Anda di halaman 1dari 123

https://www.kompasiana.

com/jose_rizal/kerjasama-daerah-sebuah-peluang-peningkatan-
kesejahteraan-masyarakat_552a3621f17e61c96cd623e3

KERJASAMA DAERAH ; SEBUAH


PELUANG PENINGKATAN
KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
Penyelenggaraan pemerintahan di Negara Kesatuan Republik Indonesiamenganut asas
desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan (medebewind) dengan menggunakan prinsip
otonomi yang seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab. Melalui asas desentralisasi
kewenangan Pemerintahan diserahkan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan sesuai kebutuhan dan aspirasi masyarakat dengan tujuanpeningkatan
kesejahteraan masyarakat.

Ada berbagai keharusan daerah agar peningkatan kesejahteraan masyarakat terwujud


sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, salah satunya adalah bahwa daerah harus menjamin keserasian hubungan antara daerah
dengan daerah lainnya, artinya daerah dituntut untuk mampu membangun kerjasama antar daerah
untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah serta
perselisihan antar daerah dalam koridor keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kerja sama daerah merupakan wahana dan sarana untuk lebih memantapkan hubungan dan
keterikatan daerah yang satu dengan daerah yang lain dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia, menyerasikan pembangunan daerah, mensinergikan potensi antar daerah
dan/atau dengan pihak ketiga serta meningkatkan pertukaran pengetahuan, teknologi dan
kapasitas fiscal. Melalui kerja sama daerah juga diharapkan dapat mengurangi kesenjangan
daerah dalam penyediaan pelayanan umum khususnya yang ada di wilayah terpencil, perbatasan
antar daerah dan daerah tertinggal sebagaimana dimaksudkan PP Nomor 50 tahun 2007 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah. Intinya daerah harus memiliki inisiatif untuk
membaca potensi daerahnya -sebagaimana urusan wajib maupun pilihan yang telah menjadi
kewenangannya- yang dapat dikembangkan melalui kerjasama daerah dan/atau pihak ketiga yang
pada hakikatnya demi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Inisiatif Pemerintah Daerah untuk melaksanakan kerjasama bahkan telah diprakarsaisebelum
ditetapkannya PP nomor 50 tahun 2007, artinya dengan hanyamempedomani Undang-undang
nomor 32 tahun 2004, daerah telah berinisiatif untuk melakukan perjanjian kerjasama dengan
daerah lainnya dan/atau pihak ketiga oleh karena desakan hati nurani untuk segera
mensejahterakan masyarakatnya.

Beberapa kesepakatan bersama (memorandum of understanding, MoU) yang telah dilakukan di


antaranya adalah mengenai peningkatan pendayagunaan potensi daerah perbatasan yang
ditandatangi oleh lima Gubernur dari Sumatera dan Menteri Dalam Negeri pada hari senin 7
Agustus 2006 di aula Departemen Dalam Negeri, Jakarta. Lima Gubernur tersebut adalah,
Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fauzi, Gubernur Riau Rusli Zainal, Gubernur Jambi Tengku
Rizal Nurdin, Gubernur Bengkulu Agusrin M.Najamudin, dan Gubernur Sumatera Utara Rudolf
Pardede. MoU tersebut bertujuan untuk mengatasi munculnya masalah konflik perbatasan,
perebutan sumber daya alam diperbatasan, tumpang tindih pengeluaran perizian pengelolaan
hasil alam, konflik sosial masyarakat, dan ketertiban umum kurang terorganisasi.

Pemerintah Daerah Propinsi Sumbar juga telah mampu memfasilitasi penjajakan hubungan
kerjasama antara Bupati dan Walikota di Sumatera Barat melalui kesepakatan bersama tentang
Kerjasama Antar Pemerintah Daerah dalam rangka peningkatan kapasitas ruas jalan dari Duku
sampai batas Riau, serta melaksanakan pengembangan kerjasama daerah Kabupaten/ Kota
melalui rencana pengembangan kawasan perbatasan Kabupaten/Kota se-SumateraBarat, yang
telah ditandatangani di Padang pada tanggal 13 Juni 2005. Kepala daerah terkait itu adalah
BupatiPadang Pariaman, Tanah Datar, Agam, 50 Kota, Walikota Padang Panjang, Bukittinggi
dan Payakumbuh.

Berbagai inisiatif kerjasama oleh masing-masing kepala daerah seperti mengoperasikan kembali
Kereta Api Wisata antara Pemerintah Kota Pariaman, Kabupaten Padang Pariaman dan Kota
Padang dengan melibatkan pihak Ketiga yakni PT KAI yang dioperasikan pada tanggal 15
Februari 2007, mengenai pembiayaan operasional ditanggung oleh ketiga daerah hingga
mencapai 100 juta perbulannya. Selanjutnya ada juga kerjasama antara Departemen Hukum dan
HAM dengan Pemerintah Kota Sawahlunto untuk mendirikan Panti Rehabilitasi NARKOBA,
serta masih banyak lagi daerah yang berinisiatif untuk memulai memprakarsai kerjasama daerah-
daerah maupun dengan pihak ketiga. Namun pada intinya dalam melakukan kerjasama perlu
dipedomani prinsip-prinsip kerjasama daerah agar tujuan yang dicapai benar-benar memberikan
manfaat bagi daerah masing-masing.
PRINSIP KERJASAMA DAERAH

Pelaksanaan kerjasama daerah sebagaimana PP nomor 50/2007 harus memenuhi Prinsip-prinsip


sebagai berikut :

a. efisiensi; adalah upaya pemerintah daerah melalui kerja sama untuk menekan biaya guna
memperoleh suatu hasil tertentu atau menggunakan biaya yang sama tetapi dapat mencapai hasil
yang maksimal.

b. efektivitas; adalah upaya pemerintah daerah melalui kerja sama untuk mendorong
pemanfaatan sumber daya para pihak secara optimal dan bertanggungjawab untuk kesejahteraan
masyarakat.

c. sinergi; adalah upaya untuk terwujudnya harmoni antara pemerintah, masyarakat dan swasta
untuk melakukan kerja sama demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat.

d. saling menguntungkan; adalah pelaksanaan kerja sama harus dapat memberikan keuntungan
bagi masing-masing pihak dan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat.

e. kesepakatan bersama; adalah persetujuan para pihak untuk melakukan kerja sama

f. itikad baik; adalah kemauan para pihak untuk secara sungguh-sungguh melaksanakan kerja
sama.
g. mengutamakan kepentingan nasional dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia; adalah seluruh pelaksanaan kerja sama daerah harus dapat memberikan dampak
positif terhadap upaya mewujudkan kemakmuran, kesejahteraan masyarakat dan memperkokoh
Negara Kesatuan Republik Indonesia.

h. persamaan kedudukan; adalah persamaan dalam kesederajatan dan kedudukan hukum bagi
para pihak yang melakukan kerja sama daerah.

i.transparansi; adalah adanya proses keterbukaan dalam kerja sama daerah.

j. keadilan; adalah adanya persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan para pihak dalam
melaksanakan kerja sama daerah.

k. kepastian hukum; adalah bahwa kerja sama yang dilakukan dapat mengikat secara hukum bagi
para pihak yang melakukan kerja sama daerah.

Prinsip-prinsip tersebut di atas juga merupakan pedoman bagi DPRD dalam pemeriksaan
terhadap rancangan kerjasama daerah yang pembiayaannya akan membebani anggaran APBD
tahun berjalan. Bila rancangan kerjasama daerah tersebut tidak memenuhi prinsip-prinsip
kerjasama, maka DPRD dapat mengembalikan rancangan kerjasama dengan memberikan saran
dan masukan penyempurnaan rancangan perjanjian kerjasama kepada kepala daerah. Dan
selanjutnya rancangan yang disempurnakan tersebut dapat disetujui DPRD untuk ditandatangani
Kepala Daerah. Namun yang menjadi permasalahan yakni ketika masing-masing DPRD pada
daerah yang melakukan kerjasama memiliki persepsi yang berbeda dalam memahami prinsip
yang terkandung pada rancangan Perjanjian kerjasama tersebut walaupun masing-masing kepala
daerah telah saling memahami terhadap isi perjanjian. Hal ini tentu tidak dapat dihindari sebagai
sesuatu yang dapat dimaklumi, untuk itu diperlukan kearifan bagi masing-masing daerah untuk
lebih melihat tujuan kerjasama dari pada mempertahankan egoisme masing-masing daerah.
PEMENUHAN KEPENTINGAN DAERAH

Tidak ada daerah yang dapat berkembang sendiri tanpa dukungan maupun keberadaan daerah
yang lainnya. Sebagai contoh, pasar atas Bukittinggi tidak akan berkembang bila tanpa adanya
pasokan bordiran mukenah dari Pariaman, pasokan kerajinan tangan dari Agam dan
Payakumbuh, atau pasokan ternak dari Lima Puluh Kota dan Tanah Datar serta Ikan segar dari
Padang maupun beras pulen dari Solok. Demikian pula dengan WaterBoom Di Sawahlunto, yang
tidak mungkin ramai kalau hanya dikunjungi oleh warganya saja, dan penjual buah markisa di
gunung talang yang kebanjiran pembeli sejak dibukanya Waterboom Sawahlunto. Semua daerah
saling memiliki keterkaitan dan keterikatan satu sama lainnya, dan tanpa disadari –atau tanpa
tidak disadari-ada peluang kerjasama agar pengembangan potensi yang dimiliki tidak tumpang
tindih dengan potensi daerah lainnya. Untuk itu diperlukan kerjasama daerah.

Tentunya dalam melaksanakan suatu kerjasama antara dua pihak atau lebih harus diperhitungkan
hasil atau manfaat yang didapatkan dari hubungan kerjasama tersebut. Tidak mungkin salah satu
pihak ingin dirugikan dalam hasil akhir dari kerjasama itu, masing-masing pihak yang
melakukan kerjasama dapat dipastikan memiliki kepentingan yang harus dipenuhi dan diperoleh
dari hubungan kerjasama.

Kepentingan daerah yang paling umum sebagai alasan dilakukannya kerja sama adalah untuk
peningkatan Pendapatan Asli Daerah (uang), selain jasa maupun barang/asset, selain itu daerah
juga berkepentingan agar dalam membangun sarana dan prasarana public di daerahnya akan
semakin terkonsolidasi. Dapat dibayangkan apa yang terjadi bila masing-masing daerah yang
bertetangga membangun sebuah rumah sakit bertaraf international, atau bersaing dalam
membangun water boom atau objek wisata yang sejenis. Memang dalam era otonomi daerah
wajar-wajar saja bila setiap daerah memacu pertumbuhan daerahnya dengan segala potensi yang
dimilikinya, namun alangkah lebih indahnya bila masing-masing daerah memiliki ciri khas dan
potensi unggulan yang saling menopang dan mendukung kehidupan ekonomi daerah
tetangganya, bukannya malah saling bersaing dengan ego kedaerahan sendiri-sendiri. Untuk itu,
program ‘one village one product’ hendaknya perlu menjadi pemikiran kembali guna mensiasati
dan menghindari terjadinya keseragaman produk unggulan dari masing-masing daerah.

Dalammenghindari sifat egoisme daerah tersebut dibutuhkan peran propinsi untuk menjadi
fasilitator dan peran pemerintah bila kerjasama yang dilaksanakan menyangkut propinsi terkait.
Selain itu Pemerintah Propinsi juga dapat bertindak sebagai innovator dan motivator dalam
membangun kerja sama antar daerah di Propinsinya, tanpa menunggu prakarsa dari masing-
masing daerah untuk memulai.

Kerjasama daerah juga merupakan solusi atas masalah beban pembiayaan yang begitu berat bagi
suatu daerah, sehingga pembiayaan dan resiko dapat ditanggung oleh daerah yang melakukan
kerjasama menjadi lebih ringan. Namun bila demikian halnya mengapa setiap daerah belum
mengoptimalkan kerjasama daerah demi peningkatan kesejahteraan masyarakatnya ?

HAMBATAN KERJASAMA DAERAH

Beberapa hambatan yang mengakibatkan belum optimalnya dilaksanakan kerjasama daerah


adalah :

1.
2. Belum tergalinya potensi yang dimiliki oleh daerah, sehingga daerah belum mengenal
sejauhmana kemampuan daerahnya dalam memanfaatkan potensi yang dimiliki.
3. Pemerintah daerah belum memahami urusan-urusan yang menjadi kewenangannya yang dapat
dijadikan objek kerjasama, dan subjek yang akan diajak melakukan kerjasama serta manfaat
yang didapatkan sebagai hasil dari kerjasama.
4. Egoisme kedaerahan yang selalu ingin mendominasi dan merasa sebagai daerah yang lebih
superior sehingga beranggapan tidak perlunya kerjasama dengan daerah lain, toh permasalahan
dapat diselesaikan secara internal daerahnya sendiri.
5. Ketakutan akan justru terjadinya konflik antar daerah atau perselisihan dan kerugian bila hasil
kerjasama ternyata melenceng dari harapan.
6. Political will maupun produk hukum yang dibuat oleh kepala daerah dan DPRD yangtidak
sejalan dengan semangat kerjasama daerah.

Mengatasi kebuntuan akan pelaksanaan kerjasama daerah, maka pemerintah melalui PP 50/2007
memberikan acuan jelas mengenai pelaksanaan kerjasama daerah yakni sebagai berikut :
1.Kerjasama daerah harus dituangkan dalam bentuk perjanjian kerjasama dengan memperhatikan
prinsip-prinsip kerjasama.

2.Salah satu kepala daerah dapat memprakarsai kerjasama dan selanjutnya membuat sebuah
rancangan perjanjian kerjasama yang memuat antara lain :subjek kerja sama, objek kerja sama,
ruang lingkup kerja sama, hak dan kewajiban para pihak, jangka waktu kerja sama, pengakhiran
kerja sama, keadaan memaksa danpenyelesaian perselisihan.

3.Rencana kerjasama daerah yang membebani daerah dan masyarakat harus mendapat
persetujuan dari DPRD apabila biaya belum teranggarkan dalam APBD tahun berjalan.

4.Kerjasama daerah yang dilakukan dalam satu propinsi terjadi perselisihan dapat diselesaikan
dengan cara musyawarah ataupun melalui keputusan gubernur.

5.Kerjasama daerah tidak berakhir karena pergantian kepala daerah, artinya bahwa kerjasama
darah dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan jangka waktu yang diatur dalam perjanjian
kerjasama dan tidak terpengaruh oleh adanya pergantian kepala daerah.

6.Masing-masing kepala daerah yang terkait dapat membentuk Badan Kerjasama daerah secara
bersama dalam hal membantu kepala daerah melaksanakan kerjasama daerah yang
membutuhkan waktu paling sedikit lima tahun, dengan pembiayaan ditanggung bersama sesuai
perjanjian kerjasama. Namun Badan kerjasama bukan termasuk perangkat daerah atau di luar
SOTK Pemerintah daerah.

KERJASAMA DAERAH-LUAR NEGERI


Dari 28 pasal pada PP nomor 50/2007 hanya mengatur hubungan teknis pelaksanaan kerjasama
daerah dalam lingkup kesepakatan antara gubernur dengan gubernur atau gubernur dengan
bupati/walikota atau antara bupati/walikota dengan bupati/walikota yang lain, dan atau gubernur,
bupati/walikota dengan pihak ketiga, hanya itu. lalu bagaimana dengan kerjasama daerah dengan
luar negeri ? toh saat ini banyak daerah yang telah berinisiatif melakukan kerjasama dengan luar
negeri. Di bidang pertambangan, daerah yang banyak bekerja sama dengan negara luar adalah
Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Untuk bidang pariwisata didominasi oleh Bali dan
Yogyakarta. Untuk bidang ekonomi-perdagangan, daerah-daerah di Jawa dan Sumatera menjadi
incaran negara asing untuk bekerja sama.

Bagaimana bila terjadi perselisihan dalam hubungan kerjasama daerah dan luar negeri ? agaknya
PP nomor 50/2007 belum mencermati hal ini. Namun dalam kajian lebih khusus secara
umumnya perlunya koordinasi antara daerah yang akan melakukan kerjasama dengan luar negeri
kepada Departemen Luar Negeri (menyangkut masalah yuridis, politik, maupun keamanan)
disamping berkoordinasi dengan Departemen Dalam Negeri (menyangkut fasilitasi subjek
kerjasama) dan Departemen yang terkait (menyangkut fasilitasi objek kerjasama) dengan objek
kerjasama serta Pemerintah Propinsi selaku wakil pemerintah di daerah juga harus dilibatkan
dalam membuat rencana kerjasama dengan luar negeri tersebut, sehingga bila terjadi perselisihan
dapat di atasi oleh pejabat yang berwenang dari masing-masing departemen terkait.

Kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh daerah tentu berbeda. Tergantung dengan paradigma
apa daerah memandang potensi yang dimilikinya, bisa saja kelemahan suatu daerah akan
diterjemahkan suatu peluang bagi Pemerintahnya demikian pula sebaliknya, sehingga di era
otonomi daerah ini yang dibutuhkan bukan Pemerintah Daerah yang hanya menghabiskan
APBDnya saja namun Bagaimana Pemerintah Daerah dapat berkreasi dan membuat terobosan
baru dan beritikad baik demi mengatasi beratnya beban yang dipikul oleh APBD-nya. Salah satu
terobosan itu adalah dengan melaksanakan kerjasama daerah.

*******

*telah terbit di Harian Pagi Singgalang, Rabu 28 November 2007


http://elsyarie.blogspot.com/2013/01/kerjasama-antar-daerah_29.html

Kerjasama antar Daerah

Otonomi Daerah dan Peluang Kerjasama Pemerintah – Swasta

Dalam Membangunan Daerah[1]

( Syarief Aryfa’id[2])

1. Pengantar

Kebijakan otonomi daerah yang dimandatkan dalam UU No.32/2004, merupakan hasil evuluasi kritis
terhadap penyelenggaraan sistem sentralisasi, yang dianggap sudah tidak relevan dan tidak populis dalam
menata dan menyelenggarakan sistem pemerintahan yang demokratis. Sentralisasi penyelenggaraan
pemerintahan tidak saja berdampak pada penumpukan kekuasaan pada pemerintah pusat, akan tetapi
juga diikuti oleh dampak lanjutan yaitu soal mandegnya inovasi dan kreatifitas pemerintahan daerah dalam
menata dan membangun perekonomian daerah sesuai dengan potensi dan urgensi masyarakat daerah.

Secara normatif, dalam klausul (menimbang) pada UU No.32/2004 menyebutkan


bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat UUD 1945, dimana pemerintah
daerah yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan,
pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta daya saing daerah dengan memperhatikan
prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia[3]. Isi dari klausul tesebut di atas, mengisaratkan dan bahkan
memerintahkan kepada penyelenggara pemerintah dan pemerintah daerah bahwa kebijakan otonomi
daerah bukan semata-mata soal pembagian kekuasaan dan pelimpahan kewenangan dari pusat ke
daerah. Hal yang substantif yang harus diterjemahkan (baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah) adalah soal meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan otonomi dan desentralisasi harus
dipandang sebagai alat dan proses, dan bukan sebagai tujuan.

Lebih dari 11 tahun pelaksanaan kebijakan otonomi daerah, banyak hal yang dapat dipelajari dan
juga dievaluasi. Diantara pelajaran penting yang dapat diextraksi untuk menjadi formulasi baru
mengejawantahkan kebijakan otonomi daerah, antaralain; Pertama, Aspek politik. Kebijakan otonomi
daerah selama kurun waktu 11 tahun lebih, cenderung menghabiskan energi untuk penataan sistem politik,
dengan berbagai varian, yaitu pemilihan kepala daerah secara langsung, pemilihan legislatif daerah secara
langsung, konflik elit lokal dalam pilkada langsung, konflik batas wilayah (daerah), masifisasi pemekaran
wilayah, dan lain sebagainya, yang berimbas pada dua hal, yaitu 1) terkurasnya anggaran untuk
kesejahteraan masyarakat, 2) mandegnya inovasi dan produktifitas pembangunan daerah.

Kedua, Aspek Ekonomi. Kebijakan otonomi daerah dan pemekaran wilayah idealnya mendorong
efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintah dan pemerintah daerah karena telah didukung oleh
pelimpahan berbagai kewenangan (politik) strategis, dengan asumsi sederhana, otonomi diterjemahkan
sebagai “bypass dan jalan tol” yaitu mekanisme yang tepat untuk memperpendek proses politik-kebijakan,
memperpendek prosedur pelayanan publik (berbagai aspek) kepada masyarakat. Akan tetapi yang realitas
empirik justru menceritakan lain. Seperti yang dilansir oleh Media Indonesia pada bulan April, yang
menyebutkan bahwa pemerintah daerah gagal menjalankan mandat konstitusi dan mandat UU No.32/2004
dalam membangun dan mensejahterakan masyarakat di daerah. Semangat otonomi dan pemekaran
wilayah dalam kurun waktu 1999-2009 hanya menjadi komodite politik, dan arena konsumsi dan kontestasi
ekonomi para elit politik.

Data hasil evaluasi tentang penyelenggaraan kebijakan otonomi daerah dan pemekaran wilayah
oleh Departemen Dalam Negeri benar-benar “mengerikan”. Dari 7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota
hasil pemekaran selama 1999-2009, hanya dua kota yang memperoleh skor di atas 60 dari nilai tertinggi
100. Itulah Kota Banjar Baru di Kalimantan Selatan dan Kota Cimahi di Jawa Barat. Sisanya mendapat
skor merah untuk indikator kesejahteraan masyarakat, pemerintahan yang baik, pelayanan publik, dan
daya saing. Sejumlah kota dan kabupaten bahkan memperoleh angka nol untuk keempat indikator itu
(Media Indonesia, 28 April, 2011).

Dari sekian ratus daerah yang memiliki kewenangan otonom, hanya dua daerah yang dianggap
berhasil melakukan inovasi dan kreatifitas pembangunan daerah. sungguh sebuah ironisme dan juga
paradokos desentralisasi[4]. Ada dua point penting yang dapat dipelajari dari daerah tersebut dalam
menata dan membangun daerahnya, yaitu 1) kedua pemimpin daerah tersebut memiliki kemauan dan
keberanian politik yang baik (political well) dalam membangun daerahnya, 2) kedua daerah tersebut
melakukan banyak eksperimen positif terkait berbagai inovasi dan kreatifitas untuk membangun
daerahnya, sesuai dengan latar belakang masalah yang dihadapi dan mengoptimalkan berbagai potensi
yang dimilikinya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.

Salah satu strategi yang digunakan oleh kedua daerah tersebut di atas dalam membangun
daerahnya adalah terletak pada kemampuan membangun jejaring kerjasama yang efektif dan produktif
antara pemerintah daerah dan swasta sebagai solusi alternatif meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Kabupaten Banjar Baru misalnya, kemampuan pemimpin daerah dalam menjalin kerjasama dengan
investor (swasta) dalam mengembangkan konsep pelayanan publik, serta optimalisasi pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya alam, telah mengangkat “derajat” daerah tersebut sebagai salah satu daerah
yang berhasil (dalam konteks inovasi pembangunan daerah). Kita ketahui, otonomi daerah dalam
menyelenggarakan pemerintahannya menganut asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas
pembantuan. Dengan asas desentralisasi kewenangan Pemerintah diserahkan kepada daerah otonom dan
daerah otonom diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus kewenangannya sesuai kepentingan
masyarakat. Dalam menyelenggarakan pemerintahannya, daerah diberi kewenangan untuk melakukan
kerja sama dengan daerah lain dan pihak ketiga.

Pertanyaan yang dapat diajukan kemudian adalah, bagaimana konsep dan model
kerjasama pemerintah-swasta yang dapat mendukung pembangunan dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat di daerah di era otonomi daerah?

Dalam menelaah persoalan tersebut di atas, penulis merujuk pada beberapa kerangka teoritis,
yaitu; konsep kerjasama pemerintah daerah, konsep kerjasama pemerintah daerah-swasta.

2. Pembahasan

2.1. Memahami Konsep Kerjasama Pemerintah Daerah

PP No 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara pelaksanaan Kerjasama Daerah merupakan hasil
tindaklanjut atas kebijakan UU No. 32 Tahun 2004 (pasal 197). Pada Bab I Pasal 1 (PP No 50/2007)
tersebut menyebutkan kerja sama daerah adalah kesepakatan antara gubernur dengan gubernur atau
gubernur dengan bupati/wali kota atau antara bupati/wali kota dengan bupati/wali kota yang lain, dan atau
gubernur, bupati/wali kota dengan pihak ketiga, yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan
kewajiban.

Kerja sama daerah merupakan sarana untuk lebih memantapkan hubungan dan keterikatan daerah
yang satu dengan daerah yang lain dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, menyerasikan
pembangunan daerah, mensinergikan potensi antardaerah dan/atau dengan pihak ketiga serta
meningkatkan pertukaran pengetahuan, teknologi dan kapasitas fiskal. Melalui kerja sama daerah
diharapkan dapat mengurangi kesenjangan daerah dalam penyediaan pelayanan umum khususnya yang
ada di wilayah terpencil, perbatasan antardaerah dan daerah tertinggal.

Kerja sama daerah dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan sumber pendapatan asli
daerah. Oleh karena itu, kerja sama daerah yang membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
dan masyarakat harus mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Ada 3 point penting dalam konsep kerjasama, yaitu, pertama adanya pihak ketiga, baik
itu Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen atau sebutan lain, perusahaan swasta yang
berbadan hukum, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, Yayasan, dan lembaga
di dalam negeri lainnya yang berbadan hukum.

Kedua, adanya badan kerja sama yaitu suatu forum untuk melaksanakan kerja sama yang
keanggotaannya merupakan wakil yang ditunjuk dari daerah yang melakukan kerja sama. Ketiga, adanya
Surat Kuasa, yaituh naskah dinas yang dikeluarkan oleh kepala daerah sebagai alat pemberitahuan dan
tanda bukti yang berisi pemberian mandat atas wewenang dari kepala daerah kepada pejabat yang diberi
kuasa untuk bertindak atas nama kepala daerah untuk menerima naskah kerja sama daerah, menyatakan
persetujuan pemerintah daerah untuk mengikatkan diri pada kerja sama daerah, dan/atau menyelesaikan
hal-hal lain yang diperlukan dalam pembuatan kerja sama daerah.

Bila mengaju pada PP No.50/2007, maka ada 11 prinsip kerjasama daerah yang harus di”patuhi”,
yaitu: 1). efisiensi[5], b). efektivitas[6]; 3) sinergi[7]; 4) saling menguntungkan[8]; 5) kesepakatan
bersama[9]; 6) itikad baik[10]; 7) mengutamakan kepentingan nasional dan keutuhan wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia[11]; 8) persamaan kedudukan[12]; 9) transparansi[13]; 10) keadilan[14];
dan 11) kepastian hukum[15].

Dalam konsep kerjasama pemerintah daerah, terdapat subjek dan kerjasama. Yang menjadi
Subjek Kerja Sama dalam kerja sama daerah meliputi: a). gubernur; b). bupati; c). wali kota; dan d). pihak
ketiga. Sedangkan yang menjadi Objek Kerja Sama adalah seluruh urusan pemerintahan yang telah
menjadi kewenangan daerah otonom dan dapat berupa penyediaan pelayanan publik.

2.2. Bentuk dan Tata Cara Kerja Sama Daerah

Kerja sama daerah dituangkan dalam bentuk perjanjian kerja sama. Perjanjian kerja sama daerah
dengan pihak ketiga wajib memperhatikan prinsip kerja sama dan objek kerja sama[16] . Dalam melakukan
kerjasama, terdapat tata cara kerja sama daerah dilakukan dengan:

a. Kepala daerah atau salah satu pihak dapat memprakarsai atau menawarkan rencana kerja sama kepada
kepala daerah yang lain dan pihak ketiga mengenai objek tertentu.

b. Apabila para pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a menerima, rencana kerja sama tersebut dapat
ditingkatkan dengan membuat kesepakatan bersama dan menyiapkan rancangan perjanjian kerja sama
yang paling sedikit memuat:

1. subjek kerja sama;

2. objek kerja sama;

3. ruang lingkup kerja sama;

4. hak dan kewajiban para pihak;

5. jangka waktu kerja sama;

6. pengakhiran kerja sama;


7. keadaan memaksa; dan

8. penyelesaian perselisihan.

9. Kepala daerah dalam menyiapkan rancangan perjanjian kerja sama melibatkan perangkat daerah terkait
dan dapat meminta pendapat dan saran dari para pakar, perangkat daerah provinsi, Menteri dan
Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen terkait.

10. Kepala daerah dapat menerbitkan Surat Kuasa untuk penyelesaian rancangan bentuk kerja sama [17].

Pelaksanaan perjanjian kerja sama dapat dilakukan oleh satuan kerja perangkat daerah. dimana
pelaksanaan kerjasama tersebut harus mendapatkan persetujuan DPRD. Seperti yang disebutkan pada
pasal 9 (PP 50/2007) bahwa rencana kerja sama daerah yang membebani daerah dan masyarakat harus
mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan ketentuan apabila biaya kerja sama
belum teranggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun anggaran berjalan dan/atau
menggunakan dan/atau memanfaatkan aset daerah.

Kerja sama daerah yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi dari satuan kerja
perangkat daerah dan biayanya sudah teranggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
tahun anggaran berjalan tidak perlu mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Untuk
mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap kerja sama daerah yang
membebani daerah dan masyarakat, gubernur/bupati/wali kota menyampaikan surat dengan melampirkan
rancangan perjanjian kerja sama kepala daerah kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan
memberikan penjelasan mengenai: tujuan kerja sama; objek yang akan dikerjasamakan; hak dan
kewajiban meliputi:

1. besarnya kontribusi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang dibutuhkan untuk pelaksanaan kerja
sama; dan

2. keuntungan yang akan diperoleh berupa barang, uang, atau jasa.

3. jangka waktu kerja sama; dan

4. besarnya pembebanan yang dibebankan kepada masyarakat dan jenis pembebanannya.

2.3. Hasil Kerjasama:

Hasil kerja sama daerah dapat berupa uang, surat berharga dan aset, atau nonmaterial berupa
keuntungan. Hasil kerja sama daerah yang menjadi hak daerah yang berupa uang, harus disetor ke kas
daerah sebagai pendapatan asli daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hasil kerja sama
daerahyang menjadi hak daerah yang berupa barang, harus dicatat sebagai aset pada pemerintah daerah
yang terlibat secara proporsional sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Kerjasama pemerintah daerah, juga memiliki berbagai persoalan atau perselisihan, oleh sebab itu,
dalam PP No. 50/2007 juga mengatur tentang penyelesaian perselisihan. Apabila kerja sama antardaerah
dalam satu provinsi terjadi perselisihan, dapat diselesaikan dengan cara: musyawarah; melalui penerbitan
Surat Keputusan Gubernur. Keputusan Gubernur sebagaimana dimaksud bersifat final dan mengikat.
Apabila kerja sama daerah provinsi dengan provinsi lain atau antara provinsi dengan kabupaten/kota dalam
1 (satu) provinsi atau antara daerah kabupaten/kota dengan daerah kabupaten atau daerah kota dari
provinsi yang berbeda terjadi perselisihan, dapat diselesaikan dengan cara : musyawarah; dan penerbitan
Surat Keputusan Menteri.

Apabila kerja sama daerah dengan pihak ketiga terjadi perselisihan, diselesaikan sesuai
kesepakatan penyelesaian perselisihan yang diatur dalam perjanjian kerja sama. Apabila penyelesaian
perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terselesaikan, perselisihan diselesaikan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.

2.4. Perubahan Kerjasama Daerah

Para pihak dapat melakukan perubahan atas ketentuan kerja sama daerah. Mekanisme
perubahan atas ketentuan kerja sama daerah diatur sesuai kesepakatan masing-masing pihak yang
melakukan kerja sama. Perubahan ketentuan kerja sama daerah dituangkan dalam perjanjian kerja sama
setingkat dengan kerja sama daerah induknya.

Berakhirnya kerjasama daerah apabila:

a) terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian;

b) tujuan perjanjian tersebut telah tercapai;

c) terdapat perubahan mendasar yang mengakibatkan perjanjian kerja sama tidak dapat dilaksanakan;

d) salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian;

e) dibuat perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama;

f) muncul norma baru dalam peraturan perundang-undangan;

g) objek perjanjian hilang; h) terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional; atau

h) berakhirnya masa perjanjian.

Kerja sama daerah dapat berakhir sebelum waktunya berdasarkan permintaan salah satu pihak
dengan ketentuan: menyampaikan secara tertulis inisiatif pengakhiran kerja sama kepada pihak lain. pihak
yang mempunyai inisiatif menanggung resiko baik finansial maupun resiko lainnya yang ditimbulkan
sebagai akibat pengakhiran kerja sama. Pengakhiran kerja sama ini tidak akan mempengaruhi
penyelesaian objek kerja sama yang dibuat dalam perjanjian atau dalam pelaksanaan perjanjian kerja
sama, sampai terselesaikannya objek kerja sama tersebut. Hal lain yang perlu diingat bahwa kerja sama
daerah tidak berakhir karena pergantian pemerintahan di daerah.

Dalam rangka membantu kepala daerah melakukan kerja sama dengan daerah lain yang dilakukan
secara terus menerus atau diperlukan waktu paling singkat 5 (lima) tahun, kepala daerah dapat membentuk
badan kerja sama. Badan kerja sama sebagaimana dimaksud bukan perangkat daerah. Pembentukan dan
susunan organisasi badan kerja sama sebagaimana dimaksud di atas ditetapkan dengan keputusan
bersama kepala daerah.

Badan kerja sama mempunyai tugas: 1) membantu melakukan pengelolaan, monitoring dan
evaluasi atas pelaksanaan kerja sama; 2) memberikan masukan dan saran kepada kepala daerah masing-
masing mengenai langkah-langkah yang harus dilakukan apabila ada permasalahan; dan 3) melaporkan
pelaksanaan tugas kepada kepala daerah masing-masing. Biaya yang diperlukan dalam pelaksanaan
tugas badan kerja sama menjadi tanggung jawab bersama kepala daerah yang melakukan kerja sama.

3. Kerjasama Pemerintah Daerah dan Swasta

Dalam tataran akademik, dewasa ini ada trend perubahan dari


konsepsi government kepadagovernance. Pada konsep “government”, pemerintah ditempatkan
sebagai pelaku utama pembangunan, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, serta
evaluasi. Pemerintah juga menjadi penyandang dana terbesar sekaligus sebagai penerima
benefit (beneficiary) terbesar. Dengan berkembangnya paradigma governance, pola hubungan antar
sektor (publik – privat) dan juga hubungan Pusat – Daerah berubah menjadi lebih sejajar (egaliter)
dan demokratis. Pada pola seperti itu, penyelenggaraan jasa layanan atau fungsi pemerintahan tertentu
tidak lagi di dominasi oleh satu pihak (cq. Pemerintah). Ini berarti pula bahwa proses kemitraan dan
kerjasama harus lebih digalakkan. Adapun pertimbangan atau alasan-alasan perlunya memperkuat
kerjasama publik –privat, paling tidak dapat dilihat dari 3 dimensi sebagai berikut:

Pertama, alasan politis: menciptakan pemerintah yang demokratis (egalitarian governance) serta
untuk mendorong perwujudann good governance and good society. Kedua, Alasan administratif: adanya
keterbatasan sumber daya pemerintah (government resources), baik dalam hal anggaran, SDM, asset,
maupun kemampuan manajemen. Ketiga, Alasan ekonomis: mengurangi kesenjangan (disparity) atau
ketimpangan (inequity), memacu pertumbuhan (growth) dan produktivitas, meningkatkan kualitas
dan kontinuiitas (quality and continuity), serta mengurangi resiko[18].

3.1. Memahami Kerjasama Pemerintah-Swata dan Implikasi Kelembagaan

Political will pemerintah (daerah) untuk memperluas desentralisasi internal serta mengembangkan
kerjasama dengan masyarakat dan swasta akan berdampak secara langsung maupun tidak langsung pada
format lembaga pelayanan publik. Hal ini sangatlah logis, mengingat setiap pengurangan peran / fungsi
pemerintah di satu pihak, dan penguatan peran / fungsi swasta atau masyarakat di pihak lain, secara
otomatis menuntut dilakukannya restrukturisasi kelembagaan. Dengan demikian, kelembagaan atau
perangkat daerah konvensional yang kita kenal selama ini berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004, boleh
jadi menjadi kurang relevan dengan tuntutan riil di lapangan.

Dalam hal ini, model alternatif kelembagaan sebagai implikasi dari pengembangan desentralisasi
dan kerjasama publik dan privat (public – private partnership) meliputi bentuk-bentuk sebagai berikut:

1) Lembaga Semi-Publik/Semi-Privat atau Government-Initiated Private Management.

Pengertian lembaga semi publik atau semi-privat disini dimaksudkan sebagai sebuah model kerjasama
dimana sektor publik (pemerintah daerah) dan sektor privat (swasta) memiliki kedudukan dan peran yang
berbeda, namun sinergis, dalam pengelolaan suatu urusan atau asset tertentu. Biasanya, pemerintah
memegang fungsi regulasi dan pengawasan, sementara investor menyelenggarakan fungsi-fungsi
perencanaan, pelaksanaan dan pembiayaannya.

Contoh konkrit tentang hal ini adalah Manajemen “Kya-Kya Kembang Jepun” di Surabaya, sebuah
arena pusat jajan yang sekaligus berfungsi sebagai wisata budaya di tengah kota. Kawasan Kya-kya ini
dirancang pada jalan sepanjang 730 meter, lebar 20 meter, menampung 200 pedagang (makanan dan
nonmakanan), 2.000 kursi, serta 500 mejamakan. Sebelum diterapkan, ide ini didahului oleh berbagai
macam studi secara terpadu yang mencakup studi keamanan, studi perilaku warga kota, studi parkir dan
transportasi, studi budaya (arsitektur setempat, genius loci), studi kelayakan ekonomis dan teknis seperti
sistem kebersihan, utilitas (saluran air, drainage, listrik, sistem suara, sampah), pemanfaatan SDM
setempat, kerja sama dengan warga, LSM, potensi-potensi wisata (bangunan kuno, monumen bersejarah),
dan sebagainya.

Dampaknya cukup luar biasa. Disamping merangsang pertumbuhan ekonomi lokal dan ekonomi
kerakyatan, juga menjadi obyek wisata baru dan ajang pelestarian budaya. Manajemen Kya-kya juga
menghasilkan efek sosial seperti perayaan Hari Anak Nasional dengan mengundang 300 anak yatim piatu
untuk makan malam bersama, berpesta bersama 300 pengamen dalam acara "Festival Ngamen Tjap Kya-
kya Kembang Djepoen" selama sebulan, memelihara monumen nasional Jembatan Merah, serta memberi
tali asih kepada para pejuang veteran (Pikiran Rakyat, 16-5-2004).

Bagi Pemkot Surabaya sendiri, kehadiran Manajemen Kya-kya memberi manfaat yang signifikan.
Disamping menjadi sumber pendapatan daerah melalui penarikan retribusi, urusan kebersihan dan
keamanan di kawasan Kya-kya juga ditangani oleh Manajemen Kya-kya, sehingga beban Pemkot menjadi
jauh berkurang. Disamping itu, pengelolaan yang professional diharapkan dapat menciptakan mutu
pelayanan yang jauh lebih baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Dari gambaran diatas, tidaklah
berlebihan kiranya untuk memasukkan model pengelolaan kawasan seperti Manajemen Kya-kya sebagai
salah satu Best Practices dalam administrasi publik.

Model pengelolaan kawasan oleh manajemen swasta yang dibimbing oleh regulasi Pemda seperti ini
sesungguhnya bisa diujicobakan di daerah lain. Di Kota Bandung, misalnya, terdapat banyak sekali sentra-
sentra industri kecil yang cukup spesifik seperti Cibaduyut (sepatu dan tas), Cihampelas (pakaian),
Cigondewah (kain). Di Sidoarjo terdapat kawasan Tunggul Angin (tas dan sepatu), sementara di
Yogyakarta terdapat kawasan Malioboro (kerajinan dan makanan), Kasongan (gerabah), dan sebagainya.
Jika saja kawasan-kawasan tadi dikelola secara baik oleh sebuah organisasi professional (professional
institution), dapat diyakini bahwa asumsi mendongkrak produktivitas kawasan binaan dan memperbaiki
pelayanan umum khususnya bagi warga yang tinggal di sekitar kawasan binaan, akan tercapai.

2) Pengelolaan Bersama (Joint Management).

Desentralisasi luas yang diintrodusir oleh UU Nomor 22/1999 ataupun UU Nomor 32/ 2004 ternyata
sering membawa permasalahan atau konflik antar daerah. Beberapa konflik yang sempat muncul di media
antara lain:

 Konflik antara Pemprov DKI dengan Kota Bekasi menyangkut TPA Bantargebang, serta antara Kota Bogor
dan Kabupaten Bogor menyangkut TPA Galuga dan terminal Bubulak (Pikiran Rakyat, 12 Juni 2002).

 Konflik antara Kota Bogor ke Kabupaten Bogor menyangkut kebijakan perluasan wilayah. Pihak Kabupaten
ngotot mempertahankan assetnya seperti gedung desa beserta tanah kas desa (bengkok) yang ditarik
masuk wilayah Kota (Pikiran Rakyat, 12 Juni 2002).

 Konflik antara Pemprov Jawa Barat (cq. Perda No. 23/2000 tentang Penebangan Kayu dan Perda No.
24/2000 tentang Usaha Pengolahan Teh) dengan Kabupaten Cianjur, Garut, Camis, dan Tasikmalaya yang
menerbitkan Perda yang mengatur hal yang sama (Pikiran Rakyat, 19 Juni 2002).

 Konflik antara Pemprov Jawa Tengah dengan Kota Semarang dalam pengelolaan Sistem Polder Kota
Lama, khususnya kolam retensi didepan Stasiun KA Tawang yang menimbulkan bau busuk (Kompas, 24
Juni 2002).

Untuk mengantisipasi munculnya konflik yang makin beragam dan makin kompleks, maka saling
pengertian antar daerah melalui penguatan kerjasama regional sangat diperlukan. Dan untungnya,
kesadaran untuk membangun kerjasama antar daerah melalui sistem pengelolaan bersama (joint
management) ini sudah mulai nampak, antara lain melalui kesepakatan antara beberapa Kepala Daerah
di wilayah tertentu, yakni: Surat Keputusan Bersama (SKB) lima Bupati, yakni Bupati Banjarnegara,
Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kabumen pada tanggal 28 Juni 2003 tentang Pembentukan
Lembaga Kerjasama Regional Management yang diorientasikan pada Regional Marketing yang diberi
nama “Barlingmascakeb” (lihat di http://www.barlingmascakeb.com/)

SKB Walikota Surakarta, Bupati Boyolali, Bupati Sukoharjo, Bupati Karanganyar, Bupati Wonogiri, Bupati
Sragen dan Bupati Klaten tentang Kerjasama Antar Daerah Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar,
Wonogiri, Sragen dan Klaten. Bahkan sebagai tindak lanjut dari SKB ini, telah dikeluarkan Keputusan
Koordinator Badan Kerjasama Antar Daerah Subosuka Wonosraten No. 136/06/BKAD/VII/02 tentang
Rincian Tugas Sekretariat Badan Kerjasama Antar Daerah SubosukaWonosraten

(lihat di http://www.gtzsfdm.or.id/documents/laws_n_regs/others/Subosuka_Wonosraten.pdf).

Meskipun demikian perlu ditekankan bahwa kerjasama regional atau pengelolaan bersama suatu
urusan tidak selamanya harus terdiri dari banyak daerah dan meliputi semua hal. Bisa jadi, joint
management hanya terjadi antara 2 daerah otonom dan untuk satu urusan tertentu. Sebagai contoh,
Pemprov DKI dan Pemkot Bekasi bekerjasama hanya dalam masalah persampahan dan TPA
Bantargebang. Demikian juga antara Pemkot Bandung dan Pemkot Cimahi, keduanya harus bekerjasama
dan memiliki kesepakatan (MoU) dalam pengelolaan sampah kota dan pengaturan TPA Leuwigajah.

3) Kawasan Otorita

Pengelolaan suatu kewenangan pemerintahan berbasis otoritas khusus (authority-based management)


sesungguhnya merupakan sebuah model yang lumrah dan sering diyakini memiliki efektivitas tinggi. Hanya
saja dalam konteks Indonesia, penetapan kawasan otorita selama ini masih menjadi wewenang pemerintah
Pusat, sebagaimana terlihat dalam pembentukan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam,
Otorita Jatiluhur, dan sebagainya. Meskipun demikian, pembentukan badan atau lembaga otorita ini dapat
dilakukan di daerah yang memiliki kawasan-kawasan khusus seperti pelabuhan, bandar udara, industri
(industrial estate), perkebunan, pertambangan, kehutanan, pariwisata, jalan bebas hambatan dan
sebagainya. Dan kenyataannya, kawasan-kawasan khusus seperti itu sangat banyak yang berlokasi di
wilayah Kabupaten / Kota. Pengelolaan kawasan khusus oleh unit kerja konvensional yang terkesan asal-
asalan, hanya akan menyebabkan fungsi pengembangan kawasan dan pelayanan umum menjadi merosot
mutunya. Sebagai contoh, potensi wisata pantai Pangandaran di Ciamis sesungguhnya tidak kalah dengan
Bali, namun sayang berbeda dalam profesionalisme pengelolaannya. Pemkab Ciamis nampaknya cukup
puas dengan kondisi Pangandaran saat ini, sehingga tidak terlihat ada upaya konkrit untuk
mempromosikannya. Hal ini bisa dilihat dari tidak adanya fasilitas wisata bertaraf internasional seperti
rumah sakit dan super market modern, tidak lengkap dan tidak efektifnya sistem transportasi (darat, laut
dan udara), kurangnya dukungan aspek keamanan (polisi, SAR), serta kurang tersedianya media promosi
skala nasional dan global. Jika saja Pangandaran dikelola oleh sebuah badan otorita, sangat mungkin
kawasan ini akan berkembang maksimal, sehingga menguntungkan masyarakat pengguna jasa wisata dan
pemerintah daerah setempat secara timbal balik.

Sebagai ilustrasi lain dapat dikemukakan disini bahwa pasca pemberlakuan UU Nomor 22 Tahun
1999, terjadi konflik pengelolaan pelabuhan antara daerah-daerah pantai seperti Cilacap, Cilegon dan
Gresik dengan Pemerintah Pusat cq. Departemen Perhubungan dan PT Pelindo. Daerah menuntut agar
Pemerintah Pusat menyerahkan pengelolaan pelabuhan, walaupun Daerah sendiri belum memiliki
infrastruktur yang memadai untuk mengambil alih manajemen pelabuhan. Dalam kasus demikian, perlu
dipikirkan adanya “desentralisasi” dari BUMN kepada unit kerja di daerah baik BUMD maupun Badan
Otorita Daerah. Jika model desentralisasi seperti ini dapat disepakati, maka infrastruktur yang dimiliki PT
Pelindo (SDM, sistem informasi kepelabuhan, dan sumber daya lainnya) akan berubah status dan
ditransfer menjadi asset daerah.

4) Tim / Komisi

Model tim atau kepanitiaan sesungguhnya juga merupakan fenomena yang sangat lumrah dalam
administrasi negara modern. Bahkan harus diakui bahwa “tim” sering kali dapat bekerja lebih cepat dan
efisien dari pada lembaga induk yang membentuknya. Disamping itu, “tim” lebih bersifat fungsional
sehingga mampu melepaskan diri dari jeratan-jeratan dan kendala struktural yang menjadi ciri khas dari
sistem birokrasi publik. Namun jika tradisi membentuk satu tim untuk satu kasus (one team one case) ini
berkelanjutan dan berlebihan, dalam kaca mata administrasi negara jelas merupakan suatu bentuk dari
kegagalan birokrasi publik (bureaucracy failure), atau dapat dipandang juga sebagai mal-administrasi.

Karakteristik beserta keuntungan dan kerugian dari masing-masing model kelembagaan pengelola
layanan publik diatas dapat dilihat dalam matriks dibawah ini.

Pilihan Model Kelembagaan Pengelola Layanan Publik dan Karakteristiknya


(sumber: Tri Widodo W. Utomo, SH., MA, Materi disampaikan pada “Diklat Manajemen Pemerintahan” bagi
Aparat Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung di Lembang, 24 Juni 2004)

3.2. Model-Model Kelembagaan Kerjasama Sektor Layanan Publik

Dari perspektif administrasi publik, program kerjasama dengan swasta dan / atau masyarakat dapat
dilakukan paling tidak dengan 2 (dua) metode, yakni teknik penalaran strategis dalam penetapan
kebijakan melalui pengkajian pilihan-pilihan strategis (prior option review), serta teknik analisis barang
publik dan barang privat (public and private goods).

1. Metode Prior Option Review (POR)


Metode prior option review ini secara garis besar bertujuan untuk menentukan apakah fungsi-fungsi atau
jenis-jenis urusan pelayanan umum tertentu yang selama ini dibiayai dan diselenggarakan oleh pemerintah
masih diperlukan atau tidak; dan apakah dengan demikian penyelenggaraan pelayanan umum tersebut
perlu dipertahankan, atau sebaiknya dialihkan saja kepada pihak swasta (masyarakat). Adapun hasil dari
analisis POR ini berupa model-model restrukturisasi pemerintahan atau model-model kemitraan/
kerjasama sebagai berikut:

1) Kebijakan Penghapusan: analisa penalaran strategis dimulai dengan analisis dan identifikasi jenis-jenis
pelayanan/jasa yang diselenggarakan dan dibiayai oleh pemerintah. Dari analisis ini dapat disimpulkan
apakah pelayanan atau jasa-jasa tersebut masih dibutuhkan atau tidak. Jika tidak, maka instansi-instansi
pemerintah yang menyelenggarakan pelayanan tersebut dapat dipertimbangkan untuk dihapus

2) Swastanisasi: jika jenis-jenis pelayanan tersebut masih dibutuhkan, pertanyaan selanjutnya adalah
apakah pemerintah masih harus mendanai pelayanan tersebut. Jika tidak, maka jenis-jenis pelayanan/jasa
tersebut dapat dipertimbangkan untuk diswastanisasi. Pertimbangan kemungkinan swastanisasi
pelayanan tertentu antara lain ada tidaknya kegagalan pasar (Market failures).

3) Kemitraan: apabila pemerintah masih berkepentingan menyelenggarakan pelayanan umum tertentu,


namun dana atau anggaran pemerintah terbatas, pertanyaan selanjutnya diajukan untuk mencari
kemungkinan mengikutsertakan dana pihak swasta/masyarakat dalam penyediaan pelayanan/jasa
tersebut. Pengikutsertaan dana pihak swasta ini bisa dilakukan dalam bentuk swadaya masyarakat, BOT
atau BOOT dan sebagainya yang dikenal dengan istilah Private Funding Initiatives (PFI). Contoh inisiatif
swasta dalam bidang pelayanan umum antara lain: Pembangunan dan Pengelolaan Jalan Tol Jakarta-
Cikampek; Angkutan Umum Bis antar kota dan antar Propinsi, angkutan umum perkotaan dan perdesaan;
Rumah sakit swasta, Sekolah-sekolah dan Perguruan Tinggi swasta; Penyediaan dan pembangunan
Perumahan oleh swasta; Panti asuhan anak-anak terlantar dan Rumah Jompo yang diselenggarakan oleh
badan-badan amal swasta; dan lalin-lain.

4) Kontrak Kerja / Karya: apabila dana/anggaran pemerintah masih dibutuhkan, selanjutnya dipertanyakan
juga apakah pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan umum tersebut juga harus dilakukan oleh
pemerintah. Jika tidak, makapelayanan/jasa pemerintah tersebut dapat dipertimbangkan untuk
dikontrakkan Model kebijaksanaan ini telah lama diterapkan di Indonesia, terutama untuk pekerjaan
konstruksi dan pengadaan barang dan jasa bagi pemerintah. Strategi ini bisa dikembangkan untuk
pelaksanaan pekerjaan pelayanan umum bagi masyarakat oleh kontraktor swasta; contohnya: PT SGS
atau PT SI melaksanakan kegiatan survey kepabeanan berdasarkan kontrak dengan Ditjen Bea dan Cukai;
Perusahaan cleaning service untuk pemeliharaan gedung-gedung perkantoran pemerintah; Perusahaan
catering swasta untuk melayani makan siang PNS; dan lain-lain.

5) Market Testing: jika ternyata terdapat keraguan pemerintah atas kemampuan sendiri untuk
menyelenggarakan jenis pelayanan umum tertentu secara efisien dan efektif, maka dapat dipertimbangkan
pola “Uji Pasar” (Market testing) melalui proses tender kompetitif antara team intern (In-house
bidder) dengan pihak swasta atau team kerja dari unit departemen/instansi lainnya. Konsep ini masih baru
bagi Indonesia, khususnya mengenai kebijaksanaan In-house bidder, yaitu kelompok kerja intern
departemen atau lembaga pemerintahan tertentu yang dibentuk untuk mengikuti tender kompetitif dalam
rangka memperoleh kontrak kerja penyelenggaraan pelayanan umum tertentu. Kelompok ini jika berhasil
memenangkan tender akan bertindak sebagi kontraktor dan status kepegawaian para anggotanya akan
dialihkan menjadi swasta. Hak-hak kepegawaian mereka selanjutnya bukan lagi menjadi tanggungan
pemerintah, tetapi menjadi tanggungan organisasi kelompok yang bersangkutan dan menjadi beban biaya
yang tercantum dalam kontrak kerja. Sedangkan hak pensiun dan jaminan sosial lainnya akan dialihkan ke
Perusahaan Swasta di bidang itu. Kebijaksanaan yang hampir mirip "Market Testing" adalah pembentukan
unit-unit swadana berdasarkan Keppres Nomor 38 tahun 1991 untuk menyelenggarakan pelayanan umum
kepada masyarakat dengan menerapkan konsep "Self Funding Institution" dalam penyelenggaraan
pelayanan umum, misalnya: Pelayanan Rawat Inap kelas Utama dan Kelas I di Rumah Sakit Umum
Pemerintah di Pusat maupun di Daerah; Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi di Universitas Negeri; dan
sebagainya.

6) Program Efisiensi Internal: setelah berbagai pertimbangan tersebut dilakukan ternyata dinilai lebih baik
jika penyelenggaraan pelayanan umum tertentu itu tetap dilaksanakan oleh pemerintah pusat ataupun oleh
pemerintah daerah; maka unit kerja yang bersangkutan harus melaksanakan program efisiensi, melalui
misalnya: kegiatan Benchmarking, Business Process Reengineering (BPR), Restrukturisasi, Rasionalisasi,
Standarisasi Kinerja dan Pola Evaluasi / Penilaiannya, dan sebagainya.

Pilihan kebijakan tersebut didasarkan pada prinsip bahwa kinerja pelayanan umum (efisiensi, kualitas,
efektifitas, maupun produktivitasnya) dapat dicapai atau ditingkatkan melalui pendekatan mekanisme dan
kompetisi. Sedangkan pada pilihan kebijakan nomor 6, upaya peningkatan kinerja pelayanan umum
dilakukan melalui program efisiensi intern dengan penyempurnaan dan perubahan cara kerja atau proses
produksi, sehingga mampu menghasilkan kinerja dan kualitas yang diharapkan. Dengan itu maka daya
saing (Competitiveness) sektor publik dapat dibentuk dengan tingkat biaya / pengorbanan yang lebih
rendah.

2. Metode Analisis Barang Publik – Barang Privat

Pada dasarnya, klasifikasi barang dan jasa dapat dibagi kedalam dua jenis, yaitu barangpublik
(public goods) dan barang privat (private goods). Secara dikotomis dapat dilakukan pemisahan bahwa
barang-barang publik wajib disediakan oleh lembaga publik (pemerintah), sementara swasta-lah yang
semestinya menyediakan barang-barang privat. Namun dalam prakteknya, dikotomi seperti itu tidak
berlaku. Bias jadi, barang-barang yang tergolong private goods murni harus disediakan oleh pemerintah
melalui mekanisme kontrol dan regulasi. Misalnya, kebutuhan beras harus dipenuhi oleh pemerintah
dengan sistem operasi pasar, pada saat terjadi kelangkaan

(shortage) beras. Dalam kondisi seperti itu, status beras sebagai private goods bergeser menjadi public
goods, atau paling tidak semi-public goods. Sebaliknya, jasa pemadam kebakaran justru cenderung beralih
dari public goods menjadi private goods.

Dalam bentuk bagan, klasifikasi dan variasi barang publik dan barang privat dapat digambarkan
sebagai berikut:
Intervensi pemerintah dibutuhkan dalam suatu jenis layanan tertentu, maka semakin besarlah
peluang kerjasama atau kemitraan antara sektor publik dengan swasta. Tabel dibawah ini menggambarkan
jenis dari setiap barang dan tingkat intervensi pemerintah. Selanjutnya, dibawah Tabel disajikan kasus
tentang jasa layanan kesehatan (Puskesmas) dan model kerjasama yang dapat (mestinya) dipilih.
Kasus: Layanan Puskesmas

Puskesmas sesungguhnya tidak cukup efisien dan oleh karena itu sebaiknya “dijual” kepada
dokter-dokter swasta agar dapat berkembang menjadi klinik-klinik kesehatan swasta. Sebab, pelayanan
Puskesmas pada dasarnya merupakan “barang privat” (private goods) yang harus disediakan oleh sektor
privat pula. Barang publik (public goods) dibidang kesehatan seperti pencegahan penyakit (menular),
penanggulangan wabah, atau perbaikan gizi sendiri menjadi tugas dan tanggung jawab Dinas Kesehatan,
bukannya Puskesmas. Lagi pula, jika Puskesmas di privatisasi, jelas akan menghemat anggaran
pemerintah, dapat menjadi sumber baru pendapatan daerah, sekaligus dapat meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan.

Adapun model atau jenis-jenis kerjasama / kemitraan yang umum dilakukan (selain

opsi-opsi yang ditawarkan dalam teknik POR) adalah sebagai berikut:

 Pola Inti Plasma. Pola ini merupakan pola hubungan kemitraan antara kelompok mitra usaha
sebagai plasma dengan perusahaan inti yang bermitra. Contoh pola kerjasama ini adalah PIR (Perusahaan
Inti Rakyat), dimana perusahaan inti menyediakan lahan, sarana produksi, bimbingan teknis, manajemen,
serta pengolahan dan pemasaran hasil produksi. Sedangkan kelompok mitra usaha atau plasma (biasanya
petani) memenuhi kebutuhan perusahaan sesuai perjanjian yang disepakati.

 Pola Subkontrak. Pola ini merupakan pola hubungan kemitraan antara suatu perusahaan dengan
kelompok mitra usaha yang memproduksi kebutuhan perusahaan sebagai bagian dari komponen
produksinya. Pola ini sering diterapkan antara perusahaan besar dengan perusahaan kecil.

 Pola Dagang Umum. Pola ini merupakan pola hubungan kemitraan antara kelompok yang memasarkan
hasil dengan kelompok yang mensuplai kebutuhan / produksi tertentu. Kegiatan agrobisnis yang berlokasi
di Sukabumi dan Puncak, banyak menerapkan pola dagang umum ini.

 Pola Keagenan. Pola ini merupakan pola hubungan kemitraan dimana usaha kecil diberi hak khusus untuk
memasarkan barang dan jasa dari usaha menengah atau usaha besar sebagai mitranya.

 Waralaba. Pola ini merupakan pola hubungan kemitraan dimana suatu perusahaan memberikan hak
lisensi atau merek dagang perusahaannya kepada kelompok mitra usaha sebagai waralaba, dengan
disertai bantuan berupa bimbingan manajemen.

4. Penutup.

Dari perspektif kesisteman, penyempurnaan manajemen pemerintahan melalui pengembangan


kerjasama kemitraan dengan swasta / masyarakat haruslah mampu membawa perubahan budaya kerja
dari birokratisme menjadi korporatisme. Ini artinya, reformasi pemerintahan hanya dapat dikatakan berhasil
jika mampu menghasilkan hallo-effect terhadap perilaku birokrasi. Dalam hal ini, proses perubahan
perilaku yang diharapkan meliputi perubahan dari pola manajemen gotong royong menjadi renumerasi,
dari paternalistis menjadi rasionalistis, dari orientasi kolektivitas menjadi penghargaan terhadap eksistensi
dan peran individu, dari otoriter menjadi demokratis, dari sentralistis menjadi desentralistis, dari tertutup
menjadi terbuka, dari kaku menjadi luwes, dari birokratis menjadi debirokratis, dari “government” menjadi
“governance”, serta dari

“bad governance” menjadi “good governance” yang menekankan kolaborasi antara pemerintah, sektor
swasta dan masyarakat madani atau civil society. Perubahan perilaku birokrasi adalah sebuah
keniscayaan dalam era otonomi luas dewasa ini. Sebab, sebaik apapun format kelembagaan jika tidak
ditunjang oleh perilaku yang berorientasi pada pelayanan publik, tetap tidak akan mampu menghasilkan
produktivitas yang tinggi.

Sesungguhnya tidak ada suatu pedoman baku dalam menetapkan suatu kebijakan tentang kerjasama
atau kemitraan bidang tertentu. Apa yang dikemukakan di bawah ini hanyalah suatu pertimbangan atau
kriteria logis yang dapat diterapkan untuk semua jenis kerjasama / kemitraan. Dalam hal ini, paling sedikit
terdapat 4 (empat) pertimbangan pokok untuk menggalang kerjasama antara sektor publik dan swasta atau
masyarakat.

1. Kriteria Kelembagaan

 Dampak restrukturisasi terhadap perubahan kelembagaan instansi yang selama ini mengelola jenis
layanan tersebut.

 Dampak restrukturisasi terhadap kepegawaian instansi yang selama ini mengelola/menyediakan jenis
layanan tersebut.

2. Kriteria Ekonomi dan Finansial

 Kemampuan pemerintah untuk membiayai dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat akan layanan
tersebut. Dapat diukur dengan Rasio Antara Prediksi Total Biaya Operasional Yang Diperlukan (Jumlah
Masyarakat Yang Harus Dilayani x Rata-rata Biaya Per Orang) Terhadap Dana Pemerintah Yang Tersedia
Untuk Layanan Tersebut.

 Kelayakan pasar dari jenis layanan suatu jenis layanan. Apakah jenis layanan tersebut laku atau tidak jika
dijual dengan tarif yang ditentukan.

 Kontribusi net income (pendapatan total dikurangi biaya operasional) dari jenis layanan tersebut terhadap
PADS, jika dikelola pemerintah, dibandingkan dengan kontribusi pajak yang akan diterima terhadap PAD
jika layanan tersebut diserahkan kepada swasta.

 Tarif yang dikenakan jika dikelola oleh pemerintah dibandingkan prediksi tarif yang akan dikenakan jika
dikelola oleh swasta.

 Efisiensi dalam menyelenggarakan layanan, yang tercermin dari rasio antara total penerimaan terhadap
total biaya operasional.

3. Kriteria Produk Layanan

 Kondisi kualitas layanan saat ini.

 Kesesuaian layanan dengan kebutuhan masyarakat saat ini.

 Kualitas layanan saat ini dibandingkan dengan jika diselenggaran oleh swasta.

4. Kriteria Prosedur dan Mekanisme Pelayanan

 Kesederhanaan prosedur layanan saat ini.

 Kemudahan persyaratan untuk mendapatkan layanan saat ini.

 Kemudahan dan kesederhanaan prosedur pelayanan saat ini dibandingkan dengan prediksi jika layanan
tersebut diselenggarakan oleh swasta.

Adapun tahapan yang sebaiknya ditempuh untuk menggalang kerjasama kemitraan dengan swasta adalah
sebagai berikut (M. Jafar Hafsah, Kemitraan Usaha, Sinar Harapan, 2000):

1. Membangun hubungan dengan calon mitra.


2. Mengerti kondisi bisnis pihak yang bermitra.

3. Mengembangkan strategi dan menilai detail bisnis.

4. Mengembangkan program.

5. Memulai pelaksanaan.

6. Memonitor dan mengevaluasi perkembangan.

Daftar Bacaan:

 Pratikno, Dr.,M.Soc.Sc (editor), 2007, Kerjasama antar Daerah; Kompleksitas dan Tawaran Format
Kelembagaan; Program S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah, UGM Yogyakarta

 Tri Widodo W. Utomo, SH., MA, Makalah Pengembangan Kerjasama Pemerintah dengan Swasta dan
Masyarakat, disampaikan pada “Diklat Manajemen Pemerintahan” bagi Aparat Pemerintah Daerah
Kabupaten Bandung di Lembang, 24 Juni 2004)

 UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah

 PP No. 50 Tahun 2007 Tentang Tata Cara pelaksanaan Kerjasama Daerah

[1] Makalah ini disajikan dalam acar diskusi publik dan launching LSN .
[2] Direktur Eksekutif LSN.
[3] UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Klausul:menimbang, point a.
[4] Baca Harian Media Indonesia Online, edisi Kamis 28 April 2011, topik: otonomi daerah yang
membakukan
[5] “efisiensi” adalah upaya pemerintah daerah melalui kerja sama untuk menekan biaya guna memperoleh suatu hasil
tertentu atau menggunakan biaya yang sama tetapi dapat mencapai hasil yang maksimal
[6] “efektivitas” adalah upaya pemerintah daerah melalui kerja sama untuk mendorong pemanfaatan sumber daya
para pihak secara optimal dan bertanggungjawab untuk kesejahteraan masyarakat
[7] “sinergi” adalah upaya untuk terwujudnya harmoni antara pemerintah, masyarakat dan swasta untuk melakukan
kerja sama demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
[8] “saling menguntungkan” adalah pelaksanaan kerja sama harus dapat memberikan keuntungan bagi masing-masing
pihak dan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat.
[9] “kesepakatan bersama” adalah persetujuan para pihak untuk melakukan kerja sama
[10] “itikad baik” adalah kemauan para pihak untuk secara sungguh-sungguh melaksanakan kerja sama.
[11] “mengutamakan kepentingan nasional dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”
adalah seluruh pelaksanaan kerja sama daerah harus dapat memberikan dampak positif terhadap upaya
mewujudkan kemakmuran, kesejahteraan masyarakat dan memperkokoh Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
[12] “persamaan kedudukan” adalah persamaan dalam kesederajatan dan kedudukan hukum bagi para
pihak yang melakukan kerja sama daerah.
[13] “transparansi” adalah adanya proses keterbukaan dalam kerja sama daerah.
[14] “keadilan” adalah adanya persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan para pihak dalam
melaksanakan kerja sama daerah.
[15] “kepastian hukum” adalah bahwa kerja sama yang dilakukan dapat mengikat secara hukum bagi para
pihak yang melakukan kerja sama daerah.
[16] Pasal 2 dan pasal 4 PP No.50 Tahn 2007
[17] PP No.50/2007
[18] Tri Widodo W. Utomo, SH., MA, Peneliti LAN dan mahasiswa Program Doktor di Department of International Cooperation
(DICOS), Graduate School of International Development (GSID), Nagoya University, Japan

http://boyanugerah.blogspot.com/2017/12/penguatan-kerja-sama-antar-daerah-guna.html

Penguatan Kerja Sama


Antar Daerah Guna
Meningkatkan Kesejahteraan
Masyarakat Dalam Rangka
Pembangunan Nasional
Desember 11, 2017

BAB I
PENDAHULUAN

1. Umum.

Salah satu perubahan penting dalam tata kelola pemerintahan pasca runtuhnya Orde

Baru adalah diberlakukannya kebijakan otonomi daerah sebagai pengganti tata kelola

pemerintahan masa lampau yang bersifat sentralistik atau berat di pusat. Lahirnya kebijakan

baru ini didasari oleh fakta empiris bahwasanya muncul ketidakpuasan dari beberapa daerah,

seperti Aceh dan Irian Jaya, dalam hal mana kekayaan dan potensi daerah yang mereka miliki
tidak memberikan signifikansi apa-apa bagi kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut.

Ketidakpuasan inilah yang menjadi pemicu munculnya upaya-upaya untuk memisahkan diri dari

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Belajar dari sejarah, pemerintah pasca Orde Baru atau pemerintah era reformasi

menggagas sebuah tata kelola pemerintahan yang lebih efektif dan efisien, dinamakan sebagai

otonomi daerah. Definisi efektif dan efisien di sini adalah manfaat pengelolaan daerah, pertama

dan utama adalah dapat dirasakan oleh daerah itu sendiri untuk kemudian dapat

dikontribusikan kepada pemerintah pusat sebagai dukungan bagi pembangunan nasional

bangsa dan negara. Dengan metode ini, pemerintah dan masyarakat di daerah mendapat

jaminan bahwa tercapainya kesejahteraan daerah akan sangat ditentukan oleh hasil kerja keras

mereka sendiri dalam mengelola daerah. Metode ini juga menepis kekhawatiran bahwasanya

kerja keras pemerintah dan masyarakat daerah akan menguap sia-sia karena semua kekayaan

dan pendapatan daerah akan diambil oleh pusat, sedangkan mereka hanya mendapatkan

remah-remahnya saja.

Otonomi daerah didefinisikan sebagai hak, wewenang, serta kewajiban daerah otonom

untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat

setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Secara harfiah, otonomi daerah

didefinisikan sebagai kewenangan untuk mengatur sendiri atau kewenangan untuk membuat

aturan guna mengurus daerah atau wilayah sendiri. Otonomi daerah memiliki berbagai tujuan,

antara lain upaya untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, mengembangkan

kehidupan berdemokrasi, menciptakan keadilan nasional, pemerataan wilayah daerah,

pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka

keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), mendorong pemberdayaan

masyarakat, serta menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta

masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Sebagai sebuah kebijakan, otonomi daerah memiliki dasar hukum. Otonomi daerah

diberlakukan di Indonesia melalui UU No. 2 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pada
tahun 2004, undang-undang ini digantikan dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah. Dasar perubahan ini adalah pertimbangan bahwa UU No. 2 Tahun 1999

tentang Pemerintahan Daerah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan,

ketatanegaraan, serta tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah. Selanjutnya, UU No. 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hingga saat ini telah mengalami beberapa kali

perubahan. Terakhir kali dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU

No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Kebijakan otonomi daerah secara implisit dan eksplisit memberikan hak kepada daerah

untuk mengelola wilayahnya sendiri guna sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat daerah

tersebut. Namun demikian, hak ini juga diikuti oleh tanggung jawab dan kewajiban yang

melekat. Konsepsi negara kesatuan yang dianut oleh Indonesia mensyaratkan adanya relasi

atau hubungan yang erat antar daerah guna bersama-sama menopang upaya pembangunan

nasional serta memperkokoh ketahanan nasional Indonesia. Relasi atau hubungan tersebut

secara legal formal dituangkan dalam kerangka kerja sama antar daerah.

Dalam konsepsi kerja sama antar daerah, ada ekspektasi atau harapan yang hendak

dicapai, baik oleh Pemerintah Daerah, maupun masyarakat daerah tersebut. Pertama,

menegaskan bahwa meskipun daerah memiliki otonomi sendiri-sendiri, kerja sama adalah

sebuah keniscayaan mengingat kerangka negeri ini adalah Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI). Kedua, tidak semua daerah bisa memenuhi kebutuhannya sendiri-sendiri.

Merujuk kepada teori keunggulan komparatifnya David Ricardo, setiap negara memiliki

keunggulannya masing-masing. Oleh sebab itu, antar negara harus bekerja sama dalam bentuk

perdagangan internasional. Hal ini juga berlaku pada level nasional. Suatu daerah yang miskin

sumber daya alam, misalnya, dapat memenuhi kebutuhan masyarakatnya dengan menjalankan

perdagangan dengan daerah lain. Sebaliknya, suatu daerah yang kaya sumber daya alam,

namun lemah dalam hal penguasaan teknologi, juga membutuhkan uluran tangan dari daerah

lain untuk membantu pengelolaan sumber daya alam di daerahnya, baik melalui pertukaran

sumber daya manusia atau alih tekonologi.


Ketiga, kerja sama antar daerah merupakan mekanisme untuk mengikis ego sektoral

antar pemerintah daerah. Majunya suatu daerah tidak akan berarti apa-apa apabila daerah lain

di sekitarnya tidak dapat maju dan berkembang. Dalam kerangka yang lebih besar,

ketimpangan antar daerah menimbulkan kerawanan dalam hal ketahanan nasional serta

berpeluang besar dalam menghambat pembangunan nasional.

Keempat, begitu banyak persoalan dan kebutuhan yang muncul di masyarakat.

Permasalahannya mungkin hanya berlokus di suatu daerah, namun dalam hal penanganan

membutuhkan kerja sama yang melewati batas-batas administratif. Sebagai contoh, banjir dan

kemacetan di Provinsi DKI Jakarta, tidak bisa diselesaikan hanya oleh Pemerintah Provinsi DKI

Jakarta saja. Dibutuhkan kerja sama yang melampaui batas-batas wilayah administratif

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, seperti melibatkan Pemerintah Bogor, Depok, Tangerang,

serta Bekasi.

Terakhir, fakta empiris menunjukkan bahwasanya maju mundurnya suatu daerah tidak

terlepas dari relasi yang dibangun dengan daerah lain, khususnya daerah-daerah yang

berdekatan. Sebagai contoh, bisa dilihat dalam relasi antar kabupaten di Provinsi Sumatera

Selatan. Lancarnya pasokan logistik via jalan darat ke Baturaja, Kabupaten Ogan Komering

Ulu, sangat ditentukan oleh kapasitas Pemerintah Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur dalam

menyediakan prasarana jalan dan jembatan yang memadai. Tingginya daya beli masyarakat

Kota Batam, tidak terlepas dari banyaknya lapangan pekerjaan yang disediakan oleh

Pemerintah Kota Bintan dan Karimun di Provinsi Kepulauan Riau. Dalam konteks ini, terlepas

apakah faktor yang mendasari sifatnya by given atau by design, interdependensi dalam relasi

antar daerah adalah sebuah keniscayaan.

Secara legal formal, kerja sama antar daerah diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014

Tentang Pemerintah Daerah, Bab XVII tentang Kerja Sama Daerah dan Perselisihan, di mana

kerja sama antar daerah dibagi menjadi dua, yaitu kerja sama wajib dan sukarela. Kerja sama

wajib sebagaimana diatur dalam Pasal 364, merupakan kerja sama antar daerah

yang berbatasan untuk penyelenggaraan urusan pemerintahan yang memiliki eksternalitas


lintas daerah dan penyediaan layanan publik yang lebih efisien jika dikelola bersama. Kerja

sama sukarela sebagaimana diatur dalam Pasal 365, dilaksanakan oleh daerah yang

berbatasan atau tidak berbatasan untuk penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangan Daerah namun dipandang lebih efektif dan efisien jika dilaksanakan dengan

bekerja sama.[1]

Pengaturan kerja sama antar daerah sebagaimana termaktub dalam UU No. 23 Tahun

2014 tentang Pemerintah Daerah mengandung visi yang hendak dicapai. Visi tersebut selaras

dengan ekspektasi Pemerintah Daerah serta masyarakat daerah seperti yang disinggung pada

paragraf sebelumnya.

Pertama, dalam kenyataannya, kita mengenal istilah batas wilayah administratif (merujuk

peraturan perundangan), serta batas wilayah fungsional (merujuk hubungan sosial ekonomi

lintas batas administratif). Permasalahannya, meskipun suatu daerah memiliki batas wilayah

administratif yang ditentukan secara formal melalui peraturan perundangan, kenyataannya

kerapkali dihadapkan pada permasalahan dan kepentingan yang muncul sebagai akibat

hubungan sosial budaya, serta ekonomi yang melampaui batas-batas wilayah administratif

tersebut. Di sinilah kerja sama antar daerah menjadi tidak hanya sekedar urgensi, tapi juga

solusi.

Kedua, untuk mencapai kekuatan yang lebih besar dalam rangka memajukan masyarakat

di daerah masing-masing, diperlukan sinergi antar pemerintah daerah melalui kerja sama.

Ketiga, dengan kerja sama, pemerintah daerah dapat mencapai kemajuan yang lebih tinggi.

Keempat, pihak-pihak yang bekerja sama dapat menjadi lebih berdaya. Dengan kerja sama,

masing-masing daerah yang terlibat, memiliki posisi tawar yang lebih baik atau lebih mampu

memperjuangkan kepentingannya kepada struktur pemerintahan yang lebih tinggi.

Kelima, pihak-pihak yang bekerja sama dapat memitigasi serta menangani konflik. Melalui

kerja sama, daerah-daerah yang notabene berkompetisi satu sama lain atau bahkan sudah

terjebak arus konflik dapat menurunkan tensi masing-masing dengan meletakkan ego masing-

masing, bersikap lebih toleran, serta mengambil pembelajaran dari konflik di masa lampau.
Keenam, masing-masing pihak yang bekerja sama lebih merasakan keadilan. Keadilan di sini

maksudnya adalah, dalam kerangka kerja sama yang digagas bersama, masing-masing pihak

memiliki akses yang sama terhadap informasi yang dibuat atau digunakan. Melalui hal ini,

tercipta transparansi dalam kerja sama sehingga tidak akan ada pihak yang merasa dirugikan.

Prinsipnya dalam kerja sama, diutamakan visi untuk maju secara bersama-sama.

Ketujuh, pihak yang bekerja sama akan memelihara keberlanjutan penanganan bidang-

bidang yang dikerjasamakan. Melalui ini, pihak-pihak yang bekerja sama memiliki komitmen

yang kuat satu sama lain, memelihara hubungan yang menguntungkan satu sama lain secara

berkelanjutan.

Terakhir, kerja sama yang dibangun antar daerah diharapkan mampu mengikis ego

daerah. Bisa dipahami bahwa suatu daerah dapat terjebak pada ego sektoral. Ego-ego ini kerap

muncul ketika daerah tersebut merasa mampu memenuhi kebutuhan daerahnya sendiri. Faktor

lainnya adalah, upaya untuk membuktikan kepada daerah induk sebelumnya, bahwa mereka

mampu berdiri sendiri (independen) tanpa tergantung dengan pihak lain. Kondisi ini sangat

mengkhawatirkan apabila dibiarkan karena dapat berimplikasi negatif kepada ketahanan daerah

dan nasional. Melalui kerja sama, manfaat yang dicita-citakan dapat diraih bersama,

permasalahanpun dengan mudah diatasi.

Selalu saja ada kesenjangan antara apa yang diharapkan (das sollen) dengan apa yang

senyatanya (das sein). Motivasi luhur yang tertuang dalam regulasi kerja sama antar daerah

yang digagas oleh pemerintah tidak selamanya berjalan mulus. Dengan kata lain, banyak

halangan dan rintangan sehingga output dan outcome yang hendak dicapai, tidak diraih dengan

optimal.

Sebagian besar kerja sama di Indonesia terdikotomi dalam kerja sama ekonomi atau

pelayanan publik. Mengingat kebutuhan kerja sama sudah merambah pada pelayanan publik

dan ekonomi, ke depan sebaiknya cakupan kerja sama tidak sebatas pada salah satu bidang

saja seperti yang selama ini terjadi, tetapi mencakup kedua bidang utama secara keseluruhan.

Perlunya konsistensi dan dukungan kebijakan yang tegas mulai dari tingkat nasional, provinsi
sampai ke tingkat pelaksanaan kerja sama antar kabupaten/kota memerlukan skenario yang

tegas yang pada intinya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang merupakan salah

satu tujuan dari pelaksanaan pembangunan nasional.

Fenomena daerah pemekaran baru yang saat ini bermunculan ternyata tidak sedikit yang

malah menimbulkan masalah. Pemekaran daerah di Indonesia di bentuk dengan tujuan

meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Dengan adanya pemekaran daerah

diharapakan setiap kebutuhan masyarakat yang harus di penuhi oleh pemerintah dapat

diidentifikasi dan terkoordinir dengan baik sesuai dengan potensi masing-masing.

Euforia otonomi daerah seakan-akan mewarnai setiap daerah pemekaran baru, sehingga

menimbulkan ego sektoral baru dalam kerja sama antar daerah. Keinginan untuk mandiri

setelah lepas dari daerah induknya menimbulkan keenganan daerah pemekaran baru ini untuk

melaksanakan kerja sama antar daerah dengan daerah sekitarnya terutama daerah induknya.

Padahal, apabila ditelisik lebih jauh, manfaat kerja sama antar daerah ini akan lebih terasa bagi

daerah-daerah pemekaran baru yang masih dalam kondisi “belajar” menjadi daerah yang lebih

maju dan mampu mensejahterakan masyarakatnya. Ke depannya, tidak akan muncul wacana

bahwa keadaan setelah pemekaran lebih buruk dari sebelumnya.

Jarang sekali kita dengar pemberitaan mengenai kerja sama antar daerah yang baru saja

diinisiasi yang mampu mencapai prestasi yang signifikan. Hal ini seringkali menimbulkan

pertanyaan di benak kita tentang implementasi kerja sama antar daerah. Permasalahannya

mungkin terletak pada kurangnya sosialisasi dan diseminasi kebijakan kerja sama antar daerah

ini ke level masyarakat, sehingga masyarakat setempat bahkan tidak mengetahui kalau

daerahnya telah melakukan kerja sama antar daerah dengan daerah sekitarnya.

Belum terbentuknya suatu badan khusus yang menangani kerja sama antar daerah juga

menimbulkan permasalahan tersendiri, selain pengawasan dan evaluasi kinerja kerja sama

antar daerah, proses inventarisir kerja sama antar daerah yang telah dilakukan di seluruh

Indonesia juga belum tersedia. Padahal, tidak cukup sulit untuk mengumpulkan

beberapa Memorandum of Understanding (MoU) kerja sama antar daerah di berbagai daerah
apabila badan ini telah dibentuk. Badan ini pula nantinya yang akan membangun

sebuah database yang berkaitan dengan kerja sama antar daerah, baik itu potensi,

pelaksanaan maupun monitoring dan evaluasi kerja sama antar daerah itu sendiri.

Banyak manfaat yang bisa dipetik dari kerja sama antar daerah dan kita menunggu

keseriusan pemerintah pusat serta komitmen masing-masing pemerintah daerah dalam

melakukan penguatan kerja sama antar daerah. Penguatan kerja sama antar pemerintah

daerah akan berdampak pada meningkatnya kesejahteraan masyarakat, yakni masyarakat

yang adil, makmur, serta sejahtera seperti yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea

ke-4.

2. Perumusan Pokok Masalah dan Pokok-Pokok Persoalan

Dari latar belakang yang telah diuraikan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa

upaya kerja sama antar daerah saat ini masih perlu dioptimalkan. Permasalahan-

permasalahan bangsa dan negara yang disebabkan oleh kerja sama antar daerah masih sering

terjadi, sehingga secara langsung maupun tidak langsung dapat mengganggu upaya

peningkatan kesejahteraan masyarakat yang merupakan salah satu tujuan pembangunan

nasional.

Oleh karena itu, maka rumusan pokok masalah dalam tulisan ini adalah : Kerja sama

Antar Pemerintah Daerah saat ini kenyataannya belum optimal, sehingga kesejahteraan

masyarakat belum meningkat yang pada akhirnya tujuan pembangunan nasional belum

sepenuhnya tercapai. Merujuk rumusan pokok masalah tersebut, pokok-pokok persoalan

yang dapat diuraikan antara lain sebagai berikut:


a. Pemerintah daerah kurang mempertimbangkan kerja sama antar daerah sebagai

salah satu inovasi dalam penyelenggaraan pembangunan daerah.

Faktor penyebab terjadinya kondisi ini adalah adanya persaingan dan ego daerah di

mana semangat otonomi masih dipandang sempit dan kedaerahan. Setiap daerah memacu

perkembangan daerahnya sendiri tanpa menimbang kemampuan dan kebutuhan wilayah lain.

Kondisi ini menghambat prakarsa daerah untuk bekerja sama dengan daerah lain. Terlebih lagi,

tidak jarang pelayanan publik yang diusahakan kerja sama antar daerah lebih banyak merugi

dan disubsidi APBD sehingga kurang menarik untuk dikerjasamakan. Pemerintah daerah

kemudian lebih memilih bekerja sama dengan pihak swasta karena menganggap kerja sama

dengan daerah lain justru lebih rumit dan rawan terjadi konflik. Selain itu, belum ada mekanisme

insentif untuk daerah-daerah yang bekerja sama dalam peningkatan efektivitas/efisiensi

penyelenggaraan pelayanan publik.

b. Ketimpangan Peraturan Pusat dan Daerah.

Peraturan atau regulasi memegang peran kunci sebagai payung hukum (legalitas) bagi

pemerintah pusat maupun daerah dalam menjalankan kebijakannya. Karena memegang peran

kunci, regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah, sudah selaiknya mengacu pada

regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Sebaliknya, pemerintah pusat seyogianya

menelurkan regulasi yang benar-benar mengakomodir apa yang menjadi kebutuhan di daerah.

Jangan sampai regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah pusat justru menjauhkan kapasitas

daerah dalam mencapai tujuannya, yakni kesejahteraan masyarakat. Potret pembangunan di

berbagai daerah di Indonesia menunjukkan bahwa kekhawatiran di atas menemukan

relevansinya. Tidak ada sinergi dan harmonisasi antara pemerintah pusat dan pemerintah

daerah. Sebagai contoh, banyak pembangunan fisik di daerah yang dibiayai oleh Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), namun tidak mengacu pada apa yang menjadi

kebutuhan daerah sehingga proyek atau kegiatan tersebut menjadi mubazir.


c. Kerja sama antar daerah belum menjadi satu inovasi prioritas untuk di-

diseminasikan ke daerah.

Dimensi baru kerja sama antar daerah muncul melalui inisiatif pemerintah pusat melalui

Badan Perencana Pembangunan Nasional (BAPPENAS) dan Kementerian Pembangunan

Daerah Tertinggal. Selama ini kerja sama antar daerah biasanya terbentuk atas inisiatif daerah

sendiri. Masih sangat kurang fasilitasi atau inisiasi dari pemerintah pusat maupun pemerintah

provinsi. Peran Pemerintah sampai saat ini baru dalam bentuk penyusunan PP No. 50 Tahun

2007 mengenai Tata Cara kerja sama antar daerah. Di pemerintah pusat sendiri, kerja sama

antar daerah belum menjadi satu inovasi prioritas untuk didiseminasikan ke daerah.

d. Belum ada database yang cukup baik mengenai kerja sama antar daerah di seluruh

Indonesia.

Sebagian besar daerah cenderung tidak terlalu memperhatikan kerja sama antar daerah

dikarenakan tidak tahu atau tidak menyadari potensi yang bisa dikerjasamakan. Pemerintah

provinsi bisa berperan dalam hal mengkaji potensi-potensi kerja sama

tersebut. Database“potensi kerja sama” dapat menjadi instrumen yang penting dalam

mendorong kerja sama daerah. Adanya kerja sama antar daerah seharusnya didukung oleh

pemerintah pusat atau provinsi untuk mengantisipasi jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan

melalui badan kerja sama provinsi atau pusat yang selanjutkan disimpan melalui database yang

dapat diakses oleh semua pihak, sehingga hal ini dapat dijadikan acuan daerah lain untuk

melakukan kerja sama daerah untuk memaksimalkan potensi daerah lain.


3. Maksud dan Tujuan.

a. Maksud.

Adapun maksud penulisan Kertas Karya Perorangan (Taskap) ini adalah memberi

gambaran tentang bagaimana memperkuat kerja sama antar pemerintah daerah, dan
bagaimana keterkaitannya dengan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam

rangka mencapai tujuan pembangunan nasional.

b. Tujuan.

Memberikan sumbangan pemikiran kepada semua pihak yang berkepentingan

(stakeholder) dalam menentukan kebijakan, strategi dan upaya memperkuat kerja sama antar

pemerintah daerah guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam rangka mencapai

tujuan pembangunan nasional.

4. Ruang Lingkup dan Tata Urut.

Penulisan Kertas Karya Perorangan (Taskap) ini disusun dengan ruang lingkup

pembahasan tentang Penguatan Kerja Sama Antar Pemerintah Daerah Guna Meningkatkan

Kesejahteraan Masyarakat Dalam Rangka Pembangunan Nasional dengan tata urut sebagai

berikut :

a. BAB I. Pendahuluan.

Bagian ini berisi uraian secara umum mengenai latar belakang pemikiran yang mendasari

penulisan, perumusan pokok masalah dan pokok-pokok persoalan, maksud dan tujuan, ruang

lingkup dan sistematika, metode dan pendekatan serta pengertian-pengertian.

b. BAB II. Landasan Pemikiran.

Bab ini menguraikan tentang paradigma nasional yang terdiri dari Pancasila sebagai Landasan

Idiil, UUD NRI tahun 1945 sebagai Landasan Konstitusional, Wawasan Nusantara sebagai

Landasan Visional dan Ketahanan Nasional sebagai Landasan Konsepsional serta peraturan

perundang-undangan yang terkait sebagai Landasan Operasional dan Landasan Teori serta

Tinjauan Pustaka.
c. BAB III. Faktor-faktor Lingkungan Strategis yang Berpengaruh.

Bab ini berisi uraian mengenai isu-isu strategis eksternal yang mencakup isu-isu strategis

internasional dan isu-isu strategis internal (nasional) yang berpengaruh pada kerja sama antar

daerah. Kajian yang komprehensif akan menemukan berbagai kendala dan peluang serta

keunggulan dan kelemahan.

d. BAB IV. Tinjauan Kerja Sama Antar Pemerintah Daerah.

Bab ini berisikan tinjauan dan deskripsi kondisi kerja sama antar pemerintah daerah, implikasi

kerja sama antar pemerintah daerah terhadap meningkatnya kesejahteraan masyarakat serta

implikasi meningkatnya kesejahteraan masyarakat terhadappembangunan nasional.

e. BAB V. Kerja Sama Antar Pemerintah Daerah Yang Diharapkan.

Pada bab ini berisi prospektif dari kerja sama antar pemerintah daerah yang diharapkan dapat

memberikan kontribusi terhadap upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan

selanjutnya dijelaskan adanya kontribusi meningkatnya kesejahteraan

masyarakatpembangunan nasional terhadap upaya mencapai tujuan pembangunan nasional,

dan rumusan indikasi dari indikator keberhasilan.

f. BAB VI. Konsepsi Penguatan Kerja Sama Antar Pemerintah Daerah.

Bagian ini merupakan konsepsi yang berisikan formulasi kebijakan yang akan disusun dan

diimplementasikan, strategi yang akan digunakan dan upaya-upaya yang akan dilakukan untuk

memperkuat kerja sama antar pemerintah daerah guna meningkatkan kesejahteraan

masyarakat dalam rangka pembangunan nasional.

g. BAB VII. Penutup


Bab ini berisi simpulan dari uraian yang telah di sajikan dan memberikan saran yang diperlukan

untuk mengatasi pemasalahan.

5. Metode dan Pendekatan.

a. Metode.

Metode yang digunakan dalam penulisan Taskap ini adalah deskriptif analisis di mana

data diperoleh melalui telaahan terhadap berbagai sumber pustaka yang relevan, seperti

dokumen, buku-buku, makalah, artikel, majalah serta surat kabar baik dalam bentuk hard

copy maupunsoft copy yang selanjutnya dianalisis secara sistematis dan selanjutnya disajikan

secara deskriptif dalam bentuk naratif.

b. Pendekatan.

Pendekatan yang digunakan adalah komprehensif integral, dengan pisau analisa

Ketahanan Nasional dalam rangka merumuskan kebijakan, strategi dan upaya meningkatkan

serta untuk memperkuat kerja sama antar pemerintah daerah guna meningkatkan

kesejahteraan masyarakat dalam rangka pembangunan nasional.

6. Pengertian-Pengertian.

a. Kerja Sama.

Kerja sama atau kooperasi merujuk pada praktik seseorang atau kelompok yang lebih

besar yang bekerja di khalayak dengan tujuan atau kemungkinan metode yang disetujui

bersama secara umum, alih-alih bekerja secara terpisah dalam persaingan. Kerja sama

umumnya mencakup paradigma yang berlawanan dengan kompetisi. Kerja sama dianggap

sebagai bentuk yang ideal dalam pengelolaan urusan perorangan. Ragam bentuk kerja sama

antara lain kerukunan, tawar-menawar, kooptasi, koalisi, serta joint venture.[2]


b. Kesejahteraan.

Konsepsi kesejahteraan menurut Nasikun (1993) dirumuskan sebagai padanan makna

dari konsep martabat manusia yang dapat dilihat dari keempat indikator, yakni rasa aman,

kesejahteraan, kebebasan, serta identitas atau jati diri.

Sedangkan menurut Kolle (1974) dan Bintarto (1989), kesejahteraan dapat diukur dari

beberapa aspek kehidupan yakni dari segi materi, segi fisik, segi mental, serta segi spiritual.

Todaro (2003) mengemukakan bahwa kesejahteraan dapat diukur dari tingkat hidup

masyarakat seperti tingkat kemiskinan, tingkat kesehatan, tingkat pendidikan, serta tingkat

produktivitas masyarakat.

c. Pembangunan.

Secara umum, pembangunan merupakan proses untuk melakukan perubahan (Riyadi

dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005).[3]

Siagian (1994) memberikan pengertian tentang pembangunan sebagai suatu usaha atau

rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar

oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan

bangsa.[4]

Ginanjar Kartasasmita (1994) memberikan pengertian yang lebih sederhana, yakni sebagai

proses perubahan kearah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana.

Pembangunan adalah proses perubahan yang mencakup seluruh sistem sosial, seperti politik,

ekonomi, infrastruktur, pertahanan, pendidikan, teknologi, kelembagaan, serta budaya

(Alexander, 1994).[5]

Portes (1976) mendefinisikan pembangunan sebagai transformasi ekonomi, sosial, serta

budaya.[6] Sama halnya dengan Portes, Deddy T. Tikson (2005) menjelaskan bahwa
pembangunan nasional dapat pula diartikan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya

secara sengaja melalui kebijakan dan strategi menuju arah yang diinginkan.[7]

d. Otonomi Daerah
Otonomi Daerah dapat diartikan sebagai kewenangan yang diberikan
kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusanpemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
menurut aspirasimasyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil
guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan
terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan
peraturan perundang undangan[8].

BAB II

LANDASAN PEMIKIRAN

7. Umum.

Otonomi daerah yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam

bentuk desentralisasi, dekonsentrasi, serta tugas perbantuan, menghadirkan tantangan yang

harus disikapi dengan cermat. Di satu sisi, otonomi daerah memberikan keleluasaan kepada

pemerintah daerah untuk berkreasi, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga

monitoring dan evaluasi segala kebijakan daerah dalam rangka mencapai masyarakat daerah

yang adil, makmur, serta sejahtera.


Di sisi lain, otonomi daerah menghadirkan beragam tantangan, mulai dari identifikasi

potensi sumber daya alam daerah, bagaimana mekanisme pengelolaannya, optimalisasi

kapasitas sumber daya manusia di daerah, serta pola-pola kerja sama yang dijalin dengan

daerah lain sebagai perwujudan altruisme daerah dalam menyukseskan pembangunan nasional

serta mendukung kukuhnya ketahanan nasional.

Ditelaah dari sisi empiris, tidak ada daerah yang mampu memenuhi kebutuhannya

sendiri tanpa menjalin kerja sama dengan daerah lain, utamanya daerah-daerah yang

berbatasan secara langsung. Kondisi ini terjadi karena setiap daerah memiliki ketergantungan

satu sama lain, suka tidak suka. Logika ketergantungan ini memiliki rumus sebab-akibat.

Pertama, setiap daerah memiliki keunggulan komparatif yang berbeda-beda. Keunggulan

komparatif tersebutlah yang menyebabkan ada surplus di satu sisi serta kekurangan di sisi lain.

Untuk menyikapi kekurangan, suatu daerah jamaknya melakukan kerja sama dalam bentuk

perdagangan (jual beli).

Kedua, determinisme geografis menjadi penyebab suatu daerah membutuhkan daerah

lainnya. Sebagai contoh, Provinsi Banten dan Sumatera Selatan sangat tergantung dengan

Provinsi Lampung dalam menjamin rantai logistik di daerah masing-masing. Hal ini disebabkan

karena posisi geografis Provinsi Lampung menjadikannya daerah yang harus dilalui, baik dari

darat maupun laut.

Ketiga, pembangunan nasional mensyaratkan adanya sinergi antar daerah. Tidak

mungkin pembangunan nasional dapat tercapai apabila ada disparitas sosial dan ekonomi antar

daerah. Oleh sebab itu, pemerintah pusat memproduksi payung hukum yang mengatur kerja

sama antar daerah. Dalam konteks Indonesia, payung hukum tersebut bernama UU No. 23

Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

Berbagai logika yang didedahkan di atas seyogianya menjadi faktor pendorong

terwujudnya kerja sama yang sinergis dan harmonis antar daerah. Namun demikian, fakta di

lapangan menunjukkan bahwa apa yang terjadi tidak selalu berjalan sesuai dengan harapan.

Layaknya kebijakan publik lainnya, kerja sama antar daerah tidak selalu berjalan dengan mulus.
Ada kendala yang muncul dari internal daerah itu sendiri dan kendala yang berasal dari

eksternal daerah.

Seperti dijelaskan pada bab sebelumnya, beberapa permasalahan pokok yang

menghambat tercapainya tujuan pembangunan daerah serta nasional dalam skala yang lebih

besar antara lain, pertama, konsepsi kerja sama antar daerah belum dianggap sebagai solusi

dan inovasi dalam penyelenggaraan pembangunan daerah. Hal ini muncul karena daerah

masih menganut pola pikir individualistis sehingga lebih mengedepankan ego sektoral.

Jika dianalisa lebih dalam lagi, kondisi ini disebabkan oleh faktor idiosinkratik kepala

daerah yang bisa saja ingin daerahnya lebih menonjol dibandingkan dengan daerah lain atau

terjebak padavested interest sehingga konsepsi kerja sama antar daerah dianggap kurang

menguntungkan. Akan lebih menguntungkan apabila melakukan kerja sama dengan pihak

swasta.

Kedua, ketimpangan peraturan pusat dan daerah. Kondisi ini bisa terjadi dikarenakan

tidak ada komunikasi yang baik antara kedua pihak. Akibatnya kebijakan atau regulasi yang

ditelurkan satu sama lain tidak memiliki kohesi dan koherensi. Sudah pasti apa yang menjadi

tujuan tidak akan tercapai.

Ketiga, kurangnya upaya dari pemerintah pusat serta pemerintah provinsi untuk

menyosialisasikan kebijakan kerja sama antar daerah. Sebagian besar kerja sama antar daerah

terjalin atas inisiasi dari daerah sendiri. Di satu sisi, kondisi ini cukup baik karena merupakan

perwujudan bentuk kepekaan daerah atas apa yang menjadi kebutuhannya. Namun di sisi lain,

kondisi ini menunjukkan bahwa ada absensi dari pemerintah pusat dan pemerintah provinsi

dalam mengoptimalisasi kuantitas kerja sama antar daerah. Setidaknya ada asupan yang

memadai dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam bentuk analisa kualitatif dan

kuantitatif mengenai potensi-potensi kerja sama dengan daerah lain.

Permasalahan ketiga sangat terkait dengan permasalahan keempat, yakni tidak adanya

pangkalan data (database) yang merekam eksistensi kerja sama antar daerah serta melakukan

pengkajian yang bersifat strategik dan komprehensif mengenai potensi-potensi kerja sama
antar daerah. Seyogianya permasalahan ini tidak akan menjadi pelik apabila pemerintah pusat

atau pemerintah provinsi mau dan mampu menjalankan apa yang seharusnya menjadi

porsinya.

Berbagai permasalahan tersebut mengakibatkan kerja sama yang terjalin antar daerah

bersifat lemah dan kurang optimal. Akibatnya kesejahteraan masyarakat yang menjadi tujuan

dilaksanakannya kerja sama antar daerah juga tidak tercapai secara maksimal. Oleh sebab itu

dibutuhkan penguatan kerja sama antar daerah.

Penguatan kerja sama antar daerah membutuhkan pedoman atau ketentuan agar

memiliki peta jalan yang jelas. Pedoman dan ketentuan tersebut menjadi landasan pemikiran

pada pemecahan masalah dalam penguatan kerja sama antar daerah guna meningkatkan

kesejahteraan masyarakat dalam rangka pembangunan nasional.

Landasan pemikiran pemecahan masalah pada penguatan kerja sama antar daerah

berupa paradigma nasional (Pancasila, UUD NRI 1945, Wawasan Nusantara, serta Ketahanan

Nasional), peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta teori-teori di bidang

kesejahteraan masyarakat dan pembangunan nasional. Kiranya dengan menggunakan ketiga

pisau analisis tersebut, permasalahan yang sudah diidentifikasi dapat digagas solusi atau

pemecahan masalahnya.

8. Paradigma Nasional.

a. Pancasila sebagai Landasan Idiil.

Sebagai dasar negara sekaligus landasan idiil bangsa Indonesia, Pancasila tidak hanya

merupakan pedoman dasar bagi seluruh aktivitas bangsa dan negara, tetapi juga

mencerminkan visi dan cita-cita bangsa.


Nilai-nilai Pancasila merupakan dimensi paling dalam yang bersifat abstrak dan

berkedudukan sangat tinggi dalam fenomena kehidupan masyarakat serta memiliki kekuatan

integratif bagi seluruh komponen bangsa yang saling berbeda, baik secara vertikal maupun

horizontal. Yang selanjutnya berkembang dalam wujud sikap dan perilaku atau tindakan-

tindakan nyata dalam kehidupan warga masyarakat.

Oleh karena itu Pancasila sebagai ideologi negara harus dapat memberikan visi, wawasan

atau pedoman yang normatif bagi seluruh sendi kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa

dan bernegara. Di samping itu Pancasila sebagai ajaran mengukuhkan nilai–nilai Ke Tuhanan

Yang Maha Esa, Kemanusiaan, Persatuan dan Kesatuan, Kedaulatan Rakyat, dan Keadilan

Sosial.

Idealisme Pancasila sebagai landasan idiil dalam paradigma nasional mendasari berbagai

perumusan peraturan perundang-undangan yang nilai dasarnya tercermin dari pasal-pasal UUD

1945 dan nilai-nilai instrumentalnya termanifestasi dalam berbagai peraturan perundang-

undangan sebagai penjabaran UUD 1945 yang telah disesuaikan dengan perkembangan

lingkungan.

Nilai–nilai yang terkandung di dalam Pancasila tersebut menjadi landasan cara pandang

dalam merancang dan mengimplementasikan kebijakan, strategi dan upaya penguatan kerja

sama antar daerah guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam rangka pembangunan

nasional.

b. UUD 1945 sebagai Landasan Konstitusional.

Pada hakekatnya Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia (UUD NRI 1945) terdiri dari pembukaan UUD NRI 1945
yang berintikan cita-cita nasional, tujuan nasional, dan Pancasila
sebagai sumber dasar hukum (landasan idiil) dan pasal-pasal
UUD NRI 1945 sebagai sumber hukumnya (landasan konstitusional)
yang relatif tetap luwes dan fleksibel.

Sebagai landasan konstitusional, pasal-pasal UUD yang telah di


amandemen (amandemen ke 4) dijabarkan dan dijadikan acuan
dalam pembuatan/perumusan berbagai peraturan perundang-
undangan di bawahnya sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan
lingkungan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baik
dalam kehidupan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, maupun
kehidupan pertahanan dan keamanan.

Setiap undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan


presiden atau yang setingkat, harus mengacu dan tidak bertentangan
dengan pasal-pasal UUD NRI 1945 termasuk undang undang yang
berkaitan dengan penguatan kerja sama antar daerah. Pasal 33 UUD
1945 secara umum menjelaskan bahwa kekayaan sumber daya alam
Indonesia harus mampu dimanfaatkan secara bersama-sama guna
mencapai kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Oleh sebab
itu, gotong royong dan kerja sama semua elemen bangsa menjadi
kata kunci untuk mencapainya.

c. Wawasan Nusantara sebagai Landasan Visional.

Wawasan nusantara merupakan cara pandang dan sikap bangsa Indonesia yang

bersumber dari Pancasila dan UUD 1945, bertolak dari pemahaman kesadaran dan keyakinan

tentang diri dan lingkungannya yang beragam dan dinamis dengan mengutamakan persatuan

dan kesatuan bangsa, kesatuan wilayah yang utuh menyeluruh, serta tanggung jawab terhadap

lingkungannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara untuk mencapai

tujuan nasional.
Wawasan nusantara dijadikan dasar dalam penguatan kerja sama antar daerah.

Wawasan Nusantara sebagai paradigma nasional juga mempunyai cakupan kesatuan politik,

kesatuan ekonomi, kesatuan sosial dan ekonomi, kesatuan sosial dan politik, serta kesatuan

pertahanan dan keamanan.

Sebagai landasan visional, wawasan nusantara mengekspresikan persatuan dan

kesatuan bangsa dalam wilayah NKRI yang Bhinneka Tunggal Ika, mengandung arti bahwa

seluruh aspek kehidupan masyarakat dan proses penguatan kerja sama antar daerah oleh

negara harus mengandung visi dan misi untuk mewujudkan kesejahteraan dan

kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa kecuali.

d. Ketahanan Nasional sebagai Landasan Konsepsional.

Definisi ketahanan nasional adalah kondisi dinamis bangsa


Indonesia yang terintegrasi, berisi keuletan, dan ketangguhan yang
mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional untuk
menghadapi dan mengatasi segala ancaman, gangguan, hambatan,
serta tantangan, baik yang datang dari dalam maupun luar, bersifat
langsung maupun tidak langsung, yang membahayakan integritas,
identitas, kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara, serta tujuan
nasional.[9]

Untuk menciptakan kondisi tersebut, diperlukan landasan


konsepsional ketahanan nasional, yaitu konsepsi pengaturan dan
penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan yang seimbang dan
selaras dalam seluruh aspek kehidupan nasional berdasarkan
Pancasila, UUD 1945 dan Wasantara. Konsep Ketahanan Nasional
yang berfungsi sebagai metode pembinaan kehidupan nasional
bersifat komprehensif, integral, terpadu, utuh dan menyeluruh.
Konsepsi ketahanan nasional dalam konteks penguatan kerja
sama antar daerah merupakan basis, pedoman, serta tujuan
dilaksanakannya kerja sama tersebut. Kerja sama antar daerah yang
dijalankan dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya,
pertahanan dan keamanan, geografi, demografi, serta sumber
kekayaan alam tidak hanya bertujuan untuk mencapai pembangunan
nasional saja, tapi juga mendukung konsolidasi ketahanan daerah
serta kukuhnya ketahanan nasional.

9. Peraturan Perundang-Undangan.

a. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 22 Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Tata

Cara Kerja Sama Daerah.

Dikeluarkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 22 Tahun 2009 tentang

Petunjuk Teknis Tata Cara Kerja Sama Daerah ini merupakan tindak lanjut atas ketentuan

Pasal 7 huruf e Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Kerja Sama

Daerah. Dalam Bab I mengenai Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 3 menyebutkan bahwa kerja

sama antar daerah yang selanjutnya disingkat KSAD adalah kesepakatan antara gubernur

dengan gubernur atau gubernur dengan bupati/walikota atau antara bupati/walikota dengan

bupati/walikota lain yang dibuat secara tertulis dan menimbulkan hak dan kewajiban. Sebagai

pelaksana, dibentuk Tim Koordinasi Kerja Sama Daerah yang selanjutnya disingkat TKKSD,

yang dibentuk kepala daerah untuk membantu kepala daerah dalam menyiapkan kerja sama

antar daerah.
b. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ini ditetapkan dengan

merujuk kepada Pasal 18 ayat (7) UUD NRI 1945 bahwa susunan dan tata cara

penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang. Dalam undang-undang

ini dijelaskan bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat

terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, peran

serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip

demokrasi, pemerataan, keadilan dan kekhasan suatu negara dalam sistem Negara Kesatuan

Republik Indonesia (NKRI).

Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, perlu ditingkatkan kembali efektivitas dan

efisiensi dengan memperhatikan aspek-aspek hubungan antara pemerintah pusat dengan

daerah dan antar daerah, serta peluang dan tantangan persaingan global dalam kesatuan

sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.

c. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 merupakan

tahapan ketiga dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025

yang telah ditetapkan melalui Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007. Pembangunan nasional

adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan meliputi seluruh aspek

kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan Tujuan

Nasional sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Pembangunan Nasional Indonesia lima tahun ke depan

memprioritaskan pada daya saing yang kompetitif perekonomian berlandaskan keunggulan

sumber kekayaan alam dan sumber daya manusia yang berkualitas. Prioritas Pembangunan

Nasional menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, mandiri dalam bidang ekonomi, dan

berkepribadian dalam kebudayaan, dirumuskan sembilan agenda prioritas yang disebut NAWA

CITA.
Dalam mendukung tercapainya pembangunan nasional, kerja sama antar daerah

sangatlah dibutuhkan. Kerja sama antar pemerintah daerah juga merupakan salah satu upaya

untuk memperkokoh ketahanan daerah serta ketahanan nasional dalam sekup yang lebih

besar.

10. Landasan Teori.

a. Teori Kerja Sama Antar Daerah.

Kerja sama antar daerah adalah suatu kerangka hubungan kerja yang dilakukan oleh dua

daerah atau lebih dalam posisi yang setingkat dan seimbang untuk mencapai tujuan bersama

yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat (Pamudji, 1985).

Patterson (2008) dalam Warsono (2009:118) mendefinisikan kerja sama antar daerah

sebagai suatu kesepakatan antara dua pemerintah atau lebih untuk mencapai tujuan bersama,

memberikan pelayanan serta mencari solusi atas permasalahan bersama.

b. Teori Kesejahteraan Sosial.

Menurut Walter A. Friedlander (1961), kesejahteraan sosial adalah sistem yang

terorganisir dari pelayanan-pelayanan sosial dan lembaga-lembaga yang bertujuan untuk

membantu individu dan kelompok untuk mencapai standar hidup dan kesehatan yang

memuaskan dan relasi-relasi pribadi dan sosial yang memungkinkan mereka mengembangkan

kemampuannya sepenuh mungkin dan meningkatkan kesejahteraannya secara selaras dengan

kebutuhan keluarga dan masyarakat.

Arthur Dunham (1965) mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai kegiatan-kegiatan

yang terorganisasi dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan dari segi sosial melalui

pemberian bantuan kepada orang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan di dalam beberapa

bidang seperti kehidupan keluarga dan anak, kesehatan, penyesuaian sosial.


Harold L. Wilensky (1965) mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai suatu sistem yang

terorganisir dari usaha-usaha pelayanan sosial dan lembaga-lembaga sosial untuk membantu

individu-individu dan kelompok dalam mencapai tingkat hidup serta kesehatan yang

memuaskan.

c. Teori Pembangunan.

Pembangunan dapat diartikan sebagai suatu upaya terkoordinasi untuk menciptakan

alternatif yang lebih banyak secara sah kepada setiap warga negara untuk memenuhi dan

mencapai aspirasinya yang paling manusiawi (Nugroho dan Rochmin Dahuri, 2004). Ginanjar

Kartasasmita (1994) mendefinisikan pembangunan sebagai suatu proses perubahan ke arah

yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana.

Menurut Siagian (1994), pembangunan adalah suatu usaha atau rangkaian usaha

pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa,

negara dan pemerintahan menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa. Sedangkan

menurut Alexander (1994), pembangunan adalah suatu proses perubahan yang mencakup

seluruh sistem sosial, seperti politik, ekonomi, infrastruktur, pertahanan, pendidikan, teknologi,

kelembagaan, serta budaya.

11. Tinjauan Pustaka.

a. Makalah Denny Hernawan berjudul “Kerja Sama Antar Daerah”.

Dalam makalah tersebut dijelaskan bahwa kerja sama antar daerah merupakan upaya

yang dilakukan oleh dua atau lebih daerah untuk mencapai tujuan bersama sesuai dengan

kebutuhan bersama. Dalam konteks pembangunan wilayah atau kewilayahan, kerja sama antar

daerah bertujuan untuk mencapai sinergi antar daerah dalam mengatasi kesenjangan antar

wilayah melalui perencanaan pembangunan daerah dan implementasi pengembangan wilayah


yang sinergis dan selaras. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui berbagai bentuk kerja sama

antar daerah dengan tata cara kerja sama yang sesuai dengan arahan kebijakan dan ketentuan

peraturan perundangan yang ada.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa kebutuhan akan kerja sama antar daerah baru dirasakan

oleh daerah pada dekade 1990-an. Muncul inisiatif dari daerah perkotaan sekunder Indonesia

untuk melaksanakan kerja sama pada daerah yang berbatasan. Pada mulanya, pemicu dari

kebutuhan ini lebih pada keperluan akan integrasi pengelolaan infrastruktur perkotaan. Namun

pada dinamikanya, kerja sama ini berkembang pada aspek-aspek yang lebih luas.

Denny memberikan contoh beberapa kerja sama yang diinisiasi oleh daerah antara lain

sebagai berikut:

- Surakarta-Boyolali-Sukoharjo (Subosuko).

- Yogyakarta-Sleman-Bantul (Kartamantul).

- Kotamadya Malang-Kabupaten Malang.

- Kota Semarang-Kendal-Kabupaten Semarang-Purwodadi (Kedung Sepur).

b. Makalah Yeremias T. Keban, Dosen Tetap Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fisipol

Universitas Gadjah Mada (UGM) berjudul “Kerja Sama Antar Pemerintah Daerah Dalam

Era Otonomi: Isu Strategis, Bentuk dan Prinsip”.

Kerja sama antar pemerintah daerah merupakan suatu isu yang perlu diperhatikan oleh

pemerintah saat ini mengingat perannya dalam menentukan ketahanan negara dan melihat

begitu banyak masalah dan kebutuhan masyarakat di daerah yang harus diatasi atau dipenuhi

dengan melewati batas-batas administratif.


Untuk mensukseskan kerja sama ini diperlukan identifikasi isu-isu strategis, bentuk atau

model kerja sama yang tepat, serta prinsip-prinsip yang menuntun keberhasilan kerja sama

tersebut. Melihat peran strategis yang dimainkan oleh provinsi dalam sistem negara kesatuan

ini, maka peningkatan peran dan kemampuan provinsi dalam mekanisme kerja sama ini,

termasuk penyesuaian struktur dan fungsi kelembagaannya, harus menjadi agenda penting

pemerintah di masa yang akan datang.

Dalam makalahnya, Yeremias T. Keban menjelaskan bahwa setelah diberlakukannya

UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, konsepsi otonomi daerah dipersepsikan

oleh kepala daerah sebagai momentum untuk memenuhi kebutuhan daerahnya sendiri-sendiri

sehingga terkadang menegasikan kepentingan nasional yang lebih besar, termasuk

kepentingan daerah-daerah yang berdekatan secara geografis.

Kondisi ini menimbulkan implikasi negatif antara lain menguatnya ego daerah, munculnya

sentimen primordial, konflik antar daerah dan penduduk, eksploitasi sumber daya alam secara

berlebihan, serta maraknya praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme seperti pada masa

lampau, yang mana dalam sekup yang lebih besar dapat menjadi penghambat dalam mencapai

cita-cita pembangunan nasional serta mewujudkan ketahanan nasional yang tangguh.

Identifikasi masalah dalam pelaksanaan otonomi daerah dan kerja sama antar pemerintah

daerah dalam makalah ini sangat berguna sebagai informasi dan bahan rujukan dalam

merumuskan solusi-solusi strategis dan implementatif dalam menguatkan dan mengoptimalkan

kerja sama antar pemerintah daerah, terlebih lagi dalam makalah juga disajikan informasi

secara akademis mengenai ontologis, epistemologis, serta aksiologis konsepsi kerja sama serta

manfaat dan korelasinya jika diimplementasikan dalam konteks pemerintahan daerah sebagai

sarana untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam rangka pembangunan nasional.

BAB III
FAKTOR-FAKTOR LINGKUNGAN STRATEGIS YANG BERPENGARUH

12. Umum

Indonesia selain berstatus sebagai bangsa dan negara yang berdaulat, juga berstatus

sebagai bagian dari sistem internasional dan masyarakat global. Berbicara dari aspek sistem

internasional, artinya berbicara tentang posisi Indonesia sebagai entitas politik yang menjalin

interaksi dengan negara berdaulat lainnya. Sedangkan dari aspek masyarakat global, artinya

berbicara tentang altruisme bangsa Indonesia sebagai entitas sosial dan budaya yang tidak

dapat hidup sendiri, terpisah dari masyarakat dari negara-negara lainnya.

Oleh sebab itu, Indonesia tidak kedap dari berbagai pengaruh yang bersifat eksternal,

baik dari aktor negara (negara dan bangsa berdaulat lainnya), maupun aktor-aktor non-negara

(organisasi internasional, perusahaan multinasional dan transnasional, negara-negara bagian,

pemberontak, teroris, dan lain-lain). Secara umum, pengaruh yang bersifat eksternal bisa

berasal dari ranah kawasan (regional), juga dari level global.

Fenomena globalisasi yang dicirikan dengan hilangnya batas-batas fisik antarnegara,

kemudahan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain dalam waktu singkat, serta

kemajuan di bidang tekonologi komunikasi dan informasi, semakin meningkatkan bobot

pengaruh pihak eksternal terhadap situasi dan kondisi di level domestik Indonesia. Arus

globalisasi yang masif ini memberikan implikasi yang bersifat positif, sekaligus negatif. Oleh

sebab itu, dibutuhkan kecermatan pemerintah dan masyarakat Indonesia dalam menyikapinya,

agar jangan sampai globalisasi menjadi faktor penghambat pembangunan nasional di tanah air.

Fenomena otonomi daerah merupakan salah satu contoh bahwa isu strategis di tanah

air tidak pernah terlepas dari pengaruh yang bersifat eksternal, baik dari level regional, maupun

global. Otonomi daerah yang memberikan kewenangan besar kepada pemerintah daerah untuk

mengelola wilayahnya sendiri menjadi sisi yang paling rentan mendapatkan pengaruh negatif
dari pihak luar. Namun demikian, apabila pengaruh tersebut bersifat konstruktif, dapat menjadi

katalisator bagi implementasi otonomi daerah itu sendiri.

Dalam tataran empiris, beberapa contoh pengelolaan daerah yang baik di negara lain,

termasuk lesson learned dari negara-negara yang berbeda sistem pemerintahannya (menganut

federalisme), dapat menjadi pembelajaran bagi pemerintah daerah di Indonesia untuk

diterapkan di daerah masing-masing, sesuai dengan kapasitas sumber daya yang dimiliki.

Namun demikian, anasir negatif dari pihak luar, seperti pengaruh dan dorongan untuk

memerdekakan diri (contoh kasus Provinsi Papua), terlepas dari wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia (NKRI), menjadi poin serius yang harus dimitigasi sedini mungkin.

Dapat disimpulkan bahwa kondisi eksternal, baik yang tercipta dari relasi yang sifatnya

bilateral, trilateral, regional, bahkan global dapat berimplikasi terhadap situasi dan kondisi di

level domestik Indonesia, termasuk dalam konteks otonomi daerah dan kerja sama antar

daerah. Faktor-faktor internalpun tidak bisa diabaikan, baik yang sifatnya dinamis, seperti

ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan, maupun yang sifatnya statis,

seperti geografi, demografi, serta sumber kekayaan alam.

Pengelolaan yang sifatnya intermestik (relasi antara domestik dan internasional) dengan

mengacu pada empat konsensus bangsa sebagai pedoman, menjadi kata kunci agar setiap

kebijakan mampu berjalan segaris dengan apa yang menjadi tujuannya, termasuk kerja sama

antar daerah guna mendukung pembangunan nasional dalam rangka ketahanan nasional.

13. Faktor Eksternal

a. Lingkungan Global

Dalam studi hubungan internasional, terdapat kontestasi pemikiran dalam rangka

mewujudkan tata dunia yang tertib dan damai. Kontestasi pertama terjadi pada mereka yang

menganut paham realisme dengan mereka yang menjadikan liberalisme sebagai ideologi.[10]
Kaum realis berpandangan bahwa negara ibarat manusia, bersifat individualistis dan

selalu berorientasi pada apa yang menjadi kebutuhan diri sendiri. Agar dapat bertahan hidup,

dibutuhkan kapasitas yang besar sehingga dapat memenangkan kompetisi dengan negara

lainnya. Mereka yang menganut paham ini selalu berpegang pada pada prinsip dan pandangan

bahwasanya manusia (negara) adalah animus dominandi (makhluk yang selalu ingin

mendominasi), serta homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesamanya). Sebagai

konsekuensinya, negara-negara yang menganut paham ini selalu menggunakan instrumen

kekerasan, seperti kompetisi, konflik, bahkan perang untuk mencapai kepentingan nasionalnya.

Berbeda dengan kaum realis, kaum liberalisme percaya bahwa ada sisi altruisme dalam

diri manusia (negara). Tidak selamanya manusia bisa memenuhi kebutuhannnya sendiri.

Manusia butuh untuk bersosialisasi serta menjalin relasi dengan manusia lainnya. Dalam

konteks negara, tidak ada negara yang mampu hidup sendiri, terisolasi dari negara lainnya.

Untuk memperkukuh relasi dengan negara lainnya, dibutuhkan instrumen khusus sebagai

wadah berinteraksi dan bersosialisasi satu sama lain. Pemahaman inilah yang mendorong

munculnya beragam kerja sama dalam bentuk bilateral, trilateral, multilateral, regional, hingga

global dengan menggunakan organisasi dan rezim internasional sebagai instrumennya.

Kontestasi kedua terjadi dalam konteks bagaimana menilai eksistensi negara-bangsa di

tengah arus globalisasi yang melanda dunia tanpa pandang bulu. Pihak pertama berpandangan

bahwa negara-bangsa tetap eksis dan menjadi aktor utama dalam sistem internasional,

meskipun kemajuan di bidang teknologi komunikasi dan informasi menjadi tantangan yang tidak

mudah untuk direspons. Mereka yang berpijak pada posisi ini menjadikan fakta bahwa tidak ada

negara-bangsa yang pecah karena masifnya arus globalisasi. Globalisasi hanya menjadikan

pola-pola interaksi antar aktor hubungan internasional berubah dari bentuk tradisional menjadi

non-tradisional saja.

Sebaliknya, ada juga pihak yang berpandangan bahwa globalisasi telah menghapus

eksistensi negara. Batas-batas fisik negara seperti daratan dan lautan tidak lagi menjadi faktor

pemisah dan penghambat. Komunikasi antar negara tidak saja menjadi dominasi aparat
pemerintah, tapi bisa dilakukan oleh siapa saja. Sebagai contoh, diplomasi tidak semata-mata

menjadi ranah para diplomat saja, tapi juga dapat dimainkan oleh para pengusaha, pebisnis,

seniman, mahasiswa, serta kaum pelajar.

Berbagai kontestasi pemikiran tersebut tetap mewarnai interaksi antar aktor hubungan

internasional dewasa ini. Kontestasi pertama misalnya, menghasilkan kebijakan-kebijakan yang

bersifat unilateral di satu sisi, serta mengedepankan kerja sama di sisi lainnya. Kontestasi

kedua, menghasilkan tantangan dan ancaman yang lebih variatif kepada negara-bangsa di

dunia. Ancaman tidak hanya bersifat tradisional (perang dan konflik), tapi juga bersifat non-

tradisional (perubahan iklim, pencurian ikan di laut, pelanggaran HAM, penyelundupan

manusia, perdagangan narkoba, gender, serta hak asasi manusia).[11]

Beberapa isu global yang menjadi konsiderasi negara-negara di dunia antara lain:

1) Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat. Hal ini membawa implikasi

terhadap stabilitas politik, ekonomi, serta pertahanan dan keamanan di level global.[12]

2) Munculnya Tiongkok sebagai kekuatan baru dunia menantang hegemoni Amerika Serikat dan

sekutu-sekutunya. Tiongkok tak segan untuk mengobarkan perang di berbagai front di seluruh

dunia (lihat konflik Tiongkok dan Jepang di Laut Cina Timur, serta konflik Tiongkok dengan

Malaysia, Filipina, Vietnam, Brunei Darussalam, serta Taiwan di Laut Cina Selatan).[13]

3) Perjuangan Palestina untuk merdeka sebagai negara-bangsa yang berdaulat, lepas dari

penjajajahan dan kebiadaban Israel.[14]

4) Ketegangan di Semenanjung Korea. Uji coba rudal bertenaga nuklir oleh Korea Utara memantik

ketegangan dengan negara-negara kawasan seperti Korea Selatan dan Jepang. Kondisi ini

tidak an sich menjadi konflik bilateral antara Korea Utara dengan Jepang dan Korea Selatan

saja, tapi juga mengundang intervensi pihak luar seperti Amerika Serikat dan Tiongkok.

5) Munculnya Islamic State (IS). Aktivitas terorisme dan radikalisme menjadi semakin canggih dan

bersifat masif. Belum tuntas perang terhadap Taliban dan Al Qaeda, muncul lagi kelompok yang

jauh lebih kuat dan menebar ancaman secara masif. Pengaruhnya tidak hanya terlokalisasi
pada wilayah Timur Tengah saja, tapi jauh mencapai belahan dunia lainnya (termasuk di

kawasan Asia Tenggara).

Untuk merespon berbagai isu-isu global tersebut di atas, dibutuhkan kerja sama yang

solid antar negara. Tidak ada negara yang kedap dari pengaruh eksternal. Tidak ada negara

yang mampu mengatasi permasalahannya sendiri dalam menyikapi isu-isu global. Dibutuhkan

kerja sama yang erat dengan negara-negara lainnya, khususnya kerja sama yang dapat

mendukung kepentingan nasional serta ketahanan domestik masing-masing negara.

b. Lingkungan Regional

Kawasan Asia Tenggara memiliki arti penting bagi Indonesia dikarenakan Indonesia

terletak dan menjadi bagian dari kawasan ini. Kawasan Asia Tenggara, juga menjadi aspek

geografi yang mendeterminasi formulasi kebijakan politik, ekonomi, strategi, serta diplomasi,

baik di level domestik, maupun level global yang lebih luas. Singkat kata, kawasan Asia

Tenggara, tidak dimungkiri lagi menjadi lingkungan strategis dan ruang hidup (lebensraum)

pertama dan utama bagi Indonesia.[15]

Menggunakan pendekatan historis, signifikansi Asia Tenggara bagi Indonesia tercermin

dari sikap politik Indonesia bersama negara-negara kunci kawasan lainnya, seperti Malaysia,

Singapura, Filipina dan Brunei Darussalam, untuk mendirikan Perhimpunan Bangsa-Bangsa

Asia Tenggara (Perbara) atau yang lebih dikenal dengan sebutan ASEAN pada 8 Agustus

1967.

Terbentuknya ASEAN selain dimotivasi untuk mempererat serta meningkatkan

komunikasi dan kerja sama antar negara, juga merupakan respons dan sikap politik negara-

negara kawasan untuk tetap independen di tengah pertarungan kekuasaan serta perebutan

pengaruh antara dua kekuatan utama dunia pada waktu itu, yakni Amerika Serikat dengan

sekutunya di satu sisi, serta USSR dengan sekutunya di sisi lain.


Globalisasi telah menjadikan sifat ancaman yang dihadapi oleh negara-bangsa tidak lagi

berada pada karakteristik tradisional seperti konflik dan perang saja, tapi telah bermetamorfosis

pada sekup yang lebih luas. Masalah keterbatasan air, kelangkaan bahan pangan, diskiriminasi

gender, kebijakan pemerintah yang tidak demokratis, perdagangan narkotika dan obat-obat

terlarang, penyelundupan manusia, serta perubahan iklim kini berada pada ranah keamanan.

Pihak-pihak yang tidak sepakat menyebut fenomena ini sebagai gejala sekuritisasi.

ASEAN sebagai organisasi kerja sama kawasan merespons perubahan ini dengan sangat

cermat dan tepat. Negara-negara Asia Tenggara yang tergabung di dalamnya berhasil

merumuskan apa yang disebut sebagai Visi ASEAN 2020 dengan komitmen untuk membentuk

komunitas ASEAN yang lebih solid. Komunitas ini terdiri atas 3 (tiga) bagian, yakni ASEAN

Economic Community (AEC), ASEAN Political and Security Community (APSC), serta ASEAN

Social and Cultural Community (ASCC).[16] Pembentukan komunitas-komunitas khusus ini

diharapkan dapat mempercepat tercapainya integrasi ASEAN di semua lini.

ASEAN sebagai wadah kerja sama kawasan, seperti halnya organisasi kerja sama di

beberapa kawasan lainnya, tentu tidak kedap dari berbagai kendala. Sebagai negara-bangsa

yang berdaulat, tetap saja terdapat kemungkinan untuk negara-negara anggota ASEAN untuk

menggunakan kebijakan unilateral dalam merespon isu kawasan atau global. Penempatan

kepentingan nasional sebagai hal yang utama bagi negara-bangsa kerap menjadi kendala

apabila tidak selaras dan sebangun dengan prinsip kerja sama kawasan. Sebagai contoh,

Filipina lebih mengedepankan komunikasi bilateral dengan Tiongkok terkait konflik Laut Cina

Selatan pasca keputusan Permanent Court of Arbitration (PCA). Hal ini tentu menegasikan

komitmen untuk menggunakan instrumen ASEAN dalam mengatasi konflik-konflik yang

dihadapi oleh negara anggota ASEAN.

Oleh sebab itu, dibutuhkan pemahaman yang komprehensif dari negara-negara anggota

ASEAN mengenai urgensi kerja sama kawasan. Negara tetangga di kawasan, memainkan

peran tidak hanya sebagai halaman depan saja, tapi juga halaman belakang. Artinya, apapun

yang terjadi di negara kawasan, akan memberikan dampak terhadap kepentingan nasional,
langsung ataupun tidak langsung, positif juga negatif. Dibutuhkan juga komitmen yang kuat

serta kepatuhan atas kesepakatan yang telah dicapai.

14. Faktor Internal

a. Aspek Geografi

Geografi merupakan aspek ketahanan nasional yang bersifat statis, seperti halnya

demografi dan sumber kekayaan alam. Meskipun bersifat statis, tidak menjadikan geografi

sebagai aspek yang mudah dikontrol atau dikendalikan. Secara geografis, Indonesia memiliki

keuntungan politis dan ekonomis yang sangat baik. Terletak pada persilangan antara 2 (dua)

benua, yakni Asia dan Australia, serta 2 (dua) samudera, yakni Hindia dan Pasifik,

menempatkan Indonesia pada posisi penting dalam jalur perdagangan internasional.

Namun demikian, geografis Indonesia yang didominasi oleh perairan serta dipisahkan

oleh pulau-pulau menjadi tantangan tersendiri yang tidak mudah dalam pengelolaannya.

Wilayah Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau-pulau menghadirkan tantangan dalam bentuk

kesulitan dalam hal komunikasi dan distribusi, kebijakan pemerintah yang harus

bersifat customizemerujuk pada diferensiasi masing-masing daerah. Keragaman wilayah juga

menghadirkan keragaman karakteristik pada masyarakatnya. Hal ini menjadikan tantangan

dapat berubah menjadi ancaman apabila tidak dikelola secara tepat. Disintegrasi dan segregasi

bangsa adalah beberapa contohnya.

Namun demikian, segala kendala yang muncul dari aspek geografi, tidak sepatutnya

menjadi ancaman bagi utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Perairan yang

memisahkan pulau-pulau seyogianya dipandang sebagai pemersatu dan perekat. Perairan

adalah wilayah Indonesia itu sendiri. Perbedaan karakteristik masing-masing wilayah Indonesia

menjadi poin penting untuk mewujudkan kerja sama antar daerah yang solid, terlebih lagi

apabila mengedepankan pemahaman bahwasanya masing-masing daerah memiliki keunggulan

komparatif masing-masing.
b. Aspek Demografi

Demografi menjadi atribut nasional yang paling penting bagi suatu negara-bangsa. Hal ini

dikarenakan aspek demografi menyentuh hal vital bagi negara-bangsa itu sendiri, yakni aspek

sumber daya manusia. Maju mundurnya suatu negara-bangsa, berada di tangan warga

negaranya.

Indonesia memiliki 2 (dua) karakteristik utama demografi, yakni besar dan majemuk.

Besar dalam artian memiliki jumlah penduduk yang banyak. Indonesia tercatat sebagai negara

berpenduduk terbesar ke empat di dunia, setelah Tiongkok, India, serta Amerika Serikat.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada tahun 2016, jumlah penduduk Indonesia tercatat

sebanyak 250 (dua ratus lima puluh) juta jiwa. Majemuk, merujuk pada karakteristik

masyarakatnya yang terdiri dari beragam suku, budaya, adat istiadat, agama, serta

menggunakan bahasa yang berbeda-beda.

Karakteristik besar dan majemuk menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia. Indonesia

akan menyongsong apa yang disebut sebagai bonus demografi pada 2020-2030 mendatang.

Bonus demografi sendiri merupakan kondisi di mana jumlah penduduk usia produktif lebih

banyak dibandingkan dengan penduduk usia non-produktif. Komposisinya kurang lebih 70

(tujuh puluh) berbanding 30 (tiga puluh). Kondisi ini akan membawa keuntungan apabila

penduduk usia produktif tersebut dibekali dengan pendidikan dan dukungan kesehatan yang

baik. Sebaliknya, dapat menjadi bencana apabila salah kaprah dalam pengelolaannya.

Tingginya angka pengangguran, kriminalitas, masyarakat miskin, busung lapar dan kurang gizi

misalnya, menjadi ancaman di depan mata.[17]

Sedangkan dari sisi majemuk, menghadirkan tantangan dalam bentuk konflik antar

daerah dan masyarakat. Perbedaan bahasa, budaya, agama, serta adat-istiadat, apabila tidak

dijembatani dengan baik, akan menghadirkan konflik, bahkan pecahnya Negara Kesatuan

Republik Indonesia (NKRI).


c. Aspek Sumber Kekayaan Alam

Indonesia adalah negara kaya raya dari sisi kepemilikan sumber kekayaan alam.

Indonesia memiliki 2 (dua) atribut nasional utama, yakni negara maritim, merujuk pada

besarnya wilayah perairan, serta negara agraris, merujuk pada melimpahnya sumber kekayaan

di bidang pertanian dan perkebunan.

Kekayaan maritim Indonesia tercermin dari besarnya wilayah perairan Indonesia yang

kurang lebih mencapai 2/3 dari wilayah nusantara. Perairan tersebut tentu bukan perairan

kosong, melainkan mengandung jutaan kekayaan alam dalam bentuk kekayaan flora dan fauna,

kandungan mineral, minyak bumi dan gas alam dalam jumlah yang melimpah ruah. Sedangkan

kekayaan agraris Indonesia, menempatkan Indonesia sebagai negara berstatus swasembada

pangan pada tahun 2016 dan dekade 1980-an. Indonesia juga terkenal sebagai penghasil

kelapa sawit, kopi dan karet yang utama di dunia saat ini.

Pada masa lampau kekayaan alam Indonesia menjadi magnet luar biasa yang

mendorong kedatangan pihak-pihak asing di bumi nusantara untuk menguasai sumber-sumber

kekayaan alam tersebut. Pihak-pihak asing seperti Belanda dan Jepang, tak segan untuk

melakukan kolonialisasi dan imperialisasi terhadap kekayaan alam Indonesia. Dewasa ini,

kolonialisme dan imperialisme hadir dalam bentuk yang paling modern, yakni campur tangan

asing dalam bentuk aktivitas perusahaan multinasional dan transnasional.

Agar kekayaan alam Indonesia memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi

kemakmuran rakyat Indonesia, sudah selaiknya pemerintah Indonesia menggunakan metode

pengelolaan yang bersifat komprehensif dengan berpegang teguh pada 4 (empat) konsensus

bangsa. Salah satu metode pengelolaan sumber kekayaan alam adalah penguatan kerja sama

antar daerah merujuk pada keunggulan komparatif masing-masing daerah sehingga menjadi

poin penting untuk memenuhi kebutuhan masing-masing, menopang pembangunan nasional,

serta memperkukuh ketahanan nasional.


d. Aspek Ideologi

Indonesia memiliki Pancasila sebagai ideologi, dasar negara, serta falsafah hidup

berbangsa dan bernegara. Pancasila merupakan legasi besar para pendiri bangsa yang

menjadi pijakan dalam penyelenggaran dan pengelolaan negara. Nilai-nilai yang terkandung

dalam Pancasila seperti ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kesatuan, musyawarah, mufakat,

serta keadilan merupakan nilai-nilai yang digali dari budaya dan karakteristik bangsa Indonesia.

Pancasila merupakan ideologi yang genuine, bukan adopsi dari nilai-nilai asing.

Pancasila yang apabila diperah menjadi satu atau Ekasila, yakni gotong royong,

merupakan ideologi yang bersifat terbuka, artinya responsif terhadap situasi dan perkembangan

zaman. Namun demikian, Pancasila bersifat final, tidak bisa diganggu gugat. Pancasila sendiri

terbukti sebagai ideologi yang mampu eksis menopang berdirinya Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI) hingga kini. Pancasila terbukti sakti dalam menangkal ideologi negatif dari

luar seperti komunisme dan kapitalisme yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa.[18]

Sila kelima Pancasila, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menekankan

pada pentingnya pengelolaan sumber kekayaan nasional, baik itu sumber daya manusia,

maupun sumber kekayaan alam, dengan merujuk pada prinsip pengelolaan yang sebesar-

besarnya bagi kemakmuran rakyat. Dikaitkan dengan dengan diferensiasi antar daerah dalam

hal kepemilikan sumber kekayaan alam, dibutuhkan kerja sama antar daerah yang solid guna

menyukseskan pembangunan nasional yang lebih merata, selaras dengan amanat sila ke lima

Pancasila.

e. Aspek Politik

Corak pemerintahan Orde Baru yang bersifat militeristik dan totaliter telah menimbulkan

kerusakan yang bersifat sistemik di semua sendi kehidupan bermasyarat, berbangsa, serta

bernegara. Banyaknya upaya dari berbagai daerah di tanah air, seperti Aceh dan Papua, untuk
memerdekakan diri dan terlepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), merupakan

otokritik atas kinerja Orde Baru.

Pada era reformasi, muncul kebijakan baru yang lebih komprehensif yakni kebijakan

otonomi daerah. Kebijakan yang terdiri atas prinsip desentralisasi, dekonsentrasi, serta tugas

perbantuan ini, memberikan otoritas kepada daerah untuk mengelola potensi diri masing-

masing. Dasarnya adalah pemahaman bahwa masing-masing daerah lebih paham mengenai

apa yang menjadi keunggulannya, bagaimana pengelolaannya, serta teknis pemanfaatannya,

namun tetap dalam kerangka menopang pembangunan nasional serta memperkukuh

ketahanan nasional.[19]

Lebih lanjut, otonomi daerah menghadirkan tantangan dalam bentuk kerja sama antar

daerah. Hal ini merujuk pada fakta bahwa masing-masing daerah secara determinisme geografi

berbatasan secara langsung, serta memiliki keunggulan komparatif masing-masing. Namun

demikian, dalam implementasinya, kerja sama antar daerah tidak mudah terealisasi. Ego

masing-masing daerah, komunikasi yang kurang baik antar kepala daerah, merebaknya gejala

nasionalisme sempit, hingga praktik korupsi, kolusi, serta nepotisme menjadi kendala dalam

mewujudkan kerja sama antar daerah yang solid.

Beberapa fenomena politik mutakhir nasional dewasa ini seperti munculnya kasus E-KTP,

konflik pasca Pilkada, merebaknya isu SARA yang menimbulkan konflik horizontal di

masyarakat, maraknya berita bohong serta ujaran kebencian di dunia maya yang belum mampu

ditangani dengan baik oleh pemerintah pusat, korupsi masif di level eksekutif, legislatif, serta

yudikatif, menjadi faktor-faktor penghambat bagi kemajuan daerah atau pembangunan nasional

dalam sekup yang lebih besar.

f. Aspek Ekonomi

Sistem ekonomi yang digariskan oleh para pendiri bangsa dapat dirujuk pada pada

Pembukaan UUD 1945 Alinea ke empat serta batang tubuh UUD 1945 Pasal 33. Dalam
Preambul UUD 1945 Alinea ke empat disebutkan bahwa tujuan nasional Indonesia adalah

memajukan kesejahteraan umum bagi masyarakat. Sedangkan dalam batang tubuh UUD 1945

Pasal 33, disebutkan bahwasanya pengelolaan sumber kekayaan alam Indonesia haruslah

diperuntukkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat seluruh Indonesia.

Dalam dinamikanya, perekonomian nasional tidaklah dijalankan dengan prinsip

sedemikian. Faktanya tergambar lugas dengan maraknya aktivitas perekonomian yang lebih

mengedepankan prinsip liberalisme dan praktik-praktik kaum kapitalis. Sumber kekayaan alam

di darat dan laut dikeruk oleh korporasi asing karena inkapabilitas domestik dalam hal teknologi,

investasi asing secara masif di semua lini bahkan bidang-bidang yang menyentuh hajat hidup

orang banyak, kebijakan impor yang menyumbat kreativitas dan produktivitas dalam negeri,

serta gemarnya pemerintah menimbun hutang luar negeri dengan argumentasi untuk

menyokong pembangunan nasional.

Merujuk pada konsepsi Tri Sakti Soekarno, khususnya pada prinsip mandiri di bidang

ekonomi, sudah selayaknya pemerintah dan segenap anak bangsa untuk mengelola dan

menikmati sumber kekayaan alam sendiri, bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat di

seluruh Indonesia. Jangan serahkan pengelolaan sumber daya strategis kepada pihak asing.

Perkuat aspek pendidikan bagi sumber daya manusia Indonesia, khususnya para putera

daerah, agar mampu mengelola keunggulan daerah masing-masing dan keunggulan nasional,

serta menjalankan kegiatan perekonomian yang lebih berkeadilan sosial.

g. Aspek Sosial Budaya

Sosial dan budaya merupakan aspek penting yang mencerminkan keluhuran dan

keunggulan Indonesia. Berbicara tentang sosial dan budaya, artinya berbicara tentang cipta,

rasa, karsa, serta karya manusia Indonesia. Majemuknya kebudayaan Indonesia menjadi nilai

tambah yang menunjukkan kekayaan khazanah bangsa.


Secara historis, tingginya sosial budaya masyarakat Indonesia tercermin dari betapa

mudahnya bangsa asing masuk ke Indonesia. Masyarakat Indonesia yang ramah tamah

menyambut mereka dengan suka cita, khususnya Jepang sebagai saudara, Meskipun pada

akhirnya bangsa Indonesia tersadar bahwa kehadiran Jepang adalah untuk melakukan

kolonialisasi dan imperialisasi di bumi pertiwi.

Secara fisik, keunggulan sosial budaya masyarakat Indonesia tercermin dari produk-

produk seni dan budaya. Candi Borobudur yang melegenda, menjadi objek wisata utama para

pemeluk agama Budha di seluruh dunia. Begitu pula Candi Prambanan bagi para pemeluk

agama Hindu. Indonesia juga memiliki kesenian yang adiluhung seperti tari saman dan pendet,

lagu dan alat musik daerah yang unik, yang menjadi daya tarik sendiri bagi turis mancanegara

untuk datang dan menyumbang devisa bagi Indonesia.

Walaupun demikian, anasir-anasir negatif dari lingkungan eksternal, menjadi ancaman

tersendiri bagi eksistensi sosial budaya masyarakat Indonesia. Generasi muda Indonesia

misalnya, mulai kecanduan pada film-film dan lagu Korea, seni berpakaian Harajuku ala

Jepang, mendengarkan musik serta memamah makanan khas Amerika Serikat. Hal ini

menimbulkan kekhawatiran tersendiri karena generasi muda adalah masa depan bangsa serta

tulang punggung pembangunan nasional di kemudian hari.

h. Aspek Pertahanan Keamanan

Pertahanan dan keamanan adalah dua konsep yang berbeda sebagai produk dari proses

reformasi di negeri ini. Berbicara mengenai aspek pertahanan, artinya berbicara tentang

ancaman yang berasal dari pihak luar, mengancam keutuhan serta kedaulatan nasional,

menggunakan instrumen kekerasan (penggunaan senjata), serta dijalankan oleh Tentara

Nasional Indonesia (TNI), dari matra darat, laut, serta udara.

Berbeda dengan pertahanan, keamanan lebih bersifat domestik, yakni penanganan pada

ancaman yang berasal dari dalam negeri, serta dijalankan oleh Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Polri) yang mengemban tugas dan tanggung jawab untuk menciptakan ketertiban

serta penegakan hukum.

Beberapa isu mutakhir terkait aspek pertahanan dan keamanan yang dihadapi oleh

Indonesia saat ini antara lain ancaman terorisme dan radikalisme, khususnya dari Islamic

State(IS) yang sudah menjangkau wilayah Indonesia. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang

seyogianya menjadi pesta demokrasi bagi masyarakat berubah menjadi ajang konflik horizontal

dan berbau Suku, Agama, Ras, serta Antar-Golongan (SARA) yang mengancam persatuan dan

kesatuan bangsa.

Ancaman juga hadir di dunia maya melalui maraknya berita bohong atau palsu serta

ujaran kebencian. Masyarakat Indonesia yang mudah terprovokasi, koinsiden dengan langkah

pencegahan dan penanganan yang lambat dari pemerintah. Ancaman keamanan juga muncul

dari wilayah-wilayah perbatasan Indonesia dengan negara lain.

Absennya negara di perbatasan, disparitas modal ekonomi dan sosial antara Indonesia

dengan negara tetangga, atensi yang minim dari pemerintah pusat, pembangunan nasional

yang belum merata, menjadi ancaman keamanan yang tidak bisa dipandang sebelah mata.

Kerja sama antar daerah di semua aspek menjadi kata kunci untuk mengatasi kondisi ini.

Keterbatasan di suatu daerah dapat didukung oleh daerah lain yang bertetangga. Kerja sama

antar daerah, khususnya daerah yang bertetangga secara langsung, tidak hanya merujuk pada

kedekatan geografis saja, tapi juga kesamaan kultur, dapat mengeliminir hambatan-hambatan

di bidang sosial dan budaya.

i. Kekuatan/Keunggulan dan Kelemahan

1) Kekuatan/Keunggulan. Jika mengacu pada gatra yang sifatnya statis, Indonesia memiliki

keunggulan yang sifatnya inheren dan potensial. Pertama, dari sisi geografis, posisi yang

sangat strategik di mana Indonesia terletak pada persilangan dua benua dan dua samudera

menempatkan Indonesia berada pada jalur penting perdagangan internasional yang


memberikan keuntungan ekonomis yang bernilai tinggi. Kedua, dari sisi geografis. Besarnya

jumlah penduduk menjadi modal utama pembangunan nasional, terlebih lagi Indonesia

diramalkan akan masuk pada periode bonus demografi, di mana jumlah penduduk usia

produktif lebih besar daripada penduduk usia non-produktif. Hanya saja tantangan bagi

Indonesia ke depan adalah bagaimana meningkatkan mutu sumber daya manusia sehingga

dapat menjadi katalisator dan amunisi penggerak pembangunan. Ketiga dari sisi sumber

kekayaan alam, tidak diragukan lagi bahwa Indonesia sangat kaya akan sumber daya alam,

khususnya pertanian dan kemaritiman. Hal ini menjadi modal dasar dan logistik penting dalam

mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan

rakyat.

Sedangkan jika merujuk pada gatra yang sifatnya dinamis, yakni IPOLEKSOSBUDHANKAM,

maka kekuatan dan keunggulan Indonesia adalah memiliki ideologi yang sifatnya terbuka

sehingga selalu sesuai dengan perkembangan zaman (zeitgeist), sistem demokrasi kerakyatan

yang sesuai dengan kepribadian bangsa, kearifan lokal yang banyak dipelajari oleh negara-

negara lain, serta politik luar negeri yang bebas dan aktif sehingga memungkinkan Indonesia

untuk banyak berpartisipasi di kancah global dengan seminimal mungkin konflik atau gesekan

dengan negara lain.

2) Kelemahan. Selain memiliki kekuatan dan keunggulan, Indonesia juga memiliki kelemahan dan

kekurangan yang harus terus-menerus diperbaiki agar tidak menjadi titik lemah yang

menghambat pembangunan nasional dan upaya memperkuat ketahanan nasional. Pertama,

struktur geografis Indonesia yang sangat luas berpotensi menjadi hambatan dalam mewujudkan

persatuan dan kesatuan bangsa. Kedua, densitas jumlah penduduk yang sangat besar, namun

masih lemah dalam penguatan kualitas sumber daya manusia, dapat menjadi bumerang

apabila tidak disikapi dengan pengelolaan yang baik. Ketiga, sumber kekayaan alam yang

dimiliki dapat menjadi kutukan dan celah masuknya bangsa asing untuk menguasai, memiliki,

bahkan menjajah negeri ini apabila anak negeri, khususnya pemerintah tidak memiliki

nasionalisme dan konfidensi yang tinggi untuk mengelolanya.


Selain itu, Indonesia memiliki kelemahan dari sisi sistem politik dan pemerintahan. Indonesia

belum sepenuhnya menjadi negara demokrasi yang substansial. Hal ini dapat dilihat dari relasi

antar lembaga negara yang kurang harmonis (DPR dan Eksekutif), menguatnya ego sektoral

antar lembaga negara dan kementerian (KPK versus Polri, enggannya pemerintah daerah

melakukan kerja sama satu sama lain, dan masih banyak lagi), sistem pemilihan umum

berbiaya tinggi, belum optimalnya peran masyarakat madani, serta masih masifnya korupsi di

birokrasi pemerintahan. Dari sisi ekonomi, Indonesia belum konsisten dalam menjalankan

prinsip ekonomi Pancasila atau ekonomi kerakyatan. Pemerintah masih gemar melakukan

impor barang dan jasa ketimbang melakukan penguatan kapabilitas ekonomi domestik, masih

dijadikannya skema bantuan luar negeri (hutang luar negeri) sebagai pilar penggerak

pembangunan, serta ekonomi biaya tinggi dalam distribusi barang antar wilayah. Kondisi ini

dapat menjadi hambatan bagi Indonesia, baik secara stuktural maupun kultural sehingga butuh

penanganan dan pembenahan jangka panjang.


BAB IV

TINJAUAN KERJA SAMA ANTAR PEMERINTAH DAERAH

15. Umum.
Indonesia sebagai sebuah negara bangsa memiliki tujuan nasional yang hendak dicapai.

Tujuan nasional Indonesia dapat dibaca pada Preambul UUD 1945 Alinea ke-4, yakni

melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan

umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut serta memelihara ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.[20]

Pencapaian tujuan nasional tersebut harus diakui tidaklah mudah. Selain membutuhkan

strategi yang konkret, juga dibutuhkan itikad yang kuat dari seluruh komponen bangsa untuk

merealisasikannya, baik itu pemerintah sebagai aparat negara, maupun masyarakat. Harus

jujur diakui, setelah mereguk 72 (tujuh puluh dua) tahun kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus

2017 yang lalu, apa yang termaktub dalam Preambul UUD 1945 Alinea ke-4 tersebut belumlah

tercapai seluruhnya.

Secara sederhana, belum tercapainya tujuan nasional dapat dilihat pada kondisi

perekonomian dan aspek kesejahteraan masyarakat. Pembangunan nasional yang digalakkan

pemerintah masih menyisakan kekurangan. Beberapa kekurangan tersebut diantaranya

pembangunan yang masih menggunakan biaya atau modal asing, bukan dari optimalisasi

sumber kekayaan alam nasional, masih kuatnya korupsi, kolusi, serta nepotisme di kalangan

pejabat pemerintah atau birokrat yang menyebabkan hasil pembangunan nasional kurang

maksimal, serta disparitas antarwilayah sehingga menimbulkan segregasi serta kesenjangan

antarmasyarakat Indonesia di satu wilayah dengan wilayah lainnya.

Menyikapi berbagai kekurangan tersebut, sudah selaiknya pemerintah, mulai dari level

nasional, hingga level daerah, memberikan atensi khusus yang ditindaklanjuti dengan

perumusan strategi dan langkah-langkah yang konkret. Pertama dan utama adalah political

will atau kemauan dari pemerintah itu sendiri. Pembangunan nasional, agar dapat mencapai

objektifnya, hanya akan terwujud apabila menjadi perhatian, diagendakan, dirumuskan dalam

visi dan misi, serta dilaksanakan dengan kebijakan-kebijakan yang terukur. Tanpa hal yang

bersifat fundamental tersebut, pembangunan nasional tidak akan memberikan signifikansi

apapun. Kedua, pembangunan nasional membutuhkan logistik untuk pelaksanaannya. Tanpa


logistik yang memadai, strategi, visi dan misi pembangunan nasional hanyalah sekedar

diskursus atau wacana saja.

Logistik pembangunan nasional di sini merujuk pada penguasaan sumber daya nasional.

Sumber daya nasional, lebih lanjut, dikategorisasikan menjadi 2 (dua) bentuk. Pertama, sumber

kekayaan alam yang sifatnya tangible, seperti minyak bumi, gas alam, hasil pertanian,

kehutanan, pertambangan, perkebunan dan kelautan. Kedua, sumber daya yang

bersifat intangible, yakni aspek sumber daya manusia Indonesia (pendidikan, kesehatan,

pranata sosial, sistem politik, serta sistem perekonomian).

Sumber daya nasional Indonesia, baik yang sifatnya sumber kekayaan alam, maupun

sumber daya manusia, berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Indonesia memang

negara besar dengan sumber daya nasional yang melimpah, namun demikian eksistensi

sumber daya tersebut berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lainnya. Dalam konteks

upaya untuk mencapai tujuan pembangunan nasional, kondisi ini tidak bisa dibiarkan karena

dapat menjadi faktor penghambat. Dibutuhkan kerja sama yang solid antar daerah agar

keunggulan masing-masing daerah dapat disinergikan.

Otonomi daerah yang bergulir pasca reformasi 1998 memberikan keistimewaan kepada

pemerintah daerah untuk mengelola daerahnya masing-masing. Hal ini didasari pada asumsi

bahwa pemerintah daerah jauh lebih mengetahui kekuatan dan potensi daerahnya sendiri

dibandingkan pemerintah pusat, sehingga lebih kompeten dalam pengelolaannya. Terlebih lagi

pada hakikatnya pemerintah daerah adalah representasi dan kepanjangan tangan dari

pemerintah pusat itu sendiri.

Kondisi ini sungguh kontradiktif apabila dibandingkan dengan kondisi prareformasi di

mana pengaturan daerah semuanya tersentralisasi ke pusat. Kondisi pada masa lampau ini

menjadi pembelajaran tersendiri kepada pemerintah pascareformasi, termasuk pemerintah saat

ini, bahwa sentralisasi selain menciptakan disparitas, juga menimbulkan upaya pemisahan diri

dari wilayah-wilayah Indonesia. Munculnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) serta Gerakan

Operasi Papua Merdeka (OPM) yang masih eksis hingga kini, adalah bukti konkretnya.
Otonomi daerah sebagai produk reformasi dan medium untuk mencapai tujuan nasional

tidak berjalan mulus begitu saja. Banyak tantangan dan hambatan yang muncul. Kendala

terbesar adalah sulitnya mewujudkan kerja sama yang solid antar pemerintah daerah.

Pemerintah di tiap-tiap daerah kerapkali terjangkit sindrom raja-raja kecil, sehingga lupa untuk

bersinergi satu sama lain dalam rangka mewujudkan tujuan yang lebih besar, yakni tujuan

nasional.

Mereka seakan tidak menyadari bahwa tidak semua kebutuhan daerah bisa dipenuhi

sendiri oleh daerah tersebut. Jikapun harus bekerja sama, kerja sama yang tercipta adalah

kerja sama yang merupakan pelaksanaan peraturan perundang-undangan saja (seperti dalam

kasus kerja sama antar daerah yang berbatasan satu sama lain), bukan kerja sama yang

digagas atas inisiatif sendiri serta perhitungan yang matang dan cermat berdasarkan prinsip

efektivitas, efisiensi, serta ketercapaian kepentingan daerah.

Belum adanya harmoni dan sinergi antar pemerintah daerah dalam mengelola daerah

serta mencapai objektif pembangunan daerah dan nasional ini, bisa dikatakan sebagai kondisi

yang menghkhawatirkan. Hal ini perlu disikapi secara serius oleh pemerintah pusat. Identifikasi

kendala dan hambatan merupakan langkah pertama agar solusi yang digagas dalam bentuk

kebijakan-kebijakan tepat mengenai sasaran. Solusi yang digagas nanti, lebih lanjut akan

diterjemahkan sebagai kebijakan atau regulasi, baik oleh pemerintah pusat, maupun

pemerintah daerah.

16. Tinjauan Kerja Sama Antar daerah di Indonesia Saat Ini.

Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan berbagai regulasi atau peraturan

untuk menjamin pemberian otonomi kepada daerah yang mampu mencapai tujuan atau objektif

nasional, yakni kesejahteraan umum, kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.

Pertama adalah UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.


Terbitnya undang-undang ini merupakan tindak lanjut atas amanat yang tertuang dalam

UUD 1945, yakni Pasal 18 ayat (7) bahwa susunan dan tata cara penyelenggaraan

pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang. Undang-undang ini juga merupakan

perubahan terhadap undang-undang tentang pemerintahan daerah yang terbit sebelumnya. UU

No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ini memberikan definisi yang jelas mengenai

pemerintah daerah, kerja sama antar pemerintah daerah beserta urgensi dan signifikansi dari

kerja sama itu sendiri.[21]

UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah disempurnakan sebanyak 2

(dua) kali. Penyempurnaan pertama adalah dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.

23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Adapun perubahan kedua adalah dengan

dikeluarkannya Undang-Undang No. 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23

Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Dalam undang-undang ini dijelaskan beberapa hal penting. Dijelaskan bahwa pemerintah

daerah memiliki kewenangan yakni, menyelenggarakan urusan pemerintahan menurut asas

otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya sesuai dengan sistem

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemerintah daerah melaksanakan urusan

pemerintahan konkuren yang diserahkan oleh pemerintah pusat menjadi dasar pelaksanaan

otonomi daerah dengan berdasar atas asas tugas pembantuan. Pemerintah daerah dalam

melaksanakan urusan pemerintahan umum yang menjadi kewenangan presiden dan

pelaksanaannya dilimpahkan kepada gubernur dan bupati/wali kota, dibiayai oleh Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Lebih lanjut, substansi undang-undang tersebut menjelaskan bahwa penyelenggaraan

pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat

melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, peran serta masyarakat, serta peningkatan

daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan dan

kekhasan suatu negara dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah, perlu ditingkatkan kembali efektivitas dan efisiensi

dengan memperhatikan aspek-aspek hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah dan

antar daerah, serta peluang dan tantangan persaingan global dalam kesatuan sistem

penyelenggaraan pemerintahan negara.

Regulasi kedua yang ditetapkan oleh pemerintah dalam rangka penguatan kerja sama

antar pemerintah daerah bersifat lebih teknis, yakni Peraturan Menteri Dalam Negeri

(Permendagri) No. 22 Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Kerja Sama Daerah.

Dikeluarkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 22 Tahun 2009 tentang

Petunjuk Teknis Tata Cara Kerja Sama Daerah ini merupakan tindak lanjut atas ketentuan

Pasal 7 huruf e Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Kerja Sama

Daerah.

Dalam Bab I mengenai Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat (3) menyebutkan bahwa kerja

sama antar daerah yang selanjutnya disingkat KSAD adalah kesepakatan antara gubernur

dengan gubernur atau gubernur dengan bupati/walikota atau antara bupati/walikota dengan

bupati/walikota lain yang dibuat secara tertulis dan menimbulkan hak dan kewajiban. Sebagai

pelaksana, dibentuk Tim Koordinasi Kerja Sama Daerah yang selanjutnya disingkat TKKSD,

yang dibentuk kepala daerah untuk membantu kepala daerah dalam menyiapkan kerja sama

antar daerah.[22]

Untuk melihat bagaimana praktik kerja sama antar daerah yang sudah berjalan di

Indonesia saat ini, dapat ditelaah dari kerja sama antar daerah yang dijalankan oleh Pemerintah

Kota Bogor, Jawa Barat serta Pemerintah Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, sebagai sebuah

studi kasus.

a. Kerja sama antar daerah yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Bogor, Jawa Barat,

antara lain sebagai berikut:[23]

1) Kerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Bogor dengan ditandatanganinya kesepakatan

kerja sama antar daerah dalam pelayanan publik. Sampai saat ini, telah ditindaklanjuti dengan

perjanjian kerja sama pada 13 (tiga belas) bidang kerja.


2) Kerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Bogor berdasarkan Perjanjian Kerja Sama

tentang Pengembangan Bidang Kebudayaan dan Kepariwisataan Bogor.

3) Kerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Bogor tentang penegakan peraturan daerah

dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat di wilayah perbatasan

dengan jangka waktu kerja sama selama 4 (empat) tahun.

4) Kerja sama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat tentang pengembangan perpustakaan

umum di Kota Bogor.

5) Kerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat tentang

penyelenggaraan program transmigrasi di Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) Sei Bulan

Kabupaten Kubu Raya dengan jangka waktu selama 5 (lima) tahun.

6) Dan masih banyak lagi.

b. Kerja sama antar daerah yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Grobogan, Jawa

tengah, antara lain sebagai berikut:[24]

1) Kegiatan fasilitasi kerja sama daerah, berupa kerja sama antar daerah regional 6 (enam)

wilayah yang terdiri dari Kabupaten Kendal, Kabupaten Demak, Kabupaten Semarang, Kota

Salatiga, Kota Semarang dan Kabupaten Grobogan melalui Forum Kedungsepur.

2) Kegiatan Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) dan Mediasi Kerja Sama bidang

ketransmigrasian dengan pemerintah daerah penerima.

3) Dan masih banyak lagi.

Kerja sama antar daerah yang dilakukan oleh kedua daerah tersebut di atas menunjukkan

bahwa tiap-tiap daerah di Indonesia mengimplementasikan amanat yang diberikan oleh

pemerintah pusat melalui beragam regulasi yang sudah ditetapkan. Pada bentuk kerja sama
yang dijalankan oleh Pemerintah Kota Bogor, misalnya, kita bisa melihat bahwa pola kerja

sama antar daerah yang dijalankan memang masih banyak diimplementasikan pada daerah

yang berbatasan secara langsung saja, demikian juga halnya pada bentuk kerja sama yang

dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Pada keduanya juga kita temui

bahwa bidang kerja sama yang dijalin didominasi oleh kerja sama pada pelayanan publik atau

bersentuhan langsung dengan hajat hidup orang banyak.

Tidak semua kerja sama bisa berjalan mulus. Jika sudah berjalan dengan mulus, maka

kerja sama tersebut harus ditingkatkan agar lebih baik lagi. Namun, jika output dan outcome-

nya belum optimal atau maksimal, maka perlu penanganan terhadap apa yang menjadi

hambatan dan kendalanya.

Secara umum, kendala-kendala dalam kerja sama antar daerah yang berpotensi

menghambat tercapainya kesejahteraan masyarakat dalam rangka pembangunan nasional

antara lain, pemerintah daerah belum menganggap kerja sama antar daerah sebagai suatu

inovasi dalam penyelenggaran pembangunan daerah, ketimpangan regulasi antara pemerintah

pusat dengan pemerintah daerah, lemahnya peran pemerintah pusat dalam mempromosikan

dan memberikan dukungan bagi terlaksananya mekanisme kerja sama antar daerah yang solid,

serta belum adanya basis data yang memadai untuk mendukung tahap perencanaan,

pelaksanaan, monitoring serta evaluasi kerja sama antar daerah.

a. Belum dijadikannya Mekanisme Kerja Sama Antar daerah sebagai Inovasi dalam

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

Teori David Ricardo tentang keunggulan komparatif menyebutkan bahwa suatu negara

memiliki keunggulan komparatif yang berbeda-beda dengan negara lainnya. Sebagai

konsekuensi atas perbedaan tersebut, serta fakta bahwa tidak ada satu negarapun di dunia ini

yang mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, maka dijalinlah hubungan perdagangan

antarnegara.
Logika yang digunakan oleh David Ricardo ini juga berlaku untuk hubungan antar daerah.

Secara geografis, tidak ada daerah yang mampu eksis sendiri dengan mengabaikan daerah

tetangganya. Sebagai contoh, Provinsi DKI Jakarta, tidak akan pernah bisa menangani

permasalahan banjir, kemacetan, serta sampah sendiri tanpa bekerja sama dengan Pemerintah

Daerah Bogor, Depok, Tangerang, serta Bekasi yang berbatasan langsung dengannya.

Secara ekonomis, tidak mungkin suatu daerah mampu menjalankan pola pemenuhan

kebutuhan sendiri tanpa kerja sama perdagangan dengan daerah lain. Hal ini karena masing-

masing daerah, selain memiliki keunggulan masing-masing, juga memiliki kelemahan atau

keterbatasan tersendiri.

Meskipun keunggulan komparatif masing-masing daerah tersebut menjadi sebuah fakta

yang suka tidak suka atau mau tidak mau menjadi faktor pendorong untuk dilakukannya kerja

sama, kerja sama antar pemerintah daerah tetaplah tidak berjalan lancar. Yang menjadi

penyebab utamanya adalah mekanisme kerja sama antar daerah belum diletakkan sebagai

solusi dan inovasi atas berbagai kebutuhan dan permasalahan yang ada.

Kerapkali pemerintah daerah beranggapan bahwa kerja sama antar daerah tidak menarik

untuk dilaksanakan karena pelayanan publik yang diselenggarakan lebih banyak merugi dan

disubsidi oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Ketimbang terdampak pada

hal tersebut, pemerintah daerah lebih tertarik untuk menjalin kerja sama dengan pihak swasta

yang lebih menguntungkan. Kerja sama dengan pihak swasta ini juga terkadang menimbulkan

permasalahan baru karena pemerintah daerah sering terjebak pada praktik korupsi, kolusi,

serta nepotisme yang kerap menyeret kepala daerah ke ranah hukum.

Daerah-daerah baru sebagai hasil pemekaran dari daerah induk juga seringkali berfikir

sektoral. Mereka selalu beranggapan bahwa mereka memiliki sumber daya sendiri yang

memadai untuk menjalankan pembangunan daerah, terlepas dari kerja sama dengan ex-daerah

induk. Mereka seakan ingin membuktikan bahwa dengan tidak menjalankan kerja sama dengan

ex-daerah induk, menjadi legitimasi riil pemisahan diri (pemekaran) mereka.


Kondisi-kondisi tersebut tidak akan terjadi apabila pemerintah daerah memiliki pandangan

serta perspektif yang luas. Kebijakan-kebijakan yang diambilpun akan lebih jernih dan

berorientasi sepenuhnya kepada masyarakat apabila mereka jujur, bersih dan tidak memiliki

kepentingan apapun dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pemerintah daerah bisa

belajar dari keberhasilan perusahaan-perusahaan (disarankan sesekali pemerintah daerah

melakukan studi banding atau benchmarking ke perusahaan-perusahaan nasional) yang

menerapkan good corporate governance.

Dalam rangka mencapai profitabilitas yang tinggi serta mengurangi potential loss dalam

operasional, perusahaan-perusahaan tak segan menjalin kerja sama dengan perusahaan

lainnya, baik dalam relasi yang setara dalam bentuk business to business atau corporate to

corporate, maupun dalam bentuk subsidiary mechanism. Perusahaan yang sukses tidak pernah

berdiri sendiri. Keberhasilan yang mereka capai merupakan dukungan dari partner mereka,

bahkan kompetitor. Melalui kerja sama, objektif yang ditetapkan dapat tercapai secara efektif

dan efisien, serta memberikan keuntungan yang optimal. Dalam konteks bernegara,

masyarakatlah yang menikmatinya.

b. Ketimpangan Regulasi Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Regulasi memainkan peranan penting dalam implementasi kebijakan sebagai landasan

dan payung hukum. Namun regulasi juga memberikan implikasi negatif apabila ditetapkan pada

posisi yang saling menegasikan satu sama lain. Kondisi inilah yang menjadi salah satu faktor

penghambat dalam pelaksanaan kerja sama antar daerah.

Secara faktual, pemerintah pusat telah mengeluarkan berbagai regulasi yang mengatur

teknis-teknis kerja sama antar daerah. Hal ini bisa dirujuk dari ditetapkannya Peraturan Menteri

Dalam Negeri (Permendagri) No. 6 Tahun 1975 tentang kerja sama antar daerah, Keputusan

Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) No. 275 Tahun 1982 tentang Pedoman Kerja Sama

Pembangunan Antar daerah. Kedua regulasi tersebut merupakan produk pada masa orde baru.
Pada masa sekarang, kita bisa melihat berbagai regulasi mutakhir pada UU No. 22

Tahun 1999, yang kemudian direvisi menjadi UU. No. 32 Tahun 2004, direvisi kembali menjadi

UU No. 23 Tahun 2014, terakhir menjadi UU No. 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah.

Ada jugaPeraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 22 Tahun 2009 tentang Petunjuk

Teknis Tata Cara Kerja Sama Daerah yang merupakan tindak lanjut atas ketentuan Pasal 7

huruf e Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Kerja Sama Daerah.

Meskipun pemerintah pusat sudah memberikan atensi dengan merilis berbagai regulasi

tersebut, dinamika kerja sama antar daerah masih memerlukan penyempurnaan dalam regulasi

agar objektif pembangunan di daerah dan level nasional bisa dicapai. Pertama, regulasi di level

pusat hendaknya merupakan aspirasi dan wujud respon terhadap kebutuhan daerah. Jika tidak,

regulasi di level pusat tidak akan menemui relevansinya jika diterapkan di daerah, bahkan bisa

terjadi ketidaksesuaian dengan kebutuhan yang ada. Kedua, dibutuhkan responsibilitas

pemerintah pusat dalam menyikapi dinamika di daerah. Kerapkali perubahan regulasi baru

dijalankan setelah daerah melalui dinamika yang sangat cepat sedangkan regulasi yang lama

tidak lagi mampu mewadahi kebutuhan. Ketiga, sudah selaiknya penyusunan regulasi di level

pusat terlepas dari intervensi atau anasir-anasir negatif pihak asing yang hendak menguasai

sumber kekayaan alam daerah. Terakhir, pemerintah daerah harus menjalin komunikasi yang

aktif serta bersikap proaktif dalam menyuarakan kepentingan daerah kepada pemerintah pusat,

baik melalui jalur eksekutif, maupun legislatif (DPR dan DPD).

c. Pemerintah Pusat Belum Menempatkan Mekanisme Kerja Sama Antar daerah

sebagai Prioritas untuk Didiseminasikan ke Daerah.

Implementasi kerja sama antar daerah bisa disebut mengalami kompleksitas

permasalahan. Pertama, tidak semua daerah memiliki inisiatif untuk melakukan kerja sama.

Terkadang kerja sama hanya dilakukan sebagai bentuk pelaksanaan undang-undang saja yang

jika tidak dilaksanakan akan menimbulkan implikasi hukum. Kedua, kurang persistennya
pemerintah pusat serta pemerintah propinsi untuk mensupervisi daerah di bawahnya agar

melakukan kerja sama satu sama lain.

Keberhasilan pembangunan nasional sangat ditentukan oleh keberhasilan pembangunan

di level pusat dan daerah. Dalam konteks daerah, keberhasilan pembangunan suatu provinsi,

sangat ditentukan oleh keberhasilan pembangunan di berbagai kota dan kabupaten yang ada di

dalamnya. Teori ini mengajarkan kepada kita untuk melakukan komunikasi dan koordinasi yang

erat, baik sifatnya bottom up, maupun top down.

Pemerintah pusat memainkan peran sentral dalam mengkatalisasi kerja sama antar

daerah. Secara logika, pemerintah pusat melalui struktur organisasinya atau birokrasinya harus

memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam memetakan potensi dan keunggulan masing-masing

daerah, termasuk kekurangannya. Melalui pemetaan yang baik, pemerintah pusat dapat

mensupervisi struktur organisasi daerah, dalam hal ini pemerintah provinsi mengenai

mekanisme kerja sama yang seperti apakah yang harus dilaksanakan. Otonomi daerah

memang memberikan kewenangan yang besar kepada daerah untuk mengatur dirinya sendiri,

namun tidak menjadi legitimasi bagi pemerintah pusat untuk lepas tangan.

Secara teknis peran pemerintah pusat dalam penguatan kerja sama antar daerah dapat

dijalankan oleh Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Kementerian

Keuangan RI (Kemenkeu RI), Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Kementerian

Perindustrian RI (Kemenperin RI), Kementerian Perdagangan RI (Kemendag RI), Kementerian

Kebudayaan dan Pariwisata RI (Kemenbudpar RI), Badan Pusat Statistik (BPS), serta

Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal RI (Kementerian PDT RI). Secara umum, tiap

instansi di level pusat dapat berkontribusi bagi penguatan kerja sama antar daerah sesuai tugas

pokok dan fungsi masing-masing.

d. Belum Ada Basis Data (Database) yang Baik Mengenai Kerja Sama Antar daerah di

Seluruh Indonesia.
Kemajuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi seturut masifnya proses

globalisasi yang melanda dunia saat ini sudah semestinya digunakan untuk kepentingan-

kepentingan yang bersifat positif, terlebih lagi apabila memberikan dampak terhadap hajat hidup

orang banyak.

Potensi sumber kekayaan alam Indonesia yang begitu besar, baik dari aspek pertanian,

perkebunan, perikanan, kehutanan, pertambangan, serta kelautan, tersebar dari Sabang

sampai Merauke, Miangas hingga Pulau Rote, perlu untuk dipetakan agar menjadi pedoman

dan panduan dalam menyusun strategi pembangunan.

Secara faktual, pemetaan potensi sumber kekayaan alam tersebut sudah dilakukan oleh

instansi-instansi terkait. Sebagai contoh, potensi perikanan Indonesia, baik ikan air tawar, asin,

maupun payau, telah dipetakan dengan baik oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan RI

(KKP RI). Potensi sumber daya hutan, sudah dipetakan dengan baik oleh Kementerian

Kehutanan RI (Kemenhut RI). Namun demikian, yang menjadi pokok persoalan, apakah

pemetaan tersebut beserta data sebagai produknya dapat diakses dengan mudah sebagai

panduan dalam menjalankan kerja sama antar daerah?

Kerapkali suatu daerah hanya menjalin kerja sama dengan daerah yang berbatasan

secara langsung saja dikarenakan ketidaktahuan mereka terhadap potensi kerja sama yang

bisa digali dengan daerah lain. Kurang gesitnya pemerintah daerah dalam menjalin komunikasi

dengan pemerintah daerah lainnya dalam forum-forum pertemuan kepala daerah menjadi

kelemahan tersendiri. Kondisi ini tidak akan terjadi apabila ada supervisi dari pemerintah pusat

serta ketersediaan data dan informasi yang cukup yang telah tersistem dengan baik

sebagaiguidance dalam menjalankan kerja sama antar daerah. Ketiadaan basis data yang

mudah diakses menyebabkan kepentingan daerah tidak tercapai dengan optimal.

17. Analisis Implikasi Penguatan Kerja Sama Antar pemerintah Daerah Terhadap

Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat dan Implikasi Peningkatan Kesejahteraan

Masyarakat Terhadap Pembangunan Nasional.


a. Analisis Implikasi Penguatan Kerja Sama Antar pemerintah Daerah Terhadap

Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat.

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 yang tercantum pada alinea ke-4

yang salah satunya adalah memajukan kesejahteraan umum, penguatan kerja sama antar

daerah sebagai salah satu mekanisme pencapaiannya memiliki urgensi penting, baik dalam

kerangka pembangunan nasional, maupun upaya memperkukuh ketahanan nasional.

Kerja sama antar daerah yang terjalin dengan komunikatif, solid dan bersifat mutualistis

atau saling menguntungkan, memberikan dampak dan manfaat positif bagi kesejahteraan

masyarakat. Masyarakat di suatu daerah yang miskin sumber kekayaan alamnya, dapat

terbantu oleh daerah lain yang memiliki surplus sumber daya. Masyarakat di suatu daerah yang

belum cakap mengawaki pembangunan di daerahnya, dapat terbantu berkat asistensi dan alih

teknologi yang diberikan oleh daerah lain melalui kerangka kerja sama yang dijalin dengan baik.

Masyarakat di daerah terpencil, terluar, terdepan, serta terbelakang, merupakan pihak-

pihak yang merasa paling terbantu berkat adanya pola kerja sama antar daerah. Daerah

tetangga mereka yang lebih maju dapat memberikan asistensi dalam banyak hal, khususnya

dana pembangunan agar mereka tidak terisolir dan berdaya dalam mengelola daerah mereka

sendiri.

Kondisi di masa lampau, di mana masyarakat di daerah terpencil, terluar, terdepan dan

terbelakang lebih banyak menjalin hubungan dengan masyarakat dari negara tetangga,

menggunakan mata uang asing, mendengarkan siaran radio dan menonton program televisi

dari negara lain, bahkan mengibarkan bendera negara tetangga, dapat dicegah dan tidak akan

terulang apabila negara (dalam hal ini pemerintah pusat dan pemerintah daerah) hadir

mengulurkan tangan untuk mengatasi kesulitan mereka.


Beberapa contoh penguatan kerja sama antar daerah yang berdampak positif terhadap

kemajuan dan kesejahteraan masyarakat antara lain:[25]

1) Kerja sama antara Pemerintah Kota Pariaman, Kabupaten Padang Pariaman, serta Kota

Padang di wilayah Provinsi Sumatera Barat dengan mengoperasikan kembali Kereta Api Wisata

yang melintasi ketiga wilayah tersebut bekerja sama dengan PT. Kereta Api Indonesia (PT.

KAI). Biaya operasional yang mencapai kurang lebih Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah),

ditanggung oleh ketiga pemerintah daerah.

2) Penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) atau Nota Kesepahaman

mengenai peningkatan pendayagunaan potensi daerah perbatasan yang ditandatangani oleh 5

(lima) gubernur dari Sumatera dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) RI pada tanggal 7

Agustus 2006 di Aula Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI di Jakarta. Nota

Kesepahaman tersebut bertujuan untuk mengatasi munculnya masalah konflik perbatasan,

perebutan sumber kekayaan alam, tumpang tindih pengeluaran perizinan soal pengelolaan

sumber kekayaan alam, konflik sosial di masyarakat, serta ketertiban umum.

3) Fasilitasi kerja sama antara bupati dan walikota di Sumatera Barat oleh Pemerintah

Provinsi Sumatera Barat, yakni kesepakatan bersama tentang kerja sama antar pemerintah

daerah mengenai pengembangan kawasan perbatasan kabupaten/kota se-Sumatera Barat,

yang telah ditandatangani di Padang pada tanggal 13 Juni 2005. Kepala daerah terkait meliputi

Bupati Padang Pariaman, Tanah Datar, Agam, Lima Puluh Kota, Walikota Padang Panjang,

Bukittinggi dan Payakumbuh.

Ketiga contoh kerja sama di atas menunjukkan bahwa mekanisme kerja sama antar

daerah menjadi media yang sangat efektif dalam memenuhi kebutuhan masyarakat daerah.

Kebutuhan di sini tidak hanya sebatas yang bersifat ekonomis saja (kebutuhan sandang,

pangan, serta papan), tapi juga kebutuhan yang bersifat sosial budaya (sosialisasi

antarmasyarakat, aksesibilitas terhadap daerah lain, menguatnya nasionalisme, serta mitigasi

konflik sosial), di mana pemenuhan kebutuhan multiaspek ini dapat menjadi katalisator dalam

mencapai pembangunan nasional, serta memperkukuh ketahanan nasional.


b. Analisis Implikasi Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Terhadap Pembangunan

Nasional.

Pembangunan nasional merupakan kata kunci bagi kemajuan suatu negara bangsa.

Pembangunan nasional berarti menggunakan segenap sumber daya yang dimiliki untuk

mewujudkan apa yang menjadi tujuan nasional. Pembangunan nasional jamaknya diidentikkan

dengan pembangunan sarana dan prasarana, seperti jalan, jembatan, pelabuhan, bandar

udara, fasilitas pendidikan, kesehatan, serta infrastruktur lainnya. Pembangunan nasional juga

meliputi pembangunan sumber daya manusia yang menjadi aspek terpenting dari

pembangunan nasional itu sendiri.

Pembangunan nasional tidak akan efektif dan tercapai secara optimal apabila tidak

diseimbangkan dengan aspek pemerataan. Pengalaman di masa lampau menunjukkan bahwa

kesalahan mekanisme yang dipilih menyebabkan terjadinya disparitas sosial dan ketimpangan

antarwilayah di Indonesia. Sentralisasi kepada pemerintah pusat dalam hal pengelolaan daerah

mengakibatkan jurang ekonomi dan sosial yang begitu lebar antara pulau Jawa dan luar Jawa.

Hal ini bukan hanya terjadi karena kesalahan konsep dan strategi yang dipilih, tapi juga

karena kelemahan yang ada pada diri pemerintah pusat sendiri pada waktu.

Otonomi daerah dengan 3 (tiga) prinsip utamanya, yakni desentralisasi, dekonsentrasi,

serta tugas pembantuan hadir sebagai solusi. Pemerintah daerah dapat mengelola wilayahnya

sendiri demi mencapai objektif pembangunan daerah. Mereka juga diberi keleluasaan untuk

bekerja sama satu sama lain dalam kerangka kerja sama antar daerah. Melalui kerja sama

antar daerah, apa yang menjadi kebutuhan masyarakat daerah dengan cepat dapat dipenuhi.

Apa yang menjadi kekurangan suatu daerah, bisa didukung oleh daerah lainnya.

Diferensiasi keunggulan daerah bisa diatasi melalui kerja sama yang solid dan tangguh

antar daerah. Bahkan daerah-daerah terpencil, terdepan, terluar, serta terbelakangpun dapat

merasakan dampak positifnya. Sudah jarang kita mendengar upaya-upaya pemisahan diri dari

berbagai daerah sebagai akibat ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat. Manfaat positif yang
mereka petik dari kerja sama antar daerah secara signifikan berdampak pada kesejahteraan

mereka yang dalam sekup yang lebih besar berkontribusi pada lancarnya proses pembangunan

nasional, baik secara fisik terkait sarana dan prasarana, maupun secara nonfisik, yakni

kohesivitas sosial antar daerah, penguatan nasionalisme, serta sumber daya manusia daerah

yang unggul yang akan terlibat dalam proses pembangunan nasional itu sendiri.

BAB V

KERJA SAMA ANTAR PEMERINTAH DAERAH

YANG DIHARAPKAN

18. Umum.

Pembangunan nasional merupakan suatu proses jangka panjang yang menuntut peran

serta secara aktif dari seluruh komponen bangsa dan negara Indonesia. Sebagai proses jangka

panjang, pembangunan nasional bersifat holistik dan integral, bukan parsial, karena dibutuhkan

segenap sumber daya nasional yang dimiliki untuk mencapai tujuannya secara optimal.

Penggunaan seluruh sumber daya nasional ini pada hakikatnya adalah untuk melengkapi

esensi dari pembangunan nasional itu sendiri, yakni pemerataan hasil pembangunan yang

dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia, tanpa kecuali.

Otonomi daerah sebagai salah satu media untuk mencapai tujuan pembangunan

nasional, di satu sisi memiliki keunggulan, namun di sisi lain menghadirkan tantangan yang tak
mudah untuk disikapi. Pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah

dalam bentuk desentralisasi, dekonsentrasi, serta tugas pembantuan memberikan kemudahan

dan keleluasaan bagi aparatur dan masyarakat daerah untuk mengelola wilayah mereka sendiri

karena secara prinsip mereka lebih memahami apa yang terbaik bagi mereka. Namun

demikian, privilese yang mereka terima dari pemerintah pusat acapkali menimbulkan penguatan

ego sektoral, pemahaman bahwa mereka bisa memenuhi kebutuhan sendiri, terlepas dari

daerah lain. Padahal kita ketahui bersama, bahwa tidak ada satu bentuk organisasipun yang

mampu menjalankan autarki dalam mencukupi semua kebutuhannya di era modern ini.

Hak untuk mengelola daerah sendiri yang dimiliki oleh pemerintah daerah acapkali

membuat mereka berfikir layaknya seorang manajer yang profit oriented. Sebagai contoh,

banyak pemerintah daerah yang lebih gemar membangun kerja sama dengan pihak swasta,

khususnya perusahaan-perusahaan besar dalam menyelenggarakan pelayanan publik,

ketimbang bekerja sama dengan pemerintah daerah lain. Alasan yang sering digunakan adalah

kerja sama dengan pemerintah daerah lain lebih banyak merugi dan lebih banyak menyedot

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Kondisi di mana pemerintah daerah yang bersikap layaknya seorang manajer dengan

mempertimbangkan prinsip untung dan rugi (cost benefit analysis) ini pada dasarnya baik jika

diletakkan pada konteks yang tepat. Hanya saja yang kerap mereka lupakan adalah aparat

negara bergerak atas dasar objektif untuk menyejahterakan rakyat, serta mendukung proses

pembangunan nasional. Oleh sebab itu, kerja sama dengan pemerintah daerah lainnya sebagai

sesama aparatur negara adalah sebuah keharusan. Hal tersebut juga merupakan salah satu

upaya untuk memperkokoh ketahanan daerah serta ketahanan nasional dalam sekup yang

lebih besar.

19. Kerja Sama Antar pemerintah Daerah Yang Diharapkan.

Pemerintah pusat sangat menyadari bahwa penyelenggaran kerja sama antar pemerintah

daerah bukanlah sebuah perkara yang mudah. Tantangan yang dihadapi bersifat kompleks
karena terkait erat dengan ragam postur sumber daya nasional yang dimiliki oleh masing-

masing daerah, perbedaan dari sisi kehidupan sosial dan budaya, serta karakteristik pemerintah

dan masyarakat yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain. Begitu juga dengan

kekuatan pendapatan dan anggaran daerah, serta target pembangunan yang berbeda-beda,

menghadirkan tantangan yang cukup pelik.

Terlepas dari semua tantangan tersebut, hal pertama dan utama yang wajib dilaksanakan

oleh pemerintah pusat adalah merilis berbagai regulasi atau peraturan sebagai payung hukum.

Penetapan payung hukum yang mengatur pemerintahan daerah serta kerja sama antar daerah

ini juga menyuguhkan tantangan dalam bentuk respon yang cepat dalam menyikapi kebutuhan

daerah yang sangat dinamis.

Berbagai regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat antara lain UU No. 23 Tahun

2014 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan UU No. 9 Tahun 2015

tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 22 Tahun

2009 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Kerja Sama Daerah sebagai tindak lanjut atas

ketentuan Pasal 7 huruf e Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Kerja

Sama Daerah.

UU No. 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah memuat esensi pokok seperti apa yang menjadi tugas dan wewenang

kepala daerah beserta wakilnya, tugas dan wewenang Dewan Perwakilan Dakyat Daerah

(DPRD), baik pada level provinsi, maupun pada level kabupaten/kota. Sedangkan esensi pokok

yang terdapat pada Permendagri No. 22 Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Kerja

Sama Daerah antara lain (1) definisi mengenai daerah dan kepala daerah, (2) definisi mengenai

kerja sama antar daerah dan kerja sama dengan pihak ketiga, (3) pembentukan Tim Koordinasi

Kerja Sama Daerah (TKKSD) yang bertugas membantu kepala daerah dalam menyiapkan kerja

sama antar daerah, (4) penjelasan mengenai ruang lingkup, tata cara, serta tahapan dalam
kerja sama daerah, serta (5) penjelasan mengenai siapa dan apa yang menjadi tugas Tim

Koordinasi Kerja Sama Daerah (TKKSD).

Berbagai regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat tersebut secara prinsip sudah

mencakupi kebutuhan akan peyelenggaraan kerja sama daerah, khususnya kerja sama antar

daerah. Agar objektif pembangunan daerah dan pembangunan nasional dalam sekup yang

lebih besar dapat tercapai secara optimal, dibutuhkan political will serta komitmen yang kuat

dari pemerintah daerah sendiri untuk merealisasikannya. Secara umum, beberapa kondisi yang

diharapkan dalam penguatan kerja sama antar pemerintah daerah di Indonesia, antara lain

sebagai berikut:

a. Mekanisme Kerja Sama Antar daerah dijadikan sebagai Inovasi Dalam Penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah.

Kesuksesan sebuah organisasi salah satunya terletak pada kapasitas dan kapabilitas

organisasi tersebut dalam mengatasi kendala-kendala yang dihadapi. Pemerintah daerah, baik

pada level provinsi, maupun kabupaten/kota, juga dituntut untuk mampu mencari solusi atas

setiap permasalahan yang muncul di daerah. Tantangan yang dihadapi sangatlah dinamis,

berubah cepat dari waktu ke waktu. Jika pada masa dulu tantangannya adalah mewujudkan

pembangunan nasional, maka saat ini tantangan yang dihadapi adalah pembangunan nasional

yang sifatnya lebih kompleks, ada aspek sumber daya manusia di dalamnya, ada penggunaan

teknologi informasi, komunikasi, serta transportasi, serta dituntut agar mampu memenuhi aspek

pemerataan pembangunan.

Kompleksitas tantangan yang dihadapi tersebut membutuhkan inovasi atau ide-ide baru.

Solusi lama yang terkadang business as usual tidak lagi relevan dalam menyikapi tantangan

yang sedemikian kompleks tersebut. Inovasi dan ide-ide baru tersebut akan sangat berguna

apabila diimplementasikan dalam kerangka yang tepat, yakni kerja sama antar daerah. Tidak

semua daerah memiliki keunggulan komoditas, tidak semua daerah menguasai teknologi

secara canggih, juga tidak semua daerah memiliki kualitas sumber daya manusia yang baik.
Berbagai kelebihan dan kekurangan yang ada pada masing-masing daerah dapat disinergikan

dengan baik apabila diantara mereka dapat bekerja sama satu sama lain. Di sinilah kerja sama

antar daerah sebagai suatu inovasi menemui relevansinya. Dituntut kejelian masing-masing

pemerintah daerah dalam menginisiasi serta menyelenggarakan kerja sama antar daerah

sesuai kebutuhannya masing-masing.

b. Keselarasan Regulasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Regulasi atau peraturan, baik dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah

pengganti undang-undang, peraturan menteri, keputusan menteri, serta peraturan dan

keputusan lainnya memiliki urgensi sebagai payung hukum sebuah kebijakan untuk

dilaksanakan. Setiap regulasi memiliki wilayah operasionalnya masing-masing, ada yang

berlaku secara nasional, ada juga yang hanya berlaku pada level daerah.

Regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat sudah selaiknya selaras dengan apa yang

menjadi kebutuhan daerah. Ketidaksesuaian dengan kebutuhan daerah mengakibatkan tujuan

dibuatnya regulasi tersebut menjadi tidak tercapai. Pemerintah pusat juga dituntut untuk secara

jeli menyimak dinamika daerah, khususnya terkait kebutuhan tiap-tiap daerah yang dapat

berubah dari waktu ke waktu. Di sisi lain, pemerintah daerah harus mentaati regulasi yang

dibuat oleh pemerintah pusat atau struktur pemerintah yang ada di atasnya. Pembuatan

regulasi di level daerahpun harus selaras dengan regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah

pusat. Kesesuaian regulasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah sebuah

keharusan agar tidak ada yang menegasikan satu sama lain.

c. Promosi dan Diseminasi Mekanisme Kerja Sama Antar daerah oleh Pemerintah Pusat.

Dalam konteks kerja sama antar daerah, pemerintah pusat menempati posisi yang vital. Hal

ini dikarenakan birokrasi di level pusat memiliki derajat kewenangan tertinggi yang menentukan

kebijakan birokrasi-birokrasi di level daerah, baik provinsi, maupun kabupaten/kota.


Pemerintah pusat memiliki kementerian/lembaga yang tugas pokok dan fungsinya adalah

menyelenggarakan pelayanan publik, aspek yang menjadi esensi utama penyelenggaraan kerja

sama antar daerah. Secara teknis dan operasional peran pemerintah pusat dalam penguatan

kerja sama antar daerah dapat dijalankan oleh Badan Perencana Pembangunan Nasional

(Bappenas) dan Kementerian Keuangan RI (Kemenkeu RI), Badan Koordinasi Penanaman

Modal (BKPM), Kementerian Perindustrian RI (Kemenperin RI), Kementerian Perdagangan RI

(Kemendag RI), Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI (Kemenbudpar RI), Badan Pusat

Statistik (BPS), Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal RI (Kementerian PDT RI), serta

kementerian dan lembaga negara lainnya yang menjalankan pelayanan publik.

d. Ketersediaan Basis Data Dalam Mendukung Kerja Sama Antar daerah di Seluruh

Indonesia.

Ada dua alasan mengapa basis data memiliki urgensi penting dalam pelaksanaan kerja

sama antar daerah. Pertama, fakta bahwa penggunaan teknologi informasi dan komunikasi

dewasa ini sudah sangat masif. Hampir tidak ada organisasi yang dalam operasionalnya tidak

memanfaatkan keunggulan teknologi informasi dan komunikasi. Sebagai contoh, presensi para

karyawan di perusahaan dapat dilihat pada data finger print atau portal clock in pada komputer,

tidak lagi harus melihat presensi manual atau daftar hadir. Penggunaan teknologi dalam bisnis

proses suatu organisasi sangatlah mendukung efektivitas serta efisiensi kerja. Kedua,

Indonesia memiliki geografi yang sangat luas, terbentang dari Sabang sampai Merauke, dari

Miangas hingga Pulau Rote. Struktur organisasi pemerintahan di Indonesia juga bisa dikatakan

sangat gemuk. Saat ini terdapat 35 provinsi di seluruh Indonesia[26], serta 416 kabupaten dan

98 kota.[27]

Besarnya geografis dan struktur pemerintahan di Indonesia tersebut akan menjadi

hambatan apabila tidak ada sarana pendukung penyelenggaraan kerja sama antar daerah.

Potensi dan keunggulan sumber kekayaan alam Indonesia yang begitu besar di tiap-tiap daerah

tidak hanya perlu dipetakan dengan baik, tapi juga mudah diakses oleh setiap pemerintah
daerah. Dengan demikian, peta potensi masing-masing daerah dapat menjadi panduan

penyusunan rencana kerja sama antar pemerintah daerah.

Penyediaan basis data ini sudah semestinya dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Setiap

kementerian/lembaga negara dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing menyediakan

informasi yang bisa diakses oleh siapapun, khususnya para penyelenggara pemerintahan

daerah. Sebagai contoh, data mengenai potensi perikanan, disediakan oleh Kementerian

Kelautan dan Perikanan RI (KKP RI). Data mengenai hasil pertanian dan perkebunan,

disediakan oleh Kementerian Pertanian RI (Kementan RI). Penyediaan basis data oleh instansi

pemerintah pusat ini juga merupakan bentuk kepedulian pemerintah pusat dalam

menyukseskan mekanisme karja sama antar daerah dalam menyokong pembangunan

nasional.

20. Analisis Kontribusi Penguatan Kerja Sama Antar pemerintah Daerah Terhadap

Peningkatan Kesejahteraan Umum Dan Peningkatan Kesejahteraan Umum Terhadap

Pembangunan Nasional.

a. Analisis Kontribusi Penguatan Kerja Sama Antar pemerintah Daerah Terhadap

Peningkatan Kesejahteraan Umum.

Penguatan kerja sama antar pemerintah daerah tentu saja memiliki korelasi yang positif

pada upaya tercapainya kesejahteraan umum yang merupakan tujuan nasional bangsa dan

negara Indonesia. Kesejahteraan umum di sini meliputi semua aspek kehidupan, tidak hanya

terbatas pada aspek finansial atau ekonomi saja.


Kesejahteraan umum pada hakikatnya adalah tercapainya kebutuhan dasar manusia

Indonesia yang mencakupi rasa aman, ketiadaan rasa takut, tercukupi sandang, pangan,

papan, serta terlindunginya harkat dan martabat sebagai manusia. Pemenuhan kesejahteraan

umum tersebut merupakan amanat landasan konstitusional sehingga menjadi tanggung jawab

pemerintah, baik pusat, maupun daerah.

Dalam upaya mencapai kesejahteraan umum tersebut, di tengah segala keterbatasan

yang dimiliki, masing-masing pemerintah dituntut untuk saling bekerja sama satu sama lain.

Pemerintah daerah dituntut untuk menegasikan ego sektoral masing-masing serta

menempatkan upaya pembangunan daerah dalam kerangka pembangunan nasional. Dengan

demikian, hambatan pembangunan dan kekurangan di suatu daerah, tidak menjadi tanggung

jawab daerah itu saja. Daerah lain juga dituntut untuk berpartisipasi dalam mengatasinya.

b. Analisis Kontribusi Peningkatan Kesejahteraan Umum Terhadap Pembangunan

Nasional.

Ada korelasi yang kuat antara tercapainya kesejahteraan umum dengan

penyelenggaraan pembangunan nasional. Keduanya bagaikan dua sisi mata uang.

Kesejahteraan umum merupakan objektif dari pembangunan nasional, sedangkan

pembangunan nasional dapat dilaksanakan secara optimal apabila masyarakatnya sejahtera

lahir dan batin.

Sebuah pembangunan, apalagi dalam taraf nasional, tidak bisa dilaksanakan apabila

masyarakatnya belum sejahtera. Tolok ukur kesejahteraan itu sendiri yakni terpenuhinya

kebutuhan dasar, seperti sandang, pangan, serta perumahan. Sebagai contoh, masyarakat di

daerah terpencil, terluar, terdepan, serta terbelakang akan sulit membangun daerahnya apabila

mereka menderita busung lapar dan buta huruf. Oleh sebab itu, kesejahteraan masyarakat

adalah prasyarat bagi terlaksananya pembangunan nasional. Pembangunan nasional itu sendiri

menjadi media atau sarana untuk semakin meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui

kemajuan dan keunggulan di berbagai bidang.


21. Indikasi Keberhasilan.

a. Kerja Sama Antar daerah Dijadikan Sebagai Inovasi Dalam Penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah.

Pemerintah daerah pada akhirnya menyadari bahwa penyelenggaraan pemerintahan

daerah dan pembangunan daerah tidak dapat diselenggarakan sendiri dan sangat

membutuhkan pelibatan atau partisipasi dari daerah lainnya. Kompleksnya tantangan yang

dihadapi oleh suatu daerah menghadirkan interdependensi dan interkonektivitas antara satu

daerah dengan daerah-daerah lainnya.

Beberapa indikasi ditempatkannya mekanisme kerja sama antar daerah sebagai inovasi

dalam menghadapi tantangan pembangunan daerah antara lain sebagai berikut:

1) Daerah-daerah yang berbatasan langsung secara geografis semakin meningkatkan intensitas

kerja sama. Sebagai contoh, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta semakin memperkuat hubungan

kerja sama dengan Pemerintah Kota Bogor, Depok, Tangerang, serta Bekasi dalam mengatasi

permasalahan utama ibukota seperti banjir, kemacetan, sampah, hingga transportasi dan

tenaga kerja.

2) Kerja sama antar daerah tidak hanya dijalin secara horizontal saja (kabupaten dengan

kabupaten atau kotamadya dengan kotamadya), tapi juga dijalin secara vertikal dengan struktur

pemerintah daerah yang ada di atasnya. Sebagai contoh, kerja sama antara Pemerintah Kota

Bogor dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat tentang pengembangan perpustakaan umum di

Bogor.

b. Terciptanya Kesesuaian Regulasi Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Pemerintah pusat dan pemerintah daerah pada akhirnya memiliki kesepahaman

bahwasanya penyelenggaraan kerja sama antar daerah membutuhkan keselarasan regulasi


antara pusat dengan daerah. Tumpang tindihnya regulasi sudah tentu akan berdampak pada

terhambatnya pembangunan di level daerah.

Beberapa indikasi kesesuaian regulasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah

antara lain sebagai berikut:

1) Pemerintah daerah menggunakan UU No. 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas UU No.

23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagai rujukan dalam penyelenggaraan

pemerintahan daerah. Begitu juga dengan Permendagri No. 22 Tahun 2009 tentang Petunjuk

Teknis Tata Cara Kerja Sama Daerah juga dijadikan rujukan operasional oleh pemerintah

daerah.

2) Pemerintah pusat cepat tanggap akan kebutuhan daerah yang bersifat dinamis. Hal ini tercermin

dari berbagai perubahan yang dilakukan terhadap undang-undang yang mengatur

pemerintahan daerah. Sebagai contoh, UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

mengalami dua kali perubahan. Pertama, yakni ditetapkannya Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun

2014 tentang Pemerintahan Daerah. Kedua adalah dengan dikeluarkannya Undang-Undang

No. 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah. Semua perubahan tersebut merupakan wujud responsibilitas pemerintah

pusat dalam menangkap dinamika kebutuhan masyarakat di daerah.

3) Semakin mudahnya masing-masing pemerintah daerah melakukan kerja sama, baik yang

sifanya horizontal (kerja sama antara kabupaten/kota dengan kabupaten/kota), maupun yang

sifatnya vertikal (kerja sama antara kabupaten/kota dengan provinsi).

c. Semakin Besarnya Kontribusi Pemerintah Pusat dalam Promosi dan Diseminasi

Mekanisme Kerja Sama Antar daerah.

Pemerintah pusat menyadari akan peran vitalnya dalam mensupervisi serta

menyosialisasikan mekanisme kerja sama antar daerah dalam mendukung pelaksanaan


pembangunan nasional. Privilese yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah untuk

mengatur pemerintahannya sendiri, tidak dijadikan sebagai alasan untuk melepas tanggung

jawab.

Beberapa indikasi kontribusi pemerintah dalam promosi dan diseminasi mekanisme kerja

sama antar daerah antara lain sebagai berikut:

1) Penekanan dan instruksi dari pemerintah pusat pada acara-acara yang diselenggarakan oleh

Asosiasi Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota Seluruh Indonesia mengenai urgensi

pelaksanaan kerja sama antar daerah guna mewujudkan kesejahteraan umum dalam rangka

pembangunan nasional.

2) Program-program dari unit-unit kerja pemerintah di level pusat, seperti Kementerian

Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi RI, Kementerian Pertanian RI, Kementerian

Perindustrian RI, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah RI, serta instansi-instansi

lainnya yang secara implisit dan eksplisit menuntut sinergi antar daerah dalam pelaksanaannya.

d. Tersedianya Basis Data Dalam Mendukung Kerja Sama Antar daerah.

Beragam potensi dan sumber kekayaan alam Indonesia yang tersebar di 35 provinsi dan

514 kabupaten/kota, tidak menjadi sebuah permasalahan apabila semuanya itu terpetakan

dengan baik dalam basis data khusus untuk mendukung pelaksanaan kerja sama antar daerah.

Memang basis data ini belum terpusat pada satu aplikasi tunggal. Namun demikian, masing-

masing kementerian dan lembaga di level pusat memiliki portal data masing-masing yang bisa

dirujuk dan diakses oleh birokrasi daerah sebagai dasar untuk melakukan kerja sama.

Beberapa indikasi tersedianya basis data tersebut antara lain sebagai berikut:

1) Kementerian Budaya dan Pariwisata RI menyajikan basis data mengenai produk budaya serta

objek wisata dari masing-masing daerah di Indonesia.


2) Kementerian Pertanian RI menyediakan data mengenai beragam tanaman pangan, hasil

perkebunan, serta produk peternakan yang menjadi keunggulan masing-masing daerah.

3) Masing-masing daerah telah memiliki data spasial menyangkut sumber daya alam yang dimiliki

sehingga dapat digunakan sebagai dasar atau rujukan untuk melakukan kerja sama satu sama

lain.

4) Lembaga Ketahanan Nasional RI menyediakan basis data berupa indeks ketahanan nasional

serta indeks ketahanan daerah yang meliputi aspek IPOLEKSOSBUDHANKAM, geografi,

demografi, serta sumber kekayaan alam.

Dengan tersedianya basis atau pangkalan data tersebut, aksesibilitas daerah terhadap

informasi yang akurat dan terpercaya akan semakin cepat dan mudah. Pemerintah daerah tentu

saja memiliki gambaran yang memadai, secara kualitatif ataupun kuantitatif, untuk menyusun

perencanaan pelaksanaan kerja sama dengan daerah lainnya yang dianggap kompatibel dalam

mendukung pembangunan di daerahnya.

BAB VI

KONSEPSI PENGUATAN KERJA SAMA ANTARPEMERINTAH DAERAH

22. Umum.

Otonomi daerah sebagai sebuah kebijakan nasional pada hakikatnya bertujuan untuk

mencapai kemaslahatan bagi publik, khususnya bagi pemerintah dan masyarakat di daerah.

Melalui desentralisasi, dekonsentrasi, serta tugas pembantuan, diharapkan setiap daerah

mampu memproduksi kinerja yang lebih optimal dalam bentuk pelayanan publik yang prima
yang pada sekup yang lebih besar dapat mewujudkan tercapainya kesejahteraan yang sebesar-

besarnya bagi masyarakat.

Kebijakan otonomi daerah dalam berbagai instrumen peraturan perundang-undangan

serta regulasi di bawahnya, mensyaratkan diselenggarakannya kerja sama antar daerah.

Definisi kerja sama antar daerah di sini adalah kerja sama yang dilakukan oleh suatu daerah

dengan daerah lainnya, baik itu satu kabupaten dengan kabupaten lainnya, kotamadya dengan

kotamadya lainnya, kabupaten dengan kabupaten, ataupun kabupaten/kotamadya dengan

provinsi.

Kerja sama antar daerah disusun melalui basis argumentasi yang jelas dan rasional.

Pertama, proses pembangunan nasional dengan segala objektif yang hendak dicapai,

utamanya kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat, tidak bisa dilakukan tanpa

sinergi dan harmoni antarelemen di daerah, baik provinsi, kotamadya, kabupaten, serta unit-unit

kecil di bawahnya.

Kedua, terdapat diferensiasi keunggulan, potensi, serta kelemahan pada masing-masing

daerah, sehingga dibutuhkan dukungan dan penguatan satu sama lain untuk menyukseskan

pembangunan nasional. Ketiga, kerja sama antar daerah memiliki urgensi dalam

merealisasikan visi ketahanan nasional. Ketahanan nasional akan memiliki struktur dan postur

yang kuat apabila ditopang oleh pilar ketahanan daerah yang tangguh. Jika tidak, maka

hasilnya akan sebaliknya, instabilitas dalam semua apsek kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, serta bernegara.

Vitalnya peran dan posisi kerja sama antar daerah dalam menopang pembangunan

nasional dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum, mengakibatkan setiap kendala dan

hambatan pada pelaksanaannya harus disikapi secara cepat dan tepat. Kendala dan hambatan

dalam pelaksanaan kerja sama antar daerah pada hakikatnya bersifat lumrah, seperti halnya

bentuk-bentuk kebijakan publik lainnya. Namun demikian, dikarenakan objektifnya berada pada

ranah pembangunan nasional, maka penanganannya menuntut untuk disikapi secara cepat dan

komprehensif.
Beragam kendala dalam pelaksanaan kerja sama antar daerah antara lain pertama,

belum ditempatkannya mekanisme kerja sama antar daerah sebagai solusi dan inovasi dalam

menyelesaikan persoalan daerah. Banyak daerah yang memiliki konfidensi tinggi untuk

menyelesaikan sendiri persoalannya tanpa melibatkan pihak lain, baik itu daerah lain ataupun

pihak swasta. Tak hanya itu, banyak daerah yang terjebak pada ego sektoral. Tidak mau

bekerja sama dengan daerah lainnya hanya untuk membuktikan bahwa status daerah

pemekaran yang diperoleh harus dibuktikan dengan pemenuhan kebutuhan daerah yang

terlepas dari kerja sama dengan pihak lainnya. Yang lebih fatal, mekanisme kerja sama antar

daerah tidak ditempatkan sebagai pilihan. Ada daerah yang lebih gemar menjalin kerja sama

dengan pihak swasta, khususnya perusahaan bermodal besar karena kepala daerahnya

terjebak pada praktik korupsi dan kolusi dengan pemodal tersebut.

Kendala kedua dalam kerja sama antar daerah adalah ketimpangan atau tidak terdapat

sinkronisasi antara peraturan atau regulasi di level pusat dengan peraturan atau regulasi di

level daerah. Akibatnya sungguh fatal, objektif pembangunan nasional pada skala pusat serta

kebutuhan daerah sama-sama tidak tercapai. Kerapkali pusat merilis peraturan yang tidak

sesuai dengan kebutuhan daerah. Pemerintah pusat juga terkadang mengeluarkan kebijakan

yang ditujukan kepada pemerintah daerah, namun tidak sesuai dengan semangat otonomi

daerah yang menjadi ruh penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kebijakan di daerahpun setali

tiga uang. Para kepala daerah kerap terjebak pada vested interest sehingga terkadang

mengeluarkan peraturan atau regulasi yang menciderai semangat otonomi daerah hanya

karena mengejar keuntungan sendiri atau kelompoknya.

Ketiga, belum maksimalnya pemerintah pusat dalam mempromosikan dan

mendiseminasikan mekanisme kerja sama antar daerah. Kondisi ini terjadi oleh banyak faktor.

Terkadang hanya dengan merilis regulasi, tanggung jawab dan kewajiban pemerintah pusat

sudah terpenuhi. Suksesi di berbagai kementerian atau lembaga negara yang terkait dengan

penyelenggaraan pemerintahan daerah mengakibatkan atensi yang diberikan kepada daerah

bersifat fluktuatif. Terkadang satu pejabat begitu intens dalam mempromosikan mekanisme

kerja sama antar daerah untuk mendukung objektif instansinya. Namun terkadang pejabat
penggantinya memiliki pandangan yang berbeda. Faktor lainnya adalah anggapan bahwa

daerah memiliki tanggung jawab sendiri untuk menyukseskan pelaksanaan kerja sama antar

daerah seperti yang termaktub dalam berbagai peraturan pemerintahan daerah, sehingga peran

pemerintah pusat sudah seharusnya dikurangi.

Keempat, belum adanya pangkalan atau basis data sebagai dashboard dalam

pelaksanaan kerja sama antar daerah. Basis data ini sangat penting karena memainkan peran

sebagai input dalam perencanaan kerja sama antar daerah. Melalu basis data yang

komprehensif yang disusun secara periodik, memuat informasi penting dan bernilai strategis

mengenai ragam potensi sumber daya daerah yang bisa lebih dioptimalkan, maka dapat

mendukung tercapainya kerja sama yang lebih bernilai guna serta bersifat saling

menguntungkan antar daerah. Basis data yang kuat juga akan menjadi katalisator bagi

tercapainya tujuan pembangunan nasional pada sekup yang lebih besar.

Berbagai kendala dan hambatan tersebut harus disikapi. Dalam menyikapinya,

dibutuhkan kebijakan, strategi, serta upaya yang bersifat integral, holistik, serta komprehensif.

Kebijakan yang akan ditetapkan nantinya harus memuat keputusan strategik yang berisi

rumusan umum untuk memecahkan berbagai kendala dan hambatan yang dihadapi.

Sedangkan strategi yang disusun akan berisikan tujuan, sarana, serta metode yang digunakan

untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan. Berbeda dengan kebijakan dan strategi, upaya

adalah langkah-langkah riil atau tindakan nyata yang bersifat teknis sebagai penjabaran

strategi. Dalam konteks upaya, akan dijelaskan siapa dan apa yang menjadi subjek dan objek,

serta bagaimana cara untuk mencapainya.

Secara umum, kebijakan, strategi, serta upaya yang diuraikan akan ditujukan sebagai

mekanisme untuk menjawab rumusan masalah dalam Kertas Karya Perorangan PPSA XXI

Lemhannas RI ini, yakni “Optimalisasi Kerja Sama Antar Pemerintah Daerah Guna

Mencapai Kesejahteraan Umum Dalam Rangka Pembangunan Nasional”.

23. Kebijakan.
Dalam rangka mendukung penguatan kerja sama antar daerah, akan dirumuskan

kebijakan yang berbasis pada kebutuhan serta kendala yang dihadapi pada tataran

implementasinya. Adapun kebijakannya adalah “Revitalisasi Kerja Sama Antar Pemerintah

Daerah Guna Mencapai Kesejahteraan Umum Dalam Rangka Pembangunan Nasional”.

24. Strategi

Dalam rangka mengimplementasikan kebijakan tersebut di atas, ditetapkan beberapa

strategi sebagai berikut:

a. Strategi 1 : Menempatkan mekanisme kerja sama antar daerah sebagai solusi dan

inovasi dalam menyelesaikan permasalahan di daerah.

Strategi ini dimaksudkan untuk menempatkan mekanisme kerja sama antar daerah

sebagai pilihan utama dalam menjawab berbagai kebutuhan, tantangan serta permasalahan

yang ada di daerah. Adanya opsi lain dalam penyelenggaraan kerja sama yang dilakukan oleh

daerah, seperti kerja sama dengan pihak swasta, mengakibatkan kerja sama antar daerah tidak

menjadi arus utama.

Dengan ditempatkannya mekanisme kerja sama antar daerah sebagai solusi dan inovasi

dalam menjawab berbagai kebutuhan, permasalahan, serta tantangan daerah, diharapkan

dapat menggugah hati dan membuka mata para kepala daerah akan urgensi sinergi dan

harmoni antar daerah dalam menyukseskan baik tujuan pembangunan nasional, maupun

target-target pembangunan yang hendak dicapai oleh daerah. Melalui kerja sama yang

dilakukan berbasiskan pemenuhan kebutuhan bersama, dijalankan dengan menerapkan prinsip

kesetaraan dan keadilan, serta dijalankan secara berkala dan berkesinambungan, maka

permasalahan yang dihadapi tidak akan menjadi sulit atau menghambat pencapaian tujuan

pembangunan daerah masing-masing.


Pemecahan masalah yang dilakukan secara bersama-sama lebih lanjut akan mendorong

munculnya ide-ide kreatif dari pihak yang melakukan kerja sama tersebut. Ide-ide kreatif ini

akan disaring sehingga didapatkan ide terbaik untuk diformulasi sebagai strategi dalam

penyelesaian masalah. Banyaknya ide-ide kreatif yang muncul juga akan menjadi inovasi dalam

penyelesaian masalah. Artinya solusi yang dirumuskan bersifat kebaruan atau belum pernah

diterapkan selama ini terhadap permasalahan yang dihadapi oleh daerah. Inilah yang menjadi

esensi mengapa mekanisme kerja sama antar daerah perlu ditempatkan sebagai solusi utama

dalam menjawab kebutuhan serta permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh daerah.

Sarana yang digunakan untuk mencapai tujuan dalam rangka menempatkan mekanisme

kerja sama antar daerah sebagai inovasi dalam menyelesaikan berbagai permasalahan di

daerah adalah melalui edukasi kepada para kepala daerah serta elemen masyarakat daerah

yang peduli pada pentingnya kerja sama antar daerah dalam mendukung pembangunan

nasional.

Metode yang digunakan untuk mencapai sasaran meliputi penyelenggaraan sosialisasi

kebijakan tentang pemerintah daerah, pemerintahan daerah, serta otonomi daerah, seminar

dan diskusi panel dengan mengangkat tema urgensi mekanisme kerja sama antar daerah,

termasuk dialog interaktif yang melibatkan seluruh komponen penyelenggaraan pemerintahan

di daerah.

Subyek dalam melaksanakan strategi ini adalah Kementerian Koordinator Pembangunan

Manusia dan Kebudayaan RI (Kemenko PMK RI), Kementerian Koordinator Bidang Politik

Hukum dan Keamanan RI (Kemenko Polhukam RI), Kementerian Dalam Negeri RI

(Kemendagri RI), Kementerian Perdagangan RI (Kemendag RI), Kementerian Perindustrian RI

(Kemenperin RI), Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal RI (Kemendes dan

PDT RI), Kementerian Komunikasi dan Informatika RI (Kemenkominfo RI), Badan Koordinasi

Penanaman Modal RI (BKPM RI), Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia

(Lemhannas RI), termasuk berbagai organisasi atau lembaga swadaya masyarakat yang

berkomitmen dalam mewujudkan penguatan kerja sama antar daerah.


Obyek dari strategi ini adalah para kepala daerah, baik itu gubernur untuk level provinsi,

walikota untuk level kotamadya, maupun bupati untuk level kabupaten.

b. Strategi 2 : Mewujudkan sinkronisasi antara peraturan atau regulasi di level pusat

dengan peraturan atau regulasi di level daerah agar tercipta kesamaan orientasi dalam

mencapai objektif kerja sama antar pemerintah daerah yang telah ditetapkan.

Strategi ini dimaksudkan untuk menyamakan cara pandang dan orientasi antara

pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kesamaan cara pandang atau orientasi antara kedua

belah pihak lebih lanjut akan berdampak pada selarasnya regulasi atau peraturan yang

dikeluarkan terkait penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan objektif suksesnya

pembangunan nasional dan daerah serta tercapainya kesejahteraan masyarakat.

Sarana yang digunakan untuk mencapai tujuan dalam rangka Mewujudkan sinkronisasi

antara peraturan atau regulasi di level pusat dengan peraturan atau regulasi di level

daerahadalah komunikasi dan koordinasi yang intensif antara pemerintah pusat dan pemerintah

daerah. Melalui komunikasi dan koordinasi yang dijalankan secara intensif, berkala dan

berkesinambungan diharapkan dapat dicapai kesamaan orientasi dalam melihat kebutuhan

daerah yang pada taraf lebih lanjut akan didapat kesamaan visi dan misi antara kedua belah

pihak.

Metode yang digunakan untuk mencapai sasaran meliputi dialog, diskusi panel, seminar,

simposium, rapat, forum dengar pendapat, serta berbagai mekanisme formal dalam

penyusunan peraturan perundang-undangan yang melibatkan pihak legislatif, baik Dewan

Perwakilan Rakyat RI (DPR RI), Dewan Perwakilan Daerah RI (DPD RI), maupun Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (DPRD Kabupaten/Kota).

Subyek dalam melaksanakan strategi ini adalah Kementerian Koordinasi Bidang Politik,

Hukum dan Keamanan RI (Kemenko Polhukam RI), Kementerian Dalam Negeri RI

(Kemendagri RI), Mahkamah Konstitusi RI (MK RI), Dewan Perwakilan Rakyat RI (DPR RI),
Dewan Perwakilan Daerah RI (DPD RI), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota

(DPRD Kabupaten/Kota), Sivitas Akademika Perguruan Tinggi, serta Lembaga Ketahanan

Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI).

Obyek dari strategi ini adalah para pejabat pemerintah pusat (para menteri atau kepala

lembaga negara), pejabat pemerintahan daerah (gubernur, walikota, bupati), unsur legislatif

pusat (DPR RI dan DPD RI), unsur legislatif daerah (DPRD Kabupaten/Kota), serta lembaga

masyarakat madani yang peduli pada isu-isu kerja sama antar daerah.

c. Strategi 3 : Mendorong pemerintah pusat untuk lebih mempromosikan dan

mendiseminasikan mekanisme kerja sama antar daerah agar mekanisme tersebut dapat

digunakan secara masif oleh tiap-tiap daerah dalam memenuhi kebutuhan atau mencapai

kepentingan daerah.

Strategi ini dimaksudkan untuk menguatkan peran serta pemerintah pusat dalam

menyukseskan penyelenggaraan kerja sama antar daerah. Kelemahan selama ini di mana

pemerintah pusat cenderung melupakan tanggung jawab dan kewajibannya dan membiarkan

daerah berjalan sendiri melaksanakan kerja sama antar daerah diharapkan tidak terulang

kembali. Sinergi antara pemerintah pusat dalam mempromosikan dan mendinseminasikan

mekanisme kerja sama antar daerah dengan inisiatif yang kuat dari daerah sendiri akan

menghasilkan postur kerja sama yang lebih efektif, efisien, serta memacu daya saing daerah.

Sarana yang digunakan untuk merealisasikan strategi ini adalah komunikasi dan

koordinasi yang intens antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan berbasiskan

pada kebutuhan dan persoalan yang ada di daerah. Metode yang digunakan adalah melalui

forum dialog dan diskusi, seminar, rapat, serta forum dengar pendapat.

Subyek yang digunakan untuk strategi ini adalah Pemerintah daerah yakni gubernur pada

level provinsi, walikota pada level kotamadya, serta bupati pada level kabupaten. Selain itu,

unsur-unsur daerah seperti lembaga swadaya masyarakat, pers, serta organisasi sosial lainnya
yang peduli pada tata kelola pemerintahan yang baik juga dapat menjadi subjek pada strategi

ini.

Obyek dari strategi ini adalah pemerintah pusat meliputi kementerian atau lembaga

negara yang terkait dengan optimalisasi penyelenggaraan kerja sama antar daerah.

Kementerian dan lembaga negara tersebut antara lain Kementerian Koordinasi Bidang Politik,

Hukum dan Keamanan RI (Kemenko Polhukam RI), Kementerian Dalam Negeri RI

(Kemendagri RI), Mahkamah Konstitusi RI (MK RI), Dewan Perwakilan Rakyat RI (DPR RI),

Dewan Perwakilan Daerah RI (DPD RI), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota

(DPRD Kabupaten/Kota), Sivitas Akademika Perguruan Tinggi, serta Lembaga Ketahanan

Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI).

d. Strategi 4 : Menyediakan basis atau pangkalan data untuk mendukung

penyelenggaraan kerja sama antar daerah melalui providing basis data secara khusus di

masing-masing instansi atau lembaga terkait.

Strategi ini disusun dengan maksud untuk menyediakan sebuah pedoman dan panduan

dalam bentuk data-data kualitatif dan kuantitatif yang dapat digunakan sebagai dasar dalam

menyusun perencanaan kerja sama antar daerah. Dengan tersedianya basis data yang rinci,

valid, serta informatif, akan memudahkan pemerintah daerah dalam melihat peluang atau

potensi kerja sama yang bisa digarap dengan daerah lainnya. Mekanisme kerja sama antar

daerah yang dilakukan akan lebih terarah dan terencana dengan baik karena selain

berbasiskan pada kebutuhan, juga menemukan mitra yang tepat untuk mencapai kebutuhan

tersebut.

Adapun cara penggunaan basis data di sini adalah pertama, pemerintah daerah

menentukan terlebih dahulu apa yang menjadi target pembangunan di daerahnya. Kedua,

pemerintah daerah melakukan analisis kapasitas dan kapabilitas sumber daya daerah untuk

mewujudkannya. Ketiga, pemerintah akan menemukan apa saja yang menjadi faktor

penghambat dalam pemenuhan kebutuhan tersebut, baik itu dalam bentuk keterbatasan
sumber daya alam, sumber daya manusia, maupun modalitas lainnya (modalitas sosial, kultural

dan finansial). Keempat, dengan membaca basis data yang tersedia mengenai segala sumber

daya yang ada di daerah lainnya, pemerintah dapat menentukan daerah mana saja yang bisa

digarap atau dijajaki untuk melakukan kerja sama.

Basis data ini diharapkan dapat disediakan oleh pemerintah pusat, baik yang sifatnya

terintegrasi secara khusus untuk mendukung mekanisme kerja sama antar daerah, maupun

disediakan oleh unit-unit kerja pemerintah pusat yang tugas pokok dan fungsinya

bersinggungan dengan penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Sarana yang digunakan untuk mencapai strategi ini adalah komunikasi dan koordinasi

yang intensif antara pemerintah daerah dengan kementerian atau lembaga negara yang terkait

dengan kebutuhan daerah untuk menyelenggarakan kerja sama antar daerah. Adapun

metodenya adalah dialog langsung antara pemerintah daerah dengan kementerian/lembaga

negara terkait, serta penyampaian aspirasi oleh anggota DPD RI dari daerah terkait dengan

instansi pusat secara langsung.

Subjek pada strategi ini adalah para kepala daerah, yakni gubernur pada level provinsi,

walikota pada level kotamadya, serta bupati pada level kabupaten. Unsur legislatif yang

mewakili daerah dan menjabat di DPD RI juga dapat mendukung untuk menyuarakan aspirasi

dan kebutuhan daerahnya secara langsung kepada kementerian atau lembaga negara terkait.

Tidak lupa juga peran serta lembaga masyarakat dan unsur masyarakat madani lainnya yang

peduli pada kebutuhan pembangunan di daerah.

Yang menjadi objek pada strategi ini adalah instansi pemerintah pusat baik kementerian

atau lembaga negara. Instansi pemerintah pusat tersebut antara lain Kementerian Koordinator

Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI (Kemenko PMK RI), Kementerian Koordinator

Bidang Politik Hukum dan Keamanan RI (Kemenko Polhukam RI), Kementerian Dalam Negeri

RI (Kemendagri RI), Kementerian Perdagangan RI (Kemendag RI), Kementerian Perindustrian

RI (Kemenperin RI), Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal RI (Kemendes

dan PDT RI), Kementerian Komunikasi dan Informatika RI (Kemenkominfo RI), Badan
Koordinasi Penanaman Modal RI (BKPM RI), Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia

(Lemhannas RI), serta kementerian atau lembaga terkait lainnya yang tugas pokok dan

fungsinya terkait erat dengan pemerintahan daerah.

25. Upaya

Berbagai upaya yang akan dilakukan sebagai suatu langkah riil atau tindakan nyata dan

bersifat teknis sebagai bentuk penjabaran dari strategi-strategi yang telah ditetapkan di atas

diuraikan sebagai berikut:

a. Strategi 1 : Menempatkan mekanisme kerja sama antar daerah sebagai solusi dan inovasi

dalam menyelesaikan permasalahan di daerah.

Strategi ini dimaksudkan untuk menempatkan mekanisme kerja sama antar daerah

sebagai pilihan utama dalam menjawab berbagai kebutuhan, tantangan serta permasalahan

yang ada di daerah. Adanya opsi lain dalam penyelenggaraan kerja sama yang dilakukan oleh

daerah, seperti kerja sama dengan pihak swasta, mengakibatkan kerja sama antar daerah tidak

menjadi arus utama.

Dengan ditempatkannya mekanisme kerja sama antar daerah sebagai solusi dan inovasi

dalam menjawab berbagai kebutuhan, permasalahan, serta tantangan daerah, diharapkan

dapat menggugah hati dan membuka mata para kepala daerah akan urgensi sinergi dan

harmoni antar daerah dalam menyukseskan baik tujuan pembangunan nasional, maupun

target-target pembangunan yang hendak dicapai oleh daerah.

Melalui kerja sama yang dilakukan berbasiskan pemenuhan kebutuhan bersama,

dijalankan dengan menerapkan prinsip kesetaraan dan keadilan, serta dijalankan secara

berkala dan berkesinambungan, maka permasalahan yang dihadapi tidak akan menjadi sulit

atau menghambat pencapaian tujuan pembangunan daerah masing-masing.

Adapun upaya-upaya yang dilakukan sebagai berikut :


1) Kementerian Dalam Negeri RI atau Kemendagri RI, memiliki peran sentral dalam

menyukseskan pelaksanaan otonomi daerah, khususnya mekanisme kerja sama antar daerah

guna mewujudkan kesejahteraan umum dalam rangka pembangunan nasional. Melalui

Direktorat Jenderal Otonomi Daerah (Ditjen Otda), Direktorat Jenderal Bina Pembangunan

Daerah, Direktorat Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan, serta Direktorat Jenderal Bina

Pemerintahan Desa, Kemendagri RI dapat melakukan edukasi kepada para kepala daerah

(gubernur, walikota, serta bupati) untuk menempatkan mekanisme kerja sama antar daerah

sebagai pilihan solusi utama dalam menyikapi dinamika kebutuhan dan tantangan daerah.

Edukasi ini dapat berbentuk sosialisasi oleh masing-masing direktorat jenderal kepada unsur

penyelenggaraan pemerintahan daerah maupun unsur masyarakat madani yang ada di daerah

tersebut.

2) Kementerian Perdagangan RI atau Kemendag RI, dapat berpartisipasi dalam mendukung

penguatan kerja sama antar daerah. Perdagangan saat ini bukan merupakan aspek yang

dimonopoli oleh pemerintah pusat, tapi sudah didesentralisasikan kepada pemerintah daerah.

Kemendag RI dapat memberikan instruksi kepada jajarannya yang ada di daerah untuk

mendukung penguatan kerja sama antar daerah. Secara teknis jajaran Kemendag RI di daerah

juga memainkan fungsi dan peran sebagai unsur pemerintahan di daerah itu sendiri. Oleh

sebab itu, kontribusi jajaran Kemendag RI di daerah dapat dilakukan dalam bentuk menjalin

koordinasi dan komunikasi yang erat dengan instansi di daerah lainnya terkait bidang-bidang

perdagangan apa saja yang bisa dijajaki untuk pemenuhan kebutuhan di daerah.

3) Kementerian Perindustrian RI atau Kemenperin RI, dapat berpartisipasi dalam mendukung

penguatan kerja sama antar daerah. Perindustrian saat ini tidak lagi terkonsentrasi pada kota-

kota besar saja, semisal Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, serta Makassar, tapi juga sudah

menyentuh kota-kota satelit, bahkan pedesaan. Kemenperin RI dapat memberikan instruksi

kepada jajarannya yang ada di daerah untuk mendukung penguatan kerja sama antar daerah.

Secara teknis jajaran Kemenperin RI di daerah juga memainkan fungsi dan peran sebagai

unsur pemerintahan daerah itu sendiri. Oleh sebab itu, kontribusi jajaran Kemenperin RI di

daerah dapat dilakukan dalam bentuk menjalin koordinasi dan komunikasi yang erat dengan
instansi di daerah lainnya terkait bidang-bidang perindustrian apa saja yang bisa dijajaki untuk

pemenuhan kebutuhan di daerah. Selain itu, jajaran Kemenperin RI di daerah dapat

memberikan asistensi atau advokasi kepada para pelaku industri di daerah, khususnya industri

mikro, kecil dan menengah mengenai pentingnya melakukan kerja sama dengan pelaku industri

dari daerah lainnya guna menyokong kebutuhan daerah masing-masing.

4) Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal RI atau Kemendes dan PDT RI.

Seperti halnya Kemendagri RI, kementerian ini memainkan peran sentral dalam menyukseskan

otonomi daerah, khususnya optimalisasi penggunaan mekanisme kerja sama antar daerah.

Basis rasionalnya adalah bidang yang diampu, yakni desa dan daerah tertinggal sebagai unsur

inheren dari daerah itu sendiri. Begitu juga halnya dengan kebijakan transmigrasi sebagai

upaya untuk mewujudkan pemerataan pembangunan nasional. Dalam konteks penempatan

mekanisme kerja sama antar daerah sebagai solusi prioritas atas kebutuhan dan permasalahan

daerah, kementerian ini dapat memberikan dukungan dalam bentuk fasilitasi kerja sama

antardesa dan daerah tertinggal yang saling membutuhkan satu sama lain atau bisa juga antara

desa dan daerah tertinggal dengan daerah lainnya yang lebih maju. Lebih lanjut, kementerian

ini juga dapat melakukan edukasi kepada para kepala daerah untuk mengintensifkan kerja

sama antar daerah dengan menyajikan basis data yang kuat sebagai pendukung edukasi dan

sosialisasi.

5) Kementerian Komunikasi dan Informatika RI atau Kemenkominfo RI. Melalui Direktorat Jenderal

Informasi dan Komunikasi Publik dapat mendukung sosialisasi kerja sama antar daerah

sehingga mekanisme ini menjadi well informed, dipilih sebagai prioritas, yang pada ujungnya

akan digunakan secara masif dalam pemenuhan kebutuhan dan tantangan di daerah.

6) Badan Koordinasi Penanaman Modal RI atau BKPM RI. Investasi atau penanaman modal

merupakan aspek vital bagi penyelenggaraan pembangunan, baik nasional, maupun di level

daerah. Bagi daerah sendiri, investasi merupakan katalisator pemenuhan kebutuhan finansial

daerah dalam menyokong pembangunan. Tidak jarang keterbatasan dana Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) atau belum optimalnya penerimaan dari Pendapatan
Asli Daerah (PAD) dapat dikatalisasi melalui investasi yang ditanamkan oleh pemodal di

daerah. Melihat urgensi bidang ini, BKPM RI melalui jajarannya di daerah dapat melakukan

edukasi kepada pemerintah daerah untuk mengoptimalkan masuknya investasi melalui kanal

kerja sama antar daerah. Jajaran BKPM RI di daerah juga dapat memberian asistensi dalam

bentuk tipologi investasi manakah yang dibutuhkan daerah, apakah bersifat padat modal atau

padat karya serta besaran ideal investasi yang harus diterima.

7) Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) merupakan lembaga negara

yang salah satu tugas pokok dan fungsinya adalah melakukan kajian strategik terhadap isu-isu

ketahanan nasional, baik pada tataran nasional, regional, hingga global. Guna membantu

pencapaian pelaksanaan tugas pokok dan fungsi ini, Lemhannas RI memiliki Laboratorium

Pengukuran Ketahanan Nasional Lemhannas RI atau yang disingkat sebagai Labkurtannas

Lemhannas RI. Laboratorium ini menjalankan fungsi pengukuran terhadap indeks ketahanan

nasional, yang mana untuk mendapatkannya, dibutuhkan pengukuran terlebih dahulu terhadap

indeks ketahanan daerah. Melalui tugas pokok dan fungsi yang melekat, serta prasarana

pendukung yang dimiliki, Lemhannas RI dapat mendukung penguatan kerja sama antar daerah

melalui edukasi kepada para kepala daerah dalam bentuk sosialisasi atau seminar mengenai

pentingnya mekanisme kerja sama antar daerah dalam mendukung penguatan indeks

ketahanan daerah, baik pada bidang panca gatra (ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya,

serta pertahanan keamanan), maupun pada bidang trigatra, yakni geografi, demografi, serta

sumber kekayaan alam.

b. Strategi 2 : Mewujudkan sinkronisasi antara peraturan atau regulasi di level pusat dengan

peraturan atau regulasi di level daerah.

Strategi ini dimaksudkan untuk menyamakan cara pandang dan orientasi antara

pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kesamaan cara pandang atau orientasi antara kedua

belah pihak lebih lanjut akan berdampak pada selarasnya regulasi atau peraturan yang
dikeluarkan terkait penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan objektif suksesnya

pembangunan nasional dan daerah serta tercapainya kesejahteraan masyarakat.

Adapun upaya yang dilakukan sebagai berikut :

1) Berbagai regulasi yang diinisiasi atau disusun oleh kementerian dan lembaga negara di bawah

koordinasi Kemenko Polhukam RI untuk dibahas bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat

RI (DPR RI), hendaknya disesuaikan atau diselarasakan dengan undang-undang tentang

otonomi daerah. Jangan sampai regulasi yang hendak dibuat bersama DPR RI justru

melemahkan spirit pelaksanaan otonomi daerah. Sebagai contoh, beberapa pasal pada

undang-undang revisi atas undang-undang pemerintahaan daerah yang pertama kali

ditetapkan, dianggap oleh beberapa kepala daerah justru melemahkan spirit otonomi daerah.

2) Berbagai regulasi yang diinisiasi atau disusun oleh Kemendagri RI untuk dibahas bersama

dengan Dewan Perwakilan Rakyat RI (DPR RI), hendaknya disesuaikan atau diselarasakan

dengan undang-undang tentang otonomi daerah. Jangan sampai regulasi yang hendak dibuat

bersama DPR RI justru melemahkan spirit pelaksanaan otonomi daerah. Sebagai contoh,

wacana untuk mengembalikan pemilihan kepada daerah melalui mekanisme DPRD seperti

zaman orde baru, dianggap sebagai langkah mundur demokrasi dan mencederai semangat

otonomi daerah. Begitu juga kebijakan sentralisasi pemenuhan kebutuhan Aparatur Sipil

Negara (ASN) di daerah kepada Badan Kepegawaian Nasional (BKN) dan Kemenpan RB RI,

dianggap sebagai penyebab lambannya fungsi pelayanan di daerah karena yang ditetapkan

oleh kedua lembaga tersebut jauh di bawah kebutuhan dan permintaan daerah.

3) Regulasi atau peraturan perundang-undangan merupakah ranah yudikatif, di mana fungsi ini

salah satunya dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi RI (MK RI). Mahkamah Konstitusi RI

menjalankan tugas untuk menjaga kesesuaian berbagai regulasi dengan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) sebagai landasan konstitusional

dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di negeri ini. Dalam konteks

pemenuhan strategi akan kesesuaian peraturan atau regulasi di level pusat dengan kebutuhan
daerah, maka Mahkamah Konstitusi RI dapat melakukan fungsi koordinasi dengan kementerian

atau lembaga negara terkait baik melalui seminar, diskusi, atau dialog.

4) Dewan Perwakilan Rakyat RI atau DPR RI, salah satu tugas pokok dan fungsinya adalah

penyusunan undang-undang. Secara konfiguratif, DPR RI terdiri atas para wakil rakyat yang

berasal dari partai politik yang berbeda dengan platform-nya masing-masing. Dalam konteks

pemenuhan strategi akan kesesuaian peraturan atau regulasi di level pusat dengan peraturan

atau regulasi di daerah, maka DPR RI harus melaksanakan fungsi penyusunan undang-undang

dengan cermat dan teliti, serta terhindar dari bias kepentingan. DPR RI dapat berkontribusi

dalam pencapaian strategi ini melalui filterisasi terhadap berbagai upaya pelemahan spirit

otonomi daerah melalui inisiasi undang-undang dari lembaga atau kementerian yang tidak pro

pada kebutuhan dan kepentingan daerah.

5) Dewan Perwakilan Daerah atau DPD RI menjalankan amanah sebagai lembaga yang

menyuarakan aspirasi daerah di level pusat. Secara konfiguratif DPD RI terdiri atas para

senator yang mewakili daerah pemilihannya masing-masing. Mereka yang duduk di DPD RI

dapat menyuarakan kepentingan daerah, khususnya penyusunan regulasi yang pro spirit

otonomi daerah serta selaras dengan kebutuhan daerah , kepada instansi pusat, termasuk

kepada DPR RI dalam hal penyusunan undang-undang.

6) Lembaga Ketahanan Nasional RI atau Lemhannas RI, melalui Kedeputian Pengkajian Strategik

Lemhannas RI (Debidjianstrat Lemhannas RI) dan Labkutannas Lemhannas RI dapat

mengadakan sosialisasi, diskusi, seminar, ataupun format lainnya dalam hal mengkomunikasi

urgensi kesesuaian peraturan di level pusat dengan peraturan di level daerah, juga dalam hal

mana keselarasan tersebut juga dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan serta menghadapi

dinamika di daerah.

7) Sivitas akademika dari berbagai perguruan tinggi negeri di tiap-tiap daerah, khususnya Fakultas

Hukum (FH) dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) dapat menyelenggarakan kajian

reguler, diskusi, seminar atau dialog dengan pemerintah daerah dan pusat mengenai

pentingnya kesesuaian antara peraturan atau regulasi di level pusat dengan peraturan atau
regulasi di level daerah. Masukan dari sivitas akademika perguruan tinggi umumnya memiliki

efek dorong yang kuat mengingat fungsi mereka sebaga lembaga pendidikan atau lembaga

akademik.

c. Strategi 3 : Mendorong pemerintah pusat untuk lebih mempromosikan dan

mendiseminasikan mekanisme kerja sama antar daerah.

Strategi ini dimaksudkan untuk menguatkan peran serta pemerintah pusat dalam

menyukseskan penyelenggaraan kerja sama antar daerah. Kelemahan selama ini di mana

pemerintah pusat cenderung melupakan tanggung jawab dan kewajibannya dan membiarkan

daerah berjalan sendiri melaksanakan kerja sama antar daerah diharapkan tidak terulang

kembali. Sinergi antara pemerintah pusat dalam mempromosikan dan mendinseminasikan

mekanisme kerja sama antar daerah dengan inisiatif yang kuat dari daerah sendiri akan

menghasilkan postur kerja sama yang lebih efektif, efisien, serta memacu daya saing daerah.

Adapun upaya yang dilakukan sebagai berikut :

1) Pemerintah daerah, dalam hal ini gubernur untuk level provinsi, walikota untuk level kotamadya,

serta bupati untuk level kabupaten, harus bersikap proaktif dalam mendorong pemerintah pusat

melalui jajaran birokrasinya untuk menjalankan kewajiban dan tanggung jawab dalam

mempromosikan serta mendiseminasikan mekanisme kerja sama antar daerah dalam rangka

menjawab tantangan pembangunan di daerah. Yang bisa dilakukan oleh pemerintah daerah

adalah menjalin komunikasi dan koordinasi yang intensif dengan pemerintah pusat seperti

dialog atau diskusi jika ada pejabat pemerintah dan instansi pusat terkait yang melakukan

kunjungan ke daerah atau bisa juga mengundang pejabat tersebut untuk datang ke daerah

dalam rangka mengisi forum diskusi, dialog atau seminar yang akan dihadiri oleh beberapa

kepala daerah yang hendak menjajaki kerja sama.


2) Masyarakat madani seperti lembaga kemasyarakatan, lembaga mahasiswa, lembaga

kepemudaan, lembaga keagamaan, bahkan insan pers, dapat menjadi kindly reminder bagi

pemerintah pusat dalam pemenuhan kewajibannya untuk mempromosikan dan

mendiseminasikan mekanisme kerja sama antar daerah. Hal ini karena mereka memainkan

fungsi sebagai kelompok pengawas serta penekan pemerintah. Dalam bahasa yang lebih halus,

mereka memainkan peran sebagai check and balance. Dalam konteks ini, hubungan

mutualisme antara pemerintah pusat dengan masyarakat madani yang berjalan dengan baik

dapat memberikan keuntungan tersendiri bagi pemerintah pusat karena tugas promosi dan

diseminasi yang mereka lakukan akan terbantu oleh kehadiran masyarakat madani tersebut.

Sebagai contoh, kalangan pers dapat membantu melalui pemberitaan di media massa dan

media elektronik. Begitu juga dengan berbagai lembaga swadaya masyarakat yang

menjalankan fungsi-fungsi sosial, dapat membantu promosi secara sukarela.

3) Secara teknis, peran pemerintah pusat dalam mempromosikan dan mendiseminasikan

mekanisme kerja sama antar daerah, sebagai berikut:

a. Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) melalui Kedeputian Bidang

Pendidikan Pimpinan Tingkat Nasional (Debiddikpimtknas Lemhannas RI) memiliki program

yang bernama Program Pemantapan Pemimpin Daerah Angkatan (P3DA) sebagai bentuk

pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya untuk mencetak kader-kader pimpinan tingkat

nasional. Melalui program ini, Lemhannas RI dapat memantapkan kembali komitmen para

pemimpin daerah untuk menegakkan spirit otonomi daerah serta memprioritaskan mekanisme

kerja sama antar daerah dalam memenuhi kebutuhan serta menghadapi tantangan yang

dihadapi oleh daerah.

b. Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia (Kemendagri RI) melalui Direktorat Jenderal

Otonomi Daerah (Ditjen Otda Kemendagri RI) memiliki beberapa tugas pokok dan fungsi seperti

penataan daerah, fasilitasi kepala daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD),

evaluasi kinerja dan peningkatan kapasitas daerah, fasilitasi kelembagaan dan perangkat

daerah, serta produk-produk hukum daerah. Pelaksanaan tugas pokok dan fungsi tersebut
dapat disertai dengan upaya-upaya mempromosikan kerja sama antar daerah. Ditjen Otda

Kemendagri RI juga memiliki pijakan yang jelas dalam proses promosi dan diseminasi program

karena memiliki wewenang untuk berhubungan langsung dengan daerah dalam bentuk dialog,

diskusi dan fasilitasi, bahkan menegur daerah apabila tidak menjalankan mekanisme kerja

sama antar daerah dengan baik.

c. Kementerian Komunikasi dan Informatika RI (Kemenkominfo RI) memiliki beberapa tugas pokok

dan fungsi antara lain melaksanakan komunikasi publik, pengolahan dan penyediaan informasi,

pengelolaan media publik, serta kemitraan komunikasi. Berdasarkan tugas pokok dan fungsi

tersebut, Kemenkominfo RI memiliki peranan yang sentral dan strategis dalam mempromosikan

dan mendiseminasikan program kerja sama antar daerah. Dalam pelaksanaan komunikasi

publik misalnya, Kemenkominfo RI dapat menjadikan semua forum yang bersinggungan

dengan aspek daerah sebagai ajang promosi dan sosialisasi program. Tentunya agar

sosialisasi program kerja sama antar daerah dapat dijelaskan secara rinci, Kemenkominfo RI

perlu bekerja sama dengan Kemendagri RI atau pemerintah daerah secara langsung.

d. Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal RI (Kemendes dan PDT RI) dalam

melaksanakan asistensi dan advokasi kepada daerah, dapat menghimbau desa-desa serta

daerah-daerah tertinggal untuk melakukan penguatan kerja sama dengan daerah lainnya.

Daerah tertinggal misalnya, yang notabene memiliki kekurangan dalam kepemilikan sumber

daya alam, kualitas sumber daya manusia, serta aksesibilitas terhadap teknologi, dapat

menutupi kekurangan tersebut dengan menjalin kerja sama dengan daerah lainnya yang lebih

maju.

e. Kementerian Pemuda dan Olahraga RI (Kemenpora RI) yang menaungi organisasi pemuda dan

menangani masalah-masalah kepemudaan, dapat menggagas progam pemuda peduli daerah.

Melalui program tersebut, para pemuda dapat berpartisipasi menyukseskan program

pemerintah daerahnya, termasuk menjalin kerja sama dan komunikasi dengan para pemuda

dari daerah lainnya. Mereka dapat menjadi duta-duta daerah yang bisa mempererat kohesi

sosial budaya antar daerah.


f. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI (Kemenakertrans RI) yang memiliki tugas pokok

dan fungsi dalam hal pengurusan isu-isu tenaga kerja dan transmigrasi tentu membutuhkan

kerja sama dengan para kepala daerah, baik level provinsi, kotamadya, maupun kabupaten.

Untuk menyukseskan program transmigrasi nasional yakni pemerataan jumlah penduduk,

pencegahan terhadap disparitas sosial, serta penguatan kohesivitas masyarakat, tentunya

membutuhkan kerja sama yang solid dari pemerintah daerah. Tanpa promosi dan diseminasi

program kerja sama antar daerah, tampaknya sulit bagi Kemenakertrans RI untuk menjalankan

program transmigrasinya secara optimal.

d. Strategi 4 : Menyediakan basis atau pangkalan data untuk mendukung penyelenggaraan

kerja sama antar daerah.

Strategi ini disusun dengan maksud untuk menyediakan sebuah pedoman dan panduan

dalam bentuk data-data kualitatif dan kuantitatif yang dapat digunakan sebagai dasar dalam

menyusun perencanaan kerja sama antar daerah. Dengan tersedianya basis data yang rinci,

valid, serta informatif, akan memudahkan pemerintah daerah dalam melihat peluang atau

potensi kerja sama yang bisa digarap dengan daerah lainnya. Mekanisme kerja sama antar

daerah yang dilakukan akan lebih terarah dan terencana dengan baik karena selain

berbasiskan pada kebutuhan, juga menemukan mitra yang tepat untuk mencapai kebutuhan

tersebut.

Adapun upaya yang dilakukan yakni para kepala daerah, yakni gubernur, walikota, serta

bupati, didukung oleh DPD RI dan berbagai organisasi masyarakat madani dapat menyuarakan

kebutuhan data-data atau informasi dalam rangka perencanaan kerja sama dengan daerah lain

kepada instansi pusat sesuai dengan tugas pokok dan fungsi yang mereka bidangi.
Secara teknis hal ini dapat dilakukan dengan diskusi, dialog, serta permintaan data secara

langsung. Terkadang tidak semua data yang dibutuhkan tersaji di situs jaringan (website)

masing-masing kementerian atau lembaga negara.

Beberapa data informasi yang lazim dibutuhkan daerah dalam tahap penyusunan atau

perencanaan kerja sama antar daerah antara lain sebagai berikut:

1) Kementerian Dalam Negeri RI (Kemendagri RI) bekerja sama dengan pemerintah provinsi

dapat menyediakan data mengenai jumlah daerah desa, kecamatan, kabupaten serta

kotamadya di seluruh Indonesia, beserta kepala daerah masing-masing.

2) Kementerian Dalam Negeri RI (Kemendagri RI) bekerja sama dengan pemerintah daerah

kabupaten/kota dapat meneydiakan data mengenai existing cooperation antar daerah serta

bidang-bidang yang dikerjasamakan.

3) Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI (Kemenakertrans RI) bekerja sama dengan

Kementerian Dalam Negeri RI (Kemendagri RI) dapat menyediakan data mengenai densitas

penduduk serta total jenderal penduduk yang hendak mengikuti program transmigrasi.

4) Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI berkoordinasi dengan Badan Koordinasi

dan Penanaman Modal RI (BKPM RI) dapat menyediakan data-data mengenai calon penanam

modal (investor), baik dalam negeri, maupun luar negeri.


5) Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI berkoordinasi dengan Kementerian

Perindustrian RI (Kemenperin RI) dapat menyediakan data mengenai peta industri di suatu

daerah, baik industri besar, menengah, maupun mikro kecil.

6) Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya RI berkoordinasi dengan

Kementerian Pertanian RI (Kementan RI) dapat menyediakan data mengenai potensi pertanian,

peternakan, serta perkebunan di setiap daerah di seluruh Indonesia.

7) Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya RI berkoordinasi dengan

Kementerian Kehutanan RI (Kemenhut RI) dapat menyediakan data mengenai potensi sumber

daya hutan, baik sumber daya hayati, maupun nonhayati.

8) Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya RI berkoordinasi dengan

Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral RI (Kementerian ESDM RI) dapat menyediakan

data mengenai potensi energi dan sumber daya mineral.

9) Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya RI berkoordinasi dengan

Kementerian Kelautan dan Perikanan RI (Kementerian KKP RI) dapat menyediakan data

mengenai potensi sumber daya laut, baik perikanan maupun nonperikanan.

10) Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan RI (Kemenko Polhukam RI)

berkoordinasi dengan Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) dapat

menyediakan data mengenai indeks ketahanan daerah pada berbagai gatra penting dalam

kehidupan nasional.

BAB VII

PENUTUP
26. SIMPULAN.

a. Kebijakan otonomi daerah yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah untuk

mengelola dan menyelenggarakan pemerintahan sendiri, di satu sisi memberikan keuntungan,

yakni daerah sebagai pelaksana pemerintahan lebih mengetahui kapasitas dan potensi yang

dimiliki, sedangkan di sisi lain memiliki kelemahan, yakni potensi akan menguatnya ego

sektoral, munculnya raja-raja kecil di daerah, merebaknya praktik-praktik korupsi, kolusi, serta

nepotisme, yang mana pada taraf yang lebih luas, akan memberikan dampak buruk terhadap

keberlangsungan pembangunan nasional. Oleh sebab itu, pelaksanaan otonomi daerah

memerlukan kontrol yang ketat dari pemerintah pusat.

b. Kerja sama antar daerah sebagai mekanisme yang tak terpisahkan dari otonomi daerah memiliki

peranan penting dalam mendukung pembangunan nasional serta memperkukuh ketahanan

nasional. Dalam konteks pembangunan nasional, kerja sama antar daerah berkontribusi dalam

hal peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), terselenggaranya pelayanan publik yang

mampu memenuhi hajat hidup orang banyak, meningkatnya semangat persatuan dan kesatuan

masyarakat, menguatnya kohesivitas sosial serta meminimalisasi segregasi dan disparitas

sosial di masyarakat. Dalam konteks ketahanan nasional, kerja sama antar daerah yang

dilakukan pada berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, serta bernegara, meliputi

ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan, geografi, demografi, serta

sumber kekayaan alam, berkontribusi dalam mewujudkan ketahanan daerah yang tangguh.

Terwujudnya ketahanan daerah merupakan pilar penting dalam mewujudkan ketahanan

nasional. Tanpa ketahanan nasional yang tangguh, niscaya ancaman, gangguan, hambatan,

serta tantangan (AGHT) yang muncul, baik dari dalam negeri, maupun luar negeri, akan sulit

dihadapi.

c. Kerja sama antar daerah secara filosofis merupakan suatu keniscayaan. Sebagai contoh,

manusia, selain sebagai makhluk individu, juga memiliki altruisme yang menjadikannya sebagai

makhluk sosial yang membutuhkan interaksi dengan individu lainnya. Begitu juga halnya
dengan daerah yang membutuhkan kerja sama dengan daerah lain untuk memenuhi segala

kebutuhannya. Tiap-tiap daerah memiliki keunggulan komparatif masing-masing, juga memiliki

kekurangan. Kekurangan tersebutlah yang menjadi entry pointdilaksanakannya kerja sama

antar daerah.

d. Kerja sama antar daerah, dalam implementasinya, memiliki beberapa kendala dan tantangan,

yang mana apabila tidak disikapi secara cermat, maka dapat berdampak pada terhambatnya

proses pembangunan nasional. Beberapa kendala utama yang dihadapi antara lain, belum

ditempatkannya mekanisme kerja sama antar daerah sebagai solusi dan inovasi dalam

menjawab kebutuhan daerah serta mengatasi persoalan yang dihadapi oleh daerah, tidak ada

sinkronisasi antara peraturan atau regulasi di level pusat dengan peraturan atau regulasi di

level daerah, kurangnya peran pemerintah pusat dalam mempromosikan dan

mendiseminasikan mekanisme kerja sama antar daerah, serta belum adanya basis data yang

mendukung tahap perencanaan, pengawasan serta evaluasi pelaksanaan kerja sama antar

daerah.

27. SARAN.

Berdasarkan simpulan di atas maka saran-sarannya adalah sebagai berikut:

a. Kementerian Dalam Negeri RI (Kemendagri RI) bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik RI

(BPS RI) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional RI (Bappenas RI) perlu melakukan

analisis lebih lanjut mengenai signifikansi kerja sama antar daerah yang dilakukan oleh suatu

daerah terhadap pencapaian target-target pembangunan di daerah. Analisis ini diperlukan untuk

melihat peran dan kontribusi kerja sama antar daerah terhadap pembangunan nasional pada

sekup yang lebih luas. Apabila kontribusinya kecil, maka perlu dilakukan perubahan strategi

agar kontribusinya lebih optimal.

b. Kementerian Dalam Negeri RI (Kemendagri RI) bekerja sama dengan Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia (LIPI) dapat melakukan riset, kajian dan penelitian yang
mengkhususkan pada isu-isu otonomi daerah, utamanya isu kerja sama antar pemerintah

daerah. Hasil riset, kajian serta penelitian kemudian akan disampaikan kepada tiap-tiap

pemerintah daerah sebagai bahan masukan dalam peyelanggaraan pemerintahan daerah.

c. Kementerian Dalam Negeri RI (Kemendagri RI) melalui Direktorat Jenderal Otonomi Daerah

(Ditjen Otda) perlu merumuskan suatu program yang mampu merangsang pertumbuhan

partisipasi masyarakat sipil dalam monitoring pelaksanaan kerja sama antar pemerintah daerah.

Masyarakat sipil, terlebih lagi mereka yang tergabung dalam wadah masyarakat madani, dapat

menjadi mitra strategis pemerintah pusat dalam melakukan pengawasan dalam pelaksanaan

kerja sama antar pemerintah daerah. Potensi pelanggaran sertapotential loss dari sisi anggaran

dan pemenuhan kebutuhan dapat dimitigasi dengan baik jika mendapatkan dukungan, saran,

kritik dan masukan langsung dari masyarakat madani.

d. Kementerian Dalam Negeri RI (Kemendagri RI) bekerja sama dengan Badan Pengawas

Keuangan RI (BPK RI), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan RI (BPKP RI), serta

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu membuat sistem audit internal bersama untuk

mengevaluasi pelaksanaan kerja sama antar pemerintah daerah, baik dari sisi anggaran, sistem

manajemen mutu, maupun tindak lanjut atas saran, masukan, serta pengaduan dari masyarakat

madani/masyarakat sipil.

e. Kementerian Komunikasi dan Informatika RI (Kemenkomifo RI) perlu membuat suatu basis atau

pangkalan data yang sentralistik sebagai panduan dan acuan bagi daerah dalam

merencanakan dan menyusun program kerja sama dengan daerah lainnya. Selama ini data

hanya tersedia di masing-masing kementerian dan lembaga, serta masing-masing pemerintah

daerah saja. Dengan basis atau pangkalan data yang sifatnya sentral dan integral, maka semua

tahapan dalam kerja sama antar pemerintah daerah dapat berjalan efektif dan efisien dan tentu

saja mampu mencapai target dan tujuan secara optimal.


[1] UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah.

[2] Winarso, Heru Puji. 2005. Sosiologi Komunikasi Massa. Jakarta:

Prestasi Pustaka.

[3] Bratakusumah, Deddy Supriyadi dan Riyadi. 2005. Perencanaan

Pembangunan Daerah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

[4] Kartasasmita, Ginanjar dan Siagian. 1994. Pembangunan

Infrastruktur Seminar Pembangunan: Konsep dan Implikasi. Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

[5] Abe, Alexander. 1994. Perencanaan Daerah Partisipatif.

Yogyakarta: Pustaka Jogja Mandiri.

[6] Alejandro, Portes. 1976.”On the Sociology of National Development:

Theories and Issues”. American Journal of Sociology.

[7] Deddy T. Tikson. 2005. Administrasi Pembangunan. Bandung:

Alfabeta.
[8] http://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_daerah diunggah tanggal 9

September 2017 pada pukul 21.30 WIB

[9] Naskah Bidang Studi Geostrategi dan Ketahanan Nasional,

Lemhannas RI 2017.

[10] Jackson Robert and Georg Sorensen. 2005. Pengantar Studi

Hubungan Internasional: Teori dan Pendekatan. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

[11] Buzan, Barry. 1991. People, States and Fear: An Agenda for

International Security Studies in the Post Cold War Era. UK: Harvester

Wheatsheaf.

[12] http://www.mediaindonesia.com/index.php/news/read/78975/trump-dan-strategi-politik-luar-

negeri-ri/2016-11-24, diunduh pada tanggal 29 Agustus 2017, pukul 20.00 WIB.

[13] http://mediaindonesia.com/news/read/63278/geliat-tiongkok-dan-

kewaspadaan-nasional-indonesia/2016-08-25, diunduh pada

tanggal 30 Agustus 2017, pukul 23.00 WIB.

[14] http://dunia.rmol.co/read/2017/02/26/281905/Bebalnya-Israel!-

, diunduh pada tanggal 29 Agustus 2017, pukul 20.00 WIB.


[15] http://mediaindonesia.com/news/read/116861/membaca-geodiplomasi-

ri-di-asia-tenggara/2017-08-10, diunduh pada tanggal 28 Agustus

2017, pukul18.30.00 WIB.

[16] http://www.kemlu.go.id/ptri-asean/id/Pages/Komunitas-ASEAN.aspx,

diunduh pada tanggal 28 Agustus 2017, pukul 20.00 WIB.

[17] Majalah TNI AL Cakrawala Edisi 435 Tahun 2017 berjudul “Bonus

Geografi dan Kejayaan Bangsa”, halaman 34.

[18] http://www.rmol.co/read/2017/06/04/294161/Mewujudkan-

Kesalehan-Ber-Pancasila-, diunduh pada tanggal 27 Agustus 2017,

pukul 20.00 WIB

[19] Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah.

[20] Pembukaan UUD 1945 Alinea ke-4.

[21] Undang-undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah.

[22] Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 22 Tahun 2009

tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Kerja Sama Daerah.


[23] http://kotabogor.go.id/index.php/page/detail/81/kerjasama-

pemerintah-daerah#.Wa7KTZNcArU, diunduh pada tanggal 5

September 2017, pukul 23.05 WIB.

[24] https://www.grobogan.go.id/kerjasama-antar-daerah, diunduh pada

tanggal 5 September 2017, pukul 23.25 WIB.

[25] http://www.kompasiana.com/jose_rizal/kerjasama-daerah-sebuah-

peluang-peningkatan-kesejahteraan-

masyarakat_552a3621f17e61c96cd623e3, diunduh pada tanggal 6

September 2017 pada pukul 13.00 WIB.

[26] http://www.pulau-indonesia.com/2016/01/jumlah-dan-nama-35-

provinsi-di-indonesia.html, diunduh pada tanggal 11 September 2017

pada pukul 23.50 WIB.

[27] http://infopersada.com/nasional/pemerintahan-dan-wilayah/9-daftar-

jumlah-kabupaten-kota-di-setiap-provinsi-di-indonesia.html, diunduh

pada tanggal 11 September 2017 pada pukul 23.55 WIB.

Anda mungkin juga menyukai