Anda di halaman 1dari 13

Aplikasi Psikologi Sosial dalam Bidang Hukum dan Contoh Kasus - Psikologi sosial mempelajari banyak

topik yang berkaitan dengan pemikiran dan perilaku sosial. Karenanya tidak mengejutkan bahwa riset
psikologi sosial juga dilakukan pada sejumlah topik hukum. Pada bahasan berikut akan diulas mengenai
identifikasi saksi mata (eye witness) dan kesaksian, saksi palsu, deteksi kebohongan, keputusan juri,
kesaksian ahli, sikap terhadap hukuman mati, dan diskriminasi dalam sistem hukum.

Identifikasi saksi mata dan kesaksian

Kesalahan identifikasi oleh saksi mata seperti kisah nyata Steven Avery mungkin bukan kejadian langka.
Beberapa ahli percaya bahwa kekeliruan saksi mata adalah penyebab utama dari hukuman yang salah,
yang menyebabkan ribuan orang tak bersalah dimasukkan dalam penjara (Scheck, Neufeld, &
Dwyer). Banyak penelitian juga menunjukkan bahwa identifikasi saksi mata sering tidak akurat (Wels
dan Olson).

Dalam sebuah studi dua asisten periset berpura-pura sebagai konsumen yang mengunjungi 63 toko.
Agar pelayan toko memperhatikan mereka, asisten itu sengaja berperilaku aneh. Misalnya, seorang
asisten membayar sebungkus rokok dengan dengan menggunakan uang recehan logam semua dan
meminta petunjuk ke lokasi yang jauh dari toko. Dua jam kemudian, sepasang lelaki dengan
mengenakan setelan datang ke toko, memperkenalkan diri sebagai pengacara yang sedang magang dan
meminta pelayan toko mengidentifikasi si asisten dari enam foto. Pelayan yang mengidentifikasi dengan
tepat hanya 34 persen. Dengan kata lain, hanya 2 jam setelah berinteraksi dengan orang yang aneh, 65
persen pelayan salah dalam mengidentifikasi.

Mengapa identifikasi saksi mata terkadang tidak dapat diandalkan? Para psikolog sosial membedakan
dua faktor yang mempengaruhi identifikasi saksi mata.

1. Estimator variables

Variabel estimator adalah faktor yang terkait dengan saksi mata atau situasi dimana suatu kejadian itu
disaksikan. Jarak saksi mata dengan situasi atau kejadian yang dilihatnya, besarnya rasa takut yang
dirasakan saksi, dan ras dari saksi serta pelaku kejahatan adalah contoh dari variabel estimator.

2. System variables

Variabel sistem adalah faktor yang berada dibawah kontrol sistem pengadilan atau hukum. Bias dalam
urutan barisan tersangka dan pertanyaan sugestif yang diajukan polisi atau jaksa adalah contoh dari
variabel sistem.

Sebelum mendiskusikan sistem individual dan variabel estimator, perlu untuk mengulas tiga proses
psikologis yang terlibat dalam identifikasi saksi mata;
1. Akuisisi

Akuisisi adalah proses memahami dan mengiterpretasikan informasi. Untuk memberikan kesaksian yang
reliabel, saksi mata harus memperhatikan aspek penting dari kejadian, seperti karakteristik fisik dari
pelaku dan urutan perilakunya. Saksi juga harus bisa menginterpretasikan informasi kejadian secara
akurat.

2. Penyimpanan

Storage atau penyimpanan adalah proses menyimpan informasi yang diterima ke dalam memori. Kasus
hukum sering berjalan terlambat, ada banyak jeda waktu antara menyaksikan kejadian, pertanyaan
polisi, dan kesaksian di pengadilan. Maka dari itu penting bahwa saksi mata dapat menyimpan informasi
yang diperolehnya.

3. Pengambilan informasi (retrieval)

Adalah proses mengingat kembali atau pengambilan kembali informasi yang tersimpan dalam memori.
Saksi mungkin harus mengingat-ingat beberapa informasi yang mereka tahu, termasuk pertanyaan
polisi, identifikasi barisan tersangka, dan kesaksian di pengadilan.

Variabel estimator

Variabel estimator merupakan faktor yang mempengaruhi identifikasi saksi mata yang terkait dengan
saksi atau situasi di mana kejadian itu disaksikan. Terdapat beberapa aspek dalam variabel estimator:

1. Kesempatan melihat

Agar saksi mata bisa mendapat informasi dengan lengkap dan akurat tentang suatu kejadian, saksi perlu
mampu melihat dan mendengar secara jelas. Orang yang menyaksikan suatu kejadian dari jarak 20
meter pada siang hari yang cerah akan mampu memberikan informasi yang lebih baik daripada orang
yang menyaksikan kejadian dari jarak 100 meter pada saat gerimis. Karenanya tidaklah mengejutkan
bahwa Mahkamah Agung AS berpendapat bahwa kesempatan saksi untuk melihat suatu kejadian dan
tingkat perhatian saksi terhadap kejadian adalah faktor-faktor yang harus dipertimbangkan saat
mengevaluasi kesaksian saksi mata. Saksi lebih mungkin mengidentifikasi wajah dengan benar apabila
mereka bisa melihat lebih lama dan bila mereka mampu mencurahkan banyak perhatian pada wajah
pada fase akuisisi. Sayangnya saksi sering tidak menyadari efek dari kondisi penglihatan yang kurang
jelas.

2. Stres dan arousal

Individu yang menyaksikan kejahatan seringkali mengalami stres emosi negatif lainnya. Saksi bisa jadi
marah saat kejadian terjadi, mencemaskan korban atau takut. Emosi negatif ini mempengaruhi kinerja
memori saksi mata. Individu yang menyaksikan kejadian emosional negatif, cenderung memiliki memori
yang akurattentang peristiwa itu, namun kurang akurat dalam mengingat apa yang terjadi sebelum dan
sesudah kejadian.

3. Fokus senjata

Bayangkan, anda akan menyimpan uang di bank saat tiba-tiba lelaki di belakang anda mengeluarkan
pistol. Orang itu menodong anda dan mengancam akan menembak jika dia tidak segera diberi uang oleh
teller bank. Anda sangat mungkin melihat pada psitol saat teller mengambil uang. Akibatnya anda
mungkin hanya ingat tentang pistol daripada kejadian perampokan di bank itu. Fenomena ini disebut
sebagai weapon focus effect (efek fokus senjata) telah ditunjukkan dalam beberapa studi (Steblay).

4. Bias Ras sendiri

Saksi cenderung lebih akurat dalam mengidentifikasi individu yang merupakan anggota sesama ras
ketimbang ras lain. (Meissner dan Brigham).

Own race Bias adalah contoh dari efek homogenitas out group. Orang mampu membedakan antara
anggota ras mereka sendiri tetapi sering sulit membedakan ras orang lain yang dimatanya tampak sama
semua. Efek ini cenderung lebih kuat pada individu kulit putih daripada kulit hitam. Individu kulit hitam
cenderung lebih sering melihat dan berjumpa kulit putih daripada sebaliknya, akibatnya, individu kulit
hitam mungkin lebih mampu untuk membedakan orang kulit putih.

5. Interval retensi

Lamanya waktu yang berlalu antara penyaksian suatu kejadian dengan melakukan identifikasi atau
pemberian kesaksian dikenal sebagai interval retensi. Mungkin tidak mengejutkan lagibagi anda untuk
mengetahui bahwa akurasi identifkasi saksi mata akan menurun seiring dengan berlalunya waktu.
Semakin lama interval antara penyaksian kejadian dengan pemberian kesaksiansemakin kurang akurat
kesaksiannya.

Variabel sistem

Variabel sistem merupakan faktor yang mempengaruhi identifikasi saksi mata yang berada dibawah
kontrol langsung dari sistem pengadilan atau hukum. Terdapat beberapa aspek penting dalam variabel
sistem:

1. Pertanyaan sugestif

Beberapa pertanyaan bersifat sugestif meski tidak dimaksudkan secara sengaja untuk menyesatkan.
Misalnya perubahan kecil dalam susunan kata pertanyaan dapat mempengaruhi cara orang
menjawabnya. Terdapat tiga penjelasan utama tentang bagaimana informasi pasca kejadian bisa
mempengaruhi memori. Yang pertama adalah :

a. Over writing hypothesis

Hipotesis yang berasumsi bahwa informasi yang diterima oleh saksi setelah melihat kejadian
menggantikan ingatan tentang kejadian asli. Informasi pasca kejadian, menggantikan informasi yang
disimpan seseorang tentang kejadian itu mengubahnya secara permanen.
b. Forgeting (hipotesis lupa)

Seiring dengan berlalunya waktu, orang melupakan detail kejadian yang disaksikannya. Ketika mereka
ditanya tentang materi yang telah mereka lupakan, mereka menggunakan informasi lain yang tersedia.
Termasuk informasi pasca kejadian, untuk menjawab pertanyaan itu. Jadi menurut hipotesis lupa,
informasi pasca kejadian tidak menggantikan memori yang ada, ia hanya mengisi kekosongan yang
disebabkan oleh lupa.
c. Teori monitoring

Teori ini berpendapat bahwa orang mempertahankan memori kejadian orisinil dan informasi pasca
kejadian. Probelmnya adalah saksi sering kesulitan dalam hal source monitoring(monitoring sumber),
sebuah proses yang dijalani seseorang dalam menentukan dimana mereka mendapatkan beragam
kepingan informasi. Akibatnya, saksi mungkin secara kliru menyimpulkan bahwa kepingan informasi itu
berasal dari observasi atas kejadian orisinil.
2. Bias lineup

Penyelidik kepolisian sering meminta saksi mengidentifikasi tersangka pelaku kejahatan. Saksi biasanya
mengidentifikasi dari sekumpulan foto yang disebut photospread atau presentasi satu atau lebih
tersangka. Prosedur identifkasi orang adalah showup dan lineup. Show up lebih dianggap lebih sugestif
daripada line up, sebab menyajikan satu tersangka kepada saksi akan mengimplikasikan bahwa orang
yang dimaksud adalah benar-benar pelaku kejahatan.

1. Show up adalah prosedur dimana seorang saksi diminta memberi tahu apakah seorang
tersangka adalah pelaku.

2. Line upadalah kepada saksi ditunjukkan beberapa orang dalam satu urutan barisan untuk
mengidentifikasi pelaku.

3. Menilai akurasi saksi mataSalah satu cara mengidentifikasi akurasi saksi mata adalah dengan
mempertimbangkan tingkat keyakinan saksi dalam mengidentifikasi atau memberikan kesaksian. Cara
lain untuk menentukan akurasi saksi mata adalah adalah dengan mengukur lamanya waktu yang
dibutuhkan saksi untuk membuat identifikasi. Saksi yang mengidentifikasi tersangka dengan cepat,
mungkin lebih akurat daripada saksi yang butuh waktu lebih lama. Pendekatan lain adalah meminta
saksi mengidentifkasi wajah pelaku melalui foto, kemudian mengidentifkasi tubuhnya, dari deret foto
kedua, dan akhirnya mengidentifikasi suara dan rekaman.
4. Tingkat pengaruh riset terhadap saksi mata

Riset psikologi sosial terhadap identifikasi dan kesaksian saksi mata telah diperhatikan dan dipakai oleh
pembuat kebijakan. Misalnya terkait pedoman wawancara yang mensugestikan untuk menggunakan
pertanyaan terbuka daripada menggunakan pertanyaan yang mengarahkan. Pedoman yang disugestikan
riset psikologi sosial juga merekomendasikan agar petugas kepolisian secara eksplisit memberi tahu
saksi mata bahwa pelaku mungkin ada atau mungkin tidak ada. Di deretan.

Pembelaan kriminal

Selain mempelajari saksi mata, psikolog sosial juga mempelajari pengalaman pembela kriminal. Dalam
bagian ini, akan dibahas tentang pembelaan kriminal yaitu pengakuan palsu dan deteksi kebohongan.

1. Pengakuan palsu

Ketika polisi menanyai tersangka kejahatan, mereka pada umumnya berusaha agar tersangka mengakui
kejahatan yang tidak dilakukannya, namun pengakuan palsu tak jarang dilakukan. Kassin dan
Wrightsman mengidentifikasi tiga tipe pengakuan palsu.

a. Voluntary false confession

Terkadang orang membuat voluntary false confession (pengakuan palsu sukarela), misalnya seorang
ayah mungkin mengaku melakukan kejahatan agar anaknya tidak masuk penjara
b. Coerced-compliant compliant falseconfession

Pengakuan kadang juga bisa dipaksakan (pengakuan palsu terpaksa) terjadi ketika seseorang ditekan
agar mengaku bersalah, tetapi secara pribadi tetap tidak bersalah.
c. Coerced-internalized false confession

Pengakuan palsu yang dipaksa dari dalam terjadi ketika orang merasa melakukan tindak kejahatan yang
sebenarnya tidak mereka lakukan.
2. Deteksi kebohongan

Orang berbohong acapkali memberi tanda emosional seperti banyak berkedip atau menggoyangkan
kepala. Dengan informasi non verbal tersebut, kadang pengamat tidak mampu mendeteksi kebohongan.
Kempampuan polisi dalam mendeteksi kebohongan dapat menjadi masalah tersendiri bagi, meskipun
profesional dalam menyelidiki kasus kejahatan namun rendah kompetensinya dalam mendeteksi
kebohongan.

Pemilihan juri dan pengambilan keputusan

Mengingat pentingnya pengadilan oleh juri dalam sistem hukum Amerika, tidak mengejutkan bahwa
para psikolog sosial melakukan banyak riset terhadap keputusan juri.
1. Pemilihan juri

Pada awal setiap pengadilan, sebuah proses yang disebut voir dire dilakukan untuk memilih para juri.
Selama voir dire (pemilihan juri yang dilakukan pada awal setiap pengadilan) hakim atau jaksa mengkaji
calon-calon juri untuk mengetahui opini atau bias yang mungkin mengganggu kemampuan mereka
memberikan keputusan yang adil. Jika ada alasan bahwa seorang juri tidak bisa memutuskan dengan
adil, ia tidak boleh menjadi juri. Selain itu, jaksa dapat menggunakan jumlah peremptory
challenges terbatas untukmengeluarkan juri tanpa memberi tahu alasan. Peremptory challengesdapat
digunakan untuk mengeliminasi juri karena sejumlah alasan seperti pekerjaan dan ciri personalitas, akan
tetapi Peremptory challengestidak bisa dipakai untuk mengeliminasi juri berdasarkan gender atau ras.
Alasan dibalik peremptory challenges adalah jaksa akan mampu mengeliminasi juri yang bereaksi secara
berat sebelah.

2. Sikap terhadap hukuman mati dan death qualification

Kasus hukuman mati menimbulkan isu yang sangat penting bagi pemilihan juri. Dalam kasus hukuman
mati, voir diresering dipakai untuk mengeliminasi calon juri yang tidak mendukung hukuman mati.
Pendukung protes death qualification mengklaim bahwa juri yang tidak mendukung hukuman mati
sangat mungkin mendukung tersangka yang bersalah agar tidak mendapat hukuman mati. Akan tetapi,
penentang hukuman mati menegaskan bahwa penyingkiran orang yang menentang dapat menyebabkan
bias dalam menentukan keputusan yang diambil.
Death qualification adalah individu yang tidak mendukung hukuman mati dikeluarkan dari kelompok juri
dalam kasus hukuman mati.

3. Model cerita dalam pengambilan keputusan juri

Setelah juri dipilih, para juri harus mempertimbangkan bukti-bukti, memutuskan apakah tersangka
bersalah atau tidak, dan dalam beberapa kasus, para juri dapat merekomendasikan hukuman yang
pantas. Untuk itu para juri harus memahami banyak bukti dan kesaksian yang saling bertentangan.
Bagaimana juri mengintegrasikan semua informasi itu menjadi suatu keputusan. Terkait dengan hal
tersebut, Penington dan Hastie mengusulkan model cerita (story model) sebagai cara untuk
menjelaskan pembuatan keputusan juri.

Menurut model ini, menggunakan bukti yang disajikan di pengadilan untuk menciptakan cerita tentang
kejadian perkara. Misalnya juri menyusun cerita tentang perampokan di toko pakaian yang memuat
informasi tentang motif dan tujuan tersangka (misalnya apakah pelaku butuh uang untuk biaya
anaknya?) dan tindakannya terhadap pelayan toko (apakah menodongkan senjata?). Dalam cerita juga
mencakup karakteristik situasi, misalnya apakah ada orang lain yang hadir?, terkait dari akibat kejadian
tersebut, misalnya uang yang diambil.

Aplikasi Psikologi Sosial


Kajian-kajian psikologi sosial sangat berguna untuk memahami pertanyaan-pertanyaanpenting yang
berhubungan dengan sistem hukum, sistem kesehatan, organisasi, kepemimpinan, karena basis dari
kajian psikologi sosial berangkat dari asumsi interaksi sosial antara dua orang atau lebih. Myers
mengemukakan bahwa dalam setting klinis, psikologi Sosial dapat diterapkan mengevaluasi dan
mempromosikan kesehatan mental dan fisik.

Tidak hanya itu saja di Pengadilan, Psikologi Sosial dapat membantu mengeksplorasi pemikiran sosial
dan pengaruh sosial pada anggota juri dan dewan juri.

Psikologi Sosial juga berpikir tentang Masa Depan yang berkelanjutan," mengeksplorasi bagaimana
prinsip sosial-psikologis dapat membantu mencegah krisis ekologi yang mengancam masyarakat sebagai
akibat dari meningkatnya jumlah penduduk, konsumsi, dan perubahan iklim.

Kontribusi Psikolog Sosial pada Sistem Hukum

Di Amerika, psikolog sosial berkolaborasi dengan Departemen Kehakiman untuk menyusun pedoman
nasional bagi polisi yang dipakai saat wawancara dengan saksi ahli. Dibagian ini akan diulas sumbangan
psikologi sosial pada dua area penting sistem hukum yakni:

1. Kesaksian ahli (Expert testimony)

Para psikolog sosial sering diminta untuk menjadi saksi ahli untuk menjelaskan temuan riset guna
memberi kerangka pemahaman bagi juri dan hakim dan untuk mengevaluasi bukti dalam kasus tertentu
(Monahan dan Walker). Dua isu utama dalam kesaksian ahli adalah kualitas testimoni dan efeknya pada
juri. Kualitas kesaksian dari ahli adalah penting karena pengadilan tidak ingin juri mempertimbangkan
bukti yang tidak reliabel atau tidak jelas. Jadi psikolog sosial bersaksi hanya tentang riset yang
memenuhi standar hukum untuk diterima sebagai bukti.

Kesaksian ahli sangat berpengaruh apabila saksi ahli bersaksi sebelum saksi lain dihadirkan, karena ia
akan memberi kerangka untuk mengevaluasi kesaksian saksi-saksi lain. Jadi kesaksian dari pakar yang
menghubungkan riset dengan kasus tertentu berpengaruh lebih besar daripada kesaksian pakar yang
hanya menyajikan seperangkat temuan riset.

2. Ringkasan Amicus Curiae (sahabat pengadilan)

Amicus curiae adalah dokumen yang ditulis oleh psikolog dan jaksa yang berisi ringkasan literatur ilmiah
yang diberikan pada pengadilan.

Ringkasan amicus (sahabat pengadilan) berisi ringkasan Blog Psikologi yang relevan bagi hakim untuk
memberi konteks ilmiah guna memutuskan kasus tertentu. Dengan menyusun ringkasan amicus
tersebut, para psikolog sosial dapat memberi bukti ilmiah pada pengadilan yang dapat menghasilkan
keputusan hukum yang lebih adil.

Hukum adalah sebuah perangkat dalam kehidupan kita yang berguna untuk mengatur kehidupan
manusia yang kompleks. Dengan keberadaan hukum, kehidupan manusia menjadi lebih teratur dan
tidak melanggar hak orang lain.
ads

Blackburn (dalam Bartol & Bartol, 1994) membagi peran psikologi dalam hokum sebagai berikut:

 Psychology in law, yang merupakan aplikasi praktis psikologi dalam bidang hokum seperti
psikolog diundang menjadi saksi ahli dalam proses peradilan.

 Psychology and law, meliputi bidang psycho-legal research yaitu penelitian tentang individu
yang terkait dengan hukum.

 Psychology of law, yaitu hubungan hukum dan psikologi, hukum sebagai penentu perilaku. Isu
yang dikaji di sini contohnya adalah bagaimana masyarakat mempengaruhi hukum dan
bagaimana hukum mempengaruhi masyarakat.

Menurut Mark Constanzo (2006), psikologi dalam hukum memiliki peran sebagai penasehat, evaluator
dan pembaharu. Maka, di sini kita akan mengetahui lebih lanjut penerapan psikologi sosial dalam hukum
yang juga akan membuat kita memahami begitu luasnya peran psikologi dalam kehidupan kita. (Baca
juga: Kegunaan Psikologi dalam Bidang Hukum)

1. Pendekatan Tipologi Fisik dalam Kepribadian

Pendekatan ini dipopulerkan oleh Sheldon dan Kretchmer. Dengan pendekatan ini, Sheldon dan
Kretchmer menganggap bahwa ada hubungan antara tipe tubuh seseorang secara fisik dengan tipe
kepribadiannya. Artinya, akan ada perbedaan kepribadian orang yang tinggi, pendek, gemuk, kurus dan
bentuk tubuh lainnya.

Baca juga:

 Sejarah Psikologi Sosial

 Macam-macam Syndrome

Misalnya, ada anggapan bahwa seseorang yang bertubuh muscular lebih cenderung untuk berbuat
tindak kriminal. Atau seseorang yang memiliki bentuk kepala pendek, rambut merah, dan rahang yang
tidak menonjol lebih identik dengan fisik seorang pencuri. Pendekatan ini mungkin akan berguna untuk
melihat potensi awal seseorang melakukan tindak kejahatan.

2. Pendekatan Teori Trait Kepribadian

Berbeda dengan teori sebelumnya, teori trait kepribadian lebih memandang karakteristik kepribadian
tertentu yang lebih mempengaruhi seseorang melakukan tindak melawan hukum. Sebagai contoh
seseorang yang memiliki karakter pemberani, dominan, ekstrovert dan memiliki motivasi tinggi
memenuhi kebutuhan fisiknya cenderung berpotensi melakukan tindak kriminal. (Baca juga: Kepribadian
Extrovert)

3. Pendekatan Psikoanalisis

Pendekatan ini menyebutkan bahwa tindak criminal muncul karena adanya hubungan yang tidak baik
dengan orang tua sehingga pelaku memiliki emosi yang bisa tersalurkan melalui tindak criminal.
Umumnya, kriminalitas terjadi akibat hubungan cinta ibu dan anak yang hilang ataupun kurangnya
perhatian ayah kepada anak yang menyebabkannya ingin melakukan tindakan buruk untuk
mendapatkan perhatian.

Sponsors Link

4. Pendekatan Teori Belajar Sosial

Melalui pendekatan ini, kita belajar bahwa seseorang yang berperilaku kriminal merupakan akibat dari
proses belajar dari lingkungannya. Sebagai contoh, selama hidupnya dia melihat adanya penyimpangan
di rumah, kelompok, sekolah atau lingkungan yang lain sehingga dia melihatnya sebagai contoh untuk
juga berbuat kriminal. Maka, untuk menghadapi hal ini kita harus menjaga hukum secara menyeluruh di
lingkungan untuk mencegah munculnya penyimpangan karena sesedikit apapun penyimpangan tersebut
bisa meluas jika tidak segera ditangani. (Baca juga: Psikologi Lingkungan)

5. Pendekatan Teori Kognitif

Dengan pendekatan ini, para peneliti mencoba untuk memahami pola berpikir seorang pelaku kriminal.
Peneliti akan mengambil sampel seperti pelaku yang ahli memanipulasi, liar dan kompulsif, ataupun
seseorang yang tidak bisa mengendalikan diri untuk berbuat kejahatan. Dari penelitian ini, dapat
disimpulkan bahwa para pelaku kriminal memiliki logika yang internal dan konsisten, namun salah dan
tidak bertanggung jawab. (Baca juga: Psikologi Kognitif)

ads

6. Investigasi Kasus Tindak Pidana

Dalam menyelesaikan sebuah kasus pidana, akan dibutuhkan banyak informasi dari korban, saksi, dan
tersangka. Keputusan akan didasarkan pada informasi yang diberikan oleh masing-masing pihak
tersebut, dimana jaksa maupun hakim tidak bisa melihat sendiri kebenaran informasi yang didapatkan.
Maka, di sini peran saksi sangatlah krusial.

Baca juga:

 Teori Psikoanalisis Klasik

 Manfaat Hipnoterapi

 Jenis Wawancara dalam Psikologi

Dengan menggunakan penerapan psikologi sosial dalam dunia hukum, akan dilakukan usaha untuk
meminimalisir bias di pernyataan saksi. Secara psikologi sangat mungkin untuk saksi lupa tentang
kejadiannya dan tidak bisa memberi kesaksian yang akurat. Maka, bisa digunakan teknik hypnosis dan
wawancara kognitif. Biasanya, teknik ini dilakukan di saat saksi diwawancara pertama kali di kepolisian

7. Membuat profil psikologi

Ilmu psikologi juga dapat diterapkan untuk membantu polisi menemukan barang bukti. Psikolog akan
bisa memberi pandangan untuk membangun psychological profiling dari para calon tersangka serta
menginterpretasikan hal-hal yang ditemukan di tempat kejadian perkara yang tidak bisa dilihat jika kita
hanya melihat secara kasat mata saja.

8. Mengarahkan proses interogasi

Psikolog seringkali bisa menjadi hakim ad-hoc pada suatu perkara tertentu. Hal ini dikarenakan psikolog
akan memiliki keahlian mengendalikan percakapan dan mengarahkan proses interogasi. Ilmu psikologi
sosial juga akan membantu seseorang menjadi lebih peka dan melihat manusia dari sisi kepribadiannya.
(Baca juga: Cara Kerja Psikologi Forensik)

9. Memahami motif atau alasan sebuah tindak kriminal

Psikologi social akan membuat kita lebih memahami perilaku sosial, sesuai dengan situasi, lingkungan
dan faktor-faktor lainnya. Maka, penerapan psikologi dalam hukum bisa dalam bentuk memahami motif
pelaku kriminal melakukan tindak kejahatannya. Hal ini tentu akan berguna untuk memutuskan perkara,
sekaligus juga sebagai bahan mempelajari dampak sosial di masyarakat.

10. Menentukan putusan perkara

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, ilmu psikologi akan membantu untuk memanusiakan terdakwa.
Artinya, kita akan mencoba memahami perilakunya, pola pikirnya, hingga motif tindak kejahatannya. Hal
ini tentu akan bisa digunakan sebagai dasar pertimbangan putusan perkara oleh hakim. Sebisa mungkin
sanksi yang diberikan adalah sanksi yang seadil-adilnya dan tetap menjaga hak terdakwa sebagai
manusia. (Baca juga: Kode Etik Psikologi)

11. Mengartikan isyarat tertentu

Seringkali dalam proses hukum ditemukan temuan yang tidak berarti secara nyata, namun mengandung
isyarat-isyarat tertentu. Maka, di sini psikologi bisa memiliki peran untuk mengartikan isyarat-isyarat
tersebut dengan melihat fakta hukum dari awal hingga akhir dan menarik benang merahnya.

12. Memberi alternatif solusi

Tidak jarang bukti-bukti yang ditemukan kurang kuat dalam hukum sehingga hukuman yang diberikan
pun tidak jelas dan sulit ditentukan. Dalam hal ini, psikologi sosial bisa berguna untuk memberi solusi
berdasarkan aspek psikologi. (Baca juga: 15 Penerapan Antropologi Psikologi Dalam Kehidupan Nyata)

13. Memahami stereotype

Yusti Probowati dalam pembahasannya tentang proses kognitif manusia menyebutkan bahwa
stereotype memegang pengaruh pada proses retrieval dalam hokum. Dalam penelitian yang dilakukan
oleh Probowati, hakim pribumi Indonesia cenderung memiliki stereotype yang negative terhadap
terdakwa beretnis Tionghoa. Mereka cenderung akan member hukuman yang lebih berat jika terdakwa
berasal dari etnis Tionghoa. Maka, hal ini harus dipahami agar ke depannya hakim akan bisa memberi
sanksi yang lebih sesuai dan tidak memandang etnis. (Baca juga: Teori Identitas Sosial)

Penerapan psikologi sosial dalam hukum ternyata cukup banyak dan akan sangat membantu penegakan
hukum. Semoga bermanfaat, ya
10 Penerapan Psikologi Sosial dalam Bidang Politik
Membahas penerapan psikologi sosial dalam bidang politik sebenarnya membutuhkan dasar-dasar
mengenai konsep psikologi secara umum terlebih dahulu. Psikologi merupakan ilmu yang mengamati
tentang perilaku. Apabila ini dihubungkan dengan psikologi sosial, maka fokus dari pengamatan perilaku
tersebut tentu ada pada kehidupan sosial. Lebih menariknya lagi, ruang lingkup dalam psikologi tersebut
termasuk luas. Salah satunya juga melingkupi di bidang politik yang ada. (Baca juga: Sejarah psikologi
sosial)

ads

Kali ini kita akan menyajikan beberapa contoh dari penerapan psikologi sosial ini. Psikologi sosial ketika
disangkutpautkan dengan bidang politik tentu akan memiliki hubungan yang cukup luas, terutama
mengenai bagaimana pengamatan psikologi sosial itu sendiri di kancah perpolitikan. Tanpa menunggu
lebih lama lagi, berikut adalah beberapa macam contoh dari psikologi sosial yang diterapkan dalam
bidang politik:

1. Sikap Toleransi

Sikap toleransi merupakan salah satu fenomena dalam psikologi sosial yang dapat diamati. Melalui sikap
ini, seseorang yang berada dalam sistem masyarakat tertentu mampu memahami perbedaan yang ada
walaupun mungkin ada pandangan politik yang berbeda satu dengan lainnya. Sikap toleransi ini
adalah penerapan psikologi sosial dalam hukum atau di bidang politik sehingga tidak memicu timbulnya
perselisihan hanya karena masalah politik.

2. Fanatisme

Sebagian orang memiliki kecenderungan untuk berlaku fanatik. Perilaku fanatik adalah perilaku
menyukai sesuatu secara berlebihan. Ini juga merupakan bagian dari psikologi sosial yang bisa diamati.
Pada saat seseorang fanatik terhadap suatu aliran politik tertentu, ia mungkin tidak akan menyukai
aliran lainnya dan berusaha untuk mengunggulkan apa yang menjadi kepercayaannya. Bila ini sudah
berlebihan, tentu saja kemungkinan merugikan orang lain ada.

3. Penetapan Kebijakan

Kebijakan politik pada saat akan ditetapkan biasanya juga memandang psikologi sosial. Penerapan
psikologi sosial digunakan lebih kepada pendekatan pada masyarakat luas untuk menerima kebijakan
tersebut dengan bertahap. Secara pelan namun pasti, bila pendekatan yang dilakukan tepat maka
kebijakan tersebut bisa diterima dengan baik. Namun bila pendekatan yang ada menyalahi atau
memasuki ranah latar belakang kebudayaan orang lain, tentu saja ini akan menyebabkan permasalahan
tersendiri.

4. Reaksi

Ketika suatu kebijakan politik dibuat, pasti akan menimbulkan reaksi. Entah itu reaksi positif atau
negatif, keduanya masuk ke dalam psikologi sosial yang bisa diamati. Melalui fenomena ini, pembuat
kebijakan bisa mengatur strategi kembali supaya jika suatu saat kebijakan tersebut akan mengalami
perubahan, reaksi positif yang akan diterima oleh masyarakat. Penerapan psikologi sosial dalam bidang
politik memang bermanfaat untuk mengetahui hal ini.
5. Persepsi Keadilan

Dalam kehidupan bermasyarakat, pasti selalu ada dua macam kubu. Kubu yang merasa diuntungkan,
dan kubu yang merasa dirugikan. Ini semua bergantung pada persepsi keadilan masing-masing individu.
Oleh karenanya, kita perlu memahami bahwa dalam memberikan informasi tertentu perlu
memperhatikan kesiapan masyarakat secara luas. Hal ini cukup berguna terutama dalam melakukan
pendekatan tertentu. (Baca juga: Penerapan psikologi sosial dalam bidang organisasi)

6. Kasus Korupsi

Kasus korupsi merupakan salah satu fenomena psikologi sosial yang bisa diamati pula di bidang politik.
Ada banyak sekali kasus korupsi yang mungkin hingga saat ini pun masih berjalan namun tidak kita
ketahui. Yang jelas, kasus korupsi dipicu oleh motif tertentu dari pelaku. Psikologi sosial mengamati hal
ini sebagai sesuatu yang memang bisa diamati secara langsung.

7. Adaptasi Budaya

Perbedaan budaya antara wilayah satu dengan yang lain kadang berimbas pada kepercayaan politik
yang ada. Umumnya ini juga dipengaruhi oleh beberapa macam hal terkait dengan sistem politik yang
sudah ada di wilayah tersebut sebelumnya. Melalui penerapan psikologi sosial yang tepat, proses
adaptasi budaya ini bisa berlangsung dengan baik. (Baca juga: Contoh metode eksperimen dalam
psikologi sosial)

8. Kepentingan Politik

Kepentingan politik tertentu juga merupakan bagian dari penerapan psikologi sosial. Elit politik biasanya
menggunakan pendekatan yang melibatkan sisi psikologi sosial agar bisa memberikan pengaruh
tertentu. Yang jelas, pada saat perebutan kekuasaan ini sudah terjadi maka kehidupan bermasyarakat
bisa ikut terganggu. (Baca juga: Macam-macam kepemimpinan)

Sponsors Link

9. Keputusan Hukum

Keputusan hukum dalam psikologi sosial dipandang sebagai sesuatu yang bisa memicu timbulnya
perasaan-perasaan seperti yang sudah disebutkan sebelumnya. Bila ada pihak yang merasa tidak adil
terhadap keputusan tersebut, ia bisa saja menggugatnya.

10. Konflik Masyarakat

Psikologi sosial juga bisa diterapkan untuk mengkaji konflik masyarakat yang telah terjadi. Di sini ia
berguna terutama mengkaitkan adakah kemungkinan faktor politik tertentu yang juga terlibat di dalam
konflik masalah tersebut. Psikologi sosial bisa digunakan untuk menggali adakah kemungkinan untuk
menyelesaikan konflik dan juga mencari akar permasalahan dari penyebab konflik tersebut.

Demikian beberapa macam konsep dari penerapan psikologi sosial. Menarik memang ketika psikologi
sosial ini dihubungkan dengan bidang politik. Pada dasarnya, penerapan psikologi sosial dalam bidang
politik tersebut memang masih umum dan bisa kita kembangkan lebih banyak lagi.

Anda mungkin juga menyukai