hanya ingin memenuhi dan mendahulukan kepentingannya pribadi
terutama untuk mengoptimalkan kesejahteraan diri mereka sendiri.

Namun tidak semua manusia selalu mendahulukan kepentingannya sendiri, ia hanya ingin
menyampaikan bahwa perilaku memilih yang rasional itu karena manusia selalu

Memetakan Perilaku Pemilih dengan Survey


Dengan menggunakan ketiga pendekatan di atas, kita akan memetakan bagaimana pemilih di
Indonesia berperilaku, tentu saja dengan data survey sejak tahun 2014 (Pemilu) hingga
survey yang diadakan untuk Pilkada Serentak sejak tahun 2015, 2017 hingga 2018.

1.1 rumusan masalah


1. Bagaimana perilaku memilih dalam segi resion cohice,sosiologis choice,psikologis
choice?
2.Bagaimana pemilihan di indonesia sesuai dengan survei pada tahun 2014?
3.Jelaskan keterkaitan antara ke 3 pendekatan?
1.3 tujuan
1. mengetahui prilaku memilih
2. mengetahui pemilihan diindonesia 2014
3. mengetahui 3 keterkaitan 3 pendekatan

BAB 2
2.1 pembahasan
Pendekatan sosiologis memperlihatkan bahwa ada pengaruh antara nilai-nilai sosiologis yang
menempel pada diri individu yang memengaruhi perilaku seseorang dalam politik. Nilai-nilai
sosiologis tersebut berupa agama, kelas sosial, etnis, daerah, tradisi keluarga dan lain-lain
(Haryanto, 2014).

Asumsi terkuat yang dikembangkan teori ini adalah bahwa seorang pemilih hidup dalam
konteks tertentu: status ekonominya, agamanya, tempat tinggalnya, pekerjaan dan usianya,
sehingga mendefinisikan lingkaran sosial yang memengaruhi keputusan pemilih, disebabkan
kontrol dan tekanan sosialnya. Menurut Roth (2008), model sosiologis dapat memberi
penjelasan yang sangat baik pada perilaku memilih yang konstan. Hal ini disebabkan
kerangka struktural masing-masing individu yang hanya berubah secara perlahan.

Instrumen yang menjadi basis analisis sosiologis yakni agama, etnis, pendidikan, tempat
tinggal (desa- kota), pekerjaan, gender, umur dsb (Haryanto, 2014). Namun, karena
menekankan kepada konstruksi sosial, model sosiologis tidak dapat menjelaskan mengenai
penyebab pindahnya pilihan politik individu.

. The Michigan Model kemudian dikenal dengan nama pendekatan psikologis yang uraiannya
secara lengkap dapat dilihat dalam “The American Voter” (1960) ditulis oleh Campbell,
Converse, Miller, dan Stokes (Haryanto, 2014).

Model psikologis menjelaskan adanya keterikatan/ dorongan psikologis yang membentuk


orientasi politik seseorang. Ikatan psikologis tersebut disebabkan oleh adanya perasaan
kedekatan dengan partai atau kandidat. Persepsi dan penilaian individu terhadap kandidat
atau tema-tema yang diangkat (pengaruh jangka pendek) sangat berpengaruh terhadap pilihan
pemilu.

Bantahan model psikologis terhadap pendekatan sosiologis adalah faktor-faktor diferensiasi


social seperti struktur ekonomi, perpecahan sosial seperti ras atau agama, dan keberpihakan
sejarah ini memengaruhi struktur dalam sistem kepartaian, tetapi tidak memengaruhi
keputusan suara pemilih.

Roth seperti yang dijelaskan oleh Haryanto (2014) menjelaskan faktor yang mempengaruhi
individu membuat keputusan politik adalah 3 hal yang disebut sebagai trias determinant:
identifikasi partai (Party ID), orientasi kandidat dan orientasi isu.

Sebagai contoh, semua partai pasti sepakat untuk meningkatkan kesejahteraan semua warga,
termasuk buruh, tetapi masing-masing partai akan memiliki pandangan yang berbeda
mengenai bagaimana peningkatan kesejahteraan tersebut dicapai. Dalam konteks pemilu,
position issues lebih mempengaruhi keputusan para pemilih. Meskipun demikian, biasanya
position issues lebih jarang muncul, karena dihindari oleh partai politik, terutama karena isu
semacam ini memiliki resiko menimbulkan polarisasi, bahkan di kalangan pengikutnya
sendiri (Yustiningrum dan Ichwanudin, 2014).
Partisanship atau party identification (Party ID) dapat digambarkan sebagai ‘keanggotaan’
psikologis, dimana identifikasi terhadap sebuah partai tidak selalu bersamaan dengan
keanggotaan resmi pemilih dengan partai tersebut. Party ID lebih sebagai orientasi afektif
terhadap partai. PI merupakan orientasi individu terhadap partai tertentu yang bersifat
permanen, yang bertahan dari pemilu ke pemilu. Party ID masih dapat mengalami perubahan,
jika terjadi perubahan pribadi yang besar atau situasi politik yang luar biasa.

Beberapa ilmuwan politik kontemporer seperti Liddle dan koleganya, Mujani dan Ambardi,
termasuk yang berpendapat bahwa faktor- faktor psikologis, terutama kepemimpinan dan
identifikasi partai, memiliki pengaruh yang signifikan dibanding faktor-faktor sosiologis,
baik agama, suku bangsa, maupun kelas.

Seorang pemilih dalam hal melakukan penilaian terhadap kandidat, ia harus memiliki
informasi seputar rekam jejak kandidat atau partai tersebut dimasa lalu selama menjabat atau
belum menjabat sebagai wakil rakyat dan memproyeksikannya dimasa akan datang tentang
apa saja kemungkinan besar yang dapat kandidat lakukan dan apakah itu membawa
keuntungan bagi pemilih atau tidak dan pemilih akan memilih partai mana yang paling
membawa keuntungan paling besar bagi dirinya.

Model ini ingin menjelaskan bahwa pada pendekatan- pendekatan sebelumnya terkesan
menihilkan kehendak bebas yang dimiliki oleh setiap orang. Hal tersebut terbukti dari realitas
adanya varian perilaku memilih yang memiliki identitas sosial yang sama, yang tidak dapat
dijelaskan oleh 2 pendekatan sebelumnya.

Secara umum, ada beberapa temuan menarik dari hasil survei yang pernah dilakukan
beberapa lembaga survey seperti Lembaga Survey Indonesia (LSI), Poltracking Indonesia,
Indo Barometer, ataupun yang dilakukan oleh Lembaga Strategi Nasional (LSN) sendiri dll.
Data di bawah ini menggunakan hasil survey yang telah dilakukan oleh keempat lembaga
survey tersebut.

Pertama, angka partisipasi memilih. Rerata sebanyak 79% atau hampir 80% pemilih di
Indonesia menyatakan “berminat” untuk berpartisipasi (memberikan suara), baik dalam
pemilu legislatif 2014 yang lampau ataupun dalam Pilkada 2015, 2017, ataupun 2018.
Artinya, ada 21% pemilih yang berpotensi tidak menggunakan hak suaranya (golput), itu
belum termasuk golput teknis karena tak terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Kedua, perilaku memilih publik cenderung ditentukan oleh figur atau tokoh kandidat, yang
lebih bersifat psikologis. Publik lebih memilih (mencoblos) caleg (69%) dibandingkan partai
politik peserta pemilu (12%). Artinya, kandidat capres maupun caleg berperan penting
sebagai street level politicians yang menampilkan perwajahan partainya. Ini berarti
keterikatan pemilih terhadap partai (Party ID) mulai melemah digantikan keterikatan pemilih
terhadap caleg.

Ketiga, latar belakang caleg sebagai figur baru dan muda (68,4%) paling disukai oleh
pemilih, disusul caleg berlatar belakang politis/pengurus partai (64,8%), purnawirawan
(61,8%), atau pejabat/birokrat (61,9%). Sementara caleg dengan latar belakang artis/selebritis
paling sedikit diminati pemilih (18,7%). Itu sebabnya keputusan partai-partai parlemen
(partai yang telah memiliki kursi di DPR) dalam merekrut caleg-caleg dari kalangan artis
sebenarnya sedang berspekulasi mengambil ceruk yang kecil.

Keempat, dalam motif pilihan terhadap partai, program partai (34,2%) merupakan alasan
tertinggi publik memilih partai, disusul alasan adanya figur tokoh yang diidolakan (17,8%).
Sementara alasan karena kesesuaian antara keyakinan dengan asas/ideologi partai hanya
10%. Data ini mengkonfirmasi perihal menunurunnya tren Party ID di kalangan pemilih.

Di sisi lain, korupsi (49%) adalah faktor paling berpengaruh terhadap kegagalan partai pada
pemilu, dibandingkan faktor lainnya. Sementara itu, citra partai politik (24%) dan kinerja
partai (23,7%) dianggap oleh publik sebagai faktor kesuksesan partai dalam pemilu, baru
kemudian tokoh partai (11,9%) menjadi variabel ketiga.

Dua aspek paling krusial yang harus dilakukan partai politik menurut pemilih adalah
kepedulian partai terhadap masyarakat (46%) dan integritas partai (citra bersih) (33%).
Artinya, jika dua hal ini bisa ditunjukkan melalui program-program yang peduli persoalan
masyarakat dan integritas partai terjaga dalam persepsi publik, maka partai akan
mendapatkan simpati publik dalam Pemilu 2019 ke depan.

Dari data di atas bisa disimpulkan bahwa variable sosiologis (Model Columbia) dan
psikologis (Model Michigan), tidak mendapat pengaruh yang signifikan daripada variable
yang sifatnya pilihan rasional, yang menandakan pemilih Indonesia semakin dewasa dalam
menentukan pilihannya.
Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi caleg untuk menampilkan program partai yang
mementingkan kepentingan rakyat dan citra sebagai Partai yang bersih yang diinginkan oleh
pemilih.

BAB 3

3.1 KESIMPULAN

Pendekatan sosiologis memperlihatkan bahwa ada pengaruh antara nilai-nilai sosiologis yang
menempel pada diri individu yang memengaruhi perilaku seseorang dalam politik. Nilai-nilai
sosiologis tersebut berupa agama, kelas sosial, etnis, daerah, tradisi keluarga dan lain-lain
(Haryanto, 2014).
Asumsi terkuat yang dikembangkan teori ini adalah bahwa seorang pemilih hidup dalam
konteks tertentu: status ekonominya, agamanya, tempat tinggalnya, pekerjaan dan usianya,
sehingga mendefinisikan lingkaran sosial yang memengaruhi keputusan pemilih, disebabkan
kontrol dan tekanan sosialnya. Menurut Roth (2008), model sosiologis dapat memberi
penjelasan yang sangat baik pada perilaku memilih yang konstan. Hal ini disebabkan
kerangka struktural masing-masing individu yang hanya berubah secara perlahan.
Model psikologis menjelaskan adanya keterikatan/ dorongan psikologis yang membentuk
orientasi politik seseorang. Ikatan psikologis tersebut disebabkan oleh adanya perasaan
kedekatan dengan partai atau kandidat. Persepsi dan penilaian individu terhadap kandidat
atau tema-tema yang diangkat (pengaruh jangka pendek) sangat berpengaruh terhadap pilihan
pemilu.
Secara umum, ada beberapa temuan menarik dari hasil survei yang pernah dilakukan
beberapa lembaga survey seperti Lembaga Survey Indonesia (LSI), Poltracking Indonesia,
Indo Barometer, ataupun yang dilakukan oleh Lembaga Strategi Nasional (LSN) sendiri dll.
1. Pertama, angka partisipasi memilih.
2. Kedua, perilaku memilih publik cenderung ditentukan oleh figur atau tokoh kandidat, yang
lebih bersifat psikologis.
3. Ketiga, latar belakang caleg sebagai figur baru dan muda (68,4%) paling disukai oleh
pemilih, disusul caleg berlatar belakang politis/pengurus partai (64,8%), purnawirawan
(61,8%), atau pejabat/birokrat (61,9%). Sementara caleg dengan latar belakang artis/selebritis
paling sedikit diminati pemilih (18,7%).
4. Keempat, dalam motif pilihan terhadap partai, program partai (34,2%) merupakan alasan
tertinggi publik memilih partai, disusul alasan adanya figur tokoh yang diidolakan (17,8%).

BAB IV
4.1 PENUTUPAN
Demikian lah makalah ini dibuat penulis dengan mengetahui segala sesuatu tentang
PENDEKATAN PRILAKU MEMILIH.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.lsn.or.id/index.php/2018/08/09/perilaku-pemilih-di-indonesia/ ,
http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.php?
article=971726&val=14954&title=ANALISIS%20PERILAKU%20MEMILIH
%20VOTING%20BEHAVIOR%20PEMILIH%20PEMULA%20WILAYAH
%20JAKARTA%20BARAT%20MENJELANG%20%20PEMILIHAN%20UMUM
%202019 , https://media.neliti.com/media/publications/1141-ID-perilaku-pemilih-pada-
pemilihan-kepala-daerah-minahasa-utara-periode-2016-2021-s.pdf

Anda mungkin juga menyukai