Anda di halaman 1dari 49

LAPORAN KASUS

CVD INFARK TROMBOTIK

Oleh:

Adi Kurniawan
H1A 010 040

Pembimbing:

dr. Ilsa Hunaifi, Sp. S

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
RSU PROVINSI NTB
MATARAM
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini tepat pada waktunya.
Laporan kasus yang berjudul “CVD infark trombotik” ini disusun dalam rangka
mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf RSU
Provinsi NTB.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bimbingan kepada
penulis.
1. dr. Ilsa Hunaifi, Sp.S, selaku pembimbing
2. dr. Ester Sampe, Sp.S, selaku Ketua SMF Ilmu Penyakit Saraf RSUP NTB
3. dr. Wayan Subagiartha, Sp.S, selaku supervisor
4. dr. Herpan Syafii Harahap, M.Biomed, Sp.S selaku supervisor
5. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan
bantuan kepada penulis
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis
harapkan demi kesempurnaan laporan kasus ini.
Semoga laporan kasus ini dapat memberikan manfaat dan tambahan
pengetahuan khususnya kepada penulis dan kepada pembaca dalam menjalankan
praktek sehari-hari sebagai dokter. Terima kasih.

Mataram, 17 April 2016

Penulis

1
BAB I
PENDAHULUAN

Stroke merupakan gangguan fungsi saraf yang disebabkan baik karena faktor
aliran darah maupun pembuluh darah yang timbul secara tiba-tiba dengan tanda atau
gejala yang sesuai di daerah yang terganggu. Stroke merupakan penyebab kematian
ketiga tertinggi setelah penyakit jantung dan kanker di dunia. Pada tahun 2008, jumlah
prevalensi stroke di United State sekitar 7.000.000 dengan perkiraan satu pasien akan
mengalami kematiansetiap 4 menit. Survei Departemen Kesehatan RI pada 987.205
subjek dari 258.366 rumah tangga di 33 propinsi mendapatkan bahwa stroke
merupakan penyebab kematian utama pada usia > 45 tahun (15,4% dari seluruh
kematian). Prevalensi stroke rata-rata adalah 0,8%, tertinggi 1,66% di Nangroe Aceh
Darussalam dan terendah 0,38% di Papua. Jenis stroke yang paling sering terjadi adalah
stroke iskemia yaitu Sekitar 65-80%, sedangkan sisanya adalah karena stroke
hemoragik.1,2
Penyebab stroke dibagi menjadi dua yaitu stroke infark atau iskemi dan stroke
perdarahan atau hemoragik. Munculnya etiologi stroke iskemia maupun hemoragik
karena adanya faktor resiko yang meningkatkan kejadian stroke. Faktor resiko
penyebab stroke berupa hipertensi, diabetes melitus, hiperlipidemia,
hiperhomosisteinemia, dan merokok. Hipertensi merupakan faktor resiko utama
penyebab stroke, sehingga penanganan yang baik pada hipertensi dapat menurunkan
insiden dan angka kematian akibat stroke. Dengan adanya faktor resiko akan
memperparah kondisi pasien apabila faktor resiko tidak dapat diobati atau ditangani
dengan baik.3

2
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
Nama : Tn. Z
Usia : 60 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Beleke, Lombok Barat
Suku : Sasak
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : Pensiunan
No. RM : 57 64 78
MRS : 7 April 2016
Tanggal pemeriksaan : 11 April 2016

B. SUBJECTIVE
Keluhan Utama
Lemah anggota gerak sebelah kanan

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien merupakan rujukan dari RSUD Gerung dengan diagnosa suspek stroke
non hemoragik. Pasien datang ke IGD RSUP NTB karena dikeluhkan mengalami
lemah separuh badan bagian kanan yang tidak bisa digerakkan sama sekali. Keluhan
dirasakan mendadak sejak bangun tidur pagi pada tanggal 7 april sekitar jam 5 pagi.
Pasien sudah mulai merasakan lemah pada sore hari sebelumnya yaitu pada tanggal 6
april tetapi separuh badan bagian kanan pasien masih bisa digerakkan. Pasien langsung
dibawa ke RSUD Gerung pada pagi harinya dan akhirnya dirujuk ke RSUP NTB pada

3
sore harinya. Pasien mengaku mulai bisa menggerakkan anggoota badannya yang
bagian kanan setelah dirawat di rumah sakit selama sehari, tidak sampai 24 jam. Pasien
tidak pernah mengalami keluhan muntah, nyeri kepala, kejang, penurunan kesadaran,
bicara pelo dan pandangan kabur. Kesemutan, rasa tebal atau kebas pada kulit
disangkal oleh pasien. Pasien mengaku baru pertama kali mengalami keluhan seperti
ini. BAK dan BAB tidak dikeluhkan ada kelainan oleh pasien.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien belum pernah mengalami stroke atau mengalami keluhan serupa
sebelumnya. Riwayat penyakit jantung juga disangkal pasien. Riwayat DM disangkal.
Kolesterol disangkal. Riwayat trauma kepala disangkal oleh pasien. Pasien mengaku
memiliki penyakit hipertensi sejak sudah lama dan sering berobat ke puskesmas
setempat.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan seperti pasien saat ini.
Riwayat diabetes mellitus, penyakit jantung dalam keluarga juga disangkal. Pasien
mengaku banyak dari anggota keluarga pasien yang mengalami hipertensi.

Riwayat Alergi
Pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap makanan maupun obat-obatan
tertentu

Riwayat Pribadi dan Sosial


Pasien merupakan seorang pensiunan, pasien memilik kebiasaan merokok 4-5
batang perhari, pasien mengaku tidak pernah minum-minuman beralkohol.

4
C. OBJEKTIF
Pemeriksaan Fisik
1) Status Generalis
 Keadaan Umum : baik
 Kesadaran : GCS E4V5M6
 Vital Signs :
o Tekanan darah : 180/100 mmHg
o Nadi : 92 x/menit, regular, kuat angkat
o Frekuensi nafas : 20 x/menit
o Suhu : 36,7 ºC
2) Status Lokalis
a) Kepala
 Anemis : (-/-)
 Ikterus : (-/-)
 Sianosis : (-)
 Bentuk dan ukuran : normal
 Rambut : normal.
 Edema : (-)
 Malar rash : (-)
 Hiperpigmentasi : (-)
 Nyeri tekan kepala : (-)
 Massa : (-)
b) Thorax
1. Inspeksi:
 Bentuk & ukuran: normal, simetris antara sisi kiri dan kanan
 Gerakan dinding dada simetris, kelainan bentuk dada (-), ictus cordis
tidak tampak

5
 Permukaan dinding dada: jejas (-), papula (-), petechiae (-), purpura
(-), ekimosis (-), spider naevi (-), vena kolateral (-), massa (-).
 Penggunaan otot bantu nafas: SCM tidak aktif, tak tampak hipertrofi
SCM, otot bantu napas abdomen tidak aktif
 Iga dan sela iga: simetris, pelebaran ICS (-)
 Fossa supraclavicularis, fossa infraclavicularis: simetris kiri dan
kanan.
2. Palpasi:
 Pengembangan dinding dada simetris
 Trakea: deviasi (-)
 Nyeri tekan (-), benjolan (-), edema (-), krepitasi (-)
3. Perkusi:
 Paru-paru
o Perkusi sonor di semua lapang paru
 Jantung
o Batas kanan → ICS 2 parasternal dekstra
o Batas kiri → ICS 5 midklavikula sinistra
4. Auskultasi:
 Paru-paru:
o Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-).
 Jantung:
o S1S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-).
c) Abdomen
 Inspeksi : distensi (-), jejas (-), massa (-)
 Auskultasi : bising usus (+) kesan normal
 Palpasi : massa (-), nyeri tekan (-), hepar/lien tidak teraba.
 Perkusi : timpani pada seluruh kuadran abdomen

6
d) Ekstremitas :
 Akral hangat : + +
+ +
 Edema : - -
- -
 Deformitas : - -
- -
 CRT <2 detik

Status Neurologis
1. GCS : E4V5M6
2. Kepala : Posisi  normal
Penonjolan  (-)
Jejas  (-)
3. Nervus Cranialis
a) N. I (olfaktorius) : Normosmia
b) N. II (optikus)
OD OS
Ketajaman penglihatan 3/60 3/60
Lapang pandang Sesuai dengan permeriksa Sesuai dengan permeriksa
Funduskopi tde tde

c) N. III, IV dan VI
 Celah kelopak mata
Ptosis : -/-
Exophthalmus : -/-
 Posisi bola mata : orthoforia ODS

7
 Pupil
Ukuran/bentuk : Ø 3/3 mm bulat
Isokor/anisokor : isokor
Refleks cahaya : RCL (+/+), RCTL (+/+)
 Gerakan bola mata
Paresis : tidak ada
Nistagmus : tidak ada
d) N. V (Trigeminus)
 Sensibilitas : N. V1 → normal
N. V2 → normal
N. V3 → normal
 Motorik : inspeksi/palpasi (istirahat/menggigit) normal
 Refleks dagu/masseter : normal
 Refleks kornea : normal
e) N. VII (fasialis)
m. orbicularis m. orbikularis
Motorik m. frontalis
okuli oris
Istirahat Normal Normal Normal
Gerakan mimik Normal Normal Normal
Pengecapan 2/3 lidah bagian depan: tde
f) N. VIII (Auditorius)
 Pendengaran : tde
 Tes Rinne/Weber : tde
 Fungsi vestibularis : tde
g) N. IX, X (Glodsofaringeus, Vagus)
 Posisi arkus faring (istirahat/ vernet Rideau phenomenon) : Normal, uvula
di tengah
 Refleks menelan/muntah : Normal/tde

8
 Pengecap 1/3 lidah bagian posterior : tde
 Suara : normal
 Takikardia/bradikardia : (-)
h) N. XI (Accecorius)
 Memalingkan kepala dengan/tanpa tahanan : normal
 Mengangkat bahu : normal
i) N. XII (Hypoglosus)
 Deviasi lidah : istirahat simetris, menjulurkan lidah simetris
 Fasikulasi : (-)
 Atrofi : (-)
 Tremor : (-)
 Ataksia : (-)
4. Leher
 Meningeal Sign :
o Kaku kuduk : (-)
o Tanda Brudzinski I : (-)
o Tanda Brudzinski II : (-)
o Kernig’s sign : (-)
 Kelenjar lymphe : Pembesaran KGB (-)
 Arteri carotis
o Palpasi : frekuensi 92 x/menit, reguler, kuat angkat, thrill (-).
o Auskultasi : bruit (-)
 Kelenjar tiroid : struma (-)
5. Abdomen
 Refleks kulit dinding perut : Normal
6. Kolumna Vertebralis
 Inspeksi : Normal
 Pergerakan : Normal

9
 Palpasi : Normal
 Perkusi : Normal
7. Ekstremitas
Superior Inferior
Motorik
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Pergerakan Aktif Aktif Aktif Aktif
Kekuatan 4 5 4 5
Tonus Otot Normal Normal Normal Normal
Bentuk Otot Normal Normal Normal Normal
 Otot yang terganggu : (-)
8. Refleks Fisiologis
 Biceps : +2/+2
 Triceps : +2/+2
 Patella : +2/+2
 Achilles : +2/+2
9. Refleks Patologis
 Hoffman : (-/-)
 Trommer : (-/-)
 Babinsky : (-/-)
 Chaddock : (-/-)
 Gordon : (-/-)
 Schaefer : (-/-)
 Oppenheim : (-/-)
10. Klonus
 Lutut : (-)
 Kaki : (-)

10
11. Sensibilitas
 Eksteroseptif : Nyeri → Normal
Suhu → tde
Raba halus → Normal
 Proprioseptif : Rasa sikap → tde
Nyeri dalam → tde
 Fungsi kortikal : Diskriminasi → tde
Stereognosis → tde
12. Pergerakan Abnormal yang Spontan : Tic (-), tremor (-)
13. Gangguan Koordinasi
 Tes jari hidung : Normal
 Tes pronasi dan supinasi : Normal
 Tes tumit : Normal
14. Gangguan Keseimbangan : Tde
15. Gait : Tde
16. Pemeriksaan Fungsi Luhur : Kesan Normal

11
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Pemeriksaan Laboratorium Darah Lengkap
Parameter 07/04/16 Nilai Rujukan
HB 16,3 g/dL 11,5 – 16,5
RBC 6,78 x 106 /uL 4,0 – 5,0
HCT 48,1 % 37,0 – 45,0
MCV 70,9 fL 82,0 – 92,0
MCH 24,0 pg 27,0 – 31,0
MCHC 33,9 g/dL 32,0 – 37,0
WBC 11,91 x 103 /uL 4,0 – 11,0
EO 1,4 % 0–1
BASO 0,02 % 0–1
NEUT 6,23 % 50 – 70
LYMPH 36,6 % 25 – 33
MONO 9,5 % 3–8
PLT 286 x 103 /uL 150 – 400

Hasil Pemeriksaan Kimia Klinik


Parameter 12/04/16 Nilai Rujukan
GDP 84 mgl/dl 70-106
G 2 PP 137 mgl/dl <160
Koleterol total 220 mgl/dl <200
Triglyserida 147 mgl/dl <200
HDL-Kolesterol 43 mgl/dl >45
LDL-Kolesterol 147 mgl/dl <130
Asam Urat 5,1 mgl/dl L:3,5-7,2

12
Hasil Pemeriksaan CT scan kepala tanggal 07/04/2016

13
E. RESUME
Pasien laki-laki usia 60 tahun dating dengan keluhan lemah separuh badan
bagian kanan mendadak yang dirasakan sejak tanggal 7 april sekitar jam 5 pagi. Bicara
pelo (-), penglihatan kabur (-), nyeri kepala (-), mual atau muntah (-), riwayat pingsan
dan kejang (-), kesemutan, rasa tebal atau kebas pada kulit (-). Pasien memiliki riwayat
hipertensi. Dikeluarga pasien juga mempunyai riwayat hipertensi. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan keadaan umum pasien baik, GCS E4V5M6, tekanan darah 180/100
mmHg. Nadi 92x/menit, laju pernapasan 20x/menit, suhu aksila 36,7oC. Pada
pemeriksaan neurologi untuk kekuatan motorik didapatkan pada ekstremitas atas 4/5
dan pada esktremitas bawah 4/5. Untuk refleks fisiologis +2 pada biceps, triceps,
patella dan achilles. Tidak ditemukan adanya refleks patologis. Untuk pemeriksaan
sensori masih dalam batas normal.

F. ASSESSMENT
1. Diagnosis klinis
Hemiparese dextra akut
2. Diagnosis topis
Oklusi pada pangkal arteri serebri media pada subkorteks
3. Diagnosis etiologi
Stroke infark trombotik
4. Diagnosis sekunder
Hipertensi

14
G. PLANNING
1. Diagnostik
CT Scan kepala: sudah dilakukan
2. Terapi
Farmakologi
- IVFD RL 20 tpm
- Inj. Piracetam 3 gr/ 8 jam (iv)
- Inj. Citicoline 500 mg/ 8 jam (iv)
- CPG 1 x 70 mg (po)
- Aspilet 1 x 80 mg (po)
- Valsartan 1 x 80 mg (po)
Non farmakologi
- Tirah baring
- Kepala pasien diposisikan pada posisi 30 derajat
- Oksigen nasal canul 2 liter/menit

H. Monitoring
Keluhan, tanda vital, GCS (glasgow coma scale), status neurologis

I. Prognosis
 Ad vitam : dubia ad malam
 Ad functionam : dubia ad bonam

15
J. Pembahasan dan Clinical Reasoning

Stroke didefinisikan sebagai disfungsi neurologis yang disebabkan oleh infark


serebri fokal, spinal atau retina, berdasarkan patologi, imaging atau bukti obyektif
adanya iskemia serebri, medulla spinalis atau retina sesuai distribusi vaskuler dan
dengan gejala yang menetap ≥ 24 jam atau sampai meninggal dan penyebab lainnya
telah disingkirkan. Pada kasus ini pasien memenuhi kriteria stroke berdasarkan definisi
tersebut, dimana pasien mengalami disfungsi neurologis berupa kelemahan anggota
gerak yang berlangsung < 24 jam tetapi sudah terbukti dengan adannya hasil CT-Scan.
Keluhan berupa lemahnya bagian tubuh yang terjadi secara tiba-tiba
menandakan adanya suatu defisit neurologis yang bisa disebabkan oleh adanya
sumbatan atau perdarahan. Pada kasus ini keluhan muncul tiba-tiba ketika pasien
bangun tidur tanpa didahului oleh gejala nyeri kepala hebat sehingga gangguan defisit
neurologis akibat infark lebih cenderung terjadi pada pasien ini.
Diagnosis klinis stroke dapat ditentukan dengan skor Siriraj atau skor Gajah
mada apabila kita berada di fasilitas yang tidak memadai untuk dilakukan pemeriksaan
penunjang lengkap. Contoh pada kasus:

Berdasarkan SKOR Stroke Siriraj


 (2,5 x derajat kesadaran) + (2 x muntah) + (2 x nyeri kepala) + (0,1 x tekanan
diastolik) – (3 x penanda ateroma) – 12
 (2,5 x 0) + (2 x 0) + (2 x 0) + (0,1 x 100) - (3 x 1) – 12
 0 + 0 + 0 + 10 – 3 – 12 =
 Interpretasi: SS <-5 = Stroke Non Hemoragik

16
Berdasarkan Algoritma Gajah Mada
 Penurunan kesadaran : (-)
 Nyeri kepala : (-)
 Babinski : (-)
 Interpretasi : Stroke iskemik akut atau stroke infark
Pada pasien ini lebih mengarah ke stroke infark atau stroke iskemik akut.
Kemungkinan yang masih ada yaitu stroke infark trombotik dan stroke infark emboli.
Pada kasus ini tidak didapatkan adanya kelainan pada jantung pasien, sehingga bukan
mengarah ke stroke infark emboli. Pasien ini memiliki riwayat hipertensi dan merokok
sehingga pada pasien ini mengarah pada stroke infark trombotik.
Berdasarkan sistem TOAST (Trial of ORG 10172 in Acute Stroke Treatment),
terdapat 5 subtipe stroke iskemik dimana hal tersebut lebih didasarkan pada gejala
klinis.
1. Arterosklerosis arteri besar
2. Infark Kardioembolic
3. Oklusi arteri kecil / lacunar infarc
4. Stroke akibat penyebab lain yang dapat ditentukan
5. Stroke akibat penyebab lain yang tidak dapat ditentukan
Pada pasien ini, dari anamnesis didapatkan bahwa tidak ada gejala gangguan
fungsi serebral atau brain stem seperti gangguan kognisi, aphasi, neglect, atau restricted
motor involvment, pada pemeriksaan fisik juga tidak didapatkannya bruit pada arteri
karotis, sehingga kemungkinan arterosklerosis arteri besar dapat disingkirkan.
Pada pasien ini, juga tidak didapatkan adanya kelainan pada jantung pasien,
seperti atrial fibrilasi, mitral stenosis, infark miokard, infeksi endokarditis dan lain-
lain. Sehingga dengan ini dapat menyingkirkan infark kardiemboli.
Pada pasien ini didapatkan gejala motorik yaitu hemiparese dekstra dengan
derajat yang sama dan terdapat gangguan lakuner sindrom yaitu hipertensi sehingga
dapat disimpulkan kemungkinan pada pasien ini oklusi pembuluh darah terjadi pada

17
arteri kecil/lakunar. Karena derajat parese sama antara lengan dan tungkai maka
kemungkinan yang menyalurkan impuls untuk gerakan lengan dan tungkai diperdarahi
oleh satu arteri yang sama, yang hal tersebut dapat terjadi di subkorteks yaitu kapsula
interna, disana terdapat pangkal dari arteri cerebri media dan arteri cerbri anterior yang
memberikan suplai darah ke korteks motorik yang disebut arteri lentikulostriata.
Tatalaksana pada penderita stroke dibedakan menjadi terapi umum dan terapi
khusus yang tergantung apakah pasien mengalami stroke hemoragik ataupun stroke
iskemik. Terapi umum yang diberikan pada pasien berupa pemberian O2 2 lliter/menit,
head up 300, pemasangan kateter, pemberian nutrisi dan rehabilitasi medik,
menghindari terjadinya dikubitus dan kontraktur.
Tatalaksana farmakologis tidak dilakukan trombolitik mengingat onset >3 jam,
antiplatelet diberikan untuk menghambat agregasi trombosit sehingga menyebabkan
terhambatnya pembentukan thrombus yang terutama sering ditemukan pada sistem
arteri kolateral. Neuroprotektor sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang efektif,
namun diyakini data dapat menghambat proses kerusakan neuroglia pada area
penumbra. Citicolin sampai saat ini masih menjadi pilihan. Prognosis tergantung dari
usia, ukuran trombus, dan arteri yang terkena serta penyakit yang menyertai.

18
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global akut, lebih dari
24 jam, berasal dari gangguan aliran darah otak dan bukan disebabkan oleh gangguan
peredaran darah otak sepintas, tumor otak, stroke sekunder karena trauma maupun
infeksi.1
Stroke dengan defisit neurologik yang terjadi tiba-tiba dapat disebabkan oleh
iskemia atau perdarahan otak. Stroke iskemik disebabkan oleh oklusi fokal pembuluh
darah otak yang menyebabkan turunnya suplai oksigen dan glukosa ke bagian otak
yang mengalami oklusi. Munculnya tanda dan gejala fokal atau global pada stroke
disebabkan oleh penurunan aliran darah otak. Oklusi dapat berupa trombus, embolus,
atau tromboembolus, menyebabkan hipoksia sampai anoksia pada salah satu daerah
percabangan pembuluh darah di otak tersebut. Stroke hemoragik dapat berupa
perdarahan intraserebral atau perdarahan subrakhnoid.1

B. Klasifikasi
Stroke dapat dibagi menjadi:3
1. Stroke iskemik
a. Stroke emboli
b. Stroke trombotik
i. Thrombosis pembuluh darah besar
ii. Thrombosis pembuluh darah kecil/lacunar infark
2. Stroke hemoragik
a. Stroke perdarahan intraserebral
b. Stroke perdarahan subaraknoid

19
Berdasarkan system TOAST (Trial of ORG 10172 in Acute Stroke Treatment)
Sistem TOAST (Trial of ORG 10172 in Acute Stroke Treatment) pertama kali
dikembangkan kepada terapi stroke iskemik akut pada awal tahun 1990. Sistem ini
didasarkan pada sebagian besar fitur klinis namun tetap mempertimbangkan informasi
diagnostik dari CT, MRI, transthoracic echocardiography, extracranial carotid
ultrasonography, dan jika memungkinkan, cerebral angiography.5
Sistem TOAST membagi stroke menjadi 5 subtipe yaitu, large artery
atherosclerosis (LAAS), cardiaoembolic infarct (CEI), small artery occlusion/lacunar
infarct (LAC), stroke of another determined cause/origin (ODE), dan stroke of an
undetermined cause/origin (UDE). 5
Klasifikasi Stroke Iskemik berdasarkan system TOAST 5
1. Aterosklerosis Arteri Besar
Gejala klinik dan penemuan imejing otak yang signifikan (>50%) stenosis atau
oklusi arteri besar di otak atau cabang arteri di korteks disebabkan oleh proses
atero-sklerosis. Gambaran klinis yang dapat terjadi berupa aphasi, neglect, atau
restricted motor involvment, disfungsi brain stem, dan serebral. Riwayat
terjadinya transient ischemic attecks (TIA, dan terdengar bruit pada arteri
karotis juga dapat menegakkan diagnosis. Gambaran CT sken otak MRI
menunjukkan adanya infark di kortikal, serebellum, batang otak, atau
subkortikal yang berdiameter lebih dari 1,5 mm dan potensinya berasal dari
aterosklerosis arteri besar.
2. Kardioembolic infarct
Oklusi arteri disebabkan oleh embolus dari jantung. Sumber embolus dari
jantung terdiri dari:
a. Resiko tinggi
o Prostetik katub mekanik
o Mitral stenosis dengan atrial fibrilasi
o Fibrilasi atrial (other than lone atrial fibrillation)
o Atrial kiri / atrial appendage thrombus

20
o Sick sinus syndrome
o Infark miokard baru (<4 minggu)
o Thrombus ventrikel kiri
o Kardiomiopati dilatasi
o Segmen ventricular kiri akinetik
o Atrial myxoma
o Infeksi endokarditis
b. Resiko sedang
o Prolapsus katup mitral
o Kalsifikasi annulus mitral
o Mitral stenosis tanpa fibrilasi atrial
o Turbulensi atrial kiri
o Aneurisma septal atrial
o Paten foramen ovale
o Atrial flutter
o Lone atrial fibrillation
o Katup kardiak bioprostetik
o Trombotik endokarditis nonbacterial
o Gagal jantung kongestif
o Segmen ventrikuler kiri hipokinetik
o Infark Miokard (> 4minggu, < 6 bulan)
3. Oklusi Arteri Kecil
Sering disebut juga infark lakunar, dimana pasien harus mempunyai satu gejala
gangguan lakunar sindrom dan tidak memiliki bukti bahwa terdapat disfungsi
dari kortikal serebral. Riwayat diabetes atau hipertensi dapat membantu
penegakan diagnostic. Pasien biasanya mempunyai gambaran CT Sken/MRI
otak normal atau infark lakunar dengan diameter <1,5mm di daerah batang otak
atau subkortikal.

21
4. Stroke Akibat dari Penyebab Lain yang dapat ditentukan (stroke of another
determined cause/origin (ODE)
a. Non-aterosklerosis Vaskulopati
o Noninflamiasi
o Inflamasi non infeksi
o Infeksi
b. Kelainan Hematologi atau Koagulasi
5. Stroke Akibat dari Penyebab Lain yang Tidak Dapat Ditentukan (stroke of an
undetermined cause/origin (UDE)

C. Epidemiologi
Penelitian prospektif tahun 1996/1997 mendapatkan 2.065 pasien stroke dari
28 rumah sakit di Indonesia. Survei Departemen Kesehatan RI pada 987.205 subjek
dari 258.366 rumah tangga di 33 propinsi mendapatkan bahwa stroke merupakan
penyebab kematian utama pada usia >45 tahun (15,4% dari seluruh kematian).
Prevalensi stroke rata-rata adalah 0,8%, tertinggi 1,66% di Nangroe Aceh Darussalam
dan terendah 0,38% di Papua.1
Kejadian stroke (insiden) sebesar 51,6/100.000 penduduk dan kecacatan;1,6%
tidak berubah; 4,3% semakin memberat. Penderita laki-laki lebih banyak daripada
perempuan dan profil usia dibawah 45 tahun sebesar 11,8%, usia 45-64 tahun 54,2%,
dan usia diatas 65 tahun sebesar 33,5%. Stroke menyerang usia produktif dan usia
lanjut yang berpotensi menimbulkan masalah baru dalam pembangunan kesehatan
secara nasional di kemudian hari.3

22
D. Faktor Resiko

Tabel 1. Faktor Resiko Stroke1,2


Bisa dikendalikan Tidak bisa dikendalikan

 Hipertensi  Umur
 Penyakit Jantung  Jenis kelamin
 Fibrilasi atrium  Herediter
 Endokarditis  Ras dan etnis
 Stenosis mitralis  Geografi
 Infark jantung
 Merokok
 Dyslipidemia
 Penggunaan alkohol
 Inaktifitas fisik
 Obesitas

E. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis stroke iskemik tergantung pada area otak yang mengalami
iskemik.3
Lokasi Oklusi Gejala dan tanda
Arteri Serebri Anterior Gejala oklusi arteri serebri anterior antara lain gangguan
buang air kecil yang terjadi oleh karena kegagalan
penghambatan refleks kontraksi kandung kemih.
Terdapat pula paresis dan hilangnya sensorik pada
tungkai kontralateral.
Arteri Serebri Media
a. Stroke pada devisi Hemiparesis kontralateral yang terjadi pada wajah,
superior arteri serebri tangan, lengan namun kaki tidak mengalami paresis.
media Gangguan hemisensorik kontralateral pada daerah
distribusi yang sama namun tidak terdapat homonimus
hemianopsia.

23
Bila terjadi pada hemisfer dominan terdapat gejala afasia
broca
b. Stroke pada devisi Homonimus hemianopia, terdapat pula gangguan fungsi
inferior arteri serebri sensorik kortikal seperti graphiestesia, dan stereognosis
media pada kontralateral lesi
Gangguan visospasial, termasuk hilangnya kewaspadaan
terhadap kelainan yang diderita (anosognosia), neglek
dan gangguan untuk mengenal ekstremitas kontralateral,
dressing apraxia dan konstruksional apraxia bila yang
terlibat adalah hemisfer dominan, afasia wernicke dapat
pula terjadi.
Acute confosional state (hemisfer non dominan)
c. Oklusi pada bifurcasio Hemiparese kontralateral, gangguan sensorik kontra
atau trifurcasio arteri lateral yang mengenai wajah dan lengan lebih berat dari
serebri media pada tungkai, homonym hemianopsia dan bila terkena
pada hemisfer dominan akan terjadi afasia global
d. Oklusi pada pangkal Mirip dengan oklusi trifurkasio dengan tambahan infark
arteri media pada jaras motorik pada kapsula interna yang
menghasilkan parese kontra lateral lesi pada wajah,
lengan, tangan dan tungkai.
Arteri karotis Interna Transient monocular blindness. Oklusi arteri karotis
dapat asimptomatik. Oklusi symptomatik menyebabkan
syndrome yang mirip dengan arteri serebri media
(hemiplegi kontralateral, defisit hemisensorik dan
homonimus hemianopsia, afasia pada hemisfer dominan)
Arteri Serebri posterior Homonim hemianopia kontralateral lapangan pandang
dengan macular spared, abnormalitas okuler, parese N
III, internuklear Opthalamoplegi, deviasi mata ke

24
vertical. Oklusi di lobus occipital terutama pada hemisfer
dominan pasien dapat mengalami afasia anomik. Aleksia
tanpa agraphia, ataupun agnosia visual. Dapat pula terjadi
sindrom diskoneksi korpus kallosum.
Infark kedua hemisfer arteri serebri posterior
menyebabkan kebutaan kortikal, gangguanmemori,
prosopagnosia (gangguan mengenal wajah yang
familiar), juga beberapa gangguan prilaku.
a. Cabang pedunkulus Sindroma weber: kelemahan wajah dan ekstremitas
arteri serebri posterior kontralateral, parese N.III ipsilateral
proksimal
b. Cabang tegmntum Parese N III ipsilateral ataksia tungkai kontra lateral,
paramedian arteri hemiballismus dan choreoathetosis
serebri posterior
Cabang arteri basilaris
a. Cabang distal arteri Hemiparese kontralateral, parese N XII ipsilateral,
vertebralis gangguan sensorik kontralateral
b. PICA (posterior Sindrom Wellenberg:
inferior cerebellar Ataksia tungkai ipsilateral, hilangnya rasa eksteroseptif
arteri) ipsilateral wajah dan kontralateral ekstremitas, sindrom
horner ipsilateral, vertigo, nistagmus, suara parau,
disfagia, hiccup.
c. Arteri perforantes pada Hemiparese kontralateral, diartia, kadang ataksia
pons paramedia kontralateral, ditambah dengan: parese N.VII dan N VIII
ipsilateral, gaze paresis (infark inferior) atau parese N VII
kontralateral, internuklear opthalmoplegia (infark
superior)

25
d. AICA (anterior inferior Ataksia ipsilateral, hilangnya sensasi ipsilateral wajah
cerebellar arteri) dan kontra lateral ekstremitas, vertigo, nistagmus, tuli
dan tinnitus, parese N VII, sindroma horner ipsilateral
e. SCA (Superior Ataksia ipsi lateral, diartria, hilangnya sensorik
cerebellar arteri) dan kontralateral, sindroma horner ipsilateral,
cabang sirkumferensial choreoathetosis ipsilateral, tuli ipsilateral
longus

F. Diagnosis
Secara umum untuk membedakan apakah stroke perdarahan atau strok iskemik
dapat dilakukan dengan menghitung siriraj skor berikut:
Skor Stroke Siriraj
Gejala/tanda Penilaian Indeks
Derajat (0) Kompos mentis X 2,5
Kesadaran (1) Somnolen
(2) Sopor/koma
Vomitus (0) Tidak ada X2
(1) Ada
Nyeri kepala (0) Tidak ada X2
(1) Ada
Tekanan darah Diastolik X 0,1
Ateroma (0) Tidak ada X3
(1) Salah satu atau lebih: DM, angina, penyakit
pembuluh darah.

Skor >1 : Perdarahan Supratentorial


Skor -1 s.d 1 : perlu CT-Scan
Skor < -1 : Infark Serebri

26
G. Stroke Infark Trombotik
Definisi
Stroke infark trombotik adalah stroke yang disebabkan oleh karena adanya
oklusi pembuluh darah yang disebabkan oleh karena adanya trombosis.3

Etiologi
Trombus adalah pembentukan bekuan platelet atau fibrin di dalam darah yang
dapat menyumbat pembuluh vena atau arteri dan menyebabkan iskemia dan nekrosis
jaringan lokal. Trombus ini bisa terlepas dari dinding pembuluh darah dan disebut
tromboemboli. Trombosis dan tromboemboli memegang peranan penting dalam
patogenesis stroke iskemik. Lokasi trombosis sangat menentukan jenis gangguan yang
ditimbulkannya, misalnya trombosis arteri dapat mengakibatkan infark jantung, stroke,
maupun claudicatio intermitten, sedangkan trombosis vena dapat menyebabkan emboli
paru.6
Trombosis merupakan hasil perubahan dari satu atau lebih komponen utama
hemostasis yang meliputi faktor koagulasi, protein plasma, aliran darah, permukaan
vaskuler, dan konstituen seluler, terutama platelet dan sel endotel. Trombosis arteri
merupakan komplikasi dari aterosklerosis yang terjadi karena adanya plak
aterosklerosis yang pecah.6
Trombosis diawali dengan adanya kerusakan endotel, sehingga tampak jaringan
kolagen dibawahnya. Proses trombosis terjadi akibat adanya interaksi antara trombosit
dan dinding pembuluh darah, akibat adanya kerusakan endotel pembuluh darah.
Endotel pembuluh darah yang normal bersifat antitrombosis, hal ini disebabkan karena
adanya glikoprotein dan proteoglikan yang melapisi sel endotel dan adanya prostasiklin
(PGI2) pada endotel yang bersifat vasodilator dan inhibisi platelet agregasi. Pada
endotel yang mengalami kerusakan, darah akan berhubungan dengan serat-serat
kolagen pembuluh darah, kemudian akan merangsang trombosit dan agregasi trombosit
dan merangsang trombosit mengeluarkan zat-zat yang terdapat di dalam granula-
granula di dalam trombosit dan zat-zat yang berasal dari makrofag yang mengandung

27
lemak. Akibat adanya reseptor pada trombosit menyebabkan perlekatan trombosit
dengan jaringan kolagen pembuluh darah.6
Penyebab lain terjadinya trombosis adalah polisetemia, anemia sickle sel,
defisiensi protein C, displasia fibromuskular dari arteri serebral, dan vasokonstriksi
yang berkepanjangan akibat serangan migrain. Setiap proses yang menyebabkan
diseksi arteri serebral juga dapat menyebabkan terjadinya stroke trombotik.6

Patofisiologi
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya stroke iskemik, salah satunya
adalah aterosklerosis, dengan mekanisme trombosis yang menyumbat arteri besar dan
arteri kecil, dan juga melalui mekanisme emboli. Terjadinya ateroskerosis diawali dari
terbentuknya fatty streak yang kemudian berkembang progresif sampai terjadi lesi
sebagai akibat dari gangguan aliran darah dan atau tebentuknya trombus yang
menyebabkan iskemik pada organ target. 7
Kerusakan endotel menyebabkan perubahan permiabilitas endotel, perubahan
sel endotel atau perubahan hubungan antara sel endotel dan jaringan ikat dibawahnya.
Sel endotel dapat terlepas sehingga terjadi hubungan langsung antara komponen darah
dan dinding arteri. Kerusakan endotel akan menyebabkan pelepasan growth factor
yang akan merangsang masuknya monosit ke lapisan intima pembuluh darah.
Demikian pula halnya lipid akan masuk kedalam pembuluh darah melalui transport
aktif dan pasif. Monosit pada dinding pembuluh darah akan berubah menjadi makrofag
akan memfagosit kholesterol LDL, sehingga akan terbentuk foam sel. 7
Monosit berubah menjadi makrofag oleh macrophage colony stimulating factor
(M-CSF) yang ekspresinya disebabkan oksidasi LDL dan faktor nuclear kappa B
(NFkB). Kemampuan M-CSF merangsang pengambilan dan degradasi modified
lipoprotein oleh scavenger receptor akan menyebabkan pembentukan sel busa yang
akan menjadi fatty streak (prekusor plak aterosclerosis) dan selanjutnya akan menjadi
plak fibrosa. Platelet derived Growth Factor (PDGF) yang dihasilkan sel vaskular dan
lekosit yang menginfiltrasi akan mempengaruhi migrasi dan proliferasi sel otot polos

28
dari tunika media ke intima. Sel otot polos dengan matrik ekstraseluler akan
membentuk kapsula fibrosa yang memisahkan inti lipid dengan aliran darah.
Transforming growth factor (TGF)-beta akan menghambat proliferasi sel otot polos
dan merangsang produksi matrik ekstraseluler. Pembentukan kapsula fibrosa plak
aterosklerosis tergantung keseimbangan kedua hal tersebut. 7
Proses tersebut berlanjut dengan terjadinya sel-sel otot polos arteri dari tunika
adventisia ke tunika intima akibat adanya pelepasan platelet derived growth factor
(PDGF) oleh makrofag, sel endotel, dan trombosit. Selain itu, sel-sel otot polos tersebut
yang kontraktif akan berproliferasi dan berubah menajdi fibrosis. Makrofag, sel
endotel, sel otot polos maupun limfosit T (terdapat pada stadium awal plak
aterosklerosis) akan mengeluarkan sitokin yang memperkuat interaksi antara sel-sel
tersebut. 7
Adanya penimbunan kolesterol intra dan eksta seluler disertai adanya fibrosis
maka akan terbentuk plak fibrolipid. Pada inti dari plak tersebut, sel-sel lemak dan
lainnya akan menjadi nekrosis dan terjadi kalsifikasi. Plak ini akan menginvasi dan
menyebar kedalam tunika media dinding pembuluh darah, sehingga pembuluh darah
akan menebal dan terjadi penyempitan lumen. Degenerasi dan perdarahan pada
pembuluh darah yang mengalami akan menyebabkan kerusakan endotel pembuluh
darah sehingga terjadi perangsangan adhesi, aktifasi dan agregasi trombosit, yang
mengawali koagulasi darah dan trombosis. Trombosit akan terangsang dan menempel
pada endotel yang rusak, sehingga terbentuk plak aterotrombotik. 7
Tempat tersering terjadinya fatty streak adalah di daerah bifurkasio dengan
aliran darah yang turbulen. Arteri serebral plak sering terjadi pada bifurkasio arteri
karotis dimana arteri carotis interna berasal. Aterosklerosis pada arteri serebri media
(MCA) mempengaruhi bagian pertama (M1 segmen) dimana meluas dari tempat arteri
berasal sampai bifurkasio pada fisura sylvian. Pada sistem vertebrobasiler plak sering
ditemukan pada tempat asal arteri vertebral dan arteri basilar. Dengan bertambahnya
usia fatty streak berubah menjadi plak fibrosa, sering ditemukan pada usia pertengahan
dan orang tua. Plak ini terdiri dari inti seluler debris, free ekstraselular lipid, dan krista

29
dari foam cells, otot polos yang berubah, limfosit dan connective tissue. Aterosklerosis
berkembang menjadi complicated lesion, dimana terjadi kalsifikasi, deposit
hemosiderin, dan gangguan permukaan lumen pembuluh darah.7
Aterosklerosis dapat menyebabkan stroke iskemik dengan cara trombosis yang
menyebabkan tersumbatnya arteri-arteri besar terutama a. karotis interna, a. serebri
media atau a. basilaris, dapat juga mengenai arteri kecil yang mengakibatkan terjadinya
infark lakuner. Sumbatan juga dapat terjadi pada vena-vena atau sinus venosa intra
kranial. Dapat juga terjadi emboli, dimana stroke terjadi mendadak karena arteri serebri
tersumbat oleh trombus dari jantung, arkus aorta atau arteri besar lainnya.7

Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Laboratorium
Pada pasien yang diduga mengalami stroke perlu dilakukan pemeriksaan
laboratorium. Parameter yang diperiksa meliputi kadar glukosa darah, elektrolit,
analisa gas darah, hematologi lengkap, kadar ureum, kreatinin, enzim jantung,
prothrombin time (PT) dan activated partial thromboplastin time (aPTT).
Pemeriksaan kadar glukosa darah untuk mendeteksi hipoglikemi maupun
hiperglikemi, karena pada kedua keadaan ini dapat dijumpai gejala neurologis.
Pemeriksaan elektrolit ditujukan untuk mendeteksi adanya gangguan elektrolit baik
untuk natrium, kalium, kalsium, fosfat maupun magnesium.6
Pemeriksaan analisa gas darah juga perlu dilakukan untuk mendeteksi asidosis
metabolik. Hipoksia dan hiperkapnia juga menyebabkan gangguan neurologis.
Prothrombin time (PT) dan activated partial thromboplastin time (aPTT) digunakan
untuk menilai aktivasi koagulasi serta monitoring terapi. Dari pemeriksaan
hematologi lengkap dapat diperoleh data tentang kadar hemoglobin, nilai
hematokrit, jumlah eritrosit, leukosit, dan trombosit serta morfologi sel darah.
Polisitemia vara, anemia sel sabit, dan trombositemia esensial adalah kelainan sel
darah yang dapat menyebabkan stroke. 3,6,8

30
 CT scan
Pada kasus stroke, CT scan dapat membedakan stroke infark dan stroke hemoragik.
Pemeriksaan CT scan kepala merupakan gold standar untuk menegakan diagnosis
stroke.3,6,8
 Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Secara umum pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) lebih sensitive
dibandingkan CT scan. MRI mempunyai kelebihan mampu melihat adanya iskemik
pada jaringan otak dalam waktu 2-3 jam setelah onset stroke non hemoragik. MRI
juga digunakan pada kelainan medulla spinalis. Kelemahan alat ini adalah
preosedur pemeriksaan yang lebih rumit dan lebih lama, serta harga pemeriksaan
yang lebih mahal.6
 Angiografi: dapat dilakukan bila ada kecurigaan stenosis pembuluh darah balik
ekstra cranial maupun intracranial
 EEG: Dilakukan pada pasien stroke yang dicurigai mengalami kejang.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Umum Stroke Akut2
A. Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat
1. Evaluasi Cepat dan Diagnosis
Oleh karena jendela terapi dalam pengobatan stroke akut sangat pendek, maka
evaluasi dan diagnosis harus dilakukan dengan cepat, sistematik, dan cermat
(AHA/ASA, Class I, Level of evidence B). Evaluasi gejala dan klinik stroke akut
meliputi:
a. Anamnesis, terutama mengenai gejala awal, waktu awitan, aktivitas penderita
saat serangan, gejala seperti nyeri kepala, mual, muntah, rasa berputar, kejang,
cegukan (hiccup), gangguan visual, penurunan kesadaran, serta faktor risiko
stroke (hipertensi, diabetes, dan lain-lain).

31
b. Pemeriksaan fisik, meliputi penilaian respirasi, sirkulasi, oksimetri, dan suhu
tubuh. Pemeriksaan kepala dan leher (misalnya cedera kepala akibat jatuh saat
kejang, bruit karotis, dan tanda-tanda distensi vena jugular pada gagal jantung
kongestif). Pemeriksaan torak (jantung dan paru), abdomen, kulit dan
ekstremitas.
c. Pemeriksaan neurologis dan skala stroke. Pemeriksaan neurologis terutama
pemeriksaan saraf kranialis, rangsang selaput otak, sistem motorik, sikap dan
cara jalan refleks, koordinasi, sensorik dan fungsi kognitif. Skala stroke yang
dianjurkan saat ini adalah NIHSS (National Institutes of Health Stroke Scale)
(AHA/ASA, Class 1, Level of evidence B).
2. Terapi Umum
a. Stabilisasi Jalan Napas dan Pernapasan
 Pemantauan secara terus menerus terhadap status neutologis, nadi, tekanan
darah, suhu tubuh, dan Saturasi oksigen dianjurkan dalam 72 jam, pada
pasien dengan defisit neurologis yang nyata (ESO, Class IV, GCP).
 Pemberian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi oksigen <
95% (ESO, Class V, GCP).
 Perbaiki jalan nafas termasuk pemasangan pipa orofaring pada pasien yang
tidak sadar. Berikan bantuan ventilasi pada pasien yang mengalami
penurunan kesadaran atau disfungsi bulbar dengan gangguan jalan napas
(AHA/ASA, Class I, Level of evidence C).
 Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia (AHA/ASA, Class I, Level
of evidence C).
 Pasien stroke iskemik akut yang nonhipoksia tidak mernerlukan terapi
oksigen (AHA/ASA, Class III, Level of evidence B).
 Intubasi ETT (Endo Tracheal Tube) atau LMA (Laryngeal Mask Airway)
diperlukan pada pasien dengan hipoksia (p02 <60 mmHg atau pCO2 >50
mmHg), atau syok, atau pada pasien yang berisiko untuk terjadi aspirasi.

32
 Pipa endotrakeal diusahakan terpasang tidak lebih dari 2 minggu. Jika pipa
terpasang lebih dari 2 rninggu, maka dianjurkan dilakukan trakeostomi.
b. Stabilisasi Hemodinamik
 Berikan cairan kristaloid atau koloid intravena (hindari pernberian cairan
hipotonik seperti glukosa).
 Dianjurkan pemasangan CVC (Central Venous Catheter), dengan tujuan
untuk memantau kecukupan cairan dan sebagai sarana untuk rnemasukkan
cairan dan nutrisi.
 Usahakan CVC 5 -12 mmHg.
 Optimalisasi tekanan darah.
 Bila tekanan darah sistolik <120 mmHg dan cairan sudah mencukupi, maka
obat-obat vasopressor dapat diberikan secara titrasi seperti dopamin dosis
sedang/ tinggi, norepinefrin atau epinefrin dengan target tekanan darah
sistolik berkisar 140 mmHg.
 Pemantauan jantung (cardiac monitoring) harus dilakukan selama 24 jam
pertama setelah serangan stroke iskernik (AHA/ASA, Class I, Level of
evidence B).
 Bila terdapat adanya penyakit jantung kongestif, segera atasi (konsultasi
Kardiologi).
 Hipotensi arterial harus dihindari dan dicari penyebabnya. Hipovolemia
harus dikoreksi dengan larutan salin normal dan aritmia jantung yang
mengakibatkan penurunan curah jantung sekuncup harus dikoreksi
(AHA/ASA, Class I, Level of evidence C).
c. Pemeriksaan Awal Fisik Umum
 Tekanan darah
 Pemeriksaan jantung
 Pemeriksaan neurologi umum awal:
i. Derajat kesadaran

33
ii. Pemeriksaan pupil dan oculomotor
iii. Keparahan hemiparesis
d. Pengendalian Peninggian Tekanan Intrakranial (TIK)
 Pemantauan ketat terhadap penderita dengan risiko edema serebral harus
dilakukan dengan memperhatikan perburukan gejala dan tanda neurologis
pada hari-hari pertama setelah serangan stroke (AHA/ASA, Class I, Level
of evidence B).
 Monitor TIK harus dipasang pada pasien dengan GCS <9 dan penderita
yang mengalami penurunan kesadaran karena kenaikan TIK (AHA/ASA,
Class V, Level of evidence C).
 Sasaran terapi adalah TIK kurang dari 20 mmHg dan CPP >70 mmHg.
 Penatalaksanaan penderita dengan peningkatan tekanan intrakranial
meliputi:
i. Tinggikan posisi kepala 200 – 300
ii. Posisi pasien hendaklah menghindari tekanan vena jugular
iii. Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik
iv. Hindari hipertermia
v. Jaga normovolernia
vi. Osmoterapi atas indikasi:
o Manitol 0.25 - 0.50 gr/kgBB, selama >20 menit, diulangi setiap 4 -
6 jam dengan target ≤ 310 mOsrn/L. (AHA/ASA, Class III, Level
of evidence C). Osmolalitas sebaiknya diperiksa 2 kali dalam
sehari selama pemberian osmoterapi.
o Kalau perlu, berikan furosemide dengan dosis inisial 1 mg/kgBB
i.v.
vii. Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35 - 40 mmHg).
Hiperventilasi mungkin diperlukan bila akan dilakukan tindakan
operatif.

34
viii. Paralisis neuromuskular yang dikombinasi dengan sedasi yang adekuat
dapat mengurangi naiknya TIK dengan cara mengurangi naiknya
tekanan intratorakal dan tekanan vena akibat batuk, suction, bucking
ventilator (AHA/ASA, Class III-IV, Level of evidence C). Agen
nondepolarized seperti vencuronium atau pancuronium yang sedikit
berefek pada histamine dan blok pada ganglion lebih baik digunakan
(AHA/ASA, Class III-IV, Level of evidence C). Pasien dengan
kenaikan krtitis TIK sebaiknya diberikan relaksan otot sebelum
suctioning atau lidokain sebagai alternative.
ix. Kortikosteroid tidak direkomendasikan untuk mengatasi edema otak
dan tekanan tinggi intracranial pada stroke iskemik, tetapi dapat
diberikan kalau diyakini tidak ada kontraindikasi. (AHA/ASA, Class
III, Level of evidence A).
x. Drainase ventricular dianjurkan pada hidrosefalus akut akibat stroke
iskemik serebelar (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).
xi. Tindakan bedah dekompresif pada keadaan iskemik sereberal yang
menimbulkan efek masa, merupakan tindakan yang dapat
menyelamatkan nyawa dan memberikan hasil yang baik. (AHA/ASA,
Class I, Level of evidence B).
e. Penanganan Transformasi Hemoragik
Tidak ada anjuran khusus tentang terapi transformasi perdarahan asimptomatik
(AHA/ASA, Class Ib, Level of evidence B). Terapi transformasi perdarahan
simtomatik sama dengan terapi stroke perdarahan, antara lain dengan
memperbaiki perfusi serebral dengan mengendalikan tekanan darah arterial
secara hati-hati.

35
f. Pengendalian Kejang
 Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat intravena 5-20mg dan diikuti
oleh fenitoin, loading dose 15-20 mg/kg bolus dengan kecepatan
maksimum 50 mg/menit.
 Bila kejang belum teratasi, maka perlu dirawat di ICU.
 Pemberian antikonvulsan profilaksis pada penderita stroke iskemik tanpa
kejang tidak dianjurkan (AHA/ASA, Class III, Level of evidence C).
 Pada stroke perdarahan intraserebral, obat antikonvulsan profilaksis dapat
diberikan selama 1 bulan, kemudian diturunkan, dan dihentikan bila tidak
ada kejang selama pengobatan (AHA/ASA, Class V, Level of evidence C).
g. Pengendalian Suhu Tubuh
 Setiap penderita stroke yang disertai demam harus diobati dengan
antipiretika dan diatasi penyebabnya (AHA/ASA, Class I, Level of
evidence C).
 Berikan Asetaminofen 650 mg bila suhu lebih dari 38,5 oC (AHA/ASA
Guideline) atau 37,5 oC (ESO Guideline).3
 Pada pasien febris atau berisiko terjadi infeksi, harus dilakukan kultur dan
hapusan (trakea, darah dan urin) dan diberikan antibiotik. Jika memakai
kateter ventrikuler, analisa cairan serebrospinal harus dilakukan untuk
mendeteksi meningitis.
 Jika didapatkan meningitis, maka segera diikuti terapi antibiotic
(AHA/ASA Guideline).

B. Penatalaksanaan Umum di Ruang Rawat2


1. Cairan
a. Berikan cairan isotonis seperti 0,9% salin dengan tujuan menjaga euvolemi.
Tekanan vena sentral dipertahankan antara 5-12 mmHg.

36
b. Pada umumnya, kebutuhan cairan 30 ml/kgBB/hari (parenteral maupun
enteral).
c. Balans cairan diperhitungkan dengan mengukur produksi urin sehari ditambah
dengan pengeluaran cairan yang tidak dirasakan (produksi urin sehari ditambah
500 ml untuk kehilangan cairan yang tidak tampak dan ditambah lagi 300 ml
per derajat Celcius pada penderita panas).
d. Elektrolit (natrium, kalium, kalsium dan magnesium) harus selalu diperiksa dan
diganti bila terjadi kekurangan sampai tercapai nilai normal.
e. Asidosis dan alkalosis harus dikoreksi sesuai dengan hasil analisa gas darah.
f. Cairan yang hipotonik atau mengandung glukosa hendaklah dihindari kecuali
pada keadaan hipoglikemia.
2. Nutrisi
a. Nutrisi enteral paling lambat sudah harus diberikan dalam 48 jam, nutrisi oral
hanya boleh diberikan setelah hasil tes fungsi menelan baik.
b. Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun makanan, nutrisi
diberikan melalui pipa nasogastrik.
c. Pada keadaan akut, kebutuhan kalori 25-30 kkal/kg/hari dengan komposisi:
 Karbohidrat 30-40 % dari total kalori
 Lemak 20-35 % (pada gangguan nafas dapat lebih tinggi 35-55 %)
 Protein 20-30% (pada keadaan stress kebutuhan protein 1.4-2.0
g/kgBB/hari (pada gangguan fungsi ginjal <0.8 g/kgBB/hari).
d. Apabila kemungkinan pemakaian pipa nasogastrik diperkirakan >6 minggu,
pertimbangkan untuk gastrostomi.
e. Pada keadaan tertentu yaitu pemberian nutrisi enteral tidak memungkinkan,
dukungan nutrisi boleh diberikan secara parenteral.
f. Perhatikan diit pasien yang tidak bertentangan dengan obat-obatan yang
diberikan. Contohnya, hindarkan makanan yang banyak mengandung vitamin
K pada pasien yang mendapat warfarin.

37
3. Pencegahan dan Penanganan Komplikasi
a. Mobilisasi dan penilaian dini untuk mencegah komplikasi subakut (aspirasi,
malnutrisi, pneumonia, thrombosis vena dalam, emboli paru, dekubitus,
komplikasi ortopedi dan kontraktur) perlu dilakukan (AHA/ASA, Level of
evidence B and C).
b. Berikan antibiotika atas indikasi dan usahakan sesuai dengan tes kultur dan
sensitivitas kuman atau minimal terapi empiris sesuai dengan pola kuman
(AHA/ASA, Level of evidence A).1
c. Pencegahan dekubitus dengan mobilisasi terbatas dan atau memakai Kasur
antidekubitus.
d. Pencegahan thrombosis vena dalam dan emboli paru.
e. Pada pasien tertentu yang beresiko menderita thrombosis vena dalam, heparin
subkutan 5000 IU dua kali sehari atau LMWH atau heparinoid perlu diberikan
(AHA/ASA, Level of evidence A).5 Resiko perdarahan sistemik dan
perdarahan intraserebral perlu diperhatikan.6 Pada pasien imobilisasi yang
tidak bias menerima antikoagulan, penggunaan stocking eksternal atau aspirin
direkomendasikan untuk mencegah thrombosis vena dalam. (AHA/ASA, Level
of evidence A and B).
4. Penatalaksanaan Medis Lain
a. Pemantauan kadar glukosa darah sangat diperlukan. Hiperglikemia (kadar
glukosa darah >180 mg/dl) pada stroke akut harus diobati dengan titrasi insulin
(AHA/ASA, Class I, Level of evidence C). Target yang harus dicapai adalah
normoglikemia. Hipoglikemia berat (<50 mg/dl) harus diobati dengan
dekstrosa 40% intravena atau infuse glukosa 10-20%.
b. Jika gelisah lakukan terapi psikologi, kalau perlu berikan minor dan mayor
tranquilizer seperti benzodiazepine short acting atau propofol bisa digunakan.
c. Analgesik dan antimuntah sesuai indikasi.
d. Berikan H2 antagonis, apabila ada indikasi (perdarahan lambung).

38
e. Hati-hati dalam menggerakkan, penyedotan lender, atau memandikan pasien
karena dapat mempengaruhi TIK.
f. Mobilisasi bertahap bila hemodinamik dan pernafasan stabil.
g. Kandung kemih yang penuh dikosongkan, sebaiknya dengan kateterisasi
intermiten.
h. Pemeriksaan penunjang lanjutan seperti pemerikssan laboratorium, MRI,
Dupleks Carotid Sonography, Transcranial Doppler, TTE, TEE, dan lain-lain
sesuai dengan indikasi.
i. Rehabilitasi.
j. Edukasi.
k. Discharge planning (rencana pengelolaan pasien di luar rumah sakit).

C. Penatalaksanaan Tekanan Darah Pada Stroke Akut2


Sebagian besar (70-94%) pasien stroke akut mengalami peningkatan tekanan
darah sistolik >140 mmHg. Penelitian di Indonesia didapatkan kejadian hipertensi pada
pasien stroke akut sekitar 73,9%. Sebesar 22,5- 27,6% diantaranya mengalami
peningkatan tekanan darah sistolik >180 mmHg (BASC: Blood Preassure in Acute
Stroke Collaboration 201; IST: International Stroke Trial 2002.
Banyak studi menunjukkan adanya hubungan berbentuk kurva U (U-shaped
relationship) (U-shaped relationship) antara hipertensi pada stroke akut (iskemik
maupun hemoragik) dengan kematian dan kecacatan. Hubungan tersebut menunjukkan
bahwa tingginya tekanan darah pada level tertentu berkaitan dengan tingginya
kematian dan kecacatan.
Penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut sebagai tindakan rutin
tidak dianjurkan, karena kemungkinan dapat memperburuk keluarga neurologis. Pada
sebagian besar pasien, tekanan darah akan turun dengan sendirinya dalam 24 jam
pertama setelah awitan serangan stroke. Berbagai Gudeline (AHA/ASA 2007 dan ESO
2009) merekomendasikan penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut agar
dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan beberapa kondisi di bawah ini.

39
a. Pada pasien stroke iskemik akut, tekanan darah diturunkan sekitar 15% (sistolik
maupun diastolic) dalam 24 jam pertama setelah awitan apabila tekanan darah
sistolik (TDS) >220 mmHg atau tekanan darah diastolic (TDD) >120 mmHg.
Pada pasien stroke iskemik akut yang akan diberi terapi trombolitik (rtPA),
tekanan darah diturunkan hingga TDS <185 mmHg dan TDD <110 mmHg
(AHA/ASA, Class I, Level of evidence B). Selanjutnya, tekanan darah harus
dipantau hingga TDS <180 mmHg dan TDD <105 mmHg selama 24 jam
setelah pemberian rtPA. Obat antihipertensi yang digunakan adalah labetalol,
nitropaste, nitroprusid, nikardipin, atau diltiazem intravena.
b. Pada pasien stroke perdarahan intraserebral akut (AHA/ASA, Class IIb, Level
of evidence C), apabila TDS >200 mmHg atau Mean Arterial Preassure (MAP)
>150 mmHg, tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat
antihipertensi intravena secara kontinu dengan pemantauan tekanan darah
setiap 5 menit.
c. Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg disertai dengan gejala dan
tanda peningkatan tekanan intracranial, dilakukan pemantauan tekanan
intracranial. Tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat
antihipertensi intravena secara kontinu atau intermiten dengan pemantauan
tekanan perfusi serebral ≥60 mmHg.
d. Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg tanpa disertai gejala dan
tanda peningkatan tekanan intracranial, tekanan darah diturunkan secara hati-
hati dengan menggunakan obat antihipertensi intravena kontinu atau
intermitten dengan pemantauan tekanan darah setiap 15 menit hingga MAP 110
mmHg atau tekanan darah 160/90 mmHg. Pada studi INTERACT 2010,
penurunan TDS hingga 140 mmHg masih diperbolehkan. (AHA/ASA, Class
IIa, Level of evidence B).
e. Pada pasien stroke perdarahan intraserebral dengan TDS 150-220 mmHg,
penurunan tekanan darah dengan cepat hingga TDS 140 mmHg cukup aman

40
(AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B). Setelah kraniotomi, target MAP
adalah 100mmHg.
f. Penanganan nyeri termasuk upaya penting dalam penurunan tekanan darah
pada penderita stroke perdarahan intraserebral.
g. Pemakaian obat antihipertensi parenteral golongan penyekat beta (labetalol dan
esmolol), penyekat kanal kalsium (nikardipin dan diltiazem) intravena,
digunakan dalam upaya diatas.
h. Hidralasin dan nitroprusid sebaiknya tidak digunakan karena mengakibatkan
peningkatan tekanan intracranial, meskipun bukan kontraindikasi mutlak.
i. Pada perdarahan subaraknoid (PSA) aneurismal, tekanan darah harus dipantau
dan dikendalikan bersama pemantauan tekanan perfusi serebral untuk
mencegah resiko terjadinya stroke iskemik sesudah PSA serta perdarahan ulang
(AHA/ASA, Class I, Level of evidence B). Untuk mencegah terjadinya
perdarahan subaraknoid berulang, pada pasien stroke perdarahan subaraknoid
akut, tekanan darah diturunkan hingga TDS 140-160 mmHg. Sedangkan TDS
160-180 mmHg sering digunakan sebagai target TDS dalam mencegah resiko
terjadinya vasospasme, namun hal ini bersifat individual, tergantung pada usia
pasien, berat ringannya kemungkinan vasospasme dan komorbiditas
kardiovaskular.
j. Calcium Channel Blocker (nimodipin) telah diakui dalam berbagai panduan
penatalaksanaan PSA karena dapat memperbaiki keluaran fungsional pasien
apabila vasospasme serebral telah terjadi. Pandangan akhir-akhir ini
menyatakan bahwa hal ini terkait dengan efek neuroprotektif dari nimodipin.
k. Terapi hiperdinamik dengan ekspansi volume, dan induksi hipertensi dapat
dilakukan dalam penatalaksanaan vasospasme serebral pada PSA aneurismal
(AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B), tetapi target rentang tekanan darah
belum jelas.
l. Penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat dipertimbangkan hingga lebih
rendah dari target di atas pada kondisi tertentu yang mengancam target organ

41
lainnya, misalnya diseksi aorta, infark miokard akut, edema paru, gagal ginjal
akut dan ensefalopati hipertensif. Target penurunan tersebut adalah 15-25%
pada jam pertama, dan TDS 160/90 mmHg dalam 6 jam pertama.

D. Penatalaksanaan Stroke Iskemik2


1. Pengobatan terhadap hipertensi pada stroke akut
2. Pemberian obat yang dapat menyebabkan hipertensi tidak direkomendasikan
diberikan pada kebanyakan pasien stroke iskemik (AHA/ASA, Level of
evidence A).
3. Pengobatan terhadap hipoglikemia atau hiperglikemia
4. Strategi untuk memperbaiki aliran darah dengan mengubah reologik darah
secara karakteristik dengan meningkatkan tekanan perfusi tidak
direkomendasikan (grade A).
5. Pemberian terapi trombolisis pada stroke akut
6. Pemberian antikoagulan
a. Antikoagulasi yang urgent dengan tujuan mencegah timbulnya stroke ulang
awal, menghentikan perburukan deficit neurologi, atau memperbaiki
keluaran setelah stroke iskemik akut tidak direkomendasikan sebagai
pengobatan untuk pasien dengan stroke iskemik akut (AHA/ASA, Class III,
Level of evidence A).
b. Antikoagulasi urgent tidak drekomendasikan pada penderita dengan stroke
akut sedang sampai berat karena meningkatnya risiko komplikasi
perdarahan intracranial (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A).
c. Inisiasi pemberian terapi antikoagulan dlam jangka waktu 24 jam
bersamaan dengan pemberian intravena rtPA tidak direkomendasikan
(AHA/ASA, Class III, Level of evidence B).
d. Secara umum, pemberian heparin, LMWH atau heparinoid setelah stroke
iskemik akut tidak bermanfaat. Namun, beberapa ahli masih
merekomendasikan heparin dosis penuh pada penderita stroke iskemik akut

42
dengan risiko tinggi terjadi reembolisasi, diseksi arteri atau stenosis berat
arteri karotis sebelum pembedahan. Kontraindikasi pemberian heparin juga
termasuk infark besar >50%, hipertensi yang tidak dapat terkontrol, dan
perubahan mikrovaskuler otak yang luas.
7. Pemberian antiplatelet
a. Pemberian Aspirin dengan dosis awal 325 mg dlam 24 sampai 48 jam
setelah awitan stroke dianjurkan untuk seiap stroke iskemik akut
(AHA/ASA, Class I, Level of evidence A).
b. Aspirin tidak boleh digunakan sebagai pengganti tindakan intervensi akut
pada stroke, seperti pemberian rtPA intravena (AHA/ASA, Class III, Level
of evidence B).
c. Jika direncanakan pemberian trombolitik, aspirin jangan diberikan
(AHA/ASA, Class III, Level of evidence A).
d. Penggunaan aspirin sebagai adjunctive therapy dalam 24 jam setelah
pemberian obat trombolitik tidak dierkomendasikan (AHA/ASA, Class III,
Level of evidence A).
e. Pemberian klopidrogel saja, atau kombinasi dengan aspirin, pada stroke
iskemik akut, tidak dianjurkan (AHA/ASA, Class III, Level of evidence C),
kecuali pada pasien dengan indikasi spesifik, misalnya angina pectoris tidak
stabil, non-Q-wave MI, atau recent stenting, pengobatan harus diberikan
sampai 9 bulan setelah kejadian (AHA/ASA, Class I, Level of evidence A).
f. Pemberian antiplatelets intravena yang menghambat reseptor glikoprotein
IIb/IIIa tidak dianjurkan (AHA/ASA, Class III, Level of evidence B).
8. Hemodilusi dengan atau tanpa venaseksi dan ekspansi volume tidak dianjurkan
dalam terapi stroke iskemik akut (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A).
9. Pemakaian vasodilator seperti pentoksifilin tidak dianjurkan dalam terapi
stroke iskemik akut (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A).
10. Dalam keadaan tertentu, vasopressor terkadang digunakan untuk memperbaiki
aliran darah ke otak (cerebral blood flow). Pada keadaan tersebut, pemantauan

43
kondisi neurologis dan jantung harus dilakukan secara ketat. (AHA/ASA, Class
III, Level of evidence B).
11. Tindakan endarterektomi carotid pada stroke iskemik akut akut dapat
mengakibatkan risiko serius dan keluaran yang tidak menyenangkan. Tindakan
endovascular belum menunjukkan hasil yang bermanfaat, sehingga tidak
dianjurkan (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidence C).
12. Pemakaian obat-obatan neuroprotektor belum menunjukkan hasil yang efekif,
sehingga sampai saat ini belum dianjurkan (AHA/ASA, Class III, Level of
evidence A). Namun, citicolin sampai saat ini masih memberikan manfaat pada
stroke akut. Penggunaan citicolin pada stroke iskemik akut dengan dosis
2x1000 mg intravena 3 hari dan dilanjutkan dengan oral 2x1000 mg selama 3
minggu dilakukan dalam penelitian ICTUS (International Citicholin Trial in
Acute Stroke, ongoing). Selain itu, pada penelitian yang dilakukan oleh
PERDOSSI secara multisenter, pemberian Plasmin oral 3x500 mg pada 66
pasien di 6 rumah sakit pendidikan di Indonesia menunjukkan efek positif pada
penderita stroke akut berupa perbaikan motoric, score MRS dan Barthel index.
13. Cerebral venous sinus thrombosis (CVST)
Diagnosa CVST tetap sulit. Faktor risiko yang mendasari baru diketahui
sebesar 80%. Beberapa faktor risiko sering dijumpai bersamaan. Penelitian The
International Study On Cerebral Vein And Dural Sinus Thrombosis (ISCVT)
mendapatkan 10 faktor risiko terbanyak, antara lain kontrasepsi oral (54,3%),
trombofilia (34,1%), masa nifas (13,8%), infeksi dapat berupa infeksi SSP,
infeksi organ-organ wajah, dan infeksi lainnya (12,3%), gangguan hematologi
seperti anemia, trombositemia, polisitemia (12%), obat-obatan (7,5%),
keganasan (7,4%), kehamilan (6,3%), presipitasi mekanik termasuk cedera
kepala (4,5%), dan vaskulitis (3%). Penatalaksanaan CVST diberikan secara
komprehensif, yaitu dengan terapi antitrombotik, terapi simptomatik, dan terapi
penyakit dasar. Pemberian terapi UFH atau LMWH direkomendasikan untuk
diberikan, walaupun terdapat infark hemoragik (AHA/ASA, Class IIa, Level of

44
evidence B). Terapi dilanjutkan dengan antikoagulan oral diberikan selama 3-
6 bulan, diikuti dengan terapi antiplatelet (AHA/ASA, Class IIa, Level of
evidence C).

E. Terapi Spesifik Stroke Akut2


Prosedur Aplikasi Pemberian Terapi Trombolisis rTPA pada Stroke Iskemik Akut.
Rekomendasi pengobatan stroke didasarkan pada perbedaan antara keuntungan
dan kerugian dalam tatalaksana yang diberikan. Fibrinolitik dengan rTPA secara umum
memberikan keuntungan reperfusi dari lisisnya trombus dan perbaikan sel serebral
yang bermakna. Pemberian fibrinolitik merupakan rekomendasi yang kuat diberikan
sesegera mungkin setelah diagnosis stroke iskemik akut ditegakkan (awitan 3 jam pada
pemberian intravena dalam 6 jam pemberian intraarterial).
1. Kriteria inklusi
a. Usia > 18 tahun
b. Diagnosis klinis stroke dengan defisit neurologis yang jelas
c. Awitan dapat ditentukan secara jelas (<3 jam, AHA guideline 2007 atau
<4,5 jam, ESO 2009)
d. Tidak ada bukti perdarahan intrakranial dari CT-Scan
e. Pasien atau keluarga mengerti dan menerima keuntungan dan resiko yang
mungkin timbul dan harus ada persetujuan secara tertulis dari penderita atau
keluarga untuk dilakukan terapi rTPA
2. Kriteria eksklusi
a. Usia>80 tahun
b. Defisit neurologi yang ringan dan cepat membaik atau perburukan defisit
neurologi yang berat
c. Gambaran perdarahan intrakranial pada CT Scan
d. Riwayat trauma kepala atau stroke dalam 3 bulan terakhir
e. Infark multilobar (gambaran hipodens > 1/3 hemisfer serebri
f. Kejang pada saat onset stroke

45
g. Kejang dengan gejala sisa kelainan neurologis post iktal
h. Riwayat stroke atau cedera kepala berat dalam 3 bulan sebelumnya
i. Perdarahan aktif atau trauma akut (fraktur) pada pemeriksaan fisik
j. Riwayat pembedahan mayor atau trauma berat dalam 2 minggu sebelumnya
k. Riwayat perdarahan gastrointestinal atau traktus urinarius dalam 3 minggu
sebelumnya
l. Tekanan darah sistolik > 185 mmHg, diastolik >110 mmHg
m. Glukosa darah <50 mg/dl atau > 400 mg/dl
n. Gejala perdarahan subarachnoid
o. Pungsi arteri pada tempat yang tidak dapat dikompresi atau pungsi lumbal
dalam 1 minggu sebelumnya
p. Jumlah platelet <100.000/mm3
q. Mendapat terapi heparin dalam 48 jam yang berhubungan dengan
peningkatan aPTT
r. Gambaran klinis adanya perikarditis pascainfark miokard
s. Infark miokard dalam 3 bulan sebelumnya
t. Wanita hamil
u. Tidak sedang mengkonsumsi antikoagulan oral atau bila sedang dalam
terapi antikoagulan hendaklah INR < 1,7.
3. Golden hour untuk rencana pemberian rTPA (< 60 menit)
a. Pasien tiba di IGD dengan diagnosis stroke
b. Evaluasi dan pemeriksaan pasien oleh triage (termasuk anamnesis,
permintaan laboratorium dan menilai NIHSS) waktu < 10 menit
c. Didiskusikan oleh tim stroke (termasuk keputusan dilakukan pemberian
rTPA) waktu < 15 menit
d. Dilakukan pemeriksaan CT Scan kepala, waktu <25 menit
e. Hasil pemeriksaan CT-Scan kepala dan laboratorium, waktu < 45 menit
f. Pemberian rTPA (bila pasien memenuhi kriteria inklusi), waktu < 60 menit

46
4. Protokol penggunaan rTPA intravena
a. Infus Rtpa 0,9 mg/kg (maksimum 90 mg) dalam 60 menit dengan 10% dosis
diberikan sebagai bolus dalam 1 menit
b. Masukkkan pasien ke ICU atau unit stroke untuk pemantauan
c. Lakukan penilaian neurologi setiap 15 menit selama pemberian infus dalam
setiap 30 menit setelahnya selama 6 jam berikutnya, kemudian tiap jam
hingga 24 jam setelah terapi
d. Bila terdapat nyeri kepala berat, hipertensi akut, mual, atau muntah,
hentikan infus (bila rTPA sedang dimasukkan) dan lakukan CT Scan segera
e. Ukur tekanan darah setiap 15 menit selama 2 jam pertama dan setaip 30
menit selama 6 jam berikutnya, dan kemudian setiap jam hingga 24 jam
setelah terapi
f. Naikkan frekuensi pengukuran tekanan darah bila tekanan darah sistolik >
180 mmHg atau bila diastolik > 105 mmHg; berikan medikasi antihipertensi
untuk mempertahankan tekanan darah pada level ini atau level dibawahnya
g. Tunda pemasangan pipa nasogastrik, kateter urin atau kateter tekanan
intraarterial
h. Lakukan CT Scan untuk follow up dalam 24 jam sebelum pemberian
antikoagulan atau antiplatelet

47
DAFTAR PUSTAKA

1. Setyopranoto, I. Stroke: Gejala dan Penatalaksanaan. CDK 185/Vol.38


no.4/Mei-Juni. 2011.
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Guideline stroke tahun 2011.
Bagian Ilmu Penyakit Saraf RSUD Arifin Achmad Pekanbaru. 2011.
3. Machfoed, Hasan et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Saraf. Surabaya: Airlangga
University Press. 2011.
4. B.M. Gund, et all. Stroke: A Brain Attack. IOSR Journal of Pharmacy. Volume
3, Issue 8 Pp 01-23. 2013.
5. Adam HP, et all. Classification of Subtype of Acute Ischemic Stroke. Available
from http://stroke.ahajournals.org. 2012.
6. Jan, S. Trombosis of Cerebral Vein and Sinuses. N Engl J Med. 352:1791-8.
2005.
7. Alireza Atri. Ischemic Stroke: Pathophysiology and Principles of Localization,
vol. 13. 2009.
8. Mardjono M. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat. Jakarta; p29-31. 2008.

48

Anda mungkin juga menyukai