Anda di halaman 1dari 30

Makalah Kelompok

Disusun untuk KONSEP HIJRAH, JIHAD DAN RADIKALISME

memenuhi salah satu tugas makalah pada mata kuliah Pendidikan Agama Islam
Dosen Pengampu : Dr. Rosyida Nurul Anwar, M.Pd.I

Oleh :
Mishbahatul Lailiyah Daeng Lala : 2202101110
Elena Salma Audifa : 2202101226
Yuliana Nur Evita : 2202101229

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PGRI MADIUN
2022
Kata Pengantar
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
menganugerahkan banyak nikmat sehingga kami dapat menyusun makalah ini
dengan baik.
Makalah ini berisi tentang Konsep Hijrah, Jihad, dan Radikalisme.
Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama
Islam. Tujuan makalah ini yaitu untuk menguraikan segala sesuatu yang ada
kaitannya dengan Konsep Hijrah, Jihad, dan Radikalisme.
Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari bahwa hasil makalah ini
masih jauh dari kata sempurna. Sehingga kami selaku penyusun sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca sekalian. Akhir
kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat untuk kami maupun bagi
pembaca.

Madiun, 16 september 2022

Kelompok 7

DAFTAR ISI

ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................................iii
BAB I...................................................................................................................................1
PENDAHULUAN..................................................................................................................1
A. Latar Belakang...........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................................5
C. Tujuan pembahasan...................................................................................................5
BAB II..................................................................................................................................6
Pembahasan.......................................................................................................................6
A. Konsep hijrah, jihad, dan radikalisme........................................................................6
B. Implementasi Hijrah dan Jihad dalam multikonteks................................................10
C. Latar belakang, bentuk, dan dampak radikalisme umat beragama.........................12
D. Gerakan radikalisme di Indonesia............................................................................17
E. Strategi penanggulangan radikalisme umat beragama............................................19
BAB III...............................................................................................................................24
KESIMPULAN....................................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................26

BAB I
PENDAHULUAN

iii
A. Latar Belakang
Berbicara tentang radikalisme tidak hentinya perdebatan mengenai faktor-
faktor yang mendasari pola pikir radikalisme itu bermunculan. Salah satu faktor
yang dimunculkan selama ini adalah dari sudut pandang agama, namun
belakangan ini para pengamat mulai menggolongkan beberapa faktor lain sebagai
penentu dari maraknya kelompok radikalis tersebut. Dari faktor ekonomi, sosial
hingga pada faktor dinamika yang dialami individu itu sendiri, sehingga akan
melahirkan pola-pola dalam instrumen yang baru mengenai sikap radikalisme
tersebut.
Berangkat dari berbagai penelitian yang selama ini dikemukakan dengan
bantuan para pengamat, penulis mencoba mengkajinya dari berberapa sudut
pandang lain mengenai hal ini, yakni dari akar dinamika individu yang mencoba
bernegoisasi dengan kondisi sekitar terhadap keputusan yang mereka ambil
sehingga akan melahirkan berbagai sudut pandang yang mengarah pada sikap
radikalisme. Trend budaya hijrah yang sekarang sedang hangat untuk
didiskusikan, menurut hemat penulis merupakan langkah awal dari sikap
radikalisme, namun bukan bermaksud untuk mendiskriditkan suatu individu
maupun kelompok yang sedang berhijrah, melainkan mencoba untuk melihat dari
pola hingga dampak yang terjadi ketika individu sedang melakukan hijrah.
Hijrah, yang secara bahasa berarti berpindah, digunakan sebagai sebutan
untuk menamai sebuah gerakan yang mengajak kaum muslim, khususnya anak
muda, untuk "berpindah" menjadi pribadi yang lebih baik dengan cara
meningkatkan ketaatan dalam menjalankan syariat agama. Jika diamati lebih
dalam, gerakan hijrah amat populer di kalangan anak muda kelas menengah
perkotaan. Hal ini terjadi karena memang kampanye hijrah paling masif dilakukan
di media sosial, di mana pengguna terbesarnya adalah anak muda kelas menengah
perkotaan. Penyebab lainnya, berhijrah itu butuh biaya besar. Perubahan
penampilan (khususnya bagi perempuan) misalnya, butuh biaya yang tidak
sedikit. Alasan-alasan itulah yang membuat hijrah tidak populer di kalangan
bawah.

iv
Gerakan ini tidak memiliki ketua, koordinator, atau penanggung jawab
utama yang bertugas memastikan gerakan ini berjalan dengan baik. Gerakan
hijrah dilakukan dalam skala lokal di hampir semua kota di Indonesia. Bahkan di
setiap kota pun gerakan ini tidak terpusat pada satu komunitas saja. Puluhan atau
mungkin ratusan, komunitas hijrah di tiap kota, yang antara komunitas satu
dengan yang lain boleh jadi tidak saling mengenal. Yang menjadi pertanyaan
besarnya adalah, mengapa gerakan yang tidak terorganisasi seperti ini bisa
berlangsung dalam skala yang begitu luas dan memiliki dampak yang begitu
besar? Ada dua faktor yang akan saya tawarkan sebagai jawaban di sini.
Pertama, fenomena ini adalah salah satu dampak turunan dari kebijakan
pemerintah di masa lalu. Jika melihat sedikit ke belakang, fenomena ini
sebenarnya tidak mengagetkan. Ariel Heryanto, melalui buku Identitas dan
Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia (2015) menyatakan bahwa telah
terjadi kebangkitan Islamisasi menjelang berakhirnya kekuasaan Orde Baru.
Kelompok Islam yang sebelumnya dianggap sebagai ekstrem kanan, kemudian
dirangkul dan dijadikan sekutu baru pemerintahan Soeharto untuk memperkuat
posisi politiknya yang saat itu tengah melemah. Itulah masa ketika penggunaan
jilbab tidak lagi dilarang, dan kelompok-kelompok Islam mulai menyatakan
aspirasi politiknya secara terbuka tanpa perlu takut ditindas oleh rezim penguasa.
Hijrah, dalam konteks ini, adalah dampak turunan dari kebijakan tersebut.
Kedua, gerakan hijrah adalah gerakan yang disponsori oleh industri. Sudah
bukan rahasia lagi kalau industri mengkomodifikasikan apapun yang bisa
diperjualbelikan, tidak terkecuali dalam hal ketaatan beragama. Sebelum
kampanye hijrah dilakukan secara masif, industri sudah lebih dulu mengkooptasi
ketaatan beragama masyarakat untuk kepentingan komersil. Hal ini bisa kita lihat
dari diproduksinya pakaian dan beragam produk kecantikan seperti sabun,
shampo, serta rias wajah khusus untuk muslimah. Produk-produk kecantikan ini
bahkan sampai mengadakan beragam kontes kecantikan khusus untuk perempuan
muslim berjilbab.terlebih lagi dengan adanya label halal yang mennambah
keyakinan konsumen dalam menggunakan produk tersebut.

v
Maraknya gerakan hijrah pun tidak lepas dari dukungan industri. Aktivitas
kampanye beberapa komunitas hijrah, seperti mengadakan seminar yang
mengundang ustad kondang, juga disokong penuh oleh industri. Tapi, bukan
berarti industri mendominasi keadaan dan pelaku hijrah patuh begitu saja pada
apapun yang menjadi kehendak industri. Bukan juga pelaku hijrah yang
mendominasi situasi, dan industri yang justru didikte untuk menyediakan apapun
yang menjadi kebutuhan pelaku hijrah. Relasi antara pelaku hijrah dan industri
lebih tepat dilihat sebagai hubungan yang dialektis dan saling menguntungkan:
ketaatan menjalankan syariat Islam menemukan perwujudannya dalam sistem
perekonomian yang berorientasi pada industri, dan industri memberikan respons
terhadap fenomena ini sebagai salah satu sumber pendapatan yang akan
menyokong keberlangsungan hidupnya.1
Dewasa ini agaknya tidak ada isu tentang Islam yang sensitif dan sering
dibincangkan dan diperdebatkan selain kalimah jihad. Ia sangat sering
diperbincangkan dalam media massa dan buku-buku akademis, Bahkan
merupakan salah satu konsep Islam yang paling sering disalah fahami, khususnya
oleh kalangan para ahli dan pemikir Barat. Diskursus jihad merupakan bagian dari
wacana dan pembahasan yang terus menarik untuk di teliti.
Jihad merupakan bagian integral wacana Islam sejak masa-masa awal
muslim hingga kontemporer. Pembicaraan tentang jihad dan konsep-konsep yang
dikemukakan sedikit atau banyak mengalami pergeseran dan perubahan sesuai
dengan konteks dan lingkungan masing-masing pemikir. Di dalam Kamus Bahasa
Indonesia jihad diberi makna agak luas dan mengandung beberapa makna.
Pertama, jihad dapat diartikan usaha dengan segala daya upaya untuk mencapai
kebaikan. Kedua, usaha sungguh membela agama Islam dengan mengorbankan
harta benda, jiwa dan raga, Ketiga perang suci melawan orang kafir untuk
mempertahankan agama Islam.
Islam tidak hanya memerintahkan umat Islam untuk menyembah Allah
dengan mendirikan shalat, puasa, membaca doa, membaca tasbih pada siang dan
1
Putra, I. (2022). RADIKALISME DALAM GERAKAN HIJRAH GLOBAL. AL IMARAH:
JURNAL PEMERINTAHAN DAN POLITIK ISLAM, 7(2), 282-299.

vi
malam hari. Islam juga tidak hanya memerintahkan umatnya untuk menyembah
Allah dengan memberikan sebahagian harta sebagai zakat pembersih, dan
menyantuni kaum dhu’fa. Islam mewajibkan jihad ini sebagaimana mewajibkan
jihad sebagaimana mewajibkan shalat, puasa, zakat dengan porsinya yang sama.
Islam juga menjadikan jihad sebagai tanda tanda keimanan terhadap Allah.
Sebagaimana Islam menolak orang orang yang mengira telah beriman tetapi
2
mereka tidak mempersiapkan diri untuk berjihad.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep hijrah, jihad, dan radikalisme ?
2. Bagaimana implementasi hijrah dan jihad dalam multikonteks ?
2
Peran, M. J. H. (2017). Konsep Jihad Menurut Surah As Shaff. Skripsi. Banda Aceh: Prodi
Manajemen Dakwah Fakultas Dakwah Dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Ar Raniry
Darussalam, Banda Aceh.

vii
3. Bagaimana latar belakang, bentuk, dan dampak radikalisme agama ?
4. Bagaimana gerakan radikalisme di Indonesia ?
5. Bagaimana strategi penanggulangan radikalisme umat beragama ?

C. Tujuan pembahasan
1. Untuk mengetahui dan mengemukakan konsep hijrah, jihad, radikalisme
2. Untuk mengetahui dan memahami implementasi hijrah dan jihad dalam
multikonteks
3. Untuk mengetahui dan menganalisi latar belakang, bentuk, dan dampak
radikalisme agama.
4. Untuk mengetahui gerakan radikalisme di Indonesia.
5. Untuk mengetahui dan menerapkan strategi penanggulangan radikalisme umat
beragama.

BAB II
PEMBAHASAN

viii
A. Konsep hijrah, jihad, dan radikalisme
1. Konsep Hijrah
Memaknai hijrah secara luas tidak sebatas terpaku pada pemaknaan
sebagai perubahan perilaku yang sebelumnya tidak atau belum baik menjadi lebih
baik. Hijrah di tinjau secara kebahasaan bebas nilai yaitu makna yang tidak
berorientasi secara khusus dalam pemaknaanya dapat bersifat positif maupun
bersifat negatif. Maka hijrah secara kebahasaan dapat berpotensi memiliki makna
kedua-duanya, yaitu meninggalkan suatu keburukan menuju kebaikan atau
sebaliknya meninggalkan kebaikan. Namun menjadi sebuah istilah keagamaan
memiliki yaitu meninggalkan suatu keburukan, hal ini di latar belakangi dari
peristiwa hijrah nya Nabi Muhammad dari Makkah ke Madināh, dimana peristiwa
tesebut menjadi sebuah momentum penting sebagai simbol dari bangkitnya
peradaban umat islam dari berbagai macam tekanan.
Hijrah merupakan kosakata serapan dari bahasa Arab yang tercatat
menjadi sebuah kata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Setidaknya
terdapat tiga makna dalam KBBI. Pertama, hijrah dimaknai sebagai perpindahan
Nabi Muhammad saw bersama para sahabatnya dari Kota Makkah menuju Kota
Madīnah. Kedua, menyingkir sementara waktu dari satu tempat ke tempat lain
dengan alasan keselamatan, kebaikan, dan sebagainya. Ketiga, perubahan sikap
atau tingkah laku ke arah yang lebih baik.
Hijrah secara bahasa berasal dari bahasa Arab, haajaro - yuhaajiru -
muhajarotan wa hijrotan. Dimana kata ini berasal dari akar kata hajaro -yahjuru –

hajran ( ‫ يَـْح ُجُر‬- ‫َح َجَر‬- ‫ )هجران‬. hajran merupakan lawan kata dari al-wāshal (sampai
atau bersambung). Makna dari hajrān dan hijrānan adalah membiarkan atau terkait
dengan sesuatu meninggalkannya. Secara syar’i hijrah memiliki ragam
pemaknaan yang cukup luas berdasarkan dari berbagai definisi yang disampaikan
oleh para ulama.
Pendapat pertama, yang di kemukakan oleh Ibn Arabī, Ibn Hajar alAswānī
dan Ibn Taimīah. Hijrah di pahami sebagai migrasi kaum muslimin dari negeri
kaum kafir atau dalam kondisi peperangan menuju negeri Muslim (dārul Islam).

ix
Adapun negeri kafir yang dimaksud merupakan negeri yang sebagian besar
kepemimpinanya di kuasai oleh orang kafir sehingga dalam melaksanakan tatanan
pemerintahannya menggunakan hukum-hukum mereka. Dalam hal ini Ibn
Taimīah berpendapat sebuah negeri dapat dikategorikan dārul kufri, dārul iman,
atau dārul fāsik, tidak terletak dari hakikat sebuah negeri tersebut, melainkan sifat
yang mendominasi dari penduduknya.
Ulama-ulama dari kelompok ini berpendapat bahwa hijrah dalam kondisi
seperti disyariatkan terhadap kaum muslimin yang mampu berhijrah. Sedangkan
bagi mereka yang tidak mampu maka terlepas dari kewajiban tersebut. Sesuai
dengan firman Allah.
‫ِااَّل اْلُم ْسَتْض َع ِفْيَن ِم َن الِّر َج اِل َو الِّنَس ۤا ِء َو اْلِو ْلَداِن اَل َيْسَتِط ْيُعْو َن ِح ْيَلًة َّو اَل َيْهَتُد ْو َن َس ِبْيۙاًل‬
“Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang
tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah) (QS. An-
Nisa 4:98)”3

2. Konsep jihad
Dari segi etimologi, kata jihad berasal dari kata juhd yang berarti kekuatan
atau kemampuan, sedangkan makna jihad sendiri adalah perjuangan. Dari
berbagai pendapat mengetengahkan bahwa konsep jihad sendiri dapat di lihat
secara kebahasaan dan secara terminologi, yakni pengertian jihad dalam konsep
hukum Islam baik yang didasarkan pada Al-Quran maupun hadis. Secara
etimologi, kata jihad berasal dari Bahasa Arab, bentuk isim masdar kedua yang
berasal dari jaahada, yujahidu, mujaahadatan dan hihaadan yang artinya "Bekerja
sepenuh hati". Kamus al- Munjid fi Lughah wa al-‘Alam lebih lanjut
menyebutkan lafad jahada al-‘aduwwa, artinya qatalahu muhamatan ‘aniddin yang
artinya "Menyerang musuh dalam rangka membela agama".
Selain itu kata jihad berarti mencurahkan usaha, kemampuan dan tenaga.
Dengan kata yang lain, ia bersungguh sungguh. Lebih lanjut dijelaskan dalam
Kamus Bahasa Indonesia, jihad adalah perang suci, memerangi orang kafir untuk

3
Fairus, M. K. KONSEP HIJRAH DALAM AL-QUR’AN (PERSPEKTIF SEMANTIK TOSHIHIKO
IZUTSU) (Bachelor's thesis).

x
mempertahankan agama Islam, ataupun usaha dengan segala daya upaya untuk
mencapai kebaikan.
Kata jihad juga merupakan sebuah ujian, hal ini sesuai dengan firman
Allah dalam surah Al Imran ayat 142, dimana Allah berfirman :
‫َاْم َح ِس ْبُتْم َاْن َتْدُخ ُلوا اْلَج َّنَة َو َلَّم ا َيْع َلِم ُهّٰللا اَّلِذ ْيَن َج اَهُد ْو ا ِم ْنُك ْم َو َيْع َلَم الّٰص ِبِر ْيَن‬
Artinya: Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, Padahal belum
nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad diantaramu dan belum nyata orang-
orang yang sabar. (surah Al Imran: 142).
Secara terminologi kata jihad adalah mencurahkan kemampuan untuk
membela dan mengalahkan musuh demi menyebarkan Islam. Yusuf Al Qardhawi
juga membagikan jihad tiga tingkatan. Pertama, jihad terhadap tampak. Kedua,
jihad terhadap godaan setan. Dan yang ketiga, jihad melawan hawa nafsu. Para
ulama fiqh pada umumnya mendefinisikan jihad sebagai perang. Sayyid sabiq,
misalnya, dalam bukunya Fiqh sunah mendefinikan jihad sebagai melakukan
usaha dan berupaya sekuat tenaga serta menanggung segala kesulitan dalam
memerangi musuh dan menahan agresfinya.4

3. Konsep Radikalisme
Radikalisme dapat diartikan sebagai sebuah paham atau aliran yang
menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis
dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Makna radikalisme dalam sudut
pandang keagamaan dapat diartikan sebagai paham keagamaan yang mengacu
pada fondasi agama yang sangat mendasar dengan fanatisme keagamaan yang
sangat tinggi, sehingga tidak jarang penganut paham/aliran tersebut menggunakan
kekerasan untuk mengaktualisasikan paham keagamaan yang dianut dan
diyakininya.
Proses yang terjadi dalam radikalisme adalah radikalisasi, yang
didefinisikan sebagai proses personal di mana individu mengadopsi idealisme dan
aspirasi politik, sosial, atau agama secara ekstrim, dimana dalam pencapaian
4
Peran, M. J. H. (2017). Konsep Jihad Menurut Surah As Shaff. Skripsi. Banda Aceh: Prodi
Manajemen Dakwah Fakultas Dakwah Dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Ar Raniry
Darussalam, Banda Aceh.

xi
tujuannya membenarkan penggunaan kekerasan tanpa pandang bulu, sehingga
mempersiapkan dan memotivasi seseorang untuk mencapai perilaku kekerasan.
Terbentuknya radikalisme dicapai melalui proses radikalisasi, dimana terdapat 5
(lima) aspek yang memiliki peranan penting selama proses tersebut berlangsung,
yaitu:
Pertama, proses individu. Radikalisasi dipandang sebagai salah satu
proses pencarian identitas bagi individu (anak muda pada umumnya). Bagi anak
muda, pencarian identitas merupakan bagian dari proses mendefi nisikan
hubungan seseorang dengan dunia. Dinamika interpersonal memerlukan interaksi
interpersonal dengan aktor-aktor lain untuk merangsang dan mempengaruhi
proses pemahaman/pemikiran individu yang menjadi target radikalisme.
Kedua, pengaruh lingkungan. Narasi dan kosa kata politik organisasi
keagamaan yang memiliki pengaruh besar di lingkungan masyarakat dapat
menjadi masukan narasi bagi kelompok-kelompok radikal.
Ketiga, faktor emosi keagamaan. Sentimen keagamaan, termasuk di
dalamnya adalah solidaritas keagamaan untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan
tertentu. Pada konteks ini yang dimaksud dengan emosi keagamaan adalah agama
sebagai pemahaman realitas yang sifatnya interpretatif.
Keempat, faktor ideologis. Ketidakmampuan dalam memposisikan diri
sebagai pesaing dalam budaya dan peradaban, membuat kelompok radikal
menempuh jalur kekerasan untuk menunjukkan keberadaan/hegemoni kebudayaan
mereka. Contoh ideologi anti Westernisme merupakan suatu pemikiran yang
membahayakan bagi kelompok agama tertentu.
Kelima, faktor kebijakan pemerintah. Ketidakmampuan pemerintah untuk
bertindak memperbaiki situasi atas berkembangnya frustasi dan kemarahan akibat
dominasi ideologi, militer maupun ekonomi dari negera-negara besar. Di samping
itu, faktor media massa (pers) asing yang selalu memojokkan agama tertentu juga
menjadi faktor munculnya reaksi dengan kekerasan yang dilakukan oleh
kelompok radikal.
Terdapat 2 (dua) tipe proses radikalisasi yang umum terjadi, pertama
akibat krisis identitas yang diselesaikan dengan pemahaman keyakinan yang

xii
menyatakan kekerasan sebagai solusi, dimana umumnya berakar pada
kekhawatiran tentang kondisi makro seperti integrasi, kebijakan luar negeri,
perkembangan politik, budaya, dan ekonomi global. Sedangkan proses
radikalisasi yang kedua dihasilkan dari dinamika interaksi sosial pada kondisi
mikro yang dipengaruhi oleh media, teman sebaya, pemimpin, anggota keluarga,
atau lingkungan sekitar, sehingga menerima sistem kepercayaan/pemahaman
bahwa sesuatu dapat dan harus dilakukan untuk menghadapi halhal yang menjadi
ancaman terhadap aliran kepercayaan atau pemahaman yang diyakininya.
Munculnya radikalisme keagamaan terjadi akibat hal-hal berikut : 1)
Klaim kebenaran Pemeluk agama meyakini bahwa kitab suci mereka memang
mengajarkan kebenaran monolitik (tunggal), dimana sering terdapat penafsiran
yang menganggap bahwa agama lain adalah tidak benar. 2) Ketaatan “buta”
terhadap pemimpin agama. Fanatisme berlebihan terhadap pemimpin agama,
sehingga perkataan pemimpin agama “dianggap” sebagai kebenaran yang hakiki.5

B. Implementasi Hijrah dan Jihad dalam multikonteks


Telah banyak kontribusi para pemikir untuk meminimalisir gerakan jihad,
dari faktor ketidakmampuan pemerintah dalam mempertahankan status quo,
hingga menyeruaknya ekspansi ideologi yang datang dari luar. Namun
kebanyakan mengorientasikan pemikirannya hanya pada penyampaian (delivery)
pengetahuan saja dan sedikit sekali yang berorientasi untuk menumbuhkan daya
‘imajinasi’ dan kreativitas (Ikhwan, 2013, p. 90). Menurut Albert Einsten,
imajinasi jauh lebih dahsyat dari ilmu pengetahuan. Jika ilmu pengetahuan
memahami realitas berdasarkan kaidah-kaidah tertentu, imajinasi bisa melampaui
kaidah tersebut untuk merekonstruksi pengetahuan dan realitas masa depan
terhadap keberagaman yang selama ini melahirkan konflik. Dalam hal
keberagaman, telah banyak upaya yang telah dilakukan, baik itu dalam bidang
pendidikan seperti yang diajarkan terhadap siswa di bangku sekolah hingga
pengalaman yang ditemui sendiri dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dalam

5
Aziz, A. (2016). Memperkuat kebijakan negara dalam penanggulangan radikalisme di lembaga
pendidikan. Hikmah: Journal of Islamic Studies, 12(1), 29-58.

xiii
keberagaman enam agama (yang diakui Negara) serta 400 an suku bangsa dan
bahasa.
Namun jika melihat pada berbagai peristiwa kekerasan bernuansa agama,
etnis, suku, dan kedaerahan, bahkan peristiwa tawuran antar pelajar yang hampir
setiap hari terjadi, maka mengindikasikan bahwa pengetahuan tentang, dan
pengalaman dalam keberagaman masih belum berpengaruh dalam membentuk
sikap toleran terhadap perbedaan dan keberagaman. Akibatnya, tidak jarang
ekspresi keberagaman di ruang publik dimaknai sebagai bentuk ‘ancaman’
terhadap eksistensi identitas internal kelompok. Hal ini menggambarkan
pengetahuan dan pengalaman keberagaman semata menyentuh kognisi tetapi tidak
bermakna dalam membentuk afeksi, apalagi solidaritas sosial bersama.
Dengan demikian, pelajaran dan pengalaman belum bisa mengantisipasi,
perlu adanya instrumen baru dalam menanggulanginya, yakni dengan imajinasi
social yang dapat menghilangkan batasan identitas tersebut. Dalam masyarakat
yang seperti ini, keberagaman semata mengisi ruang publik tetapi tidak
membuatnya kaya afeksi, empati, dan solidaritas (Cooper, 2004).
Orang-orang dari agama, etnis, suku, dan daerah berbeda bisa saja
menikmati ruang (space) secara bersama seperti di bis kota, pasar, dan tempat
umum lainnya. Tetapi, ruang-ruang tersebut tidak membuat entitas sosial yang
beragam untuk saling bertukar cara pandang dan pemahaman tentang satu sama
lainnya. Mereka hadir di ruang kosmopolitan tetapi tidak saling memperkaya
pemaknaan tentang keberagaman (Fine, 2007), bahkan tidak jarang yang terjadi
justru polarisasi dan penguatan identitas internal yang antagonistic terhadap
identitas lain. Akhirnya gesekan antar-individu dengan mudah bisa mengeskalasi
konflik sosial dalam skala luas dengan mobilisasi identitas agama, etnis, suku, dan
kedaerahan (Braithwaite, Braithwaite, Cookson, & Dunn, 2010).6

C. Latar belakang, bentuk, dan dampak radikalisme umat


beragama
1. Latar belakang
6
Putra, I., & Murtadho, I. (2021). Redifinisi Jihad dalam Berbangsa dan Bernegara. Resolusi:
Jurnal Sosial Politik, 4(1), 1-14.

xiv
Kemunculan kelompok politik radikalisme Islam berkaitan dengan adanya
partai ikhwan al-muslimin pada abad pertengahan dua puluh, mengedepankan
penafsiran al-Quran secara subjektif untuk keselarasan kebutuhan politik partai
menuju tangga kekuasaan.7Gerakan radikalisme ini awalnya muncul sebagai
bentuk perlawanan terhadap komunisme di Indonesia. Selain itu, perlawanan
mereka terhadap penerapan pancasila sebagai asas tunggal dalam politik. Bagi
mereka system demokrasi pancasila itu dianggap haram hukumnya dan
pemerintah di dalamnya adalah kafir.
Ada beberapa organisasi, gerakan, maupun aliran yang bersifat radikal
sesuai dengan cita-cita yang diusung: Pertama, gerakan yang mencita-citakan
didirikannya negara Islam yaitu HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). HTI punya
semangat untuk menyebarluaskan ideologi untuk memberlakukan syariat hukum
Islam yang bersifat universal disebarkan di Indonesia dengan melakukan dakwah
dengan halaqah menjawab persoalan yang ada di masyarakat dengan pemikiran-
pemikiran Islam, sehingga masyarakat sadar bahwa Islam mampu menjawab
semua persoalan mereka, setelah itu baru menuntut dilaksanakannya penerapan
hukum Islam dengan system negara Islam (khilafah).8Kedua, gerakan yang
menginginkan perubahan di masyarakat, menggunakan kekerasan tapi tidak
merencanakan pembunuhan, yaitu FPI. Ketiga, gerakan atau kelompok jihadis,
menggunakan kekerasan dalam agenda perjuangannya akibat ketidakadilan
penguasa terhadap umat Islam, menggunakan strategi bom dan bom bunuh diri,
dan melakukan penyerangan terhadap aparatur negara. Dalam hal ini ialah Jamaah
Islamiyah, JAD, dan ISIS.9
2. Bentuk
Merebaknya Islam phobia dengan pelbagai bentuknya didunia Barat
adalah wujud reaksi atas tindakan-tindakan teror, kekerasan, dan malapetaka
yang ditimbulkan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan agama.

7
Ali Syu’abi dan Gils Kibil, Meluruskan Radikalisme Islam, (Sidoarjo: PT Duta Aksara Mulia,
2010), hal.189
8
Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal, (Jakarta: Erlangga, 2005), hal. 115.
9
Nurul Faiqah dan Toni Pransiska, Radikalisme Islam vs Moderasi Islam, Jurnal Ilmiah
Keislaman, Vol.17, No. 1, Januari-Juni 2018, hal. 44.

xv
Tindakan teror yang dilakukan ISIS dengan korban yang terus berjatuhan
membuat Amerika dan sekutunya seperti Perancis, Jerman, Inggris, dan beberapa
negara Timur Tengah menyatakan perang melawan ISIS. Selama serangan
dilancarkan ke basis ISIS, gelombang imigran dari Timur Tengah ke negara-
negara Barat, seperti Amerika, Jerman, Inggris, dan Prancis semakin diperketat.
Silang pendapat warga Amerika yang mendesak agar Presiden Obama menolak
imigran khususnya yang beragama Islam, membuat sang Presiden galau,
walaupun desakan warga itu tidak sampai memunculkan reaksi berkelanjutan.
Andai saja, aksi itu berlanjut, maka sangat mungkin akan memunculkan
reaksi dari warga Amerika yang beragama Islam khususnya dan Muslim dunia
umumnya. Dalam konteks politik global, dunia akan menghakimi Amerika
sebagai negara yang tidak konsisten dan berdampak negatif terhadap hubungan
mul- tilateral khususnya dengan negara-negara teluk yang mayoritas Muslim dan
kaya minyak. Untungnya Barack Obama tidak terpen- garuh oleh reaksi sebagian
warganya itu, andai ia terpengaruh kemudian mengeluarkan kebijakan yang
melarang imigran Muslim masuk ke negaranya, maka tesis Huntington mengenai
benturan peradaban tahun 1993 bisa jadi menemu bukti yakni masa depan politik
dunia yang akan didominasi oleh konflik antar bangsa yang berbeda peradaban.10
Pada aras ini, konflik tersebut menjadi fenomena kuat menandai
runtuhnya polarisasi ideologi dunia (komunisme dan kapitalisme), bersamaan
dengan itu runtuhnya struktur politik mayoritas negara-negara Eropa Timur.
Penegasan Huntington bahwa negara Barat menemukan seteru yang kemudian
menjadi permanen dengan adanya kolaborasi antara Islam dan konfusianisme.
Kolaborasi tersebut dapat menjadi penantang kekuatan, nilai-nilai, dan
kepentingan Barat. Dengan entitas kultural, menurut Huntington, Islam dan
Konfusianisme bisa merekatkan perpecahan antara keduanya, juga dapat berarti
kerjasama untuk menangkal hegemoni Barat. Keterkaitan antara agama dan
tindakan radikal merupakan isu penting. Kendati umumnya kita menolak
kelompok dan gerakan yang melakukan tindakan kekerasan, sebenarnya

10
Lihat Samuel P. Huntington, Benturan Peradaban dan Masa Depan Politik
Dunia, (Yogyakarta: Qalam, 2010)

xvi
sebagian besar agama dan bangsa mengambil jalan kekerasan dalam per-
juangan, peperangan, dan revolusi mereka yang ligitimate, seperti perang-perang
suci Kristen perang salib, revolusi Prancis, revolusi Amerika, jihad Afganistan,
dan perang terhadap terorisme global.

3. Dampak Radikalisme umat beragama


Radikalisme memberikan dampak destruktif terhadap kehidupan
berbangsa dan bernegara karena munculnya radikalisme merupakan upaya
mengubah tatanan sosial politik yang telah mapan. Beberapa bahaya radikalisme
antara lain adalah sebagai berikut.
1. Menimbulkan kekacauan dan teror
Syarat mutlak bagi perkembangan perekonomian adalah kondisi
pertahanan dan keamanan yang stabil dan terjamin. Munculnya radikalisme dan
terorisme akan menimbulkan kekacauan, keresahan, kerusuhan, dan teror.
Kondisi yang demikian akan sangat merugikan karena akan berdampak langsung
terhadap perekonomian dan kesejahteraan rakyat.
Radikalisme sendiri adalah tindakan yang mencoreng nama baik agama
karena sejatinya tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan dan pembunuhan.
Kelompok radikalis berdalih ingin melakukan pemurnian (purifikasi) agama
dengan memanfaatkan simbol-simbol agama. Selama ini radikalisme dan
terorisme identik dengan agama Islam, terlebih sejak peristiwa tragedi 11
September. Islam sebagai agamarahmatan lil alamin menjadi tercoreng. Cara
berpakaian ala muslim kemudian diidentikkan dengan kelompok radikalis dan
teroris. Image teroris dan radikalis adalah selalu muslim yang menggunakan
atribut atribut agama Islam. Hal ini tentu saja merugikan dan menimbulkan rasa
tidak nyaman bagi umat muslim 34 karena cara berpakaian saja dapat menjadikan
mereka seolah menjadi tertuduh dan sangat memungkinkan terjadinya
diskriminasi terhadap seseorang karena cara berpakaian ala muslim yang
dikenakannya. Hal ini terjadi, misalnya di Amerika yang memang memiliki
trauma pada tragedi 11 September. Di Indonesia sendiri cara berpakaian para
pelaku teror atau orang yang terlibat kasus terorisme rata-rata menunjukkan

xvii
tipikal yang serupa, yaitu bercadar, celana cungklang (diatas mata kaki), dan
memanjangkan jenggot.
2. Mengubah ideologi negara
Radikalisme menyimpan bahaya yang besar karena dapat merusak pikiran
dan mental anak bangsa. Paham radikal seringkali berdiri sebagai paham yang
kontra dengan pemerintah. Pemerintahan yang ada dianggap thogutdan oleh
karenanya tidak patut ditaati dan justru harus dihancurkan. Kaum radikalis
menyebarkan paham bahwa pemerintah adalah instansi yang harus diperangi dan
harus digantikan dengan sistem pemerintahan yang sesuai dengan nilai-nilai
agama.
Hal paling mendasar yang menjadi bahaya dari radikalisme adalah adanya
keinginan kaum radikalis untuk mengubah ideologi negara yang telah mapan dan
memiliki dasar filosofis dengan ideologi yang sesuai dengan pemikiran kelompok
mereka tanpa memperhatikan kepentingan yang lebih besar dan luas. Tidak
peduli apakah ideologi yang mereka usung sesuai dengan kondisi bangsa dan
negara atau tidak, yang terpenting bagi mereka adalah menegakkan ideologi
sesuai dengan yang diyakini merupakan sebuah perjuangan dan perang (jihad)
yang harus ditempuh meskipun dengan jalan kekerasan.
Ideologi negara yang dianut dianggap tidak dapat menyelesaikan
persoalan bangsa dan gagal mengantarkan kepada kesejahteraan sehingga harus
diganti. Dalam hal ini ideologi yang dianggap paling sesuai adalah ideologi
berbasis keagamaan. Glorifikasi ideologi keagamaan didasarkan atas kejayaan
masa pemerintahan zaman Rasulullah yang dianggap ideal dan patut dijadikan
sebagai dasar acuan.
3. Mengakibatkan instabilitas politik/keresahan sosial
Di Indonesia, kelompok Islam garis keras melakukan aksinya secara
diam-diam melalui gerakan bawah tanah. Kelompok yang diindikasikan radikal
diduga menganut paham Salafi Jihadis (AlJamaah al Islamiyah, Tanzhim al
Qaedah, NIIberikut faksifaksinya)(Khammami, 2002). Para pendukung gerakan
radikalisme merupakan pendukung gerakan yang militan dan memiliki
kecenderungan memiliki watak yang keras dan tidak segan-segan melakukan

xviii
tindakan anarkis dan tidak kenal kompromi untuk mencapai tujuan kelompok.
Menjadikan negara memiliki prinsip ideologi sesuai dengan yang mereka yakini
adalah hal yang harus diperjuangkan secara sungguh-sungguh dan totalitas
meskipun dengan tindakan anarkis yang merugikan.
Dalam pergaulan dan interaksi social, mereka yang radikal cenderung
memiliki sikap eksklusivisme(tertutup, hanya dia saja yang benar, monopoli
kebenaran), intoleran (tidak toleran dan cendrung melihat lawan dari sisi negatif
saja), fanatisme (fanatik buta dan tidak membuka ruang untuk berbeda), dan
militanisme (orang gigih, tertutup menerima masukan dan pendapat pihak lain).
Pemikiran yang demikian menyebabkan tindakan kekerasan dipandang sebagai
sebuah konsekuensi dari perjuangan dan halal untuk dilakukan. Tindakan anarkis
yang menggunakan kekerasan menimbulkan rasa takut dan teror dalam
masyarakat sehingga menimbulkan keresahan dan perasaan terancam. Hal yang
merugikan tersebut mengakibatkan keresahan sosial dan memunculkan
instabilitas politi serta mengancam stabilitas pertahanan dan keamanan negara.
4. Mengancam nasionalisme dan menyebabkan disintegrasi bangsa
Paham radikalis menyebabkan anak bangsa menjadi terkotak kotak dan
terbelah antara pro dan kontra. Situasi semacam ini sangat melemahkan persatuan
dan kesatuan bangsa karena masing-masing pihak cenderung membela keyakinan
kelompoknya sendiri bukan berdasarkan atas kepentingan bersama. Agama
bukan lagi dipandang sebagai sesuatu yang menyejukkan, namun menjadi
pemicu bagi perselisihan yang tidak berkesudahan sehingga berpotensi
mengancam keutuhan NKRI.
Paham radikalisme seringkali menimbulkan konflik dan gesekan dalam
masyarakat karena di Indonesia masyarakatnya sangat menghargai pluralitas.
Semboyan Bhineka Tunggal Ika yang dipegang teguh oleh masyarakat seolah
dilawankan dengan ideologi eksklusif yang tidak dapat menerima perbedaan.11

11
Widyaningsih, R., & Fil, S. (2019). Deteksi Dini Radikalisme. Purwokerto: Lembaga Penelitian
dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Jenderal Soedirman,hal 32-36.

xix
D. Gerakan radikalisme di Indonesia
Dalam catatan sejarah radikalisme Islam semakinmenggeliat pada pasca
kemerdekaan hingga pasca reformasi, Sejak Kartosuwirjo memimpin operasi
1950-an di bawah bendera Darul Islam (DI). Sebuah gerakan politik dengan
mengatasnamakan agama, justifikasi agama dan sebagainya. Dalam sejarahnya
gerakan ini akhirnya dapat digagalkan, akan tetapi kemudian gerakan ini muncul
kembali pada masa pemerintahan Soeharto, hanya saja bedanya, gerakan
radikalisme di era Soeharto sebagian muncul atas rekayasa oleh militer atau
melalui intelijen melalui Ali Moertopo dengan Opsusnya, ada pula Bakin yang
merekayasa bekas anggota DI/TII, sebagian direkrut kemudian disuruh melakukan
berbagai aksi seperti Komando Jihad, dalam rangka memojokkan Islam. Setelah
itu sejak jatuhnya Soeharto, ada era demokratisasi dan masa-masa kebebasan,
sehingga secara tidak langsung memfasilitasi beberapa kelompok radikal ini untuk
muncul lebih nyata, lebih militan dan lebih vokal, ditambah lagi dengan liputan
media, khususnya media elektronik, sehingga pada akhirnya gerakan ini lebih
tanpak. 12
Setelah DI, muncul Komando Jihad (Komji) pada 1976 kemudian
meledakkan tempat ibadah. Pada 1977, Front Pembebasan Muslim Indonesia
melakukan hal sama. Dan tindakan teror oleh Pola Perjuangan Revolusioner
Islam, 1978.13 Tidak lama kemudian,
setelah pasca reformasi muncul lagi gerakan yang beraroma radikal yang
dipimpin oleh Azhari dan Nurdin M. Top dan gerakan-gerakan radikal lainnya
yang bertebar di beberapa wilayah Indonesia, seperti Poso, Ambon dan yang
lainnya. Semangat radikalisme tentu tidak luput dari persoalan politik. Persoalan
politik memang sering kali menimbulkan gejala-gejala tindakan yang radikal.
Sehingga berakibat pada kenyamanan umat beragama yang ada di Indonesia dari
berbagai ragamnya.

12
Azumardi Azra, dalam Artikel Tempo“Radikalisme Islam Indonesia” 15
Desember 2002.
13
M. Zaki Mubarak, Geneologi Islam Radikal di Indonesia, (Jakarta :LP3ES, 2008).

xx
Dalam konstelasi politik Indonesia, masalah radikalisme Islam makin
besar karena pendukungnya juga makin meningkat. Akan tetapi gerakan-gerakan
ini lambat laun berbeda tujuan, serta tidak mempunyai pola yang seragam. Ada
yang sekedar memperjuangkan implementasi syari’at Islam tanpa keharusan
mendirikan “Negara Islam”, namun ada pula yang memperjuangkan berdirinya
Negara Islam Indonesia, di samping yang memperjuangkan berdirinya
“kekhalifahan Islam’, pola organisasinya pun beragam, mulai dari gerakan moral
ideologi seperti Majelis Mujahidin Indonesia dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)
sampai kepada gaya militer seperti Laskar Jihad, dan FPI.14
Di sisi lain, radikalisme adalah suatu paham yang dibuat-buat oleh
sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan
politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Namun bila
dilihat dari sudut pandang keagamaan dapat diartikan sebagai paham keagamaan
yang mengacu pada fondasi agama yang sangat mendasar dengan fanatisme
keagamaan yang sangat tinggi, sehingga tidak jarang penganut dari paham / aliran
tersebut menggunakan kekerasan kepada orang yang berbeda paham/aliran untuk
mengaktualisasikan paham keagamaan yang dianut dan dipercayainya untuk
diterima secara paksa.
Lebih jauh dipaparkan bahwa radikalisme menurut kamus besar bahasa
Indonesia ikhtiar baru tahun 1995 adalah suatu paham aliran yang menghendaki
perubahan secara drastic. (kamus besar bahasa Indonesia ikhtiar baru:1995).
Sedangkan menurut kamus ilmiah popular radikalisme adalah inti dari perubahan.
bary, kamus ilmiah popular:1994). Sementara radikalisme agama berarti, prilaku
keagamaan yang menyalahi syariat, yang mengambil karakter keras sekali antara
dua pihak yang bertikai, yang bertujuan merealisasikan target-target tertentu, atau
bertujuan merubah situasi sosial tertentu dengan cara yang menyalahi aturan
agama.15
Kemunculan gerakan islam radikal di Indonesia disebabkan oleh dua
faktor; Pertama, faktor internal dari dalam umat islam sendiri yang telah terjadi

14
Endang Turmudi (ed), Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta :LIPI Press, 2005), h. 5.
15
Khamami zada, Islam Radikalisme, (Jakarta: Teraju, 2002), h. 87

xxi
penyimpangan norma-norma agama. Kedua, faktor eksternal di luar umat Islam,
baik yang dilakukan penguasa maupun hegemoni Barat, seperti kasus gerakan
Warsidi, Salaman hafidz dan Imron atau yang dikenal sebagai komando Jihad
telah membangkitkan radikalisme di Indonesia. Jihad sebenarnya menjadi simbol
perlawanan yang efektif untuk menggerakkan perang melawan Barat. Kondisi
inilah yang menyebabkan permusuhan yang terus menerus antara Islam dan Barat.
16
Fenomena yang terjadi di Indonesia. ketika umat islam bereaksi terhadap
serangan Amerika Serikat pada Afghanistan. Di masa inilah, islam menemukan
moment untuk menyuarakan aspirasi Islam (Solidaritas Islam). Karena itulah,
kelompk Islam radikal seperti KISDI, Lakar Jihad, FPI, Ikhwanul Muslimin, dan
Mujahidin bergerak menentang penyerangan AS. Bahkan, komando jihad juga
dikirim ke Afghanistan sebagai bagian dari tugas suci.17

E. Strategi penanggulangan radikalisme umat beragama


Ada beberapa strategi yang dapat dilakukan bersama dalam
penanggulangan radikalisme agar tidak berkembang di Indonesia. Strategi-strategi
tersebut antara lain:
1. Peran Pemerintah
Kebijakan pemerintah sebagaimana dituangkan dalam Kompilasi Peraturan
Perundang-Undangan Kerukunan Hidup Umat Beragama, ada dinyatakan bahwa :
(1)Pemerintah dan umat beragama bertanggung jawab dalam
pembinaankehidupan bergama; (2) Pemerintah memberi dan mendorong
timbulnya Kehidupan Keagamaan yang sehat (Tim, 2002:15). pemerintah
sesungguhnya telah memberikan perannya dalam mempersiapkan dan
menghadapi berbagai perubahan yang dimungkinkan oleh adanya perbedaan-
perbedaan yang ada. Terlebih lagi bagi daerah-daerah yang tergolong sangat
rentan terhadap adanya interaksi berbagai komunitas antar agama dan etnis
tersebut. Dalam hal ini pemerintah benar-benar mempertimbangkan akan
keberadaan suku, agama, adat dan istiadat yang sedemikian beragam di
Indonesia. Sehingga dikatakan “bahwa disamping mensyukuri kemajemukan
16
Khamami zada, Islam..., h. 95
17
Ibid., h. 97

xxii
tersebut sebagai sebuah kekayaan, namun disadari bahwa kondisi tersebut
mengandung kerawanan-kerawanan radikalisme dan SARA, sehingga berbagai
upaya telah dilakukan pemerintah diantaranya adalah dengan pembinaan
kerukunan antar umat beragama. Artinya bahwa selama ini peran pemerintah
dalam membina kehidupan umat beragama lewat institusinya memang telah
diupayakan.
Salah satu bukti nyata dari peran pemerintah dalam menjaga kerukunan
kehidupan umat beragama adalah dengan mensosialisasi kerukunan beragama itu
sendiri. Selain itu peran pemerintah dalam pembentukan harmoni dan mencegah
radikalisme adalah sebagai fasilitator. Disini, fungsi pemerintah adalah
memfasilitasi berbagai kegiatan atau aktivitas antar pemuka agama, antarumat
beragama, dan pemuka agama dengan pemerintah. Sebagai contoh; pemerintah
memfasilitasi dialog antarumat beragama dalam mengantisipasi isu SARA di
seluruh Kabupaten dan Kota. Untuk itulah dialog seperti ini terus digalakkan
dalam rangka menciptakan iklim yang harmonis.

2. Peran Organisasi Sosial Masyarakat


Menurut Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
nomor 9 dan 8 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah
dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum umat
beragama dan pendirian rumah ibadah mengenai Forum Kerukunan Umat
Beragama (FKUB) memuat bahwa Forum Kerukunan Umat Beragama,
yangselanjutnya disingkat FKUB, adalah forum yang dibentuk oleh masyarakat
dan difasilitasi oleh pemerintah dalam rangka membangun, memelihara dan
memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan. Keberadaan
FKUB tentunya perlu mengalami penguatan dari hari kehari dengan pelaksanaan
dialog yang difasilitasi oleh FKUB dengan tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh
agama, sehingga nantinya dapat memperoleh tanggapan atau masukan yang
bersifat membangun terhadap permasalahan yang ada dalam menjaga kerukunan
beragama dan mencegah radikalisme. Penguatan FKUB juga dapat dilakukan
dengan setiap tahun atau enam bulan sekali melakukan kegiatan pengembangan

xxiii
sumber daya manusianya, misalnya dengan mengadakan temu ilmiah, pelatihan-
pelatihan dan workshop.
3. Peran Pemuka Agama
Pemuka Agama adalah tokoh komunitas umat beragama baik yang
memimpin ormas keagamaan maupun yang tidak memimpin ormas keagamaan
yang diakui dan atau dihormati oleh masyarakat setempat sebagai panutan.
Pemuka agama merupakan tokoh dalam memberikan pembinaan dan memberi
kesejukan bagi umatnya. Setiap ada kecemasan yang disampaikan oleh umatnya
masing-masing peran pemuka agama sebagai tokoh sentral dalam menjaga
kerukunan melanjutkan aspirasi tersebut dalam dialog antarumat beragama yang
difasilitasi oleh pemerintah, yang kemudian hasil dari dialog antar umat beragama
tersebut diteruskan kepada umatnya.
Peluang dalam mengembangkan toleransi kehidupan antar umat beragama
tidak hanya dilakukan oleh pemerintah tapi juga oleh para pemuka agama, karena
melalui pembinaan pemuka agama pada para umatnya inilah maka umat
dapatberjalan sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing tanpa perlu merasa
cemas dan takut.
4. Peran Media dan Teknologi
Teknologi yang berkembang dengan pesat, meliputi berbagai bidang
kehidupan manusia. Dewasa ini nampaknya sangat sulit memisahkan kehidupan
manusia dengan teknologi, bahkan menjadi kebutuhan pokok manusia sebagai
mahluk sosial dengan menggunakan teknologi sebagai alat utama dalam
melaksanakan aktivitas kesehariannya.
Mulai dengan memanfaatkan teknologi dalam memberikan pendidikan
agama lewat internet, upaya penyebarluasan buku-buku panduan, komunikasi
internal agama, antaragama, dan bahkan dengan pemerintahpun dilakukan melalui
tekonologi. Tidak menjadi kendala dan gengsi lagi apabila komunikasi dilakukan
dengan bantuan internet. Mailing list menjadi salah satu ruang berintaraksi
terbuka dan cepat. Serta tidak ketinggalan pula peran media sosial
sepertiWhatsApp (WA), Facebook (Fb), Instagram, Tweeter dan Path menghiasi
hampir setiap sendi hidup kehidupan kita.

xxiv
Wajah baru gaya komunikasi antara agama sesungguhnya telah dibangun
di dunia maya. Komunikasi, dialog-dialog tentang isu keberagamaan dan
solusinya di Indonesia dan bahkan di dunia harusnya sangat aktif dilakukan di
seluruh media dan internet.
Melalui pemanfaatan yang tepat, peran media dan teknologi informasi
kiranya dapat digunakan seabagai peluang dalam mengembangkan toleransi
kehidupan umat beragama dalam mendinginkan suasana, menyampaikan
informasi yang aktual dan relevan serta mencegah tindakan radikalisme.

5. Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter adalah salah satu cara yang dapat kita lakukan
terhadap generasi muda untuk mencegah masuknya doktrin radikalisme dalam
jiwa mereka. Pada dasarnya pendidikan karakter secara formal sangat sulit untuk
dikembangkan di kurikulum sekolah. Tetapi pendidikan karakter dapat
diintegrasikan dalam setiap pembelajaran dan ekstra kurikuler. Ini mengapa kerja
sama yang intensif antara peran orang tua dan guru sangat dikedepankan dalam
mencapai karakter anak yang mulia. Karena kenyataannya pembentukkan karakter
tidak dapat dilakukan hanya dengan mengandalkan guru dan sekolah saja.
Kesusilaan, budi pekerti, cinta tanah air, gotong royong, toleransi, saling
mengasihi dan empati serta demokratis merupakan nilai-nilai budaya luhur yang
dapat diwariskan dan ditanamkan pada generasi muda sebagai bentuk pendidikan
karakter dalam mencegah radikalisme masuk dan berkembang pada generasi
muda.
6. Penguatan Konsep 4 Pilar Kebangsaan
Ancaman radikalisme merupakan bahaya laten yang dapat
memporakporandakan kehidupan berbangsa dan bernegara untuk itu sosialisasi
empat pilar kebangsaan, yang terdiri dari Pancasila, Bhineka Tunggal Ika,
Undang-Undang Dasar 1945 dan NKRI penting disampaikan dari Sabang sampai
Merauke, agar masyarakat menyadari dan memahami hingga pada akhirnya

xxv
semakin mencintai Bangsa Indonesia. Dan menempatkan kepentingan bangsa di
atas kepentingan pribadi atau golongan.18

BAB III
KESIMPULAN
Memaknai hijrah secara luas tidak sebatas terpaku pada pemaknaan
sebagai perubahan perilaku yang sebelumnya tidak atau belum baik menjadi lebih
baik. Hijrah di tinjau secara kebahasaan bebas nilai yaitu makna yang tidak
berorientasi secara khusus dalam pemaknaan ya dapat bersifat positif maupun

18
Sena, I. G. M. W. (2017). Strategi Penanganan Radikalisme Sebagai Modal Kerukunan
Beragama Di Indonesia. Jurnal Brahmana Widya.

xxvi
bersifat negatif. Maka hijrah secara kebahasaan dapat berpotensi memiliki makna
kedua-duanya, yaitu meninggalkan suatu keburukan menuju kebaikan atau
sebaliknya meninggalkan kebaikan.
Namun menjadi sebuah istilah keagamaan memiliki yaitu meninggalkan
suatu keburukan, hal ini di latar belakangi dari peristiwa hijrah nya Nabi
Muhammad dai Makkah ke Madināh, dimana peristiwa tesebut menjadi sebuah
momentum penting sebagai simbol dari bangkitnya peradaban umat islam dari
berbagai macam tekanan. Hijrah merupakan kosakata serapan dari bahasa Arab
yang tercatat menjadi sebuah kata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Secara syar`i hijrah memiliki ragam pemaknaan yang cukup luas berdasarkan dari
berbagai definisi yang disampaikan oleh para ulama. Hijrah di pahami sebagai
migrasi kaum muslimin dari negeri kaum kafir atau dalam kondisi peperangan
menuju negeri Muslim (dārul Islam).
Dalam hal ini Ibn Taimīah berpendapat sebuah negeri dapat dikategorikan
dārul kufri, dārul iman, atau dārul fāsik, tidak terletak dari hakikat sebuah negeri
tersebut, melainkan sifat yang mendominasi dari penduduknya. Ulama-ulama
dari kelompok ini berpendapat bahwa hijrah dalam kondisi seperti disyariatkan
terhadap kaum muslimin yang mampu berhijrah. “Kecuali mereka yang tertindas
baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya
dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah) (QS. Dari berbagai pendapat
mengetengahkan bahwa konsep jihad sendiri dapat di lihat secara kebahasaan dan
secara terminologi, yakni pengertian jihad dalam konsep hukum Islam baik yang
didasarkan pada Al-Quran maupun hadis.
Secara etimologi, kata jihad berasal dari Bahasa Arab, bentuk isim masdar
kedua yang berasal dari jaahada, yujahidu, mujaahadatan dan hihaadan yang
artinya "Bekerja sepenuh hati". Lebih lanjut dijelaskan dalam Kamus Bahasa
Indonesia, jihad adalah perang suci, memerangi orang kafir untuk
mempertahankan agama Islam, ataupun usaha dengan segala daya upaya untuk
mencapai kebaikan. Kata jihad juga merupakan sebuah ujian, hal ini sesuai
dengan firman Allah dalam surah Al Imran ayat 142, dimana Allah berfirman :
Secara terminologi kata jihad adalah mencurahkan kemampuan untuk membela

xxvii
dan mengalahkan musuh demi menyebarkan Islam. Radikalisme dapat diartikan
sebagai sebuah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau
pembaharuan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara
kekerasan.
Makna radikalisme dalam sudut pandang keagamaan dapat diartikan
sebagai paham keagamaan yang mengacu pada fondasi agama yang sangat
mendasar dengan fanatisme keagamaan yang sangat tinggi, sehingga tidak jarang
penganut paham/aliran tersebut menggunakan kekerasan untuk
mengaktualisasikan paham keagamaan yang dianut dan diyakininya. Proses yang
terjadi dalam radikalisme adalah radikalisasi, yang didefi nisikan sebagai proses
personal di mana individu mengadopsi idealisme dan aspirasi politik, sosial, atau
agama secara ekstrim, dimana dalam pencapaian tujuannya membenarkan
penggunaan kekerasan tanpa pandang bulu, sehingga mempersiapkan dan
memotivasi seseorang untuk mencapai perilaku kekerasan. Radikalisasi
dipandang sebagai salah satu proses pencarian identitas bagi individu (anak muda
pada umumnya). Bagi anak muda, pencarian identitas merupakan bagian dari
proses mendefi nisikan hubungan seseorang dengan dunia.
Dinamika interpersonal memerlukan interaksi interpersonal dengan aktor-
aktor lain untuk merangsang dan mempengaruhi proses pemahaman/pemikiran
individu yang menjadi target radikalisme. Narasi dan kosa kata politik organisasi
keagamaan yang memiliki pengaruh besar di lingkungan masyarakat dapat
menjadi masukan narasi bagi kelompok-kelompok radikal. Pada konteks ini yang
dimaksud dengan emosi keagamaan adalah agama sebagai pemahaman realitas
yang sifatnya interpretatif. Contoh ideologi anti Westernisme merupakan suatu
pemikiran yang membahayakan bagi kelompok agama tertentu
DAFTAR PUSTAKA
Putra, I. (2022). RADIKALISME DALAM GERAKAN HIJRAH GLOBAL. AL
IMARAH: JURNAL PEMERINTAHAN DAN POLITIK ISLAM, 7(2), 282-
299.

xxviii
Peran, M. J. H. (2017). Konsep Jihad Menurut Surah As Shaff. Skripsi. Banda
Aceh: Prodi Manajemen Dakwah Fakultas Dakwah Dan Komunikasi
Universitas Islam Negeri Ar Raniry Darussalam, Banda Aceh.

Fairus, M. K. KONSEP HIJRAH DALAM AL-QUR’AN (PERSPEKTIF


SEMANTIK TOSHIHIKO IZUTSU) (Bachelor's thesis).

Aziz, A. (2016). Memperkuat kebijakan negara dalam penanggulangan


radikalisme di lembaga pendidikan. Hikmah: Journal of Islamic
Studies, 12(1), 29-58.

Ali Syu’abi dan Gils Kibil, Meluruskan Radikalisme Islam, (Sidoarjo: PT Duta
Aksara Mulia, 2010), hal.189

Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal, (Jakarta: Erlangga, 2005), hal. 115.

Nurul Faiqah dan Toni Pransiska, Radikalisme Islam vs Moderasi Islam, Jurnal
Ilmiah Keislaman, Vol.17, No. 1, Januari-Juni 2018, hal. 44.

Samuel P. Huntington, Benturan Peradaban dan Masa Depan Politik


Dunia, (Yogyakarta: Qalam, 2010)

Widyaningsih, R., & Fil, S. (2019). Deteksi Dini Radikalisme. Purwokerto:


Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas
Jenderal Soedirman,hal 32-36.
Azumardi Azra, dalam Artikel Tempo“Radikalisme Islam Indonesia” 15
Desember 2002.

M. Zaki Mubarak, Geneologi Islam Radikal di Indonesia,


(Jakarta :LP3ES, 2008).

xxix
Endang Turmudi (ed), Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta :LIPI Press,
2005), h. 5.

Sena, I. G. M. W. (2017). Strategi Penanganan Radikalisme Sebagai Modal


Kerukunan Beragama Di Indonesia. Jurnal Brahmana Widya

xxx

Anda mungkin juga menyukai