(PLAY THERAPY)
Evolusi bersejarah dari terapi bermain dalam cakupan yang luas berjalan bersamaan dengan sejarah
dari pekembangan psikologi dan merefleksikan kaum zeitgeist dari masyarakat temporer. Namun,
dikarenakan banyak pendekatan kepada terapi bermain berevolusi secara bersamaan, sangat sulit untuk
mempresentasikannya ke dalam satu garis linear. Meski telah diusahakan untuk mengikuti secara
kronologis, perkembangan terapi bermain baru-baru ini muncul bersamaan dalam waktu yang sama, tanpa
pola yang jelas bagaimana terapi tersebut berkembang.
Laporan pertama dalam literatur professional mengenai bermain memiliki peran dalam intervensi
psikologi merupakan deskripsi dari hasil penelitian Sigmund freud (1909/1955) dalam tritmennya mengenai
“little hans”, seorang anak yang mengalami reaksi fobia. Freud tidak bekerja secara langsung dengan hans ,
namun medapat deskripsi oleh ayah dari Hans mengenai “child’s play”. Dalam basis informasi yang ia
kumpulkan dari ayah Hans, Freud menginterpretasikan konflik yang digarisbawahi mendapat deskripsi oleh
ayah dari Hans mengenai “child’s play”. Dalam basis informasi yang ia kumpulkan dari ayah Hans, Freud
menginterpretasikan konflik yang digarisbawahi dan megusulkan mengenai bagaiman ayah hans dapat
melakukan intervensi langsung dengan Hans. Freud percaya bahwa permainan tersebut merupakan repetisi
dari kecemasan dan konflik yang tidak disadari. Ia juga mengusulkan bahwa bermain memiliki peran dalam
proses menguasai dan abreaksi.
Hermine Hug-hellmuth (1921) adalah terapis psikoanalitik pertama yang langsung menggunakan
bermain dengan anak-anak dalam suatu terapi. Ia mengunjungi rumah dari anak-anak dan melihat dan
berpartisipasi dalam permainan anak-anak tersebut secara alami tanpa mengarahkannya. Walapun tidak ada
teknik permainan yang spesifik yang disebutkan di dalam tulisannya, Hug-hellmuth percaya bahwa terapis
dapat menggunakan material tersebut yang dipresentasikan dalam permainan anak untuk memahami anak
tersebut, hampir sama seperti halnya fantasi dan mimpi pada analisis orang dewasa. Ia melihat bermain
sebagai kendaraan untuk menjembatani jarak komunikasi antara terapis dan sang anak (Carmichael, 2006b).
Anna Freud (1928, 1946) juga bekerja langsung dengan anak-anak. Ia menggunakan observasi dari
permainan anak sebagai alat untuk membangun hubungan dengan kliennya. Walaupun Freud mengusulkan
bahwa bermain adalah cara yang pantas untuk mengembangkan komunikasi dengan anak-anak, namun Anna
tidak menggunakan permainan sebagai jalan terapeutik karena ia tidak percaya kalau perilaku dalam
bermain adalah suatu hal yang simbolik atau mengandung makna metafora. Setelah ia menggunakan
bermain untuk mengembangkan rapport, Freud menukarkannya kepada bentuk dialog terapeutik yang lebih
tradisional, seperti pengambilan histori, interpretasi mimpi, asosiasi bebas dan menggambar.
Melanie klein (1932), yang juga merupakan terapis psikodinamik, memiliki pengertian yang jauh
berbeda mengenai fungsi bahwa bermain dapat disajikan dalam suatu terapi. Ia percaya bahwa bermain
adalah media ekspresi alami bagi anak-anak dan harus dipertimbangkan sebagai pengganti langsung untuk
ekspresi verbal yang ada pada terapi orang dewasa. Klein mengusulkan bahwa bermain yang spontan
(spontaneous play) memiliki kesamaan dengan asosiasi bebas pada terapi orang dewasa, yaitu penuh dengan
informasi penting mengenai proses alam bawah sadar. Dibanding dengan hanya menyimpan informasi yang
didapat dari bermain dan membuat interpretasi kepada orangtua atau membuat sebuah konseptualisasi dari
klien agar dapat dimengerti oleh terapis, klein menganjurkan menginterpretasi perilaku bermain
menggunakan konsep psikodinamik kepada anak itu sendiri.
Winnicott (1965) menjelajahi konsep dari relasi objek-hubungan dari anak dengan pengasuhnya.
Menurut teori relasi objek, ketika pengasuhnya hangat, anak akan mengasumsikan bahwa orang lain akan
juga akan penuh kasih, ketika pengasuhnya dingin dan jauh, anak cenderung mempersepsikan bahwa orang
lain juga tidak penuh kasih.
Berdasarkan konseptualisasi psikodinamik dari klien, digabungkan dengan yang lebih berstruktur,
praktis goal-oriented dari berinteraksi dengan anak-anak, susunan batang dari terapi bermain dari
kepercayan nilai katarsis dari bermain (James, 1997). Dalam semua pendekatan terstruktur pada terapi
bermain, terapis berperan aktif dalam memutuskan fokus dan tujuan dari terapi. David Levy (1938), Joseph
Solomon (1939), dan Gove Hambridge (1955) lebih dikenal sebagai praktisioner dari terapi bermain
terstruktur.
David Levy (1938) mengembangkan release therapy untuk memperlakukan anak-anak di bawah
umur 10 tahun yang mengalami trauma spesifik tertentu. Ia menyediakan mainan yang dipilih secara khusus
yang ia percaya dapat memfasilitasi klien yang berfokus kepada kejadian traumatis. Ia tidak langsung
memerintahkan anak-anak untuk bermain dengan mainan dengan cara-cara tertentu atau ia menginterpretasi
permainan anak-anak tersebut. Membangun dari konsep Sigmund Freud mengenai teori repetisi kompulsi,
Levy percaya bahwa klien akan menyelesaikan masalahnya melalui katarsis bila diberi seting dan mainan
yang sesuai. Levy mengusulkan bahwa anak-anak akan mengeluarkan berbagai skenario yang dapat
membantu mereka untuk menghilangkan kenangan yang menyakitkan, pikiran-pikiran dan emosi, maka
mereka tak lagi membuat emosinya atau mental well-being mereka terancam.
Joseph Solomon (1938) nmengembangkan terapi bermain aktif untuk bekerja dengan anak-anak
yang impulsif dan suka bertingkah. Pada konsep Freud mengenai efek abreaktif, ia menganjurkan untuk
mendorong anak untuk mengekspresikan perasaan-perasaan negative, impuls yang tidak pantas, dan
kecenderungan regresi dalam sesi terapi bermain, di mana terapis tidak memberikan penilaian atau reaksi
negatif yang biasa dilakukan oleh orang dewasa. Solomon mempercayai bahwa bila mengalami pengaman
yang ‘non judgemental’, menerima perlakuan dari orang dewasa, bahkan reaksi negatif, dapat menjadi hal
yang transformasional bagi anak-anak. Dengan mengeksternalisasi impuls dan melepaskan frustrasi mereka
di dalam proses terapi bermain, anak dapat melepaskan kebutuhan mereka untuk bertindak tidak wajar (act
out) di dalam situasi lain ataupun hubungan lain, kemudian meninggalkan ruang untuk bereksperimen lebih
banyak dengan perilaku social yang lebih pantas (Carmichael, 2006b).
Gove Hambridge (1955), dengan membangun dari ide Levy (1938), menggunakan pendekatan yang
lebih langsung dalam terapi bermain. Setelah membangun hubungan dengan anak, ia kemudian mengajak
anak untuk bermain dalam situasi spesifik yang similar dengan pengalaman atau hubungan yang penuh
stress di dalam hidup mereka. Bila dalam ide mengenai repetisi akan memberikan pengalaman katarsis dan
kemudian membantu anak mengatasi masalah yang terkait, Hambridge percaya bahwa dengan mengulang
kembali pengalaman traumatis dengan tepat, anak akan belajar untuk mengatasi masalah lebih efektif
dengan akibat apapun yang bertahan selanjutnya terhadap kejadian tersebut .
Bergeser jauh dari ide psikodinamika mengenai psikologi, Rank (1936) mengusulkan bahwa
hubungan antara terapis dan klien pada kini dan nanti adalah kendaraan utama bagi perubahan pada klien.
Taft (1933), Allen (1942), dan Moustakas (1959) mendasarkan pekerjaan mereka dengan anak dalam konsep
ini.
Taft (1933) percaya bahwa esensi dari terapi dengan anak-anak adalah pengujian dari hubungan asli
antara terapis dan klien serta fungsional dari klien dari sini dan sekarang (here and now). Ia menekan proses
dari membangun hubungan dengan anak dan penggunaan waktu dalam terapi. Karena ia percaya bahwa
akhir dari setiap sesi terapi dan terminasi akhir dari terapi sejalan dengan proses dari kelahiran-dengan
trauma yang dialami menjadi similar-Taft mengatur tanggal dari terminasi pada awal terapi. Taft membuat
koneksi antara keberhasilan pemisahan dari terapis dan keberhasilan resolusi dari trauma yang dihasilkan
dari pemisahan asli dari ibu si anak.
Allen (1942) juga berfokus kepada hubungan antara terapis dan anak, dengan penekanan pada
autonomi dan kemampuan aktualisasi diri dari anak. Allen percaya bahwa tugas primer dalam terapi adalah
agar anak belajar kegunaan dalam hubungan dan kehidupan sehari-hari.
Moustakas (1959) mengembangkan hal yang mendasari dari banyak teori dan teknik yang digunakan
pada kebanyakan pendekatan dalam terapi bermain (James, 1997). Ia fokus kepada penggunaan secure
therapeutic relationship sebagai dasar bagi anak untuk mengeksplorasi interaksi interpersonal dan bergerak
menuju individuasi. Ia menekan pada kebutuhan proses perkembangan agar lebih dikenal, dalam hal tersebut
terapis harus melanjutkan untuk berkembang bersam adengan anak dalam hal self-awarness dan awareness
akan orang lain. Terapis harus mempresentasikan penerimaan yang tidak dikondisikan (unconditional) dan
kepercayaan pada kemampuan anak untuk bergerak ke arah positif tanpa arahan atau interferensi. Penekanan
pada interaksi dengan anak adalah pada perasaan sang anak, tanpa interpretasi dari terapis. Moustakas juga
percaya bahawa terapis harus menjadi partispan yang aktif dalam permainan bila diaja anak untuk ikut
bermain.
Pendekatan yang lebih kontemporer dalam terapi bermain yang berdasar pada curative powers dari
hubungan antar anak-terapis adalah terapi bermain experiential (Norton & Norton, 2006, 2008). Premis
dasar pada terapi bermain experiential adalah kepercayaan pada “pertemuan dari dunia mereka dalam gaya
experiential sebagai lawan dari terapi kognitif. Jadi, anak tidak memikirkan tentang pertemuannya namun
mereka terlibat ke dalam akal mereka dalam artian yaitu informasidari lingkungan mereka” (Norton &
Norton, 2006, p. 29). Norton & Norton (2008) percaya bahwa dengan melalui hubungan dengan permainan
dari terapis, sense of empowerment dari anak akan bertambah melalui antive emotionality dari sang anak.
Axline (1947, 1969, 1971) mengkombinasikan terapi client-centered untuk orang dewasa dari Carl
Rogers (1951) dengan berbagai ide dari relationship play therapy ketika ia mengembangkan nondirective,
client-centered play therapy. Ia percaya bahwa anak secara natural akan bergerak menuju pertumbuhan
positif bila anak dilibatkan dalam suatu hubungan di mana anak mengalami penerimaan dan keamanaan
yang tidak dikondisikan (unconditional) (Axline, 1947). Axline (1969) mempostulasi bahwa perubahan
dalam anak muncul sebagai hasil dari hubungan dengan terapis, bukan sebagai hasil dari pengaplikasian dari
teknik tertentu. Ia mengusulkan bahwa menginterpretasikan permainan anak atau memuji perilaku anak
bukanlah hal yang pantas.
Landreth (2002), L. Guerney (1983, 2001), VanFleet (VanFleet, Sywulak, & Sniscak, 2010), dan
Wilson & Ryan (2005) telah memperluas teori dari Axline (1947, 1969), mengkombinasikan idenya dengan
konsep dari terapis lain yang menekankan hubungan terapeutik dengan anak (Ginott, 1959; Moustakas,
1953, 1959), dalam pendekatan nondirective child-centered pada terpai bermain. Dalam terapi bermain
child-centered, terapis membangun hubungan terapeutik di mana terapis akan menerima dan berempati
dengan anak tanpa adanya penolakan. Dalam hubungan ini, anak akan mulai untuk mengaktualkan potensi
dalamnya untuk perkembangan dan pertumbuhan. Landreth (2002) mengusulkan bahwa terapis harus dapat
menjadi cermin bagi anak dan perasaan sang anak.
Bernard Guerney (1964) dan Louise Guerney (1983) mengadaptasi banyak konsep dan strategi dari
terapi bermain nondirective, child-centered untuk mengajarkan orangtua untuk bekerja langsung bersama
dengan anak mereka menggunaan terapi filial. Dalam terapi filial, orangtua anak dilatih untuk melakukan
teknik dari terapi bermain nondirective yang bias mereka lakukan dalam “sesi bermain” yang secara spesifik
didesain untuk membangun hubungan antara orangtua-anak dan mengembangkan self-esteem dari sang anak
(VanFleet, 2009a, 2009b). Teknik primer yang diajarkan dalam terpai filial adalah tracking, restating
content, reflcting feelings, dan setting limits.
LIMIT-SETTING THERAPY
Bixler (1949) dan Ginott (1959) berpendapat bahwa perkembangan dan enforcement of limits adalah
kendaraan utama bagi perubahan dalam sesi terapi. Bxler (1949) mengatakan bahwa “limits are therapy
(batasan adalah terapi)” (p. 1). Ia percaya terapis harus menetukan batasan dalam ruang bermain untuk
menjaga perilaku menerima yang unconditional terhadap klien dan untuk mengembangkan hubungan
sebagai hubungan yang berbeda dengan hubungan lainnya. Bixler berpendapat bahwa menentukan batas
dalalm ruang bermain dapat mengkomunikasikan kepada anak bahwa hubungan tersebut berdasar pada
integritas dan tanggung jawab. Ia mendefinisikan bahwa tipe dasar dari kebutuhan akan batasan dalam terapi
bermain adalah untuk memastikan keamanan kepada orang lain, properti dan alat-alat bermain.
Ginott (19590 ) percaya bahwa batasan adalah komponen kunci dalam terapi bermain dengan anak
yang mengalami reaksi yang tidak konsisten dari orang dewasa dan secara konsekuen merasa bahwa mereka
harus terus menguji hubungannya dengan orang dewasa dengan cara berperilaku “acting-out”. Ia
mengusulkan bahwa terapis, bila dengan sangat hati-hati dan secara konsisten memberi batasan, dapat
mengembagkan kembali pandangan anak terhadap diri sendiri sebagai seseorang yang dilindungi dan
didukung oleh orang dewasa. Menurut Ginott, dengan membuat batasan-batasan pada agresivitas atau
perilaku acting-out, terapis akan cenderung menjaga perilaku positif terhadap anak dalam terapi.
PSYCHODINAMIC MODELS
1. Psychoanalytic Approaches to Play Therapy
Selama hampir 100 tahun terapi bermain menggunakan pendekatan psikoanalitik telah berkembang
secara substansial. Dalam penerapannya, psikoanalisis tetap bekerjasama dengan bidang ilmu lain seperti
neurobiology, sejarah, filsafat, studi gender, seni visual, sastra, dan pertunjukkan. Bidang ilmu tersebut
digunakan untuk memperkaya pendekatan yang dapat digunakan dalam terapi. Terapi psikoanalitik modern,
dan terapi pada anak-anak pada khususnya, menekankan makna koordinat kolaboratif dan individual melalui
kreativitas dalam hubungan antara klien dengan terapis. Hal tersebut mencerminkan bahwa tidak ada cara
yang benar-benar “tepat” dalam hal menintepretasi ketika bermain atau saat anak menunjukkan perilaku
lainnya. Sebaliknya, dalam bermain menekankan co-construction dari makna terapeutik yang digambarkan
dalam permainan yang dilakukan anak. Terapi bermain dengan pendekatan psikoanalisis sangat
memperhatikan interaksi anak dari waktu ke waktu yang dihubungkan dengan keadaan teraupetik mendalam
yang dilihat dari isyarat-syarat yang dimunculkan anak dalam permainan. Hal tersebut dilakukan untuk
mengembangkan pemahaman yang lebih dalam mengenai sang anak mengenai dunia internal anak serta
hubungan anak dengan orang lain. Dengan cara ini, anak mendapatkan peluang baru ketika bermain peraan
dalam permainan untuk bebas bertumbuh dengan maksimal.
Chodorow (2006) menyatakan, imajinasi anak diaktifkan secara spontan melalui symbol permainan
sehingga anak dapat menampilkan gambar maupun cerita yang mengekspresikan mood dan emosi yang
dialami anak dengan lebih bisa dipahami. Pemahaman akan citra batin dan nada perasaan tersebut dapat
memandu proses perkembangan psikologis anak. Dalam bukunya The Red Book yang diterbitkan oleh
anumerta, Jung (2009) menyatakan pentingnya terapi untuk mengidentifikasi pola dasar anak di dalam
dirinya selama ini. Di akhir hayatnya Jung menyampaikan: "Semangat dari dalam diri mengajarkan saya
bahwa hidup saya diliputi oleh anak ilahi "(hal 234).
Terapi bermain Adlerian merupakan suatu proses aktif di mana terapis menggunakan mainan, bahan
seni, cerita, wayang, dan permainan peran untuk membangun hubungan egaliter dengan anak agar terapis
dapat mengetahui gaya hidup anak dan dapat membantu anak untuk menambah wawasan mengenai gaya
hidupnya. Selain itu, terapi bermain dengan pendekatan Adlerian juga sapat membantu mengasah
keterampilan anak sehingga anak memiliki sikap baru dan disediakan ruang untuk anak dapat
mempraktekkan keterampilannya dan menaampilkan sikapnya di tempat bermain tanpa adanya ancaman.
Para terapis juga bekerjasama dengan orang tua anak untuk membantu anak mendapatkan wawasan
mengenai dirinya sendiri dan sekaligus orang tua dapat belajar berbagai strategi pengasuhan anak yang
konstruktif. Selain orang tua, guru dari anak juga dilibatkan jika diperlukan untuk membantu anak
mengembangkan cara berinteraksi yang lebih efektif saat masa sekolah.
David Levy memperkenalkan Release Therapy pada tahun 1930an, dan pada saat itu penelitian
mengenai terapi ini belum cukup banyak ditemukan dan penerapannya pada seting klinis juga belum banyak
digunakan. Terapi ini tidak mendapat perhatian yang sama dengan terapi yang berpusat pada anak yang
dipopulerkan awalnya oleh Virginia Axline (1947). Asumsi dari Release Play Therapy (RPT) ini hampir
sama dengan jenis terapi bermain lainnya dimana dalam terapi bermain semua yang dilakukan “berpusat
pada anak” serta terapis mendampingi anak dalam proses dan penemuan anak untuk mengembalikan
kesehatan mental anak. RPT sangat tepat digunakan untuk kasus PTSD pada anak, karena anak dapat
melakukan apapun yang ia inginkan dan semua dilakukannya sendiri. Dengan RPT terkait kasus PTSD pada
anak, anak semakin bisa kembali ke keadaan nyaman setelah melewati proses teraupetik melalui permainan
dalam jangka pendek. Bagi anak, bermain adalah bahasa mereka, bermain adalah cara mereka, serta bermain
adalah apa yang kita gunakan untuk membantu anak kembali sehat secara mental.
HUMANISTIC
Terapi ini anak adalah proses dinamis yang berkaitan dengan anak-anak di tempat mereka
memiliki istilah yang sesuai dengan masa perkembangan, sesuai dengan media komunikasi alami mereka.
Anak memiliki sumber daya internal yang berkembang di lingkungan untuk mengubah pengalaman bermain
yang dipimpin sendiri di hadapan seorang terapis yang menanggapi komunikasinya Ini adalah proses
penemuan terus-menerus, dengan bermain secara konsisten terapis menggambarkan pemahaman dan
penerimaan, yang menciptakan hubungan keamanan yang diinternalisasi oleh anak dengan cara yang
membebaskan anak untuk mengungkapkan dan mengeksplorasi dimensi diri yang biasanya tidak pernah
dibagikan dengan orang dewasa lainnya. Terapis bermain anak-anak memiliki kesempatan untuk menjadi
satu-satunya orang dewasa yang berfokus sepenuhnya pada anak sebagai lawan dari "masalahnya". Isi dan
arahan permainan anak ditentukan oleh anak. Masalah utamanya adalah bagaimana perasaan anak tentang
dirinya sendiriintervensi yang diberikan tidak boleh sampai mengubah persepsi diri si anak.. Karena itu,
terapis bekerja keras untuk memahami pandangan perseptual anak tersebut. Perilaku anak harus selalu
dipahami dengan melihat melalui pandangan anak itu. Hasil menunjukkan keefektifan pendekatan ini
dengan berbagai macam masalah anak-anak dan dalam setting terbatas waktu yang melibatkan terapi
bermain intensif dan jangka pendek.
Tujuan umum Child-Centered Play Therapy sesuai dengan kebiasaan si anak yang diarahkan sendiri
menuju aktualisasi diri. Premis utama adalah memberi anak itu pengalaman pertumbuhan yang positif
dengan adanya pemahaman, dukungan orang dewasa sehingga anak akan bisa menemukan kekuatan
internal. Karena terapi ini berfokus pada pribadi anak daripada masalah anak, maka penekanannya adalah
pada memfasilitasi usaha anak untuk menjadi seseorang yang lebih memadai dalam mengatasi masalah saat
ini dan masa depan yang mungkin berdampak pada kehidupan anak. Untuk lenih jelasnya tujuan terapi ini
adalah :
Bahan yang direkomendasikan oleh Landreth (2002) untuk "ruang duduk tas" merupakan inti dari
bahan bermain di ruang bermain: krayon, kertas koran, gunting tumpul, tanah liat atau Play-Doh, batang es
loli, pita transparan, botol perawatan, boneka, piring dan cangkir plastik, boneka tokoh keluarga, perabot
rumah boneka, rumah boneka (tipe open-top di lantai), pisau karet, pistol panah, borgol, mainan tentara,
mobil, pesawat terbang , boneka tangan, telepon, dan perhiasan imitasi. Hal ini jelas penting bagi terapis
untuk peka terhadap isu budaya dan keragaman dalam pemilihan mainan.
2. Filial Therapy
Filial therapy didasarkan pada model teoritis integratif, oleh karena itu terapi ini menggabungkan
metode yang diambil dari berbagai teori yang diwakili di dalamnya. Terapis mengembangkan sikap empatik
dan keterampilan dan bekerja bersama dengan orangtua untuk mengatasi kesulitan-kesulitan keluarga.
Prinsip yang digunakan adalah melatih orangtua agar lebih terampil dalam bemain. Terapis membantu orang
tua memperoleh pemahaman tentang makna simbolis dari permainan anak-anak mereka. Terapis melatih dan
mengawasi orang tua saat mereka melakukan sesi bermain nondirektif khusus dengan anak mereka sendiri.
Setelah orangtua mengembangkan kemampuan dan kepercayaan diri dalam sesi bermain, mereka
melakukannya secara mandiri di rumah dengan pemantauan dari terapis.
Pendekatan ini memadukan dua fitur penting dalam menciptakan perubahan yang permanen untuk anak-
anak: keamanan emosional dan penerimaan pada sesi bermain dalam konteks hubungan mereka dengan
orangtua. Pendekatan ini dianggap layak untuk dilakukan karena membantu orang tua dan anak-anak
mengatasi masalah dan memperkuat hubungan mereka
Tujuan dari filial therapy secara umum adalah untuk membuat keluarga menjadi lebih kuat, saling
mengerti, percaya, keikutsertaan, keharuan, kesetiaan, keamanan, bersahabat, dan kebahagiaan (Cavedo &
Guerney, 1999). Secara spesifik, tujuan dibagi menjadi tiga area, yaitu :
1. Didesain untuk membantu anak :
a. Mengakui dan mengekspresikan apa yang mereka rasakan dalam sikap yang berguna dan sesuai
b. Meningkatkan harga diri dan kepercayaan diri
c. Mengurangi perilaku maldaptif
d. Membangun kemampuan penyelesaian masalah
e. Mencapai penguasaan atas ketakutan atau perasaan lain
f. Meningkatkan regulasi diri
g. Membangun perilaku prososial
h. Memperkuat rasa percaya mereka ke orangtua
2. Bertujuan untuk membantu orangtua :
a. Membangun ekpektasi realistis dari anak mereka
b. Menambah pengetahuan tentang perkembangan anak
c. Menambah pengetahuan mereka untuk memahami perasaan, pikiran, persepsi dan perilaku.
d. Menilai bermain pada anak adalah bagian dari perkembangan yang sehat
e. Meningkatkan kepercayaan diri sebagai orangtua
f. Mengembangkan kedekatan, lebih sesuai, lebih aman, hubungan lebih saling memuaskan dengan
anak
g. Memperkuat kepercayaan terhadap anak
h. Menambah pengajaran parenting
i. Menambah kapasitas untuk meninjukkan empati dan penerimaan terhadap anak
j. Menambah kemampuan untuk membangun struktur, mengatur dan menjalankan batas saat kita
butuh
k. Komunikasi lebih dalam dengan keluarga
l. Frekuensi bermain dengan anak lebih banyak dan lebih dinikmati
3. Untuk membantu keseluruhan keluarga :
a. Menemukan kenyamanan satu sama lain
b. Menyelesaikan masalah yang muncul pada tingkat yang paling mendasar
c. Memperbaiki komunikasi dan pemecahan masalah interpersonal
d. Meningkatkan interaksi satu sama lain
e. Diberdayakan untuk berfungsi lebih mandiri, kohesif, dan dengan kepuasan yang lebih besar
dengan kehidupan keluarga
Intinya, ft berfokus untuk memperkuat hubungan orang tua dan anak dalam keluarga, namun
prosesnya bersamaan meningkatkan kerjasama perkawinan dan fungsi psikososial keseluruhan
keluarga.
Terapis mengajarkan orang tua lima keterampilan dasar, empat di antaranya dipekerjakan selama
sesi bermain nondirektif orang tua-anak yang berfokus pada pemahaman tema bermain. Keempat
keterampilan tersebut adalah :
a. Penataan.
Keterampilan ini digunakan untuk mengatur gaya sesi bermain, satu keterbukaan dan penerimaan. Ini
juga menetapkan batasan luas di sekitar sesi bermain, seperti penggunaan peringatan 5 menit dan 1
menit sebelum sesi bermain berakhir.
b. Mendengarkan secara empiris
Keterampilan ini dirancang untuk membantu orang tua memperhatikannya dengan baik tindakan dan
perasaan anak-anak mereka selama bermain dan untuk menyampaikan pemahaman dan penerimaan
mereka kepada anak. Biasanya, tidak ada batasnya ditempatkan pada apa yang anak katakan atau
permainan imajiner anak. Semua perilaku dan perasaan diterima dengan menggunakan keterampilan
ini, kecuali jika perilaku mereka berbahaya atau merusak.
c. Permainan imajiner berpusat pada anak.
Keterampilan ini digunakan saat anak mengajak orang tua mereka untuk memasuki permainan
berpura-pura. Orang tua belajar mengambil peran yang ditugaskan kepada mereka, mengikuti jejak
anak-anak mereka tentang bagaimana memainkan peran tersebut. Orangtua bisa beraksi dengan cara
animasi, menggunakan wajah atau suara untuk memainkan karakter yang ditugaskan, tapi mereka
selalu berusaha untuk menentukan apa yang benar-benar diinginkan anak itu Terkadang anak
mengoreksi orang tua mereka atau memberi petunjuk lebih rinci, dan orang tua kemudian
menyesuaikan peran mereka sesuai dengan itu. Dalam banyak hal, penggunaan keterampilan ini
merupakan bentuk lain dari harmonisasi, penerimaan, dan empati untuk anak.
d. Pengaturan batas
Keterampilan ini digunakan dengan hati-hati, namun penting untuk menjaga keamanan dan integritas
sesi bermain. Kapanpun anak bermain dengan cara yang berpotensi tidak aman bagi dirinya atau
orang tua mereka, atau kapan pun mereka menghancurkan mainan mahal atau banyak, orang tua
belajar untuk menetapkan batasan dengan tegas. Jika anak tidak bisa menggunakan kontrol diri atas
perilaku yang dilarang, orang tua bisa mengakhiri sesi bermain untuk membangun keamanan dan
otoritas tertinggi mereka selama sesi berlangsung. Anak-anak diberi banyak kebebasan dalam batas-
batas ini, namun orang tua harus siap untuk menangani situasi di mana anak-anak menantang
peraturan. Keterampilan ini dirancang untuk memposisikan orangtua kembali mendaji pengendali
saat dibutuhkan.
3. Gestalt Therapy
Terapi gestat merupakan proses yang berorientasi pada terapi yang berkaitan dengan kesehatan dan
integrasi dari ndera, tubuh, emosi, dan kecerdasan. Terapi Gestalt dikembangkan oleh Frederick (Fritz) dan
Laura Perls, memiliki prinsip-prinsip yang berakar dari teori psikoanalitik, psikologi Gestalt, dan teori-teori
humanistik, serta aspek fenomenologi, eksistensialisme, dan Reichian body therapy.
Konsep dan prinsip teoritis yang beragam dari terapi Gestalt sesuai digunakan untuk anak-anak.
Terapis menghargai keunikan dan proses masing-masing individu sekaligus menyediakan kegiatan dan
pengalaman untuk membantu anak memperbaharui dan memperkuat aspek-aspek diri yang telah ditekan,
dibatasi, dan mungkin hilang. Terapis tidak pernah memaksa atau mendorong, tapi dengan lembut
menciptakan lingkungan yang aman di mana anak dapat terlibat dalam pengalaman yang lebih penuh
tentang dirinya sendiri. Banyak teknik ekspresif, kreatif, dan proyektif digunakan, seperti grafik bentuk seni,
tanah liat, sandtray, musik, cerita, wayang, fantasi dan citra, pengalaman sensoris, dan gerakan tubuh.
Teknik-teknik ini dikombinasikan dengan pendekatan terapi gestalt, kombinasi seperti ini telah banyak
berhasil dilakukan pada orang dewasa, remaja dan anak-anak dari segala usia. Selain di tempat terapis, terapi
ini dapat dilakukan di kelas, grup terapeutik, dan dengan keluarga.
Tidak ada penilaian dan treatment planning secara formal oleh terapis, namun tetap dibutuhkan
panduan untuk menentukan intervensi pada anak. Tidakboleh ada ekspektasi dalam terapi ini. Cara terbaik
untuk mengatur treatment planning adalah mengikuti kategori penilaian, yang didasarkan pada proses terapi.
Terapis akan mengaitkan ini dengan anak: hubungan, fungsi kontak, ekspresi, kemampuan kognitif, rasa
diri, dan sebagainya penting untuk mengetahui tahapan perkembangan anak (Eric Erikson) dan teori
pengembangan intelektual (Piaget). Berfokus pada isu-isu yang berkaitan dengan trauma dan pengalaman
hidup lain juga penting. Misalnya, seorang anak yang telah menjadi desensitized karena trauma fisik akan
memerlukan berbagai pengalaman sensorik. Seorang anak yang menunjukkan dirinya tidak berharga akan
memerlukan kegiatan yang mngembangkan dirinya.
4. Experiential Play Therapy
Dalam experiential play therapy, terapis menerima dan menghormati ekspresi anak tentang dirinya
dan pengalaman hidupnya untuk membantu membentuk kepercayaan anak terhadap hubungan terapeutik.
Perilaku menyimpang yang ditunjukkan oleh anak mungkin merupakan satu-satunya cara untuk
mengungkapkan rasa sakit yang dirasakannya. Sekali kepercayaan didirikan, anak akan memasuki
permainan fantasi, di mana ia secara metaforis dan simbolis menunjukkan kekacauan internal-nya. Dalam
fantasi, anak bisa mencapai rasa sakit, mengendalikan, dan menaklukkannya. Dengan memasuki permainan
fantasi dengan anak, terapis mampu merespons anak, berkolaborasi dengan sistem limbik dari otak sehingga
respons ketakutan otomatis akhirnya berubah. Sebagai hasilnya, anak bisa memanfaatkan pengalaman dan
penilaiannya untuk menentukan apakah ada sebenarnya ancaman dalam situasi saat ini. Kesembuhannya
adalah melalui hubungan di bermain. Saat anak tersebut menaklukkan reaksi ketakutannya, dia mendapatkan
kembali pengaturan diri dan peraturan kemampuan untuk saling percaya dalam hubungan. Hasilnya, anak
bisa lebih maju di dunia-nya, dapat mengembangkan jaringan sosial yang mendukung, menikmati hubungan
intim, dan menjadi seorang anggota masyarakat yang produktif.
SYSTEMIC MODELS
1. Family play therapy
Terapi keluarga adalah perpaduan antara dua teori mayor dalam psikoterapi yaitu terapi bermain
dan system keluarga. Terapis Keluarga lebih luas memperhatikan isu-isu perkembangan yang dihadapi
setiap anggota keluarga pada waktu yang berbeda dalam siklus hidup (Carter & McGoldrick, 1989; Zilback,
1989). Terapi bermain keluarga dapat berfungsi sebagai jembatan antara orang dewasa dan anak-anak,
sebagai jembatan antara sadar dan terapi kerja yang disengaja, akses dan pemanfaatan bawah sadar dan
komunikasi yang tidak disengaja dan interaksi yang biasanya tersedia saat individu mengakses belahan otak
kanan versus belahan otak kiri.
Terapi ini dimulai dengan dasar sistem keluarga (keinginan untuk bekerja dengan keluarga versus
individu tertentu) dan kemudian menerapkan teori terapi dan teknik bermain. Terapi keluarga cocok
digunakan untuk anak-anak semua usia. Akan tetapi anak dengan usia 4-8 tahun dapat lebih total dan lebih
cepat tertarik melakukan sesuatu dengan orangtua mereka. Beberapa anak yang menarik diri dari permintaan
komunikasi verbal, permainan dinamis, fisik, kreatif dan artistik mungkin dapat dilakukan.
Terapi keluarga menambahkan permainan untuk dinamika strutural, aksi perilaku, dan komuniksi
verbal. Manfaat dari penambahan permainan memudahkan terapis untuk menilai dan memperlakukan
keluarga dengan cara yang dapat mengurangi resistensi, memicu kegembiraan, memungkinkan anggota
keluarga memandang satu sama lain dengan cara baru, mendorong kreatifitas, tawa dan kepuasan komunal.
EMERGING MODELS
Theraplay adalah metode terapi bermain yang saat ini telah terbukti merupakan terapi yang
terstruktur, hemat biaya, dan singkat. Terapi ini merefleksikan interaksi normal antara orang tua dan anak
sehingga sangat mudah dimengerti dan dipelajari. Hubungan antara orang tua dan anak kandung dalam
terapi ini dibuat dengan adanya kontak fisik dan interaksi yang menyenangkan serta adanya keterlibatan baik
orang tua maupun anak sehingga tercipta keterikatan dan hubungan yang menyenangkan. Tujuan dari
Theraplay ini adalah untuk meningkatkan harga diri, kepercayaan diri, dan meningkatkan kemampuan untuk
mengatur diri sendiri. Selain itu, terapi ini juga bertujuan untuk meningkatkan responsifitas serta membantu
anak untuk dapat melakukan refleksi pada dirinya sendiri. Terapi ini berorientasi pada perkembangan yang
benar, dan pada banyak penelitian menunjukkan bahwa pentingnya sentuhan dan kematangan otak kanan
yang mendasari prinsip dari Theraplay. Theraplay dapat diterapkan pada semua usia dan secara signifikan
dapat mengurangi berbagai macam masalah emosional, sosial, dan perilaku, terutama yang berasal dari
keterikatan dan / atau gangguan dalam hubungan seperti yang ditemukan pada keluarga bercerai, anak-anak
penderita autis dan perilaku-tidak teratur.
Terapi ini cocok untuk anak usia prasekolah dan anak usia dini. CBTP ini menekankan pada
keterlibatan anak dalam proses terapi dan menekankan pada penangan, pengendalian, dan tanggung jawab
anak untuk merubah perilakunya sendiri. Dalam terapi ini, anak dibantu untuk menjadi aktif dalam hal
merubah dirinya sendiri (Knell, 1993a). Terapis memfasilitasi keterlibatan anak dalam terapi dengan
menyajikan intervensi yang sesuai dengan perkembangan anak. Banyak intervensi perilaku dan kognitif
dapat digabungkan dengan CBPT. CBPT menyediakan kegiatan terstruktur dan berorientasi pada sasaran
sambil memberikan anak kesempatan untuk melakukan hal secara spontan dalam proses terapi.
Keseimbangan yang dihasilkan secara spontan dan dalam kegiatan yang lebih terstruktur merupakan hal
yang sensitive. Kedua hal tersebut merupakan bagian yang sangat penting bagi kesuksesan CBPT karena
tanpa spontanitas dari anak maka akan banyak informasi klinis yang hilang, dan tanpa struktur yang jelas
maka CBPT tidak akan terarah. Sehingga akan sulit untuk membantu anak mengembangkan strategi koping
yang adaptif.
4. Narrative Play Therapy
Terapi bermain naratif adalah cabang terapi bermain yang menggunakan perkembangan potensi
bermain dan narasi untuk mendukung anak dalam memahami kejadian yang telah terjadi dalam hidupnya
dan bagaimana dampaknya terhadap anak tersebut. Hal tersebut dapat dilakukan karena anak dapat memilih
sendiri mainan dan bahan-bahan yang diinginkannya. Dunia yang hidup dan dunia yang dibayangkan anak
berkumpul di dalam dirinya saat bermain dalam terapi bermain. Benda nyata bisa digunakan dalam
imajinasi, dan imajinasi bisa digunakan untuk menciptakan dunia nyata. Poin awal untuk narasi yang
tercipta datang dari anak-anak, permainan mereka, dan cerita yang mereka ciptakan. Cerita yang dihasilkan
hadir dalam ekplorasi dari permainan yang dilakukan anak dan terapis bertugas untuk memfasilitasi
pertukaran gagasan dan pikiran mengenai cerita anak. Hubungan yang tercipta antara terapis dan anak
adalah sebagai pendengar dan pendongeng dimana terapis memfasilitasi penciptaan sebuah ruang terbuka,
aman, dan bebas ketakutan bagi anak untuk mengeksplorasi, bermain, dan membuat cerita mengenai sikap
penasaran dah hal-hal yang tidak dimengerti oleh anak. Terapi bermain naratif pada akhirnya dapat
mendukung anak untuk menghasilkan alternative cerita dan menghasilkan berbagai cerita berbeda dalam
permainannya, menciptakan fleksibilitas kognitif maupun emosional, yang kemudian bisa dimanfaatkan dan
digunakan oleh anak dalam kehidupannya nyatanya.
5. Play Therapy
Terapi bermain integratif adalah pendekatan yang relatif baru berkembang untuk anak-anak dan
remaja. Pendekatan ini menggunakan teori pengintegrasian yang fleksibel dan menawarkan teknik terbaik
untuk mengatasi masalah klien. Pendekatan integratif untuk terapi bermain memadukan berbagai model dan
teknik terapi terapeutik untuk membantu mengatasi masalah klien. Terapi integrative ini merupakan transisi
dari pendekatan yang mengandalkan satu perspektif menjadi pendekatan yang mengintegrasikan lebih dari
satu perspektis. Integrative Play Therapy mengeksplorasi metode untuk memadukan teori dan teknik
pengobatan terbaik untuk mengatasi gangguan psikologis yang paling umum. Selain itu, Integrative Play
Therapy bersifat sangat fleksibel dan unik dalam mengintegrasikan teori dan teknik, yang memungkinkan
praktisi atau terapis untuk menawarkan perawatan terbaik kepada klien terkait permasalahan yang dialami
klien.
6. Prescriptive Play Therapy
Terapi bermain preskriptif menggambarkan berbagai pendekatan teraupetik sehingga memiliki
banyak cara untuk melakukan perubahan. Dari berbagai pendekatan tersebut, terapis kemudian menentukan
terapi yang paling tepat sesuai dengan kebutuhan klien dengan memanfaatkan empat sumber informasi
yaitu, penyebab yang mendasari masalah, menyajikan masalah, bukti empiris, pengalaman klinis dan
konteks dari permasalahan klien. Psikoterapi preskriptif adalah istilah yang digunakan untuk pendekatan
yang berusaha menyesuaikan intervensi dengan individunya (Beutler, 1979; Beutler & Clarkin, 1990).
Psikoterapis preskriptif berusaha untuk menjawab berbagai pertanyaan terdahulu mengenai prosedur
perawatan apa yang tepat diberikan oleh terapis kepada klien dengan permasalahan yang spesifik dari klien
untuk mendapatkan hasil yang terbaik (Paul, 1967). Inti dari pendekatan perspektif yaitu dalam mengatasi
permasalahan klien dengan terapi yang paling efektif menurut terapis dan sesuai dengan klien. Tugas terapis
dalam terapi preskriptif adalah membuat tujuan bersama klien yang sekiranya dapat dicapai, merumuskan
permasalahan klien baik ,mengenai penyebab atau bagaimana ketika permasalahan tersebut terjadi, serta
rencana terapi yang disesuaikan dengan dengan masalah dan situasi spesifik klien.
TAHAPAN DAN TEKNIK TERAPI BERMAIN
(PLAY THERAPY)
a. Tahap Awal
Pada tahap awal, anak dapat menggunakan metafora untuk menyampaikan perasaan dan pemikiran anak
mengenai terapi. Kemampuan terapis untuk menghargai dunia batin anak, menanggapi, dan tetap mengikuti
metafora anak berfungsi sebagai sarana yang ampuh untuk mengembangkan aliansi dan mendidik klien
tentang tugas dan tujuan terapi. Metafora adalah pola gambar, simbol, kata, emosi dan tindakan yang
mensintesis dan mewakili pengalaman. Namun apabila dipaksakan pada informasi, sebuah metafora tidak
hanya menentukan bagaimana informasi itu ditafsirkan, tapi juga mengatur tindakan tertentu dan emosi.
Dalam tahap awal ini :
1. Keberadaan dan sifat masalah harus dibahas. Terapis harus mengajukan pertanyaan kepada anak
untuk mendiskusikan mengapa dia datang ke terapis. Hal ini akan memberikan pemahaman anak untuk
melihat seorang terapis.
2. Citra terapis sebagai seseorang yang bisa membantu diperkuat. Ha ini dapat dilakukan dengan
memperkuat kemampuan terapis untuk menyampaikan empati dan perhatian. Dengan memahami
dunia melalui mata anak merupakan variabel penting karena membantu menciptakan anak mulai merasa
dimengerti yang dapat memupuk keyakinan bahwa terapis adalah orang yang memiliki keahlian dan
dapat dipercaya.
3. Keyakinan bahwa masalah bisa dipecahkan. Terapis juga harus mulai berkomunikasi dengan
kenyataan dan berharap bahwa sebagai hal yang tidak dapat diubah dan tidak dapat diatasi bagi pasien,
masalah dapat diatasi dan berkurang dalam terapi.
4. Proses pemecahan masalah dapat didefinisikan. Proses terapi harus dijelaskan sebanyak mungkin
untuk anak seperti waktu dan frekuensi sesi serta kerahasiaan, harus didiskusikan. Selain itu, terapis
harus mulai menjelaskan bagaimana masalah diatasi dan dipecahkan dalam terapi.
5. Ungkapkan apresiasi terhadap kesulitan menghadapi masalah. Tak jarang, anak-anak akan
segera mengungkapkan resistansi mereka untuk menghadapi masalah. Anak-anak mungkin merasa pada
tingkat tertentu bahwa untuk menghadapi masalah bukanlah tugas yang mudah, yaitu dalam proses
keluarga dan mengungkap rahaisa pribadi mereka.
b. Tahap Akhir
Selama tahap akhir, terapis dapat menggunakan teknik bermain dan seni pada anak. Teknik bermain
dan seni memungkinkan terapis untuk menangani isu-isu yang disebutkan sebelumnya dengan cara yang
sensitif terhadap kebutuhan perkembangan anak. Teknik terapi ini sangat penting selama akhir proses terapi,
pada periode inilah perasaan tidak nyaman tentang terapis mungkin perlu diungkapkan dengan cara yang
nyaman dan tidak mengancam. Pada tahap akhir terapis dapat menggunakan bahan bermain untuk
mengucapkan selamat tinggal seperti mobil-mobilan, pesawat, hewan mainan seperti burung, boneka,
kostum, telepon mainan, topeng, dan perlengkapan seni. Selain itu, terapis juga dapat menggunakan teknik
bermain terstruktur dan seni untuk mengucapkan selamat tinggal. Aktivitas terstruktur dapat membantu anak
mengambil alih kepemilikan dari pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan yang baru ditemukan.
Aktivitas terstruktur dapat digunakan untuk melibatkan anak dalam menetapkan tanggal untuk
menghentikan terapi yang pada gilirannya memberikan kesempatan untuk mempersiapkannya mengucapkan
selamat tinggal. Aktivitas tersebut dapat seperti membuat kalender, memfoto ruang bermain atau membuat
foto bersama antara terapis dan klien dengan seizin orang tua klien, membuat souvenir seperti gambar
tangan dimana tangan terapis digariskan di sebelah tangan klien, gambar ini bisa bermanfaat untuk
membantu anak menyimpan atau mengingat terapis.
Teknik bermain ini biasa disebut bermain khayal atau berpura-pura. Dimana dalam bermain
simbolik, anak memegang suatu peran tertentu atau menggunakan benda sebagai fungsi lain atau
menggunakan benda tersebut dalam suatu permainan tertentu sesuai dengan daya imajinasi anak. Misalkan
anak bermain dengan kartu-kartu, kemudian kartu-kartu tersebut digunakan sebagai pagar atau dinding
sesuai dengan imajinasi anak. Bermain simbolik berfungsi untuk mengasimilasikan dan mengkonsolidasikan
pengalaman emosional anak, contoh bermain simbolik seperti :
a. Bermain menggunakan Dua Rumah : Dalam terapi bermain, rumah yang diciptakan seorang anak
sering mengungkapkan bagaimana dia merasakan tubuhnya dan apa yang dia rasakan tentang hal
tersebut. Erikson juga menggambarkan struktur rumah sebagai ekspresi simbolik keadaan mental
anak (seperti dikurung) yang dapat ditelusuri dari pengalaman traumatis awal. Dalam sesi
bermain,seorang anak diminta secara lisan melukiskan dua rumah, sebagai contoh seorang gadi
menggambar dua rumah dimana satu liar dan satu damai yang dapat menunjukkan perasaan
ambivalen terhadap situasi rumahnya. Dari gambar tersebutlah terapis dapat melihat bagaimana
perasaan anak yang sebenarnya dengan keluarganya.
b. Menggunakan Boneka untuk Penilaian : Dalam permainan ini, anak dapat menggunakan
boneka/wayang untuk menceritakan sebuah cerita yang berasal dari imajinasinya. Cerita tersebut
mungkin saja kejadian nyata namun lebih sering merupakan kolase pengalaman terbentuk oleh anak
yang terdiri dari perasaan, imajinasi, keinginan dan ketakutan yang tak terduga dari anak. Terapis
dapat menilai anak dari isi cerita, alur, latar, tokoh dari cerita tersebut. Permainan ini dapat
digunakan oleh terapis untuk mengumpulkan data dalam diagnosis dan terapi yang sedng dilakukan.
c. Boneka Jari dan Membuat Topeng : Bermain menggunakan boneka jari hampir sama dengan
menggunakan boneka biasa hanya saja boneka jari lebih mudah untuk dioperasikan dan lebih mudah
untuk dibuat dengan hanya menggunakan material bola karet dan beberapa pewarna untuk melukis
bola tersebut sebagai kepala. Sedangkan membuat topeng dapat dijadikan salah satu permainan yang
digunakan untuk mengekspresikan emosi anak. Anak dapat membetuk wajah dari topeng di tanah liat
dengan bebas yang juga beruna untuk menstimulasi anak. Setelah tanah liat kering anak dapat
melukis wajah tersebut sesuai kreatifitas anak
d. Bermain Kostum : Kostum dinikmati di semua usia dan cenderung tidak dianggap terlalu kekanak-
kanakan oleh anak yang lebih tua selama terapi. Terapi bermain kostum bermanfaat terutama bagi
anak yang lebih tua yang kurang spontan dalam berkomunikasi. Teknik dasar terapi ini sama seperti
pada umumnya. Tujuan dari terapi ini adalah untuk membantu anak memahami kenyataan sesuai
kapasitas perkembangannya.
e. Cerita Metafora: Cerita metafora dapat mempengaruhi bagaimana klien memahami konstruksi
kompleks atau abstrak seperti perasaan mereka dalam berbagai situasi, sikap terhadap orang tertentu.
Fungsi terapis adalah menggunakan cerita untuk mengkomunikasikan pesan kepada anak-anak,
mengajarkan mereka cara baru untuk memecahkan masalah dan berinteraksi dengan orang lain, serta
membantu mereka menyesuaikan sikap, persepsi, dan pandangan. Dengan menggunakan cerita
sebagai komunikasi metaforis, terapis dapat melewati reaksi pertahanan anak untuk lebih banyak
memberikan pesan langsung dan pengajaran.
f. Bermain menggunakan Telepon : Telepon merupakan objek bermain simbolik yang potensial karena
dapat sekaligus menggabungkan antara pembicaraan, mendengarkan, tanggapan, dan menegaskan
dengan cara yang tidak terlihat oleh orang lain. Dalam terapi, telepon merangsang fantasi dengan
mendorong seorang anak untuk melakukan dialog dengan pihak imajiner kedua yang dipilih untuk
ditelepon, dialog apa yang terjadi antara mereka, dan peran apa yang anak mainkan sebagai pihak
kedua, semuanya kan mengungkap banyak informasi untuk terapis.
g. Bermain Balok : Teknik bermain balok digunakan untuk memperbaiki komunikasi antara individu
yang satu dengan yang lainnya bisa antara orangtua dengan anaka atau antara pasangan. Permainan
ini mengajarkan seseorang bagaimana mendengar dengan baik, bagaimana mendengar yang benar-
benar mendengar dan tidak hanya sekedar mendengar. Permainan ini menggunakan balok dimana
satu orang menyusun balok sesuai keinginannya dan satu orang lagi menyusun balok sesuai dengan
yang disusun orang pertama. Orang yang mengikuti dapat bertanya sebanyak mungkin kepada orang
pertama. Hal ini dimaksud agar setiap individu benar-benar dapat berkomunikasi dengan baik satu
sama lain.
Teknik bermain ini merupakan cara bermain menggunakan seni, warna, gambar sebagai wujud dari
ekspresi seni yang dapat digunakan untuk mengenali simbol-simbol non verbal yang mungkin sulit
diekspresikan dengan kata-kata dan dapat dikomunikasikan dengan suatu proses kreatif, seperti :
a. Lukisan Jari : Penggunaan lukisan jari secara konsisten telah terbukti sangat berharga dalam merawat
anak dengan masalah perilaku dan neurosis. Dalam kerangka situasi yang terkontrol, lukisan jari
dapat memfasilitasi munculnya fantasi dan tren kepribadian. Lukisan jari bertindak sebagai catatan
pengalaman psikoterapeutik dan sebagai ukuran objektif dari kemajuan terapi.
b. Bermain dengan Coretan : Anak akan diminta untuk menggambarkan sebuah cerita dari coretan-
coretannya. Tujuan dari teknik ini adalah untuk membangun komunikasi dengan pikiran dan
perasaan batin anak melalui sebuah persimpangan yang tidak mengganggu sesuatu di tempat di mana
perkembangan pasien terganggu. Pendekatan didasarkan pada penilaian kognitif-emosionalnya
terhadap tingkat perkembangan anak, dan merupakan intervensi jangka pendek.
c. Barometer Emosi : Metode ini digunakan untuk mengetahui bagaiamana perasaan anak saat itu juga
atau dari waktu ke waktu. Anak diminta menilai perasaannya pada suatu skala 10 poin mulai yang
mengerikan (0) hingga super bagus (10) dan catatan grafis perasaan siswa dari waktu ke waktu.
Barometer emosional juga dapat dibuat mengacu pada skala visual dengan wajah bahagia. Ini adalah
bantuan grafis yang berharga untuk membantu anak memahami konsepnya.
Teknik bermain ini merupakan cara bermain yang merujuk pada aktivitas memainkan peran dalam
sebua cerita. Teknik bermain ini dapat memberi anak kesempatan untuk melampiaskan emosi yang sempat
tertahan. Beberapa teknik terebut antara lain :
a. Teknik Mewarnai Hidup : Teknik ini mengajarkan anak untuk memasangkan warna dengan perasaan
spesifik, misalnya merah untuk marah, biru untuk sedih, hitam sangat sedih, coklat untuk bosan, dan
kuning untuk bahagia. Teknik ini bertujuan untuk meningkatkan kosakata afektif anak dan ekspresi
dalam sesi terapi bermain.
b. Saling Bercerita : Metode ini digunakan sebagai metode berkomunikasi dengan klien dii tingkatnya
sendiri, berguna dalam pengobatan berbagai gangguan psikogenik masa kanak-kanak. Dalam teknik
ini, saat mendengar sebuah cerita terapis mengartikan psikodinamik klien, memilih satu atau dua
tema penting, dan kemudian membuat cerita sendiri dengan menggunakan karakter yang sama dalam
setting yang serupa. Namun, cerita terapis berbeda dengan anak tersebut serta memperkenalkan
resolusi yang lebih sehat dan adaptasi yang lebih matang
c. Karakter Kreatif : Pada teknik ini terapis memilih masalah emosional utama yang dihadapi anak dan
kemudian megembangkan karakter (cukup sering binatang) dan melibatkan karakter ini dalam situasi
yang mencerminkan masalah inti dalam terapi. Karakter dan pengalaman yang mereka hadapi
biasanya diuraikan oleh anak dan terapis selama beberapa bulan dan ceritanya sangat kaya akan
bahan untuk terapi.
d. Bermain Peran : Teknik bermain peran digunakan dalam metodologi prilaku sebagai alasan mulai
dari meningkatnya kesadaran emosional hingga berkembangnya repertoar dari perilaku. Dengan
teknik ini individu akan berlatih untuk meningkatkan kemampuan menghadapi situasi yang baru dan
tidak biasa.
e. Pelatihan Relaksasi : Anak mungkin memiliki tekanan sewaktu-waktu. Untuk menangani hal tersebut
terapis dapat mengajarkan anak untuk berlatih relaksasi sebelum tidur di malam hari dengan
membiarkan seluruh tubuh dan otot lemas serileks mungkin. Dengan berlatih relaksasi anak akan
menjadi lebih tenang dan dapat melakukan aktivitas dengan baik di sekolah.
f. Bermain Musik : Terapi bermain musik tidak sama dengan terapi musik. Terapi musik didasarkan
pada gagasan bahwa klien akan melakukan kemajuan terapeutik belajar bermain instrumen atau
melakukan pertunjukan musik pilihan. Sebaliknya, terapi bermain musik melibatkan penyediaan
mainan musik atau instrumen sederhana untuk eksplorasi anak dalam terapi bermain. Tujuan dari
mainan musik bukan fokus pada kinerja atau bakat musik, namun fokus pada menggunakan
instrumen sepenuhnya untuk tujuan ekspresi diri dan komunikasi. Terapis tidak harus memiliki
pelatihan musik karena penekanannya bukan pada kualitas musik yang diproduksi atau dilakukan,
melainkan pada kualitas ekspresif musik anak
g. Bermain menggunakan Bola : Penggunaan permainan bola dengan anak-anak dalam terapi hanya
dibatasi oleh pikiran kreatif terapis. Bermain bola adalah salah satu yang paling awal dan bentuk
permainan yang awet. Terapi bermain bola menciptakan suasana santai dan terbuka untuk ekspresi
anak. Kemajuan anak dalam terapi bermain bola sangat cepat dan bisa digunakan dalam konteks
terapi singkat.
h. Bermain menggunakan Totebag : Dalam teknik ini, anak diminta untuk membuat tas bermain kreatif
sesuai dengan kreatifitasnya. Selin itu, bahan dan mainan bisa ditambahkan ke tas bermain jika ruang
tersedia. Saat menambahkan mainan ke dalam permainan tas, penting untuk memilih yang
memudahkan ekspresi anak dan proses terapi bermain.
Teknik bermain ini merupakan cara bermain yang menggunakan papan sebagai alat permainannya.
Permainan papan atau board games merupakan permainan meja yang melibatkan perhitungan yang matang,
strategi, serta aturan dalam permainannya. Contoh permainan papan yaitu :
a. Halma : Permainan ini memiliki manfaat psikoterapi yang relative rendah. Terapis umumnya akan
menggunakannya permainan ini menjelang akhir sesi, setelah sebagian besar waktu telah
dikhususkan untuk apa yang dia anggap sebagai kegiatan terapeutik yang lebih efisien. Cara pemain
memainkan permainan dan komentar yang dibuat selama permainan bisa memberi terapis materi
nilai diagnostik.
b. Catur : Aspek interpersonal permainan dapat terjadi pada level kerja sama dan persaingan antara
lawan, dan representasi simbolis peristiwa manusia melalui karakter dan tindakannya dimulai dengan
kesepakatan dua pemain untuk memulai permainan. Seluruh aktivitas merupakan salah satu
interdependensi dimana setiap pemain harus menunggu bergerak dari yang lain sebelum bergerak
sendiri, dan setiap gerakan harus dihitung sehubungan dengan langkah lawan sebelumnya. Dalam
permainan ini, individu juga akan interpenetrasi pikiran, dimana setiap pemain terus bertanya-tanya
apa yang dipikirkan lawan.
6. Permainan Elektronik
Teknik bermain ini merupakan cara bermain yang menggunakan alat elektronik untuk menciptakan
sistem interaktif yang bisa dimainkan oleh pemain. Beberapa contoh permainan elektronik yaitu seperti :
a. Nintendo Games : Nintendo yang merupakan sistem permainan yang diputar di televisi grafis biasa
tipe kualitas arcade, telah ditemukan sebagai ice breaking yang sangat baik dan pembangun
hubungan yang baik antara terapis dank lien. Banyak anak yang terkejut bahwa orang dewasa
(dalam hal ini adalah terapis) memiliki permainan komputer dan bisa bermain dengan baik. Interaksi
atas permainan berfungsi untuk memberikan kenikmatan dan menempatkan terapis dan anak di atas
tanah bersama (wilayahnya permainan komputer).
b. Hi-Tech Games : Permainan berteknologi tinggi menggunakan komputer mikro sebagai media
kreatif dalam terapi seni dengan pendekatan pad dan konseling grafis yang dikembangkan dengan
lebih banyak media seni tradisional. Dalam permainan berteknologi tinggi ini anak dapat melakukan
terapi seni computer, menggambar dengan computer, maupun membuat desain atau logo.
CONTOH KASUS
Kelly adalah seorang gadis berusia 4 tahun yang sedang berada dirumah dengan ibu dan tiga saudara
kandungnya saat rumah mereka terbakar habis. Percikan api akibat konsleting listrik di dinding adalah
penyebab kebakaran, yang menimbulkan berbagai suara dari dinding sebelum keluarga menyadari apa yang
terjadi. Ibu dan anak-anak bisa meninggalkan rumah tanpa terluka, tapi rumah itu terbakar sampai dasar
sebelum api dapat dipadamkan. Keluarga menyaksikan rumah itu terbakar, dan pemadam kebakaran
berusaha menyelamatkan rumah tersebut. Mereka juga menghabiskan banyak waktu di rumah pada bulan-
bulan berikutnya saat rumah tersebut dibangun kembali. Kelly menolak untuk berbicara dan tidak mau
memasuki rumah saat diperbaiki. Dia juga menolak untuk berpisah dari orang tuanya, takut dengan berbagai
suara, dan tidak akan tidur sendiri di malam hari. Selama terapi bermain, permainannya berkisar pada
karakter di rumah, pemadam kebakaran, dan hewan yang membuat suara aneh yang tidak dapat
dibayangkan oleh siapapun. Ketika karakter mencoba menemukan sumber suara, binatang akan
bersembunyi. Selain itu, hal-hal menakutkan yang acak akan terjadi dalam permainannya (misalnya, bak
mandi akan jatuh dari langit). Dia akan memainkan ulang hal ini berulang-ulang kali.
PEMBAHASAN
Berdasarkan uraian diatas, Kelly dapat dikatakan mengalami trauma karena ia menyaksikan langsung
kejadian kebakaran rumahnya. Hal tersebut dapat dilihat dari perilaku yang dimunculkan Kelly seperti
enggan untuk berbicara dan memasuki rumahnya saat rumah tersebut diperbaiki, ia juga menolak untuk
berpisah dengan orang tuanya, takut dengan berbagai suara, dan tidak akan tidur sendiri di malam hari.
Secara umum dapat dikatakan Kelly merasa bahwa rumahnya tidak aman dan suara-suara yang ia dengar
mengingatkannya pada suara-suara sebelum terjadinya kebakaran rumahnya sehingga suara-suara tersebut
dianggapnya menakutkan. Terkait dengan kasus ini, dalam terapi bermain tahap awal yang dilakukan adalah
membahas semua masalah yang dialami Kelly, selanjutnya terapis harus memperkuat citra terapis sebagai
seseorang yang dapat menolong Kelly menghadapi masalahnya, lalu terapis dapat harus member keyakinan
kepada Kelly bahwa masalahnya dapat diatasi, kemudian terapis dapat menjelaskan proses terapi yang akan
berlangsung seperti apa dan bagaimana masalah Kelly dapat diatasi dalam terapi tersebut, terakhir terapis
harus mengungkapkan apresiasinya kepada Kelly bahwa menghadapi masalah bukanlah hal yang mudah.
Setelah tahap awal dilakukan, terapis dapat menggunakan teknik dua rumah dalam terapi bermain
kepada Kelly. Terapis dapat meminta orang tua Kelly untuk membawa gambar rumah yang terbakar dan
rumah yang dibangun kembali, gambar tersebut dapat digunakan dalam sesi terapi untuk membantu Kelly
berbicara dan menceritakan apa yang terjadi dan apa yang ia rasakan mengenai rumahnya yang terbakar dan
rumahnya yang sedang dibangun kembali. Selain menggunakan gambar dua rumah yang berbeda, terapis
juga dapat meminta Kelly untuk menggambarkan rumah yang terbakar dan rumah yang dibangun kembali
sesuai dengan imajinasi dan apa yang Kelly rasakan tentang kedua rumah tersebut. Dari gambar tersebutlah
terapis dapat melihat bagaimana perasaan Kelly yang sebenarnya.
Selain menggunakan teknik dua rumah, terapis juga dapat menggunakan teknik bermain karakter
kreatif untuk mengatasi masalah Kelly. Pada teknik ini terapis memilih masalah emosional utama yang
dihadapi Kelly seperti menolak memasuki rumah yang sedang diperbaiki dan takut tidur sendiri di malam
hari. Kemudian terapis dapat megembangkan karakter (cukup sering binatang) dan melibatkan karakter ini
dalam situasi yang mencerminkan masalah inti dalam terapi. Karakter dan pengalaman yang mereka hadapi
biasanya diuraikan oleh anak dan terapis. Dalam teknik ini, karakter dibuat mampu menghadapi masalah
yang seperti yang dialami Kelly, saat karakter menunjukkan usahanya tidur di tempat tidurnya sendiri
karakter akan mendapatkan stiker dengan harapan Kelly dapat mengikuti prilaku yang dilakukan karakter.
Terakhir, pada tahap akhir terapi bermain, terapis dapat menggunakan teknik bermain dan seni pada
Kelly. Teknik bermain dan seni memungkinkan Kelly untuk mengungkapkan perasaan tidak nyamannya
kepada terapis selama terapi dilakukan. Pada tahap akhir terapis dapat menggunakan bahan bermain untuk
mengucapkan selamat tinggal seperti mobil-mobilan, pesawat, hewan mainan seperti burung. Selain itu,
terapis juga dapat menggunakan teknik bermain terstruktur dan seni untuk mengucapkan selamat tinggal
seperti membuat foto bersama antara terapis dan Kelly dengan seizin orang tua Kelly.