Kasus:
Tn MS usia 60 tahun seorang pensiunan PNS sudah 5 bulan mengeluh lemah, mual-muntah, rasa sakit
di seluruh badan. Keluhan-keluhan tersebut tidak ditanggapinya secara serius, hingga suatu saat dia tiba-
tiba tidak sadarkan diri akibat gangguannya. Oleh keluarganya dia dibawa ke unit gawat darurat di RS,
hasil diagnose dokter setelah beberapa hari di RS menunjukkan bahwa dia mengalami Gagal Ginjal
Kronik tahap akhir dan harus menjalani hemodialisis rutin.
Riwayat penyakit :
Diabetes mellitus selama 10 tahun terakhir
Hipertensi
Hiperkolesterol
Pemeriksaan gas darah
Pemeriksaan fisik pH = 5,35
BB : 75 kg pCO2 = 50 mmHg
TB : 168 cm pO2 = 120 mmHg
TD : 160 / 110 mmHg HCO3 = 15 mEq/L
Pemeriksaan urin
Proteinuria = 320 mg/hari protein
Soal :
Selesaikan kasus di atas dengan metode SOAP, FARM atau PAM !
Pemeriksaan fisik
BB : 75 kg
TB : 168 cm
TD : 160 / 110 mmHg
Pemeriksaan urin
Proteinuria = 320 mg/hari protein
Pemeriksaan laboratorium
GFR = 12 mL/menit/1,73 m2 (n <15ml) CRD/CKD
Sr Cr = 10 mg/L
BUN = 43 mg/dL ( n 10-20mg/100 ml) CRD/CKD
Glukosa puasa = 200 mg/dL (n 80-100) DM tipe II
Trigliserida = 165 mg/dL (n <150) Hiper TG
LDL kolesterol = 170 mg/dL (n<100) Hiperkolesteremia
Kolesterol total = 210 mg/dL ( n<200)
Asam urat = 9 mg/dL (n p<8,5)
Hb = 11 g/dL (nP 14-18)
Hct = 36%
Na+ = 148 mEq/L (n darah 135-145)
K+ = 6 mEq/L (n darah 3,5 – 5 ) Hiperkalimia
Ca = 6,0 mg/dL ( n 9-11 ) Hipocalsimia
Fosfat = 7,5 mg/dL ( n 2,5 – 4,5 mg/dl) hiperfosfatemia
iPTH = 150 ng/mL (n 10-70 pg/ml)
Assesment :
1. Metformin dan insulin digunakan terapi kombinasi karena gula darah tidak terkontrol GDS 200
mg/dl. Ditambah dengan obesitas IMT .26,7 .hanya saja dosis metformin harus dikurangi 1 X500
mg karena sudah menggunakan kombinasi insulin .
2. Penderita hipertensi yang tidak cukup terkontrol jika hanya menggunakan anti hipertensi tunggal
amlodipin (CCB) akan sangat menguntungkan dengan pemberian amlodipin yang
dikombinasikan dengan diuretik thiazida, (furosemid). Diuretik bekerja dengan meningkatkan
ekskresi natrium, klorida dan air, sehingga mengurangi volume plasma dan cairan ekstrasel,
sehingga tekanan darah menurun.
3. Pasien mengalami hiperlipidemia dengan TG dan LDL lebih dari normal maka fenofibrat
pilihan obat untuk diindikasikan untuk hiperkolestrolemia dan hipertrigliseridemia yang
menurunkan regulasi apoprotein C dan menaikkan regulasi apoliprotein a-1, protein transport
asam lemak, dan lipoprotein lipase menghasilkan peningkatan VLDL katabolisme, oksidasi asam
lemak, dan eliminasi partikel trigliserid . Ranitidin dibutuhkan untuk mengatasi gangguan GI
pada penggunaan fenofibrat
4. Menurunnya fungsi ginjal membawa dampak pada berkurangnya hormon yang mengatur
penyerapan kalsium dan vitamin D yang dibutuhkan tulang. Proses dialisis yang membuang
elektrolit terlarut dalam cairan tubuh ikut memperburuk kondisi tulang. Karena tubuh yang
kekurangan kalsium ( CaCO3) akan mencuri kalsium dari tulang. Hal ini pada akhirnya dapat
mengakibatkan suatu komplikasi serius pada pasien gagal ginjal. Yaitu kerapuhan tulang yang
juga dikenal dengan istilah osteodistrofi. Kalsitriol merupakan bentuk bioaktif vitamin D yang
membantu penyerapan calcium pada tulang .Kalsitriol berperan penting pada demineralisasi
tulang.
5. Hiperkalemia terjadi karena penurunan ekskresi potasium akibat terganggunya fungsi ginjal
diberlakukan terapi jangka panjang untuk mencegah hiperkalemia dan diresepkan kation resin
pengganti.Salah satu kation resin pengganti yang ada adalah calcium exchange resin. calcium
polystyrene sulfonate Efek Pemakaian Calsium Polystyrene Sulphonate untuk Menurunkan
Hiperkalemia pada Penderita yang Belum dan Sudah Menjalani Hemodialisis. Dalam presentasi
tersebut beliau menerangkan prinsip penatalaksanaan hiperkalemia. Penatalaksanaan
hiperkalemia meliputi tiga prinsip, yaitu stabilisasi membran sel untuk mencegah gangguan
irama jantung yang mematikan (pemberian kalsium atau larutan natrium hipertonis),
meningkatkan asupan kalium ke dalam sel (pemberian glukosa dan insulin, NaHCO3, b2- adre-
nergic agonis), dan meningkatkan pengeluaran kalium dari tubuh (hemodialisis atau peritoneal
dialisis, diuretik, dan cation exchange resin
Kelenjar paratiroid menghasilkan hormon parathormon (PTH). PTH berperan
meningkatkan kadar kalsium darah dan menurunkan kadar pospat darah. Mekanisme pengaturan
kadar kalsium darah oleh PTH, Kalsitonin, dan vitamin D adalah sbb.
Kasus
Tn LS, umur 61 tahun melakukan pemeriksaan ke klinik dengan keluhan badan terasa llemah, mual, dan
beberapa kali muntah. Tn LS sudah menderita gangguan ginjal selama 2 tahun, akhir-akhir ini sangat
mudah terasa capai dalam melakukan aktivitas. Di samping itu Tn LS juga mengalami gangguan
osteoarthritis.
Riwayat penyakit
DM tipe 2 (selama 15 tahun)
Hipertensi (selama 10 tahun)
Diagnosa
Gagal Ginjal Kronik stage 3 dan osteoarthritis
Pemeriksaan gas darah
Pemeriksaan fisik
pH = 5,35
BB : 75 kg
pCO2 = 50 mmHg
TB : 168 cm
pO2 = 120 mmHg
TD : 145 / 90 mmHg
HCO3 = 15 mEq/L
Pemeriksaan urin
Terapi
Proteinuria = 320 mg/hari protein
Insulin 3 X 4 U
Pemeriksaan laboratorium
Metformin 3 X 500 mg
GFR = 42 mL/menit/1,73 m2
Amlodipin 1 X 5 mg
Sr Cr = 2,5 mg/L
Furosemid 2 X 40 mg
BUN = 30 mg/dL
Fenofibrat 1 X 100 mg
Glukosa puasa = 200 mg/dL
Ranitidin 2 X 300 mg
Trigliserida = 165 mg/dL
Kalsitriol 1 X 0,25 µ
LDL kolesterol = 170 mg/dL
Ketosteril 1 X 600 mg
Kolesterol total = 210 mg/dL
Kalitake (kalsium polistirena sulfonat) 3 X 15 g
Asam urat 7,5 mg/dL
CaCO3 3X 500 mg
Hb = 11 g/dL
Suplemen Fe 1 X 1 tablet
Hct = 36%
Asam folat 1 X 1 tablet
Na+ = 148 mEq/L
Vitamin B kompleks 1 X 1 tablet
K+ = 6 mEq/L
Allopurinol 3 X 100 mg
Ca = 7 mg/dL
Meloxicam 1 X 15 mg (jika perlu)
Fosfat = 9 mg/dL
Injeksi triamsinolon asetat 1 X 40 mg (tiap bulan)
iPTH = 200 ng/mL
Soal
Identifikasi DRP (Drug Related Problem) pada kasus di atas dan bahas !
1. Subjektif :
LS 61 thn , lemah mual muntah GGK 2 tahun <.capai dan osteoatritis
2. Objektif
Pemeriksaan fisik
BB : 75 kg
TB : 168 cm
TD : 145 / 90 mmHg
Pemeriksaan urin
Proteinuria = 320 mg/hari protein
Pemeriksaan laboratorium
GFR = 42 mL/menit/1,73 m2 ( n 15 ml/menit/1,73 m2)
Sr Cr = 2,5 mg/L (n p 07-1,2 mg/L)
BUN = 30 mg/dL (n 10-20 mg/dl)
Glukosa puasa = 200 mg/dL (n,80-100 mg/dl)
Trigliserida = 165 mg/dL (n <150 mg/dl)
LDL kolesterol = 170 mg/dL (n <100 mg/dl)
Kolesterol total = 210 mg/dL (n< 200 mg/dl)
Asam urat 7,5 mg/dL (n p < 8,5
Hb = 11 g/dL
Hct = 36%
Na+ = 148 mEq/L
K+ = 6 mEq/L
Ca = 7 mg/dL
Fosfat = 9 mg/dL
iPTH = 200 ng/mL
KASUS DM
Kasus :
Nn MS 35 tahun menderita epilepsi jenis tonik klonik sejak umur 13 th. Dia pernah mengalami
kecelakaan lalu lintas 2 th yang lalu. Serangan epilepsi terutama muncul bersamaan saat menstruasi dan
kejang berulang selama 2 sampai 3 hari selama menstruasi dan berlangsung 7 – 8 kali setiap periode. Di
samping itu dari hasil pemeriksaan psikiatri, Nn MS juga mengalami gangguan schizophrenia.
Riwayat penyakit :
Umur 3 th menderita demam tinggi
DM tipe 1
Hiperkolesterolemia
Riwayat pengobatan :
Sejak umur 3 – 13 th mendapat terapi fenobarbital untuk mengobati epilepsinya. Kemudian diganti
dengan karbamazepin. Pengobatan karbamazepin kemudian dihentikan karena serangan kejang belum
teratasi. Sejak saat ini mendapat terapi kombinasi topiramat dan sodium valproat.
Soal :
Selesaikan kasus tersebut di atas dengan metode SOAP, FARM atau PAM.
Topiramate (Topamax) adalah antikonvulsi generasi kedua. Obat ini sering digunakan dengan
antikonvulsan lain untuk mengobati kejang parsial dan kejang tonik-klonik pada orang dewasa dan
anak-anak yang berusia 2 sampai 16 tahun.Topiramate dapat menyebabkan masalah berbicara, gangguan
memori, sulit berkonsentrasi, kelelahan, dan hilangnya nafsu makan.
Reaksi atau efek samping berat yang mungkin muncul termasuk diantaranya adalah batu ginjal, pikiran
bunuh diri, pankreatitis, anemia, dan emboli paru.
SODIUM VALPROATEa merupakan drug yang baik dan berguna dengan aktiviti
antiepileptik yang luas.
Rawatan untuk sawan menyeluruh atau sawan separa, terutamanya dengan diikuti
oleh corak seizur seperti berikut; absence, mioklonik, tonik-klonik, atonik dan seizur
campuran.
Ia juga boleh digunakan untuk merawat epilepsi separa mudah/ kompleks seizur,
seizur menyeluruh sekunder dan sindrom spesifik.
Mekanisme Tindakan :
Dos :
Kasus :
JP, laki-laki (56 th), 85 kg, TB = 160 cm, dibawa ke UGD RS setelah tiba-tiba duduk terkulai ketika
sedang memimpin rapat di kantornya. Dia mengalami kejang sesaat sebelum jatuh terkulai. Kejangnya
hanya sekitar 5 detik, kemudian tidak sadar kurang lebih 10 menit. Setelah sadar, dia tidak bisa bicara.
Ketika diberi minum, tidak bisa menelan. Tangan sebelah kiri tidak bisa digerakkan.
Pengobatan :
Piracetam 4 X 1 g (injeksi)
Brainact 2 X 500 mg (injeksi)
Kalnex 3 X 500 mg
Kaptopril 3 X 25 mg
Omeprazol 2 X 1 tablet
Na Cl 16 tpm (tetes per menit)
O2 3 L/menit
Asering 16 tpm (tetes per menit)
Lasix 1 X 1 (injeksi)
Noperten 1 X 5 mg
Aprovel 1 X 300 mg
Allopurinol 1 X 100 mg
Simvastatin 1 X 10 mg
Aspilets 2 X 80 mg
Diazepam 2 X 5 mg
Ceftriakson 2 X 1 g (injeksi)
Aspar K 1 X 1 tablet
Bactrim 2 X 1 tablet
Haloperidol 3 X 0,5 mg
Ranitidin 1 X 1 Ampul
Soal:
Selesaikan DRP pada kasus di atas dengan metode SOAP, FARM, atau PAM (pilih salah satu) !
KELOMPOK V
Kasus:
JP, laki-laki (54 th), 85 kg, TB = 160 cm, dibawa ke UGD RS setelah tiba-tiba duduk terkulai ketika
sedang memimpin rapat di kantornya. Dia mengalami kejang sesaat sebelum jatuh terkulai. Kejangnya
hanya sekitar 5 detik, kemudian tidak sadar kurang lebih 10 menit. Setelah sadar, dia tidak bisa bicara.
Ketika diberi minum, tidak bisa menelan. Tangan sebelah kiri tidak bisa digerakkan.
Riwayat pengobatan :
Ipatropium bromida
Aspirin
Asam traneksamat
Heparin
Alteplase
Lasix
Irbesartan
Piracetam
Vitamin E
Ranitidin
Identifikasi DRP pada kasus di atas dengan metode SOAP, FARM atau PAM !
1. Subjek
JP, laki-laki (54 th), 85 kg, TB = 160 cm, dibawa ke UGD RS setelah tiba-tiba duduk terkulai
ketika sedang memimpin rapat di kantornya. Dia mengalami kejang sesaat sebelum jatuh
terkulai. Kejangnya hanya sekitar 5 detik, kemudian tidak sadar kurang lebih 10 menit. Setelah
sadar, dia tidak bisa bicara. Ketika diberi minum, tidak bisa menelan. Tangan sebelah kiri tidak
bisa digerakkan.
2. Objek
Stroke berulang (sudah 3 kali), terakhir pada bulan Juli 2004. Punya riwayat PPOK, pernah
dirawat di RS 4 bulan yang lalu karena eksaserbasi PPOK yang cukup berat. Selain itu memiliki
riwayat hipertensi (TD = 170/100 mmHg), hiperkolestrolemia (kolesterol = 333 mg/dL)
3. Assesment
-Ipatropium bromida PPOK Obat anti-cholinergic seperti (Atrovent) melebarkan saluran-
saluran udara dengan menghalangi receptor-receptor untuk acetylcholine pada otot-otot dari
saluran-saluran udara dan mencegah mereka menyempit. Acetylcholine zat kimia yang
dilepaskan oleh syaraf-syaraf yang melekat pada receptor-receptor pada otot-otot yang
mengelilingi saluran udara menyebabkan otot-otot untuk berkontraksi dan saluran-saluran udara
menyempit
-Aspirin efek anti-trombotik (menghambat aktivasi trombosit) yang merupakan efek yang
sangat berguna sebagai pencegah serangan berulang pada pasien dengan nyeri dada akibat
sumbatan pada arteri koroner jantung, dan juga pada pasien yang sedang mengalami kejadian
nyeri dada akibat sumbatan pada arteri koroner jantung.
-Asam traneksamat merupakan golongan obat anti-fibrinolitik. Obat ini dapat digunakan untuk
menghentikan pendarahan ,dimana es aspirin terjadinya perdarahan spontan dan gangguan GI
-Heparin ,antikoagulan anti pembekuan darah ketika ojp tidak bergerak dalam waktu yang
lama .
-Alteplase tissue plasminogen activator (tPA) telah terbukti dapat menurunkan resiko
kecatatan akibat stroke ischemic.
-Lasix untuk pengobatan hipertensi, enumpukan cairan pada paru-paru akan menyebabkan
pasien sesak nafas dan mengancam jiwa. Cairan di perut akan menyebabkan pembesaran perut
dan sesak nafas karena penekanan ke paru-paru. Cairan yang berlebihan di anggota gerak
mengakibatkan kaki menjadi bengkak. efek sampingnya gangguan mual, muntah, anoreksia,
iritasi mulut dan lambung, diare, dan sembelit., maka digunakan ranitidine untuk mengatasi
keluhan lambung
-Irbesartan, digunakan sendiri atau dalam kombinasi dengan kelas lain agen antihipertensi
dalam pengelolaan hipertensi. Angiotensin II antagonis reseptor, seperti irbesartan, dianggap
salah satu dari beberapa obat antihipertensi yang lebih disukai untuk manajemen awal hipertensi
pada pasien dengan gagal ginjal kronis, diabetes mellitus, dan/atau gagal jantung.
-Piracetam, Piracetam bekerja dengan cara meningkatkan efektifitas dari fungsi telensefalon
otak melalui peningkatan fungsi neurotransmiter kolinergik. Telensefalon inilah yang mengatur
fungsi kognitif pada manusia (memori, kesadaran, belajar dan lain). Fungsi lain dari piracetam
adalah menstimulasi glikolisis oksidatif, meningkatkan konsumsi oksigen pada otak, serta
mempengaruhi pengaturan cerebrovaskular dan juga mempunyai efek antitrombotik. Oleh
karena itu piracetam biasanya digunakan untuk pengobatan stroke , terutama stroke iskemik
Piracetam mempengaruhi aktifitas otak melalui berbagai mekanisme yang berbedaantara lain:
Keterangan:
Tekanan Darah Sistolik; TDD, Tekanan Darah Diastolik
Kepanjangan Obat: ACEi, Angiotensin Converting Enzim Inhibitor; ARB, Angiotensin Reseptor Bloker; BB, Beta Bloker;
CCB, Calcium Chanel Bloker
* Pengobatan berdasarkan pada kategori hipertensi
† Penggunaan obat kombinasi sebagai terapi awal harus digunakan secara hati-hati oleh karena hipotensi ortostatik.
‡ Penanganan pasien hipertensi dengan gagal ginjal atau diabetes harus mencapai nilai target tekanan darah sebesar <130/80
mmHg.
PENTINGNYA MENURUNKAN TEKANAN DARAH
Percobaan klinik memperlihatkan bahwa penanganan tekanan darah dapat memberikan penurunan
insidensi stroke dengan persentase sebesar 35-40%; infark mioakrd, 20-25%; gagal jantung, lebih dari
50%. Diperkirakan bahwa pada pasien dengan hipertensi stage 1 (TDS 140-159 mmHg dan TDD 90-99
mmHg) yang disertai dengan faktor resiko penyakit kardiovaskuler, jika dapat menurunkan tekanan
darahnya sebesar 12 mmHg selama 10 tahun akan mencegah 1 kematian dari setiap 11 pasien yang
diobati. Pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler atau kerusakan organ, hanya 9 pasien yang
diketahui melakukan pengontrolan tekanan darah dalam mencegah kematian.
Hipertensi merupakan diagnosis primer yang paling sering ditemukan di Amerika (35 juta di
semua tempat praktek sebagai diagnosis primer). Kelajuan pengontrolan tekanan darah saat ini (TDS
<140 mmHg, dan TDD <90 mmHg), dulunya meningkat, nilainya masih dibawah dari target pencapaian
masyarakat sehat 2010 yakni sebesar 50%, 30% masih tidak didiagnosis sebagai penderita hipertensi
oleh karena pasien tidak menyadari menderita hipertensi. Pada pasien umunya, pengontrolan tekanan
darah sistolik (TDS) merupakan hal yang lebih penting hubungannya dengan faktor resiko
kardiovakuler dibandingkan tekanan darah diastolik (TDD) kecuali pada pasien lebih muda dari umur
50 tahun. Hal ini disebabkan oleh karena kesulitan pengontrolan TDS umumnya terjadi pada pasien
yang berumur lebih tua. Percobaan klinik terbaru, memperlihatkan pengontrolan tekanan darah efektif
dapat ditemukan pada hampir semua pasien hipertensi, namun kebanyakan mereka menggunakan dua
atau lebih obat kombinasi. Namun ketika dokter gagal dengan modifikasi gaya hidup, dengan dosis
obat-obat antihipertensi yang adekuat, atau dengan kombinasi obat yang sesuai, maka akan
menghasilkan pengontrolan tekanan darah yang tidak adekuat.
PENANGANAN
Sasaran dari publikasi pengobatan antihipertensi adalah untuk mengurangi angka morbiditas dan
mortalitas penyakit kardiovakuler dan ginjal. Sejak sebagian besar orang dengan hipertensi, khususnya
yang berumur > 50 tahun, fokus utama adalah pencapaian TDS target. Tekanan darah target adalah
<140/90 mmHg yang berhubungan dengan penurunan komplikasi penyakit kardiovaskuler. Pada pasien
dengan hipertensi dan diabetes atau panyakit ginjal, target tekanan darahnya adalah <130/80 mmHg.
Untuk pencapaian tekanan darah target di atas, secara umum dapat dilakukan dengan dua cara sebagai
berikut:
2. Terapi Farmakologi
Terdapat beberapa data hasil percobaan klinik yang membuktikan bahwa semua kelas obat
antihipertensi, seperti angiotensin converting enzim inhibitor (ACEI), angiotensin reseptor bloker
(ARB), beta-bloker (BB), kalsium chanel bloker (CCB), dan diuretik jenis tiazide, dapat menurunkan
komplikasi hipertensi yang berupa kerusakan organ target.
Diuretik jenis tiazide telah menjadi dasar pengobatan antihipertensi pada hampir semua hasil
percobaan. Percobaan-percobaan tersebut sesuai dengan percobaan yang telah dipublikasikan baru-baru
ini oleh ALLHAT (Antihipertensive and Lipid Lowering Treatment to Prevent Heart Attack Trial), yang
juga memperlihatkan bahwa diuretik tidak dapat dibandingkan dengan kelas antihipertensi lainnya
dalam pencegahan komplikasi kardiovaskuler. Selain itu, diuretik meningkatkan khasiat penggunaan
regimen obat antihipertensi kombinasi, yang dapat digunakan dalam mencapai tekanan darah target, dan
lebih bermanfaat jika dibandingkan dengan agen obat antihipertensi lainnya. Meskipun demikian,
sebuah pengecualian didapatkan pada percobaan yang telah dilakukan oleh Second Australian National
Blood Pressure yang melaporkan hasil penggunaan obat awal ACEI sedikit lebih baik pada laki-laki
berkulit putih dibandingkan pada pasien yang memulai pengobatannya dengan diuretik.
Obat diuretik jenis tiazide harus digunakan sebagai pengobatan awal pada semua pasien dengan
hipertensi, baik penggunaan secara tunggal maupun secara kombinasi dengan satu kelas antihipertensi
lainnya (ACEI, ARB, BB, CCB) yang memperlihatkan manfaat penggunaannya pada hasil percobaan
random terkontrol. Daftar faktor resiko yang disertai dengan jenis obat antihipertensi sebagai
pengobatan awal dapat dilihat pada tabel 4. Jika salah satu obat tidak dapat ditoleransi atau
kontraindikasi, sedangkan kelas lainnya memperlihatkan khasiat dapat menurunkan resiko
kardiovaskuler, obat yang ditoleransi tersebut harus diganti dengan jenis obat dari kelas berkhasiat
tersebut.
Sebagian besar pasien yang mengidap hipertensi akan membutuhkan dua atau lebih obat
antihipertensi untuk mendapatkan sasaran tekanan darah yang seharusnya. Penambahan obat kedua dari
kelas yang berbeda harus dilakukan ketika penggunaan obat tunggal dengan dosis adekuat gagal
mencapai tekanan darah target. Ketika tekanan darah lebih dari 20/10 mmHg di atas tekanan darah
target, harus dipertimbangkan pemberian terapi dengan dua kelas obat, keduanya bisa dengan resep
yang berbeda atau dalam dosis kombinasi yang telah disatukan (tabel 3). Pemberian obat dengan lebih
dari satu kelas obat dapat meningkatkan kemungkinan pencapaian tekanan darah target pada beberapa
waktu yang tepat, namun harus tetap memperhatikan resiko hipotensi ortostatik utamanya pada pasien
dengan diabetes, disfungsi autonom, dan pada beberapa orang yang berumur lebih tua. Penggunaan
obat-obat generik harus dipertimbangkan untuk mengurangi biaya pengobatan.
Tabel 4. Pedoman Penggunaan Beragam Obat Antihipertensi Pada Pasien Dengan Faktor
Resiko (Penyakit Yang Menyertai)
FAKTOR RESIKO REKOMENDASI OBAT† DASAR PERCOBAAN
INDIKASI (PENYAKIT KLINIK‡
ARB
CCB
ALDO ANT
DIURETIK
ACEI
BB
YANG MENYERTAI)*
KESIMPULAN
Penanganan hipertensi dimulai dengan penentuan klasifikasi pasien berdasarkan nilai tekanan
darah yang didapatkan pada waktu pemeriksaan berlangsung. Pemeriksaan dilakukan dalam kondisi
duduk dengan lengan sejajar jantung serta diverifikasi kembali dengan lengan yang sebelahnya. Seperti
yang telah ditentukan pada tabel 1 sebelumnya, jika pasien termasuk dalam kategori pre-hipertensi,
penanganan yang harus diberikan adalah modifikasi gaya hidup yang meliputi penurunkan berat badan,
diet berdasarkan aturan DASH, diet rendah garam, olahraga yang teratur, serta pembatasan konsumsi
alkohol (tabel 2). Kategori pre-hipertensi tidak memerlukan penatalaksanaan farmakologi. Namun, oleh
karena resiko perkembangan pre-hipertensi menjadi hipertensi cukup tinggi, maka dianjurkan untuk
selalu melaksanakan pemeriksaan tekanan darah secara berkala. Paling tidak dapat melakukan
pemeriksaan setiap dua minggu sekali.
Strategi penanganan hipertensi dengan modifikasi gaya hidup tidak hanya dilakukan untuk
kategori pre-hipertensi. Hal ini juga dilakukan untuk kategori tingkat lanjut yakni hipertensi stage 1 dan
hipertensi stage 2, oleh karena hipertensi merupakan penyakit degeneratif yang muncul akibat perilaku
gaya hidup yang salah. Saat seseorang yang telah melakukan modifikasi gaya hidup namun tekanan
darahnya tidak sesuai dengan tekanan darah target (<140/90 mmHg, untuk yang rentan dengan penyakit
kardiovaskuler; dan <130/80 mmHg, untuk yang rentan dengan diabetes, dan penyakit ginjal), maka
sudah seharusnya dipertimbangkan pemberian terapi farmakologi. Ketentuannya adalah untuk pasien
dengan kategori hipertensi stage 1 (140-159/90-99 mmHg) yang tanpa penyakit penyerta, diberikan obat
tunggal diuretik jenis tiazide dengan dosis awal yang paling rendah (tabel 3). Namun, jika sampai pada
dosis maksimal tidak terdapat perubahan, maka harus dipertimbangkan pemberian kombinasi obat
antihipertensi dari kelas lainnya (ACEI, BB, ARB, CCB, dan Aldo Ant). Selanjutnya untuk pasien
dengan hipertensi stage 2 (>160/100 mmHg) tanpa penyakit penyerta, harus diberikan dua obat
kombinasi sebagai obat awal, dimana diuretik jenis tiazide tetap sebagai obat dasar yang ditambahkan
dengan obat antihipertensi dari kelas lainnya. Ketentuan berbeda juga berlaku pada pasien hipertensi
dengan penyakit penyerta. Untuk penanganannya tergantung pada jenis penyakit penyerta yang diderita.
Deskripsi pilihan obat yang tepat untuk penyakit penyerta spesifik dapat dilihat pada tabel 4.
Pengobatan hipertensi dilakukan dengan tujuan untuk mencapai tekanan darah target. Sekali obat
antihipertensi digunakan, selanjutnya sangat diperlukan pemeriksaan rutin untuk menilai perkembangan
pengobatan yang dilakukan. Pemeriksaan rutin dilakukan paling tidak sebulan sekali, dan kunjungan
akan lebih sering pada pasien dengan hipertensi stage 2 atau pasien dengan penyakit penyerta. Jika
pasien telah mencapai tekanan darah target, follow up dapat dilakukan dalam interval 3-6 bulan sekali.
Namun, jika tekanan darah target tidak dapat tercapai dengan penggunaan obat dosis optimal dan
kombinasi beberapa obat yang sesuai, dipertimbangkan untuk berkonsultasi dengan spesialis.