LAPORAN KASUS ACS - Majdina
LAPORAN KASUS ACS - Majdina
Disusun oleh :
Majdina Nur Fridiany
1102012152
Pembimbing :
dr. Herawati Isnanijah , Sp.JP
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
JAKARTA
2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya ucapkan kepada Allah SWT karena atas berkat dan Rahmat-Nya,
saya dapat menyelesaikan tugas laporan kasus yang berjudul “Acute Coronary Syndrome :
STEMI”
Tugas laporan kasus ini disusun untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Dalam di RSUD Pasar Rebo periode 13 Februari - 22 April 2017. Saya mengucapkan
terima kasih kepada pembimbing saya, dr. Herawati Isnanijah, Sp.JP yang telah membimbing
saya dalam menyusun tugas laporan kasus ini.
Dalam penyusunan laporan kasus ini saya menyadari bahwa masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun,
guna untuk kesempurnaan penulisan tugas laporan kasus selanjutnya.
Penulis
1
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S
Umur : 44 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Alamat : Jl. Raya Poncol, Ciracas
No. RM : 2013-516059
Tanggal MRS : 17 Maret 2017 (pukul 12:00)
Tanggal pemeriksaan : 18 Maret 2017
II. ANAMNESIS
Dilakukan secara Autoanamnesis di CVCU (Tanggal 18/03/2017 pukul 09.45)
Keluhan Utama :
Nyeri dada sebelah kiri sejak 4 jam SMRS yang dirasakan semakin memberat.
Keluhan tambahan :
Keringat dingin dan sesak
2
2 hari SMRS pasien merasakan keringat dingin yang disertai pusing. Pusing
yang dialami hanya satu sisi pada bagian kiri, terasa ringan, tidak berdenyut dan
dialami hilang timbul. Nafsu makan berkurang semenjak 2 hari terakhir. BAB (+)
normal, BAK normal (+). Hingga saat ini pasien menyusui anaknya yang berumur 3
bulan.
Pasien mengaku belum pernah merasakan seperti ini sebelumnya, selama ini
pasien tidak pernah menderita penyakit yang berat dan tidak pernah pergi berobat ke
dokter dengan keluhan seperti ini.
3
VII. RIWAYAT PRIBADI DAN SOSIAL
Aktivitas sehari-hari pasien adalah sebagai ibu rumah tangga. Riwayat merokok
disangkal, riwayat konsumsi alkohol disangkal, serta riwayat konsumsi obat-obatan
terlarang disangkal. Pasien mengatakan tidak rutin berolahraga.
X. PEMERIKSAAN FISIK
Kepala
1. Bentuk : normochepale
2. Posisi : simetris
3. Wajah : tidak sembab
Kulit
1. Warna : Sawo matang
2. Jaringan Parut : Tidak ada
3. Pigmentasi : dalam Batas Normal
4
4. Turgor : Baik
5. Ikterus : Tidak ada
6. Sianosis : Tidak ada
7. Pucat : Tidak ada
8. Rambut : dalam Batas Normal
Mata
1. Exophthalmus : Tidak ada
2. Enopthalmus : Tidak ada
3. Edema kelopak : Tidak ada
4. Konjungtiva anemis : -/-
5. Sklera ikterik : -/-
6. Pupil : isokor
7. Refleks cahaya : langsung (+/+)
tidak langsung (+/+)
Hidung
1. Bentuk : Normotia
2. Napas cuping hidung : Tidak ditemukan
3. Septum deviasi : Tidak ditemukan
4. Sekret : Tidak ditemukan
Telinga
1. Bentuk : Normotia
2. Pendengaran : Berkurang
3. Darah & sekret : Tidak ditemukan
Mulut
1. Trismus : Tidak ada
2. Faring : faring hiperemis (-)
3. Lidah : lidah tidak kotor berwarna putih, deviasi (-)
4. Uvula : Letak ditengah, tidak deviasi
5. Tonsil : T1-T1 tenang, hiperemis (-)
Leher
1. Trakea : Tidak deviasi
5
2. Kelenjar tiroid : Tidak ada pembesaran
3. Kelenjar limfe : Tidak ada pembesaran
4. JVP : 5 + 1 cmH2
Paru-paru
1. Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris dalam keadaan statis dan
dinamis kanan kiri. Retraksi (-)
2. Palpasi : Tidak teraba kelainan dan masa pada seluruh lapang paru.
Fremitus taktil dan vokal statis kanan kiri.
3. Perkusi : Terdengar sonor pada seluruh lapang paru.
4. Auskultasi : Suara dasar napas vesicular +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung
1. Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
2. Palpasi : Iktus cordis teraba pada ICS V linea lateral midclavicula sinistra
3. Perkusi :
a. Batas jantung kanan pada ICS IV linea sternalis dekstra
b. Batas jantung kiri pada ICS V linea lateral midclavicula sinistra
c. Batas pinggang jantung pada ICS II linea parasternalis sinistra
4. Auskultasi : Bunyi jantung I-II normal regular, gallop (-) murmur (-)
Abdomen
1. Inspeksi : datar
2. Auskultasi : Bising usus (+) normal
3. Perkusi : Timpani di seluruh kuadaran, shifting dullness (-)
4. Palpasi : Supel, nyeri tekan ulu hati (-), hepar tidak teraba membesar, lien tidak
teraba membesar, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), undulasi (-), kandung kemih
tidak teraba penuh.
Genitalia
Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas
1. Akral hangat pada ekstremitas atas dan bawah kanan-kiri
2. Edema tidak ada pada ekstremitas bawah kanan-kiri
3. Capilary refill time < 2 detik
6
XI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Lab (17/03/2017)
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hematologi
Hemoglobin 13,8 g/dL 11,7-15,5
Hematokrit 42 % 32-47
Eritrosit 4,9 juta/µL 3,8-5,2
Leukosit ↑17,90 103/µL 3,6-11
Trombosit 359 ribu/µL 150-440
Hematologi Hitung Jenis
Basophil 0 % 0-1
Eosinophil 1 % 1-3
Neutrophil Batang L0 % 3-5
Neutrofil Segmen H 79 % 50-70
Limfosit L 17 % 25-40
Monosit 3 % 2-8
Kimia Klinik
SGOT (AST) 16 U/L 0-35
SGPT (ALT) 26 U/L 0-35
Troponin I 0,01 Negatif
Ureum Darah L 18 mg/dL 20-40
Kreatinin Darah 0,50 mg/dL 0,35-0,93
eGFR 142,5 mL/min/1,73m2
Glukosa Darah Sewaktu ↑450 mg/dL <200
Gas darah + Elektrolit
Natrium 141 mmol/L 135-147
Kalium 4.6 mmol/L 3,5-5,0
Klorida 100 mmol/L 98-108
7
Pemeriksaan Lab 18/03/2017
Kimia Klinik
Troponin I Kuantitatif >10.00 mg/mL 0,00-0,02
Elektrokardiografi (17/03/2017)
8
• Gelombang T: dalam batas normal
Kesimpulan: sinus rhythm, infark miokard Inferior
XII. RESUME
Anamnesis : Nyeri dada sebelah kiri (seperti ditusuk dan ditekan) terasa menembus
ke punggung kiri belakang sejak 4 jam SMRS. Nyeri dada timbul secara tiba-tiba
sehingga aktivitas terhenti, dialami terus menerus, tidak berkurang jika istirahat dan
disertai keringat dingin. Saat nyeri dada terjadi, pasien merasakan sesak, tidur
menggunakan satu bantal. 2 hari SMRS pasien merasakan keringat dingin yang
Pemeriksaan Penunjang : Hasil EKG menunjukkan sinus rhythm, dan inferior infark.
Dari hasil lab darah didapatkan Troponin I Kuantitatif meningkat > 10.00 mg/mL.
XIII. PERMASALAHAN
9
XIV. DIAGNOSIS KERJA
DM tipe II
Miokarditis
Perikarditis
Cardiac trauma
Rontgen Thorax
Pemeriksaan Echocardiography
XVII. PENATALAKSANAAN
10
XVIII. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
11
TINJAUAN PUSTAKA
12
Dapat ditemukan ST elevasi transien, ST depresi persisten atau transien, T inversi,
gelombang T flat atau pseudonormalisasi gelombang T, atau EKG normal.
Angina tak stabil (unstable angina) adalah iskemia miokard dengan kerusakan
(nekrosis) kardiomiosit minimal. Pada UAP, tidak ditemukan peningkatan enzim
jantung. Sedangkan pada NSTEMI ditemukan peningkatan enzim jantung.
13
menjadi Infark Miokard Akut Segmen ST Non Elevasi (Non ST-Elevation Myocardial
Infarction, NSTEMI). 2
Pada Angina Pektoris tidak stabil marka jantung tidak meningkat secara bermakna.
Pada sindroma koroner akut, nilai ambang untuk peningkatan CK-MB yang abnormal
adalah beberapa unit melebihi nilai normal atas (upper limits of normal, ULN). Jika
pemeriksaan EKG awal tidak menunjukkan kelainan (normal) atau menunjukkan kelainan
yang nondiagnostik sementara angina masih berlangsung, maka pemeriksaan diulang 10-
20 menit kemudian. Jika ulangan EKG tetap menunjukkan gambaran nondiagnostik
sementara keluhan angina sangat sugestif SKA, maka pasien dipantau selama 12-24 jam.
EKG diulang tiap 6 jam dan setiap terjadi angina berulang. 2
14
Hipertensi merupakan faktor risiko terjadinya SKA, dimana seseorang yang
hipertensi cenderung memiliki tunika media yang tebal dan pembuluh darah arteri yang
kaku, sehingga memberi kesan ada percepatan terjadinya aterosklerosis. 2,3
Riwayat Keluarga, seseorang yang memiliki orang tua, kakek atau nenek dengan
riwayat serangan jantung/stroke dini, pada usia pertengahan memiliki kemungkinan
menderita penyakit kardiovaskular (PKV) 2 kali lebih sering. 2
Secara umum, individu yang termasuk risiko tinggi terkena PKV adalah yang
mempunyai riwayat hiperkolesterolemia, karena kolesterol plasma terutama lipoprotein
yang bersifat aterogenik atau Low Density Lipo-protein (LDL) berperan sangat khusus
pada terbentuknya aterosklerosis, dengan cara menaikkan aterogenitas LDL atau
menaikkan kerentanan dinding arteri. 2
15
1. Pria
2. Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner (penyakit arteri perifer /
karotis)
3. Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark miokard, bedah pintas
koroner, atau IKP
4. Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia, diabetes mellitus,
riwayat PJK dini dalam keluarga, yang diklasifikasi atas risiko tinggi, risiko sedang,
risiko rendah menurut NCEP (National Cholesterol Education Program)
Nyeri dengan gambaran di bawah ini bukan karakteristik iskemia miokard (nyeri dada
non kardiak) : 6
1. Nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi atau batuk)
2. Nyeri abdomen tengah atau bawah
3. Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari, terutama di daerah apeks ventrikel
kiri atau pertemuan kostokondral.
4. Nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan tubuh atau palpasi
5. Nyeri dada dengan durasi beberapa detik
6. Nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas bawah
16
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah kepada
iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin sesampainya di
ruang gawat darurat. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya
direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang mengarah kepada iskemia
dinding inferior. Sementara itu, sadapan V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien
angina yang mempunyai EKG awal nondiagnostik. Sedapat mungkin, rekaman EKG
dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG
sebaiknya diulang setiap keluhan angina timbul kembali. 6
Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup
bervariasi, yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block) baru/
persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (≥20 menit) maupun tidak persisten,
atau depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T. 6
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan yang
bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk pria dan
perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1-V3 nilai
ambang untuk diagnostik beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin. Nilai ambang
elevasi segmen ST di sadapan V1-V3 pada pria usia ≥40 tahun adalah ≥0,2 mV, pada pria
usia <40 tahun adalah ≥0,25 mV. Sedangkan pada perempuan nilai ambang elevasi segmen
ST di lead V1-3, tanpa memandang usia, adalah ≥0,15 mV. Bagi pria dan wanita, nilai
ambang elevasi segmen ST di sadapan V3R dan V4R adalah ≥0,05 mV, kecuali pria usia
<30 tahun nilai ambang ≥0,1 mV dianggap lebih tepat. Nilai ambang di sadapan V7-V9
adalah ≥0,5 mV. Depresi segmen ST yang resiprokal, sadapan yang berhadapan dengan
permukaan tubuh segmen ST elevasi, dapat dijumpai pada pasien STEMI kecuali jika
STEMI terjadi di mid-anterior (elevasi di V3-V6). Pasien SKA dengan elevasi segmen ST
dikelompokkan bersama dengan LBBB (komplet) baru/persangkaan baru mengingat pasien
tersebut adalah kandidat terapi reperfusi. Oleh karena itu pasien dengan EKG yang
diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat terapi reperfusi sebelum hasil
pemeriksaan marka jantung tersedia6,7.
17
V1-V4 Anterior
V5-V6,I, aVL Lateral
II,III,aVF Inferior
V7-V9 Posterior
V3R-V4R Ventrikel kanan
Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran EKG pasien
dengan LBBB baru/persangkaan baru juga disertai dengan elevasi segmen ST ≥1 mm
pada sadapan dengan kompleks QRS positif dan depresi segmen ST ≥1 mm di V1-V3.
Perubahan segmen ST seperti ini disebut sebagai perubahan konkor dan yang mempunyai
spesifisitas tinggi dan sensitivitas rendah untuk diagnosis iskemik akut. Perubahan
segmen ST yang diskordan pada sadapan dengan kompleks QRS negatif mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas sangat rendah. Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan
EKG tidak ditemukan elevasi segmen ST yang persisten, diagnosisnya adalah infark
miokard dengan nonelevasi segmen ST (NSTEMI) atau Angina Pektoris tidak stabil
(APTS/ UAP). Depresi segmen ST yang diagnostik untuk iskemia adalah sebesar ≥0,05
mV di sadapan V1-V3 dan ≥0,1 mV di sadapan lainnya. Bersamaan dengan depresi
segmen ST, dapat dijumpai juga elevasi segmen ST yang tidak persisten (<20menit), dan
dapat terdeteksi di >2 sadapan berdekatan. Inversi gelombang T yang simetris ≥0,2 mV
mempunyai spesifitas tinggi untuk untuk iskemia akut. Semua perubahan EKG yang
tidak sesuai dengan kriteria EKG yang diagnostik dikategorikan sebagai perubahan EKG
yang nondiagnostik. 6
18
miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat meningkatkan kadar troponin
I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit neurologik akut, emboli paru,
hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan
troponin I memberikan informasi yang seimbang terhadap terjadinya nekrosis miosit,
kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada keadaan ini, troponin I mempunyai
spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin T. 6
Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T
menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA, pemeriksaan
hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika awitan SKA tidak dapat
ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam setelah
pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB yang meningkat dapat dijumpai pada seseorang
dengan kerusakan otot skeletal (menyebabkan spesifisitas lebih rendah) dengan waktu
paruh yang singkat (48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat, CK-MB lebih terpilih
untuk mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang) maupun infark periprosedural. 6
19
kerja Kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan angina di ruang gawat darurat,
sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau marka jantung. Terapi awal yang dimaksud
adalah Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin (disingkat MONA), yang tidak harus diberikan
semua atau bersamaan. 6
1. Tirah baring
2. Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi O2 arteri
<95% atau yang mengalami distres respirasi
3. Suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien SKA dalam 6 jampertama,
tanpa mempertimbangkan saturasi O2 arteri
4. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak diketahui
intoleransinya terhadap aspirin. Aspirin tidak bersalut lebih terpilih mengingat
absorpsi sublingual (di bawah lidah) yang lebih cepat.
5. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)
a. Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI yang direncanakan
untuk reperfusi menggunakan agen fibrinolitik Atau
b. Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 75
mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk terapi reperfusi menggunakan
agen fibrinolitik, penghambat reseptor ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel)
6. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada yang
masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat. jika nyeri dada tidak hilang
dengan satu kali pemberian, dapat diulang setiap lima menit sampai maksimal tiga
kali. Nitrogliserin intravena diberikan pada pasien yang tidak responsif dengan terapi
tiga dosis NTG sublingual. dalam keadaan tidak tersedia NTG, isosorbid dinitrat
(ISDN) dapat dipakai sebagai pengganti
7. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi pasien yang
tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual.
20
Gambar 1. Algoritma Evaluasi dan Tatalaksana SKA
21
INFARK MIOKARD AKUT DENGAN ELEVASI ST
DEFINISI
Infark miokard akut (IMA) dengan elevasi ST merupakan bagian dari spectrum sindrom
koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST dan IMA
dengan elevasi ST. 5
PATOFISIOLOGI
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah
oklusi thrombus pada plak aterosklerosis yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri derajat
tinggi yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya
banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika thrombus arteri koroner terjadi secara
cepat pada lokasi injuri vascular, dimana injuri ini dicetuskan oleh factor seperti merokok,
hipertensi dan akumulasi lipid. 5
Pada sebagian kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur, rupture atau
ulserasi, dan jika kondisi local atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi thrombus
mural pada sekitar rupture yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis
menujukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap yang tipis
dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin
rich red thrombus, yang dipercaya menjadi alasan kepada STEMI memberikan respon terhadap
terapi trombolitik. 5
Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin)
memicu aktivas trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan troboksan A2
(vasokontriktor local yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan koformasi
reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Telah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas
tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti pada factor
von Willebrand (vWF) dan fibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalent, yang dapat
mengikat dua platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelet dan
agregasi. 5
22
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak.
Factor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi prothrombin menjadi thrombin yang
kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat mengalami
oklusi oleh thrombus yang terdiri agregat trombosit dan fibrin. 5
Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri koroner, yang
disebabkan oleh emboli arteri koroner, abnormalitas kongenital, spasme koroner dan berbagai
penyakit sistemik. 5
DIAGNOSIS
Diagnosis IMA dengan ST elevasi ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri ada yang
khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST ≥2mm, miniman pada dua sadapan precordial yang
berdampingan atau ≥1mm pada 2 sadapan ekstremitas. Pemeriksaan enzim jantung, terutama
troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis, namun keputusan memberikan terapi
revaskularisasi tak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim, mengingat dalam tatalaksana IMA,
prinsip utama pelaksanaan adalah time is muscle. 6
ANAMNESIS
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis secara cermat,
apakah nyeri dadanya berasal dari jantung, atau dari luar jantung. Jika dicurigai nyeri dada yang
berasal dari jantung perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan. Perlu
dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumyaserta factor-faktor resiko antara
lain hipertensi, diabetes melitus, dyslipidemia, merokok, stress serta riwayat sakit jantung
koroner pada keluarga. 6
Pada hampir setengah kasus, terdpat factor pencetus sebelum terjadi STEMI, seperti aktivias
fisik berat, stress emosi atau penyakit medis atau bedah. Walaupun STEMI dapat bias terjadi
sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam
setelah bangun tidur. 6
Bila dijumpai pasien dengan nyeri dada akut perlu dipastikan secara cepat dan tepat apakah
pasien mengalami Infark Miokard Akut (IMA) atau tidak. Nyeri dada tipikal (angina) meupakan
gejala cardinal pasien IMA. Sifat nyeri dada angina sebagai berikut : 6
23
Lokasi : substernal, retrosternal, dan precordial
Sifat nyeri : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, tertindih benda berat, seperti
ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
Penjalaran ke : biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi,
punggung/interskapul, perut dan dapat juga kelengan kanan.
Nyeri membaik atau menghilang setelah istirahat, atau obat nitrat
Factor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin atau sesudah makan.
Gejala yang menyertai : mual, muntah, keringat dingin, sulit berbaps, cemas dan lemas.
Nyeri dengan gambaran di bawah ini bukan karakteristik iskemia miokard (nyeri dada
nonkardiak) 6
Nyeri pleuritic (nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi atau batuk)
Nyeri abdomen tengah atau bawah
Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari, terutama di daerah apeks ventrikel kiri
atau pertemuan kostokondral.
Nyeri dada yang dikibatkan oleh gerakan tubuh atau repirasi
Nyeri dada dengan durasi beberapa detik
Nyeri dada yang mejalar ke ekstremitas bawah
PEMERIKSAAN FISIK
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali ekstremitas
pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak keringat
dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark anterior mempunyai manifestasi
hiperaktivitas saraf simpatis (takikardi dan/atau hipotensi) da hamper setengah pasien infark
inferior menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis (bradikardia dan/atau hipotensi). 6
Tanda fisik lain pada disfungsi ventricular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas
bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur
midsistolik atau late sistolik apical yang bersifat sementara Karena disfungsi apparatus katup
mitral dan pericardial friction rub. Oeningkatan suhu sampai 38oC dapat dijumpai dalam minggu
pertama pasca STEMI. 6
24
ELEKTROKARDIOGRAM
Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada atau
keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak
kedatangan di IGD. Pemeriksaan EKG di IGD merupakan landasan dalam menentukan
keputusan terapi Karena bukti kuat meunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat
mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan
EKG awal tidak didiagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap dimptomatik dan terdapat
kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12
sadapan secara kontinyu harus dilakukan untuk mendetekasi potensi perkembangan elevasi
segmen ST. pada pasien STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi
kemungknan infark pada ventrikel kanan. 6
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST megalami evolusi
menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didagnosis infark miokard gelombang Q.
sebagian kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q. jika obstruksi trombu tidak
total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan
elevasi segmen ST. pasien tersebut biasanya mengalami angina pektoris tidak stabil atau non
STEMI. Pada sebagian besar pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan
gelombang Q disebut infark non Q. 6
Pemeriksaa yang diajurkan adalah Creatinin Kinase (CK)MB dan Cardiac specific
Troponin (cTn)T atau cTnI yang dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai petanda
optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, Karena pada keadaan ini juga
akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi
reperfusi diberikan segera mungki dan tidak tergantung pemeriksaan biomarker. 5
Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas normal menunjukkan ada nekrosis jantung
(infark miokard).
25
• CKMB : meningkat setelah tiga jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam
10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis, dan
kardioversi elektrik dapat menigkatkan CKMB. 5
• cTn : enzim ini meningkat setelah 2 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak
dalam 10-24 jam dan cTn T dapat masih terdeteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I
setelah 5-10 hari. 5
• Mioglobin : dapat dideteksi 1 jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-8 jam
• Creatinin kinase : meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari
• Lactic dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark miokard,
mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.
Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah leukositosis polimorfouklear yang dapat
terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hri. Leukosit dapat
mencapai 12.000-15.000/ul.
TATALAKSANA
Penatalaksanaan STEMI dimulai sejak kontak medis pertama, baik untuk diagnosis dan
pengobatan. Yang dimaksud dengan kontak medis pertama adalah saat pasien pertama diperiksa
oleh paramedis, dokter atau pekerja kesehatan lain sebelum tiba di rumah sakit, atau saat pasien
tiba di unit gawat darurat, sehingga seringkali terjadi dalam situasi rawat jalan. 6
Diagnosis kerja infark miokard harus telah dibuat berdasarkan riwayat nyeri dada yang
berlangsung selama 20 menit atau lebih yang tidak membaik dengan pemberian nitrogliserin.
Adanya riwayat PJK dan penjalaran nyeri ke leher, rahang bawah atau lengan kanan memperkuat
dugaan ini. Pengawasan EKG perlu dilakukan pada setiap pasien dengan dugaan STEMI.
26
Diagnosis STEMI perlu dibuat sesegera mungkin melalui perekaman dan interpretasi EKG 12
sadapan, selambat-lambatnya 10 menit dari saat pasien tiba untuk mendukung penatalaksanaan
yang berhasil. Gambaran EKG yang atipikal pada pasien dengan tanda dan gejala iskemia
miokard yang sedang berlangsung menunjukkan perlunya tindakan segera. 6
Sebisa mungkin, penanganan pasien STEMI sebelum di rumah sakit dibuat berdasarkan
jaringan layanan regional yang dirancang untuk memberikan terapi reperfusi secepatnya secara
efektif, dan bila fasilitas memadai sebanyak mungkin pasien dilakukan IKP. Pusat-pusat
kesehatan yang mampu memberikan pelayanan IKP primer harus dapat memberikan pelayanan
setiap saat (24 jam selama 7 hari) serta dapat memulai IKP primer sesegera mungkin di bawah
90 menit sejak panggilan inisial. 6
Semua rumah sakit dan Sistem Emergensi Medis yang terlibat dalam penanganan pasien
STEMI harus mencatat dan mengawasi segala penundaan yang terjadi dan berusaha untuk
mencapai dan mempertahankan target kualitas berikut ini : 6
1. Waktu dari kontak medis pertama hingga perekaman EKG pertama ≤10 menit
2. Waktu dari kontak medis pertama hingga pemberian terapi reperfusi:
Untuk fibrinolysis ≤30 menit
Untuk IKP primer ≤90 menit (≤60 menit apabila pasien datang dengan awitan kurang
dari 120 menit atau langsung dibawa ke rumah sakit yang mampu melakukan IKP)
DELAY (KETERLAMBATAN)
Pencegahan delay amat penting dalam penanganan STEMI karena waktu paling berharga
dalam infark miokard akut adalah di fase sangat awal, di mana pasien mengalami nyeri yang
hebat dan kemungkinan mengalami henti jantung. Defibrilator harus tersedia apabila ada pasien
dengan kecurigaan infark miokard akut dan digunakan sesegera mungkin begitu diperlukan.
Selain itu, pemberian terapi pada tahap awal, terutama terapi reperfusi, amat bermanfaat. Jadi,
delay harus diminimalisir sebisa mungkin untuk meningkatkan luaran linis. Selain itu delay
pemberian pengobatan merupakan salah satu indeks kualitas perawatan STEMI yang paling
mudah diukur. Setiap delay yang terjadi di sebuah rumah sakit saat menangani pasien STEMI
perlu dicatat dan diawasi secara teratur untuk memastikan kualitas perawatan tetap terjaga. 6
27
DELAY PASIEN
Adalah keterlambatan yang terjadi antara awitan gejala hingga tercapainya kontak medis
pertama. Untuk meminimalisir delay pasien, masyarakat perlu diberikan pemahaman mengenai
cara mengenal gejala-gejala umum infark miokard akut dan ditanamkan untuk segera memanggil
pertolongan darurat. Pasien dengan riwayat PJK dan keluarganya perlu mendapatkan edukasi
untuk mengenal gejala IMA dan langkah-langkah praktis yang perlu diambil apabila SKA
terjadi. 6
Penilaian kualitas pelayanan yang cukup penting dalam penanganan STEMI adalah
waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil EKG pertama. Di rumah sakit dan sistem medis
darurat yang menangani pasien STEMI, tujuan ini sebaiknya dicapai dalam 10 menit atau
kurang. 6
Dikenal juga sebagai delay sistem, komponen ini lebih mudah diperbaiki melalui
pengaturan organisasi dibandingkan dengan delay pasien. Delay ini merupakan indikator kualitas
perawatan dan prediktor luaran. Bila terapi reperfusi yang diberikan adalah IKP primer,
diusahakan delay (kontak medis pertama hingga masuknya wire ke arteri yang menjadi
penyebab) ≤90 menit (≤60 menit bila kasus risiko tinggi dengan infark anterior besar dan pasien
datang dalam 2 jam). Bila terapi reperfusi yang diberikan adalah fibrinolisis, diusahakan
mengurangi delay (waktu kontak pertama dengan tindakan) menjadi ≤30 menit. 6
Di rumah sakit yang mampu melakukan IKP, target yang diinginkan adalah ‘door-to-
balloon’ delay ≤60 menit antara datangnya pasien ke rumah sakit dengan IKP primer. Delay
yang terjadi menggambarkan performa dan kualitas organisasi rumah sakit tersebut.
Dari sudut pandang pasien, delay antara awitan gejala dengan pemberian terapi reperfusi
(baik dimulainya fibrinolisis atau masuknya wire ke arteri penyebab) merupakan yang paling
penting, karena jeda waktu tersebut menggambarkan waktu iskemik total, sehingga perlu
dikurangi menjadi sesedikit mungkin. 6
28
Gambar 2. Komponen Delay dalam STEMI dan Interval Ideal Untuk Intervensi6
B. TERAPI REPERFUSI
Terapi reperfusi segera, baik dengan IKP atau farmakologis, diindikasikan untuk semua
pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam dengan elevasi segmen ST yang menetap atau
Left Bundle Branch Block (LBBB) yang (terduga) baru6.
Terapi reperfusi (sebisa mungkin berupa IKP primer) diindikasikan apabila terdapat bukti
klinis maupun EKG adanya iskemia yang sedang berlangsung, bahkan bila gejala telah ada lebih
dari 12 jam yang lalu atau jika nyeri dan perubahan EKG tampak tersendat. 6
Dalam menentukan terapi reperfusi, tahap pertama adalah menentukan ada tidaknya
rumah sakit sekitar yang memiliki fasilitas IKP. Bila tidak ada, langsung pilih terapi fibrinolitik.
Bila ada, pastikan waktu tempuh dari tempat kejadian (baik rumah sakit atau klinik) ke rumah
sakit tersebut apakah kurang atau lebih dari (2 jam). Jika membutuhkan waktu lebih dari 2 jam,
reperfusi pilihan adalah fibrinolitik. Setelah fibrinolitik selesai diberikan, jika memungkinkan
pasien dapat dikirim ke pusat dengan fasilitas IKP. 6
29
Intervensi koroner perkutan primer
IKP primer adalah terapi reperfusi yang lebih disarankan dibandingkan dengan
fibrinolisis apabila dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit dari waktu kontak
medis pertama. IKP primer diindikasikan untuk pasien dengan gagal jantung akut yang berat atau
syok kardiogenik, kecuali bila diperkirakan bahwa pemberian IKP akan tertunda lama dan bila
pasien datang dengan awitan gejala yang telah lama. 6
Bila pasien tidak memiliki indikasi kontra terhadap terapi antiplatelet dual (dual
antiplatelet therapy-DAPT) dan kemungkinan dapat patuh terhadap pengobatan, drug-eluting
stents (DES) lebih disarankan daripada bare metal stents (BMS). 6
Farmakoterapi periprosedural
Pasien yang akan menjalani IKP primer sebaiknya mendapatkan terapi antiplatelet ganda
(DAPT) berupa aspirin dan penghambat reseptor ADP sesegera mungkin sebelum angiografi,
disertai dengan antikoagulan intravena. Aspirin dapat dikonsumsi secara oral. Pilihan
penghambat reseptor ADP yang dapat digunakan antara lain6:
1. Ticagrelor (dosis loading 180 mg, diikuti dosis pemeliharaan 90 mg dua kali sehari) .
2. Atau clopidogrel (disarankan dengan dosis lebih tinggi yaitu dosis loading 600 mg diikuti
150 mg per hari), bila ticagrelor tidak tersedia atau diindikasikontrakan.
Antikoagulan intravena harus digunakan dalam IKP primer. Pilihannya antara lain4:
1. Heparin yang tidak terfraksi (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP Iib/IIIa rutin)
harus digunakan pada pasien yang tidak mendapatkan bivarlirudin atau enoksaparin
2. Enoksaparin (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP Iib/IIIa) dapat lebih dipilih
dibandingkan heparin yang tidak terfraksi
3. Fondaparinuks tidak disarankan untuk IKP primer
30
4. Tidak disarankan menggunakan fibrinolisis pada pasien yang direncanakan untuk IKP
primer.
Terapi fibrinolitik
Agen yang spesifik terhadap fibrin (tenekteplase, alteplase, reteplase) lebih disarankan
dibandingkan agen-agen yang tidak spesifik terhadap fibrin (streptokinase). Aspirin oral atau
intravena harus diberikan. Clopidogrel diindikasikan diberikan sebagai tambahan untuk aspirin. 6
Pemindahan pasien ke pusat pelayanan medis yang mampu melakukan IKP setelah
fibrinolisis diindikasikan pada semua pasien . IKP “rescue” diindikasikan segera setelah
fibrinolisis gagal, yaitu resolusi segmen ST kurang dari 50% setelah 60 menit disertai tidak
hilangnya nyeri dada . IKP emergency diindikasikan untuk kasus dengan iskemia rekuren atau
bukti adanya reoklusi setelah fibrinolisis yang berhasil . Hal ini ditunjukkan oleh gambaran
elevasi segmen ST kembali. 6
31
Angiografi emergensi dengan tujuan untuk melakukan revaskularisasi diindikasikan
untuk gagal jantung/pasien syok setelah dilakukannya fibrinolisis inisial. Jika memungkinkan,
angiografi dengan tujuan untuk melakukan revaskularisasi (pada arteri yang mengalami infark)
diindikasikan setelah fibrinolisis yang berhasil. Waktu optimal angiografi untuk pasien stabil
setelah lisis yang berhasil adalah 3-24 jam. 6
Waktu sejak awitan gejala (kurang dari 12 jam atau lebih dari 12 jam dengan tanda dan
gejala iskemik)
Risiko fibrinolisis dan indikasi kontra fibrinolysis
Waktu yang dibutuhkan untuk pemindahan ke pusat kesehatan yang mampu melakukan
IKP (<120 menit)
32
Langkah 2: Tentukan pilihan yang lebih baik antara fibrinolisis atau strategi invasif untuk kasus
tersebut
Bila pasien <3 jam sejak serangan dan IKP dapat dilakukan tanpa penundaan, tidak ada
preferensi untuk satu strategi tertentu.
Pasien datang kurang dari 3 jam setelah awitan gejala dan terdapat halangan untuk
strategi invasif
Strategi invasif tidak dapat dilakukan
Cath-lab sedang/tidak dapat dipakai
Kesulitan mendapatkan akses vaskular
Tidak dapat mencapai laboratorium/pusat kesehatan yang mampu melakukan
IKP dalam waktu <120 menit
Halangan untuk strategi invasif
Transportasi bermasalah
Waktu antara Door-to-balloon dan Door-to-needle lebih dari 60 menit
Waktu antar kontak medis dengan balonisasi atau door-to-balloon lebih dari 90
menit Keadaan di mana strategi invasif lebih baik:
Tersedianya cath-lab dengan dukungan pembedahan
Waktu antar kontak medis dengan balonisasi atau door-to-balloon kurang dari 90
menit
Waktu antara Door-to-balloon dan Door-to-needle kurang dari 1 jam
Risiko tinggi STEMI
Syok kardiogenik
Kelas Killip ≥ 3
Indikasi kontra untuk fibrinolisis, termasuk peningkatan risiko perdarahan dan
perdarahan intracranial
Pasien datang lebih dari 3 jam setelah awitan gejala
Diagnosis STEMI masih ragu-ragu
33
Tabel 2. Indikasi Kontra Terapi Fibrinolitik6
34
selama 30 menit,
kemudian 0,5 mg/kg
selama 60 menit.
Dosis total tidak lebih
dari 100 mg.
Koterapi antikogulan6
35
C. TERAPI JANGKA PANJANG
Mengingat sifat PJK sebagai penyakit kronis dan risiko tinggi bagi pasien yang telah
pulih dari STEMI untuk mengalami kejadian kardiovaskular selanjutnya dan kematian prematur,
perlu dilakukan berbagai intervensi untuk meningkatkan prognosis pasien. Dalam penanganan
jangka panjang ini peran dokter umum lebih besar, namun ada baiknya intervensi ini ditanamkan
dari saat pasien dirawat di rumah sakit, misalnya dengan mengajarkan perubahan gaya hidup
sebelum pasien dipulangkan6.
Terapi jangka panjang yang disarankan setelah pasien pulih dari STEMI adalah6:
1. Kendalikan faktor risiko seperti hipertensi, diabetes, dan terutama merokok, dengan ketat
2. Terapi antiplatelet dengan aspirin dosis rendah (75-100 mg) diindikasikan tanpa henti
3. DAPT (aspirin dengan penghambat reseptor ADP) diindikasikan hingga 12 bulan setelah
STEMI
4. Pengobatan oral dengan penyekat beta diindikasikan untuk pasien-pasien dengan gagal
ginjal atau disfungsi ventrikel kiri
5. Profil lipid puasa harus didapatkan pada setiap pasien STEMI sesegera mungkin sejak
datang
6. Statin dosis tinggi perlu diberikan atau dilanjutkan segera setelah pasien masuk rumah
sakit bila tidak ada indikasi kontra atau riwayat intoleransi, tanpa memandang nilai
kolesterol inisial
7. ACE-I diindikasikan sejak 24 jam untuk pasien-pasien STEMI dengan gagal ginjal,
disfungsi sistolik ventrikel kiri, diabetes, atau infark aterior (Kelas I-A). Sebagai
alternatif dari ACE-I, ARB dapat digunakan.
8. Antagonis aldosteron diindikasikan bila fraksi ejeksi ≤40% atau terdapat gagal ginjal atau
diabetes, bila tidak ada gagal ginjal atau hiperkalemia.
D. KOMPLIKASI STEMI6
Gangguan hemodinamik
a. Gagal jantung
36
b. Hipotensi
c. Kongesti paru
d. Keadaan output rendah
e. Syok kardiogenik
f. Aritmia dan gangguan konduksi dalam fase akut
g. Aritmia supraventrikuler
h. Aritmia ventrikuler
i. Sinus bradikardia dan blok jantung
Komplikasi kardiak
a. Regurgitasi katup mitral
b. Ruptur jantung
c. Ruptur septum ventrikel
d. Infark ventrikel kanan
e. Pericarditis
f. Aneurisma ventrikel kiri
g. Thrombus ventrikel kiri
37
DAFTAR PUSTAKA
1. Europian Society of Cardiology. 2015. 2015 ESC guidelines for the management of
Acute Coronary Syndromes in patients presenting without persistent ST segment
elevation. European Heart Journal Advance Access published August 29, 2015.
2. Alwi, I. 2014. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid II, Edisi 6: 1741-56. Jakarta: Interna Publishing.
3. Trihono. Riset Kesehatan Dasar Riskesdas 2013. BPPK Kemenkes RI. 2013.
4. American Heart Association. 2013 ACCF/AHA Guideline for the Management of ST-
Elevation Myocardial Infarction. Journal of The American Heart Association. 2012:1-57
5. Alwi, I. 2009. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid II, Edisi V: 1741-54. Jakarta: Interna Publishing.
6. PERKI. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Pedoman Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskular Indonesia. PERKI 2015
7. Roffi, M. 2015. 2015 ESC Guidelines for the Management of Acute Coronary
Syndromes in Patients Presenting Without Persistent ST-Segment Elevation. Europian
Heart Journal. 2015:1-59.
38