Anda di halaman 1dari 18

Sudahkah Hijab Anda Halal?

(Komodifikasi Agama melalui label halal pada hijab Zoya)

Disusun oleh:

Azuma Prastutisari Mariela (135120201111075)

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016
ABSTRAK

Tulisan ini membahas mengenai komodifikasi agama melalui label halal yang
dilakukan oleh produk hijab Zoya. Adanya sertifikat halal yang diberikan pada hijab Zoya
telah memunculkan pro dan kontra di masyarakat mengingat selama ini label halal lebih
banyak digunakan pada produk pangan, obat, maupun kosmetik. Fenomena ini menarik
perhatian untuk diungkap lebih lanjut. Penelitian mengenai label halal sebelumnya pernah
dilakukan oleh Wilson di mana ia berusaha mengungkap perilaku konsumen terhadap produk
halal. Pada penelitian ini, penulis berusaha mengungkap sisi lain dari label halal di mana
terdapat komodifikasi agama yang dilakukan melalui niai tersebut. Metode analisis yang
digunakan penulis adalah semiotika Roland Barthes.

Keywords: Komodifikasi Agama, Zoya

PENDAHULUAN

Agama menurut Radwan (2008, h.4179) merupakan sistem keyakinan atau pandangan
yang mengatur baik kehidupan manusia ataupun jagad raya secara keseluruhan berdasarkan
perintah Tuhan. Sedangkan Koentjaraningrat (dalam Wijaya, 2014) berpendapat bahwa
agama merupakan unsur kebudayaan yang memiliki wujud sebagai sistem keyakinan,
gagasan-gagasan tentang Tuhan, sekaligus memiliki wujud sebagai benda-benda suci dan
benda-bendar religius. Berdasarkan dua pendapat di atas dapat diketahui bahwa agama
merupakan sistem keyakinan yang mengatur kehidupan manusia berdasarkan perintah Tuhan.

Terdapat beragam agama di seluruh dunia yang menjadi identitas bagi suatu idividu.
Identitas sendiri merupakan konstruksi sosial yang menghubungkan “emosi” dalam diri
seseorang dengan suatu hal yang bersifat diskursif di luar orang tersebut sehingga identitas
mampu menjadi representasi yang membedakan orang satu dengan orang lain [ CITATION
Chr04 \l 1033 ]. Barker juga menyatakan bahwa identitas merupakan inti sari yang ditandai
melalui beragam simbol dari rasa, kepercayaan, sikap, dan gaya hidup (Barker, 2004, h.24).
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa suatu agama sebagai identitas memiliki simbol-
simbol tertentu yang membedakannya dengan agama lain.

Islam merupakan salah satu agama universal yang terus berkembang. Jumlah umat
muslim di seluruh dunia berkisar 22,43% dari total jumlah penduduk dunia [ CITATION
Her14 \l 1033 ]. Dapat dikatakan bahwa agama Islam telah menjadi identitas bagi kurang
lebih 22,43% umat di dunia dan tentu saja terdapat simbol-simbol khusus yang membedakan

1|Sudahkah hijab Anda halal?


umat muslim dengan umat agama lain. Menurut Nöth (1990, h.115) “simbol dalam arti luas
merupakan sinonim dari sign (tanda)”. Tanda sendiri merupakan berbagai macam hal –
warna, gesture, objek, rumus matematika, dan lain-lain – yang bersandar pada sesuatu
daripada dirinya sendiri. [ CITATION Mar04 \l 1033 ]. Islam sebagai sebuah identitas
memiliki beragam signs (tanda) khusus seperti penggunaan hijab bagi wanita, penggunaan
kata “assalamualaikum” sebagai salam, penggunaan label “halal”, dan lain sebagainya.

Indonesia merupakan salah satu negara dengan populasi muslim terbanyak se-dunia.
“Berdasarkan hasil sensus BPS tahun 2010, jumlah penduduk muslim di Indonesia mencapai
87% dari populasi 237 juta jiwa” (Kusumawati, Budiwaspada, & Saidi, 2016, h.96). Tiga
dekade terakhir, banyak kaum muslim Indonesia yang mulai menunjukkan identitas ke-
islamannya. Hal ini selaras dengan semakin banyaknya simbol religius Islam yang semakin
berkembang terhadap gaya hidup masyarakat [ CITATION Has09 \l 1033 ]. Salah satu simbol
yang mudah dijumpai adalah label halal.

Halal sendiri konsep yang menyatakan apakah apakah suatu produk diperbolehkan
untuk dikonsumsi atau tidak berdasarkan dengan hukum Islam (Ireland & Rajabzadeh, 2011;
Rahman, Asrarhaghighi, & Rahman, 2016; Rezai, Mohamed, & Shamsudin, 2012). Di
Indonesia sertifikat halal diberikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) kepada produsen
yang mendaftarkan produknya. Umumnya label halal digunakan untuk produk pangan, obat,
dan kosmetik [CITATION BBC16 \l 1033 ]. Halal pada produk pangan atau restoran akan
merujuk pada apakah makanan yang disajikan telah sesuai dengan syariat Islam [ CITATION
Gök10 \l 1033 ]. Begitu pula dengan produk obat dan kosmetik. Penggunaan label halal akan
merujuk pada penggunaan bahan material produk akhir. Namun yang terbaru, label halal
tidak hanya digunakan pada produk pangan, obat, atau kosmetik namun juga dipakai pada
produk gunaan seperti hijab. Sayangnya penggunaan label halal pada hijab tersebut malah
menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.

Pada bulan Februari 2016 yang lalu, Indonesia dihebohkan dengan label halal pada
salah satu brand hijab kelas menengah di Indonesia, yaitu Zoya. Brand tersebut mengaku
merupakan brand hijab pertama yang mendapat sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia
(MUI) [ CITATION BBC16 \l 1033 ].

2|Sudahkah hijab Anda halal?


Gambar 1. Pengakuan Zoya sebagai hijab
dengan sertifikat halal pertama (sumber:
dailymoslem)

Sigit Endroyono selaku Creative Director Shafco menuturkan bahwa klasifikasi halal
dan haram hijab Zoya terletak pada kain. Apakah kain yang digunakan menggunakan
emulsifier yang halal karena beberapa kain menggunakan emulsifier hewan dan tidak
menutup kemungkinan dari hewan yang diharamkan oleh Islam [ CITATION Ist16 \l 1033 ]:

“Kerudung halal adalah kerudung yang menggunakan fabric/kain halal dalam arti kain tersebut pada
saat proses pencucian menggunakan bahan textile (emulsifier) dari bahan alami/ tumbuhan sedangkan
untuk kain non halal menggunakan bahan textile (emulsifier) dari bahan non halal (gelatin babi),” ujar
Sigit [ CITATION Ist16 \l 1033 ].

Namun kemunculan label halal ini malah menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.
Ada yang menilai bahwa penggunaan label halal pada hijab terlalu berlebihan, seperti yang
dikatakan akun @azzukhruuf dalam twitternya:

Gambar 2. Respon terhadap hijab halal Zoya


(sumber: BBC)
Adanya fenomena label halal pada hijab ini justru menampakkan adanya
kecenderungan pertukaran kepentingan antara simbol agama dengan nilai ekonomis semata.

3|Sudahkah hijab Anda halal?


Simbol agama Islam, dalam hal ini label halal dijadikan sebuah instrument untuk menarik
keuntungan besar dari target pasar. Adanya perubahan nilai ini dikenal pula dengan sebutan
komodifikasi. “Komodifikasi adalah proses perubahan dari nilai guna menjadi nilai tukar
yang dilakukan oleh kalangan kapitalis dengan cara mengubah objek, kualitas, dan tanda-
tanda menjadi komoditas di mana komoditas merupakan item yang dapat diperjualbelikan di
pasar” [ CITATION Nur141 \l 1033 ].

Berdasarkan paparan di atas, penulis tertarik untuk mengungkap komodifikasi agama


melalui label halal pada brand hijab Zoya? Sebelumnya peneliltian mengenai label halal
pernah dilakukan oleh Jon Wilson dengan judul “The Challenges of Islamic Branding:
Navigating Emotions and Halal”. Tujuan dari penelitian Wilson ini adalah memahami
perilaku konsumen terhadap konsep halal pada suatu produk (Wilson, 2011, h.28). Jika
dikaitkan dengan penelitian yang dilakukan penulis maka terdapat kesamaan objek penelitian
terhadap label halal. Namun perbedaan pada penelitian sebelumnya adalah, penulis di sini
lebih berfokus pada adanya komodifikasi label halal pada brand hijab yang tidak bisa
terlepas dengan proses pemaknaan suatu simbol.

TINJAUAN PUSTAKA

Komodifikasi Agama

Sariyatna (dalam Malik & Batubara, 2014, h.101) berpendapat bahwa komodifikasi
berasal dari kata “komoditi” yang berarti barang atau jasa yang bernilai ekonomi dan
“modifikasi” yang berarti perubahan fungsi atau bentuk sesuatu sehingga komodifikasi dapat
diartikan sebagai perubahan nilai maupun fungsi dari suatu barang maupun jasa menjadi
komoditi (barang yang bernilai ekonomi). Sedangkan Karl Marx mengemukakan bahwa
komodifikasi merupakan proses pertukaran dari nilai guna ke nilai tukar [ CITATION
Jon10 \l 1033 ]. Berdasarkan penjelasan di atas dapat didefinisikan bahwa komodifikasi
merupakan transformasi nilai guna suatu barang menjadi nilai yang bisa dipertukarkan untuk
mendapatkan keuntungan ekonomis.

Lalu seperti apakah komodifikasi agama? Fakhrouji menjelaskan bahwa komodifikasi


agama merupakan transformasi nilai guna agama yang pada mulanya sebagai pedoman hidup
dan sumber nilai-nilai normatif yang berlandaskan pada keyakinan ketuhanan yang menjadi
nilai tukar, dengan menggunakan fungsi-fungsinya disesuaikan dengan kebutuhan manusia
atas agama (Malik & Batubara, 2014, h.101). Pendapat lain muncul dari Lukens-Bull bahwa

4|Sudahkah hijab Anda halal?


komodifikasi agama tak lain adalah menjual ideologi seperti halnya menjual produk
[ CITATION Has09 \l 1033 ]. Jadi komodifikasi agama dapat dipahami sebagai transformasi
nilai guna agama menjadi nilai tukar yang diperjualbelikan.

Konsep Halal dalam Produk

Halal merupakan salah satu kata dari bahasa Arab yang memiliki arti “diizinkan” atau
sah menurut hukum (Rahman, Asrarhaghighi, & Rahman, 2016, h.149). Halal sendiri
merupakan konsep dari agama Islam yang menyatakan apakah suatu produk sesuai dengan
standar atau hukum agama (Ireland & Rajabzadeh, 2011; Rezai, Mohamed, & Shamsudin,
2012).

Konsep halal sering digunakan untuk merujuk pada produk pangan. Makanan yang
dapat dikatakan halal antara lain berasal dari kategori makanan yang dapat diterima oleh
agama Islam, aman dan tidak berbahaya ketika dipersiapkan. Makanan yang diperbolehkan
oleh agama meliputi dagung, ayam, ikan, dan sebagian besar seafood. Susu dan telur yang
berasal dari hewan-hewan yang dapat diterima (oleh agama) diperbolehkan untuk
dikonsumsi. Buah-buahan dan sayuran. Selain itu hewan juga harus disembelih menggunakan
teknis Islam (Zabiha) yang membunuh tanpa rasa sakit karena manusia bertanggungjawab
untuk meminimalisir rasa sakit hewan ketika disembelih (Ireland & Rajabzadeh, 2011,
h.276).

Di agama Islam selain konsep halal juga dikenal konsep haram yang merupakan
kebalikan dari halal. Alam dan Sayuti menyebutkan bahwa konsep haram berarti dilarang
atau hal yang melanggar hukum agama [ CITATION Azm16 \l 1033 ]. Makanan yang haram
sendiri antara lain babi dan seluruh produk olahannya, darah, alcohol dan semua jenis
minuman keras. Selain itu hewan karnivora dengan gigi taring, burung dengan cakar yang
tajam, hewan darat tanpa telinga luar (umumnya reptil dan amfibi), daging bangkai, dan
makanan yang ditujukan untuk berhala serta semua serangga (kecuali belalang) merupakan
jenis makanan yang dilarang oleh agama Islam atau disebut haram (Ireland & Rajabzadeh,
2011, h.276).

Namun perlu digarisbawahi bahwa halal tidak hanya berfokus pada makanan tetapi
juga terhadap hal-hal lain yang dikonsumsi seperti obat, kosmetik, dan pelayanan yang
meliputi keuangan, investasi, dan bisnis (Rahman, Asrarhaghighi, & Rahman, 2016, h.149).
Umumnya pada produk di luar makanan seperti toiletries (perlengkapan mandi), obat atau

5|Sudahkah hijab Anda halal?


kosmetik, isu mengenai penggunaan enzim dari babi atau alcohol sering menerpa dan
menjadi perhatian bagi muslim yang mencari produk halal [ CITATION Azm16 \l 1033 ].
Beberapa umat muslim sangat peka dan menghindari obat, kosmetik, atau toilteties yang
berbahan dasar bahan-bahan haram. Seperti yang dikatakan salah seorang wirausahawan
terhadap kosmetik halal, “well apabila hal tersebut tidak diperbolehkan untuk saya makan,
lalu mengapa harus saya gunakan pada wajah saya?” (Ireland & Rajabzadeh, 2011, h.276).

Oleh karenanya untuk melindungi konsumen dari barang-barang haram, umumnya di


negara-negara muslim memiliki sistem akreditasi halal yang menguntungkan tidak hanya
untuk umat muslim tapi juga non-muslim [ CITATION Rez12 \l 1033 ]. Di Indonesia sendiri
badan yang mengatur sertifikat ini adalah LPPOM Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Hal menarik dari penelitian sebelumnya mengenai konsep halal adalah [ CITATION
Azm16 \l 1033 ]:

1. Orang-orang yang menggunakan produk halal memiliki kecenderungan loyalitas yang


tinggi terhadap brand halal yang tidak mungkin berdampak terhadap penurunan
ekonomi.
2. Non-muslim juga membeli produk halal karena adanya persepsi bahwa produk halal
lebih aman daripada produk non-halal.
3. Konsumen non muslim melihat logo halal sebagai adanya pengakuan dan jaminan
terhadap produk yang dibeli.

Semiotika Roland Barthes

Roland Barthes merupakan tokoh yang dikenal sebagai salah satu pemikir strukturalis
yang mepraktikkan model linguistik dan semiologi Saussure. Barthes berpendapat bahwa
sistem tanda mencerminkan asumsi-asumsi suatu masyarakat tertentu (Kusumawati,
Budiwaspada, & Saidi, 2016, h.99).

Menurut Barthes, pembaca (the reader) memiliki peran penting dalam proses
pemaknaan (Kusumawati, Budiwaspada, & Saidi, 2016; Wahyuningsih, 2014). Barthes
sendiri mengembangkan semiotika menjadi dua tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi
dan konotasi. Denotasi merupakan tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda
dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Sedangkan
konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada
makna yang implisit, tidak langsung, dan tidak pasti (Nuryuningsih, 2014, h.24).

6|Sudahkah hijab Anda halal?


Dari peta Barthes terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan
petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda
konotatif(4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material: hanya jika Anda
mengenal tanda “singa”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian
menjadi mungkin. Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna
tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi
keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi
penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotatif
[ CITATION Wah14 \l 1033 ].
Berikut merupakan tabel peta tanda dari Roland Barthes:
Tabel 1. Peta tanda Roland Barthes

Sumber: Kusumawati, Budiwaspada, & Saidi, 2016


Barthes tidak sebatas memahami penandaan pada konteks denotasi dan konotasi. Ia
juga melihat aspek lain dari penandaan, yaitu mitos (myth) yang menandai suatu masyarakat.
Istilah lain yang dipergunakan oleh Barthes untuk ideologi. Mitologi ini merupakan level
tertinggi dalam penelitian sebuah teks, dan merupakan rangkaian mitos yang hidup dalam
sebuah kebudayaan. Mitos merupakan hal yang penting karena tidak hanya berfungsi sebagai
pernyataan (charter) bagi kelompok yang menyatakan, tetapi merupakan kunci pembuka
bagaimana pikiran manusia dalam sebuah kebudayaan bekerja (Wahyuningsih, 2014, h. 175).
Seperti Marx, Barthes juga memahami ideologi sebagai kesadaran palsu yang
membuat orang hidup dalam dunia yang imajiner dan ideal, meskipun realitas hidup yang
sesungguhnya tidak demikian. Ideologi ada selama kebudayaan ada. Itulah sebabnya Barthes
berbicara tentang konotasi sebagai suatu ekspresi budaya. Kebudayaan mewujudkan dirinya
di dalam teks-teks. Dengan demikian ideologi pun mewujudkan dirinya melalui berbagai
kode yang merembes masuk ke dalam teks dalam bentuk penanda-penanda penting seperti
tokoh, latar, dan sudut pandang (Kusumawati, Budiwaspada, & Saidi, 2016, h.100).

METODE ANALISIS

7|Sudahkah hijab Anda halal?


Pada penelitian ini analisis semiotika Roland Barthes digunakan oleh penulis untuk
mengidentifikasi makna label halal pada hijab Zoya. Bagaimana makna denotatif halal
berubah menjadi makna konotatif yang menciptakan pemaknaan baru di masyarakat. Tahap
pertama penelitian ini mengidentifikasi elemen-elemen, antara lain penandan (signifier) dan
petanda (signifier), serta denotasi dan konotasi. Pada tahap kedua, penanda konotatif dan
petanda konotatif diidentifikasi untuk menemukan mitos dan ideologi yang terkandung dalam
teks halal pada hijab Zoya (Kusumawati, Budiwaspada, & Saidi, 2016, h. 97).

PEMBAHASAN

Dalam mengungkap komodifikasi label halal pada hijab Zoya, peneliti mengkaji dua
objek, yaitu baliho produk Zoya yang menghebohkan netizen pada bulan Februari 2016 dan
iklan produk Zoya yang baru saja dirilis pada bulan Juni 2016.

Komodifikasi pada Baliho Zoya

Gambar baliho di atas merupakan baliho yang ramai diperbincangkan netizen karena
adanya kesan komodifikasi agama. Dalam kacamata semiotika Barthes, dari segi denotasi,
pada baliho tersebut terdapat penanda (signifier) berupa tulisan “Yakin hijab yang kita
gunakan halal?” Tulisan hijab lebih tebal daripada tulisan lain sehingga lebih mudah
ditangkap oleh mata. Selain itu simbol tanda tanya (?) juga berukuran lebih besar daripada
huruf lain sehingga menarik mata. Pada baliho tersebut terdapat logo Zoya di bagian kiri
bawah dan logo MUI di bagian kanan bawah. Berdasarkan penanda tersebut maka akan
muncul sebuah pemaknaan yang bersifat denotatif di mana komunikan bertanya kepada
masyarakat “apakah masyarakat sudah yakin bahwa hijab yang digunakan halal?”

Pada baliho di atas, tanda-tanda yang memiliki penekanan khusus antara lain hijab,
tanda tanya (?), Zoya, dan logo MUI. Konotasi dari hijab sendiri merupakan penutup aurat

8|Sudahkah hijab Anda halal?


bagi wanita muslim. Kemudian konotasi dari Zoya adalah produk hijab kelas menengah.
Konotasi dari logo MUI adalah syariat Islam karena menjadi lembaga yang memberikan
sertifikat halal kepada produsen. Sedangkan tanda (?) berukuran besar memiliki kesan
penegasan dari statement di atas maupun makna implisit yang muncul. Dari empat item tanda
yang memiliki penebalan tersebut memunculkan sebuah konotasi bahwa di luar sana terdapat
banyak hijab yang tidak halal atau biasa disebut haram karena Zoya mempertanyakan
kembali ke masyarakat apakah hijab yang selama ini beredar bersifat halal. Pemaknaan
tersebut berada pada tingkat kedua penanda (signifier) yang menjadi kode bagi tingkat kedua
petanda (signified).

Menurut Kusumawati, Budiwaspada, & Saidi (2016, h.102) teks dapat memunculkan
berbagai pemahaman sesuai dengan pemikiran seseorang. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya pemahaman denotatif bekerja pada tataran pemaknaan tingkat pertama (first
order). Pada tataran penandaan kedua (Second order) akan memunculkan konotasi dan mitos.
Tingkat kedua penanda (signifier) akan menghasilkan konotasi, sedangkan tingkat kedua
petanda (signified) akan menghasilkan mitos (Adityawan, 2008, h.38).

Konotasi yang terbentuk pada baliho di atas, kemudian memunculkan sebuah


pemaknaan baru yang disebut dengan mitos. Mitos pada baliho tersebut adalah Zoya sebagai
produsen dengan sertifikat hijab halal pertama dengan pasti menawarkan hijab yang sesuai
dengan syariat Islam di tengah adanya hijab haram yang berkembang di masyarakat. Maka
pemaknaan ini pada akhirnya memunculkan adanya kepentingan bisnis bagi Zoya karena ia
menjadi satu-satunya hijab yang pasti halal di masyarakat. Maka secara tidak langsung
apabila wanita muslim ingin benar-benar menjalankan perintah Tuhan dengan menggunakan
barang-barang yang halal, maka belilah Zoya sebagai penutup aurat yang pasti halal.

Berdasarkan proses pemaknaan di atas maka telah terjadi komodifikasi agama melalui
label halal pada hijab Zoya. Komodifikasi agama sendiri merupakan transformasi nilai-nilai
agama menjadi nilai tukar komoditas untuk meraup keuntungan. Dalam hal ini nilai-nilai
dalam agama dijual seperti menjual produk [ CITATION Has09 \l 1033 ]. Label halal sendiri
di dalam agama berfungsi sebagai petanda apakah produk yang dikonsumsi telah sesuai
dengan syariat agama Islam. Namun pada baliho ini Zoya telah menjual nilai dari label halal
tersebut mengingat Zoya merupakan satu-satunya produsen dengan sertifikat hijab halal.
Komodifikasi ini memang menguntungkan mengingat bahwa konsumen yang mengonsumsi
produk halal cenderung loyal untuk membeli produk dengan brand halal [ CITATION

9|Sudahkah hijab Anda halal?


Azm16 \l 1033 ]. Maka dapat dikatakan bahwa brand halal pada hijab Zoya akan mampu
menarik loyalitas tinggi dari konsumen tersebut.

Namun mitos yang berusaha ditanam Zoya menunjukkan respon yang negatif.
Terdapat pihak yang mempertanyakan kembali apakah memang benar bahwa terdapat
penggunaan unsur babi dalam proses pembuatan kain. Menurut Ikhsan selaku Ketua
Indonesia Halal Watch, hal tersebut harus didasarkan pada penelitian yang teruji validitasnya
[ CITATION Sri16 \l 1033 ] sehingga tidak menimbulkan keresehan di masyarakat.

Komodifikasi Iklan Youtube Zoya

Iklan Zoya Cantik Nyaman Halal pertama kali dirilis di youtube pada 6 Juni 2016.

Kajian Denotasi. Pada pembukaan iklan menampakkan hijab berwarna pink yang
terkena angin di mana di bagian depan terdapat tulisan “Hijab Zoya mempersembahkan”.
Kemudian muncul tulisan “pengalaman pertama”.

Scene pertama menampakkan tiga brand ambassador Zoya yang sedang duduk santai.
Ketiga brand ambassador ini menggunakan baju dengan warna-warna cerah. Pada scene ini
menampilkan majalah “Hijab Zoya” dengan cover depan Dhini Aminarti sekaligus tab yang
berisi tulisan “tren hijab”.

Scene berikutnya brand ambassador Dhini Aminarti nampak sedang bercerita kepada
brand ambassador yang lain yaitu Indah Nevertari dan Zee-zee Shahab tentang

10 | S u d a h k a h h i j a b A n d a h a l a l ?
pengalamannya berhijab pertama kali. “Waktu pertama kali aku berhijab, semua orang bilang
kamu cantik … banget,”ucap Dhini dengan shoot dekat. Scene ini menampilkan wajah Dhini
secara close up dengan mata terutup yang menunjukkan bulu mata lentik, eyesehadow
berwarna ungu, dan hijab berwarna biru.

Kemudian Zee-zee Shahab dengan hijab biru abu-abu menimpali, “suamiku bilang
auraku bercahaya.” Pada saat Zee-zee Shahab mengatakan mengenai auranya yang
bercahaya, terdapat cahaya yang cukup menyilaukan.

Scene berikutnya menampilkan Indah Nevertari dengan baju polos warna merah, hijab
motif bunga-bunga warna-warni, dan kalung biru yang senada dengan hijabnya. Kemudian ia
berkata, “katanya aku pantes banget”.

Selanjutnya adalah scene yang menampilkan ketiga brand ambassador secara


bergantian dengan close up disertai nama mereka. Diawali dengan Dhini Aminarti, Indah
Nevertari, dan Zee-zee Shahab. Pada scene ini ketiga ambassador berbicara secara
bergantian.

11 | S u d a h k a h h i j a b A n d a h a l a l ?
“Tapi hijab cantik aja gak cukup,” ucap Dhini Aminarti

“Iya dong mesti nyaman dipakainya,”ucap Zee zee.

Scene berikutnya menampilkan Dhini Aminarti yang berkata, “satu lagi …” yang
dilanjutkan oleh Zee zee dengan mengucapkan, ”proses pembuatannya halal!” terdapat
penekanan pada kata halal. Indah Nevertari membalas dengan mengucapkan,
“alhamdulilllah.”

Scene selanjutnya menampilkan Dhini secara close up sambil berkata, “cantik


penting!”. Kemudian shoot beralih ke Indah secara close up yang mengatakan, “nyaman lebih
panting!”. Kemudian shoot beralih ke Zee zee secara close up yang mengatakan, “halal
paling penting!”

Scene terakhir ketiga brand ambassador sama-sama mengucapkan,” Zoya … cantik /


nyaman / halal //” (diikuti dengan tulisan sesuai denngan yang diucapkan) yang menampilkan
ketiga brand ambassador dengan wajah bahagia.

Kajian konotasi - Iklan hijab Zoya menampilkan tiga tokoh wanita berhijab.
Penggunaan hijab mengonotasikan seorang muslimah. Dengan menggunakan hijab pula,
seorang wanita berarti telah menjalankan perintah agama Islam untuk menutup aurat
[ CITATION Kus16 \l 1033 ].

12 | S u d a h k a h h i j a b A n d a h a l a l ?
Dalam iklan ini halal memiliki tanda-tanda yang memiliki penekanan khusus adalah
hijab dengan warna cerah dan bermotif, bulu mata lentik, make up, statement hijab
pentingnya hijab cantik, nyaman, dan halal serta tagline terakhir “Zoya: cantik, nyaman, dan
halal.” Berdasarkan tanda-tanda tersebut, memiliki makna konotasi bahwa apabila wanita
muslimah ingin menjadi wanita yang menjalankan syariat agama namun tetap cantik harus
menggunakan hijab yang cantik, nyaman, dan halal. Namun kehalalan merupakan indikator
paling penting, sehingg cantik itu secara tidak langsung dapat diraih. Indikator hijab itu
sendiri dapat diraih melalui Zoya.

Konotasi yang terbentuk pada iklan di atas, kemudian memunculkan sebuah


pemaknaan baru yang disebut dengan mitos. Mitos pada iklan tersebut adalah kecantikan
seorang muslimah bisa didapatkan melalui hijab yang cantik, nyaman, dan halal. Namun
indikator terpenting adalah kehalalan dan Zoya merupakan satu-satunya produsen dengan
sertifikat hijab halal. Sehingga apabila muslimah ingin cantik seperti brand ambassador di
atas, muslimah bisa membeli hijab Zoya yang pasti memenuhi kriteria tersebut.

Pada iklan ini komodifikasi agama melalui label halal nampak jelas. Brand
ambassador Zee zee menekankan bahwa [ CITATION Sha16 \l 1033 ] halal merupakan
indikator paling penting dalam memilih hijab. Maka di sini ada transformasi label halal di
mana label halal yang berfungsi sebagai penentu apakah suatu produk dapat dikonsumsi
sesuai syariat Islam menjadi label halal yang mampu memberikan kecantikan bagi muslimah.
Kecantikan itu sendiri dapat diraih melalui produk Zoya yang bersertifikat halal.

Komodifikasi Agama dan Zoya

Jika dibandingkan dengan baliho Zoya sebelumnya, maka Zoya pada iklan yang
dirilis pada tanggal 6 Juni 2016 kemarin berusaha melakukan komodifikasi agama dengan
cara yang lebih halus. Pada baliho, Zoya berusaha melakukan komodifikasi agama dengan
menciptakan mitos bahwa terdapat dan mungkin banyak hijab haram di tengah masyarakat
sehingga apabila muslimah ingin menjadi muslimah sejati, belilah produk Zoya yang pasti
halal. Namun pada iklan youtube, Zoya berusaha mengubah mitos dengan menekankan
bahwa kecantikan muslimah salah satunya terletak pada kehalalan hijabnya dan hal tersebut
dapat diraih dengan membeli produk Zoya.

KESIMPULAN

13 | S u d a h k a h h i j a b A n d a h a l a l ?
Berdasarkan hasil analisis di atas mengenai komodifikasi agama pada hijab Zoya
dapat disimpulkan bahwa:

1. Zoya berusaha melakukan komodifikasi agama melalui label halal.


2. Pada iklan baliho, Zoya menciptakan mitos bahwa terdapat hijab haram di masyarakat
sehingga apabila seorang muslimah ingin menjalankan syariat agama dengan
menggunakan produk halal, dapat membeli hijab Zoya (bentuk komodifikasi agama).
3. Pada iklan youtube, Zoya menciptakan mitos bahwa kecantikan muslimah sejati dapat
diraih melalui hijab yang cantik, nyaman dan paling penting halal dan hijab halal
dapat dibeli di Zoya (bentuk komodifikasi agama).

14 | S u d a h k a h h i j a b A n d a h a l a l ?
Daftar Pustaka

Adityawan, A. (2008). Propaganda pemimpin politik Indonesia, mengupas semiotika orde


baru Soeharto. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.

Barker, C. (2004). The SAGE dictionary of cultural studies. London: SAGE Publications Ltd.

BBC. (2016, Februari 3). Perlukah sertifikasi halal untuk hijab? Retrieved Juni 15, 2016,
from BBC:
http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/02/160203_trensosial_hijab_halal

Danesi, M. (2004). Messages, Signs, and Meanings: A basic textbook in semiotics and
communication theory. Toronto: Canadian Scholar's Press Inc.

Gökariksel, B., & McLarney, E. (2010). Introduction muslim women, consumer capitalism
and the islamic culture industry. Journal of Middle East Women's Studies, 6(3), 1-18.

Handayani, S. (2016, Februari 09). Halal watch: Zoya langgar hukum. Retrieved Juni 15,
2016, from Republika:
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/02/09/o2a6cr377-halal-
watch-zoya-langgar-hukum

Hasan, N. (2009). The making of public Islam: Piety, agency, and commodification on the
landscape of the Indonesian public sphere. Cont Islam, 229-250.

Ireland, J., & Rajabzadeh, S. (2011). UAE consumer concerns about halal products. Journal
of Islamic Marketing, 2, 274-283.

Istihong. (2016, Februari 4). Di balik label Halal kerudung Zoya yang menghebohkan.
Retrieved Juni 15, 2016, from Dailymoslem:
http://www.dailymoslem.com/news/dibalik-label-halal-kerudung-zoya-yang-
menghebohkan

Jones, C. (2010). Images of desire: creating virtue and value in an Indonesian Islamic
lifestyle magazine. Journal of Middle East Women's Studies, 6(3), 91-115.

Kusumawati, Y. A., Budiwaspada, A. E., & Saidi, A. I. (2016). Makna kecantikan pada iklan
televisi kosmetik berlabel halal (Studi kasus: Mazaya divine beauty). Jurnal
Sosioteknologi, 15(1), 96-105.

Malik, A., & Batubara, A. (2014). Komodifikasi agama dalam ruang politik di seberang kota
Jambi. Kontekstualita, 29(2), 99-114.

Nöth, W. (1990). Handbook of semiotics. Indianapolis: Indiana University Press.

15 | S u d a h k a h h i j a b A n d a h a l a l ?
Nurhasanah, S. (2014). Komodifikasi agama Islam dalam iklan televisis nasional.
Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Nuryuningsih. (2014). Analisis pendekatan semiotik terhadap fasad bangunan komersial di


Makassar. Makassar: Universitas Hasanuddin.

Radwan, J. (2008). Religion and popular communication. In W. Donsbach, The international


enyclopedia of communication (pp. 4179-4182). MA: Blackwell Publishing Ltd.

Rahman, A. A., Asrarhaghighi, E., & Rahman, S. A. (2016). Consumers and halal cosmetics
products: knowledge, religiosity attitude and intention. Journal of Islamic
Marketinng, 6, 148-163.

Rezai, G., Mohamed, Z., & Shamsudin, M. (2012). Non-Muslim consumers' understanding of
Halal principles in Malaysia. Journal of Islamic Marketing, 3(1), 35-46.

Ruslan, H. (2014, Januari 13). Hari ini, Islam jadi agama terbesar di dunia. Retrieved Juni
16, 2016, from Republika: http://www.republika.co.id/berita/dunia-
islam/hikmah/14/01/13/mzbetu-hari-ini-islam-jadi-agama-terbesar-di-dunia

ShafcoTV. (2016, Juni 6). TVC Zoya cantik nyaman halal 2016. Retrieved Juni 15, 2016,
from Youtube: https://www.youtube.com/watch?v=hlD2no9TnVs

Wahyuningsih, S. (2014). Kearifan budaya lokal Madura sebagai media persuasif. Sosio
Didaktika, 1(2), 171-180.

Wijaya, T. (2014). Representasi spiritualitas Kristen pada arsitektur gereja Kristen Indonesia
Pregolan Bunder Surabaya. Commonline Departemen Komunikasi, 3, 328-342.

Wilson, J. (2011). The challenges of Islam branding: navigating emotions and halal. Journal
of Islamic Marketing, 2(1), 28-42.

16 | S u d a h k a h h i j a b A n d a h a l a l ?
17 | S u d a h k a h h i j a b A n d a h a l a l ?

Anda mungkin juga menyukai