Anda di halaman 1dari 30

Ultrasonografi Ginekologi

UTERUS, SERVIKS DAN ADNEKSA


Ketut Suwiyoga
Divisi Ginekologi – Onkologi
Bagian Obstetri & Ginekologi FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar

PENDAHULUAN
Ultrasonografi (USG) merupakan modalitas radiodiagnostik yang menggunakan
gelombang suara untuk menghasilkan suatu image dan paling paling sering dipakai dalam
pencitraan ginekologi. Beberapa alasannya adalah proses pemeriksaaan cepat, biaya
murah, availabilitas luas, dan tidak memberikan efek radiasi. Namun pemeriksaan ini juga
memiliki kelemahan, antara lain kandung kemih harus penuh pada pemeriksaan USG
transabdominal, tebalnya lemak abdomen membuat hasil USG tidak baik, dan hasil
pemeriksaan tergantung keahlian operator (operator dependent). Beberapa teknik yang
sering digunakan antara lain ultrasonografi transabdominal, transvaginal, dan color
doppler. Pada anak-anak atau wanita yang selaput daranya masih utuh, dapat dilakukan
USG transrektal atau transperineal (Putra, 2011; Rasjidi, 2010).
Pemeriksaan USG ginekologi meliputi USG abdomen dan pelvis. Parameter yang
perlu dinilai pada setiap USG ginekologi adalah ukuran uterus, ketebalan endometrium,
ukuran ovarium, kemungkinan tumor di dalam pevis minor atau adanya cairan bebas
intraabdomen. Penilaian ekogenitas dalam pencitraan USG ginekologi juga penting
diketahui. Ekogenitas jaringan umumnya dibandingkan dengan eko jaringan parenkim hati.
Jaringan dengan eko lebih gelap dari parenkim hati disebut hipoekoik dan yang lebih
terang disebut hiperekoik. Pada uterus, myometrium normal tampak lebih hipoekoik
dibandingkan korpus. Korpus dan serviks uteri tidak berbeda ekogenisitasnya. Berikut ini
adalah gradasi warna pada USG yang menunjukkan unsur penyusunnya (Putra, 2011):

Nyeri pelvis Konfirmasi kelainan di daerah pelvis


Indikasi pemeriksaan
Dismenorea ultrasonografi ginekologi (Putra, 2011):
setelah pemeriksaan pencitraan lain
Menoragia (CT Scan, Rontgen, MRI)
Metroragia Evaluasi kelainan kongenital (uterus,
Menometroragia serviks)
Follow up kelainan yang pernah Nyeri pelvis, perdarahan berkepan-
diketahui (kista, mioma, adenomiosis) jangan, demam setelah operasi gine-
Evaluasi pasien infertilitas 1 kologi atau persalinan
Pubertas prekoks Menentukan lokasi AKDR
Perdarahan pascamenopause Skrining keganasan (ovarium, endome-
trium, serviks)
Arus darah dan gelombang velositas arus darah dapat dievaluasi dengan beberapa
indeks, misalnya rasio sistolik/diastolik (rasio S/D), Resistive Index (RI), dan Pulsatility
Index atau index impedansi (PI). Rasio S/D adalah indeks paling sederhana, nilai > 8,0
dianggap sangat tinggi. Resistive Index (RI) dapat membantu dalam penentuan jenis lesi.
RI = (PSV – EDV) / PSV (keterangan: PSV = Peak Sistolic Velocity, EDV = End Diastolic
Velocity). RI rendah (< 0,4): umumnya keganasan; namun dapat pula ditemui pada korpus
luteum, massa dengan metabolism aktif, dan inflamasi. RI tinggi (> 0,4): lesi jinak.
Pulsatility index (PI) = (PSV – EDV) / rerata. Nilai PI membutuhkan perhitungan
komputer atas rerata velositas.
Pada ulasan berikut ini, akan dibahas pemeriksaan USG ginekologi pada uterus dan
adneksa, dari yang normal sampai yang patologis.
I. UTERUS dan ADNEKSA NORMAL
I.1 Uterus
Uterus terletak di dalam rongga pelvis di antara vesika urinaria di anterior dan
rektum di posterior. Uterus terdiri dari tiga bagian utama yaitu fundus uteri, yang
terletak di atas muara tuba uterina, korpus uteri, dan serviks uteri. Posisi uterus
dideskripsikan berdasarkan posisinya terhadap vagina dan serviks. Bila sumbu panjang
uterus membungkuk ke depan vagina sehingga membentuk sudut 90 o disebut
anteversio, jika sebaliknya disebut retroversio. Sedangkan bila sumbu panjang korpus
uteri membungkuk ke depan setinggi ismus dan membentuk sudut 170 o terhadap sumbu
panjang serviks disebut antefleksio, jika sebaliknya disebut retrofleksio. Dalam keadaan
normal, uterus berada pada posisi anteversio antefleksio. Pada beberapa keadaan, uterus
berada dalam posisi retroversio retrofleksi sehingga menyulitkan evaluasi dengan USG
transabdominal. Bagian uterus yang harus dievaluasi adalah ukuran (panjang, lebar,
tinggi, ostium uteri eksterna), bentuk dan orientasi uterus, endometrium, miometrium,
dan serviks (Rasjidi, 2010; Cunningham, 2010).
Bentuk uterus menyerupai buah pir yang pipih. Ukuran uterus bervariasi dan
dipengaruhi oleh usia dan paritas. Volume uterus juga bervariasi sesuai dengan siklus
menstruasi dimana volume terbesar adalah selama fase sekresi.
Tabel 1.
Dimensi uterus normal pada
berbagai kelompok umur
(Putra, 2011)

2
Serviks merupakan bagian uterus dengan fungsi khusus yang terletak di bawah
ismus. Secara anatomis dibagi menjadi pars supravaginalis/endoserviks (terletak di atas
vagina) dan pars vaginalis/porsio uteri (bagian yang terletak di vagina), terutama terdiri
atas jaringan kolagen, ditambah jaringan elastin serta pembuluh darah dan sedikit
jaringan otot polos. Pada serviks normal, proporsi otot polos sekitar 10%, sedangkan
pada wanita dengan inkompetensia serviks, proporsi otot seringkali lebih besar.
Ditemukannya massa pada serviks, umumnya adalah kista nabothi, yaitu kelenjar di
daerah serviks yang tertutup karena metaplasia, ukurannya bisa mencapai 20 mm,
leiomioma, polip endoserviks, atau adanya kanker serviks (Rasjidi, 2010).

A
B

Gambar 1. Bagian-bagian uterus. (a) Panjang keseluruhan serviks, (b) Gambar skematik uterus
pada wanita usia reproduksi. (Rasjidi, 2010)

Ultrasonografi merupakan modalitas terpilih untuk melakukan skrining


kelainan uterus. Orientasi uterus pada USG 2D biasanya dilakukan pada bidang
transversal dan sagital. Evaluasi yang lebih akurat pada berbagai irisan dimungkinkan
dengan USG 3D yang akan menghasilkan tayangan simultan bidang koronal, sagital
dan transversal. Dengan USG 3D akan didapat visualisasi lesi yang lebih baik,
perkiraan volume yang lebih akurat, pengkajian invasi tumor, dan dapat
mengidentifikasi lokasi kelainan lebih akurat untuk intervensi bedah. Sistem power
doppler 3D dapat memberikan informasi mengenai vaskularisasi normal dan abnormal

3
sehingga dapat memvisualisasikan pembuluh-pembuluh darah dan hubungannya satu
sama lain serta hubungan dengan jaringan sekitarnya (Putra, 2011).
USG transvaginal sangat baik untuk visualisasi endometrium, USG Color
Doppler untuk evaluasi lesi endometrium fokal, USG 3D untuk evaluasi kelainan
duplikasio uterus. Miometrium tampak homogen dengan struktur eko rendah sampai
moderate. Rongga endometrium tampak sebagai suatu garis ekogenik, akibat
permukaan endometrium yang berhadapan. Pengukuran terbaik endometrium adalah
pada potongan sagital midline uterus, dan diambil dari perbatasan endometrium
anterior/miometrium ke perbatasan endometrium posterior/miometrium. Gambaran
endometrium bervariasi tergantung pada siklus menstruasi:
 Fase menstruasi : tipis, 1 – 2 mm, terlihat sebagai double layer.
 Fase proliferasi : 3 – 5 mm; ekogenitas menurun seiring perkembangan
proliferasi. Pada akhir masa proliferasi terbentuk triple line, yaitu garis sentral lebih
ekogenik karena pertemuan bagian anterior dan posterior, disebabkan endometrial-
myometrial junction (basal layer echo). Tampak area relatif hipoekoik di sekeliling
garis ekogenik sentral yang merupakan refleksi edema pada lapisan fungsional.
 Fase sekresi : 6 – 12 cm; lapisan fungsional menjadi hiperekoik sebagai
refleksi dari peningkatan glikogen dan mukus pada glandula.
Bila ketebalan endometrium pada pasca menopause > 5 mm, harus dipertimbangkan
sebagai abnormal (Rasjidi, 2010).

Gambar 2. Uterus premenopausal


normal. Potongan sagital USG
transvaginal menunjukkan lapisan
dalam miometrium yang hipoekoik
(kepala panah) dan lapisan luar
miometrium yang lebih hiperekoik.
Garis ekogenik tipis (panah pendek)
menunjukkan endometrium dan
menandai lokasi cavum uterus.
Pembuluh darah arkuata terlihat
sebagai struktur anekoik (panah
panjang) di tepi miometrium.
FU: Fundus Uteri; CX: Serviks
(Doubilet and Benson, 2003)

4
Gambar 3. Uterus setelah menopause yang tampak atrofi.
Potogan sagital, (b) potongan transversal
(Doubilet and Benson, 2003)
A B

Serviks biasanya ditayangkan pada irisan sagital. Pada orientasi ini, ujung
probe hampir menyentuh bibir serviks. Buli-buli akan tampak di atasnya. Ostium
internal tampak pada sisi kanan kanalis servikalis. Kanalis servikalis berada pada sudut
90o terhadap sumbu vagina atau probe transvaginal. Panjang serviks normal yang diukur
dari ostium internal sampai eksternal adalah sekitar 3 cm. USG bukan metode lini
pertama untuk diagnosis kanker serviks tetapi penting untuk mengenali lesi keganasan
serviks dan berbagai proses lainnya (Putra, 2011) (lihat gambar 2).
I.2 Adneksa
Tuba Falopii merupakan saluran telur yang menghubungkan rongga
peritoneum daerah ovarium dengan cavum uteri. Panjang rata-rata tuba adalah 8 – 14
cm (Cunningham, 2010). Secara struktural tuba terdiri dari 4 bagian:
 Pars interstisial/intramural, yaitu segmen yang menembus dinding uterus
 Pars isthmika, terletak 3 – 6 cm lateral dari uterus, merupakan bagian tuba yang
paling sempit (diameter 2 – 3 mm)
 Pars ampularis, merupakan segmen tuba yang paling luas, tempat terjadinya
fertilisasi.
 Infundibulum, merupakan bagian lateral tuba yang menjorok ke ovarium, memiliki
ujung bebas membentuk tonjolan-tonjolan yang disebut fimbriae.
Pars interstisial dapat dilihat dengan USG transvaginal di bagian atas kanan
dan kiri lateral korpus uteri. Gambaran sonografik adalah garis lurus ekogenik yang
muncul dari kanal endometrium dan memanjang melalui dinding uterus. Isthmus,
ampula dan infundibulum biasanya tidak tampak pada USG transabdominal atau
transvaginal kecuali terdapat patologi tertentu atau cairan bebas dalam kantong pelvis
lateral (Putra, 2011).
Gambar 4.
Tuba normal pada irisan sagital adneksa
(Putra, 2011).

5
Ovarium merupakan organ berbentuk almond, dan saat usia reproduksi
berukuran panjang 2,5 – 5 cm, lebar 1,5 – 3 cm, dan tebal 0,6 – 1,5 cm. Ovarium
terletak di depan dinding lateral pelvis pada fossa ovarika. Sebagian besar ovarium
berada intraperitoneal dan tidak dilapisi oleh peritoneum. Secara struktural, ovarium
terdiri dari bagian medula dan korteks. Bagian medula kaya vaskularisasi dan
mendapatkan suplai dari bagian hilum. Bagian korteks mengandung folikel-folikel
ovarium dalam berbagai tahapan maturitas (Cunningham, 2010). Volume ovarium
bervariasi bergantung pada usia:
 Anak < 5 th : < 1 cc
 Menarke : 4,2 ± 2,3 cc
 Usia subur : 9,8 ± 5,8 cc
 Menopause : 2,9 ± 2,2 cc
Pada usia subur, umum dijumpai kista fisiologis, dengan ciri-ciri berukuran ≤ 3 cm dan
tanpa sekat/septum dan/atau komponen padat.
USG juga merupakan modalitas terpilih untuk skrining massa ovarium.
Gambaran ovarium normal berubah sesuai dengan usia dan fase siklus menstruasi.
Ovarium normal mempunyai ciri relatif homogen pada korteks, dengan lebih ekoik
pada sentral medula. Area anekoik kecil atau folikel kecil dapat terlihat di perifer
korteks. Ovarium yang atrofi pada menopause sulit untuk divisualisasi. USG
transvaginal dapat menggambarkan daerah adneksa dengan lebih baik, sedangkan USG
transrektal dapat menggambarkan daerah serviks dan vagina (Rasjidi, 2010).

Gambar 5. Ovarium normal pada wanita


(menstrual age).
Ovarium (tanda panah) tampak sebagai
struktur dengan ekogenisitas moderat,
mengandung beberapa kista fungsional
kecil (kepala panah)
(Doubilet and Benson, 2003)

6
Gambar 6. Ovarium normal pada wanita postmenopause. USG transvaginal dengan potongan sagital (a) dan
koronal (b) memperlihatkan ovarium kanan pada wanita postmenopause. Ovarium tersebut kecil dan
homogen serta tidak terlihat kista fisiologis (Doubilet and Benson, 2003).

II. UTERUS dan ADNEKSA ABNORMAL


II.1 Kelainan Anatomi
Malformasi uterus bisa merupakan kelainan kongenital atau didapat dan
mengakibatkan timbulnya gangguan siklus menstruasi, nyeri pelvis, infertilitas, atau
abortus berulang. Kelainan uterus yang termasuk kelompok anomali kongenital
dihasilkan dari terhambatnya perkembangan duktus muller yaitu gangguan dalam
penyatuan dan/atau dalam penyerapannya. Prevalensi malformasi uterus sulit untuk
ditetapkan. Diperkirakan terjadi pada 0,4% (0,1 – 3%) dari populasi umum dan 4% dari
wanita yang mengalami infertilitas, serta antara 3% dan 38% dari pasien yang
mengalami abortus spontan berulang. Terdapat beberapa klasifikasi malformasi uterus,
tetapi yang diterima secara luas adalah menurut American Fertility Society (AFS) tahun
1988. Klasifikasi ini membagi malformasi uterus ke dalam tujuh kelompok, tidak hanya
berdasarkan faktor embrional, tetapi juga mempertimbangkan faktor klinis, prognosis
dan terapi (Bermejo, 2010; Schorge, 2008).

7
Gambar 7. Klasifikasi malformasi uterus berdasarkan American Fertility Society (Bermejo, 2010)
Beberapa teknik dapat dilakukan untuk mengevaluasi adanya malformasi
uterus. Ketika hanya cavum uterus yang perlu dievaluasi, maka hysterosalpingography
(HSG) dan hysteroscopy dapat digunakan. Laparotomi dan laparoskopi dapat juga
digunakan untuk memeriksa fundus uterus. Dalam diagnosis, terdapat dua teknik
unggulan yaitu MRI dan USG 3 dimensi. MRI dapat menjadi pilihan untuk
mendiagnosis anomali duktus Muller, dengan berbagai studi yang sudah membuktikan
manfaat pemeriksaan ini, sementara USG 3 dimensi dapat menjadi alternatif yang valid,
karena biayanya yang lebih murah dan ditoleransi lebih baik oleh pasien. USG 3
dimensi menghasilkan gambaran dengan kualitas yang sama dengan MRI. Sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Bermejo, et al., 2010 menunjukkan bahwa terdapat
kemiripan kualitas yang sangat baik antara USG 3 dimensi dan MRI dalam
mendiagnosis malformasi uterus. Hubungan antara cavum uterus dan fundus
divisualisasikan sama dengan sangat baik menggunakan dua teknik tersebut. USG 3
dimensi harus dilengkapi dengan pemeriksaan ginekologi yang baik untuk
mengidentifikasi adanya kelainan pada serviks (Bermejo, 2010).

8
Gambar 8. Gambaran malformasi uterus yang dengan USG 3 dimensi. Tampak berbagai tipe malformasi
uterus berdasarkan klasifiksi AFS. (a) uterus normal, (b) unicornuate uterus (Tipe IId), (c) didelphic
uterus (Tipe III), (d) complete bicornuate uterus (Tipe IVa), (e) partial bicornuate uterus (Tipe IVb), (f)
septate uterus dengan dua serviks (Tipe Va), (g) partial septate/subseptate uterus (Tipe Vb), (h) arcuate
uterus (Tipe VI), dan (i) uterus dengan malformasi terkait diethylstilbestrol (DES) (Type VII) (Bermejo,
2010).

II.2 Kelainan Non-Malignancy


1. Mioma Uteri (Leiomioma Uteri)
Mioma uteri merupakan tumor jinak otot polos yang berasal dari
miometrium (Schorge, 2008). Serabut-serabut otot polos dan jaringan fibrosa
membentuk pusaran konsentris (Putra, 2011). Umumnya berlokasi di korpus uteri,
hanya 1 – 3% pada serviks. Mioma uteri terdiagnosis pada 25-30% wanita dalam
usia reproduksinya (Exacoustos, 2007). Berdasarkan lokasinya, mioma dibagi atas 3
jenis, yaitu:
 Mioma submukosum : berada di bawah lapisan endometrium dan menonjol
ke dalam cavum uteri, dapat tumbuh bertangkai dan keluar melalui serviks
(myomgeburt).
 Mioma intramural : berada di dalam dinding uterus di antara serabut
miometrium.
 Mioma subserosum : tumbuh keluar dinding uterus hingga menonjol pada
permukaan uterus, diliputi oleh lapisan serosa.

Gambar 9. Mioma uteri dapat berada di


submukosa, intramural, subserosa, dan
bertangkai
(Schorge, 2008).

9
Diagnosis mioma uteri umumnya ditegakkan dengan pemeriksaan fisik
ginekologis dan USG. Pada kasus dimana USG tidak memberikan hasil yang
memuaskan, MRI dapat digunakan. Umumnya USG sudah cukup untuk
membedakan mioma dengan polip, adenomiosis, atau suatu keganasan. Hal-hal
yang perlu dievaluasi adalah jumlah mioma, ukuran mioma, lokasi mioma,
pemeriksaan color doppler, dan ada atau tidaknya perubahan sekunder (Rasjidi,
2010).
Pemeriksaan USG pada mioma akan memberikan gambaran pembesaran
uterus dengan distorsi kontur uterus, massa hipoekoik homogen dengan karakteristik
bergantung pada lokasinya, berbatas tegas, licin, bila mengalami degenerasi dapat
bersifat inhomogen dengan/tanpa kalsifikasi. Kalsifikasi dalam mioma dapat
menyebabkan bayangan posterior (posterior shadowing). Dengan USG color
Doppler akan didapatkan gambaran vaskularisasi yang bervariasi, bergantung pada
tingkat selularitas dan ada tidaknya degenerasi (RI: 0,48 ± 0,08, arteri uterina RI:
0,74 ± 0,09). Color Doppler juga dapat memberikan informasi lebih jelas mengenai
ukuran, lokasi, dan batas mioma dengan miometrium. USG transvaginal sangat
akurat dalam mendeteksi mioma intramural dan subserosa dengan sensitivitas 99%
dan spesifisitas 91% (Putra, 2011).
Mioma submukosum akan memberikan gambaran berupa massa hipoekoik
di bawah lapisan endometrium. Lapisan endometrium teregang oleh desakan massa
namun tetap intak, kontinu dengan miometrium dan memberikan gambaran yang
homogen dengan banyak bayangan sudut (multiple edge shadow). Dengan color
doppler akan ditemukan lesi dengan vaskularisasi sentral tinggi. Broad base:
multiple vascular pedicles (single vascular pedicle adalah jarang) (Rasjidi, 2010).

10
Gambar 10. Gambaran USG dari mioma uteri submukosum. Tampak massa hipoekoik (garis merah
pada gambar b) yang mendesak lapisan endometrium (garis hijau pada gambar b dan panah pada
gambar c), namun endometrium tetap intak. (Rasjidi, 2010)

Mioma intramural akan memberikan gambaran sebagai massa hipoekoik


homogen di dalam lapisan miometrium. Bersifat hiperekoik dan inhomogen bila
mengalami degenerasi. Dengan color doppler akan terlihat peningkatan sinyal di
perifer dengan penurunan sinyal di pusat atau avasculer core.

A B
Mioma subserosum akan memberikan gambaran berupa massa bulat
Gambar 11. (a) Penampang sagital dari uterus, menunjukkan mioma intramural (tanda panah) di
hipoekoik, homogen,
fundus uteri, berbatas
(b) Gambaran tegas,
USG Color berada
Doppler di bawah
dari mioma lapisan
intramural. serosa
Tampak dan tidak
peningkatan
sinyal
diliputi olehperifer dari lesi (tanda
miometrium. panah) dengan
Dengan color penurunan
doppler sinyal
juga diakan
pusatterlihat
(avascular core).
peningkatan
(Doubilet and Benson, 2003; Rasjidi, 2010)

11
sinyal di perifer dengan penurunan sinyal di pusat atau avasculer core. Pada
pedunculated mioma akan terlihat pembuluh darah pada tangkai mioma.

A B
Gambar 12. (a) Penampang sagital dari uterus menunjukkan mioma subserosa (tanda panah) di
posterior uterus, (b) USG Doppler menunjukkan gambaran vaskularisasi dengan peningkatan sinyal
2. Hiperplasia Endometrium perifer. (Doubilet and Benson, 2003; Rasjidi, 2010)
Hiperplasia endometrium merupakan proliferasi abnormal dari kelenjar
endometrium. Hal ini disebabkan oleh stimulasi estrogen tunggal, yang dihasilkan
dari pemberian estrogen sebagai terapi sulih hormon, gangguan hormonal (misalnya
sindrom polikistik ovarium), atau tumor yang memproduksi estrogen. Obesitas dan
kurangnya aktivitas fisik merupakan faktor risiko. Hiperplasia biasanya terjadi di
endometrium secara luas. Dapat terjadi dengan atau tanpa atipik seluler. Jika
terdapat atipik seluler, maka terdapat kemungkinan progresifitas menjadi karsinoma
endometrium. Hiperplasia endometrium dapat terjadi pada semua tingkatan usia.
Biasanya akan muncul sebagai perdarahan pervaginam abnormal dan merupakan
penyebab tersering perdarahan pascamenopause. Ketebalan endometrium lebih dari
14 mm pada perempuan pramenopause dan lebih dari 5 mm pada perempuan
pascamenopause perlu dipertimbangan kemungkinan hiperplasia endometrium.
(Putra, 2011; Doubilet and Benson, 2003).
Pada hampir semua kasus hiperplasia endometrium, dengan pemeriksaan
USG, endometrium tampak menebal secara luas dan memiliki ekogenisitas yang
homogen. Pada wanita pascamenopause yang tidak mendapatkan terapi sulih
hormon, USG dapat dilakukan kapan saja. Sedangkan bagi yang mendapatkan terapi
sulih hormon, USG dilakukan segera setelah terjadinya progesterone withdrawal
bleeding, dimana endometrium diharapkan dalam keadaan paling tipis. Pada wanita
yang belum menopause, USG dilakukan di awal fase proliferasi dari siklus
menstruasi. Selama fase sekresi, adanya hiperplasia endometrium sulit dievaluasi
karena memiliki gambaran USG yang mirip dengan endometrium normal. Ketika
pemeriksaan USG menunjukkan penebalan endometrium secara luas, hiperplasia
endometrium harus dipikirkan, di samping adanya polip endometrium dan

12
karsinoma endometrium. Dengan pemberian salin ke dalam cavum uteri (saline
infusion sonohysterography – SISH), polip endometrium bisa disingkirkan, tetapi
diagnosis definitif hiperplasia hanya dapat dibuat dengan sampling jaringan (dengan
biopsi atau dilatase-kuretase) (Doubilet and Benson, 2003).

A B

Gambar 13. Hiperplasia endometrium. (a) Potongan sagital uterus dengan USG transvaginal
memperlihatkan penebalan endometrium, dengan penampakan yang hampir homogen, (b) Setelah
pemberian salin ke dalam cavum uterus, endometrium (antara tanda panah dan kepala panah) terlihat
menebal secara luas, dicurigai suatu hiperplasia endometrium. Diagnosis ditegakkan dengan biopsi
endometrium (Doubilet and Benson, 2003).
3. Kista Nabothi pada serviks
Kista nabothi merupakan lesi patologik jinak tersering yang terdeteksi pada serviks
uteri, yaitu kista inklusi anekoik berdinding tipis. Ukurannya bervariasi dan
mungkin tampak seperti lesi servikal atau adneksa lain. Kista ini tidak bersifat
neoplastik, tetapi dapat menghambat masuknya sperma sehingga menyebabkan
infertilitas. Diduga kista terbentuk karena kelenjar mukosa serviks tersumbat oleh
jaringan baru setelah melahirkan, kadang bisa juga disebabkan oleh servisitis kronis
(Putra, 2011).

Gambar 14a
Gambaran makroskopis kista
Nabothi. Tampak sebagai kista
putih multipel pada serviks
(Rasjidi, 2010)

Gambar 14b
Gambaran kista Nabothi pada
USG. USG transvaginal
II.2 Kelainan Uterus Akibat Malignancy menunjukkan kista multipel
1. Karsinoma Endometrium anekoik, dengan acoustic
shadow
(Rasjidi, 2010)

13
Karsinoma endometrium merupakan tumor ganas yang berasal dari
endometrium dan merupakan keganasan tersering pada perempuan pascamenopause
yang mengalami perdarahan rahim. Sebagian besar merupakan adenokarsinoma
(90%). Insidennya diperkirakan 25 kasus dari 100.000 wanita. Sebagian besar
terjadi pada wanita dengan usia rata-rata 60 tahun, 75% kasus terjadi pada usia di
atas 50 tahun (pascamenopause). 90% penderita karsinoma endometrium
menunjukkan perdarahan pervaginam, yang sering muncul setelah menopause.
Kurang dari 5% yang tidak menunjukkan gejala apapun (Putra, 2011; Berek, 2007;
Doubilet and Benson, 2003).
Pendekatan diagnosis dini dapat dilakukan dengan USG transvaginal yang
didukung dengan pemeriksaan histopatologi. TVS terbukti memiliki sensitivitas
yang baik untuk skrining karsinoma endometrium pada wanita pasca menopause.
MRI dapat membantu untuk menentukan staging lokal kanker dalam memilih terapi.
Sedangkan untuk mencari kemungkinan kanker primer di tempat lain dapat
dilakukan dengan CT scan. USG transvaginal lebih baik dari transabdominal dengan
sensitivitas 91-98% dan spesifisitas 58-98%. Ketepatan diagnosis meningkat dengan
color Doppler karena karsinoma endometrium memperlihatkan arus darah abnormal
karena angiogenesis (Jacobs, 2011; Rasjidi, 2010).
Petunjuk suatu karsinoma endometrium pada pemeriksaan USG adalah
ditemukannya penebalan endometrium disertai keluhan perdarahan pervaginam.
Untuk membedakan karsinoma dari patologi jinak, lebih baik digunakan USG 3D.
nilai cutoff optimal untuk ketebalan dan volume endometrium pada pasien
perdarahan pasca menopause untuk diagnosis karsinoma dilaporkan sebesar 15 mm
(sensitivitas 83,3% dan nilai duga positif 54,5%) dan 13 mL (sensitivitas 100%,
spesifisitas 98,8%, nilai duga positif 91,7%). Oleh karena itu pengukuran volume
lebih baik daripada ketebalan endometrium untuk deteksi karsinoma endometrium
pada perempuan pascamenopause sistematik (Putra, 2011; Rasjidi, 2010).

14
Gambar 15. Endometrium dengan tebal 19 mm (kiri) dengan vaskularisasi menembus kurang dari
setengah miometrium (kanan). Histopatologi pasca kuretase mendapatkan adenokarsinoma
endometrium (Putra, 2011).

Pemeriksaan Doppler akan memperlihatkan gambaran neovaskularisasi,


yaitu aliran darah sistolik dan diastolik arteri uterina meningkat dengan resistensi
rendah (RI < 0,3). Arus darah endometrium tidak tampak pada endometrium yang
normal, atrofik, dan sebagian besar hiperplasia endometrium, sedangkan pada
karsinoma endometrium dilaporkan 91% kasus memperlihatkan neovaskularisasi
intratumoral atau peritumoral. Kecurigaan invasi dibuat jika peningkatan
vaskularitas terdeteksi di sekitar lesi, pembuluh miometrial yang terinvasi
memperlihatkan resistensi vaskuler rendah, penurunan RI pada arteri-arteri uterina,
volume endometrium > 13 mL (USG 3D), pembuluh darah tersebar acak dengan
percabangan tidak teratur dan masuk ke dalam miometrium (3D power Doppler).
Dalam penentuan staging, akurasi USG abdomen adalah 79% dan USG
transvaginal adalah 77 – 100%, dengan spesifisitas 65 – 93% (Putra, 2011; Rasjidi,
2010)..

Gambar 16.
Pada pemeriksaan USG uterus tampak
berbentuk membulat dengan lesi hiperekoik di
dalam kavum uteri. Tampak vaskularisasi pada
lesi. Irisan sagital pada uterus setelah operasi
memperlihatkan karsinoma endome- trium
secara makroskopis. Tampak massa di daerah
fundus dengan otot-otot uterus yang normal.
(Putra, 2011) 15
Karsinoma endometrium memiliki potensi penyebaran ke luar uterus
dengan beberapa cara baik melalui penyebaran langsung, metastase limfatik, secara
hematogen, dan penyebaran ke peritoneum. Seiring waktu, tumor akan menginvasi
miometrium dan menembus serosa. Tumor yang terletak di segmen bawah uterus
cenderung menyebar ke leher rahim, sedangkan yang terletak di korpus bagian atas
akan menyebar ke tuba falopii atau serosa. Pertumbuhan tumor yang progresif akan
menginvasi struktur pelvis yang berdekatan termasuk vesika urinaria, colon, vagina
dan ligament-ligament. Penyebaran limfatik terjadi seiring dengan penetrasi tumor
ke miometrium dan menyebar ke kelenjar getah bening pelvis dan paraaorta.
Penyebaran hematogen akan mengarah ke paru, dan jarang ke hati, otak, tulang dan
tempat lain. Invasi miometrium yang dalam dapat menjadi prediksi bahwa
penyebaran hematogen akan terjadi. Aliran retrograde melalui tuba dari sel-sel
kanker yang terlepas merupakan salah satu mekanisme dimana sel-sel kanker bisa
mencapai peritoneum. Perforasi tumor sampai serosa merupakan cara yang lain
(Schorge, 2008).
2. Sarcoma (Leiomiosarkoma)
Leiomiosarkoma merupakan tumor ganas yang berasal dari miometrium,
kejadiannya sangat jarang, hanya 2 – 7% dari seluruh kanker uterus. Angka
insidennya hanya 0,64/100.000 wanita per tahun, dengan angka prevalen 0,23 – 1%
dari pasien-pasien yang menjalani operasi mioma uteri. Gejala leiomiosarkoma
hampir sama dengan mioma uteri yaitu perdarahan pervaginam abnormal,
infertilitas, dan nyeri pelvis. Tetapi leiomiosarkoma memiliki pertumbuhan yang
agresif dan infiltratif dengan metastase yang cepat. Dilatasi dan kuretase mungkin
dapat membantu untuk membedakan ganas dan jinak tetapi hanya bermanfaat jika
tumor berada di submukosa. Secara klinis, pertumbuhan massa tumor yang cepat
setelah menopause harus dicurigai sebagai keganasan. Sangat penting untuk bisa
membedakan antara mioma uteri dengan leiomiosarkoma karena sangat terkait
dengan modalitas terapi yang akan dipilih (Exacoustos, 2007; Kurjak, 2003).
Leiomiosarkoma dengan ultrasonografi akan terlihat sebagai sturktur solid
atau solid-kistik, dengan ekogenisitas miometrium yang bervariasi. Dengan
pemeriksaan transvaginal color Doppler akan terlihat neovaskularisasi pada
leiomiosarkoma di tepi dan/atau di tengah tumor dengan kecepatan aliran darah
yang tinggi dan impedansi aliran darah yang rendah (RI = 0,37 ± 0,03), dengan

16
pembuluh darah yang irregular, tipis, dan tersebar secara acak. Ketika digunakan RI
< 0,4, metode ini memiliki sensitivitas 90,91%, spesifisitas 99,82%, nilai prediktif
positif 71,43%, dan nilai prediktif negatif 99,96%. Karena kasus leiomiosarkoma
sangat jarang maka skrining tidak cocok untuk dilakukan. USG transvaginal dapat
mendeteksi perbedaan densitas jaringan miometrium dan oleh karena itu dapat
digunakan untuk mendeteksi liomiosarkoma, tetapi karena spesifisitasnya yang
rendah, metode ini kurang sesuai jika digunakan untuk skrining. Sebuah penelitian
yang dilakukan oleh Exacoustos, et al, tahun 2007, menyatakan bahwa deteksi
hipervaskularisasi dengan kombinasi ultrasonografi (gray-scale dan Doppler), dapat
mengidentifikasi tumor otot polos uterus yang mencurigakan, dimana tetap
diperlukan tambahan evaluasi diagnostik sebelum dilakukan terapi (Exacoustos,
2007; Kurjak, 2003).

Gambar 17. (a) dan (c) Gambaran leiomiosarkoma dengan USG (gray-scaled) disertai degenerasi
kistik, (b) dan (d) Gambaran leiomiosarkoma dengan USG Doppler yang menunjukkan central
vascularity. (Exacoustos, 2007)

3. Karsinoma Ovarium
Karsinoma ovarium adalah tumor ganas yang berasal dari ovarium dengan
histogenesis yang beraneka ragam, dapat berasal dari ketiga dermoblast (ektoderm,

17
mesoderm, dan endoderm) dan merupakan 20% dari seluruh keganasan ginekologis.
Tumor epithelial merupakan jenis tumor ganas ovarium terbanyak (90% dari seluruh
keganasan ovarium). Penyebab pasti masih belum diketahui, tetapi beberapa faktor
risiko seperti nulliparitas, early menarche, late menopause, peningkatan usia, faktor
genetik, pola diet, ras kulit putih, terapi hormonal, dan paparan lingkungan telah
diidentifikasi dapat meningkatkan terjadinya karsinoma ovarium (Green, 2011;
Schorge, 2008; Christina, 2005).
Insiden karsinoma ovarium di Amerika dan Eropa lebih tinggi dibanding
Asia. Di Jepang, insidennya 3,1 kasus per 100.000 wanita. Sedangkan di Swedia,
insidennya 21 kasus per 100.000 wanita. Di seluruh dunia, karsinoma ovarium
diperkirakan terdiagnosis 200.000 kasus setiap tahunnya dengan 100.000 wanita
meninggal setiap tahun karena penyakit ini. Sebagian besar kasus datang saat
stadium lanjut sehingga penanganan tidak memberi hasil maksimal. 75% kasus
sudah mengalami penyebaran keluar ovarium ketika diagnosis ditegakkan. Padahal,
bila terdiagnosis pada stadium awal, angka harapan hidup 5 tahun cukup tinggi yaitu
90% (Green, 2011; Doubilet and Benson, 2003).
3.1 Skrining Karsinoma Ovarium
Hingga saat ini, masih sedang diteliti metode skrining yang akurat dan dapat
diterapkan untuk deteksi dini karsinoma ovarium. Metode skrining yang baik harus
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Namun hingga saat ini, belum ada
metode skrining yang memiliki nilai prediktif positif yang memadai untuk deteksi
stadium awal karsinoma ovarium (masih dalam penelitian). Beberapa metode yang
digunakan adalah (Fortner, 2007; Lewis and Menon, 2004: Einstein and Runowicz,
2003):
 Pemeriksaan pelvis rutin setiap tahun. Pemeriksaan pelvis rekto-vaginal tidak
memiliki sensitivitas yang memadai untuk mendiagnosis karsinoma ovarium
tahap awal.
 Cancer Antigen-125 (CA-125) merupakan sebuah biomarker untuk karsinoma
ovarium. Level > 35 U/ml biasanya sudah dipertimbangkan sebagai
abnormalitas. Sekitar 85% karsinoma ovarium stadium lanjut mengalami
peningkatan CA-125. Akan tetapi, bila biomarker ini digunakan tunggal,
sensitivitas dan spesifisitasnya rendah. CA-125 akan meningkat pada beberapa
kondisi, misalnya penyakit radang panggul, endometriosis, fibroid, kehamilan,
kista ovarium hemoragik, penyakit hati, dan lesi lain yang dapat menyebabkan
iritasi pada peritoneum, demikian juga dengan keganasan misalnya payudara,

18
paru, pankreas, lambung, dan kanker kolon. CA-125 memiliki makna dalam
membedakan sifat jinak atau ganas suatu massa di adneksa pada wanita pasca
menopause. Level CA-125 > 65 U/ml pada wanita pasca menopause dengan
massa di pelvis, meningkatkan kemungkinan karsinoma ovarium. Akan tetapi,
yang paling penting adalah penggunaan serial CA-125 dalam memantau respon
terapi dan deteksi rekurensi.
 Biomarker lain seperti plasma lysophosphatidic acid (LPA), osteopontin,
kallikrein, serum inhibin, CA 19-9, CA 15-3, CA 72-4, lipid-associated sialic
acid (LSAS), dll masih dalam penelitian.
 USG transvaginal. USG transvaginal memberikan gambar yang lebih detail dan
digunakan untuk mendeteksi perubahan arsitektur ovarium sedini mungkin.
Karakteristik yang dicurigai sebagai suatu keganasan adalah komplek kista
ovarium dengan komponen padat, adanya septa, tumbuhnya papil ke dalam
kista, dinding kista yang tebal, ascites dan adanya neovaskularisasi. Akan tetapi
USG transvaginal memiliki nilai prediktif positif yang rendah ketika digunakan
untuk skrining pada populasi umum. Ketika penggunaannya dibatasi pada
wanita pasca menopause dengan massa di pelvis, sensitivitasnya menjadi 84%
dan spesifisitasnya 78%.
 CA-125 dan USG tranvaginal. Skrining multimodal dengan menggunakan CA-
125 dan ultrasonografi memiliki spesifisitas dan nilai prediktif positif lebih
tinggi dibandingkan bila dilakukan sendirian. Pada wanita pasca menopause,
kombinasi USG transvaginal dan CA-125 > 65 U/ml meningkatkan sensitifitas
sampai 92% dan spesifisitas sampai 96%.
 Rekomendasi Skrining. The American Cancer Society (ACS) tidak
merekomendasikan skrining rutin tetapi pada wanita dengan risiko tinggi harus
ditawarkan kombinasi pemeriksaan pelvis, USG transvaginal, dan CA-125.
American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) setuju bahwa
skrining rutin tidak bermanfaat pada wanita kelompok risiko rendah yang
asimptomatis. ACOG merekomendasikan kepada ahli obstetri dan ginekologi
untuk waspada terhadap tanda dan gejala awal karsinoma ovarium, seperti nyeri
abdomen atau pelvis dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan, dan
kemudian lakukan pemeriksaan pelvis. Pengukuran CA-125 mungkin membantu
pada wanita pasca menopause dengan massa pelvis dan USG transvaginal juga
akan membantu.

19
 Perkembangan penelitian skrining karsinoma ovarium
Terdapat tiga strategi skrining utama yaitu dengan strategi berbasis USG,
strategi multimodal, dan strategi kombinasi. Strategi pertama adalah dengan
menggunakan USG transvaginal sebagai tes primer. Strategi multimodal
menggunakan CA-125 sebagai tes primer dan selanjutnya diikuti dengan tes
sekunder yaitu USG transvaginal. Sedangkan pada strategi kombinasi dilakukan
pemeriksaan CA-125 dan USG transvaginal secara bersama-sama. Berdasarkan
penelitian pada populasi, strategi berbasis USG memberikan sensitivitas yang
lebih baik untuk karsinoma ovarium stadium awal. Sedangkan strategi
multimodal memiliki spesifisitas dan nilai prediktif positif yang lebih tinggi
(Lewis and Menon, 2004).
Penelitian randomized controlled trial yang dilakukan oleh UK
Collaborative Trial of Ovarian Cancer Screening (UKCTOCS) dengan
melibatkan hampir 100.000 wanita, tahun 2009, melaporkan bahwa sensitivitas
strategi skrining MMS (Multimodal Strategy) dan USS (Ultrasound Strategy)
untuk deteksi dini karsinoma ovarium adalah baik. Spesifisitas MMS juga lebih
tinggi dibanding kelompok USS, sehingga kelompok MMS lebih sedikit
menjalani tes ulang dan pembedahan. Pada kelompok USS, kelainan adneksa
jinak dan tumor-tumor borderline lebih banyak terdeteksi. Dari penelitian ini
dapat dinyatakan bahwa strategi skrining layak untuk dilakukan. Untuk efek
skrining terhadap mortalitas masih dalam penelitian yang sedang berjalan
(Menon, 2009).
Teknik ultrasonografi pelvis telah mengalami peningkatan pesat selama
beberapa dekade terakhir. Saat ini telah tersedia TVS, imaging Doppler, dan
teknik 3 dimensi, dengan kontras. Akan tetapi ultrasonografi belum tervalidasi
secara penuh sebagai alat skrining tunggal di populasi umum. Sebaiknya disertai
dengan modalitas yang lain seperti CA-125, dan pertimbangan usia. Di luar
kemajuan teknik ultrasonografi dan interpretasinya, tetap terdapat kekurangan
bukti bahwa program skrining akan menurunkan mortalitas karsinoma ovarium,
dan data tentang manfaat dan pertimbangan ekonomis (cost-effectiveness) masih
terbatas. Oleh sebab itu, peran ultrasonografi di luar konteks penelitian, akan
tetap merupakan alat diagnostik yang baik di masa mendatang (Rao and Carter,
2010).

20
Penelitian PLCO (The Prostate, Lung, Colorectal and Ovarian Cancer
Screening Trial) yang merupakan sebuah penelitian randomized controlled trial
dengan melibatkan 10 pusat skrining di US, dan merekrut 78.216 wanita berusia
55-74 tahun, telah mempublikasikan hasilnya tahun 2011. Mereka melaporkan
bahwa skrining secara simultan dengan menggunakan CA-125 dan USG
transvaginal tidak mengurangi mortalitas karsinoma ovarium pada wanita di
populasi umum (Buys, 2011).

3.2 Pendekatan Diagnosis Karsinoma Ovarium


Peran pemeriksaan penunjang dalam diagnosis karsinoma ovarium sangat
penting. Kombinasi pemeriksaan tumor marker CA-125 dan modalitas radiologis
amat berguna, namun jika sebagai skrining sebaiknya hanya dilakukan pada wanita
dengan risiko tinggi (riwayat kanker ovarium pada keluarga, pasien dengan kanker
payudara). Untuk skrining tersebut, modalitas radiologis yang terpilih adalah USG.
Peran pemeriksaan radiologis pada karsinoma ovarium adalah skrining keganasan,
untuk menemukan tanda-tanda metastasis, membantu perencanaan pre-operasi, dan
follow up kemoterapi. CT scan dapat digunakan pada kasus lanjut untuk mendeteksi
karsinomatosis peritoneal atau metastase jauh. MRI lebih unggul dalam mengetahui
karakterisasi massa pelvis karena resolusi jaringan lunak yang lebih baik.
Sayangnya biaya MRI masih tergolong mahal (Rasjidi, 2010).
Ultrasonografi tidak selalu dapat membedakan kelainan yang jinak dan
ganas. Berlawanan dengan kista jinak, keganasan pada ovarium kistik umumnya
bersifat kompleks. Lesi kompleks dinilai berdasarkan evaluasi ekogenisitas yang
meliputi komponen padat dan kistik, penilaian tebal dinding dan septa serta
nodularitas. Penilaian dapat dipertajam dengan USG Doppler untuk melihat
komponen pembuluh darah dan analisis arus darah dalam pembuluh-pembuluh
darah di dalam massa. Kista ovarium ganas dapat memiliki dinding tumor atau septa
dengan tebal lebih dari 3 mm, mempunyai pertumbuhan menyerupai papil di
dinding dalam, multilokuler dan memiliki struktur yang kompleks dengan bagian
kistik dan padat. Dengan gambaran tersebut kemungkinan ganas lebih dari 60%
(Putra, 2011).
Diagnosis karsinoma ovarium secara USG tidaklah mudah. Terdapat overlap
gambaran USG antara tumor ovarium jinak dan ganas, sehingga diagnosis karsinoma
ovarium tidak bisa dibuat hanya berdasarkan gambaran USG saja. Dengan

21
membedakan konsistensi dari tumor-tumor tersebut kemungkinan diagnosis dapat
dipersempit (Rasjidi, 2010; Doubilet and Benson, 2003).
Hal yang perlu diperhatikan adalah apakah ditemukan tanda-tanda
ganas/kemungkinan ganas atau tanda-tanda metastasis, antara lain:
 Lokasi : bilateral di kedua ovarium.
 Konsistensi : kista kompleks dengan/tanpa massa padat di dalamnya, atau tumor
pelvis yang padat.
 Karakteristik massa : hilangnya batas-batas dinding kista (iregularitas
dinding), septa tebal (> 3 mm), pemeriksaan Doppler didapatkan Rl yang rendah
(Rl < 0,4) dan pulsatility index (PI) < 1. Dengan color Doppler akan terlihat aliran
darah pada septa, dinding, dan bagian padat tumor.
 Tanda-tanda metastasis : gambaran perlekatan, massa kompleks di omentum,
tanda metastasis ke organ lain. Tumor ganas ovarium sering disertai dengan asites.

Terdapat sistem penilaian untuk kriteria morfologis suatu tumor ovarium untuk
menentukan risiko keganasan (Rasjidi, 2010):
Skor Struktur Tebal Dinding Septa Ekogenitas
1 Regular Tipis (< 3mm) Tidak ada Sonulusen
2 Ireguler < 3mm Tebal (> 3mm) Tipis (≤3 mm) Hipoekoik
3 Papil > 3mm Tidak dapat dinilai Tebal (>3 mm) Hipoekoik
karena tumor padat dengan inti koik
4 Tidak dapat - - Campuran
dinilai karena
tumor padat
5 - - - Hiperekoik
Total 4 3 3 5
Keganasan umumnya memberikan skor tinggi (> 9)

Sedangkan penilaian dengan menggunakan USG Doppler, digunakan beberapa


parameter untuk membedakan lesi jinak dengan lesi ganas, yaitu (Rasjidi, 2010):
Parameter Lesi Jinak Lesi Ganas
Tahanan aliran Besar (RI > 0,4) Kecil (RI < 0,4)
Tipe peredaran darah Peredaran darah tepi Peredaran darah sentral, kadar
warna tinggi, aliasing
Derajat diastolik Ada Tidak ada

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemeriksaan kriteria morfologis


memiliki sensitivitas 82-100% dan spesifisitas 60%-90%. Sedangkan bila dengan

22
pemeriksaan Doppler saja maka sensitivitasnya kecil yaitu 37%. Kombinasi kriteria
morfoiogis dan Doppler akan memberikan sensitivitas 88- 97% dan spesifisitas 47-
100%. Follow-up terhadap suatu lesi juga penting untuk membedakan apakah lesi
tersebut ganas atau jinak. Sebaiknya dilakukan dalam interval 6-8 minggu.
Pada kasus rekurensi, USG dapat mengkonfirmasi adanya ascites, metastase
ke hati, atau rekurensi lokal yang berukuran > 2 cm. Untuk tumor dengan ukuran < 2
cm atau lesi milier di peritoneum dan omentum, tidak dapat terdeteksi dengan USG.

A B
Gambar 18. Gambaran lesi ovarium curiga ganas pada USG (Rasjidi, 2010)
(a) USG tranabdominal menunjukkan massa kistik dengan dinding ireguler
(b) USG transvaginal menunjukkan gambaran kista multilokular dengan septa tebal. Pada
pemeriksaan Doppler tampak gambaran vaskularisasi
(c) USG Doppler transvaginal menunjukkan massa kistik kompleks besar (> 9cm) multilokuler
dengan vaskularisasi pada septanya
(d) Massa padat berukuran besar (8 x 6 cm) dengan vaskularisasi sentral pada pemeriksaan Doppler.
3.3 Jenis-Jenis Karsinoma Ovarium yang Sering Dijumpai:
1. Kista adenokarsinoma serosa
C Merupakan jenis tumor sel epithelial
D yang paling banyak ditemukan.
Petunjuk diagnostiknya adalah massa ovarium kistik dengan komponen
padat/papiler, unilateral/bilateral dengan ukuran yang bervariasi.
USG akan memperlihatkan massa kistik dengan beragam pola ekogenik
(massa kompleks), dinding tebal, septum-septum, dan nodul atau bagian yang
menonjol ke dalam kista (papiliferum). USG Doppler akan tampak vaskularisasi
pada komponen padat (Rasjidi, 2010).

Gambar 19. Papillary cystadenocarcinoma ovarium dengan solid nodul di dinding. (a) dan
(b) Gambar massa ovarium (calipers) 23 dengan sebuah solid nodul (tanda panah) yang
menonjol ke dalam ruang kist. (c) color Doppler menunjukkan aliran darah (kepala panah)
di dalam solid nodul (tanda panah) dan dinding tumor. (d) Spektrum Doppler pada
pembuluh darah di dalam massa menunjukkan resistensi aliran yang rendah dengan pulsatil
indek yang rendah (PI : 0,69) (Doubilet and Benson, 2003).
2. Kista adenokarsinoma musinosa
Petunjuk diagnostiknya adalah massa ovarium kistik multilokuler
dengan gambaran komponen kistik yang bervariasi, tergantung pada kandungan
mukusnya. Memiliki komponen nodul atau padat. Ukuran umumnya besar (6 –
40 cm). Dapat disertai dengan pseudomyxoma peritonei yang tampak sebagai
A B
massa difus intraperitoneum yang dapat mengandung septa dan menyebabkan
permukaan hati dan limpa tampak berlekuk-lekuk.
USG memberikan gambaran massa kistik multiloculated dengan pola
ekogenik komponen kistik yang beragam tergantung pada kandungan mukusnya.
Nodul padat dapat dijumpai dalam komponen kistik. USG Doppler akan
memperlihatkan vaskularisasi pada komponen padat (Rasjidi, 2010).

C D

Gambar 20. Musinous cystadenocarcinoma ovarium dengan septa yang tebal dan ascites. (a)
dan (b) USG transvaginal tampak sebuah massa komplek dan besar di ovarium (calipers).
24
Ascites (AS) tampak di abdomen. (c) Color Doppler menunjukkan aliran darah (tanda panah)
di dalam bagian padat dari tumor. (d) Spektrum Doppler dari aliran darah di dalam massa
tumor menunjukkan rendahnya resistensi aliran dengan pulsatil indek yang rendah (PI : 0,42)
(Doubilet and Benson, 2003).
Gambar 21. Tampak asites kompleks dengan dinding-dinding dari usus (tanpa dinding kista)
yang merupakan gambaran khas pseudomyxoma peritonei (Putra, 2011)

3. Disgerminoma
Merupakan tumor ganas germ cell, homolog dengan seminoma testis
pada pria. Umumnya ditemukan pada wanita usia muda, dimana keluhan
umumnya berupa benjolan di perut dan nyeri perut akibat efek penekanan tumor.

25
Harus dicurigai sebagai diagnosis banding pada pasien wanita muda dengan
massa pelvis, ascites dan efusi pleura.
Petunjuk diagnostiknya adalah massa padat multilobulated dengan
septum fibrovaskular yang jelas. Dapat disertai dengan bercak-bercak
kalsifikasi. Umumnya unilateral dan berukuran besar. Gambaran USG
menunjukkan massa padat multilobulated dengan ekogenitas yang heterogen.
USG Doppler akan terlihat prominent flow pada septum fibrovaskuler (Rasjidi,
2010).

Gambar 22. Ovarian malignant mixed germ cell tumor dengan komponen padat dan kistik.
(a) Perluasan lapangan pandang dari sebuah massa kistik ovarium (tanda panah besar) yang
mengandung area padat (kepala panah) dan septa (tanda panah kecil). (b) Power Doppler
menunjukkan aliran darah (tanda panah) dalam sebuah solid nodul (kepala panah) dari
tumor (Doubilet and Benson, 2003).

Gambar 23. Gambaran USG disgerminoma pada seorang perempuan usia 40 tahun (Putra, 2011)

3.4 Tanda-tanda Metastasis


Kecurigaan adanya metastasis dapat ditegakkan apabila ditemukan
tanda-tanda seperti (Rasjidi, 2010):

26
1. Infiltrasi ke dinding pelvis
USG akan memberikan gambaran massa ekogenik yang menghubungkan
tumor dengan dinding rahim (band-like echogenic soft tissue prominence).
Bila gambaran ini ditemukan, perlu evaluasi ginjal dan ureter untuk melihat
kemungkinan adanya obstruksi (hidroureter atau hidronefrosis).
2. Metastasis ke kandung kemih
Biasanya akan terlihat penebalan mukosa vesika urinaria yang ireguler
3. Keterlibatan kelenjar getah bening
Penyebaran limfatik akan terlihat dengan adanya pembesaran KGB (KGB
pelvis > 3cm dan paraaorta > 2 cm). KGB di daerah paraaorta akan terlihat
di depan korpus vertebra dan mendorong aorta atau menekan vena cava
inferior.

4. Metastasis ke hati.
Penyebaran hematogen dari keganasan daerah pelvis umumnya ke hati.
Metastasis ke hati umumnya memperlihatkan gambaran massa terbatas
tegas, sonolusen, dikelilingi oleh jaringan hepar yang normal.

Gambar 25. Gambaran USG


yang menunjukkan metastase
karsinoma
Gambar 24. Pembesaran kelenjar getah bening paraaortal pada ovarium ke
kasus karsinoma hepar.
ovarium
(Putra, 2011). Tampak sebagai nodul multiple
hipoekoik (tanda panah).

5. Asites

27
Adanya asites pada pasien dengan massa padat atau kompleks di pelvis pada
umumnya menunjukkan suatu keganasan. Umumnya asites sebanyak > 100
ml akan terlihat dengan USG.
6. Infiltrasi ke omentum dan peritoneum
Terkadang, pada keganasan ovarium lanjut dapat ditemukan gambaran
massa tumor padat/kompleks di bawah peritoneum. Gambaran ini akan
lebih jelas terlihat apabila ditemukan asites masif.
Gambar 26.
Gambaran USG yang menunjukkan
“omental cake”. Biasanya stadium
karsinoma ovarium ini sudah lanjut,
minimal IIIc.
(Putra, 2011)

III. KESIMPULAN
Ultrasonografi merupakan modalitas radiologis yang penting sebagai alat bantu
pencitraan organ-organ ginekologis. Selain pemeriksaannya singkat dan murah,
ultrasonografi juga memiliki availabilitas yang luas karena dapat dipergunakan pada
berbagai kondisi pasien dan portable (mudah dibawa ke sisi tempat tidur pasien).
Ultrasonografi bermanfaat pada hampir semua pemeriksaan ginekologis, mulai dari
pencitraan uterus normal sampai yang patologis, dari lesi jinak sampai diagnosis
keganasan. Pada kasus-kasus malignancy dengan metastase jauh, CT Scan dan MRI
dapat menyempurnakan hasil pemeriksaan. Seiring dengan perkembangannya kini
terdapat ultrasonografi 3 dimensi dan Doppler yang semakin akurat dalam pencitraan
kelainan di bidang ginekologi. Salah satu kelemahan ultrasonografi adalah adanya
faktor subyektifitas. Tetapi dengan pelatihan dan standarisasi yang baik maka
subyektifitas bisa diminimalkan.

DAFTAR PUSTAKA

Bermejo, C., et al. 2010. Three-Dimensional Ultrasound in the Diagnosis of Mullerian


Duct Anomalies and Concordance with Magnetic Resonance Imaging. (cited: June 26,
2010). Available from: http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/uog.7551/pdf.

Buys, S., et al. 2011. Effect of Screening on Ovarian Cancer Mortality in the Prostate,
Lung, Colorectal, and Ovarian (PLCO) Cancer Randomized Screening Trial. (cited:

28
July 1, 2011). Available from: http://www.asco.org//ASCOv2/Department%
20Content/Communications/Downloads/AM2011%20May%2018%20Presscast
%20Release%20FOR%20DISTRIBUTION.pdf.
Cristina, S.C., Stephen, C.R. 2005. Screening for Ovarian Cancer in General Populasi.
(cited: June 27, 2011). Available from: www.sciencedirect.com
Cunningham, F.G., Leveno, K.J., Bloom, S.L., Haut, J.C., Rouse, D.J., Spong, C.Y., 2010.
William Obstetric. 23rd Ed. New York: McGraw-Hill Companies.

Doubilet, P.M., Benson, C.B. 2003. Atlas of Ultrasound in Obstetric and gynecology: a
Multimedia Reference. 1st Ed. Boston: Lippincot William & Wilkins.

Einstein, M.H. and Runowicz, C.D. 2003. Early Diagnosis and Screening for Ovarian
Cancer. (cited: june 27, 2011). Available from: www.sciencedirect.com
Exacoustos, C., et al. 2007. Can Gray-Scale and Color Doppler Sonography Differentiate
between Uterine Leiomyosarcoma and Leiomyoma? (cited: june 29, 2011). Available
from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17636502.

Green, A.E. 2011. Ovarian Cancer. (cited: June 27, 2011). Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/255771
Jacobs, I., et al. 2011. Sensitivity of Transvaginal Ultrasound Screening for Endometrial
Cancer in Postmenopausal Women: a Case-Control Study within the UKCTOCS
Cohort. (cited: June 26, 2011). Available:
http://download.thelancet.com/pdfs/journals/lanonc/ PIIS1470204510702680.pdf.
Kurjak, A. and Chervenak, F.A. 2003. Donald School Textbook of Ultrasound in Obstetric
and Gynecology. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers.

Larma J., Gardner, G.J. 2007. Ovarian Cancer. In: Fortner, K.B., Szymanski, L.M., Fox,
H.E., Wallach E.E. 2007. The Johns Hopkins Manual of Gynecology and Obstetrics.
3rd Ed. Boston: Lippincot William & Wilkins.
Lewis, S. and Menon, U. 2004. Screening for Ovarian Cancer. (cited: june 27, 2011).
Available from: www.sciencedirect.com
Lurain, J.R. 2007. Uterine Cancer. In: Berek, J.S. 2007. Berek & Novak’s Gynecology. 14th
Ed. Boston: Lippincot William & Wilkins.

Menon, U., et al. 2009. Sensitivity and Specificity of Multimodal and Ultrasound
Screening for Ovarian Cancer, and Stage Distribution of Detected Cancers: Results of
the Prevalence Screen of the UK Collaborative Trial of Ovarian Cancer Screening
(UKCTOCS). (cited: june 27, 2011). Available from: www.thelancet.com/oncology.
Putra, A.D. 2011. Ultrasonografi Ginekologi I. 2nd Ed. Jakarta: Divisi Onkologi
Departemen Obstetri dan Ginekologi FK UI.
Putra, A.D. 2011. Ultrasonografi Ginekologi II. 1st Ed. Jakarta: Divisi Onkologi
Departemen Obstetri dan Ginekologi FK UI.

29
Rao, A. and Carter, J. 2010. Ultrasound and Ovarian Cancer Screening: Is There a Future?
(cited: june 27, 2011). Available from: www.sciencedirect.com
Rasjidi, I., Muljadi, R., Cahyono, K. 2010. Imaging Ginekologi Onkologi. Jakarta: Sagung
Seto.

Schorge, J.O., Schaffer, J.I., Halvorson, L.M., Hoffman, B.L., Bradshaw, K.D.,
Cunningham, F.G. 2008. William Gynecology. New York: McGraw-Hill Companies.

30

Anda mungkin juga menyukai