com/jose_rizal/kerjasama-daerah-sebuah-peluang-peningkatan-
kesejahteraan-masyarakat_552a3621f17e61c96cd623e3
Kerja sama daerah merupakan wahana dan sarana untuk lebih memantapkan hubungan dan
keterikatan daerah yang satu dengan daerah yang lain dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia, menyerasikan pembangunan daerah, mensinergikan potensi antar daerah
dan/atau dengan pihak ketiga serta meningkatkan pertukaran pengetahuan, teknologi dan
kapasitas fiscal. Melalui kerja sama daerah juga diharapkan dapat mengurangi kesenjangan
daerah dalam penyediaan pelayanan umum khususnya yang ada di wilayah terpencil, perbatasan
antar daerah dan daerah tertinggal sebagaimana dimaksudkan PP Nomor 50 tahun 2007 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah. Intinya daerah harus memiliki inisiatif untuk
membaca potensi daerahnya -sebagaimana urusan wajib maupun pilihan yang telah menjadi
kewenangannya- yang dapat dikembangkan melalui kerjasama daerah dan/atau pihak ketiga yang
pada hakikatnya demi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Inisiatif Pemerintah Daerah untuk melaksanakan kerjasama bahkan telah diprakarsaisebelum
ditetapkannya PP nomor 50 tahun 2007, artinya dengan hanyamempedomani Undang-undang
nomor 32 tahun 2004, daerah telah berinisiatif untuk melakukan perjanjian kerjasama dengan
daerah lainnya dan/atau pihak ketiga oleh karena desakan hati nurani untuk segera
mensejahterakan masyarakatnya.
Pemerintah Daerah Propinsi Sumbar juga telah mampu memfasilitasi penjajakan hubungan
kerjasama antara Bupati dan Walikota di Sumatera Barat melalui kesepakatan bersama tentang
Kerjasama Antar Pemerintah Daerah dalam rangka peningkatan kapasitas ruas jalan dari Duku
sampai batas Riau, serta melaksanakan pengembangan kerjasama daerah Kabupaten/ Kota
melalui rencana pengembangan kawasan perbatasan Kabupaten/Kota se-SumateraBarat, yang
telah ditandatangani di Padang pada tanggal 13 Juni 2005. Kepala daerah terkait itu adalah
BupatiPadang Pariaman, Tanah Datar, Agam, 50 Kota, Walikota Padang Panjang, Bukittinggi
dan Payakumbuh.
Berbagai inisiatif kerjasama oleh masing-masing kepala daerah seperti mengoperasikan kembali
Kereta Api Wisata antara Pemerintah Kota Pariaman, Kabupaten Padang Pariaman dan Kota
Padang dengan melibatkan pihak Ketiga yakni PT KAI yang dioperasikan pada tanggal 15
Februari 2007, mengenai pembiayaan operasional ditanggung oleh ketiga daerah hingga
mencapai 100 juta perbulannya. Selanjutnya ada juga kerjasama antara Departemen Hukum dan
HAM dengan Pemerintah Kota Sawahlunto untuk mendirikan Panti Rehabilitasi NARKOBA,
serta masih banyak lagi daerah yang berinisiatif untuk memulai memprakarsai kerjasama daerah-
daerah maupun dengan pihak ketiga. Namun pada intinya dalam melakukan kerjasama perlu
dipedomani prinsip-prinsip kerjasama daerah agar tujuan yang dicapai benar-benar memberikan
manfaat bagi daerah masing-masing.
PRINSIP KERJASAMA DAERAH
a. efisiensi; adalah upaya pemerintah daerah melalui kerja sama untuk menekan biaya guna
memperoleh suatu hasil tertentu atau menggunakan biaya yang sama tetapi dapat mencapai hasil
yang maksimal.
b. efektivitas; adalah upaya pemerintah daerah melalui kerja sama untuk mendorong
pemanfaatan sumber daya para pihak secara optimal dan bertanggungjawab untuk kesejahteraan
masyarakat.
c. sinergi; adalah upaya untuk terwujudnya harmoni antara pemerintah, masyarakat dan swasta
untuk melakukan kerja sama demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
d. saling menguntungkan; adalah pelaksanaan kerja sama harus dapat memberikan keuntungan
bagi masing-masing pihak dan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat.
e. kesepakatan bersama; adalah persetujuan para pihak untuk melakukan kerja sama
f. itikad baik; adalah kemauan para pihak untuk secara sungguh-sungguh melaksanakan kerja
sama.
g. mengutamakan kepentingan nasional dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia; adalah seluruh pelaksanaan kerja sama daerah harus dapat memberikan dampak
positif terhadap upaya mewujudkan kemakmuran, kesejahteraan masyarakat dan memperkokoh
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
h. persamaan kedudukan; adalah persamaan dalam kesederajatan dan kedudukan hukum bagi
para pihak yang melakukan kerja sama daerah.
j. keadilan; adalah adanya persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan para pihak dalam
melaksanakan kerja sama daerah.
k. kepastian hukum; adalah bahwa kerja sama yang dilakukan dapat mengikat secara hukum bagi
para pihak yang melakukan kerja sama daerah.
Prinsip-prinsip tersebut di atas juga merupakan pedoman bagi DPRD dalam pemeriksaan
terhadap rancangan kerjasama daerah yang pembiayaannya akan membebani anggaran APBD
tahun berjalan. Bila rancangan kerjasama daerah tersebut tidak memenuhi prinsip-prinsip
kerjasama, maka DPRD dapat mengembalikan rancangan kerjasama dengan memberikan saran
dan masukan penyempurnaan rancangan perjanjian kerjasama kepada kepala daerah. Dan
selanjutnya rancangan yang disempurnakan tersebut dapat disetujui DPRD untuk ditandatangani
Kepala Daerah. Namun yang menjadi permasalahan yakni ketika masing-masing DPRD pada
daerah yang melakukan kerjasama memiliki persepsi yang berbeda dalam memahami prinsip
yang terkandung pada rancangan Perjanjian kerjasama tersebut walaupun masing-masing kepala
daerah telah saling memahami terhadap isi perjanjian. Hal ini tentu tidak dapat dihindari sebagai
sesuatu yang dapat dimaklumi, untuk itu diperlukan kearifan bagi masing-masing daerah untuk
lebih melihat tujuan kerjasama dari pada mempertahankan egoisme masing-masing daerah.
PEMENUHAN KEPENTINGAN DAERAH
Tidak ada daerah yang dapat berkembang sendiri tanpa dukungan maupun keberadaan daerah
yang lainnya. Sebagai contoh, pasar atas Bukittinggi tidak akan berkembang bila tanpa adanya
pasokan bordiran mukenah dari Pariaman, pasokan kerajinan tangan dari Agam dan
Payakumbuh, atau pasokan ternak dari Lima Puluh Kota dan Tanah Datar serta Ikan segar dari
Padang maupun beras pulen dari Solok. Demikian pula dengan WaterBoom Di Sawahlunto, yang
tidak mungkin ramai kalau hanya dikunjungi oleh warganya saja, dan penjual buah markisa di
gunung talang yang kebanjiran pembeli sejak dibukanya Waterboom Sawahlunto. Semua daerah
saling memiliki keterkaitan dan keterikatan satu sama lainnya, dan tanpa disadari –atau tanpa
tidak disadari-ada peluang kerjasama agar pengembangan potensi yang dimiliki tidak tumpang
tindih dengan potensi daerah lainnya. Untuk itu diperlukan kerjasama daerah.
Tentunya dalam melaksanakan suatu kerjasama antara dua pihak atau lebih harus diperhitungkan
hasil atau manfaat yang didapatkan dari hubungan kerjasama tersebut. Tidak mungkin salah satu
pihak ingin dirugikan dalam hasil akhir dari kerjasama itu, masing-masing pihak yang
melakukan kerjasama dapat dipastikan memiliki kepentingan yang harus dipenuhi dan diperoleh
dari hubungan kerjasama.
Kepentingan daerah yang paling umum sebagai alasan dilakukannya kerja sama adalah untuk
peningkatan Pendapatan Asli Daerah (uang), selain jasa maupun barang/asset, selain itu daerah
juga berkepentingan agar dalam membangun sarana dan prasarana public di daerahnya akan
semakin terkonsolidasi. Dapat dibayangkan apa yang terjadi bila masing-masing daerah yang
bertetangga membangun sebuah rumah sakit bertaraf international, atau bersaing dalam
membangun water boom atau objek wisata yang sejenis. Memang dalam era otonomi daerah
wajar-wajar saja bila setiap daerah memacu pertumbuhan daerahnya dengan segala potensi yang
dimilikinya, namun alangkah lebih indahnya bila masing-masing daerah memiliki ciri khas dan
potensi unggulan yang saling menopang dan mendukung kehidupan ekonomi daerah
tetangganya, bukannya malah saling bersaing dengan ego kedaerahan sendiri-sendiri. Untuk itu,
program ‘one village one product’ hendaknya perlu menjadi pemikiran kembali guna mensiasati
dan menghindari terjadinya keseragaman produk unggulan dari masing-masing daerah.
Dalammenghindari sifat egoisme daerah tersebut dibutuhkan peran propinsi untuk menjadi
fasilitator dan peran pemerintah bila kerjasama yang dilaksanakan menyangkut propinsi terkait.
Selain itu Pemerintah Propinsi juga dapat bertindak sebagai innovator dan motivator dalam
membangun kerja sama antar daerah di Propinsinya, tanpa menunggu prakarsa dari masing-
masing daerah untuk memulai.
Kerjasama daerah juga merupakan solusi atas masalah beban pembiayaan yang begitu berat bagi
suatu daerah, sehingga pembiayaan dan resiko dapat ditanggung oleh daerah yang melakukan
kerjasama menjadi lebih ringan. Namun bila demikian halnya mengapa setiap daerah belum
mengoptimalkan kerjasama daerah demi peningkatan kesejahteraan masyarakatnya ?
1.
2. Belum tergalinya potensi yang dimiliki oleh daerah, sehingga daerah belum mengenal
sejauhmana kemampuan daerahnya dalam memanfaatkan potensi yang dimiliki.
3. Pemerintah daerah belum memahami urusan-urusan yang menjadi kewenangannya yang dapat
dijadikan objek kerjasama, dan subjek yang akan diajak melakukan kerjasama serta manfaat
yang didapatkan sebagai hasil dari kerjasama.
4. Egoisme kedaerahan yang selalu ingin mendominasi dan merasa sebagai daerah yang lebih
superior sehingga beranggapan tidak perlunya kerjasama dengan daerah lain, toh permasalahan
dapat diselesaikan secara internal daerahnya sendiri.
5. Ketakutan akan justru terjadinya konflik antar daerah atau perselisihan dan kerugian bila hasil
kerjasama ternyata melenceng dari harapan.
6. Political will maupun produk hukum yang dibuat oleh kepala daerah dan DPRD yangtidak
sejalan dengan semangat kerjasama daerah.
Mengatasi kebuntuan akan pelaksanaan kerjasama daerah, maka pemerintah melalui PP 50/2007
memberikan acuan jelas mengenai pelaksanaan kerjasama daerah yakni sebagai berikut :
1.Kerjasama daerah harus dituangkan dalam bentuk perjanjian kerjasama dengan memperhatikan
prinsip-prinsip kerjasama.
2.Salah satu kepala daerah dapat memprakarsai kerjasama dan selanjutnya membuat sebuah
rancangan perjanjian kerjasama yang memuat antara lain :subjek kerja sama, objek kerja sama,
ruang lingkup kerja sama, hak dan kewajiban para pihak, jangka waktu kerja sama, pengakhiran
kerja sama, keadaan memaksa danpenyelesaian perselisihan.
3.Rencana kerjasama daerah yang membebani daerah dan masyarakat harus mendapat
persetujuan dari DPRD apabila biaya belum teranggarkan dalam APBD tahun berjalan.
4.Kerjasama daerah yang dilakukan dalam satu propinsi terjadi perselisihan dapat diselesaikan
dengan cara musyawarah ataupun melalui keputusan gubernur.
5.Kerjasama daerah tidak berakhir karena pergantian kepala daerah, artinya bahwa kerjasama
darah dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan jangka waktu yang diatur dalam perjanjian
kerjasama dan tidak terpengaruh oleh adanya pergantian kepala daerah.
6.Masing-masing kepala daerah yang terkait dapat membentuk Badan Kerjasama daerah secara
bersama dalam hal membantu kepala daerah melaksanakan kerjasama daerah yang
membutuhkan waktu paling sedikit lima tahun, dengan pembiayaan ditanggung bersama sesuai
perjanjian kerjasama. Namun Badan kerjasama bukan termasuk perangkat daerah atau di luar
SOTK Pemerintah daerah.
Bagaimana bila terjadi perselisihan dalam hubungan kerjasama daerah dan luar negeri ? agaknya
PP nomor 50/2007 belum mencermati hal ini. Namun dalam kajian lebih khusus secara
umumnya perlunya koordinasi antara daerah yang akan melakukan kerjasama dengan luar negeri
kepada Departemen Luar Negeri (menyangkut masalah yuridis, politik, maupun keamanan)
disamping berkoordinasi dengan Departemen Dalam Negeri (menyangkut fasilitasi subjek
kerjasama) dan Departemen yang terkait (menyangkut fasilitasi objek kerjasama) dengan objek
kerjasama serta Pemerintah Propinsi selaku wakil pemerintah di daerah juga harus dilibatkan
dalam membuat rencana kerjasama dengan luar negeri tersebut, sehingga bila terjadi perselisihan
dapat di atasi oleh pejabat yang berwenang dari masing-masing departemen terkait.
Kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh daerah tentu berbeda. Tergantung dengan paradigma
apa daerah memandang potensi yang dimilikinya, bisa saja kelemahan suatu daerah akan
diterjemahkan suatu peluang bagi Pemerintahnya demikian pula sebaliknya, sehingga di era
otonomi daerah ini yang dibutuhkan bukan Pemerintah Daerah yang hanya menghabiskan
APBDnya saja namun Bagaimana Pemerintah Daerah dapat berkreasi dan membuat terobosan
baru dan beritikad baik demi mengatasi beratnya beban yang dipikul oleh APBD-nya. Salah satu
terobosan itu adalah dengan melaksanakan kerjasama daerah.
*******
( Syarief Aryfa’id[2])
1. Pengantar
Kebijakan otonomi daerah yang dimandatkan dalam UU No.32/2004, merupakan hasil evuluasi kritis
terhadap penyelenggaraan sistem sentralisasi, yang dianggap sudah tidak relevan dan tidak populis dalam
menata dan menyelenggarakan sistem pemerintahan yang demokratis. Sentralisasi penyelenggaraan
pemerintahan tidak saja berdampak pada penumpukan kekuasaan pada pemerintah pusat, akan tetapi
juga diikuti oleh dampak lanjutan yaitu soal mandegnya inovasi dan kreatifitas pemerintahan daerah dalam
menata dan membangun perekonomian daerah sesuai dengan potensi dan urgensi masyarakat daerah.
Lebih dari 11 tahun pelaksanaan kebijakan otonomi daerah, banyak hal yang dapat dipelajari dan
juga dievaluasi. Diantara pelajaran penting yang dapat diextraksi untuk menjadi formulasi baru
mengejawantahkan kebijakan otonomi daerah, antaralain; Pertama, Aspek politik. Kebijakan otonomi
daerah selama kurun waktu 11 tahun lebih, cenderung menghabiskan energi untuk penataan sistem politik,
dengan berbagai varian, yaitu pemilihan kepala daerah secara langsung, pemilihan legislatif daerah secara
langsung, konflik elit lokal dalam pilkada langsung, konflik batas wilayah (daerah), masifisasi pemekaran
wilayah, dan lain sebagainya, yang berimbas pada dua hal, yaitu 1) terkurasnya anggaran untuk
kesejahteraan masyarakat, 2) mandegnya inovasi dan produktifitas pembangunan daerah.
Kedua, Aspek Ekonomi. Kebijakan otonomi daerah dan pemekaran wilayah idealnya mendorong
efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintah dan pemerintah daerah karena telah didukung oleh
pelimpahan berbagai kewenangan (politik) strategis, dengan asumsi sederhana, otonomi diterjemahkan
sebagai “bypass dan jalan tol” yaitu mekanisme yang tepat untuk memperpendek proses politik-kebijakan,
memperpendek prosedur pelayanan publik (berbagai aspek) kepada masyarakat. Akan tetapi yang realitas
empirik justru menceritakan lain. Seperti yang dilansir oleh Media Indonesia pada bulan April, yang
menyebutkan bahwa pemerintah daerah gagal menjalankan mandat konstitusi dan mandat UU No.32/2004
dalam membangun dan mensejahterakan masyarakat di daerah. Semangat otonomi dan pemekaran
wilayah dalam kurun waktu 1999-2009 hanya menjadi komodite politik, dan arena konsumsi dan kontestasi
ekonomi para elit politik.
Data hasil evaluasi tentang penyelenggaraan kebijakan otonomi daerah dan pemekaran wilayah
oleh Departemen Dalam Negeri benar-benar “mengerikan”. Dari 7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota
hasil pemekaran selama 1999-2009, hanya dua kota yang memperoleh skor di atas 60 dari nilai tertinggi
100. Itulah Kota Banjar Baru di Kalimantan Selatan dan Kota Cimahi di Jawa Barat. Sisanya mendapat
skor merah untuk indikator kesejahteraan masyarakat, pemerintahan yang baik, pelayanan publik, dan
daya saing. Sejumlah kota dan kabupaten bahkan memperoleh angka nol untuk keempat indikator itu
(Media Indonesia, 28 April, 2011).
Dari sekian ratus daerah yang memiliki kewenangan otonom, hanya dua daerah yang dianggap
berhasil melakukan inovasi dan kreatifitas pembangunan daerah. sungguh sebuah ironisme dan juga
paradokos desentralisasi[4]. Ada dua point penting yang dapat dipelajari dari daerah tersebut dalam
menata dan membangun daerahnya, yaitu 1) kedua pemimpin daerah tersebut memiliki kemauan dan
keberanian politik yang baik (political well) dalam membangun daerahnya, 2) kedua daerah tersebut
melakukan banyak eksperimen positif terkait berbagai inovasi dan kreatifitas untuk membangun
daerahnya, sesuai dengan latar belakang masalah yang dihadapi dan mengoptimalkan berbagai potensi
yang dimilikinya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Salah satu strategi yang digunakan oleh kedua daerah tersebut di atas dalam membangun
daerahnya adalah terletak pada kemampuan membangun jejaring kerjasama yang efektif dan produktif
antara pemerintah daerah dan swasta sebagai solusi alternatif meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Kabupaten Banjar Baru misalnya, kemampuan pemimpin daerah dalam menjalin kerjasama dengan
investor (swasta) dalam mengembangkan konsep pelayanan publik, serta optimalisasi pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya alam, telah mengangkat “derajat” daerah tersebut sebagai salah satu daerah
yang berhasil (dalam konteks inovasi pembangunan daerah). Kita ketahui, otonomi daerah dalam
menyelenggarakan pemerintahannya menganut asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas
pembantuan. Dengan asas desentralisasi kewenangan Pemerintah diserahkan kepada daerah otonom dan
daerah otonom diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus kewenangannya sesuai kepentingan
masyarakat. Dalam menyelenggarakan pemerintahannya, daerah diberi kewenangan untuk melakukan
kerja sama dengan daerah lain dan pihak ketiga.
Pertanyaan yang dapat diajukan kemudian adalah, bagaimana konsep dan model
kerjasama pemerintah-swasta yang dapat mendukung pembangunan dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat di daerah di era otonomi daerah?
Dalam menelaah persoalan tersebut di atas, penulis merujuk pada beberapa kerangka teoritis,
yaitu; konsep kerjasama pemerintah daerah, konsep kerjasama pemerintah daerah-swasta.
2. Pembahasan
PP No 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara pelaksanaan Kerjasama Daerah merupakan hasil
tindaklanjut atas kebijakan UU No. 32 Tahun 2004 (pasal 197). Pada Bab I Pasal 1 (PP No 50/2007)
tersebut menyebutkan kerja sama daerah adalah kesepakatan antara gubernur dengan gubernur atau
gubernur dengan bupati/wali kota atau antara bupati/wali kota dengan bupati/wali kota yang lain, dan atau
gubernur, bupati/wali kota dengan pihak ketiga, yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan
kewajiban.
Kerja sama daerah merupakan sarana untuk lebih memantapkan hubungan dan keterikatan daerah
yang satu dengan daerah yang lain dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, menyerasikan
pembangunan daerah, mensinergikan potensi antardaerah dan/atau dengan pihak ketiga serta
meningkatkan pertukaran pengetahuan, teknologi dan kapasitas fiskal. Melalui kerja sama daerah
diharapkan dapat mengurangi kesenjangan daerah dalam penyediaan pelayanan umum khususnya yang
ada di wilayah terpencil, perbatasan antardaerah dan daerah tertinggal.
Kerja sama daerah dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan sumber pendapatan asli
daerah. Oleh karena itu, kerja sama daerah yang membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
dan masyarakat harus mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Ada 3 point penting dalam konsep kerjasama, yaitu, pertama adanya pihak ketiga, baik
itu Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen atau sebutan lain, perusahaan swasta yang
berbadan hukum, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, Yayasan, dan lembaga
di dalam negeri lainnya yang berbadan hukum.
Kedua, adanya badan kerja sama yaitu suatu forum untuk melaksanakan kerja sama yang
keanggotaannya merupakan wakil yang ditunjuk dari daerah yang melakukan kerja sama. Ketiga, adanya
Surat Kuasa, yaituh naskah dinas yang dikeluarkan oleh kepala daerah sebagai alat pemberitahuan dan
tanda bukti yang berisi pemberian mandat atas wewenang dari kepala daerah kepada pejabat yang diberi
kuasa untuk bertindak atas nama kepala daerah untuk menerima naskah kerja sama daerah, menyatakan
persetujuan pemerintah daerah untuk mengikatkan diri pada kerja sama daerah, dan/atau menyelesaikan
hal-hal lain yang diperlukan dalam pembuatan kerja sama daerah.
Bila mengaju pada PP No.50/2007, maka ada 11 prinsip kerjasama daerah yang harus di”patuhi”,
yaitu: 1). efisiensi[5], b). efektivitas[6]; 3) sinergi[7]; 4) saling menguntungkan[8]; 5) kesepakatan
bersama[9]; 6) itikad baik[10]; 7) mengutamakan kepentingan nasional dan keutuhan wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia[11]; 8) persamaan kedudukan[12]; 9) transparansi[13]; 10) keadilan[14];
dan 11) kepastian hukum[15].
Dalam konsep kerjasama pemerintah daerah, terdapat subjek dan kerjasama. Yang menjadi
Subjek Kerja Sama dalam kerja sama daerah meliputi: a). gubernur; b). bupati; c). wali kota; dan d). pihak
ketiga. Sedangkan yang menjadi Objek Kerja Sama adalah seluruh urusan pemerintahan yang telah
menjadi kewenangan daerah otonom dan dapat berupa penyediaan pelayanan publik.
Kerja sama daerah dituangkan dalam bentuk perjanjian kerja sama. Perjanjian kerja sama daerah
dengan pihak ketiga wajib memperhatikan prinsip kerja sama dan objek kerja sama[16] . Dalam melakukan
kerjasama, terdapat tata cara kerja sama daerah dilakukan dengan:
a. Kepala daerah atau salah satu pihak dapat memprakarsai atau menawarkan rencana kerja sama kepada
kepala daerah yang lain dan pihak ketiga mengenai objek tertentu.
b. Apabila para pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a menerima, rencana kerja sama tersebut dapat
ditingkatkan dengan membuat kesepakatan bersama dan menyiapkan rancangan perjanjian kerja sama
yang paling sedikit memuat:
8. penyelesaian perselisihan.
9. Kepala daerah dalam menyiapkan rancangan perjanjian kerja sama melibatkan perangkat daerah terkait
dan dapat meminta pendapat dan saran dari para pakar, perangkat daerah provinsi, Menteri dan
Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen terkait.
10. Kepala daerah dapat menerbitkan Surat Kuasa untuk penyelesaian rancangan bentuk kerja sama [17].
Pelaksanaan perjanjian kerja sama dapat dilakukan oleh satuan kerja perangkat daerah. dimana
pelaksanaan kerjasama tersebut harus mendapatkan persetujuan DPRD. Seperti yang disebutkan pada
pasal 9 (PP 50/2007) bahwa rencana kerja sama daerah yang membebani daerah dan masyarakat harus
mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan ketentuan apabila biaya kerja sama
belum teranggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun anggaran berjalan dan/atau
menggunakan dan/atau memanfaatkan aset daerah.
Kerja sama daerah yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi dari satuan kerja
perangkat daerah dan biayanya sudah teranggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
tahun anggaran berjalan tidak perlu mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Untuk
mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap kerja sama daerah yang
membebani daerah dan masyarakat, gubernur/bupati/wali kota menyampaikan surat dengan melampirkan
rancangan perjanjian kerja sama kepala daerah kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan
memberikan penjelasan mengenai: tujuan kerja sama; objek yang akan dikerjasamakan; hak dan
kewajiban meliputi:
1. besarnya kontribusi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang dibutuhkan untuk pelaksanaan kerja
sama; dan
Hasil kerja sama daerah dapat berupa uang, surat berharga dan aset, atau nonmaterial berupa
keuntungan. Hasil kerja sama daerah yang menjadi hak daerah yang berupa uang, harus disetor ke kas
daerah sebagai pendapatan asli daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hasil kerja sama
daerahyang menjadi hak daerah yang berupa barang, harus dicatat sebagai aset pada pemerintah daerah
yang terlibat secara proporsional sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kerjasama pemerintah daerah, juga memiliki berbagai persoalan atau perselisihan, oleh sebab itu,
dalam PP No. 50/2007 juga mengatur tentang penyelesaian perselisihan. Apabila kerja sama antardaerah
dalam satu provinsi terjadi perselisihan, dapat diselesaikan dengan cara: musyawarah; melalui penerbitan
Surat Keputusan Gubernur. Keputusan Gubernur sebagaimana dimaksud bersifat final dan mengikat.
Apabila kerja sama daerah provinsi dengan provinsi lain atau antara provinsi dengan kabupaten/kota dalam
1 (satu) provinsi atau antara daerah kabupaten/kota dengan daerah kabupaten atau daerah kota dari
provinsi yang berbeda terjadi perselisihan, dapat diselesaikan dengan cara : musyawarah; dan penerbitan
Surat Keputusan Menteri.
Apabila kerja sama daerah dengan pihak ketiga terjadi perselisihan, diselesaikan sesuai
kesepakatan penyelesaian perselisihan yang diatur dalam perjanjian kerja sama. Apabila penyelesaian
perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terselesaikan, perselisihan diselesaikan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Para pihak dapat melakukan perubahan atas ketentuan kerja sama daerah. Mekanisme
perubahan atas ketentuan kerja sama daerah diatur sesuai kesepakatan masing-masing pihak yang
melakukan kerja sama. Perubahan ketentuan kerja sama daerah dituangkan dalam perjanjian kerja sama
setingkat dengan kerja sama daerah induknya.
a) terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian;
c) terdapat perubahan mendasar yang mengakibatkan perjanjian kerja sama tidak dapat dilaksanakan;
g) objek perjanjian hilang; h) terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional; atau
Kerja sama daerah dapat berakhir sebelum waktunya berdasarkan permintaan salah satu pihak
dengan ketentuan: menyampaikan secara tertulis inisiatif pengakhiran kerja sama kepada pihak lain. pihak
yang mempunyai inisiatif menanggung resiko baik finansial maupun resiko lainnya yang ditimbulkan
sebagai akibat pengakhiran kerja sama. Pengakhiran kerja sama ini tidak akan mempengaruhi
penyelesaian objek kerja sama yang dibuat dalam perjanjian atau dalam pelaksanaan perjanjian kerja
sama, sampai terselesaikannya objek kerja sama tersebut. Hal lain yang perlu diingat bahwa kerja sama
daerah tidak berakhir karena pergantian pemerintahan di daerah.
Dalam rangka membantu kepala daerah melakukan kerja sama dengan daerah lain yang dilakukan
secara terus menerus atau diperlukan waktu paling singkat 5 (lima) tahun, kepala daerah dapat membentuk
badan kerja sama. Badan kerja sama sebagaimana dimaksud bukan perangkat daerah. Pembentukan dan
susunan organisasi badan kerja sama sebagaimana dimaksud di atas ditetapkan dengan keputusan
bersama kepala daerah.
Badan kerja sama mempunyai tugas: 1) membantu melakukan pengelolaan, monitoring dan
evaluasi atas pelaksanaan kerja sama; 2) memberikan masukan dan saran kepada kepala daerah masing-
masing mengenai langkah-langkah yang harus dilakukan apabila ada permasalahan; dan 3) melaporkan
pelaksanaan tugas kepada kepala daerah masing-masing. Biaya yang diperlukan dalam pelaksanaan
tugas badan kerja sama menjadi tanggung jawab bersama kepala daerah yang melakukan kerja sama.
Pertama, alasan politis: menciptakan pemerintah yang demokratis (egalitarian governance) serta
untuk mendorong perwujudann good governance and good society. Kedua, Alasan administratif: adanya
keterbatasan sumber daya pemerintah (government resources), baik dalam hal anggaran, SDM, asset,
maupun kemampuan manajemen. Ketiga, Alasan ekonomis: mengurangi kesenjangan (disparity) atau
ketimpangan (inequity), memacu pertumbuhan (growth) dan produktivitas, meningkatkan kualitas
dan kontinuiitas (quality and continuity), serta mengurangi resiko[18].
Political will pemerintah (daerah) untuk memperluas desentralisasi internal serta mengembangkan
kerjasama dengan masyarakat dan swasta akan berdampak secara langsung maupun tidak langsung pada
format lembaga pelayanan publik. Hal ini sangatlah logis, mengingat setiap pengurangan peran / fungsi
pemerintah di satu pihak, dan penguatan peran / fungsi swasta atau masyarakat di pihak lain, secara
otomatis menuntut dilakukannya restrukturisasi kelembagaan. Dengan demikian, kelembagaan atau
perangkat daerah konvensional yang kita kenal selama ini berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004, boleh
jadi menjadi kurang relevan dengan tuntutan riil di lapangan.
Dalam hal ini, model alternatif kelembagaan sebagai implikasi dari pengembangan desentralisasi
dan kerjasama publik dan privat (public – private partnership) meliputi bentuk-bentuk sebagai berikut:
Pengertian lembaga semi publik atau semi-privat disini dimaksudkan sebagai sebuah model kerjasama
dimana sektor publik (pemerintah daerah) dan sektor privat (swasta) memiliki kedudukan dan peran yang
berbeda, namun sinergis, dalam pengelolaan suatu urusan atau asset tertentu. Biasanya, pemerintah
memegang fungsi regulasi dan pengawasan, sementara investor menyelenggarakan fungsi-fungsi
perencanaan, pelaksanaan dan pembiayaannya.
Contoh konkrit tentang hal ini adalah Manajemen “Kya-Kya Kembang Jepun” di Surabaya, sebuah
arena pusat jajan yang sekaligus berfungsi sebagai wisata budaya di tengah kota. Kawasan Kya-kya ini
dirancang pada jalan sepanjang 730 meter, lebar 20 meter, menampung 200 pedagang (makanan dan
nonmakanan), 2.000 kursi, serta 500 mejamakan. Sebelum diterapkan, ide ini didahului oleh berbagai
macam studi secara terpadu yang mencakup studi keamanan, studi perilaku warga kota, studi parkir dan
transportasi, studi budaya (arsitektur setempat, genius loci), studi kelayakan ekonomis dan teknis seperti
sistem kebersihan, utilitas (saluran air, drainage, listrik, sistem suara, sampah), pemanfaatan SDM
setempat, kerja sama dengan warga, LSM, potensi-potensi wisata (bangunan kuno, monumen bersejarah),
dan sebagainya.
Dampaknya cukup luar biasa. Disamping merangsang pertumbuhan ekonomi lokal dan ekonomi
kerakyatan, juga menjadi obyek wisata baru dan ajang pelestarian budaya. Manajemen Kya-kya juga
menghasilkan efek sosial seperti perayaan Hari Anak Nasional dengan mengundang 300 anak yatim piatu
untuk makan malam bersama, berpesta bersama 300 pengamen dalam acara "Festival Ngamen Tjap Kya-
kya Kembang Djepoen" selama sebulan, memelihara monumen nasional Jembatan Merah, serta memberi
tali asih kepada para pejuang veteran (Pikiran Rakyat, 16-5-2004).
Bagi Pemkot Surabaya sendiri, kehadiran Manajemen Kya-kya memberi manfaat yang signifikan.
Disamping menjadi sumber pendapatan daerah melalui penarikan retribusi, urusan kebersihan dan
keamanan di kawasan Kya-kya juga ditangani oleh Manajemen Kya-kya, sehingga beban Pemkot menjadi
jauh berkurang. Disamping itu, pengelolaan yang professional diharapkan dapat menciptakan mutu
pelayanan yang jauh lebih baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Dari gambaran diatas, tidaklah
berlebihan kiranya untuk memasukkan model pengelolaan kawasan seperti Manajemen Kya-kya sebagai
salah satu Best Practices dalam administrasi publik.
Model pengelolaan kawasan oleh manajemen swasta yang dibimbing oleh regulasi Pemda seperti ini
sesungguhnya bisa diujicobakan di daerah lain. Di Kota Bandung, misalnya, terdapat banyak sekali sentra-
sentra industri kecil yang cukup spesifik seperti Cibaduyut (sepatu dan tas), Cihampelas (pakaian),
Cigondewah (kain). Di Sidoarjo terdapat kawasan Tunggul Angin (tas dan sepatu), sementara di
Yogyakarta terdapat kawasan Malioboro (kerajinan dan makanan), Kasongan (gerabah), dan sebagainya.
Jika saja kawasan-kawasan tadi dikelola secara baik oleh sebuah organisasi professional (professional
institution), dapat diyakini bahwa asumsi mendongkrak produktivitas kawasan binaan dan memperbaiki
pelayanan umum khususnya bagi warga yang tinggal di sekitar kawasan binaan, akan tercapai.
Desentralisasi luas yang diintrodusir oleh UU Nomor 22/1999 ataupun UU Nomor 32/ 2004 ternyata
sering membawa permasalahan atau konflik antar daerah. Beberapa konflik yang sempat muncul di media
antara lain:
Konflik antara Pemprov DKI dengan Kota Bekasi menyangkut TPA Bantargebang, serta antara Kota Bogor
dan Kabupaten Bogor menyangkut TPA Galuga dan terminal Bubulak (Pikiran Rakyat, 12 Juni 2002).
Konflik antara Kota Bogor ke Kabupaten Bogor menyangkut kebijakan perluasan wilayah. Pihak Kabupaten
ngotot mempertahankan assetnya seperti gedung desa beserta tanah kas desa (bengkok) yang ditarik
masuk wilayah Kota (Pikiran Rakyat, 12 Juni 2002).
Konflik antara Pemprov Jawa Barat (cq. Perda No. 23/2000 tentang Penebangan Kayu dan Perda No.
24/2000 tentang Usaha Pengolahan Teh) dengan Kabupaten Cianjur, Garut, Camis, dan Tasikmalaya yang
menerbitkan Perda yang mengatur hal yang sama (Pikiran Rakyat, 19 Juni 2002).
Konflik antara Pemprov Jawa Tengah dengan Kota Semarang dalam pengelolaan Sistem Polder Kota
Lama, khususnya kolam retensi didepan Stasiun KA Tawang yang menimbulkan bau busuk (Kompas, 24
Juni 2002).
Untuk mengantisipasi munculnya konflik yang makin beragam dan makin kompleks, maka saling
pengertian antar daerah melalui penguatan kerjasama regional sangat diperlukan. Dan untungnya,
kesadaran untuk membangun kerjasama antar daerah melalui sistem pengelolaan bersama (joint
management) ini sudah mulai nampak, antara lain melalui kesepakatan antara beberapa Kepala Daerah
di wilayah tertentu, yakni: Surat Keputusan Bersama (SKB) lima Bupati, yakni Bupati Banjarnegara,
Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kabumen pada tanggal 28 Juni 2003 tentang Pembentukan
Lembaga Kerjasama Regional Management yang diorientasikan pada Regional Marketing yang diberi
nama “Barlingmascakeb” (lihat di http://www.barlingmascakeb.com/)
SKB Walikota Surakarta, Bupati Boyolali, Bupati Sukoharjo, Bupati Karanganyar, Bupati Wonogiri, Bupati
Sragen dan Bupati Klaten tentang Kerjasama Antar Daerah Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar,
Wonogiri, Sragen dan Klaten. Bahkan sebagai tindak lanjut dari SKB ini, telah dikeluarkan Keputusan
Koordinator Badan Kerjasama Antar Daerah Subosuka Wonosraten No. 136/06/BKAD/VII/02 tentang
Rincian Tugas Sekretariat Badan Kerjasama Antar Daerah SubosukaWonosraten
(lihat di http://www.gtzsfdm.or.id/documents/laws_n_regs/others/Subosuka_Wonosraten.pdf).
Meskipun demikian perlu ditekankan bahwa kerjasama regional atau pengelolaan bersama suatu
urusan tidak selamanya harus terdiri dari banyak daerah dan meliputi semua hal. Bisa jadi, joint
management hanya terjadi antara 2 daerah otonom dan untuk satu urusan tertentu. Sebagai contoh,
Pemprov DKI dan Pemkot Bekasi bekerjasama hanya dalam masalah persampahan dan TPA
Bantargebang. Demikian juga antara Pemkot Bandung dan Pemkot Cimahi, keduanya harus bekerjasama
dan memiliki kesepakatan (MoU) dalam pengelolaan sampah kota dan pengaturan TPA Leuwigajah.
3) Kawasan Otorita
Sebagai ilustrasi lain dapat dikemukakan disini bahwa pasca pemberlakuan UU Nomor 22 Tahun
1999, terjadi konflik pengelolaan pelabuhan antara daerah-daerah pantai seperti Cilacap, Cilegon dan
Gresik dengan Pemerintah Pusat cq. Departemen Perhubungan dan PT Pelindo. Daerah menuntut agar
Pemerintah Pusat menyerahkan pengelolaan pelabuhan, walaupun Daerah sendiri belum memiliki
infrastruktur yang memadai untuk mengambil alih manajemen pelabuhan. Dalam kasus demikian, perlu
dipikirkan adanya “desentralisasi” dari BUMN kepada unit kerja di daerah baik BUMD maupun Badan
Otorita Daerah. Jika model desentralisasi seperti ini dapat disepakati, maka infrastruktur yang dimiliki PT
Pelindo (SDM, sistem informasi kepelabuhan, dan sumber daya lainnya) akan berubah status dan
ditransfer menjadi asset daerah.
4) Tim / Komisi
Model tim atau kepanitiaan sesungguhnya juga merupakan fenomena yang sangat lumrah dalam
administrasi negara modern. Bahkan harus diakui bahwa “tim” sering kali dapat bekerja lebih cepat dan
efisien dari pada lembaga induk yang membentuknya. Disamping itu, “tim” lebih bersifat fungsional
sehingga mampu melepaskan diri dari jeratan-jeratan dan kendala struktural yang menjadi ciri khas dari
sistem birokrasi publik. Namun jika tradisi membentuk satu tim untuk satu kasus (one team one case) ini
berkelanjutan dan berlebihan, dalam kaca mata administrasi negara jelas merupakan suatu bentuk dari
kegagalan birokrasi publik (bureaucracy failure), atau dapat dipandang juga sebagai mal-administrasi.
Karakteristik beserta keuntungan dan kerugian dari masing-masing model kelembagaan pengelola
layanan publik diatas dapat dilihat dalam matriks dibawah ini.
Dari perspektif administrasi publik, program kerjasama dengan swasta dan / atau masyarakat dapat
dilakukan paling tidak dengan 2 (dua) metode, yakni teknik penalaran strategis dalam penetapan
kebijakan melalui pengkajian pilihan-pilihan strategis (prior option review), serta teknik analisis barang
publik dan barang privat (public and private goods).
1) Kebijakan Penghapusan: analisa penalaran strategis dimulai dengan analisis dan identifikasi jenis-jenis
pelayanan/jasa yang diselenggarakan dan dibiayai oleh pemerintah. Dari analisis ini dapat disimpulkan
apakah pelayanan atau jasa-jasa tersebut masih dibutuhkan atau tidak. Jika tidak, maka instansi-instansi
pemerintah yang menyelenggarakan pelayanan tersebut dapat dipertimbangkan untuk dihapus
2) Swastanisasi: jika jenis-jenis pelayanan tersebut masih dibutuhkan, pertanyaan selanjutnya adalah
apakah pemerintah masih harus mendanai pelayanan tersebut. Jika tidak, maka jenis-jenis pelayanan/jasa
tersebut dapat dipertimbangkan untuk diswastanisasi. Pertimbangan kemungkinan swastanisasi
pelayanan tertentu antara lain ada tidaknya kegagalan pasar (Market failures).
4) Kontrak Kerja / Karya: apabila dana/anggaran pemerintah masih dibutuhkan, selanjutnya dipertanyakan
juga apakah pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan umum tersebut juga harus dilakukan oleh
pemerintah. Jika tidak, makapelayanan/jasa pemerintah tersebut dapat dipertimbangkan untuk
dikontrakkan Model kebijaksanaan ini telah lama diterapkan di Indonesia, terutama untuk pekerjaan
konstruksi dan pengadaan barang dan jasa bagi pemerintah. Strategi ini bisa dikembangkan untuk
pelaksanaan pekerjaan pelayanan umum bagi masyarakat oleh kontraktor swasta; contohnya: PT SGS
atau PT SI melaksanakan kegiatan survey kepabeanan berdasarkan kontrak dengan Ditjen Bea dan Cukai;
Perusahaan cleaning service untuk pemeliharaan gedung-gedung perkantoran pemerintah; Perusahaan
catering swasta untuk melayani makan siang PNS; dan lain-lain.
5) Market Testing: jika ternyata terdapat keraguan pemerintah atas kemampuan sendiri untuk
menyelenggarakan jenis pelayanan umum tertentu secara efisien dan efektif, maka dapat dipertimbangkan
pola “Uji Pasar” (Market testing) melalui proses tender kompetitif antara team intern (In-house
bidder) dengan pihak swasta atau team kerja dari unit departemen/instansi lainnya. Konsep ini masih baru
bagi Indonesia, khususnya mengenai kebijaksanaan In-house bidder, yaitu kelompok kerja intern
departemen atau lembaga pemerintahan tertentu yang dibentuk untuk mengikuti tender kompetitif dalam
rangka memperoleh kontrak kerja penyelenggaraan pelayanan umum tertentu. Kelompok ini jika berhasil
memenangkan tender akan bertindak sebagi kontraktor dan status kepegawaian para anggotanya akan
dialihkan menjadi swasta. Hak-hak kepegawaian mereka selanjutnya bukan lagi menjadi tanggungan
pemerintah, tetapi menjadi tanggungan organisasi kelompok yang bersangkutan dan menjadi beban biaya
yang tercantum dalam kontrak kerja. Sedangkan hak pensiun dan jaminan sosial lainnya akan dialihkan ke
Perusahaan Swasta di bidang itu. Kebijaksanaan yang hampir mirip "Market Testing" adalah pembentukan
unit-unit swadana berdasarkan Keppres Nomor 38 tahun 1991 untuk menyelenggarakan pelayanan umum
kepada masyarakat dengan menerapkan konsep "Self Funding Institution" dalam penyelenggaraan
pelayanan umum, misalnya: Pelayanan Rawat Inap kelas Utama dan Kelas I di Rumah Sakit Umum
Pemerintah di Pusat maupun di Daerah; Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi di Universitas Negeri; dan
sebagainya.
6) Program Efisiensi Internal: setelah berbagai pertimbangan tersebut dilakukan ternyata dinilai lebih baik
jika penyelenggaraan pelayanan umum tertentu itu tetap dilaksanakan oleh pemerintah pusat ataupun oleh
pemerintah daerah; maka unit kerja yang bersangkutan harus melaksanakan program efisiensi, melalui
misalnya: kegiatan Benchmarking, Business Process Reengineering (BPR), Restrukturisasi, Rasionalisasi,
Standarisasi Kinerja dan Pola Evaluasi / Penilaiannya, dan sebagainya.
Pilihan kebijakan tersebut didasarkan pada prinsip bahwa kinerja pelayanan umum (efisiensi, kualitas,
efektifitas, maupun produktivitasnya) dapat dicapai atau ditingkatkan melalui pendekatan mekanisme dan
kompetisi. Sedangkan pada pilihan kebijakan nomor 6, upaya peningkatan kinerja pelayanan umum
dilakukan melalui program efisiensi intern dengan penyempurnaan dan perubahan cara kerja atau proses
produksi, sehingga mampu menghasilkan kinerja dan kualitas yang diharapkan. Dengan itu maka daya
saing (Competitiveness) sektor publik dapat dibentuk dengan tingkat biaya / pengorbanan yang lebih
rendah.
Pada dasarnya, klasifikasi barang dan jasa dapat dibagi kedalam dua jenis, yaitu barangpublik
(public goods) dan barang privat (private goods). Secara dikotomis dapat dilakukan pemisahan bahwa
barang-barang publik wajib disediakan oleh lembaga publik (pemerintah), sementara swasta-lah yang
semestinya menyediakan barang-barang privat. Namun dalam prakteknya, dikotomi seperti itu tidak
berlaku. Bias jadi, barang-barang yang tergolong private goods murni harus disediakan oleh pemerintah
melalui mekanisme kontrol dan regulasi. Misalnya, kebutuhan beras harus dipenuhi oleh pemerintah
dengan sistem operasi pasar, pada saat terjadi kelangkaan
(shortage) beras. Dalam kondisi seperti itu, status beras sebagai private goods bergeser menjadi public
goods, atau paling tidak semi-public goods. Sebaliknya, jasa pemadam kebakaran justru cenderung beralih
dari public goods menjadi private goods.
Dalam bentuk bagan, klasifikasi dan variasi barang publik dan barang privat dapat digambarkan
sebagai berikut:
Intervensi pemerintah dibutuhkan dalam suatu jenis layanan tertentu, maka semakin besarlah
peluang kerjasama atau kemitraan antara sektor publik dengan swasta. Tabel dibawah ini menggambarkan
jenis dari setiap barang dan tingkat intervensi pemerintah. Selanjutnya, dibawah Tabel disajikan kasus
tentang jasa layanan kesehatan (Puskesmas) dan model kerjasama yang dapat (mestinya) dipilih.
Kasus: Layanan Puskesmas
Puskesmas sesungguhnya tidak cukup efisien dan oleh karena itu sebaiknya “dijual” kepada
dokter-dokter swasta agar dapat berkembang menjadi klinik-klinik kesehatan swasta. Sebab, pelayanan
Puskesmas pada dasarnya merupakan “barang privat” (private goods) yang harus disediakan oleh sektor
privat pula. Barang publik (public goods) dibidang kesehatan seperti pencegahan penyakit (menular),
penanggulangan wabah, atau perbaikan gizi sendiri menjadi tugas dan tanggung jawab Dinas Kesehatan,
bukannya Puskesmas. Lagi pula, jika Puskesmas di privatisasi, jelas akan menghemat anggaran
pemerintah, dapat menjadi sumber baru pendapatan daerah, sekaligus dapat meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan.
Adapun model atau jenis-jenis kerjasama / kemitraan yang umum dilakukan (selain
Pola Inti Plasma. Pola ini merupakan pola hubungan kemitraan antara kelompok mitra usaha
sebagai plasma dengan perusahaan inti yang bermitra. Contoh pola kerjasama ini adalah PIR (Perusahaan
Inti Rakyat), dimana perusahaan inti menyediakan lahan, sarana produksi, bimbingan teknis, manajemen,
serta pengolahan dan pemasaran hasil produksi. Sedangkan kelompok mitra usaha atau plasma (biasanya
petani) memenuhi kebutuhan perusahaan sesuai perjanjian yang disepakati.
Pola Subkontrak. Pola ini merupakan pola hubungan kemitraan antara suatu perusahaan dengan
kelompok mitra usaha yang memproduksi kebutuhan perusahaan sebagai bagian dari komponen
produksinya. Pola ini sering diterapkan antara perusahaan besar dengan perusahaan kecil.
Pola Dagang Umum. Pola ini merupakan pola hubungan kemitraan antara kelompok yang memasarkan
hasil dengan kelompok yang mensuplai kebutuhan / produksi tertentu. Kegiatan agrobisnis yang berlokasi
di Sukabumi dan Puncak, banyak menerapkan pola dagang umum ini.
Pola Keagenan. Pola ini merupakan pola hubungan kemitraan dimana usaha kecil diberi hak khusus untuk
memasarkan barang dan jasa dari usaha menengah atau usaha besar sebagai mitranya.
Waralaba. Pola ini merupakan pola hubungan kemitraan dimana suatu perusahaan memberikan hak
lisensi atau merek dagang perusahaannya kepada kelompok mitra usaha sebagai waralaba, dengan
disertai bantuan berupa bimbingan manajemen.
4. Penutup.
“bad governance” menjadi “good governance” yang menekankan kolaborasi antara pemerintah, sektor
swasta dan masyarakat madani atau civil society. Perubahan perilaku birokrasi adalah sebuah
keniscayaan dalam era otonomi luas dewasa ini. Sebab, sebaik apapun format kelembagaan jika tidak
ditunjang oleh perilaku yang berorientasi pada pelayanan publik, tetap tidak akan mampu menghasilkan
produktivitas yang tinggi.
Sesungguhnya tidak ada suatu pedoman baku dalam menetapkan suatu kebijakan tentang kerjasama
atau kemitraan bidang tertentu. Apa yang dikemukakan di bawah ini hanyalah suatu pertimbangan atau
kriteria logis yang dapat diterapkan untuk semua jenis kerjasama / kemitraan. Dalam hal ini, paling sedikit
terdapat 4 (empat) pertimbangan pokok untuk menggalang kerjasama antara sektor publik dan swasta atau
masyarakat.
1. Kriteria Kelembagaan
Dampak restrukturisasi terhadap perubahan kelembagaan instansi yang selama ini mengelola jenis
layanan tersebut.
Dampak restrukturisasi terhadap kepegawaian instansi yang selama ini mengelola/menyediakan jenis
layanan tersebut.
Kemampuan pemerintah untuk membiayai dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat akan layanan
tersebut. Dapat diukur dengan Rasio Antara Prediksi Total Biaya Operasional Yang Diperlukan (Jumlah
Masyarakat Yang Harus Dilayani x Rata-rata Biaya Per Orang) Terhadap Dana Pemerintah Yang Tersedia
Untuk Layanan Tersebut.
Kelayakan pasar dari jenis layanan suatu jenis layanan. Apakah jenis layanan tersebut laku atau tidak jika
dijual dengan tarif yang ditentukan.
Kontribusi net income (pendapatan total dikurangi biaya operasional) dari jenis layanan tersebut terhadap
PADS, jika dikelola pemerintah, dibandingkan dengan kontribusi pajak yang akan diterima terhadap PAD
jika layanan tersebut diserahkan kepada swasta.
Tarif yang dikenakan jika dikelola oleh pemerintah dibandingkan prediksi tarif yang akan dikenakan jika
dikelola oleh swasta.
Efisiensi dalam menyelenggarakan layanan, yang tercermin dari rasio antara total penerimaan terhadap
total biaya operasional.
Kualitas layanan saat ini dibandingkan dengan jika diselenggaran oleh swasta.
Kemudahan dan kesederhanaan prosedur pelayanan saat ini dibandingkan dengan prediksi jika layanan
tersebut diselenggarakan oleh swasta.
Adapun tahapan yang sebaiknya ditempuh untuk menggalang kerjasama kemitraan dengan swasta adalah
sebagai berikut (M. Jafar Hafsah, Kemitraan Usaha, Sinar Harapan, 2000):
4. Mengembangkan program.
5. Memulai pelaksanaan.
Daftar Bacaan:
Pratikno, Dr.,M.Soc.Sc (editor), 2007, Kerjasama antar Daerah; Kompleksitas dan Tawaran Format
Kelembagaan; Program S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah, UGM Yogyakarta
Tri Widodo W. Utomo, SH., MA, Makalah Pengembangan Kerjasama Pemerintah dengan Swasta dan
Masyarakat, disampaikan pada “Diklat Manajemen Pemerintahan” bagi Aparat Pemerintah Daerah
Kabupaten Bandung di Lembang, 24 Juni 2004)
[1] Makalah ini disajikan dalam acar diskusi publik dan launching LSN .
[2] Direktur Eksekutif LSN.
[3] UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Klausul:menimbang, point a.
[4] Baca Harian Media Indonesia Online, edisi Kamis 28 April 2011, topik: otonomi daerah yang
membakukan
[5] “efisiensi” adalah upaya pemerintah daerah melalui kerja sama untuk menekan biaya guna memperoleh suatu hasil
tertentu atau menggunakan biaya yang sama tetapi dapat mencapai hasil yang maksimal
[6] “efektivitas” adalah upaya pemerintah daerah melalui kerja sama untuk mendorong pemanfaatan sumber daya
para pihak secara optimal dan bertanggungjawab untuk kesejahteraan masyarakat
[7] “sinergi” adalah upaya untuk terwujudnya harmoni antara pemerintah, masyarakat dan swasta untuk melakukan
kerja sama demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
[8] “saling menguntungkan” adalah pelaksanaan kerja sama harus dapat memberikan keuntungan bagi masing-masing
pihak dan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat.
[9] “kesepakatan bersama” adalah persetujuan para pihak untuk melakukan kerja sama
[10] “itikad baik” adalah kemauan para pihak untuk secara sungguh-sungguh melaksanakan kerja sama.
[11] “mengutamakan kepentingan nasional dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”
adalah seluruh pelaksanaan kerja sama daerah harus dapat memberikan dampak positif terhadap upaya
mewujudkan kemakmuran, kesejahteraan masyarakat dan memperkokoh Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
[12] “persamaan kedudukan” adalah persamaan dalam kesederajatan dan kedudukan hukum bagi para
pihak yang melakukan kerja sama daerah.
[13] “transparansi” adalah adanya proses keterbukaan dalam kerja sama daerah.
[14] “keadilan” adalah adanya persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan para pihak dalam
melaksanakan kerja sama daerah.
[15] “kepastian hukum” adalah bahwa kerja sama yang dilakukan dapat mengikat secara hukum bagi para
pihak yang melakukan kerja sama daerah.
[16] Pasal 2 dan pasal 4 PP No.50 Tahn 2007
[17] PP No.50/2007
[18] Tri Widodo W. Utomo, SH., MA, Peneliti LAN dan mahasiswa Program Doktor di Department of International Cooperation
(DICOS), Graduate School of International Development (GSID), Nagoya University, Japan
http://boyanugerah.blogspot.com/2017/12/penguatan-kerja-sama-antar-daerah-guna.html
BAB I
PENDAHULUAN
1. Umum.
Salah satu perubahan penting dalam tata kelola pemerintahan pasca runtuhnya Orde
Baru adalah diberlakukannya kebijakan otonomi daerah sebagai pengganti tata kelola
pemerintahan masa lampau yang bersifat sentralistik atau berat di pusat. Lahirnya kebijakan
baru ini didasari oleh fakta empiris bahwasanya muncul ketidakpuasan dari beberapa daerah,
seperti Aceh dan Irian Jaya, dalam hal mana kekayaan dan potensi daerah yang mereka miliki
tidak memberikan signifikansi apa-apa bagi kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut.
Ketidakpuasan inilah yang menjadi pemicu munculnya upaya-upaya untuk memisahkan diri dari
Belajar dari sejarah, pemerintah pasca Orde Baru atau pemerintah era reformasi
menggagas sebuah tata kelola pemerintahan yang lebih efektif dan efisien, dinamakan sebagai
otonomi daerah. Definisi efektif dan efisien di sini adalah manfaat pengelolaan daerah, pertama
dan utama adalah dapat dirasakan oleh daerah itu sendiri untuk kemudian dapat
bangsa dan negara. Dengan metode ini, pemerintah dan masyarakat di daerah mendapat
jaminan bahwa tercapainya kesejahteraan daerah akan sangat ditentukan oleh hasil kerja keras
mereka sendiri dalam mengelola daerah. Metode ini juga menepis kekhawatiran bahwasanya
kerja keras pemerintah dan masyarakat daerah akan menguap sia-sia karena semua kekayaan
dan pendapatan daerah akan diambil oleh pusat, sedangkan mereka hanya mendapatkan
remah-remahnya saja.
Otonomi daerah didefinisikan sebagai hak, wewenang, serta kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
didefinisikan sebagai kewenangan untuk mengatur sendiri atau kewenangan untuk membuat
aturan guna mengurus daerah atau wilayah sendiri. Otonomi daerah memiliki berbagai tujuan,
pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka
masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Sebagai sebuah kebijakan, otonomi daerah memiliki dasar hukum. Otonomi daerah
diberlakukan di Indonesia melalui UU No. 2 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pada
tahun 2004, undang-undang ini digantikan dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Dasar perubahan ini adalah pertimbangan bahwa UU No. 2 Tahun 1999
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hingga saat ini telah mengalami beberapa kali
perubahan. Terakhir kali dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU
Kebijakan otonomi daerah secara implisit dan eksplisit memberikan hak kepada daerah
tersebut. Namun demikian, hak ini juga diikuti oleh tanggung jawab dan kewajiban yang
melekat. Konsepsi negara kesatuan yang dianut oleh Indonesia mensyaratkan adanya relasi
atau hubungan yang erat antar daerah guna bersama-sama menopang upaya pembangunan
nasional serta memperkokoh ketahanan nasional Indonesia. Relasi atau hubungan tersebut
secara legal formal dituangkan dalam kerangka kerja sama antar daerah.
Dalam konsepsi kerja sama antar daerah, ada ekspektasi atau harapan yang hendak
dicapai, baik oleh Pemerintah Daerah, maupun masyarakat daerah tersebut. Pertama,
menegaskan bahwa meskipun daerah memiliki otonomi sendiri-sendiri, kerja sama adalah
sebuah keniscayaan mengingat kerangka negeri ini adalah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Kedua, tidak semua daerah bisa memenuhi kebutuhannya sendiri-sendiri.
Merujuk kepada teori keunggulan komparatifnya David Ricardo, setiap negara memiliki
keunggulannya masing-masing. Oleh sebab itu, antar negara harus bekerja sama dalam bentuk
perdagangan internasional. Hal ini juga berlaku pada level nasional. Suatu daerah yang miskin
sumber daya alam, misalnya, dapat memenuhi kebutuhan masyarakatnya dengan menjalankan
perdagangan dengan daerah lain. Sebaliknya, suatu daerah yang kaya sumber daya alam,
namun lemah dalam hal penguasaan teknologi, juga membutuhkan uluran tangan dari daerah
lain untuk membantu pengelolaan sumber daya alam di daerahnya, baik melalui pertukaran
antar pemerintah daerah. Majunya suatu daerah tidak akan berarti apa-apa apabila daerah lain
di sekitarnya tidak dapat maju dan berkembang. Dalam kerangka yang lebih besar,
ketimpangan antar daerah menimbulkan kerawanan dalam hal ketahanan nasional serta
Permasalahannya mungkin hanya berlokus di suatu daerah, namun dalam hal penanganan
membutuhkan kerja sama yang melewati batas-batas administratif. Sebagai contoh, banjir dan
kemacetan di Provinsi DKI Jakarta, tidak bisa diselesaikan hanya oleh Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta saja. Dibutuhkan kerja sama yang melampaui batas-batas wilayah administratif
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, seperti melibatkan Pemerintah Bogor, Depok, Tangerang,
serta Bekasi.
Terakhir, fakta empiris menunjukkan bahwasanya maju mundurnya suatu daerah tidak
terlepas dari relasi yang dibangun dengan daerah lain, khususnya daerah-daerah yang
berdekatan. Sebagai contoh, bisa dilihat dalam relasi antar kabupaten di Provinsi Sumatera
Selatan. Lancarnya pasokan logistik via jalan darat ke Baturaja, Kabupaten Ogan Komering
Ulu, sangat ditentukan oleh kapasitas Pemerintah Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur dalam
menyediakan prasarana jalan dan jembatan yang memadai. Tingginya daya beli masyarakat
Kota Batam, tidak terlepas dari banyaknya lapangan pekerjaan yang disediakan oleh
Pemerintah Kota Bintan dan Karimun di Provinsi Kepulauan Riau. Dalam konteks ini, terlepas
apakah faktor yang mendasari sifatnya by given atau by design, interdependensi dalam relasi
Secara legal formal, kerja sama antar daerah diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintah Daerah, Bab XVII tentang Kerja Sama Daerah dan Perselisihan, di mana
kerja sama antar daerah dibagi menjadi dua, yaitu kerja sama wajib dan sukarela. Kerja sama
wajib sebagaimana diatur dalam Pasal 364, merupakan kerja sama antar daerah
sama sukarela sebagaimana diatur dalam Pasal 365, dilaksanakan oleh daerah yang
berbatasan atau tidak berbatasan untuk penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah namun dipandang lebih efektif dan efisien jika dilaksanakan dengan
bekerja sama.[1]
Pengaturan kerja sama antar daerah sebagaimana termaktub dalam UU No. 23 Tahun
2014 tentang Pemerintah Daerah mengandung visi yang hendak dicapai. Visi tersebut selaras
dengan ekspektasi Pemerintah Daerah serta masyarakat daerah seperti yang disinggung pada
paragraf sebelumnya.
Pertama, dalam kenyataannya, kita mengenal istilah batas wilayah administratif (merujuk
peraturan perundangan), serta batas wilayah fungsional (merujuk hubungan sosial ekonomi
lintas batas administratif). Permasalahannya, meskipun suatu daerah memiliki batas wilayah
kerapkali dihadapkan pada permasalahan dan kepentingan yang muncul sebagai akibat
hubungan sosial budaya, serta ekonomi yang melampaui batas-batas wilayah administratif
tersebut. Di sinilah kerja sama antar daerah menjadi tidak hanya sekedar urgensi, tapi juga
solusi.
Kedua, untuk mencapai kekuatan yang lebih besar dalam rangka memajukan masyarakat
di daerah masing-masing, diperlukan sinergi antar pemerintah daerah melalui kerja sama.
Ketiga, dengan kerja sama, pemerintah daerah dapat mencapai kemajuan yang lebih tinggi.
Keempat, pihak-pihak yang bekerja sama dapat menjadi lebih berdaya. Dengan kerja sama,
masing-masing daerah yang terlibat, memiliki posisi tawar yang lebih baik atau lebih mampu
Kelima, pihak-pihak yang bekerja sama dapat memitigasi serta menangani konflik. Melalui
kerja sama, daerah-daerah yang notabene berkompetisi satu sama lain atau bahkan sudah
terjebak arus konflik dapat menurunkan tensi masing-masing dengan meletakkan ego masing-
masing, bersikap lebih toleran, serta mengambil pembelajaran dari konflik di masa lampau.
Keenam, masing-masing pihak yang bekerja sama lebih merasakan keadilan. Keadilan di sini
maksudnya adalah, dalam kerangka kerja sama yang digagas bersama, masing-masing pihak
memiliki akses yang sama terhadap informasi yang dibuat atau digunakan. Melalui hal ini,
tercipta transparansi dalam kerja sama sehingga tidak akan ada pihak yang merasa dirugikan.
Prinsipnya dalam kerja sama, diutamakan visi untuk maju secara bersama-sama.
Ketujuh, pihak yang bekerja sama akan memelihara keberlanjutan penanganan bidang-
bidang yang dikerjasamakan. Melalui ini, pihak-pihak yang bekerja sama memiliki komitmen
yang kuat satu sama lain, memelihara hubungan yang menguntungkan satu sama lain secara
berkelanjutan.
Terakhir, kerja sama yang dibangun antar daerah diharapkan mampu mengikis ego
daerah. Bisa dipahami bahwa suatu daerah dapat terjebak pada ego sektoral. Ego-ego ini kerap
muncul ketika daerah tersebut merasa mampu memenuhi kebutuhan daerahnya sendiri. Faktor
lainnya adalah, upaya untuk membuktikan kepada daerah induk sebelumnya, bahwa mereka
mampu berdiri sendiri (independen) tanpa tergantung dengan pihak lain. Kondisi ini sangat
mengkhawatirkan apabila dibiarkan karena dapat berimplikasi negatif kepada ketahanan daerah
dan nasional. Melalui kerja sama, manfaat yang dicita-citakan dapat diraih bersama,
Selalu saja ada kesenjangan antara apa yang diharapkan (das sollen) dengan apa yang
senyatanya (das sein). Motivasi luhur yang tertuang dalam regulasi kerja sama antar daerah
yang digagas oleh pemerintah tidak selamanya berjalan mulus. Dengan kata lain, banyak
halangan dan rintangan sehingga output dan outcome yang hendak dicapai, tidak diraih dengan
optimal.
Sebagian besar kerja sama di Indonesia terdikotomi dalam kerja sama ekonomi atau
pelayanan publik. Mengingat kebutuhan kerja sama sudah merambah pada pelayanan publik
dan ekonomi, ke depan sebaiknya cakupan kerja sama tidak sebatas pada salah satu bidang
saja seperti yang selama ini terjadi, tetapi mencakup kedua bidang utama secara keseluruhan.
Perlunya konsistensi dan dukungan kebijakan yang tegas mulai dari tingkat nasional, provinsi
sampai ke tingkat pelaksanaan kerja sama antar kabupaten/kota memerlukan skenario yang
tegas yang pada intinya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang merupakan salah
Fenomena daerah pemekaran baru yang saat ini bermunculan ternyata tidak sedikit yang
diharapakan setiap kebutuhan masyarakat yang harus di penuhi oleh pemerintah dapat
Euforia otonomi daerah seakan-akan mewarnai setiap daerah pemekaran baru, sehingga
menimbulkan ego sektoral baru dalam kerja sama antar daerah. Keinginan untuk mandiri
setelah lepas dari daerah induknya menimbulkan keenganan daerah pemekaran baru ini untuk
melaksanakan kerja sama antar daerah dengan daerah sekitarnya terutama daerah induknya.
Padahal, apabila ditelisik lebih jauh, manfaat kerja sama antar daerah ini akan lebih terasa bagi
daerah-daerah pemekaran baru yang masih dalam kondisi “belajar” menjadi daerah yang lebih
maju dan mampu mensejahterakan masyarakatnya. Ke depannya, tidak akan muncul wacana
Jarang sekali kita dengar pemberitaan mengenai kerja sama antar daerah yang baru saja
diinisiasi yang mampu mencapai prestasi yang signifikan. Hal ini seringkali menimbulkan
pertanyaan di benak kita tentang implementasi kerja sama antar daerah. Permasalahannya
mungkin terletak pada kurangnya sosialisasi dan diseminasi kebijakan kerja sama antar daerah
ini ke level masyarakat, sehingga masyarakat setempat bahkan tidak mengetahui kalau
daerahnya telah melakukan kerja sama antar daerah dengan daerah sekitarnya.
Belum terbentuknya suatu badan khusus yang menangani kerja sama antar daerah juga
menimbulkan permasalahan tersendiri, selain pengawasan dan evaluasi kinerja kerja sama
antar daerah, proses inventarisir kerja sama antar daerah yang telah dilakukan di seluruh
Indonesia juga belum tersedia. Padahal, tidak cukup sulit untuk mengumpulkan
beberapa Memorandum of Understanding (MoU) kerja sama antar daerah di berbagai daerah
apabila badan ini telah dibentuk. Badan ini pula nantinya yang akan membangun
sebuah database yang berkaitan dengan kerja sama antar daerah, baik itu potensi,
pelaksanaan maupun monitoring dan evaluasi kerja sama antar daerah itu sendiri.
Banyak manfaat yang bisa dipetik dari kerja sama antar daerah dan kita menunggu
melakukan penguatan kerja sama antar daerah. Penguatan kerja sama antar pemerintah
yang adil, makmur, serta sejahtera seperti yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea
ke-4.
Dari latar belakang yang telah diuraikan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
upaya kerja sama antar daerah saat ini masih perlu dioptimalkan. Permasalahan-
permasalahan bangsa dan negara yang disebabkan oleh kerja sama antar daerah masih sering
terjadi, sehingga secara langsung maupun tidak langsung dapat mengganggu upaya
nasional.
Oleh karena itu, maka rumusan pokok masalah dalam tulisan ini adalah : Kerja sama
Antar Pemerintah Daerah saat ini kenyataannya belum optimal, sehingga kesejahteraan
masyarakat belum meningkat yang pada akhirnya tujuan pembangunan nasional belum
Faktor penyebab terjadinya kondisi ini adalah adanya persaingan dan ego daerah di
mana semangat otonomi masih dipandang sempit dan kedaerahan. Setiap daerah memacu
perkembangan daerahnya sendiri tanpa menimbang kemampuan dan kebutuhan wilayah lain.
Kondisi ini menghambat prakarsa daerah untuk bekerja sama dengan daerah lain. Terlebih lagi,
tidak jarang pelayanan publik yang diusahakan kerja sama antar daerah lebih banyak merugi
dan disubsidi APBD sehingga kurang menarik untuk dikerjasamakan. Pemerintah daerah
kemudian lebih memilih bekerja sama dengan pihak swasta karena menganggap kerja sama
dengan daerah lain justru lebih rumit dan rawan terjadi konflik. Selain itu, belum ada mekanisme
Peraturan atau regulasi memegang peran kunci sebagai payung hukum (legalitas) bagi
pemerintah pusat maupun daerah dalam menjalankan kebijakannya. Karena memegang peran
kunci, regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah, sudah selaiknya mengacu pada
regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Sebaliknya, pemerintah pusat seyogianya
menelurkan regulasi yang benar-benar mengakomodir apa yang menjadi kebutuhan di daerah.
Jangan sampai regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah pusat justru menjauhkan kapasitas
relevansinya. Tidak ada sinergi dan harmonisasi antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah. Sebagai contoh, banyak pembangunan fisik di daerah yang dibiayai oleh Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), namun tidak mengacu pada apa yang menjadi
diseminasikan ke daerah.
Dimensi baru kerja sama antar daerah muncul melalui inisiatif pemerintah pusat melalui
Daerah Tertinggal. Selama ini kerja sama antar daerah biasanya terbentuk atas inisiatif daerah
sendiri. Masih sangat kurang fasilitasi atau inisiasi dari pemerintah pusat maupun pemerintah
provinsi. Peran Pemerintah sampai saat ini baru dalam bentuk penyusunan PP No. 50 Tahun
2007 mengenai Tata Cara kerja sama antar daerah. Di pemerintah pusat sendiri, kerja sama
antar daerah belum menjadi satu inovasi prioritas untuk didiseminasikan ke daerah.
d. Belum ada database yang cukup baik mengenai kerja sama antar daerah di seluruh
Indonesia.
Sebagian besar daerah cenderung tidak terlalu memperhatikan kerja sama antar daerah
dikarenakan tidak tahu atau tidak menyadari potensi yang bisa dikerjasamakan. Pemerintah
tersebut. Database“potensi kerja sama” dapat menjadi instrumen yang penting dalam
mendorong kerja sama daerah. Adanya kerja sama antar daerah seharusnya didukung oleh
pemerintah pusat atau provinsi untuk mengantisipasi jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan
melalui badan kerja sama provinsi atau pusat yang selanjutkan disimpan melalui database yang
dapat diakses oleh semua pihak, sehingga hal ini dapat dijadikan acuan daerah lain untuk
a. Maksud.
Adapun maksud penulisan Kertas Karya Perorangan (Taskap) ini adalah memberi
gambaran tentang bagaimana memperkuat kerja sama antar pemerintah daerah, dan
bagaimana keterkaitannya dengan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam
b. Tujuan.
(stakeholder) dalam menentukan kebijakan, strategi dan upaya memperkuat kerja sama antar
Penulisan Kertas Karya Perorangan (Taskap) ini disusun dengan ruang lingkup
pembahasan tentang Penguatan Kerja Sama Antar Pemerintah Daerah Guna Meningkatkan
Kesejahteraan Masyarakat Dalam Rangka Pembangunan Nasional dengan tata urut sebagai
berikut :
a. BAB I. Pendahuluan.
Bagian ini berisi uraian secara umum mengenai latar belakang pemikiran yang mendasari
penulisan, perumusan pokok masalah dan pokok-pokok persoalan, maksud dan tujuan, ruang
Bab ini menguraikan tentang paradigma nasional yang terdiri dari Pancasila sebagai Landasan
Idiil, UUD NRI tahun 1945 sebagai Landasan Konstitusional, Wawasan Nusantara sebagai
Landasan Visional dan Ketahanan Nasional sebagai Landasan Konsepsional serta peraturan
perundang-undangan yang terkait sebagai Landasan Operasional dan Landasan Teori serta
Tinjauan Pustaka.
c. BAB III. Faktor-faktor Lingkungan Strategis yang Berpengaruh.
Bab ini berisi uraian mengenai isu-isu strategis eksternal yang mencakup isu-isu strategis
internasional dan isu-isu strategis internal (nasional) yang berpengaruh pada kerja sama antar
daerah. Kajian yang komprehensif akan menemukan berbagai kendala dan peluang serta
Bab ini berisikan tinjauan dan deskripsi kondisi kerja sama antar pemerintah daerah, implikasi
kerja sama antar pemerintah daerah terhadap meningkatnya kesejahteraan masyarakat serta
Pada bab ini berisi prospektif dari kerja sama antar pemerintah daerah yang diharapkan dapat
Bagian ini merupakan konsepsi yang berisikan formulasi kebijakan yang akan disusun dan
diimplementasikan, strategi yang akan digunakan dan upaya-upaya yang akan dilakukan untuk
a. Metode.
Metode yang digunakan dalam penulisan Taskap ini adalah deskriptif analisis di mana
data diperoleh melalui telaahan terhadap berbagai sumber pustaka yang relevan, seperti
dokumen, buku-buku, makalah, artikel, majalah serta surat kabar baik dalam bentuk hard
copy maupunsoft copy yang selanjutnya dianalisis secara sistematis dan selanjutnya disajikan
b. Pendekatan.
Ketahanan Nasional dalam rangka merumuskan kebijakan, strategi dan upaya meningkatkan
serta untuk memperkuat kerja sama antar pemerintah daerah guna meningkatkan
6. Pengertian-Pengertian.
a. Kerja Sama.
Kerja sama atau kooperasi merujuk pada praktik seseorang atau kelompok yang lebih
besar yang bekerja di khalayak dengan tujuan atau kemungkinan metode yang disetujui
bersama secara umum, alih-alih bekerja secara terpisah dalam persaingan. Kerja sama
umumnya mencakup paradigma yang berlawanan dengan kompetisi. Kerja sama dianggap
sebagai bentuk yang ideal dalam pengelolaan urusan perorangan. Ragam bentuk kerja sama
dari konsep martabat manusia yang dapat dilihat dari keempat indikator, yakni rasa aman,
Sedangkan menurut Kolle (1974) dan Bintarto (1989), kesejahteraan dapat diukur dari
beberapa aspek kehidupan yakni dari segi materi, segi fisik, segi mental, serta segi spiritual.
Todaro (2003) mengemukakan bahwa kesejahteraan dapat diukur dari tingkat hidup
masyarakat seperti tingkat kemiskinan, tingkat kesehatan, tingkat pendidikan, serta tingkat
produktivitas masyarakat.
c. Pembangunan.
Siagian (1994) memberikan pengertian tentang pembangunan sebagai suatu usaha atau
rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar
oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan
bangsa.[4]
Ginanjar Kartasasmita (1994) memberikan pengertian yang lebih sederhana, yakni sebagai
proses perubahan kearah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana.
Pembangunan adalah proses perubahan yang mencakup seluruh sistem sosial, seperti politik,
(Alexander, 1994).[5]
budaya.[6] Sama halnya dengan Portes, Deddy T. Tikson (2005) menjelaskan bahwa
pembangunan nasional dapat pula diartikan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya
secara sengaja melalui kebijakan dan strategi menuju arah yang diinginkan.[7]
d. Otonomi Daerah
Otonomi Daerah dapat diartikan sebagai kewenangan yang diberikan
kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusanpemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
menurut aspirasimasyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil
guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan
terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan
peraturan perundang undangan[8].
BAB II
LANDASAN PEMIKIRAN
7. Umum.
Otonomi daerah yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam
harus disikapi dengan cermat. Di satu sisi, otonomi daerah memberikan keleluasaan kepada
pemerintah daerah untuk berkreasi, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga
monitoring dan evaluasi segala kebijakan daerah dalam rangka mencapai masyarakat daerah
kapasitas sumber daya manusia di daerah, serta pola-pola kerja sama yang dijalin dengan
daerah lain sebagai perwujudan altruisme daerah dalam menyukseskan pembangunan nasional
Ditelaah dari sisi empiris, tidak ada daerah yang mampu memenuhi kebutuhannya
sendiri tanpa menjalin kerja sama dengan daerah lain, utamanya daerah-daerah yang
berbatasan secara langsung. Kondisi ini terjadi karena setiap daerah memiliki ketergantungan
satu sama lain, suka tidak suka. Logika ketergantungan ini memiliki rumus sebab-akibat.
komparatif tersebutlah yang menyebabkan ada surplus di satu sisi serta kekurangan di sisi lain.
Untuk menyikapi kekurangan, suatu daerah jamaknya melakukan kerja sama dalam bentuk
lainnya. Sebagai contoh, Provinsi Banten dan Sumatera Selatan sangat tergantung dengan
Provinsi Lampung dalam menjamin rantai logistik di daerah masing-masing. Hal ini disebabkan
karena posisi geografis Provinsi Lampung menjadikannya daerah yang harus dilalui, baik dari
mungkin pembangunan nasional dapat tercapai apabila ada disparitas sosial dan ekonomi antar
daerah. Oleh sebab itu, pemerintah pusat memproduksi payung hukum yang mengatur kerja
sama antar daerah. Dalam konteks Indonesia, payung hukum tersebut bernama UU No. 23
terwujudnya kerja sama yang sinergis dan harmonis antar daerah. Namun demikian, fakta di
lapangan menunjukkan bahwa apa yang terjadi tidak selalu berjalan sesuai dengan harapan.
Layaknya kebijakan publik lainnya, kerja sama antar daerah tidak selalu berjalan dengan mulus.
Ada kendala yang muncul dari internal daerah itu sendiri dan kendala yang berasal dari
eksternal daerah.
menghambat tercapainya tujuan pembangunan daerah serta nasional dalam skala yang lebih
besar antara lain, pertama, konsepsi kerja sama antar daerah belum dianggap sebagai solusi
dan inovasi dalam penyelenggaraan pembangunan daerah. Hal ini muncul karena daerah
masih menganut pola pikir individualistis sehingga lebih mengedepankan ego sektoral.
Jika dianalisa lebih dalam lagi, kondisi ini disebabkan oleh faktor idiosinkratik kepala
daerah yang bisa saja ingin daerahnya lebih menonjol dibandingkan dengan daerah lain atau
terjebak padavested interest sehingga konsepsi kerja sama antar daerah dianggap kurang
menguntungkan. Akan lebih menguntungkan apabila melakukan kerja sama dengan pihak
swasta.
Kedua, ketimpangan peraturan pusat dan daerah. Kondisi ini bisa terjadi dikarenakan
tidak ada komunikasi yang baik antara kedua pihak. Akibatnya kebijakan atau regulasi yang
ditelurkan satu sama lain tidak memiliki kohesi dan koherensi. Sudah pasti apa yang menjadi
Ketiga, kurangnya upaya dari pemerintah pusat serta pemerintah provinsi untuk
menyosialisasikan kebijakan kerja sama antar daerah. Sebagian besar kerja sama antar daerah
terjalin atas inisiasi dari daerah sendiri. Di satu sisi, kondisi ini cukup baik karena merupakan
perwujudan bentuk kepekaan daerah atas apa yang menjadi kebutuhannya. Namun di sisi lain,
kondisi ini menunjukkan bahwa ada absensi dari pemerintah pusat dan pemerintah provinsi
dalam mengoptimalisasi kuantitas kerja sama antar daerah. Setidaknya ada asupan yang
memadai dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam bentuk analisa kualitatif dan
Permasalahan ketiga sangat terkait dengan permasalahan keempat, yakni tidak adanya
pangkalan data (database) yang merekam eksistensi kerja sama antar daerah serta melakukan
pengkajian yang bersifat strategik dan komprehensif mengenai potensi-potensi kerja sama
antar daerah. Seyogianya permasalahan ini tidak akan menjadi pelik apabila pemerintah pusat
atau pemerintah provinsi mau dan mampu menjalankan apa yang seharusnya menjadi
porsinya.
Berbagai permasalahan tersebut mengakibatkan kerja sama yang terjalin antar daerah
bersifat lemah dan kurang optimal. Akibatnya kesejahteraan masyarakat yang menjadi tujuan
dilaksanakannya kerja sama antar daerah juga tidak tercapai secara maksimal. Oleh sebab itu
Penguatan kerja sama antar daerah membutuhkan pedoman atau ketentuan agar
memiliki peta jalan yang jelas. Pedoman dan ketentuan tersebut menjadi landasan pemikiran
pada pemecahan masalah dalam penguatan kerja sama antar daerah guna meningkatkan
Landasan pemikiran pemecahan masalah pada penguatan kerja sama antar daerah
berupa paradigma nasional (Pancasila, UUD NRI 1945, Wawasan Nusantara, serta Ketahanan
pisau analisis tersebut, permasalahan yang sudah diidentifikasi dapat digagas solusi atau
pemecahan masalahnya.
8. Paradigma Nasional.
Sebagai dasar negara sekaligus landasan idiil bangsa Indonesia, Pancasila tidak hanya
merupakan pedoman dasar bagi seluruh aktivitas bangsa dan negara, tetapi juga
berkedudukan sangat tinggi dalam fenomena kehidupan masyarakat serta memiliki kekuatan
integratif bagi seluruh komponen bangsa yang saling berbeda, baik secara vertikal maupun
horizontal. Yang selanjutnya berkembang dalam wujud sikap dan perilaku atau tindakan-
Oleh karena itu Pancasila sebagai ideologi negara harus dapat memberikan visi, wawasan
atau pedoman yang normatif bagi seluruh sendi kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Di samping itu Pancasila sebagai ajaran mengukuhkan nilai–nilai Ke Tuhanan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan, Persatuan dan Kesatuan, Kedaulatan Rakyat, dan Keadilan
Sosial.
Idealisme Pancasila sebagai landasan idiil dalam paradigma nasional mendasari berbagai
perumusan peraturan perundang-undangan yang nilai dasarnya tercermin dari pasal-pasal UUD
undangan sebagai penjabaran UUD 1945 yang telah disesuaikan dengan perkembangan
lingkungan.
Nilai–nilai yang terkandung di dalam Pancasila tersebut menjadi landasan cara pandang
dalam merancang dan mengimplementasikan kebijakan, strategi dan upaya penguatan kerja
sama antar daerah guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam rangka pembangunan
nasional.
Wawasan nusantara merupakan cara pandang dan sikap bangsa Indonesia yang
bersumber dari Pancasila dan UUD 1945, bertolak dari pemahaman kesadaran dan keyakinan
tentang diri dan lingkungannya yang beragam dan dinamis dengan mengutamakan persatuan
dan kesatuan bangsa, kesatuan wilayah yang utuh menyeluruh, serta tanggung jawab terhadap
tujuan nasional.
Wawasan nusantara dijadikan dasar dalam penguatan kerja sama antar daerah.
Wawasan Nusantara sebagai paradigma nasional juga mempunyai cakupan kesatuan politik,
kesatuan ekonomi, kesatuan sosial dan ekonomi, kesatuan sosial dan politik, serta kesatuan
kesatuan bangsa dalam wilayah NKRI yang Bhinneka Tunggal Ika, mengandung arti bahwa
seluruh aspek kehidupan masyarakat dan proses penguatan kerja sama antar daerah oleh
negara harus mengandung visi dan misi untuk mewujudkan kesejahteraan dan
9. Peraturan Perundang-Undangan.
a. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 22 Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Tata
Dikeluarkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 22 Tahun 2009 tentang
Petunjuk Teknis Tata Cara Kerja Sama Daerah ini merupakan tindak lanjut atas ketentuan
Pasal 7 huruf e Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Kerja Sama
Daerah. Dalam Bab I mengenai Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 3 menyebutkan bahwa kerja
sama antar daerah yang selanjutnya disingkat KSAD adalah kesepakatan antara gubernur
dengan gubernur atau gubernur dengan bupati/walikota atau antara bupati/walikota dengan
bupati/walikota lain yang dibuat secara tertulis dan menimbulkan hak dan kewajiban. Sebagai
pelaksana, dibentuk Tim Koordinasi Kerja Sama Daerah yang selanjutnya disingkat TKKSD,
yang dibentuk kepala daerah untuk membantu kepala daerah dalam menyiapkan kerja sama
antar daerah.
b. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ini ditetapkan dengan
merujuk kepada Pasal 18 ayat (7) UUD NRI 1945 bahwa susunan dan tata cara
serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip
demokrasi, pemerataan, keadilan dan kekhasan suatu negara dalam sistem Negara Kesatuan
daerah dan antar daerah, serta peluang dan tantangan persaingan global dalam kesatuan
tahapan ketiga dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025
yang telah ditetapkan melalui Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007. Pembangunan nasional
kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan Tujuan
sumber kekayaan alam dan sumber daya manusia yang berkualitas. Prioritas Pembangunan
Nasional menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, mandiri dalam bidang ekonomi, dan
berkepribadian dalam kebudayaan, dirumuskan sembilan agenda prioritas yang disebut NAWA
CITA.
Dalam mendukung tercapainya pembangunan nasional, kerja sama antar daerah
sangatlah dibutuhkan. Kerja sama antar pemerintah daerah juga merupakan salah satu upaya
untuk memperkokoh ketahanan daerah serta ketahanan nasional dalam sekup yang lebih
besar.
Kerja sama antar daerah adalah suatu kerangka hubungan kerja yang dilakukan oleh dua
daerah atau lebih dalam posisi yang setingkat dan seimbang untuk mencapai tujuan bersama
Patterson (2008) dalam Warsono (2009:118) mendefinisikan kerja sama antar daerah
sebagai suatu kesepakatan antara dua pemerintah atau lebih untuk mencapai tujuan bersama,
membantu individu dan kelompok untuk mencapai standar hidup dan kesehatan yang
memuaskan dan relasi-relasi pribadi dan sosial yang memungkinkan mereka mengembangkan
yang terorganisasi dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan dari segi sosial melalui
terorganisir dari usaha-usaha pelayanan sosial dan lembaga-lembaga sosial untuk membantu
individu-individu dan kelompok dalam mencapai tingkat hidup serta kesehatan yang
memuaskan.
c. Teori Pembangunan.
alternatif yang lebih banyak secara sah kepada setiap warga negara untuk memenuhi dan
mencapai aspirasinya yang paling manusiawi (Nugroho dan Rochmin Dahuri, 2004). Ginanjar
Menurut Siagian (1994), pembangunan adalah suatu usaha atau rangkaian usaha
pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa,
negara dan pemerintahan menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa. Sedangkan
menurut Alexander (1994), pembangunan adalah suatu proses perubahan yang mencakup
seluruh sistem sosial, seperti politik, ekonomi, infrastruktur, pertahanan, pendidikan, teknologi,
Dalam makalah tersebut dijelaskan bahwa kerja sama antar daerah merupakan upaya
yang dilakukan oleh dua atau lebih daerah untuk mencapai tujuan bersama sesuai dengan
kebutuhan bersama. Dalam konteks pembangunan wilayah atau kewilayahan, kerja sama antar
daerah bertujuan untuk mencapai sinergi antar daerah dalam mengatasi kesenjangan antar
antar daerah dengan tata cara kerja sama yang sesuai dengan arahan kebijakan dan ketentuan
Lebih lanjut dijelaskan bahwa kebutuhan akan kerja sama antar daerah baru dirasakan
oleh daerah pada dekade 1990-an. Muncul inisiatif dari daerah perkotaan sekunder Indonesia
untuk melaksanakan kerja sama pada daerah yang berbatasan. Pada mulanya, pemicu dari
kebutuhan ini lebih pada keperluan akan integrasi pengelolaan infrastruktur perkotaan. Namun
pada dinamikanya, kerja sama ini berkembang pada aspek-aspek yang lebih luas.
Denny memberikan contoh beberapa kerja sama yang diinisiasi oleh daerah antara lain
sebagai berikut:
- Surakarta-Boyolali-Sukoharjo (Subosuko).
- Yogyakarta-Sleman-Bantul (Kartamantul).
b. Makalah Yeremias T. Keban, Dosen Tetap Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fisipol
Universitas Gadjah Mada (UGM) berjudul “Kerja Sama Antar Pemerintah Daerah Dalam
Kerja sama antar pemerintah daerah merupakan suatu isu yang perlu diperhatikan oleh
pemerintah saat ini mengingat perannya dalam menentukan ketahanan negara dan melihat
begitu banyak masalah dan kebutuhan masyarakat di daerah yang harus diatasi atau dipenuhi
model kerja sama yang tepat, serta prinsip-prinsip yang menuntun keberhasilan kerja sama
tersebut. Melihat peran strategis yang dimainkan oleh provinsi dalam sistem negara kesatuan
ini, maka peningkatan peran dan kemampuan provinsi dalam mekanisme kerja sama ini,
termasuk penyesuaian struktur dan fungsi kelembagaannya, harus menjadi agenda penting
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, konsepsi otonomi daerah dipersepsikan
oleh kepala daerah sebagai momentum untuk memenuhi kebutuhan daerahnya sendiri-sendiri
Kondisi ini menimbulkan implikasi negatif antara lain menguatnya ego daerah, munculnya
sentimen primordial, konflik antar daerah dan penduduk, eksploitasi sumber daya alam secara
berlebihan, serta maraknya praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme seperti pada masa
lampau, yang mana dalam sekup yang lebih besar dapat menjadi penghambat dalam mencapai
Identifikasi masalah dalam pelaksanaan otonomi daerah dan kerja sama antar pemerintah
daerah dalam makalah ini sangat berguna sebagai informasi dan bahan rujukan dalam
kerja sama antar pemerintah daerah, terlebih lagi dalam makalah juga disajikan informasi
secara akademis mengenai ontologis, epistemologis, serta aksiologis konsepsi kerja sama serta
manfaat dan korelasinya jika diimplementasikan dalam konteks pemerintahan daerah sebagai
BAB III
FAKTOR-FAKTOR LINGKUNGAN STRATEGIS YANG BERPENGARUH
12. Umum
Indonesia selain berstatus sebagai bangsa dan negara yang berdaulat, juga berstatus
sebagai bagian dari sistem internasional dan masyarakat global. Berbicara dari aspek sistem
internasional, artinya berbicara tentang posisi Indonesia sebagai entitas politik yang menjalin
interaksi dengan negara berdaulat lainnya. Sedangkan dari aspek masyarakat global, artinya
berbicara tentang altruisme bangsa Indonesia sebagai entitas sosial dan budaya yang tidak
Oleh sebab itu, Indonesia tidak kedap dari berbagai pengaruh yang bersifat eksternal,
baik dari aktor negara (negara dan bangsa berdaulat lainnya), maupun aktor-aktor non-negara
pemberontak, teroris, dan lain-lain). Secara umum, pengaruh yang bersifat eksternal bisa
kemudahan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain dalam waktu singkat, serta
pengaruh pihak eksternal terhadap situasi dan kondisi di level domestik Indonesia. Arus
globalisasi yang masif ini memberikan implikasi yang bersifat positif, sekaligus negatif. Oleh
sebab itu, dibutuhkan kecermatan pemerintah dan masyarakat Indonesia dalam menyikapinya,
agar jangan sampai globalisasi menjadi faktor penghambat pembangunan nasional di tanah air.
Fenomena otonomi daerah merupakan salah satu contoh bahwa isu strategis di tanah
air tidak pernah terlepas dari pengaruh yang bersifat eksternal, baik dari level regional, maupun
global. Otonomi daerah yang memberikan kewenangan besar kepada pemerintah daerah untuk
mengelola wilayahnya sendiri menjadi sisi yang paling rentan mendapatkan pengaruh negatif
dari pihak luar. Namun demikian, apabila pengaruh tersebut bersifat konstruktif, dapat menjadi
Dalam tataran empiris, beberapa contoh pengelolaan daerah yang baik di negara lain,
termasuk lesson learned dari negara-negara yang berbeda sistem pemerintahannya (menganut
diterapkan di daerah masing-masing, sesuai dengan kapasitas sumber daya yang dimiliki.
Namun demikian, anasir negatif dari pihak luar, seperti pengaruh dan dorongan untuk
memerdekakan diri (contoh kasus Provinsi Papua), terlepas dari wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), menjadi poin serius yang harus dimitigasi sedini mungkin.
Dapat disimpulkan bahwa kondisi eksternal, baik yang tercipta dari relasi yang sifatnya
bilateral, trilateral, regional, bahkan global dapat berimplikasi terhadap situasi dan kondisi di
level domestik Indonesia, termasuk dalam konteks otonomi daerah dan kerja sama antar
daerah. Faktor-faktor internalpun tidak bisa diabaikan, baik yang sifatnya dinamis, seperti
ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan, maupun yang sifatnya statis,
Pengelolaan yang sifatnya intermestik (relasi antara domestik dan internasional) dengan
mengacu pada empat konsensus bangsa sebagai pedoman, menjadi kata kunci agar setiap
kebijakan mampu berjalan segaris dengan apa yang menjadi tujuannya, termasuk kerja sama
antar daerah guna mendukung pembangunan nasional dalam rangka ketahanan nasional.
a. Lingkungan Global
mewujudkan tata dunia yang tertib dan damai. Kontestasi pertama terjadi pada mereka yang
menganut paham realisme dengan mereka yang menjadikan liberalisme sebagai ideologi.[10]
Kaum realis berpandangan bahwa negara ibarat manusia, bersifat individualistis dan
selalu berorientasi pada apa yang menjadi kebutuhan diri sendiri. Agar dapat bertahan hidup,
dibutuhkan kapasitas yang besar sehingga dapat memenangkan kompetisi dengan negara
lainnya. Mereka yang menganut paham ini selalu berpegang pada pada prinsip dan pandangan
bahwasanya manusia (negara) adalah animus dominandi (makhluk yang selalu ingin
mendominasi), serta homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesamanya). Sebagai
kekerasan, seperti kompetisi, konflik, bahkan perang untuk mencapai kepentingan nasionalnya.
Berbeda dengan kaum realis, kaum liberalisme percaya bahwa ada sisi altruisme dalam
diri manusia (negara). Tidak selamanya manusia bisa memenuhi kebutuhannnya sendiri.
Manusia butuh untuk bersosialisasi serta menjalin relasi dengan manusia lainnya. Dalam
konteks negara, tidak ada negara yang mampu hidup sendiri, terisolasi dari negara lainnya.
Untuk memperkukuh relasi dengan negara lainnya, dibutuhkan instrumen khusus sebagai
wadah berinteraksi dan bersosialisasi satu sama lain. Pemahaman inilah yang mendorong
munculnya beragam kerja sama dalam bentuk bilateral, trilateral, multilateral, regional, hingga
tengah arus globalisasi yang melanda dunia tanpa pandang bulu. Pihak pertama berpandangan
bahwa negara-bangsa tetap eksis dan menjadi aktor utama dalam sistem internasional,
meskipun kemajuan di bidang teknologi komunikasi dan informasi menjadi tantangan yang tidak
mudah untuk direspons. Mereka yang berpijak pada posisi ini menjadikan fakta bahwa tidak ada
negara-bangsa yang pecah karena masifnya arus globalisasi. Globalisasi hanya menjadikan
pola-pola interaksi antar aktor hubungan internasional berubah dari bentuk tradisional menjadi
non-tradisional saja.
Sebaliknya, ada juga pihak yang berpandangan bahwa globalisasi telah menghapus
eksistensi negara. Batas-batas fisik negara seperti daratan dan lautan tidak lagi menjadi faktor
pemisah dan penghambat. Komunikasi antar negara tidak saja menjadi dominasi aparat
pemerintah, tapi bisa dilakukan oleh siapa saja. Sebagai contoh, diplomasi tidak semata-mata
menjadi ranah para diplomat saja, tapi juga dapat dimainkan oleh para pengusaha, pebisnis,
Berbagai kontestasi pemikiran tersebut tetap mewarnai interaksi antar aktor hubungan
bersifat unilateral di satu sisi, serta mengedepankan kerja sama di sisi lainnya. Kontestasi
kedua, menghasilkan tantangan dan ancaman yang lebih variatif kepada negara-bangsa di
dunia. Ancaman tidak hanya bersifat tradisional (perang dan konflik), tapi juga bersifat non-
Beberapa isu global yang menjadi konsiderasi negara-negara di dunia antara lain:
1) Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat. Hal ini membawa implikasi
terhadap stabilitas politik, ekonomi, serta pertahanan dan keamanan di level global.[12]
2) Munculnya Tiongkok sebagai kekuatan baru dunia menantang hegemoni Amerika Serikat dan
sekutu-sekutunya. Tiongkok tak segan untuk mengobarkan perang di berbagai front di seluruh
dunia (lihat konflik Tiongkok dan Jepang di Laut Cina Timur, serta konflik Tiongkok dengan
Malaysia, Filipina, Vietnam, Brunei Darussalam, serta Taiwan di Laut Cina Selatan).[13]
3) Perjuangan Palestina untuk merdeka sebagai negara-bangsa yang berdaulat, lepas dari
4) Ketegangan di Semenanjung Korea. Uji coba rudal bertenaga nuklir oleh Korea Utara memantik
ketegangan dengan negara-negara kawasan seperti Korea Selatan dan Jepang. Kondisi ini
tidak an sich menjadi konflik bilateral antara Korea Utara dengan Jepang dan Korea Selatan
saja, tapi juga mengundang intervensi pihak luar seperti Amerika Serikat dan Tiongkok.
5) Munculnya Islamic State (IS). Aktivitas terorisme dan radikalisme menjadi semakin canggih dan
bersifat masif. Belum tuntas perang terhadap Taliban dan Al Qaeda, muncul lagi kelompok yang
jauh lebih kuat dan menebar ancaman secara masif. Pengaruhnya tidak hanya terlokalisasi
pada wilayah Timur Tengah saja, tapi jauh mencapai belahan dunia lainnya (termasuk di
Untuk merespon berbagai isu-isu global tersebut di atas, dibutuhkan kerja sama yang
solid antar negara. Tidak ada negara yang kedap dari pengaruh eksternal. Tidak ada negara
yang mampu mengatasi permasalahannya sendiri dalam menyikapi isu-isu global. Dibutuhkan
kerja sama yang erat dengan negara-negara lainnya, khususnya kerja sama yang dapat
b. Lingkungan Regional
Kawasan Asia Tenggara memiliki arti penting bagi Indonesia dikarenakan Indonesia
terletak dan menjadi bagian dari kawasan ini. Kawasan Asia Tenggara, juga menjadi aspek
geografi yang mendeterminasi formulasi kebijakan politik, ekonomi, strategi, serta diplomasi,
baik di level domestik, maupun level global yang lebih luas. Singkat kata, kawasan Asia
Tenggara, tidak dimungkiri lagi menjadi lingkungan strategis dan ruang hidup (lebensraum)
dari sikap politik Indonesia bersama negara-negara kunci kawasan lainnya, seperti Malaysia,
Asia Tenggara (Perbara) atau yang lebih dikenal dengan sebutan ASEAN pada 8 Agustus
1967.
komunikasi dan kerja sama antar negara, juga merupakan respons dan sikap politik negara-
negara kawasan untuk tetap independen di tengah pertarungan kekuasaan serta perebutan
pengaruh antara dua kekuatan utama dunia pada waktu itu, yakni Amerika Serikat dengan
berada pada karakteristik tradisional seperti konflik dan perang saja, tapi telah bermetamorfosis
pada sekup yang lebih luas. Masalah keterbatasan air, kelangkaan bahan pangan, diskiriminasi
gender, kebijakan pemerintah yang tidak demokratis, perdagangan narkotika dan obat-obat
terlarang, penyelundupan manusia, serta perubahan iklim kini berada pada ranah keamanan.
Pihak-pihak yang tidak sepakat menyebut fenomena ini sebagai gejala sekuritisasi.
ASEAN sebagai organisasi kerja sama kawasan merespons perubahan ini dengan sangat
cermat dan tepat. Negara-negara Asia Tenggara yang tergabung di dalamnya berhasil
merumuskan apa yang disebut sebagai Visi ASEAN 2020 dengan komitmen untuk membentuk
komunitas ASEAN yang lebih solid. Komunitas ini terdiri atas 3 (tiga) bagian, yakni ASEAN
Economic Community (AEC), ASEAN Political and Security Community (APSC), serta ASEAN
ASEAN sebagai wadah kerja sama kawasan, seperti halnya organisasi kerja sama di
beberapa kawasan lainnya, tentu tidak kedap dari berbagai kendala. Sebagai negara-bangsa
yang berdaulat, tetap saja terdapat kemungkinan untuk negara-negara anggota ASEAN untuk
menggunakan kebijakan unilateral dalam merespon isu kawasan atau global. Penempatan
kepentingan nasional sebagai hal yang utama bagi negara-bangsa kerap menjadi kendala
apabila tidak selaras dan sebangun dengan prinsip kerja sama kawasan. Sebagai contoh,
Filipina lebih mengedepankan komunikasi bilateral dengan Tiongkok terkait konflik Laut Cina
Selatan pasca keputusan Permanent Court of Arbitration (PCA). Hal ini tentu menegasikan
Oleh sebab itu, dibutuhkan pemahaman yang komprehensif dari negara-negara anggota
ASEAN mengenai urgensi kerja sama kawasan. Negara tetangga di kawasan, memainkan
peran tidak hanya sebagai halaman depan saja, tapi juga halaman belakang. Artinya, apapun
yang terjadi di negara kawasan, akan memberikan dampak terhadap kepentingan nasional,
langsung ataupun tidak langsung, positif juga negatif. Dibutuhkan juga komitmen yang kuat
a. Aspek Geografi
Geografi merupakan aspek ketahanan nasional yang bersifat statis, seperti halnya
demografi dan sumber kekayaan alam. Meskipun bersifat statis, tidak menjadikan geografi
sebagai aspek yang mudah dikontrol atau dikendalikan. Secara geografis, Indonesia memiliki
keuntungan politis dan ekonomis yang sangat baik. Terletak pada persilangan antara 2 (dua)
benua, yakni Asia dan Australia, serta 2 (dua) samudera, yakni Hindia dan Pasifik,
Namun demikian, geografis Indonesia yang didominasi oleh perairan serta dipisahkan
oleh pulau-pulau menjadi tantangan tersendiri yang tidak mudah dalam pengelolaannya.
Wilayah Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau-pulau menghadirkan tantangan dalam bentuk
kesulitan dalam hal komunikasi dan distribusi, kebijakan pemerintah yang harus
dapat berubah menjadi ancaman apabila tidak dikelola secara tepat. Disintegrasi dan segregasi
Namun demikian, segala kendala yang muncul dari aspek geografi, tidak sepatutnya
menjadi ancaman bagi utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Perairan yang
adalah wilayah Indonesia itu sendiri. Perbedaan karakteristik masing-masing wilayah Indonesia
menjadi poin penting untuk mewujudkan kerja sama antar daerah yang solid, terlebih lagi
komparatif masing-masing.
b. Aspek Demografi
Demografi menjadi atribut nasional yang paling penting bagi suatu negara-bangsa. Hal ini
dikarenakan aspek demografi menyentuh hal vital bagi negara-bangsa itu sendiri, yakni aspek
sumber daya manusia. Maju mundurnya suatu negara-bangsa, berada di tangan warga
negaranya.
Indonesia memiliki 2 (dua) karakteristik utama demografi, yakni besar dan majemuk.
Besar dalam artian memiliki jumlah penduduk yang banyak. Indonesia tercatat sebagai negara
berpenduduk terbesar ke empat di dunia, setelah Tiongkok, India, serta Amerika Serikat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada tahun 2016, jumlah penduduk Indonesia tercatat
sebanyak 250 (dua ratus lima puluh) juta jiwa. Majemuk, merujuk pada karakteristik
masyarakatnya yang terdiri dari beragam suku, budaya, adat istiadat, agama, serta
Karakteristik besar dan majemuk menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia. Indonesia
akan menyongsong apa yang disebut sebagai bonus demografi pada 2020-2030 mendatang.
Bonus demografi sendiri merupakan kondisi di mana jumlah penduduk usia produktif lebih
(tujuh puluh) berbanding 30 (tiga puluh). Kondisi ini akan membawa keuntungan apabila
penduduk usia produktif tersebut dibekali dengan pendidikan dan dukungan kesehatan yang
baik. Sebaliknya, dapat menjadi bencana apabila salah kaprah dalam pengelolaannya.
Tingginya angka pengangguran, kriminalitas, masyarakat miskin, busung lapar dan kurang gizi
Sedangkan dari sisi majemuk, menghadirkan tantangan dalam bentuk konflik antar
daerah dan masyarakat. Perbedaan bahasa, budaya, agama, serta adat-istiadat, apabila tidak
dijembatani dengan baik, akan menghadirkan konflik, bahkan pecahnya Negara Kesatuan
Indonesia adalah negara kaya raya dari sisi kepemilikan sumber kekayaan alam.
Indonesia memiliki 2 (dua) atribut nasional utama, yakni negara maritim, merujuk pada
besarnya wilayah perairan, serta negara agraris, merujuk pada melimpahnya sumber kekayaan
Kekayaan maritim Indonesia tercermin dari besarnya wilayah perairan Indonesia yang
kurang lebih mencapai 2/3 dari wilayah nusantara. Perairan tersebut tentu bukan perairan
kosong, melainkan mengandung jutaan kekayaan alam dalam bentuk kekayaan flora dan fauna,
kandungan mineral, minyak bumi dan gas alam dalam jumlah yang melimpah ruah. Sedangkan
pangan pada tahun 2016 dan dekade 1980-an. Indonesia juga terkenal sebagai penghasil
kelapa sawit, kopi dan karet yang utama di dunia saat ini.
Pada masa lampau kekayaan alam Indonesia menjadi magnet luar biasa yang
kekayaan alam tersebut. Pihak-pihak asing seperti Belanda dan Jepang, tak segan untuk
melakukan kolonialisasi dan imperialisasi terhadap kekayaan alam Indonesia. Dewasa ini,
kolonialisme dan imperialisme hadir dalam bentuk yang paling modern, yakni campur tangan
pengelolaan yang bersifat komprehensif dengan berpegang teguh pada 4 (empat) konsensus
bangsa. Salah satu metode pengelolaan sumber kekayaan alam adalah penguatan kerja sama
antar daerah merujuk pada keunggulan komparatif masing-masing daerah sehingga menjadi
Indonesia memiliki Pancasila sebagai ideologi, dasar negara, serta falsafah hidup
berbangsa dan bernegara. Pancasila merupakan legasi besar para pendiri bangsa yang
menjadi pijakan dalam penyelenggaran dan pengelolaan negara. Nilai-nilai yang terkandung
serta keadilan merupakan nilai-nilai yang digali dari budaya dan karakteristik bangsa Indonesia.
Pancasila merupakan ideologi yang genuine, bukan adopsi dari nilai-nilai asing.
Pancasila yang apabila diperah menjadi satu atau Ekasila, yakni gotong royong,
merupakan ideologi yang bersifat terbuka, artinya responsif terhadap situasi dan perkembangan
zaman. Namun demikian, Pancasila bersifat final, tidak bisa diganggu gugat. Pancasila sendiri
terbukti sebagai ideologi yang mampu eksis menopang berdirinya Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) hingga kini. Pancasila terbukti sakti dalam menangkal ideologi negatif dari
luar seperti komunisme dan kapitalisme yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa.[18]
Sila kelima Pancasila, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menekankan
pada pentingnya pengelolaan sumber kekayaan nasional, baik itu sumber daya manusia,
maupun sumber kekayaan alam, dengan merujuk pada prinsip pengelolaan yang sebesar-
besarnya bagi kemakmuran rakyat. Dikaitkan dengan dengan diferensiasi antar daerah dalam
hal kepemilikan sumber kekayaan alam, dibutuhkan kerja sama antar daerah yang solid guna
menyukseskan pembangunan nasional yang lebih merata, selaras dengan amanat sila ke lima
Pancasila.
e. Aspek Politik
Corak pemerintahan Orde Baru yang bersifat militeristik dan totaliter telah menimbulkan
kerusakan yang bersifat sistemik di semua sendi kehidupan bermasyarat, berbangsa, serta
bernegara. Banyaknya upaya dari berbagai daerah di tanah air, seperti Aceh dan Papua, untuk
memerdekakan diri dan terlepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), merupakan
Pada era reformasi, muncul kebijakan baru yang lebih komprehensif yakni kebijakan
otonomi daerah. Kebijakan yang terdiri atas prinsip desentralisasi, dekonsentrasi, serta tugas
perbantuan ini, memberikan otoritas kepada daerah untuk mengelola potensi diri masing-
masing. Dasarnya adalah pemahaman bahwa masing-masing daerah lebih paham mengenai
ketahanan nasional.[19]
Lebih lanjut, otonomi daerah menghadirkan tantangan dalam bentuk kerja sama antar
daerah. Hal ini merujuk pada fakta bahwa masing-masing daerah secara determinisme geografi
demikian, dalam implementasinya, kerja sama antar daerah tidak mudah terealisasi. Ego
masing-masing daerah, komunikasi yang kurang baik antar kepala daerah, merebaknya gejala
nasionalisme sempit, hingga praktik korupsi, kolusi, serta nepotisme menjadi kendala dalam
Beberapa fenomena politik mutakhir nasional dewasa ini seperti munculnya kasus E-KTP,
konflik pasca Pilkada, merebaknya isu SARA yang menimbulkan konflik horizontal di
masyarakat, maraknya berita bohong serta ujaran kebencian di dunia maya yang belum mampu
ditangani dengan baik oleh pemerintah pusat, korupsi masif di level eksekutif, legislatif, serta
yudikatif, menjadi faktor-faktor penghambat bagi kemajuan daerah atau pembangunan nasional
f. Aspek Ekonomi
Sistem ekonomi yang digariskan oleh para pendiri bangsa dapat dirujuk pada pada
Pembukaan UUD 1945 Alinea ke empat serta batang tubuh UUD 1945 Pasal 33. Dalam
Preambul UUD 1945 Alinea ke empat disebutkan bahwa tujuan nasional Indonesia adalah
memajukan kesejahteraan umum bagi masyarakat. Sedangkan dalam batang tubuh UUD 1945
Pasal 33, disebutkan bahwasanya pengelolaan sumber kekayaan alam Indonesia haruslah
sedemikian. Faktanya tergambar lugas dengan maraknya aktivitas perekonomian yang lebih
mengedepankan prinsip liberalisme dan praktik-praktik kaum kapitalis. Sumber kekayaan alam
di darat dan laut dikeruk oleh korporasi asing karena inkapabilitas domestik dalam hal teknologi,
investasi asing secara masif di semua lini bahkan bidang-bidang yang menyentuh hajat hidup
orang banyak, kebijakan impor yang menyumbat kreativitas dan produktivitas dalam negeri,
serta gemarnya pemerintah menimbun hutang luar negeri dengan argumentasi untuk
Merujuk pada konsepsi Tri Sakti Soekarno, khususnya pada prinsip mandiri di bidang
ekonomi, sudah selayaknya pemerintah dan segenap anak bangsa untuk mengelola dan
seluruh Indonesia. Jangan serahkan pengelolaan sumber daya strategis kepada pihak asing.
Perkuat aspek pendidikan bagi sumber daya manusia Indonesia, khususnya para putera
daerah, agar mampu mengelola keunggulan daerah masing-masing dan keunggulan nasional,
Sosial dan budaya merupakan aspek penting yang mencerminkan keluhuran dan
keunggulan Indonesia. Berbicara tentang sosial dan budaya, artinya berbicara tentang cipta,
rasa, karsa, serta karya manusia Indonesia. Majemuknya kebudayaan Indonesia menjadi nilai
mudahnya bangsa asing masuk ke Indonesia. Masyarakat Indonesia yang ramah tamah
menyambut mereka dengan suka cita, khususnya Jepang sebagai saudara, Meskipun pada
akhirnya bangsa Indonesia tersadar bahwa kehadiran Jepang adalah untuk melakukan
Secara fisik, keunggulan sosial budaya masyarakat Indonesia tercermin dari produk-
produk seni dan budaya. Candi Borobudur yang melegenda, menjadi objek wisata utama para
pemeluk agama Budha di seluruh dunia. Begitu pula Candi Prambanan bagi para pemeluk
agama Hindu. Indonesia juga memiliki kesenian yang adiluhung seperti tari saman dan pendet,
lagu dan alat musik daerah yang unik, yang menjadi daya tarik sendiri bagi turis mancanegara
tersendiri bagi eksistensi sosial budaya masyarakat Indonesia. Generasi muda Indonesia
misalnya, mulai kecanduan pada film-film dan lagu Korea, seni berpakaian Harajuku ala
Jepang, mendengarkan musik serta memamah makanan khas Amerika Serikat. Hal ini
menimbulkan kekhawatiran tersendiri karena generasi muda adalah masa depan bangsa serta
Pertahanan dan keamanan adalah dua konsep yang berbeda sebagai produk dari proses
reformasi di negeri ini. Berbicara mengenai aspek pertahanan, artinya berbicara tentang
ancaman yang berasal dari pihak luar, mengancam keutuhan serta kedaulatan nasional,
Berbeda dengan pertahanan, keamanan lebih bersifat domestik, yakni penanganan pada
ancaman yang berasal dari dalam negeri, serta dijalankan oleh Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Polri) yang mengemban tugas dan tanggung jawab untuk menciptakan ketertiban
Beberapa isu mutakhir terkait aspek pertahanan dan keamanan yang dihadapi oleh
Indonesia saat ini antara lain ancaman terorisme dan radikalisme, khususnya dari Islamic
State(IS) yang sudah menjangkau wilayah Indonesia. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang
seyogianya menjadi pesta demokrasi bagi masyarakat berubah menjadi ajang konflik horizontal
dan berbau Suku, Agama, Ras, serta Antar-Golongan (SARA) yang mengancam persatuan dan
kesatuan bangsa.
Ancaman juga hadir di dunia maya melalui maraknya berita bohong atau palsu serta
ujaran kebencian. Masyarakat Indonesia yang mudah terprovokasi, koinsiden dengan langkah
pencegahan dan penanganan yang lambat dari pemerintah. Ancaman keamanan juga muncul
Absennya negara di perbatasan, disparitas modal ekonomi dan sosial antara Indonesia
dengan negara tetangga, atensi yang minim dari pemerintah pusat, pembangunan nasional
yang belum merata, menjadi ancaman keamanan yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Kerja sama antar daerah di semua aspek menjadi kata kunci untuk mengatasi kondisi ini.
Keterbatasan di suatu daerah dapat didukung oleh daerah lain yang bertetangga. Kerja sama
antar daerah, khususnya daerah yang bertetangga secara langsung, tidak hanya merujuk pada
kedekatan geografis saja, tapi juga kesamaan kultur, dapat mengeliminir hambatan-hambatan
1) Kekuatan/Keunggulan. Jika mengacu pada gatra yang sifatnya statis, Indonesia memiliki
keunggulan yang sifatnya inheren dan potensial. Pertama, dari sisi geografis, posisi yang
sangat strategik di mana Indonesia terletak pada persilangan dua benua dan dua samudera
jumlah penduduk menjadi modal utama pembangunan nasional, terlebih lagi Indonesia
diramalkan akan masuk pada periode bonus demografi, di mana jumlah penduduk usia
produktif lebih besar daripada penduduk usia non-produktif. Hanya saja tantangan bagi
Indonesia ke depan adalah bagaimana meningkatkan mutu sumber daya manusia sehingga
dapat menjadi katalisator dan amunisi penggerak pembangunan. Ketiga dari sisi sumber
kekayaan alam, tidak diragukan lagi bahwa Indonesia sangat kaya akan sumber daya alam,
khususnya pertanian dan kemaritiman. Hal ini menjadi modal dasar dan logistik penting dalam
rakyat.
Sedangkan jika merujuk pada gatra yang sifatnya dinamis, yakni IPOLEKSOSBUDHANKAM,
maka kekuatan dan keunggulan Indonesia adalah memiliki ideologi yang sifatnya terbuka
sehingga selalu sesuai dengan perkembangan zaman (zeitgeist), sistem demokrasi kerakyatan
yang sesuai dengan kepribadian bangsa, kearifan lokal yang banyak dipelajari oleh negara-
negara lain, serta politik luar negeri yang bebas dan aktif sehingga memungkinkan Indonesia
untuk banyak berpartisipasi di kancah global dengan seminimal mungkin konflik atau gesekan
2) Kelemahan. Selain memiliki kekuatan dan keunggulan, Indonesia juga memiliki kelemahan dan
kekurangan yang harus terus-menerus diperbaiki agar tidak menjadi titik lemah yang
struktur geografis Indonesia yang sangat luas berpotensi menjadi hambatan dalam mewujudkan
persatuan dan kesatuan bangsa. Kedua, densitas jumlah penduduk yang sangat besar, namun
masih lemah dalam penguatan kualitas sumber daya manusia, dapat menjadi bumerang
apabila tidak disikapi dengan pengelolaan yang baik. Ketiga, sumber kekayaan alam yang
dimiliki dapat menjadi kutukan dan celah masuknya bangsa asing untuk menguasai, memiliki,
bahkan menjajah negeri ini apabila anak negeri, khususnya pemerintah tidak memiliki
belum sepenuhnya menjadi negara demokrasi yang substansial. Hal ini dapat dilihat dari relasi
antar lembaga negara yang kurang harmonis (DPR dan Eksekutif), menguatnya ego sektoral
antar lembaga negara dan kementerian (KPK versus Polri, enggannya pemerintah daerah
melakukan kerja sama satu sama lain, dan masih banyak lagi), sistem pemilihan umum
berbiaya tinggi, belum optimalnya peran masyarakat madani, serta masih masifnya korupsi di
birokrasi pemerintahan. Dari sisi ekonomi, Indonesia belum konsisten dalam menjalankan
prinsip ekonomi Pancasila atau ekonomi kerakyatan. Pemerintah masih gemar melakukan
impor barang dan jasa ketimbang melakukan penguatan kapabilitas ekonomi domestik, masih
dijadikannya skema bantuan luar negeri (hutang luar negeri) sebagai pilar penggerak
pembangunan, serta ekonomi biaya tinggi dalam distribusi barang antar wilayah. Kondisi ini
dapat menjadi hambatan bagi Indonesia, baik secara stuktural maupun kultural sehingga butuh
15. Umum.
Indonesia sebagai sebuah negara bangsa memiliki tujuan nasional yang hendak dicapai.
Tujuan nasional Indonesia dapat dibaca pada Preambul UUD 1945 Alinea ke-4, yakni
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut serta memelihara ketertiban dunia yang
Pencapaian tujuan nasional tersebut harus diakui tidaklah mudah. Selain membutuhkan
strategi yang konkret, juga dibutuhkan itikad yang kuat dari seluruh komponen bangsa untuk
merealisasikannya, baik itu pemerintah sebagai aparat negara, maupun masyarakat. Harus
jujur diakui, setelah mereguk 72 (tujuh puluh dua) tahun kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus
2017 yang lalu, apa yang termaktub dalam Preambul UUD 1945 Alinea ke-4 tersebut belumlah
tercapai seluruhnya.
Secara sederhana, belum tercapainya tujuan nasional dapat dilihat pada kondisi
pembangunan yang masih menggunakan biaya atau modal asing, bukan dari optimalisasi
sumber kekayaan alam nasional, masih kuatnya korupsi, kolusi, serta nepotisme di kalangan
pejabat pemerintah atau birokrat yang menyebabkan hasil pembangunan nasional kurang
Menyikapi berbagai kekurangan tersebut, sudah selaiknya pemerintah, mulai dari level
nasional, hingga level daerah, memberikan atensi khusus yang ditindaklanjuti dengan
perumusan strategi dan langkah-langkah yang konkret. Pertama dan utama adalah political
will atau kemauan dari pemerintah itu sendiri. Pembangunan nasional, agar dapat mencapai
objektifnya, hanya akan terwujud apabila menjadi perhatian, diagendakan, dirumuskan dalam
visi dan misi, serta dilaksanakan dengan kebijakan-kebijakan yang terukur. Tanpa hal yang
Logistik pembangunan nasional di sini merujuk pada penguasaan sumber daya nasional.
Sumber daya nasional, lebih lanjut, dikategorisasikan menjadi 2 (dua) bentuk. Pertama, sumber
kekayaan alam yang sifatnya tangible, seperti minyak bumi, gas alam, hasil pertanian,
bersifat intangible, yakni aspek sumber daya manusia Indonesia (pendidikan, kesehatan,
Sumber daya nasional Indonesia, baik yang sifatnya sumber kekayaan alam, maupun
sumber daya manusia, berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Indonesia memang
negara besar dengan sumber daya nasional yang melimpah, namun demikian eksistensi
sumber daya tersebut berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lainnya. Dalam konteks
upaya untuk mencapai tujuan pembangunan nasional, kondisi ini tidak bisa dibiarkan karena
dapat menjadi faktor penghambat. Dibutuhkan kerja sama yang solid antar daerah agar
Otonomi daerah yang bergulir pasca reformasi 1998 memberikan keistimewaan kepada
pemerintah daerah untuk mengelola daerahnya masing-masing. Hal ini didasari pada asumsi
bahwa pemerintah daerah jauh lebih mengetahui kekuatan dan potensi daerahnya sendiri
dibandingkan pemerintah pusat, sehingga lebih kompeten dalam pengelolaannya. Terlebih lagi
pada hakikatnya pemerintah daerah adalah representasi dan kepanjangan tangan dari
mana pengaturan daerah semuanya tersentralisasi ke pusat. Kondisi pada masa lampau ini
ini, bahwa sentralisasi selain menciptakan disparitas, juga menimbulkan upaya pemisahan diri
dari wilayah-wilayah Indonesia. Munculnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) serta Gerakan
Operasi Papua Merdeka (OPM) yang masih eksis hingga kini, adalah bukti konkretnya.
Otonomi daerah sebagai produk reformasi dan medium untuk mencapai tujuan nasional
tidak berjalan mulus begitu saja. Banyak tantangan dan hambatan yang muncul. Kendala
terbesar adalah sulitnya mewujudkan kerja sama yang solid antar pemerintah daerah.
Pemerintah di tiap-tiap daerah kerapkali terjangkit sindrom raja-raja kecil, sehingga lupa untuk
bersinergi satu sama lain dalam rangka mewujudkan tujuan yang lebih besar, yakni tujuan
nasional.
Mereka seakan tidak menyadari bahwa tidak semua kebutuhan daerah bisa dipenuhi
sendiri oleh daerah tersebut. Jikapun harus bekerja sama, kerja sama yang tercipta adalah
kerja sama yang merupakan pelaksanaan peraturan perundang-undangan saja (seperti dalam
kasus kerja sama antar daerah yang berbatasan satu sama lain), bukan kerja sama yang
digagas atas inisiatif sendiri serta perhitungan yang matang dan cermat berdasarkan prinsip
Belum adanya harmoni dan sinergi antar pemerintah daerah dalam mengelola daerah
serta mencapai objektif pembangunan daerah dan nasional ini, bisa dikatakan sebagai kondisi
yang menghkhawatirkan. Hal ini perlu disikapi secara serius oleh pemerintah pusat. Identifikasi
kendala dan hambatan merupakan langkah pertama agar solusi yang digagas dalam bentuk
kebijakan-kebijakan tepat mengenai sasaran. Solusi yang digagas nanti, lebih lanjut akan
diterjemahkan sebagai kebijakan atau regulasi, baik oleh pemerintah pusat, maupun
pemerintah daerah.
untuk menjamin pemberian otonomi kepada daerah yang mampu mencapai tujuan atau objektif
UUD 1945, yakni Pasal 18 ayat (7) bahwa susunan dan tata cara penyelenggaraan
No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ini memberikan definisi yang jelas mengenai
pemerintah daerah, kerja sama antar pemerintah daerah beserta urgensi dan signifikansi dari
Pengganti Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Adapun perubahan kedua adalah dengan
dikeluarkannya Undang-Undang No. 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23
Dalam undang-undang ini dijelaskan beberapa hal penting. Dijelaskan bahwa pemerintah
otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya sesuai dengan sistem
pemerintahan konkuren yang diserahkan oleh pemerintah pusat menjadi dasar pelaksanaan
otonomi daerah dengan berdasar atas asas tugas pembantuan. Pemerintah daerah dalam
pelaksanaannya dilimpahkan kepada gubernur dan bupati/wali kota, dibiayai oleh Anggaran
daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan dan
kekhasan suatu negara dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah, perlu ditingkatkan kembali efektivitas dan efisiensi
dengan memperhatikan aspek-aspek hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah dan
antar daerah, serta peluang dan tantangan persaingan global dalam kesatuan sistem
Regulasi kedua yang ditetapkan oleh pemerintah dalam rangka penguatan kerja sama
antar pemerintah daerah bersifat lebih teknis, yakni Peraturan Menteri Dalam Negeri
(Permendagri) No. 22 Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Kerja Sama Daerah.
Dikeluarkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 22 Tahun 2009 tentang
Petunjuk Teknis Tata Cara Kerja Sama Daerah ini merupakan tindak lanjut atas ketentuan
Pasal 7 huruf e Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Kerja Sama
Daerah.
Dalam Bab I mengenai Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat (3) menyebutkan bahwa kerja
sama antar daerah yang selanjutnya disingkat KSAD adalah kesepakatan antara gubernur
dengan gubernur atau gubernur dengan bupati/walikota atau antara bupati/walikota dengan
bupati/walikota lain yang dibuat secara tertulis dan menimbulkan hak dan kewajiban. Sebagai
pelaksana, dibentuk Tim Koordinasi Kerja Sama Daerah yang selanjutnya disingkat TKKSD,
yang dibentuk kepala daerah untuk membantu kepala daerah dalam menyiapkan kerja sama
antar daerah.[22]
Untuk melihat bagaimana praktik kerja sama antar daerah yang sudah berjalan di
Indonesia saat ini, dapat ditelaah dari kerja sama antar daerah yang dijalankan oleh Pemerintah
Kota Bogor, Jawa Barat serta Pemerintah Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, sebagai sebuah
studi kasus.
a. Kerja sama antar daerah yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Bogor, Jawa Barat,
kerja sama antar daerah dalam pelayanan publik. Sampai saat ini, telah ditindaklanjuti dengan
3) Kerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Bogor tentang penegakan peraturan daerah
4) Kerja sama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat tentang pengembangan perpustakaan
5) Kerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat tentang
b. Kerja sama antar daerah yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Grobogan, Jawa
1) Kegiatan fasilitasi kerja sama daerah, berupa kerja sama antar daerah regional 6 (enam)
wilayah yang terdiri dari Kabupaten Kendal, Kabupaten Demak, Kabupaten Semarang, Kota
2) Kegiatan Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) dan Mediasi Kerja Sama bidang
Kerja sama antar daerah yang dilakukan oleh kedua daerah tersebut di atas menunjukkan
pemerintah pusat melalui beragam regulasi yang sudah ditetapkan. Pada bentuk kerja sama
yang dijalankan oleh Pemerintah Kota Bogor, misalnya, kita bisa melihat bahwa pola kerja
sama antar daerah yang dijalankan memang masih banyak diimplementasikan pada daerah
yang berbatasan secara langsung saja, demikian juga halnya pada bentuk kerja sama yang
dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Pada keduanya juga kita temui
bahwa bidang kerja sama yang dijalin didominasi oleh kerja sama pada pelayanan publik atau
Tidak semua kerja sama bisa berjalan mulus. Jika sudah berjalan dengan mulus, maka
kerja sama tersebut harus ditingkatkan agar lebih baik lagi. Namun, jika output dan outcome-
nya belum optimal atau maksimal, maka perlu penanganan terhadap apa yang menjadi
Secara umum, kendala-kendala dalam kerja sama antar daerah yang berpotensi
antara lain, pemerintah daerah belum menganggap kerja sama antar daerah sebagai suatu
pusat dengan pemerintah daerah, lemahnya peran pemerintah pusat dalam mempromosikan
dan memberikan dukungan bagi terlaksananya mekanisme kerja sama antar daerah yang solid,
serta belum adanya basis data yang memadai untuk mendukung tahap perencanaan,
a. Belum dijadikannya Mekanisme Kerja Sama Antar daerah sebagai Inovasi dalam
Teori David Ricardo tentang keunggulan komparatif menyebutkan bahwa suatu negara
konsekuensi atas perbedaan tersebut, serta fakta bahwa tidak ada satu negarapun di dunia ini
antarnegara.
Logika yang digunakan oleh David Ricardo ini juga berlaku untuk hubungan antar daerah.
Secara geografis, tidak ada daerah yang mampu eksis sendiri dengan mengabaikan daerah
tetangganya. Sebagai contoh, Provinsi DKI Jakarta, tidak akan pernah bisa menangani
permasalahan banjir, kemacetan, serta sampah sendiri tanpa bekerja sama dengan Pemerintah
Daerah Bogor, Depok, Tangerang, serta Bekasi yang berbatasan langsung dengannya.
Secara ekonomis, tidak mungkin suatu daerah mampu menjalankan pola pemenuhan
kebutuhan sendiri tanpa kerja sama perdagangan dengan daerah lain. Hal ini karena masing-
masing daerah, selain memiliki keunggulan masing-masing, juga memiliki kelemahan atau
keterbatasan tersendiri.
yang suka tidak suka atau mau tidak mau menjadi faktor pendorong untuk dilakukannya kerja
sama, kerja sama antar pemerintah daerah tetaplah tidak berjalan lancar. Yang menjadi
penyebab utamanya adalah mekanisme kerja sama antar daerah belum diletakkan sebagai
solusi dan inovasi atas berbagai kebutuhan dan permasalahan yang ada.
Kerapkali pemerintah daerah beranggapan bahwa kerja sama antar daerah tidak menarik
untuk dilaksanakan karena pelayanan publik yang diselenggarakan lebih banyak merugi dan
disubsidi oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Ketimbang terdampak pada
hal tersebut, pemerintah daerah lebih tertarik untuk menjalin kerja sama dengan pihak swasta
yang lebih menguntungkan. Kerja sama dengan pihak swasta ini juga terkadang menimbulkan
permasalahan baru karena pemerintah daerah sering terjebak pada praktik korupsi, kolusi,
Daerah-daerah baru sebagai hasil pemekaran dari daerah induk juga seringkali berfikir
sektoral. Mereka selalu beranggapan bahwa mereka memiliki sumber daya sendiri yang
memadai untuk menjalankan pembangunan daerah, terlepas dari kerja sama dengan ex-daerah
induk. Mereka seakan ingin membuktikan bahwa dengan tidak menjalankan kerja sama dengan
serta perspektif yang luas. Kebijakan-kebijakan yang diambilpun akan lebih jernih dan
berorientasi sepenuhnya kepada masyarakat apabila mereka jujur, bersih dan tidak memiliki
Dalam rangka mencapai profitabilitas yang tinggi serta mengurangi potential loss dalam
lainnya, baik dalam relasi yang setara dalam bentuk business to business atau corporate to
corporate, maupun dalam bentuk subsidiary mechanism. Perusahaan yang sukses tidak pernah
berdiri sendiri. Keberhasilan yang mereka capai merupakan dukungan dari partner mereka,
bahkan kompetitor. Melalui kerja sama, objektif yang ditetapkan dapat tercapai secara efektif
dan efisien, serta memberikan keuntungan yang optimal. Dalam konteks bernegara,
dan payung hukum. Namun regulasi juga memberikan implikasi negatif apabila ditetapkan pada
posisi yang saling menegasikan satu sama lain. Kondisi inilah yang menjadi salah satu faktor
Secara faktual, pemerintah pusat telah mengeluarkan berbagai regulasi yang mengatur
teknis-teknis kerja sama antar daerah. Hal ini bisa dirujuk dari ditetapkannya Peraturan Menteri
Dalam Negeri (Permendagri) No. 6 Tahun 1975 tentang kerja sama antar daerah, Keputusan
Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) No. 275 Tahun 1982 tentang Pedoman Kerja Sama
Pembangunan Antar daerah. Kedua regulasi tersebut merupakan produk pada masa orde baru.
Pada masa sekarang, kita bisa melihat berbagai regulasi mutakhir pada UU No. 22
Tahun 1999, yang kemudian direvisi menjadi UU. No. 32 Tahun 2004, direvisi kembali menjadi
UU No. 23 Tahun 2014, terakhir menjadi UU No. 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah.
Ada jugaPeraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 22 Tahun 2009 tentang Petunjuk
Teknis Tata Cara Kerja Sama Daerah yang merupakan tindak lanjut atas ketentuan Pasal 7
huruf e Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Kerja Sama Daerah.
Meskipun pemerintah pusat sudah memberikan atensi dengan merilis berbagai regulasi
tersebut, dinamika kerja sama antar daerah masih memerlukan penyempurnaan dalam regulasi
agar objektif pembangunan di daerah dan level nasional bisa dicapai. Pertama, regulasi di level
pusat hendaknya merupakan aspirasi dan wujud respon terhadap kebutuhan daerah. Jika tidak,
regulasi di level pusat tidak akan menemui relevansinya jika diterapkan di daerah, bahkan bisa
pemerintah pusat dalam menyikapi dinamika di daerah. Kerapkali perubahan regulasi baru
dijalankan setelah daerah melalui dinamika yang sangat cepat sedangkan regulasi yang lama
tidak lagi mampu mewadahi kebutuhan. Ketiga, sudah selaiknya penyusunan regulasi di level
pusat terlepas dari intervensi atau anasir-anasir negatif pihak asing yang hendak menguasai
sumber kekayaan alam daerah. Terakhir, pemerintah daerah harus menjalin komunikasi yang
aktif serta bersikap proaktif dalam menyuarakan kepentingan daerah kepada pemerintah pusat,
permasalahan. Pertama, tidak semua daerah memiliki inisiatif untuk melakukan kerja sama.
Terkadang kerja sama hanya dilakukan sebagai bentuk pelaksanaan undang-undang saja yang
jika tidak dilaksanakan akan menimbulkan implikasi hukum. Kedua, kurang persistennya
pemerintah pusat serta pemerintah propinsi untuk mensupervisi daerah di bawahnya agar
di level pusat dan daerah. Dalam konteks daerah, keberhasilan pembangunan suatu provinsi,
sangat ditentukan oleh keberhasilan pembangunan di berbagai kota dan kabupaten yang ada di
dalamnya. Teori ini mengajarkan kepada kita untuk melakukan komunikasi dan koordinasi yang
Pemerintah pusat memainkan peran sentral dalam mengkatalisasi kerja sama antar
daerah. Secara logika, pemerintah pusat melalui struktur organisasinya atau birokrasinya harus
memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam memetakan potensi dan keunggulan masing-masing
daerah, termasuk kekurangannya. Melalui pemetaan yang baik, pemerintah pusat dapat
mensupervisi struktur organisasi daerah, dalam hal ini pemerintah provinsi mengenai
mekanisme kerja sama yang seperti apakah yang harus dilaksanakan. Otonomi daerah
memang memberikan kewenangan yang besar kepada daerah untuk mengatur dirinya sendiri,
namun tidak menjadi legitimasi bagi pemerintah pusat untuk lepas tangan.
Secara teknis peran pemerintah pusat dalam penguatan kerja sama antar daerah dapat
Kebudayaan dan Pariwisata RI (Kemenbudpar RI), Badan Pusat Statistik (BPS), serta
Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal RI (Kementerian PDT RI). Secara umum, tiap
instansi di level pusat dapat berkontribusi bagi penguatan kerja sama antar daerah sesuai tugas
d. Belum Ada Basis Data (Database) yang Baik Mengenai Kerja Sama Antar daerah di
Seluruh Indonesia.
Kemajuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi seturut masifnya proses
globalisasi yang melanda dunia saat ini sudah semestinya digunakan untuk kepentingan-
kepentingan yang bersifat positif, terlebih lagi apabila memberikan dampak terhadap hajat hidup
orang banyak.
Potensi sumber kekayaan alam Indonesia yang begitu besar, baik dari aspek pertanian,
sampai Merauke, Miangas hingga Pulau Rote, perlu untuk dipetakan agar menjadi pedoman
Secara faktual, pemetaan potensi sumber kekayaan alam tersebut sudah dilakukan oleh
instansi-instansi terkait. Sebagai contoh, potensi perikanan Indonesia, baik ikan air tawar, asin,
maupun payau, telah dipetakan dengan baik oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan RI
(KKP RI). Potensi sumber daya hutan, sudah dipetakan dengan baik oleh Kementerian
Kehutanan RI (Kemenhut RI). Namun demikian, yang menjadi pokok persoalan, apakah
pemetaan tersebut beserta data sebagai produknya dapat diakses dengan mudah sebagai
Kerapkali suatu daerah hanya menjalin kerja sama dengan daerah yang berbatasan
secara langsung saja dikarenakan ketidaktahuan mereka terhadap potensi kerja sama yang
bisa digali dengan daerah lain. Kurang gesitnya pemerintah daerah dalam menjalin komunikasi
dengan pemerintah daerah lainnya dalam forum-forum pertemuan kepala daerah menjadi
kelemahan tersendiri. Kondisi ini tidak akan terjadi apabila ada supervisi dari pemerintah pusat
serta ketersediaan data dan informasi yang cukup yang telah tersistem dengan baik
sebagaiguidance dalam menjalankan kerja sama antar daerah. Ketiadaan basis data yang
17. Analisis Implikasi Penguatan Kerja Sama Antar pemerintah Daerah Terhadap
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 yang tercantum pada alinea ke-4
yang salah satunya adalah memajukan kesejahteraan umum, penguatan kerja sama antar
daerah sebagai salah satu mekanisme pencapaiannya memiliki urgensi penting, baik dalam
Kerja sama antar daerah yang terjalin dengan komunikatif, solid dan bersifat mutualistis
atau saling menguntungkan, memberikan dampak dan manfaat positif bagi kesejahteraan
masyarakat. Masyarakat di suatu daerah yang miskin sumber kekayaan alamnya, dapat
terbantu oleh daerah lain yang memiliki surplus sumber daya. Masyarakat di suatu daerah yang
belum cakap mengawaki pembangunan di daerahnya, dapat terbantu berkat asistensi dan alih
teknologi yang diberikan oleh daerah lain melalui kerangka kerja sama yang dijalin dengan baik.
pihak yang merasa paling terbantu berkat adanya pola kerja sama antar daerah. Daerah
tetangga mereka yang lebih maju dapat memberikan asistensi dalam banyak hal, khususnya
dana pembangunan agar mereka tidak terisolir dan berdaya dalam mengelola daerah mereka
sendiri.
Kondisi di masa lampau, di mana masyarakat di daerah terpencil, terluar, terdepan dan
terbelakang lebih banyak menjalin hubungan dengan masyarakat dari negara tetangga,
menggunakan mata uang asing, mendengarkan siaran radio dan menonton program televisi
dari negara lain, bahkan mengibarkan bendera negara tetangga, dapat dicegah dan tidak akan
terulang apabila negara (dalam hal ini pemerintah pusat dan pemerintah daerah) hadir
1) Kerja sama antara Pemerintah Kota Pariaman, Kabupaten Padang Pariaman, serta Kota
Padang di wilayah Provinsi Sumatera Barat dengan mengoperasikan kembali Kereta Api Wisata
yang melintasi ketiga wilayah tersebut bekerja sama dengan PT. Kereta Api Indonesia (PT.
KAI). Biaya operasional yang mencapai kurang lebih Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah),
(lima) gubernur dari Sumatera dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) RI pada tanggal 7
perebutan sumber kekayaan alam, tumpang tindih pengeluaran perizinan soal pengelolaan
3) Fasilitasi kerja sama antara bupati dan walikota di Sumatera Barat oleh Pemerintah
Provinsi Sumatera Barat, yakni kesepakatan bersama tentang kerja sama antar pemerintah
yang telah ditandatangani di Padang pada tanggal 13 Juni 2005. Kepala daerah terkait meliputi
Bupati Padang Pariaman, Tanah Datar, Agam, Lima Puluh Kota, Walikota Padang Panjang,
Ketiga contoh kerja sama di atas menunjukkan bahwa mekanisme kerja sama antar
daerah menjadi media yang sangat efektif dalam memenuhi kebutuhan masyarakat daerah.
Kebutuhan di sini tidak hanya sebatas yang bersifat ekonomis saja (kebutuhan sandang,
pangan, serta papan), tapi juga kebutuhan yang bersifat sosial budaya (sosialisasi
konflik sosial), di mana pemenuhan kebutuhan multiaspek ini dapat menjadi katalisator dalam
Nasional.
Pembangunan nasional merupakan kata kunci bagi kemajuan suatu negara bangsa.
Pembangunan nasional berarti menggunakan segenap sumber daya yang dimiliki untuk
mewujudkan apa yang menjadi tujuan nasional. Pembangunan nasional jamaknya diidentikkan
dengan pembangunan sarana dan prasarana, seperti jalan, jembatan, pelabuhan, bandar
udara, fasilitas pendidikan, kesehatan, serta infrastruktur lainnya. Pembangunan nasional juga
meliputi pembangunan sumber daya manusia yang menjadi aspek terpenting dari
Pembangunan nasional tidak akan efektif dan tercapai secara optimal apabila tidak
kesalahan mekanisme yang dipilih menyebabkan terjadinya disparitas sosial dan ketimpangan
antarwilayah di Indonesia. Sentralisasi kepada pemerintah pusat dalam hal pengelolaan daerah
mengakibatkan jurang ekonomi dan sosial yang begitu lebar antara pulau Jawa dan luar Jawa.
Hal ini bukan hanya terjadi karena kesalahan konsep dan strategi yang dipilih, tapi juga
karena kelemahan yang ada pada diri pemerintah pusat sendiri pada waktu.
serta tugas pembantuan hadir sebagai solusi. Pemerintah daerah dapat mengelola wilayahnya
sendiri demi mencapai objektif pembangunan daerah. Mereka juga diberi keleluasaan untuk
bekerja sama satu sama lain dalam kerangka kerja sama antar daerah. Melalui kerja sama
antar daerah, apa yang menjadi kebutuhan masyarakat daerah dengan cepat dapat dipenuhi.
Apa yang menjadi kekurangan suatu daerah, bisa didukung oleh daerah lainnya.
Diferensiasi keunggulan daerah bisa diatasi melalui kerja sama yang solid dan tangguh
antar daerah. Bahkan daerah-daerah terpencil, terdepan, terluar, serta terbelakangpun dapat
merasakan dampak positifnya. Sudah jarang kita mendengar upaya-upaya pemisahan diri dari
berbagai daerah sebagai akibat ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat. Manfaat positif yang
mereka petik dari kerja sama antar daerah secara signifikan berdampak pada kesejahteraan
mereka yang dalam sekup yang lebih besar berkontribusi pada lancarnya proses pembangunan
nasional, baik secara fisik terkait sarana dan prasarana, maupun secara nonfisik, yakni
kohesivitas sosial antar daerah, penguatan nasionalisme, serta sumber daya manusia daerah
yang unggul yang akan terlibat dalam proses pembangunan nasional itu sendiri.
BAB V
YANG DIHARAPKAN
18. Umum.
Pembangunan nasional merupakan suatu proses jangka panjang yang menuntut peran
serta secara aktif dari seluruh komponen bangsa dan negara Indonesia. Sebagai proses jangka
panjang, pembangunan nasional bersifat holistik dan integral, bukan parsial, karena dibutuhkan
segenap sumber daya nasional yang dimiliki untuk mencapai tujuannya secara optimal.
Penggunaan seluruh sumber daya nasional ini pada hakikatnya adalah untuk melengkapi
esensi dari pembangunan nasional itu sendiri, yakni pemerataan hasil pembangunan yang
Otonomi daerah sebagai salah satu media untuk mencapai tujuan pembangunan
nasional, di satu sisi memiliki keunggulan, namun di sisi lain menghadirkan tantangan yang tak
mudah untuk disikapi. Pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
dan keleluasaan bagi aparatur dan masyarakat daerah untuk mengelola wilayah mereka sendiri
karena secara prinsip mereka lebih memahami apa yang terbaik bagi mereka. Namun
demikian, privilese yang mereka terima dari pemerintah pusat acapkali menimbulkan penguatan
ego sektoral, pemahaman bahwa mereka bisa memenuhi kebutuhan sendiri, terlepas dari
daerah lain. Padahal kita ketahui bersama, bahwa tidak ada satu bentuk organisasipun yang
mampu menjalankan autarki dalam mencukupi semua kebutuhannya di era modern ini.
Hak untuk mengelola daerah sendiri yang dimiliki oleh pemerintah daerah acapkali
membuat mereka berfikir layaknya seorang manajer yang profit oriented. Sebagai contoh,
banyak pemerintah daerah yang lebih gemar membangun kerja sama dengan pihak swasta,
ketimbang bekerja sama dengan pemerintah daerah lain. Alasan yang sering digunakan adalah
kerja sama dengan pemerintah daerah lain lebih banyak merugi dan lebih banyak menyedot
Kondisi di mana pemerintah daerah yang bersikap layaknya seorang manajer dengan
mempertimbangkan prinsip untung dan rugi (cost benefit analysis) ini pada dasarnya baik jika
diletakkan pada konteks yang tepat. Hanya saja yang kerap mereka lupakan adalah aparat
negara bergerak atas dasar objektif untuk menyejahterakan rakyat, serta mendukung proses
pembangunan nasional. Oleh sebab itu, kerja sama dengan pemerintah daerah lainnya sebagai
sesama aparatur negara adalah sebuah keharusan. Hal tersebut juga merupakan salah satu
upaya untuk memperkokoh ketahanan daerah serta ketahanan nasional dalam sekup yang
lebih besar.
Pemerintah pusat sangat menyadari bahwa penyelenggaran kerja sama antar pemerintah
daerah bukanlah sebuah perkara yang mudah. Tantangan yang dihadapi bersifat kompleks
karena terkait erat dengan ragam postur sumber daya nasional yang dimiliki oleh masing-
masing daerah, perbedaan dari sisi kehidupan sosial dan budaya, serta karakteristik pemerintah
dan masyarakat yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain. Begitu juga dengan
kekuatan pendapatan dan anggaran daerah, serta target pembangunan yang berbeda-beda,
Terlepas dari semua tantangan tersebut, hal pertama dan utama yang wajib dilaksanakan
oleh pemerintah pusat adalah merilis berbagai regulasi atau peraturan sebagai payung hukum.
Penetapan payung hukum yang mengatur pemerintahan daerah serta kerja sama antar daerah
ini juga menyuguhkan tantangan dalam bentuk respon yang cepat dalam menyikapi kebutuhan
Berbagai regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat antara lain UU No. 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan UU No. 9 Tahun 2015
tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 22 Tahun
2009 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Kerja Sama Daerah sebagai tindak lanjut atas
ketentuan Pasal 7 huruf e Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Kerja
Sama Daerah.
UU No. 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah memuat esensi pokok seperti apa yang menjadi tugas dan wewenang
kepala daerah beserta wakilnya, tugas dan wewenang Dewan Perwakilan Dakyat Daerah
(DPRD), baik pada level provinsi, maupun pada level kabupaten/kota. Sedangkan esensi pokok
yang terdapat pada Permendagri No. 22 Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Kerja
Sama Daerah antara lain (1) definisi mengenai daerah dan kepala daerah, (2) definisi mengenai
kerja sama antar daerah dan kerja sama dengan pihak ketiga, (3) pembentukan Tim Koordinasi
Kerja Sama Daerah (TKKSD) yang bertugas membantu kepala daerah dalam menyiapkan kerja
sama antar daerah, (4) penjelasan mengenai ruang lingkup, tata cara, serta tahapan dalam
kerja sama daerah, serta (5) penjelasan mengenai siapa dan apa yang menjadi tugas Tim
Berbagai regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat tersebut secara prinsip sudah
mencakupi kebutuhan akan peyelenggaraan kerja sama daerah, khususnya kerja sama antar
daerah. Agar objektif pembangunan daerah dan pembangunan nasional dalam sekup yang
lebih besar dapat tercapai secara optimal, dibutuhkan political will serta komitmen yang kuat
dari pemerintah daerah sendiri untuk merealisasikannya. Secara umum, beberapa kondisi yang
diharapkan dalam penguatan kerja sama antar pemerintah daerah di Indonesia, antara lain
sebagai berikut:
a. Mekanisme Kerja Sama Antar daerah dijadikan sebagai Inovasi Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah.
Kesuksesan sebuah organisasi salah satunya terletak pada kapasitas dan kapabilitas
organisasi tersebut dalam mengatasi kendala-kendala yang dihadapi. Pemerintah daerah, baik
pada level provinsi, maupun kabupaten/kota, juga dituntut untuk mampu mencari solusi atas
setiap permasalahan yang muncul di daerah. Tantangan yang dihadapi sangatlah dinamis,
berubah cepat dari waktu ke waktu. Jika pada masa dulu tantangannya adalah mewujudkan
pembangunan nasional, maka saat ini tantangan yang dihadapi adalah pembangunan nasional
yang sifatnya lebih kompleks, ada aspek sumber daya manusia di dalamnya, ada penggunaan
teknologi informasi, komunikasi, serta transportasi, serta dituntut agar mampu memenuhi aspek
pemerataan pembangunan.
Kompleksitas tantangan yang dihadapi tersebut membutuhkan inovasi atau ide-ide baru.
Solusi lama yang terkadang business as usual tidak lagi relevan dalam menyikapi tantangan
yang sedemikian kompleks tersebut. Inovasi dan ide-ide baru tersebut akan sangat berguna
apabila diimplementasikan dalam kerangka yang tepat, yakni kerja sama antar daerah. Tidak
semua daerah memiliki keunggulan komoditas, tidak semua daerah menguasai teknologi
secara canggih, juga tidak semua daerah memiliki kualitas sumber daya manusia yang baik.
Berbagai kelebihan dan kekurangan yang ada pada masing-masing daerah dapat disinergikan
dengan baik apabila diantara mereka dapat bekerja sama satu sama lain. Di sinilah kerja sama
antar daerah sebagai suatu inovasi menemui relevansinya. Dituntut kejelian masing-masing
pemerintah daerah dalam menginisiasi serta menyelenggarakan kerja sama antar daerah
keputusan lainnya memiliki urgensi sebagai payung hukum sebuah kebijakan untuk
berlaku secara nasional, ada juga yang hanya berlaku pada level daerah.
Regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat sudah selaiknya selaras dengan apa yang
dibuatnya regulasi tersebut menjadi tidak tercapai. Pemerintah pusat juga dituntut untuk secara
jeli menyimak dinamika daerah, khususnya terkait kebutuhan tiap-tiap daerah yang dapat
berubah dari waktu ke waktu. Di sisi lain, pemerintah daerah harus mentaati regulasi yang
dibuat oleh pemerintah pusat atau struktur pemerintah yang ada di atasnya. Pembuatan
regulasi di level daerahpun harus selaras dengan regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah
pusat. Kesesuaian regulasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah sebuah
c. Promosi dan Diseminasi Mekanisme Kerja Sama Antar daerah oleh Pemerintah Pusat.
Dalam konteks kerja sama antar daerah, pemerintah pusat menempati posisi yang vital. Hal
ini dikarenakan birokrasi di level pusat memiliki derajat kewenangan tertinggi yang menentukan
menyelenggarakan pelayanan publik, aspek yang menjadi esensi utama penyelenggaraan kerja
sama antar daerah. Secara teknis dan operasional peran pemerintah pusat dalam penguatan
kerja sama antar daerah dapat dijalankan oleh Badan Perencana Pembangunan Nasional
(Kemendag RI), Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI (Kemenbudpar RI), Badan Pusat
Statistik (BPS), Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal RI (Kementerian PDT RI), serta
d. Ketersediaan Basis Data Dalam Mendukung Kerja Sama Antar daerah di Seluruh
Indonesia.
Ada dua alasan mengapa basis data memiliki urgensi penting dalam pelaksanaan kerja
sama antar daerah. Pertama, fakta bahwa penggunaan teknologi informasi dan komunikasi
dewasa ini sudah sangat masif. Hampir tidak ada organisasi yang dalam operasionalnya tidak
memanfaatkan keunggulan teknologi informasi dan komunikasi. Sebagai contoh, presensi para
karyawan di perusahaan dapat dilihat pada data finger print atau portal clock in pada komputer,
tidak lagi harus melihat presensi manual atau daftar hadir. Penggunaan teknologi dalam bisnis
proses suatu organisasi sangatlah mendukung efektivitas serta efisiensi kerja. Kedua,
Indonesia memiliki geografi yang sangat luas, terbentang dari Sabang sampai Merauke, dari
Miangas hingga Pulau Rote. Struktur organisasi pemerintahan di Indonesia juga bisa dikatakan
sangat gemuk. Saat ini terdapat 35 provinsi di seluruh Indonesia[26], serta 416 kabupaten dan
98 kota.[27]
hambatan apabila tidak ada sarana pendukung penyelenggaraan kerja sama antar daerah.
Potensi dan keunggulan sumber kekayaan alam Indonesia yang begitu besar di tiap-tiap daerah
tidak hanya perlu dipetakan dengan baik, tapi juga mudah diakses oleh setiap pemerintah
daerah. Dengan demikian, peta potensi masing-masing daerah dapat menjadi panduan
Penyediaan basis data ini sudah semestinya dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Setiap
informasi yang bisa diakses oleh siapapun, khususnya para penyelenggara pemerintahan
daerah. Sebagai contoh, data mengenai potensi perikanan, disediakan oleh Kementerian
Kelautan dan Perikanan RI (KKP RI). Data mengenai hasil pertanian dan perkebunan,
disediakan oleh Kementerian Pertanian RI (Kementan RI). Penyediaan basis data oleh instansi
pemerintah pusat ini juga merupakan bentuk kepedulian pemerintah pusat dalam
nasional.
20. Analisis Kontribusi Penguatan Kerja Sama Antar pemerintah Daerah Terhadap
Pembangunan Nasional.
Penguatan kerja sama antar pemerintah daerah tentu saja memiliki korelasi yang positif
pada upaya tercapainya kesejahteraan umum yang merupakan tujuan nasional bangsa dan
negara Indonesia. Kesejahteraan umum di sini meliputi semua aspek kehidupan, tidak hanya
Indonesia yang mencakupi rasa aman, ketiadaan rasa takut, tercukupi sandang, pangan,
papan, serta terlindunginya harkat dan martabat sebagai manusia. Pemenuhan kesejahteraan
umum tersebut merupakan amanat landasan konstitusional sehingga menjadi tanggung jawab
yang dimiliki, masing-masing pemerintah dituntut untuk saling bekerja sama satu sama lain.
demikian, hambatan pembangunan dan kekurangan di suatu daerah, tidak menjadi tanggung
jawab daerah itu saja. Daerah lain juga dituntut untuk berpartisipasi dalam mengatasinya.
Nasional.
Sebuah pembangunan, apalagi dalam taraf nasional, tidak bisa dilaksanakan apabila
masyarakatnya belum sejahtera. Tolok ukur kesejahteraan itu sendiri yakni terpenuhinya
kebutuhan dasar, seperti sandang, pangan, serta perumahan. Sebagai contoh, masyarakat di
daerah terpencil, terluar, terdepan, serta terbelakang akan sulit membangun daerahnya apabila
mereka menderita busung lapar dan buta huruf. Oleh sebab itu, kesejahteraan masyarakat
adalah prasyarat bagi terlaksananya pembangunan nasional. Pembangunan nasional itu sendiri
menjadi media atau sarana untuk semakin meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui
Pemerintahan Daerah.
daerah dan pembangunan daerah tidak dapat diselenggarakan sendiri dan sangat
membutuhkan pelibatan atau partisipasi dari daerah lainnya. Kompleksnya tantangan yang
dihadapi oleh suatu daerah menghadirkan interdependensi dan interkonektivitas antara satu
Beberapa indikasi ditempatkannya mekanisme kerja sama antar daerah sebagai inovasi
kerja sama. Sebagai contoh, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta semakin memperkuat hubungan
kerja sama dengan Pemerintah Kota Bogor, Depok, Tangerang, serta Bekasi dalam mengatasi
permasalahan utama ibukota seperti banjir, kemacetan, sampah, hingga transportasi dan
tenaga kerja.
2) Kerja sama antar daerah tidak hanya dijalin secara horizontal saja (kabupaten dengan
kabupaten atau kotamadya dengan kotamadya), tapi juga dijalin secara vertikal dengan struktur
pemerintah daerah yang ada di atasnya. Sebagai contoh, kerja sama antara Pemerintah Kota
Bogor dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat tentang pengembangan perpustakaan umum di
Bogor.
Beberapa indikasi kesesuaian regulasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
1) Pemerintah daerah menggunakan UU No. 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas UU No.
pemerintahan daerah. Begitu juga dengan Permendagri No. 22 Tahun 2009 tentang Petunjuk
Teknis Tata Cara Kerja Sama Daerah juga dijadikan rujukan operasional oleh pemerintah
daerah.
2) Pemerintah pusat cepat tanggap akan kebutuhan daerah yang bersifat dinamis. Hal ini tercermin
pemerintahan daerah. Sebagai contoh, UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
mengalami dua kali perubahan. Pertama, yakni ditetapkannya Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun
No. 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 2014 tentang
3) Semakin mudahnya masing-masing pemerintah daerah melakukan kerja sama, baik yang
sifanya horizontal (kerja sama antara kabupaten/kota dengan kabupaten/kota), maupun yang
mengatur pemerintahannya sendiri, tidak dijadikan sebagai alasan untuk melepas tanggung
jawab.
Beberapa indikasi kontribusi pemerintah dalam promosi dan diseminasi mekanisme kerja
1) Penekanan dan instruksi dari pemerintah pusat pada acara-acara yang diselenggarakan oleh
Asosiasi Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota Seluruh Indonesia mengenai urgensi
pelaksanaan kerja sama antar daerah guna mewujudkan kesejahteraan umum dalam rangka
pembangunan nasional.
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi RI, Kementerian Pertanian RI, Kementerian
Perindustrian RI, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah RI, serta instansi-instansi
lainnya yang secara implisit dan eksplisit menuntut sinergi antar daerah dalam pelaksanaannya.
Beragam potensi dan sumber kekayaan alam Indonesia yang tersebar di 35 provinsi dan
514 kabupaten/kota, tidak menjadi sebuah permasalahan apabila semuanya itu terpetakan
dengan baik dalam basis data khusus untuk mendukung pelaksanaan kerja sama antar daerah.
Memang basis data ini belum terpusat pada satu aplikasi tunggal. Namun demikian, masing-
masing kementerian dan lembaga di level pusat memiliki portal data masing-masing yang bisa
dirujuk dan diakses oleh birokrasi daerah sebagai dasar untuk melakukan kerja sama.
Beberapa indikasi tersedianya basis data tersebut antara lain sebagai berikut:
1) Kementerian Budaya dan Pariwisata RI menyajikan basis data mengenai produk budaya serta
3) Masing-masing daerah telah memiliki data spasial menyangkut sumber daya alam yang dimiliki
sehingga dapat digunakan sebagai dasar atau rujukan untuk melakukan kerja sama satu sama
lain.
4) Lembaga Ketahanan Nasional RI menyediakan basis data berupa indeks ketahanan nasional
Dengan tersedianya basis atau pangkalan data tersebut, aksesibilitas daerah terhadap
informasi yang akurat dan terpercaya akan semakin cepat dan mudah. Pemerintah daerah tentu
saja memiliki gambaran yang memadai, secara kualitatif ataupun kuantitatif, untuk menyusun
perencanaan pelaksanaan kerja sama dengan daerah lainnya yang dianggap kompatibel dalam
BAB VI
22. Umum.
Otonomi daerah sebagai sebuah kebijakan nasional pada hakikatnya bertujuan untuk
mencapai kemaslahatan bagi publik, khususnya bagi pemerintah dan masyarakat di daerah.
mampu memproduksi kinerja yang lebih optimal dalam bentuk pelayanan publik yang prima
yang pada sekup yang lebih besar dapat mewujudkan tercapainya kesejahteraan yang sebesar-
Definisi kerja sama antar daerah di sini adalah kerja sama yang dilakukan oleh suatu daerah
dengan daerah lainnya, baik itu satu kabupaten dengan kabupaten lainnya, kotamadya dengan
provinsi.
Kerja sama antar daerah disusun melalui basis argumentasi yang jelas dan rasional.
Pertama, proses pembangunan nasional dengan segala objektif yang hendak dicapai,
utamanya kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat, tidak bisa dilakukan tanpa
sinergi dan harmoni antarelemen di daerah, baik provinsi, kotamadya, kabupaten, serta unit-unit
kecil di bawahnya.
daerah, sehingga dibutuhkan dukungan dan penguatan satu sama lain untuk menyukseskan
pembangunan nasional. Ketiga, kerja sama antar daerah memiliki urgensi dalam
merealisasikan visi ketahanan nasional. Ketahanan nasional akan memiliki struktur dan postur
yang kuat apabila ditopang oleh pilar ketahanan daerah yang tangguh. Jika tidak, maka
Vitalnya peran dan posisi kerja sama antar daerah dalam menopang pembangunan
nasional dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum, mengakibatkan setiap kendala dan
hambatan pada pelaksanaannya harus disikapi secara cepat dan tepat. Kendala dan hambatan
dalam pelaksanaan kerja sama antar daerah pada hakikatnya bersifat lumrah, seperti halnya
bentuk-bentuk kebijakan publik lainnya. Namun demikian, dikarenakan objektifnya berada pada
ranah pembangunan nasional, maka penanganannya menuntut untuk disikapi secara cepat dan
komprehensif.
Beragam kendala dalam pelaksanaan kerja sama antar daerah antara lain pertama,
belum ditempatkannya mekanisme kerja sama antar daerah sebagai solusi dan inovasi dalam
menyelesaikan persoalan daerah. Banyak daerah yang memiliki konfidensi tinggi untuk
menyelesaikan sendiri persoalannya tanpa melibatkan pihak lain, baik itu daerah lain ataupun
pihak swasta. Tak hanya itu, banyak daerah yang terjebak pada ego sektoral. Tidak mau
bekerja sama dengan daerah lainnya hanya untuk membuktikan bahwa status daerah
pemekaran yang diperoleh harus dibuktikan dengan pemenuhan kebutuhan daerah yang
terlepas dari kerja sama dengan pihak lainnya. Yang lebih fatal, mekanisme kerja sama antar
daerah tidak ditempatkan sebagai pilihan. Ada daerah yang lebih gemar menjalin kerja sama
dengan pihak swasta, khususnya perusahaan bermodal besar karena kepala daerahnya
Kendala kedua dalam kerja sama antar daerah adalah ketimpangan atau tidak terdapat
sinkronisasi antara peraturan atau regulasi di level pusat dengan peraturan atau regulasi di
level daerah. Akibatnya sungguh fatal, objektif pembangunan nasional pada skala pusat serta
kebutuhan daerah sama-sama tidak tercapai. Kerapkali pusat merilis peraturan yang tidak
sesuai dengan kebutuhan daerah. Pemerintah pusat juga terkadang mengeluarkan kebijakan
yang ditujukan kepada pemerintah daerah, namun tidak sesuai dengan semangat otonomi
daerah yang menjadi ruh penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kebijakan di daerahpun setali
tiga uang. Para kepala daerah kerap terjebak pada vested interest sehingga terkadang
mengeluarkan peraturan atau regulasi yang menciderai semangat otonomi daerah hanya
mendiseminasikan mekanisme kerja sama antar daerah. Kondisi ini terjadi oleh banyak faktor.
Terkadang hanya dengan merilis regulasi, tanggung jawab dan kewajiban pemerintah pusat
sudah terpenuhi. Suksesi di berbagai kementerian atau lembaga negara yang terkait dengan
bersifat fluktuatif. Terkadang satu pejabat begitu intens dalam mempromosikan mekanisme
kerja sama antar daerah untuk mendukung objektif instansinya. Namun terkadang pejabat
penggantinya memiliki pandangan yang berbeda. Faktor lainnya adalah anggapan bahwa
daerah memiliki tanggung jawab sendiri untuk menyukseskan pelaksanaan kerja sama antar
daerah seperti yang termaktub dalam berbagai peraturan pemerintahan daerah, sehingga peran
Keempat, belum adanya pangkalan atau basis data sebagai dashboard dalam
pelaksanaan kerja sama antar daerah. Basis data ini sangat penting karena memainkan peran
sebagai input dalam perencanaan kerja sama antar daerah. Melalu basis data yang
komprehensif yang disusun secara periodik, memuat informasi penting dan bernilai strategis
mengenai ragam potensi sumber daya daerah yang bisa lebih dioptimalkan, maka dapat
mendukung tercapainya kerja sama yang lebih bernilai guna serta bersifat saling
menguntungkan antar daerah. Basis data yang kuat juga akan menjadi katalisator bagi
dibutuhkan kebijakan, strategi, serta upaya yang bersifat integral, holistik, serta komprehensif.
Kebijakan yang akan ditetapkan nantinya harus memuat keputusan strategik yang berisi
rumusan umum untuk memecahkan berbagai kendala dan hambatan yang dihadapi.
Sedangkan strategi yang disusun akan berisikan tujuan, sarana, serta metode yang digunakan
untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan. Berbeda dengan kebijakan dan strategi, upaya
adalah langkah-langkah riil atau tindakan nyata yang bersifat teknis sebagai penjabaran
strategi. Dalam konteks upaya, akan dijelaskan siapa dan apa yang menjadi subjek dan objek,
Secara umum, kebijakan, strategi, serta upaya yang diuraikan akan ditujukan sebagai
mekanisme untuk menjawab rumusan masalah dalam Kertas Karya Perorangan PPSA XXI
Lemhannas RI ini, yakni “Optimalisasi Kerja Sama Antar Pemerintah Daerah Guna
23. Kebijakan.
Dalam rangka mendukung penguatan kerja sama antar daerah, akan dirumuskan
kebijakan yang berbasis pada kebutuhan serta kendala yang dihadapi pada tataran
24. Strategi
a. Strategi 1 : Menempatkan mekanisme kerja sama antar daerah sebagai solusi dan
Strategi ini dimaksudkan untuk menempatkan mekanisme kerja sama antar daerah
sebagai pilihan utama dalam menjawab berbagai kebutuhan, tantangan serta permasalahan
yang ada di daerah. Adanya opsi lain dalam penyelenggaraan kerja sama yang dilakukan oleh
daerah, seperti kerja sama dengan pihak swasta, mengakibatkan kerja sama antar daerah tidak
Dengan ditempatkannya mekanisme kerja sama antar daerah sebagai solusi dan inovasi
dapat menggugah hati dan membuka mata para kepala daerah akan urgensi sinergi dan
harmoni antar daerah dalam menyukseskan baik tujuan pembangunan nasional, maupun
target-target pembangunan yang hendak dicapai oleh daerah. Melalui kerja sama yang
kesetaraan dan keadilan, serta dijalankan secara berkala dan berkesinambungan, maka
permasalahan yang dihadapi tidak akan menjadi sulit atau menghambat pencapaian tujuan
munculnya ide-ide kreatif dari pihak yang melakukan kerja sama tersebut. Ide-ide kreatif ini
akan disaring sehingga didapatkan ide terbaik untuk diformulasi sebagai strategi dalam
penyelesaian masalah. Banyaknya ide-ide kreatif yang muncul juga akan menjadi inovasi dalam
penyelesaian masalah. Artinya solusi yang dirumuskan bersifat kebaruan atau belum pernah
diterapkan selama ini terhadap permasalahan yang dihadapi oleh daerah. Inilah yang menjadi
esensi mengapa mekanisme kerja sama antar daerah perlu ditempatkan sebagai solusi utama
dalam menjawab kebutuhan serta permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh daerah.
Sarana yang digunakan untuk mencapai tujuan dalam rangka menempatkan mekanisme
kerja sama antar daerah sebagai inovasi dalam menyelesaikan berbagai permasalahan di
daerah adalah melalui edukasi kepada para kepala daerah serta elemen masyarakat daerah
yang peduli pada pentingnya kerja sama antar daerah dalam mendukung pembangunan
nasional.
kebijakan tentang pemerintah daerah, pemerintahan daerah, serta otonomi daerah, seminar
dan diskusi panel dengan mengangkat tema urgensi mekanisme kerja sama antar daerah,
di daerah.
Manusia dan Kebudayaan RI (Kemenko PMK RI), Kementerian Koordinator Bidang Politik
(Kemenperin RI), Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal RI (Kemendes dan
PDT RI), Kementerian Komunikasi dan Informatika RI (Kemenkominfo RI), Badan Koordinasi
(Lemhannas RI), termasuk berbagai organisasi atau lembaga swadaya masyarakat yang
dengan peraturan atau regulasi di level daerah agar tercipta kesamaan orientasi dalam
mencapai objektif kerja sama antar pemerintah daerah yang telah ditetapkan.
Strategi ini dimaksudkan untuk menyamakan cara pandang dan orientasi antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kesamaan cara pandang atau orientasi antara kedua
belah pihak lebih lanjut akan berdampak pada selarasnya regulasi atau peraturan yang
Sarana yang digunakan untuk mencapai tujuan dalam rangka Mewujudkan sinkronisasi
antara peraturan atau regulasi di level pusat dengan peraturan atau regulasi di level
daerahadalah komunikasi dan koordinasi yang intensif antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah. Melalui komunikasi dan koordinasi yang dijalankan secara intensif, berkala dan
daerah yang pada taraf lebih lanjut akan didapat kesamaan visi dan misi antara kedua belah
pihak.
Metode yang digunakan untuk mencapai sasaran meliputi dialog, diskusi panel, seminar,
simposium, rapat, forum dengar pendapat, serta berbagai mekanisme formal dalam
Perwakilan Rakyat RI (DPR RI), Dewan Perwakilan Daerah RI (DPD RI), maupun Dewan
Subyek dalam melaksanakan strategi ini adalah Kementerian Koordinasi Bidang Politik,
(Kemendagri RI), Mahkamah Konstitusi RI (MK RI), Dewan Perwakilan Rakyat RI (DPR RI),
Dewan Perwakilan Daerah RI (DPD RI), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota
Obyek dari strategi ini adalah para pejabat pemerintah pusat (para menteri atau kepala
lembaga negara), pejabat pemerintahan daerah (gubernur, walikota, bupati), unsur legislatif
pusat (DPR RI dan DPD RI), unsur legislatif daerah (DPRD Kabupaten/Kota), serta lembaga
masyarakat madani yang peduli pada isu-isu kerja sama antar daerah.
mendiseminasikan mekanisme kerja sama antar daerah agar mekanisme tersebut dapat
digunakan secara masif oleh tiap-tiap daerah dalam memenuhi kebutuhan atau mencapai
kepentingan daerah.
Strategi ini dimaksudkan untuk menguatkan peran serta pemerintah pusat dalam
menyukseskan penyelenggaraan kerja sama antar daerah. Kelemahan selama ini di mana
pemerintah pusat cenderung melupakan tanggung jawab dan kewajibannya dan membiarkan
daerah berjalan sendiri melaksanakan kerja sama antar daerah diharapkan tidak terulang
mekanisme kerja sama antar daerah dengan inisiatif yang kuat dari daerah sendiri akan
menghasilkan postur kerja sama yang lebih efektif, efisien, serta memacu daya saing daerah.
Sarana yang digunakan untuk merealisasikan strategi ini adalah komunikasi dan
koordinasi yang intens antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan berbasiskan
pada kebutuhan dan persoalan yang ada di daerah. Metode yang digunakan adalah melalui
forum dialog dan diskusi, seminar, rapat, serta forum dengar pendapat.
Subyek yang digunakan untuk strategi ini adalah Pemerintah daerah yakni gubernur pada
level provinsi, walikota pada level kotamadya, serta bupati pada level kabupaten. Selain itu,
unsur-unsur daerah seperti lembaga swadaya masyarakat, pers, serta organisasi sosial lainnya
yang peduli pada tata kelola pemerintahan yang baik juga dapat menjadi subjek pada strategi
ini.
Obyek dari strategi ini adalah pemerintah pusat meliputi kementerian atau lembaga
negara yang terkait dengan optimalisasi penyelenggaraan kerja sama antar daerah.
Kementerian dan lembaga negara tersebut antara lain Kementerian Koordinasi Bidang Politik,
(Kemendagri RI), Mahkamah Konstitusi RI (MK RI), Dewan Perwakilan Rakyat RI (DPR RI),
Dewan Perwakilan Daerah RI (DPD RI), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota
penyelenggaraan kerja sama antar daerah melalui providing basis data secara khusus di
Strategi ini disusun dengan maksud untuk menyediakan sebuah pedoman dan panduan
dalam bentuk data-data kualitatif dan kuantitatif yang dapat digunakan sebagai dasar dalam
menyusun perencanaan kerja sama antar daerah. Dengan tersedianya basis data yang rinci,
valid, serta informatif, akan memudahkan pemerintah daerah dalam melihat peluang atau
potensi kerja sama yang bisa digarap dengan daerah lainnya. Mekanisme kerja sama antar
daerah yang dilakukan akan lebih terarah dan terencana dengan baik karena selain
berbasiskan pada kebutuhan, juga menemukan mitra yang tepat untuk mencapai kebutuhan
tersebut.
Adapun cara penggunaan basis data di sini adalah pertama, pemerintah daerah
menentukan terlebih dahulu apa yang menjadi target pembangunan di daerahnya. Kedua,
pemerintah daerah melakukan analisis kapasitas dan kapabilitas sumber daya daerah untuk
mewujudkannya. Ketiga, pemerintah akan menemukan apa saja yang menjadi faktor
penghambat dalam pemenuhan kebutuhan tersebut, baik itu dalam bentuk keterbatasan
sumber daya alam, sumber daya manusia, maupun modalitas lainnya (modalitas sosial, kultural
dan finansial). Keempat, dengan membaca basis data yang tersedia mengenai segala sumber
daya yang ada di daerah lainnya, pemerintah dapat menentukan daerah mana saja yang bisa
Basis data ini diharapkan dapat disediakan oleh pemerintah pusat, baik yang sifatnya
terintegrasi secara khusus untuk mendukung mekanisme kerja sama antar daerah, maupun
disediakan oleh unit-unit kerja pemerintah pusat yang tugas pokok dan fungsinya
Sarana yang digunakan untuk mencapai strategi ini adalah komunikasi dan koordinasi
yang intensif antara pemerintah daerah dengan kementerian atau lembaga negara yang terkait
dengan kebutuhan daerah untuk menyelenggarakan kerja sama antar daerah. Adapun
negara terkait, serta penyampaian aspirasi oleh anggota DPD RI dari daerah terkait dengan
Subjek pada strategi ini adalah para kepala daerah, yakni gubernur pada level provinsi,
walikota pada level kotamadya, serta bupati pada level kabupaten. Unsur legislatif yang
mewakili daerah dan menjabat di DPD RI juga dapat mendukung untuk menyuarakan aspirasi
dan kebutuhan daerahnya secara langsung kepada kementerian atau lembaga negara terkait.
Tidak lupa juga peran serta lembaga masyarakat dan unsur masyarakat madani lainnya yang
Yang menjadi objek pada strategi ini adalah instansi pemerintah pusat baik kementerian
atau lembaga negara. Instansi pemerintah pusat tersebut antara lain Kementerian Koordinator
Bidang Politik Hukum dan Keamanan RI (Kemenko Polhukam RI), Kementerian Dalam Negeri
dan PDT RI), Kementerian Komunikasi dan Informatika RI (Kemenkominfo RI), Badan
Koordinasi Penanaman Modal RI (BKPM RI), Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia
(Lemhannas RI), serta kementerian atau lembaga terkait lainnya yang tugas pokok dan
25. Upaya
Berbagai upaya yang akan dilakukan sebagai suatu langkah riil atau tindakan nyata dan
bersifat teknis sebagai bentuk penjabaran dari strategi-strategi yang telah ditetapkan di atas
a. Strategi 1 : Menempatkan mekanisme kerja sama antar daerah sebagai solusi dan inovasi
Strategi ini dimaksudkan untuk menempatkan mekanisme kerja sama antar daerah
sebagai pilihan utama dalam menjawab berbagai kebutuhan, tantangan serta permasalahan
yang ada di daerah. Adanya opsi lain dalam penyelenggaraan kerja sama yang dilakukan oleh
daerah, seperti kerja sama dengan pihak swasta, mengakibatkan kerja sama antar daerah tidak
Dengan ditempatkannya mekanisme kerja sama antar daerah sebagai solusi dan inovasi
dapat menggugah hati dan membuka mata para kepala daerah akan urgensi sinergi dan
harmoni antar daerah dalam menyukseskan baik tujuan pembangunan nasional, maupun
dijalankan dengan menerapkan prinsip kesetaraan dan keadilan, serta dijalankan secara
berkala dan berkesinambungan, maka permasalahan yang dihadapi tidak akan menjadi sulit
menyukseskan pelaksanaan otonomi daerah, khususnya mekanisme kerja sama antar daerah
Direktorat Jenderal Otonomi Daerah (Ditjen Otda), Direktorat Jenderal Bina Pembangunan
Daerah, Direktorat Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan, serta Direktorat Jenderal Bina
Pemerintahan Desa, Kemendagri RI dapat melakukan edukasi kepada para kepala daerah
(gubernur, walikota, serta bupati) untuk menempatkan mekanisme kerja sama antar daerah
sebagai pilihan solusi utama dalam menyikapi dinamika kebutuhan dan tantangan daerah.
Edukasi ini dapat berbentuk sosialisasi oleh masing-masing direktorat jenderal kepada unsur
penyelenggaraan pemerintahan daerah maupun unsur masyarakat madani yang ada di daerah
tersebut.
penguatan kerja sama antar daerah. Perdagangan saat ini bukan merupakan aspek yang
dimonopoli oleh pemerintah pusat, tapi sudah didesentralisasikan kepada pemerintah daerah.
Kemendag RI dapat memberikan instruksi kepada jajarannya yang ada di daerah untuk
mendukung penguatan kerja sama antar daerah. Secara teknis jajaran Kemendag RI di daerah
juga memainkan fungsi dan peran sebagai unsur pemerintahan di daerah itu sendiri. Oleh
sebab itu, kontribusi jajaran Kemendag RI di daerah dapat dilakukan dalam bentuk menjalin
koordinasi dan komunikasi yang erat dengan instansi di daerah lainnya terkait bidang-bidang
perdagangan apa saja yang bisa dijajaki untuk pemenuhan kebutuhan di daerah.
penguatan kerja sama antar daerah. Perindustrian saat ini tidak lagi terkonsentrasi pada kota-
kota besar saja, semisal Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, serta Makassar, tapi juga sudah
kepada jajarannya yang ada di daerah untuk mendukung penguatan kerja sama antar daerah.
Secara teknis jajaran Kemenperin RI di daerah juga memainkan fungsi dan peran sebagai
unsur pemerintahan daerah itu sendiri. Oleh sebab itu, kontribusi jajaran Kemenperin RI di
daerah dapat dilakukan dalam bentuk menjalin koordinasi dan komunikasi yang erat dengan
instansi di daerah lainnya terkait bidang-bidang perindustrian apa saja yang bisa dijajaki untuk
memberikan asistensi atau advokasi kepada para pelaku industri di daerah, khususnya industri
mikro, kecil dan menengah mengenai pentingnya melakukan kerja sama dengan pelaku industri
4) Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal RI atau Kemendes dan PDT RI.
Seperti halnya Kemendagri RI, kementerian ini memainkan peran sentral dalam menyukseskan
otonomi daerah, khususnya optimalisasi penggunaan mekanisme kerja sama antar daerah.
Basis rasionalnya adalah bidang yang diampu, yakni desa dan daerah tertinggal sebagai unsur
inheren dari daerah itu sendiri. Begitu juga halnya dengan kebijakan transmigrasi sebagai
mekanisme kerja sama antar daerah sebagai solusi prioritas atas kebutuhan dan permasalahan
daerah, kementerian ini dapat memberikan dukungan dalam bentuk fasilitasi kerja sama
antardesa dan daerah tertinggal yang saling membutuhkan satu sama lain atau bisa juga antara
desa dan daerah tertinggal dengan daerah lainnya yang lebih maju. Lebih lanjut, kementerian
ini juga dapat melakukan edukasi kepada para kepala daerah untuk mengintensifkan kerja
sama antar daerah dengan menyajikan basis data yang kuat sebagai pendukung edukasi dan
sosialisasi.
5) Kementerian Komunikasi dan Informatika RI atau Kemenkominfo RI. Melalui Direktorat Jenderal
Informasi dan Komunikasi Publik dapat mendukung sosialisasi kerja sama antar daerah
sehingga mekanisme ini menjadi well informed, dipilih sebagai prioritas, yang pada ujungnya
akan digunakan secara masif dalam pemenuhan kebutuhan dan tantangan di daerah.
6) Badan Koordinasi Penanaman Modal RI atau BKPM RI. Investasi atau penanaman modal
merupakan aspek vital bagi penyelenggaraan pembangunan, baik nasional, maupun di level
daerah. Bagi daerah sendiri, investasi merupakan katalisator pemenuhan kebutuhan finansial
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) atau belum optimalnya penerimaan dari Pendapatan
Asli Daerah (PAD) dapat dikatalisasi melalui investasi yang ditanamkan oleh pemodal di
daerah. Melihat urgensi bidang ini, BKPM RI melalui jajarannya di daerah dapat melakukan
edukasi kepada pemerintah daerah untuk mengoptimalkan masuknya investasi melalui kanal
kerja sama antar daerah. Jajaran BKPM RI di daerah juga dapat memberian asistensi dalam
bentuk tipologi investasi manakah yang dibutuhkan daerah, apakah bersifat padat modal atau
7) Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) merupakan lembaga negara
yang salah satu tugas pokok dan fungsinya adalah melakukan kajian strategik terhadap isu-isu
ketahanan nasional, baik pada tataran nasional, regional, hingga global. Guna membantu
pencapaian pelaksanaan tugas pokok dan fungsi ini, Lemhannas RI memiliki Laboratorium
Lemhannas RI. Laboratorium ini menjalankan fungsi pengukuran terhadap indeks ketahanan
nasional, yang mana untuk mendapatkannya, dibutuhkan pengukuran terlebih dahulu terhadap
indeks ketahanan daerah. Melalui tugas pokok dan fungsi yang melekat, serta prasarana
pendukung yang dimiliki, Lemhannas RI dapat mendukung penguatan kerja sama antar daerah
melalui edukasi kepada para kepala daerah dalam bentuk sosialisasi atau seminar mengenai
pentingnya mekanisme kerja sama antar daerah dalam mendukung penguatan indeks
ketahanan daerah, baik pada bidang panca gatra (ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya,
serta pertahanan keamanan), maupun pada bidang trigatra, yakni geografi, demografi, serta
b. Strategi 2 : Mewujudkan sinkronisasi antara peraturan atau regulasi di level pusat dengan
Strategi ini dimaksudkan untuk menyamakan cara pandang dan orientasi antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kesamaan cara pandang atau orientasi antara kedua
belah pihak lebih lanjut akan berdampak pada selarasnya regulasi atau peraturan yang
dikeluarkan terkait penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan objektif suksesnya
1) Berbagai regulasi yang diinisiasi atau disusun oleh kementerian dan lembaga negara di bawah
koordinasi Kemenko Polhukam RI untuk dibahas bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat
otonomi daerah. Jangan sampai regulasi yang hendak dibuat bersama DPR RI justru
melemahkan spirit pelaksanaan otonomi daerah. Sebagai contoh, beberapa pasal pada
ditetapkan, dianggap oleh beberapa kepala daerah justru melemahkan spirit otonomi daerah.
2) Berbagai regulasi yang diinisiasi atau disusun oleh Kemendagri RI untuk dibahas bersama
dengan Dewan Perwakilan Rakyat RI (DPR RI), hendaknya disesuaikan atau diselarasakan
dengan undang-undang tentang otonomi daerah. Jangan sampai regulasi yang hendak dibuat
bersama DPR RI justru melemahkan spirit pelaksanaan otonomi daerah. Sebagai contoh,
wacana untuk mengembalikan pemilihan kepada daerah melalui mekanisme DPRD seperti
zaman orde baru, dianggap sebagai langkah mundur demokrasi dan mencederai semangat
otonomi daerah. Begitu juga kebijakan sentralisasi pemenuhan kebutuhan Aparatur Sipil
Negara (ASN) di daerah kepada Badan Kepegawaian Nasional (BKN) dan Kemenpan RB RI,
dianggap sebagai penyebab lambannya fungsi pelayanan di daerah karena yang ditetapkan
oleh kedua lembaga tersebut jauh di bawah kebutuhan dan permintaan daerah.
3) Regulasi atau peraturan perundang-undangan merupakah ranah yudikatif, di mana fungsi ini
salah satunya dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi RI (MK RI). Mahkamah Konstitusi RI
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) sebagai landasan konstitusional
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di negeri ini. Dalam konteks
pemenuhan strategi akan kesesuaian peraturan atau regulasi di level pusat dengan kebutuhan
daerah, maka Mahkamah Konstitusi RI dapat melakukan fungsi koordinasi dengan kementerian
atau lembaga negara terkait baik melalui seminar, diskusi, atau dialog.
4) Dewan Perwakilan Rakyat RI atau DPR RI, salah satu tugas pokok dan fungsinya adalah
penyusunan undang-undang. Secara konfiguratif, DPR RI terdiri atas para wakil rakyat yang
berasal dari partai politik yang berbeda dengan platform-nya masing-masing. Dalam konteks
pemenuhan strategi akan kesesuaian peraturan atau regulasi di level pusat dengan peraturan
atau regulasi di daerah, maka DPR RI harus melaksanakan fungsi penyusunan undang-undang
dengan cermat dan teliti, serta terhindar dari bias kepentingan. DPR RI dapat berkontribusi
dalam pencapaian strategi ini melalui filterisasi terhadap berbagai upaya pelemahan spirit
otonomi daerah melalui inisiasi undang-undang dari lembaga atau kementerian yang tidak pro
5) Dewan Perwakilan Daerah atau DPD RI menjalankan amanah sebagai lembaga yang
menyuarakan aspirasi daerah di level pusat. Secara konfiguratif DPD RI terdiri atas para
senator yang mewakili daerah pemilihannya masing-masing. Mereka yang duduk di DPD RI
dapat menyuarakan kepentingan daerah, khususnya penyusunan regulasi yang pro spirit
otonomi daerah serta selaras dengan kebutuhan daerah , kepada instansi pusat, termasuk
6) Lembaga Ketahanan Nasional RI atau Lemhannas RI, melalui Kedeputian Pengkajian Strategik
mengadakan sosialisasi, diskusi, seminar, ataupun format lainnya dalam hal mengkomunikasi
urgensi kesesuaian peraturan di level pusat dengan peraturan di level daerah, juga dalam hal
mana keselarasan tersebut juga dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan serta menghadapi
dinamika di daerah.
7) Sivitas akademika dari berbagai perguruan tinggi negeri di tiap-tiap daerah, khususnya Fakultas
Hukum (FH) dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) dapat menyelenggarakan kajian
reguler, diskusi, seminar atau dialog dengan pemerintah daerah dan pusat mengenai
pentingnya kesesuaian antara peraturan atau regulasi di level pusat dengan peraturan atau
regulasi di level daerah. Masukan dari sivitas akademika perguruan tinggi umumnya memiliki
efek dorong yang kuat mengingat fungsi mereka sebaga lembaga pendidikan atau lembaga
akademik.
Strategi ini dimaksudkan untuk menguatkan peran serta pemerintah pusat dalam
menyukseskan penyelenggaraan kerja sama antar daerah. Kelemahan selama ini di mana
pemerintah pusat cenderung melupakan tanggung jawab dan kewajibannya dan membiarkan
daerah berjalan sendiri melaksanakan kerja sama antar daerah diharapkan tidak terulang
mekanisme kerja sama antar daerah dengan inisiatif yang kuat dari daerah sendiri akan
menghasilkan postur kerja sama yang lebih efektif, efisien, serta memacu daya saing daerah.
1) Pemerintah daerah, dalam hal ini gubernur untuk level provinsi, walikota untuk level kotamadya,
serta bupati untuk level kabupaten, harus bersikap proaktif dalam mendorong pemerintah pusat
melalui jajaran birokrasinya untuk menjalankan kewajiban dan tanggung jawab dalam
mempromosikan serta mendiseminasikan mekanisme kerja sama antar daerah dalam rangka
menjawab tantangan pembangunan di daerah. Yang bisa dilakukan oleh pemerintah daerah
adalah menjalin komunikasi dan koordinasi yang intensif dengan pemerintah pusat seperti
dialog atau diskusi jika ada pejabat pemerintah dan instansi pusat terkait yang melakukan
kunjungan ke daerah atau bisa juga mengundang pejabat tersebut untuk datang ke daerah
dalam rangka mengisi forum diskusi, dialog atau seminar yang akan dihadiri oleh beberapa
kepemudaan, lembaga keagamaan, bahkan insan pers, dapat menjadi kindly reminder bagi
mendiseminasikan mekanisme kerja sama antar daerah. Hal ini karena mereka memainkan
fungsi sebagai kelompok pengawas serta penekan pemerintah. Dalam bahasa yang lebih halus,
mereka memainkan peran sebagai check and balance. Dalam konteks ini, hubungan
mutualisme antara pemerintah pusat dengan masyarakat madani yang berjalan dengan baik
dapat memberikan keuntungan tersendiri bagi pemerintah pusat karena tugas promosi dan
diseminasi yang mereka lakukan akan terbantu oleh kehadiran masyarakat madani tersebut.
Sebagai contoh, kalangan pers dapat membantu melalui pemberitaan di media massa dan
media elektronik. Begitu juga dengan berbagai lembaga swadaya masyarakat yang
a. Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) melalui Kedeputian Bidang
yang bernama Program Pemantapan Pemimpin Daerah Angkatan (P3DA) sebagai bentuk
pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya untuk mencetak kader-kader pimpinan tingkat
nasional. Melalui program ini, Lemhannas RI dapat memantapkan kembali komitmen para
pemimpin daerah untuk menegakkan spirit otonomi daerah serta memprioritaskan mekanisme
kerja sama antar daerah dalam memenuhi kebutuhan serta menghadapi tantangan yang
b. Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia (Kemendagri RI) melalui Direktorat Jenderal
Otonomi Daerah (Ditjen Otda Kemendagri RI) memiliki beberapa tugas pokok dan fungsi seperti
penataan daerah, fasilitasi kepala daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD),
evaluasi kinerja dan peningkatan kapasitas daerah, fasilitasi kelembagaan dan perangkat
daerah, serta produk-produk hukum daerah. Pelaksanaan tugas pokok dan fungsi tersebut
dapat disertai dengan upaya-upaya mempromosikan kerja sama antar daerah. Ditjen Otda
Kemendagri RI juga memiliki pijakan yang jelas dalam proses promosi dan diseminasi program
karena memiliki wewenang untuk berhubungan langsung dengan daerah dalam bentuk dialog,
diskusi dan fasilitasi, bahkan menegur daerah apabila tidak menjalankan mekanisme kerja
c. Kementerian Komunikasi dan Informatika RI (Kemenkominfo RI) memiliki beberapa tugas pokok
dan fungsi antara lain melaksanakan komunikasi publik, pengolahan dan penyediaan informasi,
pengelolaan media publik, serta kemitraan komunikasi. Berdasarkan tugas pokok dan fungsi
tersebut, Kemenkominfo RI memiliki peranan yang sentral dan strategis dalam mempromosikan
dan mendiseminasikan program kerja sama antar daerah. Dalam pelaksanaan komunikasi
dengan aspek daerah sebagai ajang promosi dan sosialisasi program. Tentunya agar
sosialisasi program kerja sama antar daerah dapat dijelaskan secara rinci, Kemenkominfo RI
perlu bekerja sama dengan Kemendagri RI atau pemerintah daerah secara langsung.
d. Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal RI (Kemendes dan PDT RI) dalam
melaksanakan asistensi dan advokasi kepada daerah, dapat menghimbau desa-desa serta
daerah-daerah tertinggal untuk melakukan penguatan kerja sama dengan daerah lainnya.
Daerah tertinggal misalnya, yang notabene memiliki kekurangan dalam kepemilikan sumber
daya alam, kualitas sumber daya manusia, serta aksesibilitas terhadap teknologi, dapat
menutupi kekurangan tersebut dengan menjalin kerja sama dengan daerah lainnya yang lebih
maju.
e. Kementerian Pemuda dan Olahraga RI (Kemenpora RI) yang menaungi organisasi pemuda dan
pemerintah daerahnya, termasuk menjalin kerja sama dan komunikasi dengan para pemuda
dari daerah lainnya. Mereka dapat menjadi duta-duta daerah yang bisa mempererat kohesi
dan fungsi dalam hal pengurusan isu-isu tenaga kerja dan transmigrasi tentu membutuhkan
kerja sama dengan para kepala daerah, baik level provinsi, kotamadya, maupun kabupaten.
membutuhkan kerja sama yang solid dari pemerintah daerah. Tanpa promosi dan diseminasi
program kerja sama antar daerah, tampaknya sulit bagi Kemenakertrans RI untuk menjalankan
Strategi ini disusun dengan maksud untuk menyediakan sebuah pedoman dan panduan
dalam bentuk data-data kualitatif dan kuantitatif yang dapat digunakan sebagai dasar dalam
menyusun perencanaan kerja sama antar daerah. Dengan tersedianya basis data yang rinci,
valid, serta informatif, akan memudahkan pemerintah daerah dalam melihat peluang atau
potensi kerja sama yang bisa digarap dengan daerah lainnya. Mekanisme kerja sama antar
daerah yang dilakukan akan lebih terarah dan terencana dengan baik karena selain
berbasiskan pada kebutuhan, juga menemukan mitra yang tepat untuk mencapai kebutuhan
tersebut.
Adapun upaya yang dilakukan yakni para kepala daerah, yakni gubernur, walikota, serta
bupati, didukung oleh DPD RI dan berbagai organisasi masyarakat madani dapat menyuarakan
kebutuhan data-data atau informasi dalam rangka perencanaan kerja sama dengan daerah lain
kepada instansi pusat sesuai dengan tugas pokok dan fungsi yang mereka bidangi.
Secara teknis hal ini dapat dilakukan dengan diskusi, dialog, serta permintaan data secara
langsung. Terkadang tidak semua data yang dibutuhkan tersaji di situs jaringan (website)
Beberapa data informasi yang lazim dibutuhkan daerah dalam tahap penyusunan atau
1) Kementerian Dalam Negeri RI (Kemendagri RI) bekerja sama dengan pemerintah provinsi
dapat menyediakan data mengenai jumlah daerah desa, kecamatan, kabupaten serta
2) Kementerian Dalam Negeri RI (Kemendagri RI) bekerja sama dengan pemerintah daerah
kabupaten/kota dapat meneydiakan data mengenai existing cooperation antar daerah serta
3) Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI (Kemenakertrans RI) bekerja sama dengan
Kementerian Dalam Negeri RI (Kemendagri RI) dapat menyediakan data mengenai densitas
penduduk serta total jenderal penduduk yang hendak mengikuti program transmigrasi.
dan Penanaman Modal RI (BKPM RI) dapat menyediakan data-data mengenai calon penanam
Perindustrian RI (Kemenperin RI) dapat menyediakan data mengenai peta industri di suatu
Kementerian Pertanian RI (Kementan RI) dapat menyediakan data mengenai potensi pertanian,
Kementerian Kehutanan RI (Kemenhut RI) dapat menyediakan data mengenai potensi sumber
Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral RI (Kementerian ESDM RI) dapat menyediakan
Kementerian Kelautan dan Perikanan RI (Kementerian KKP RI) dapat menyediakan data
10) Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan RI (Kemenko Polhukam RI)
berkoordinasi dengan Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) dapat
menyediakan data mengenai indeks ketahanan daerah pada berbagai gatra penting dalam
kehidupan nasional.
BAB VII
PENUTUP
26. SIMPULAN.
a. Kebijakan otonomi daerah yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah untuk
yakni daerah sebagai pelaksana pemerintahan lebih mengetahui kapasitas dan potensi yang
dimiliki, sedangkan di sisi lain memiliki kelemahan, yakni potensi akan menguatnya ego
sektoral, munculnya raja-raja kecil di daerah, merebaknya praktik-praktik korupsi, kolusi, serta
nepotisme, yang mana pada taraf yang lebih luas, akan memberikan dampak buruk terhadap
b. Kerja sama antar daerah sebagai mekanisme yang tak terpisahkan dari otonomi daerah memiliki
nasional. Dalam konteks pembangunan nasional, kerja sama antar daerah berkontribusi dalam
hal peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), terselenggaranya pelayanan publik yang
mampu memenuhi hajat hidup orang banyak, meningkatnya semangat persatuan dan kesatuan
sosial di masyarakat. Dalam konteks ketahanan nasional, kerja sama antar daerah yang
dilakukan pada berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, serta bernegara, meliputi
ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan, geografi, demografi, serta
sumber kekayaan alam, berkontribusi dalam mewujudkan ketahanan daerah yang tangguh.
nasional. Tanpa ketahanan nasional yang tangguh, niscaya ancaman, gangguan, hambatan,
serta tantangan (AGHT) yang muncul, baik dari dalam negeri, maupun luar negeri, akan sulit
dihadapi.
c. Kerja sama antar daerah secara filosofis merupakan suatu keniscayaan. Sebagai contoh,
manusia, selain sebagai makhluk individu, juga memiliki altruisme yang menjadikannya sebagai
makhluk sosial yang membutuhkan interaksi dengan individu lainnya. Begitu juga halnya
dengan daerah yang membutuhkan kerja sama dengan daerah lain untuk memenuhi segala
antar daerah.
d. Kerja sama antar daerah, dalam implementasinya, memiliki beberapa kendala dan tantangan,
yang mana apabila tidak disikapi secara cermat, maka dapat berdampak pada terhambatnya
proses pembangunan nasional. Beberapa kendala utama yang dihadapi antara lain, belum
ditempatkannya mekanisme kerja sama antar daerah sebagai solusi dan inovasi dalam
menjawab kebutuhan daerah serta mengatasi persoalan yang dihadapi oleh daerah, tidak ada
sinkronisasi antara peraturan atau regulasi di level pusat dengan peraturan atau regulasi di
mendiseminasikan mekanisme kerja sama antar daerah, serta belum adanya basis data yang
mendukung tahap perencanaan, pengawasan serta evaluasi pelaksanaan kerja sama antar
daerah.
27. SARAN.
a. Kementerian Dalam Negeri RI (Kemendagri RI) bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik RI
(BPS RI) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional RI (Bappenas RI) perlu melakukan
analisis lebih lanjut mengenai signifikansi kerja sama antar daerah yang dilakukan oleh suatu
daerah terhadap pencapaian target-target pembangunan di daerah. Analisis ini diperlukan untuk
melihat peran dan kontribusi kerja sama antar daerah terhadap pembangunan nasional pada
sekup yang lebih luas. Apabila kontribusinya kecil, maka perlu dilakukan perubahan strategi
b. Kementerian Dalam Negeri RI (Kemendagri RI) bekerja sama dengan Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) dapat melakukan riset, kajian dan penelitian yang
mengkhususkan pada isu-isu otonomi daerah, utamanya isu kerja sama antar pemerintah
daerah. Hasil riset, kajian serta penelitian kemudian akan disampaikan kepada tiap-tiap
c. Kementerian Dalam Negeri RI (Kemendagri RI) melalui Direktorat Jenderal Otonomi Daerah
(Ditjen Otda) perlu merumuskan suatu program yang mampu merangsang pertumbuhan
partisipasi masyarakat sipil dalam monitoring pelaksanaan kerja sama antar pemerintah daerah.
Masyarakat sipil, terlebih lagi mereka yang tergabung dalam wadah masyarakat madani, dapat
menjadi mitra strategis pemerintah pusat dalam melakukan pengawasan dalam pelaksanaan
kerja sama antar pemerintah daerah. Potensi pelanggaran sertapotential loss dari sisi anggaran
dan pemenuhan kebutuhan dapat dimitigasi dengan baik jika mendapatkan dukungan, saran,
d. Kementerian Dalam Negeri RI (Kemendagri RI) bekerja sama dengan Badan Pengawas
Keuangan RI (BPK RI), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan RI (BPKP RI), serta
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu membuat sistem audit internal bersama untuk
mengevaluasi pelaksanaan kerja sama antar pemerintah daerah, baik dari sisi anggaran, sistem
manajemen mutu, maupun tindak lanjut atas saran, masukan, serta pengaduan dari masyarakat
madani/masyarakat sipil.
e. Kementerian Komunikasi dan Informatika RI (Kemenkomifo RI) perlu membuat suatu basis atau
pangkalan data yang sentralistik sebagai panduan dan acuan bagi daerah dalam
merencanakan dan menyusun program kerja sama dengan daerah lainnya. Selama ini data
daerah saja. Dengan basis atau pangkalan data yang sifatnya sentral dan integral, maka semua
tahapan dalam kerja sama antar pemerintah daerah dapat berjalan efektif dan efisien dan tentu
Prestasi Pustaka.
Alfabeta.
[8] http://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_daerah diunggah tanggal 9
Lemhannas RI 2017.
Pelajar.
[11] Buzan, Barry. 1991. People, States and Fear: An Agenda for
International Security Studies in the Post Cold War Era. UK: Harvester
Wheatsheaf.
[12] http://www.mediaindonesia.com/index.php/news/read/78975/trump-dan-strategi-politik-luar-
[13] http://mediaindonesia.com/news/read/63278/geliat-tiongkok-dan-
[14] http://dunia.rmol.co/read/2017/02/26/281905/Bebalnya-Israel!-
[16] http://www.kemlu.go.id/ptri-asean/id/Pages/Komunitas-ASEAN.aspx,
[17] Majalah TNI AL Cakrawala Edisi 435 Tahun 2017 berjudul “Bonus
[18] http://www.rmol.co/read/2017/06/04/294161/Mewujudkan-
Daerah.
Daerah.
[25] http://www.kompasiana.com/jose_rizal/kerjasama-daerah-sebuah-
peluang-peningkatan-kesejahteraan-
[26] http://www.pulau-indonesia.com/2016/01/jumlah-dan-nama-35-
[27] http://infopersada.com/nasional/pemerintahan-dan-wilayah/9-daftar-
jumlah-kabupaten-kota-di-setiap-provinsi-di-indonesia.html, diunduh