Anda di halaman 1dari 7

INVESTIGASI KLB KERACUNAN

A. Latar Belakang Masalah


Penyakit yang disebabkan oleh makanan merupakan salah satu penyebab kesakitan dan
kematian di Indonesia. Makanan diketahui sebagai jalur penyebaran dan toksin yang
diproduksi oleh mikroba pathogen. Mikroorganisme dalam bahan pangan/makanan dapat
bersifat menguntungkan maupun merugikan. KLB keracunan pangan adalah suatu kejadian
dimana terdapat dua orang atau lebih yang menderita sakit dengan gejala-gejala yang sama
atau hampir sama setelah mengkonsumsi sesuatu dan berdasarkan analisis epidemiologi
terbukti makanan tersebut merupakan sumber keracunan.
Pada tangal 10 Februari 2018 Dinas Kesehatan Kabupaten Jeneponto menerima laporan
bahwa telah terjadi kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan di Desa Bontosunggu
Kecamatan Tamalatea yang merupakan wilayah Puskesmas Tamalatea dan di Desa Allu
Tarowang Kecamatan Taroang yang merupakan wilayah kerja Puskesmas Taroang.
Berdasarkan informasi yang didapatkan jumlah penderita di Desa Bontosunggu sebanyak 8
orang dan di Desa Allu Taroang sabanyak 41 orang dan keduanya tanpa disertai kematian
(CFR=0%).
Untuk mendapatkan kepastian terjadinya kejadian luar biasa (KLB) dan gambaran
penyakit, kemungkinan pola penularan serta penyebab dari kejadian ini perlu diadakan
penyelidikan lebih lanjut.

B. Tujuan Penyelidikan Wabah


1. Tujuan Umum
Merumuskan cara untuk penanggulangan dan pengendalian KLB keracunan
2. Tujuan Khusus
a. Memastikan dignosa
b. Memastikan bahwa terjadi KLB Keracunan
c. Mengidentifikasi penyebab terjadinya KLB Keracunan
d. Mengidentifikasi sumber penyebab
e. Mengetahui deskriptif epidemiologi KLB tersebut

C. Tahapan Penyelidikan Wabah


Tahapan investigasi wabah ada 13 step yaitu :
1. Mempersiapkan Investigasi Lapangan
Sebelum turun ke lapangan ada tiga hal yang mesti dilakukan yaitu :
a. Persiapan investigasi : persiapan dari orang orang yang akan turun ke lapangan
melakukan investigasi wabah, material dan instrument pengumpulan data serta
analisis datanya
b. Persiapan administrasi : persiapan dalam hal perizinan, persuratan, dokumen
memadai, penyediaan dana, transportasi, dokumentasi, dan pembagian tugas dalam
tim.
c. Persiapan konsulitasi : persiapan peran dan posisi dalam tim serta kerjasama dengan
petugas kesehatan setempat.
2. Menetapkan adanya wabah
Wabah adalah kejadian berjangkitnya penyakit dalam masyarakat yang jumlah
penderitanya meningkat secara nyata melebihi keadaan yang semestinya pada waktu dan
daerah tertentu serta menimbulkan malapetaka.
Pada 10 Februari 2018 Dinas Kesehatan Kabupaten Jeneponto menerima laporan
bahwa telah terjadi kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan di Desa Bontosunggu
Kecamatan Tamalatea yang merupakan wilayah Puskesmas Tamalatea dengan jumlah
penderita 8 orang tanpa disertai dengan kasus kematian (CFR=0%) dan di Desa Allu
Taroang Kecamatan Taroang yang merupakan wilayah kerja Puskesmas Taroang. Jumlah
penderita sebanyak 41 orang tanpa disertai kasus kematian (CFR=0%), dengan gejala
mual,muntah, sakit perut dan pusing. Semua kasus telah mendapatkan pengobatan di
Rumah Sakit Lanto Dg Pasewang Jeneponto
3. Verifikasi diagnosisnya
Setelah ditemukan pelaporan tersebut maka petugas kesehatan melakukan
wawancara dan pemeriksaan fisik penderita, mengunjungi penderita keracunan dan
petugas menemukan gambaran klinis kasus seperti: sakit perut, mual, muntah, sakit
kepala, pusing dan diare.
4. Membuat Definisi Kasus
Definisi kasus yang dapat disimpulkan adalah semua yang menderita keracunan
dengan gejala klinis seperti sakit perut, mual, muntah, sakit kepala, pusing dan diare di
Desa Bontosunggu Kecamatan Tamalatea dan Desa Allu Taroang Kecamatan Taroang.

5. Temukan kasus secara sistematis dan catat informasi


Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh petugas kesehatan maka diperoleh distribusi
gejala KLB Keracunan di Jeneponto tanggal 8 Februari 2018.
Tabel 1
Desa Bontosunggu Kec. Tamalatea
No Gejala dan Tanda Jumlah Kasus %
1 Mual 8 100
2 Muntah 8 100
3 Diare 5 62
4 Nyeri perut/sakit perut 8 100
5 Sakit kepala 6 75
6 Lemah 8 100
7 Pusing 4 50
8 Penurunan kesadaran 1 12
9 Badan panas (demam) 0 0

Jumlah penderita keracunan di Desa Bontosunggu Kecamatan Tamalatea adalah


sebanyak 8 orang. Hal ini terjadi karena mengkonsumsi makanan di pesta berupa daging
ayam, sayur kacang panjang, acar, sehingga besar dugaan penyebab keracunan adalah
makanan yang kemungkinan sudah basi.

Tabel 2
Desa Allu Tarowang Kec. Taroang
No Gejala dan Tanda Jumlah Kasus %
1 Mual 41 100
2 Muntah 41 100
3 Diare 23 56
4 Nyeri perut/sakit perut 32 78
5 Sakit kepala 24 58
6 Lemah 41 100
7 Pusing 27 65
8 Penurunan kesadaran 5 12
9 Badan panas (demam) 0 0

Sedangkan untuk penderita keracunan di Desa Allu Taroang Kecamatan Taroang


adalah sebanyak 41 orang. Hal ini terjadi karena mengkonsumsi daging kambing, sate,
sayur, acar sehingga besar kemungkinan keracunannya adalah sate dan bumbunya yang
diperoleh dari pesta sunatan di Kabupaten Bulukumba.

6. Lakukan deskriptif epidemiologi


Secara konseptual, langkah selanjutnya setelah mengidentifikasi dan
mengumpulkan dasar Informasi tentang orang-orang dengan penyakit ini secara
sistematis menjelaskan beberapa karakteristik kunci dari orang-orang tersebut. Ini adalah
proses dimana wabah ditandai oleh orang, tempat, dan waktu disebut deskriptif
epidemiologi.
a. Menurut Orang
Distribusi penyakit menurut orang ini dibagi dalam golongan umur dan jenis kelamin.
Gambar 1
Distribusi Penderita Keracunan Makanan
di Desa Bontosunggu dan Desa Allu Taroang Berdasarkan Golongan Umur

Dari diagram diatas, kasus terbanyak pada kedua kecamatan terjadi pada
golongan umur >15 tahun sebanyak 7 orang (87,5%) di Kecamatan Tamalatea dan
sebanyak 31 orang (75,6%) di Kecamatan Taroang.

Tabel 3
Distribusi Penderita Keracunan Makanan
di Desa Bontosunggu dan Desa Allu Taroang Berdasarkan Jenis Kelamin
Wilayah Laki-Laki Perempuan Total
Tamalatea 3 5 8
Taroang 18 23 41

Dari tabel diatas terlihat bahwa yang mengalami keracunan makanan terbanyak
pada jenis kelamin perempuan baik dari kecamatan Tamalatea sebanyak 5 orang
(62,5%) dan kecamatan Taroang sebanyak 23 orang (56%).

b. Menurut Tempat
Tempat kejadian keracunan ini ada di dua desa berbeda kecamatan yaitu Desa
Bontosunggu Kecamatan Tamalatea yang masuk wilayah kerja Puskesmas Tamalatea
dan Desa Allu Taroang Kecamatan Taroang yang masuk wilayah kerja Puskesmas
Taroang pada 8 Februari 2018.

c. Menurut Waktu
Waktu terjadinya penyakit dapat dilihat pada kurva epidemik.
Gambar 3
Kurva Epidemik Keracunan Makanan di Desa Bontosunggu dan Desa Allu Taroang

Berdasarkan kurva epidemilogi diperoleh gambaran periode KLB di Kecamatan


Tamalatea adalah dari jam 06.00 dan berakhir pada jam 06.30 WITA. Sedangkan
gambaran periode KLB di Kecamatan Taroang adalah dari jam 04.00 dan berakhir
pada jam 06.30 WITA.
Waktu terpapar tanggal 8 Februari 2018, masa inkubasi tependek adalah 30
menit dan masa inkubasi terpanjang adalah 120 menit.
7. Kembangkan hipotesis
Meski langkah konseptual berikutnya dalam penyelidikan adalah merumuskan
hipotesis. Pada kenyataannya, peneliti biasanya mulai menghasilkan hipotesis pada awal
investigasi.
Dalam kasus ini, keracunan makanan disebabkan karena makanan yang dikonsumsi
di sebuah hajatan. Dilihat dari masa inkubasi rata-rata dan gejala yang dominan muncul
adalah sakit perut, mual, muntah, sakit kepala, pusing dan diare. Diduga penyebab
terjadinya keracunan ini adalah kuman bakteri Baccilur cereus, Staphylococcus, dan
Vibrio parahaemolyticus.
Abccilur cereus menunjukkan gejala nyeri perut, mual, muntah, dan kadang diare.
Staphylococcus aereus menunjukkan gejala mual, muntah, sakit perut dan diare serta
prostration (muntah menyembur). Vibrio hemolitikus menunjukkan gejala nyeri, perut,
mual, muntah, diare, menggigil, sakit kepala dan kadang-kadang badan panas (demam).
8. Evaluasi hipotesis secara epidemiologis
Proses pengujian hipotesis ini dilakukan dengan studi case control. Artinya kasus
yang diidentifikasi bukan hanya yang menderita keracunan, namun juga mengidentifikasi
populasi yang tidak menderita keracunan. Dari kedua kelompok ini, informasi tentang
satu atau beberapa status pajanan atau etiologinya dapat digali mundur ke belakang
(backward) .
9. Sebaiknya, pertimbangkan kembali, perbaiki, dan evaluasi ulang hipotesis
Perbaikan hipotesis dilakukan untuk memastikan apakah hipotesis yang ada sudah
sesuai dengan fakta di lapangan atau tidak.
10. Membandingkan dan mendamaikan dengan studi laboratorium dan / atau lingkungan
Untuk pemeriksaan sample makanan tidak dilakukan karena kejadian keracunan ini
sudah berlangsung selama 2 hari dan tidak dikonfirmasi sehingga sample makanan sudah
tidak ada lagi.
Tetapi untuk yang di wilayah Taroang sample makanannya telah dikirim ke
laboratorium melalui Dinas Kesehatan Bulukumba dikarenakan kejadian ini sebenarnya
terjadi dalam lingkup wilayah Bulukumba namun yang mengalami keracunan berdomisili
dalam wilayah Kabupaten Jeneponto
11. Melaksanakan pengendalian dan tindakan pencegahan
Pencegahan terdahap kasus ini sebenarnya sudah tidak mungkin dilakukan karena
kejadiannya yang sudah terjadi dan pelaporannya yang terlambat. Jadi sebagai
pencegahan agar kejadian ini tidak terjadi lagi sebaiknya melakukan :
a. Mengurangi atau tidak mengkonsumsi makanan sisa sehari atau beberapa hari
sebelumnya karena itu merupakan faktor yang sangat berperan terhadap terjadinya
KLB keracunan pangan.
b. Jika memang makanan yang dibungkus dari acara hajatan tersebut diharapkan
dikonsumsi segera, dan tempat penyimpanannya baik sehingga tidak terkontaminasi
kuman/bakteri yang dapat jadi penyebab terjadinya keracunan.
c. Pemberian insektisida pada sayuran juga menjadi alasan bahwa makanan yang diolah
tersebut awet. Padahal itu menjadi salah satu faktor keracunan makanan

12. Memulai atau mempertahankan pengawasan


Setelah tindakan pengendalian dan pencegahan diterapkan, hal itu tetap harus terus
dipantau. Dilihat dari system surveilans tetap belanjut atau berhenti. Jika memang
berlanjut maka dilakukan pengawasan aktif. Alasan untuk melakukan pengawasan aktif
saat ini waktu ada dua.
a. Pertama, memantau situasinya dan menentukan apakah tindakan pencegahan dan
pengendaliannya dilakukan atau tidak. Jumlah kasusnya melambat atau berhenti. Jika
terjadi lagi berarti intervensi yang dilakukan tidak efektif
b. Kedua, apakah wabah tersebut telah menyebar di luar daerah aslinya atau daerah
dimana intervensi ditargetkan. Jika demikian, pengendalian penyakit dan tindakan
pencegahan yang efektif harus dilakukan diimplementasikan di daerah baru ini.
Kasus KLB di kedua kecamatan tersebut terlambat diketahui oleh pihak Dinas
Kesehatan karena tidak dikonfirmasi oleh petugas kesehatan ditingkat Puskesmas dan
Rumah Sakit tempat pasien dirawat. Pasien tidak berobat di puskesmas tetapi langsung
ke rumah sakit sehingga pihak puskesmas terlambat mengkonfirmasi. Perbaikan dalam
system pelaporan kasus juga diperlukan, koordinasi antara Puskesmas, Rumah Sakit dan
Dinas Kesehatan setempat juga perlu diperbaiki agar tidak terulang lagi kejadian seperti
kasus ini. Sehingga tindakan segera dapat dilakukan dan dapat meminimalisir besarnya
kejadian.
13. Komunikasikan temuan
Tugas terakhir dalam investigasi wabah adalah mengkomunikasikan dengan baik
hasil investigasi kepada berbagai pihak yang berwenang, bertanggungjawab dan terkait
dengan intervensi penanggulangan dan pencegahan. Format/ bentuk komunikasi yang
dapat dilakukan adalah berupa:
a. Penjelasan Lisan
Terkait pihak pihak yang berwenang, dalam melakukan intervensi penanggulangan
dan pencegahan. Memberikan penjelasan yang mudah dipahami secara ilmiah
sehingga dapat meyakinkan dalam pengamnila keputusan segera dan dapat
memotivasi untuk segera melakukan intervensi.
b. Penulisan laporan
Pelaporannya mengikuti sistematika penulisan ilmiah yang di cetak biru (blueprint)
yang bermanfaat sebagai dokumen resmi dalam menghadapi masalah hukum dan
etik. Selain itu menjadi sumber informasi untuk disebarluaskan khususnya dalam
bisang kesehatan masyarakat dan epidemiologi.

Anda mungkin juga menyukai