Anda di halaman 1dari 143

II.

DIVISI RESPIROLOGI
1. Landia Setiawati, dr., Sp.A(K)
2. Retno Asih Setyoningrum, dr., Sp.A
3. H. Makmuri MS, dr., Sp. A(K)

-1-
ASMA
Landia Setiawati, Retno Asih Setyoningrum, Makmuri M.S.

BATASAN
Asma secara klinis praktis adalah gejala batuk dan/atau mengi berulang,
terutama pada malam hari (nocturnal), reversible (dapat sembuh spontan atau
dengan pengobatan) dan biasanya terdapat atopi pada pasien dan atau
keluarganya.
Serangan asma adalah episode perburukan yang progresif akut dari gejala-
gejala batuk, sesak nafas, mengi, rasa dada tertekan, atau berbagai kombinasi dari
gejala-gejala tersebut. Penggolongan asma tergantung pada derajat penyakit
(aspek kronis) dan derajat serangan (aspek akut). Berdasar derajat penyakit, asma
dibagi menjadi (1) asma episodik jarang, (2) asma episodik sering dan (3) asma
persisten. Berdasarkan derajat serangan, asma dikelompokkan menjadi (1)
serangan asma ringan, (2) sedang dan (3) berat.

PATOFISIOLOGI
Proses patologi pada serangan asma termasuk konstriksi bronkus, edema
mukosa dan infiltrasi dengan sel-sel inflamasi (eosinofil, netrofil, basofil,
makrofag) dan deskuamasi sel-sel epitel. Dilepaskan berbagai mediator inflamasi
seperti histamin, lekotriene C4, D4 dan E4, P.A.F yang mengakibatkan konstriksi
bronkus, edema mukosa dan pemupukan mukus kental dalam lumen saluran
nafas. Sumbatan yang terjadi tidak seragam/merata di seluruh paru. Atelektasis
segmental atau subsegmental dapat terjadi. Sumbatan jalan nafas menyebabkan
peningkatan tahanan jalan nafas yang tidak merata di seluruh jaringan bronkus,
menyebabkan tidak padu padanya ventilasi dengan perfusi (ventilation-perfusion
mismatch). Hiperinflasi paru menyebabkan penurunan compliance paru, sehingga
terjadi peningkatan kerja nafas. Peningkatan tekanan intrapulmonal yang
diperlukan untuk ekspirasi melalui saluran nafas yang menyempit, dapat makin
mempersempit atau menyebabkan penutupan dini saluran nafas, sehingga
meningkatkan risiko terjadi pneumotoraks. Peningkatan tekanan intratorakal

-2-
diduga mempengaruhi arus balik vena dan mengurangi curah jantung yang
bermanifestasi sebagai pulsus paradoksus.
Ventilasi perfusi yang tidak padu padan, hipoventilasi alveolar, dan
peningkatan kerja nafas menyebabkan perubahan dalam gas darah. Pada awal
serangan, untuk mengkompensasi hipoksia terjadi hiperventilasi sehingga kadar
PaCO2 turun dan dijumpai alkalosis respiratorik. Pada obstruksi jalan nafas yang
berat, terjadi kelelahan otot nafas dan hipoventilasi alveolar yang berakibat
hiperkapnia dan asidosis respiratorik. Karena itu jika dijumpai kadar PaCO2, yang
cenderung meningkat walau nilainya masih dalam rentang normal, harus
diwaspadai sebagai tanda kelelahan dan ancaman gagal nafas. Selain itu dapat
terjadi pula asidosis metabolik akibat hipoksia jaringan dan produksi laktat oleh
otot nafas. Hipoksia dan asidosis dapat menyebabkan vasokontrksi pulmonal,
namun jarang terjadi komplikasi cor pulmonale. Hipoksia dan vasokontriksi dapat
merusak sel alveoli sehingga produksi surfaktan berkurang atau tidak ada, dan
meningkatkan risiko terjadi atelektasis.

DIAGNOSIS
UKK Pulmonologi PP IDAI telah membuat pedoman nasional asma
dengan gejala awal berupa batuk dan/atau mengi (lihat lampiran 4).
Pada alur diagnosis selain anamnesis yang cermat, beberapa pemeriksaan
penunjang juga perlu dilakukan tergantung pada fasilitas yang tersedia.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Uji fungsi paru dengan spirometri atau peak flow meter. Diagnosis asma dapat
ditegakkan bila didapatkan :
- Variasi pada PFR (peak flow meter = arus puncak ekspirasi) atau FEV1
(forced expiratory volume 1 second = volume ekspirasi paksa pada detik
pertama)  15%.
- Peningkatan  15% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi
bronkodilator.
- Penurunan  20% pada PFR atau PEV1 setelah provokasi bronkus.

-3-
 Pemeriksaan Ig E dan eosinofil total. Bila terjadi peningkatan nilai normal
dapat menunjang diagnosis.
 Foto toraks untuk melihat gambaran emfisematous atau komplikasi pada saat
serangan. Foto sinus para nasal perlu dipertimbangkan pada anak > 5 tahun
dengan asma persisten atau sulit diatasi.

PENATALAKSANAAN
Tatalaksana asma mencakup edukasi terhadap pasien dan atau keluarganya
tentang penyakit asma dan penghindaran terhadap faktor pencetus serta
medikamentosa. Medikamentosa yang digunakan dibagi menjadi 2 kelompok
besar yaitu pereda (reliever) dan pengendali (controller). Tata laksana asma
dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu pada saat serangan (asma akut) dan
diluar serangan (asma kronis).
Di luar serangan, pemberian obat controller tergantung pada derajat asma.
Pada asma episodik jarang, tidak diperlukan controller, sedangkan pada asma
episodik sering dan asma persisten memerlukan obat controller. Pada saat
serangan lakukan prediksi derajat serangan (Lampiran 2), kemudian tatalaksana
disesuaikan dengan derajatnya (Lampiran 5). Pada serangan asma akut yang berat:
 Berikan oksigen.
 Nebulasi dengan -agonis ± antikolinergik dengan oksigen, 4-6 kali
pemberian.
 Koreksi asidosis, dehidrasi dan gangguan elektrolit bila ada.
 Berikan steroid intra vena bolus, tiap 6-8 jam.
 Berikan Aminophylline intra vena :
- Bila pasien belum mendapatkan Aminophylline sebelumnya, berikan
Aminophylline dosis awal 6 mg/kgBB dalam dekxtrose atau NaCl
sebanyak 20 ml dalam 20-30 menit.
- Bila pasien telah mendapatkan Aminophylline (kurang dari 4 jam), dosis
diberikan separuhnya.
- Bila mungkin kadar Aminophylline diukur dan dipertahankan 10-20
meg/ml.
- Selanjutnya berikan Aminophylline dosis rumatan 0,5-1 mg/kgBB/jam.

-4-
 Bila terjadi perbaikan klinis, nebulasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24 jam, dan
pemberian steroid dan Aminophylline dapat per oral.
 Bila dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan
dibekali obat -agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam selama
24-48 jam. Selain itu steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik
rawat jalan dalam 24-48 jam untuk reevaluasi tatalaksana.

-5-
Lampiran 1 : Pembagian Derajat Penyakit Asma Pada Anak
Parameter Klinis,
Asma Episodik Asma Episodik
Kebutuhan Obat Asma Persisten
Jarang Sering
Dan Faal Paru
Frekuensi < 1 x/bulan > 1 x/bulan Sering
serangan
Lama serangan < 1 minggu  1 minggu Hampir sepanjang
tahun, tidak ada
remisi
Intensitas serangan Biasanya ringan Biasanya sedang Biasanya berat
Diantara serangan Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan
malam
Tidur dan aktifitas Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu
Pemeriksaan fisis Normal (tidak Mungkin terganggu Tidak pernah
di luar serangan ditemukan kelainan) (ditemukan kelainan) normal
Obat pengendali Tidak perlu Perlu Perlu
(anti inflamasi)
Uji faal paru (di PEV/FEV1 > 80% PEV/FEV1 > 60-80% PEV/FEV1 < 60%
luar serangan) Variabilitas 20%-
30%
Variabilitas faal Variabilitas > 15% Variabilitas > 30% Variabilitas > 50%
paru (bila ada
serangan)

-6-
Lampiran 2 : Penilaian Derajat Serangan Asma
Parameter
Klinis, Fungsi Ancaman
Ringan Sedang Berat
Paru, Henti Nafas
Laboratorium
Sesak timbul- Berjalan Berbicara Istirahat
pada saat Bayi : Bayi : Bayi :
(breathless) Menangis keras - Tangis pendek Tidak mau
dan lemah makan/minum
- Kesulitan
makan/minum
Bicara Kalimat Penggal kalimat Kata-kata
Posisi Bisa berbaring Lebih suka Duduk
duduk bertopang
lengan
Kesadaran Mungkin iritable Biasanya iritable Biasanya Bilngung dan
iritable mengantuk
Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata/jelas
Mengi Sedang, sering Nyaring, Sangat Sulit/tidak
(Wheezing) hanya pada akhir sepanjang nyaring, terdengar
ekspirasi ekspirasi, ± terdengar tanpa
inspirasi stetoskop
Sesak nafas Minimal Sedang Berat
Obat bantu Biasanya tidak Biasanya ya Ya Gerakan
nafas paradok
torako-
abdominal
Retraksi Dangkal, retraksi Sedang, Dalam, Dangkal/hilan
interkostal ditambah retraksi ditambah nafas g
suprasternal cuping hidung
Laju nafas Meningkat Meningkat Meningkat Menurun
Pedoman nilai baku laju nafas pada anak sadar :
Usia Laju Nafas Normal
< 2 bulan < 60/menit
2-12 bulan < 50/menit
1-5 tahun < 40/menit
6-8 tahun < 30/menit

-7-
Parameter Klinis,
Ancaman
Fungsi Paru, Ringan Sedang Berat
Henti Nafas
Laboratorium
Laju nadi Normal Takikardi Takikardi Bradikardi
Pedoman nilai baku laju nafas pada anak sadar :
Usia Laju Nadi Normal
2-12 bulan < 160/menit
1-2 tahun < 120/menit
3-8 tahun < 110/menit
Pulsus paradoktus Tidak ada < 10 Ada Ada Tidak ada,
(pemeriksaannya mmHg 10-20 mmHg > 20 mmHg tanda
tidak praktis) kelelahan otot
nafas
PEFR atau FEV1
(% nilai dugaan/
% nilai terbaik)
- Pra
bronkodilator > 60% > 80% < 40%
- Pasca < 60%
bronkodilator 40-60% 60-80% Respons
< 2 jam
SaO2% > 95% 91-95%  90%
PaO2 Normal > 60 mmHg < 60 mmHg
biasanya tidak
perlu diperiksa
PaCO2 < 45 mmHg < 45 mmHg > 45 mmHg

-8-
Lampiran 3 : Sistem Skoring Pernafasan
0 1 2
Sianosis (-) (+) pada udara kamar (+) pada 4% O2
Aktifitas otot-otot pernafasan (-) Sedang Nyata
tambahan
Pertukaran udara Baik Sedang Jelek
Keadaan mental Normal Depresi/gelisah Koma
Pulsus parafoksus (Torr) < 10 10-40 > 40
PaO2 (Torr) 70-100  70 pada udara  70 pada 40% O2
kamar
PaCO2 (Torr) < 40 40-65 > 65

Skor :
0-4 : Tidak ada bahaya
5-6 : Akan terjadi gagal nafas  siapkan Unit Gawat Darurat
7 : Gagal nafas

-9-
Lampiran 4 : Alur Diagnosis Asma
Batuk dan/atau mengi/wheezing

Riwayat penyakit
Pemeriksaan fisik
Uji tuberkulin

Patut diduga asma : Patut diduga asma :


 Episodik dan/atau kronis  Episodik dan/atau kronis
 Noctumal/morning drip  Noctumal/morning drip
 Musiman  Musiman
 Pajanan terhadap pencetus  Pajanan terhadap pencetus
 Riwayat atopi  Riwayat atopi
 Pasien/keluarga  Pasien/keluarga

Periksa peak flow meter atau spirometer Pertimbangkan pemeriksaan :


untuk menilai :  Foto rontgen toraks dan sinus
 Reversibilitas (? 15%)  Uji faal paru
 Variabilitas (? 15%)  Uji respons terhadap bronkodilator
dan steroid sistemik 5 hari
 Uji provokasi bronkus
Berikan bronkodilator Tidak
 Uji keringat
berhasil
 Uji imunologis
Berhasil  Pemeriksaan motilitas silia
 Uji pemeriksaan refluks GE

Diagnosis kerja : asma Tidak mendukung Mendukung


diagnosis lain diagnosis lain

Diagnosis dan pengobatan penyakit lain

Berikan obat anti asma : Pertimbangan asma Bukan asma


Bila tidak berhasil nilai ulang diagnosis disertai penyakit
dan ketaatan berobat lain

-10-
Lampiran 5 : Tatalaksana Serangan Asma pada Anak
Klinik/IGD
Nilai Derajat Serangan (1)
Sesuai Lampiran 2

Tatalaksana Awal
Nebulisasi -agonis 1-3x, selang 20 menit (2)
Nebulisasi ketiga + antikolinergik
Jika serangan berat, nebulisasi -agonis (+ antikolinergik)

Serangan Ringan Serangan Sedang Serangan Berat


(Nebulisasi 1x, respons baik, (Nebulisasi 2-3x, respons (Nebulisasi 3x, respons
gejala hilang) parsial) buruk)
 Observasi 2 jam  Berkan oksigen (3)  Sejak awal berikan O2
 Jika efek bertahan, boleh  Nilai kembali derajat saat / di luar nebulisasi
pulang serangan, jika sesuai  Pasang jalur parenteral
 Jika gejala timbul lagi, dengan serangan sedang,  Steroid intravena
perlakukan sebagai observasi di Ruang Rawat  Nilai ulang klinisnya, jika
serangan sedang Sehari sesuai dengan serangan
 Berikan steroid oral berat, rawat di Ruang
 Pasang jalur parenteral Rawat Inap
 Foto rontgen toraks

Boleh Pulang Ruang Rawat Sehari Ruang Rawat Inap


 Bekali obat -agonis  Oksigen teruskan  Oksigen teruskan
(hirupan/oral)  Berikan steroid oral  Atasi dehidrasi dan
 Jika sudah ada obat  Nebulasi tiap 2 jam asidosis jika ada
pengendali, teruskan  Bila dalam 8-12 jam  Steroid IV tiap 6-8 jam
 Dalam 24-48 jam kontrol perbaikan klinis stabil,  Nebulisasi tiap 1-2 jam
ke Klinik Rawat Jalan, boleh pulang  Aminophylline IV awal,
untuk berevaluasi  Bila dalam 12 jam klinis lanjutkan rumatan
tetap belum membaik,  Jika membaik dalam 4-6x
alih rawat ke Ruang nebulisasi, interval jadi 4-
Rawat Inap 6 jam
 Jika dalam 24 jam
perbaikan klinis stabil,
boleh pulang
 Jika dengan steroid dan
Aminophylline parenteral
Catatan : tidak membaik, bahkan
1. Jika menurut penilaian serangannya berat, nebulisasi timbul ancaman henti
cukup 1x langsung dengan -agonis + antikolinergik nafas, alih rawat ke
2. Jika tidak ada alatnya, nebulisasi dapat diganti dengan Ruang Rawat Intensif
adrenalin subkutan 0,01 ml/kgBB/kali maksimal 0,3
ml/kali
3. Untuk serangan sedang dan terutama berat, oksigen 2-4
l/menit diberikan sejak awal, termasuk saat nebulisasi

-11-
Lampiran 6 : Obat-Obat yang Umum Digunakan

Tabel 1 : Takaran Obat, Cairan dan Waktu untuk Nebulisasi


Cairan, Obat, Waktu Nebulisasi Jet Nebulisasi Ultrasonik
Garam faali (NaCl 0,9%)
-agonis/antikolinergik/steroid lihat tabel 2
waktu 10-15 menit 3-5 menit

Tabel 2 : Obat untuk Nebulisasi, Jenis dan Dosis


Nama Generik Sediaan Dosis Nebulisasi
Golongan -agonis
Fenoterol Solution 0,1% 5-10 tetes
Salbutamol Nebule 2,5 mg 1 nebule (0,1-0,15 mg/kg)
Terbutalin Respule 2,5 mg 1 respule
Golongan antikolinergik
Ipratropium bromide Solution 0,025%  6 th : 8-20 tetes
Golongan steroid
Budesonide Respule
Fluticasone Nebule

Tabel 3 : Sediaan Steroid yang Dapat Digunakan untuk Serangan


Asma
Steroid Oral :
Nama Generik Sediaan Dosis
Golongan -agonis
Prednisolone Tablet 4 mg 1-2 mg/kgBB/hari tiap 6 jam
Prednisone Tablet 5 mg 1-2 mg/kgBB/hari tiap 6 jam
Triamsinolone Tablet 4 mg 1-2 mg/kgBB/hari tiap 6 jam

Steroid Injeksi :
Nama Generik Sediaan Jalur Dosis
Golongan -agonis
Methylprednisolone Vial 125 mg IV / 1M 1-2 mg/kgBB tiap 6
succinate Vial 500 mg jam
Hydrocortisone succinate Vial 100 mg IV / 1M 4 mg/kgBB/x tiap 6

-12-
jam
Dexamethasone Ampul 5 mg IV / 1M 0,5-1 mg/kgBB bolus,
Ampul 4 mg dilanjutkan 1
mg/kg/BB/hari
diberikan tiap 6-8 jam
Betamethasone Ampul 4 mg IV / 1M 0,05-0,1 mg/kgBB
tiap 6 jam

-13-
BRONKIOLITIS
Landia Setiawati, Retno Asih Setyoningrum, Makmuri M.S.

BATASAN
Bronkiolitis adalah penyakit obstruktif akibat inflamasi akut pada saluran
nafas kecil (bronkiolus) yang terjadi pada anak < 2 tahun dengan insidens
tertinggi pada usia sekitar 2-6 bulan dengan penyebab tersering respiratory
sincytial virus (RSV), diikuti dengan parainfluenzae dan adenovirus. Penyakit
ditandai oleh sindrom klinis yaitu, napas, cepat, retraksi dada dan wheezing.

PATOFISIOLOGI
Mikroorganisme msuk melalui droplet mengadakan kolonisasi dan
replikasi di mukosa bronkioli terutama pada terminal bronkiolus sehingga terjadi
kerusakan/nekrosis sel-sel bersilia pada bronkioli. Respons imun tubuh yang
terjadi ditandai dengan proliferasi limfosit, sel plasma dan makrofag. Akibat dari
proses tersebut terjadi edema sub mukosa, kongesti serta penumpukan debris dan
mukus (plugging), sehingga terjadi penyempitan lumen bronkioli. Penyempitan
ini mempunyai distribusi tersebar dengan derajat yang bervariasi (total/sebagian).
Gambaran yang terjadi adalah atelektasis yang tersebar dan distensi yang
berlebihan (hyperaerated) sehingga dapat terjadi gangguan pertukaran gas serius,
gangguan ventilasi/perfusi dengan akibat terjadi hipoksemia (PaO2 turun) dan
hiperkapnea (PaCO2 meningkat). Kondisi yang berat dapat terjadi gagal nafas.

DIAGNOSIS
Anamnesis
Anak usia di bawah 2 tahun dengan didahului infeksi saluran nafas akut
bagian atas dengan gejala batuk, pilek, biasanya tanpa demam atau hanya
subfebris. Sesak nafas makin hebat dengan nafas dangkal dan cepat.
Pemeriksaan Fisis
Dapat dijumpai demam, dispine dengan expiratory effort dan retraksi.
Nafas cepat dangkal disertai dengan nafas cuping hidung, sianosis sekitar hidung
dan mulut, gelisah. Terdengar ekspirium memanjang atau mengi (wheezing). Pada

-14-
auskultasi paru dapat terdengar ronki basah halus nyaring pada akhir atau awal
inspirasi. Suara perkusi paru hipersonor. Jika obstruksi hebat suara nafat nyaris
tidak terdengar, napas cepat dangkal, wheezing berkurang bahkan hilang.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan darah tepi tidak khas. Pada pemeriksaan foto dada AP dan
lateral dapat terlihat gambaran hiperinflasi paru (emfisema) dengan diameter
anteroposterior membesar pada foto lateral serta dapat terlihat bercak konsolidasi
yang tersebar. Analisis gas darah dapat menunjukkan hiperkarbia sebagai tanda
air trapping, asidosis respiratorik atau metabolik. Bila tersedia, pemeriksaan
deteksi cepat dengan antigen RSV dapat dikerjakan.

DIAGNOSIS BANDING
 Asma bronkial
 Aspirasi benda asing
 Bronkopneumonia
 Gagal jantung
 Miokarditis
 Fibrosis kistik

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan bronkiolitis yang dianjurkan adalah :
1. Pemberian oksigenasi; dapat diberikan oksigen nasal atau masker, monitor
dengan pulse oxymetry. Bila ada tanda gagal nafas diberikan bantuan ventilasi
mekanik.
2. Pemberian cairan dan kalori yang cukup (bila perlu dapat dengan cairan
parenteral). Jumlah cairan sesuai berat badan, peningkatan suhu dan status
hidrasi.
3. Koreksi terhadap kelainan asam basa dan elektrolit yang mungkin timbul.
4. Antibiotik dapat diberikan pada keadaan umum yang kurang baik, curiga
infeksi sekunder (pneumonia) atau pada penyakit yang berat.
5. Kortikosteroid : Dexamethasone 0,5 mg/kgBB dilanjutkan dengan 0,5
mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis.

-15-
6. Dapat diberikan nebulasi -agonis (salbutamol 0,1 mg/kgBB/dosis, sehari 4-6
kali) diencerkan dengan salin normal untuk memperbaiki kebersihan
mukosilier.
Untuk menilai kegawatan penderita dapat digunakan skor Respiratory
Distress Assement Instrument (RDAI), yang menilai distress napas berdasarkan 2
variabel respirasi yaitu wheezing dan retraksi. Bila skor lebih dari 15 dimasukkan
kategori berat, bila skor kurang 3 dimasukkan dalam kategori ringan (lampiran 1).

-16-
Lampiran 1 : Respiratory Distress Assement Instrument (RDAI)
Skor Skor
0 1 2 3 4 Maksimal
Wheezing :
- Ekspirasi (-) Akhir ½ Semua 4
- Inspirasi (-) Sebagian semua ¾ 2
- Lokasi (-)  2 dr 4 lap paru  3 dr 4 lap paru 2
Retraksi :
- supraklavikular (-) Ringan Sedang Berat 3
- Interkostal (-) Ringan Sedang Berat 3
- Subkostal (-) Ringan Sedang Berat 3
TOTAL 17

-17-
Lampiran 2 : Tatalaksana Bronkiolitis
TATALAKSANA BRONKIOLITIS

Penyebab : RSV, parainfluenza, influenza, adenovirus, mycoplasma. Usia : 2 tahun


Gejala : Panas, pilek, batuk disusul sesak napas, wheezing ekspirator, sianosis (bayi kecil apnea)
Foto dada : hiperinflasi, penebalan peribronkial, atelektasis, infiltrat
Periksa : kesadaran, pernapasan, wheezing, warna kulit, status hidrasi, skor RDAI

Ringan : RDAI < 3 Sedang : RDAI 3-15 Berat : RDAI > 15


Makan/minum normal Retraksi +, Tkipnea +, Sianosis +, Sesak hebat
Dehidrasi – Wheezing +, Sianosis –, dehidrasi +, Hipoksia +,
Retraksi – Resiko tinggi + Apnea +, Makan /
minum -

Rawat jalan : Rumah Sakit : ICU/UPI :


Hidrasi oral, nutrisi, Oksigen, hidrasi, nutrisi Cek : Foto dada, gas,
suportif, Salbutamol : 0,1 darah, EKG, elektrolit.
Pastikan : mg/kgBB/dosis dalam 3 Oksigen, bila perlu :
Pengetahuan orang tua cc normal saline ventilasi mekanik.
+, transportasi ke RS nebulasi, diulangi tiap 4- Nebulasi salbutamol.
memadai 6 jam, antibiotik : Steroid :
disesuaikan, Dexamethazone 0,1-0,2
Suportif. mg/kgBB/dosis IV.
Cek : foto dada, gas Antibiotik spektrum
darah, EKG, elektrolit luas, suportif

Diagnosis Banding Bronkiolitis :


Infeksi : Pertussis, Bronkopneumonia
Non-infeksi : Asma, gastroesophageal reflux, corpus alienum saluran napas,
tracheoesophageal fistula, cystic fibrosis.

Bronkiolitis dengan risiko tinggi :


Lahir prematur, usia < 3 bulan, penyakit jantung bawaan, penyakit paru kronis, riwayat asma/alergi
pada keluarga

-18-
Lampiran 3 : Beberapa Perbedaan Antara Bronkiolitis dan Asma
ASMA BRONKIOLITIS
Penyebab Hiper reaktivitas bronkus Virus
Umur > 2 tahun 6 bulan – 2 tahun
Sesak berulang Ya Tidak
Onset sesak Akut Insidious
ISPA atas +/- Selalu +
Atopi keluarga Sering Jarang
Alergi lain Sering
Respons bronkodilator Cepat Lambat
Eosinofil Meningkat Normal

-19-
BRONKITIS
Landia Setiawati, Retno Asih Setyoningrum, Makmuri M.S.

PENGERTIAN
Bronkitis merupakan proses keradangan pada bronkus dengan manifestasi
utama berupa batuk, yang dapat berlangsung secara akut maupun kronis. Proses
ini dapat disebabkan karena perluasan dari proses penyakit yang terjadi dari
saluran napas atas maupun bawah.

ETIOLOGI
1. Infeksi :
- Virus : RSV, parainfluenza, influenza, adeno, morbilli.
- Bakteri : H. influenza B, Staphylococcus, streptococcus, pertusis,
tuberculosis, mycoplasma.
- Fungi : monilia.
2. Alergi : asma
3. Kimiawi :
- Aspirasi susu, aspirasi isi lambung.
- Asap rokok.
- Uap/gas yang merangsang.

GEJALA KLINIS BRONKITIS AKUT


 Didahului infeksi saluran nafas atas (terutama virus).
 Batuk pilek 3-4 hari.
 Sifat batuk : batuk kering disertai nyeri/panas substernal, beberapa hari, riak
jernih purulen setelah 10 hari riak menjadi encer kemudian hilang, batuk dapat
disertai muntah-muntah.

PEMERIKSAAN FISIS BRONKITIS AKUT


 Keadaan umum, baik, anak tidak tampak sakit.
 Panas sub febris seringkali terjadi.

-20-
 Tidak didapatkan sesak, pada pemeriksaan paru didapatkan ronki basah kasar,
dapat terdengar ronki kurang (coarse moist rales) yang tidak tetap.
 Dapat ditemukan nasofaringitis, kadang conjunctivitis.
 Pemeriksaan penunjang :
- Foto toraks dapat normal atau peningkatan corak bronkovaskuler.
- Pada pemeriksaan laboratorium lekosit dapat normal atau meningkat.

PENATALAKSANAAN BRONKITIS AKUT


 Mengontrol batuk agar sekret menjadi lebih encer/lebih mudah dikeluarkan :
- Anak dianjurkan untuk minum lebih banyak.
- Pemberian uap atau mukolitik, bila perlu diikuti fisioterapi dada.
- Hati-hati dalam pemberian antitusif dan antihistamin karena dapat
mengakibatkan sekret menjadi lebih kental sehingga dapat menimbulkan
atelektasis atau pneumonia.
 Antibiotik diberikan apabila ada kecurigaan infeksi sekunder, dengan pilihan
antibiotik : Ampicilline, Cloxacilline, Chloramphenicol, Erythromycine.

KOMPLIKASI BRONKITIS AKUT


Komplikasi bronkitis akut jarang didapatkan. Pada anak dengan status gizi
kurang, dapat terjadi komplikasi berupa otitis media,pneumonia, sinusitis.
Pada bronkitis berulang, harus dipikirkan kemungkinan :
 Tuberkulosis.
 Alergi.
 Sinusitis.
 Tonsilitis adenoid.
 Bronkiektasis.
 Benda asing/corpus alienum.
 Kelainan kongenital.
 Defisiensi imun.
 Fibrosis kistik.

-21-
PNEUMONIA
Landia Setiawati, Retno Asih Setyoningrum, Makmuri M.S.

BATASAN
Pneumonia adalah penyakit peradangan parenkim paru yang disebabkan
oleh bermacam etiologi seperti bakteri, virus, mikoplasma, jamur atau bahan
kimia/benda asing yang teraspirasi dengan akibat timbulnya ketidakseimbangan
ventilasi dengan perfusi (ventilation perfusion mismatch).

PATOFISIOLOGI
Paru terlindung dari infeksi melalui beberapa mekanisme : filtrasi partikel
di hidung, pencegahan aspirasi dengan refleks epiglotis, ekspulsi benda asing
melalui refleks batuk, pembersihan ke arah kranial oleh mukosilier, fagositosis
kuman oleh makrofag alveolar, netralisasi kuman oleh substansi imun lokal dan
drainase melalui sistem limfatik. Faktor predisposisi pneumonia : aspirasi,
gangguan imun, septisemia, malnutrisi, campak, pertusis, penyakit jantung
bawaan, gangguan neuromuskular, kontaminasi perinatal dan gangguan klineris
mukus/sekresi seperti pada fibrosis kistik, benda asing atau disfungsi silier.
Mikroorganisme mencapai paru melalui jalan nafas, aliran darah, aspirasi
benda asing, transplasental atau selama persalinan pada neonatus. Umumnya
pneumonia terjadi akibat inhalasi atau aspirasi mikroorganisme, sebagian kecil
terjadi melalui aliran darah (hematogen). Secara klinis sulit membedakan
pneumonia bakteri dan virus. Bronkopneumonia merupakan jenis pneumonia
tersering pada bayi dan anak kecil. Pneumonia lobaris lebih sering ditemukan
dengan pertambahan umur. Pada pneumonia berat bisa terjadi hipoksemia,
hiperkapnea, asidosis respiratorik, asidosis metabolik dan gagal nafas.

DIAGNOSIS
Anamnesis
 Gejala yang timbul biasanya mendadak tetapi dapat didahului dengan infeksi
saluran nafas akut bagian atas. Gejalanya antara lain batuk, demam tinggi
terus menerus, sesak, kebiruan di sekitar mulut, menggigil (pada anak), kejang

-22-
(pada bayi) dan nyeri dada. Biasanya anak lebih suka berbaring pada sisi yang
sakit. Pada bayi muda sering menunjukkan gejala non spesifik seperti
hipotermi, penurunan kesadaran, kejang atau kembung sehingga sulit
dibedakan dengan meningitis, sepsis atau ileus.
Pemeriksaan Fisis
 Tanda yang mungkin ada adalah suhu  39oC, dispnea : inspiratory effort
ditandai dengan takipnea, retraksi (chest indrawing), nafas cuping hidung dan
sianosis. Gerakan dinding toraks dapat berkurang pada daerah yang terkena,
perkusi normal atau redup. Pada pemeriksaan auskultasi paru dapat terdengar
suara nafas utama melemah atau mengeras, suara nafas tambahan berupa ronki
basah halus di lapangan paru yang terkena.
Pemeriksaan Penunjang
 Pada pemeriksaan darah tepi dapat terjadi leukositosis dengan hitung jenis
bergeser ke kiri.
 Bila fasilitas memungkinkan pemeriksaan analisis gas darah menunjukkan
keadaan hipoksemia (karena ventilation perfusion mismatch). Kadar PaCO2
dapat rendah, normal atau meningkat tergantung kelainannya. Dapat terjadi
asidosis respiratorik, asidosis metabolik, dan gagal nafas.
 Pemeriksaan kultur darah jantung memberikan hasil yang positif tetapi dapat
membantu pada kasus yang tidak menunjukkan respons terhadap penanganan
awal.
 Pada foto dada terlihat infiltrat alveolar yang dapat ditemukan di seluruh
lapangan paru. Luas kelainan pada gambaran radiologis biasa sebanding
dengan derajat klinis penyakit, kecuali pada infeksi mikoplasma yang
gambaran radiologis lebih berat daripada keadaan klinis. Gambaran lain yang
dapat dijumpai :
- Konsolidasi pada satu lobus atau lebih pada pneumonia lobaris
- Penebalan pleura pada pleuritis
- Komplikasi pneumonia seperti atelektasis, efusi pleura,
pneumomediastinum, pneumotoraks, abses, pneumatokel

-23-
DIAGNOSIS BANDING PNEUMONIA
 Bronkiolitis.
 Payah jantung.
 Aspirasi benda asing.
 Abses paru.

Khusus pada bayi :


 Meningitis.
 Ileus.

KOMPLIKASI
 Pleuritis.
 Efusi pleura/empiema.
 Pneumotoraks.
 Piopneumotoraks.
 Abses paru.
 Gagal nafas.

PENATALAKSANAAN
1. Indikasi MRS :
a. Ada kesukaran nafas, toksis.
b. Sianosis.
c. Umur kurang 6 bulan.
d. Ada penyulit, misalnya : muntah-muntah, dehidrasi, empiema.
e. Diduga infeksi oleh Staphylococcus.
f. Imunokompromis.
g. Perawatan di rumah kurang baik.
h. Tidak respons dengan pemberian antibiotik oral.
2. Pemberian oksigenasi : dapat diberikan oksigen nasal atau masker, monitor
dengan pulse oxymetry. Bila ada tanda gagal nafas diberikan bantuan ventilasi
mekanika.

-24-
3. Pemberian cairan dan kalori yang cukup (bila perlu cairan parenteral). Jumlah
cairan sesuai berat badan, peningkatan suhu dan status hidrasi.
4. Bila sesak tidak terlalu hebat dapat dimulai diet enternal bertahap melalui
selang nasogastrik
5. Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin normal
6. Koreksi kelainan asam basa atau elektrolit yang terjadi
7. Pemilihan antibiotik berdasarkan umur, keadaan umum penderita dan dugaan
penyebab evaluasi pengobatan dilakukan setiap 48-72 jam. Bila tidak ada
perbaikan klinis dilakukan penggantian antibiotik sampai anak dinyatakan
sembuh. Lama pemberian antibiotik tergantung : kemajuan klinis penderita,
hasil laboratoris, foto toraks dan jenis kuman penyebab :
 Stafilokokus : perlu 6 minggu parenteral
 Haemophylus influenzae/Streptococcus pneumonia : cukuup 10-14 hari
Pada keadaan umum imunokompromis (gizi buruk, penyakit jantung
bawaan, gangguan neuromuskular, keganasan, pengobatan kortikosteroid jangka
panjang, fibrosis kistik, infeksi HIV), pemberian antibiotik harus segera dimulai
saat tanda awal pneumonia didapatkan dengan pilihan antibiotik : cephalosporin
generasi 3.
Dapat dipertimbangkan juga pemberian :
 Cotrimoxazole pada Pneumonia Pneumocystic carinii.
 Anti viral (Acyclovir, gancyclovir) pada pneumonia karena Cyto Megalo
Virus (CMV).
 Anti jamur (Amphotericin B, Ketoconazole, Fluconazole) pada pneumonia
karena jamur .
 Imunoglobulin.

-25-
Lampiran 1 : Pilihan Penggunaan Antibiotik pada Pneumonia
PILIHAN ANTIBIOTIK
UMUR PENYEBAB
RAWAT INAP RAWAT JALAN
< 3 bln - Enterobacteri- - Cloxacilline IV dan
aceae (E. Colli, aminoglikosida (gentamycine,
Klebsiella, netromycine, amikacine)
Enterobacter) IV/IM atau
- Streptococcus - Ampicilline IV dan
pneumonia aminoglikosida atau
- Streptococcus - Chepalosporin gen 3 IV
grouup B (ceftazidime, cefuroxime)
- Staphylococcus atau
- Meropenem IV dan
aminoglikosida IV/IM
3 bln – 5 - Streptococcus - Ampicilline IV dan - Amoxyciline atau
th pneumonia Chloramphenicol IV atau - Cloxaciline atau
- Staphylococcus - Ampicilline dan Cloxacilline - Co-amoxyclav atau
- H. Influenzae IV atau - Erythromycine atau
- Chepalosporin gen 3 IV - Claritromycin atau
(cefatoxim, ceftriaxone, - Azitromycin atau
ceftazidime, cefuroxime) atau - Sefalosporing oral
- Meropenem IV dan (cefixime, cefaclor)
aminoglikosida IV/IM
> 5 th - Streptococcus - Ampicilline IV atau - Amoxyciline atau
pneumonia - Erythromycine po atau - Erythromycine po
- Mycoplasma - Clarithromycine po atau atau
pneumonia - Azitromycin po atau - Claritromycin po
- Cotrimoxazole po atau atau
- Cephalosporin gen 3 - Azitromycin atau
- Cotrimoxazole po
atau
- Cephalosporin oral
(cefixime, cefaclor)

-26-
Lampiran 2 : Jenis Obat dan Dosis
OBAT DOSIS/KgBB/24 Jam CARA PEMBERIAN
Ampicilline 50-100 mg im/iv, sehari 4 kali
Amoxyciline 30-75 mg po/im/iv, sehari 3-4 kali
Co-amoxyclav 30-75 mg po, sehari 3-4 kali
Amikacin 15 mg im/iv, sehari 1 kali
Azithromycin 7,5-15 mg po, sehari 1 kali
Erythromycine 50 mg po, sehari 4 kali
Gentamycine 5-7 mg im/iv, sehari 1-2 kali
Cefotaxime 50-100 mg iv, sehari 3-4 kali
Cefixime 50-100 mg po, sehari2 kali
Deftazidime 25-50 mg im/iv, sehari 2-3 kali
Ceftriaxone 50-100 mg im/iv, sehari 1-2 kali
Cefuroxime 25-50 mg im/oral, sehari 3-4 kali
Clarithromycin 15-30 mg po, sehari 2 kali
Cloramphenicol 50-100 mg im/oral, sehari 4 kali
Cloxacillin 50 mg im/iv, sehari 4 kali
Cotrimoxazole 6 mg (TMP) po, sehari 2 kali
Meropenem 30-50 mg iv, sehari 3 kali
Netromycine 5-7 mg/kgBB im/iv, sehari 1 kali

-27-
Lampiran 3 : Sistem Skoring Pernafasan
0 1 2
Sianosis (-) (+) pada udara kamar (+) pada 40% O2
Aktifitas otot-otot (-) Sedang Nyata
pernafasan
tambahan
Pertukaran udara Baik Sedang Jelek
Keadaan mental Normal Depresi/gelisah Koma
Pulsus paradoksus < 10 10-40 > 40
(Torr)
PaO2 (Torr) 70-100  70 pada udara kamar  70 pada 40% O2
PaCO2 (Torr) < 40 40-65 > 65

Skor :
0-4 : Tidak ada bahaya
5-6 : Akan terjadi gagal nafas  siapkan Unit Gawat Darurat (UGD)
7 : Gagal nafas

-28-
SINDROM CROUP
Landia Setiawati, Retno Asih Setyoningrum, Makmuri M.S.

BATASAN
Sindrom “croup” merupakan kumpulan gejala klinis yang ditandai dengan
batuk, suara, parau, stridor inspirator yang disebabkan obstruksi saluran napas
atas/laring.

PATOFISIOLOGI
Ada faktor infeksi (virus, bakteri, jamur), mekanis dan/atau alergi yang
dapat menyebabkan inflamasi, eritema dan edema pada laring dan trakea,
sehingga mengganggu gerakan plica vocalis. Diameter saluran napas atas yang
paling sempit adalah pada bagian trakea di bawah laring (subglottic trachea).
Spasme dan edema akan menimbulkan obstruksi saluran napas atas. Obstruksi
meningkatkan kecepatan dan turbulensi aliran udara yang lewat. Saat aliran udara
ini melewati plica vocalis dan arytenoepigloticc folds, dapat dapat menggetarkan
struktur tersebut sehingga terdengar stridor. Awal stridor bernada rendah (low
pitched), keras dan terdengar saat inspirasi tetapi bila obstruksi semakin berat
stridor terdengar lebih lemah, bernada tinggi (high pitched) dan terdengar juga
saat ekspirasi. Edema pada plica vocalis dapat mengakibakan suara parau.
Kelainan dapat berlanjut hingga mencapai brokus dan alveoli, sehingga terjadi
laringotrakeobronkitis dan laringotrakeobronkopneumonitis. Pada spasmodic
croup terjadi edema jaringan tanpa proses inflamasi. Reaksi yang terjadi terutama
disebabkan oleh reaksi alergi terhadap antigen virus dan bukan akibat langsung
infeksi virus.

PENYEBAB SINDROM CROUP


 INFEKSI : Terbanyak infeksi virus.
- Bakteri : Hemophyllus influenza tipe B, Corynebacterium difteri.
- Virus : Para influenza 1,2,3; Influenza; Adeno; Entero; RSV,
morbilli.
- Jamur : Candida albican.

-29-
 MEKANIK :
- Benda asing.
- Pasca pembedahan.
- Penekanan masa ekstrinsik.
 ALERGI : Sembuh angioneurotik.

GEJALA KLINIS SINDROM CROUP


Gejala klinis diawali dengan suara serak, batuk menggonggong dan stridor
inspirator. Bila terjadi obstruksi stridor menjadi makin berat, tetapi dalam kondisi
yang sudah payah stridor melemah. Dalam waktu 12-48 jam sudah terjadi gejala
obstruksi saluran napas atas. Pada beberapa kasus hanya didapati suara serak dan
batuk menggonggong, tanpa obstruksi napas. Keadaan ini akam membaik dalam
waktu 3 sampai 7 hari. Pada kasus lain terjadi obstruksi napas yang makin berat,
ditandai dengan takipneu, takikardia, sianosis dan pernapasan cuping hidung.
Pada pemeriksaan toraks dapat ditemukan retraksi supraklavikular, suprasternal,
interkostal, epigastrial.
Bila anak mengalami hipoksia, anak tampak gelisah, tetapi jika hipoksia
bertambah berat anak tampak diam, lemas, kesadaran menurun. Pada kondisi yang
berat dapat menjadi gagal napas. Pada kasus yang berat proses penyembuhan
terjadi setelah 7-14 hari.

EPIGLOTITIS AKUT
Epiglotitis akut merupakan keadaan gawat darurat sehingga diagnosis
harus ditegakkan secepat mungkin, terapi harus dilakukan secara cepat dan tepat
agar dapat menurunkan kematian.
Definisi : keradangan akut epiglotis, biasa disebabkan oleh bakteri
(bacterial croup, supraglottic croup).
Etiologi : terbanyak disebabkan Haemophylus influenza tipe B.
Umur : menyerang terbanyak pada kelompok usia 3-7 tahun.
Gejala klinis :
 Mendadak panas tinggi.
 Stridor inspiratoir, retraksi cepa timbul.

-30-
 Nyeri epiglotis : suara kecil (pelan).
 Anak tampak sakit keras/toksis, air liur keluar berlebihan (drooling), gelisah
dan sianosis.
 Epiglotis bengkak dan merah seperti buah cherry.
 Dapat cepat : gagal napas.
Pemeriksaan penunjang :
 Foto leher lateral : dapat terlihat obstruksi supraglotis karena pembengkakan
epiglotis (thumb sign).
 Laboratorium : pemeriksaan darah menunjukkan lekosit meningkat, pada
hitung jenis tampak pergeseran ke kiri. Bila fasilitas tersedia, dari pemeriksaan
hapusan tenggorokan dan biakan darah dapat ditemukan Haemophy influenza
tipe B.

Pentalaksanaan : MRS di ICU


 Pemberian oksigenasi.
 Pemberian cairan intravena disesuaikan berat badan dan status hidrasi.
 Pemberian inhalasi salin normal.
 Pemilihan antibiotik :
- Ampicilline 100 mg/kgBB/hari, intravena, terbagi 4 dosis.
- Chloramphenicole : 50 mg/kgBB/hari, intravena, terbagi dalam 4 dosis.
- Cephalosporine Generasi 3 (Cefotaxime atau Ceftriaxone).
 Bila panas dapat diberikan antipiretik.
 Seringkali memerlukan tindakan trakeostomi.

LARINGITIS AKUT A/LARINGOTRAKEO BRONKITIS AKUT A


Definisi : keradangan pada laring/laring-trakea-bronkus.
Etiologi : penyebab terbanyak adalah virus (para influenza, influenza,
adeno, RSV, Morbili).
Umur : menyerang terutama pada kelompok umur 3 bulan – 5 tahun.
Gejala klinis laringitis akut :
 Sering pada anak, biasanya ringan.
 Selalu didahului infeksi saluran nafas atas.

-31-
 Gejala klinis : panas, pilek, batuk 2-3, mendadak suara parau, batuk
menggonggong, stridor inspiratoir, pemeriksaan faring tampak hiperemi.
 Kesukaran napas yang terjadi tidak berat.
Gejala klinis laringotrakeobronkitis akut :
 Perjalanan penyakit menjalar ke bronkus.
 Dapat terjadi infeksi sekunder karena bakteri.
 Kesukaran bernapas yang terjadi lebih berat.
 Anak dapat mengalami panas tinggi.
 Ada pemeriksaan fisis didapatkan tanda-tanda bronkitis.
Diagnosis laringitis akut/laringotrakeo bronkitis akut :
 Berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis.
 Ditunjang beberapa pemeriksaan tambahan :
- Foto rontgen leher AP : bisa tampak pembengkakan jaringan subglotis
(steeple sign). Tanda ini ditemukan pada 50% kasus.
- Pemeriksaan laboratorium : gambaran darah dapat normal, jika disertai
infeksi sekunder leukosit dapat meningkat.

Penatalaksanaan Laringitis Akut/Laringitrakeo Bronkitis Akut :


 Umumnya tidak perlu MRS.
 Indikasi MRS :
- Usia di bawah satu tahun.
- Tampak toksik, sianosis, dehidrasi atau exhausted.
- Tampak retraksi suprasternal, atau retraksi subcostal.
- Diagnosis tidak jelas.
- Perawatan di rumah kurang memadai.
 Pada Laringotrakeo bronkitis akut dapat diberikan antibiotik (ampicilline
dan/atau Cloramphenicole).
 Diberikan inhalasi dengan salin normal; bila tersedia dapat menggunakan
racemic epinephrine inhalasi.
 Dapat diberikan antipiretik bila perlu.
 Pada anak yang tampak sakit berat :
- Anak harus menjalani rawat inap.

-32-
- Pemberian inhalasi : salin normal.
- Pemberian cairan dan kalori intravena disesuaikan dengan berat badan dan
status hidrasi.
- Antibiotik diberikan secara intravena.
- Dapat diberikan kortikosteroid intravena berupa dexamethazone dengan
dosis 0,5 mg/kgBB/hari terbagi dalam 3 dosis, diberikan selama 1-2 hari.
- Jarang memerlukan tindakan trakeostomi.

SPASMODIC LARYNGITIS (ALLERGIC CROUP, PSEUDO CROUP)


Etiologi : virus, faktor alergi dan faktor psikologis.
Umur : menyerang terbanyak pada kelompok usia 1-3 tahun.
Gejala klinis :
 Dapat terjadi pilek/serak atau tanpa pilek/serak.
 Pada malam hari batuk menggonggong, stridor inspirasi, anak gelisah, tanpa
disertai panas.
 Gejala pada pagi hari akan berkurang, malam menghebat berulang-ulang.
 Ada predisposisi dalam keluarga.
Diagnosis :
 Ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan fisis.
 Tidak didapatkan kelainan pada pemeriksaan laboratorium.
Penatalaksanaan :
 Tidak diperlukan rawat inap dan pemberian antibiotik.
 Pemberian nebuliser setelah anak muntah, dapat memperbaiki laringospasme.

-33-
TUBERKULOSIS
Landia Setiawati, Retno Asih Setyoningrum, Makmuri M.S.

BATASAN
Tuberkulosis adalah penyakit akibat infeksi kukman Mycobacterium
tuberculosis yang bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua organ
tubuh dengan lokasi terbanyak di paru yang biasa merupakan lokasi infeksi
primer.

PATOGENESIS
Penularan TBC terjadi karena menghirup udara yang mengandung
Mycobacterium tubreculosis (M.Tb). Di alveolus M.b difagositosis oleh makrofag
alveolus dan dibunuh, tetapi bila M.Tb yang dihirup virulen dan makrofag
alveolus lemah maka M.Tb dapat berkembang biak dan menghancurkan
makrofag. Monosit dan makrofag dari darah ditarik secara kemotaksis ke arah
M.Tb berada, kemudian memfagositosis M.Tb tetapi tidak dapat membunuhnya.
Makrofag dan M.Tb membentuk tuberkel yang mengandung sel-sel epiteloid,
makrofag yang menyatu (sel raksasa Langhans) dan limfosit. Tuberkel akan
menjadi tuberkuloma dengan nekrosis dan fibrosis di dalamnya dan dapat juga
terjadi kalsifikasi. Lesi pertama di alveolus (fokus primer) menjalar ke kelenjar
limfe hilus dan terjadi infeksi kelenjar limfe, yang bersama-sama dengan
limfangitis membentuk kompleks primer. Dari kelenjar limfe, M.Tb dapat
langsung menyebabkan penyakit di organ-organ tersebut atau hidup dorman
dalam makrofag jaringan dan dapat aktif kembali bertahun-tahun kemudian.
Tuberkel dapat hilang dengan resolusi atau terjadi kalsifikasi atau terjadi nekrosis
dengan masa keju yang dibentuk oleh makrofag. Masa keju dapat mencair dan
M.Tb dapat berkembang biak ekstra selular sehingga dapat meluas di jaringan
paru dan terjadi pneumonia, lesi endobronkial, pleuritis atau Tb milier, juga dapat
menyebar secara bertahap menyebabkan lesi di organ-organ lain.

-34-
DIAGNOSIS
Diagnosis paling tepat ditemukan basil Tb dari bahan yang diambil dari
pasien misalnya sputum, bilasan lambung, biopsi dll. Pada anak hal ini sulit dan
jarang didapat, sehingga sebagian besar diagnosis Tb anak didasarkan gambaran-
gambaran radiologis, dan uji tuberkulin.
Untuk itu penting memikirkan Tb pada anak kalau terdapat keadaan atau
tanda-tanda yang mencurigakan seperti di bawah ini :
1. Pada anak harus dicurigai menderita Tb kalau :
1) Kontak erat (serumah) dengan penderita Tb dengan sputum BTA (+).
2) Terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikan BCG dlam 3-7 hari.
3) Terdapat gejala umum.
2. Gejala-gejala yang harus dicurigai Tb :
I. Gejala umum/tidak spesifik
a. Berat badan turun atau malnutrisi tanpa sebab yang jelas atau tidak
naik dalam 1 bulan dengan penanganan gizi.
b. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan berat
badan tidak bertambah (failure to thrive) dengan adekuat.
c. Demam lama/berulang tanpa sebab yang jelas (bukan tifus, malaria
atau infeksi saluran nafas akut), dapat disertai keringat malam.
d. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit, biasa
multipel, paling sering di daerah leher, axilla inguinal.
e. Gejala-gejala respiratorik
- Batuk lama lebih dari 3 minggu.
- Tanda cairan di dada, nyeri dada.
f. Gejala gastrointestinal
- Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan diare.
- Benjolan/massa di abdomen.
- Tanda-tanda cairan dalam abdomen.
II. Gejala spesifik
1) Tb kulit/skrofuloderma.
2) Tb tulang dan sendi.
- Tulang punggung (spondilitis) : gibbus.

-35-
- Tulang panggul (sekoksitis) : pincang.
- Tulang lutut : pincang dan/atau bengkak.
- Tulang kaki dan tangan.
3) Tb otak dan saraf.
- Meningitis denga gejala iritabel, kaku kuduk, muntah-muntah dan
kesadaran klinis, menurun.
4) Gejala mata : Conjungtivitis phlyctenularis, tuberkel koroid (hanya
terlihat dengan funduskopi).
5) Lain-lain.
3. Uji tuberculin (Mantoux)
Uji tuberkulin dilakukan dengan cara Mantoux (penyuntikan intrakutan).
Tuberkulin yang digunakan adalah tuberkulin PPD RT 23 kekuatan 2 TU atau
PPD-S kekuatan 5 TU. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan.
Diukur diameter tranversal dari indurasi yang terjadi. Ukuran dinyatakan
dalam mm, disebut positif bila indurasi :  10 mm.
4. Reaksi cepat BCG
Bila dalam penyuntikan BCG terjadi reaksi cepat berupa kemerahan dan
indurasi  5 mm (dalam 3-7 hari) maka dicurigai telah terinfeksi
Mycobacterium tuberculosis.
5. Foto rontgen Paru : seringkali tidak khas
Pembacaan sulit, hati-hati kemungkinan overdiagnosis atau underdiagnosis.
Paling mungkin kalau ditemukan infiltrat dengan pembesaran kelenjar hilus
atau kelenjar paratrakeal.
Gambaran rontgen paru pada Tb dapat berupa :
Milier, atelektasis, infiltrat, pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal,
konsolidasi (lobus), reaksi pleura dan /atau pleura, kalsifikasi, bronkiektasis,
kavitas, destroyed lung.
Catatan : diskongkruensi antara gambaran klinis dan gambaran radiologis,
harus dicurigai Tb. Foto Rontgen paru sebaiknya dilakukan PA dan lateral
serta dibaca oleh ahli.
6. Pemeriksaan mikrobiologi : pemeriksaan langsung BTA (mikroskopis) dan
kultur sputum (pada anak bilasan lambung karena sputum sulit didapat).

-36-
7. Pemeriksaan serologi (ELISA, PAP, Mycodot, dll) masih memerlukan
penelitian lebih lanjut.
8. Pemeriksaan patologi anatomi.
9. Respons terhadap pengobatan OAT. Kalau dalam 2 bulan terdapat perbaikan
klinis nyata, dapat menunjang atau memperkuat diagnosis TBC.

PENATALAKSANAAN
Obat harus diminum teratur, setiap hari, dan dalam waktu yang cukup
lama. Dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan.
Secara garis besar dapat dibagi menjadi penatalaksanaan untuk :
1. TBC paru tidak berat.
2. TBC paru berat atau TBC ekstrapulmonal.
Pada TBC paru yang tidak berat cukup diberikan 3 jenis obat anti
tuberkulosis (OAT) dengan jangka waktu terapi 6 bulan. Tahap intensif terdiri
dari isoniazid (H). Rifampycine (R) dan Pyrazinamide (Z) selama 2 bulan
diberikan setiap hari (2HRZ). Tahap lanjutan terdiri dari Isoniazid (H) dan
Rifampycine (R) selama 4 bulan diberikan setiap hari (4HR).
Pada TBC berat (TBC milier, meningitis, dan TBC tulang) maka juga
diberikan Streptomycine atau Ethambutol pada permulaan pengobatan. Jadi pada
TBC berat biasanya pengobatan dimulai dengan kombinasi 4-5 obat selama 2
bulan, kemudian dilanjutkan dengan Isoniazid dan Rifampycine selama 10 bulan
lagi atau lebih, sesuai dengan perkembangan klinisnya. Kalau ada kegagalan
karena resistensi obat, maka obat diganti sesuai dengan hasil uji reesistensi, atau
tambah dan ubah kombinasi OAT.
Obat anti tuberkulosis yang digunakan adalah :
1. Izoniazid (INH) : selama 6-12 bulan.
a. Dosis terapi : 5-10 mg/kgBB/hari diberikan sehari 1 kali.
b. Dosis profilaksis : 5-10 mg/kgBB/hari diberikan sehari 1 kali.
c. Dosis maksimum : 300 mg/hari.
2. Rifampycine (R) : selama 6-12 bulan.
a. Dosis : 10-20 mg/kgBB/hari sehari 1 kali.
b. Dosis maksimum : 600 mg/hari.

-37-
3. Pyrazinamide (Z) : selama 2-3 bulan pertama.
a. Dosis : 23-35 mg/kgBB/hari sehari 2 kali.
b. Dosis maksimum : 2 gram/hari.
4. Ethambutol (E) : selama 2-3 bulan pertama.
a. Dosis : 15-40 mg/kgBB/hari diberikan sekali sehari atau 2
kali.
b. Dosis maksimum : 1250 mg/hari.
5. Streptomycine (S) : selama 1-2 bulan pertama.
a. Dosis : 15-40 mg/kgBB/hari diberikan sehari 1 kali intra
muskular.
b. Dosis maksimum : 1 gram/hari.
Kortikosteroid diberikan pada keadaan khusus seperti : Tb milier,
meningitis Tbk, endobronkial Tb, Pleuritis Tb, perikarditis Tb, peritonitis Tb.
Boleh diberikan prednison 1-2 mg/kgBB/hari selama 1-2 bulan

PENGHENTIAN PENGOBATAN
1. Bila setelah 6 bulan evaluasi membaik :
Batuk menghilang, klinis membaik, anak menjadi lebih aktif, berat badan
meningkat, foto thorax membaik, penurunan LED.
2. Bila setelah 6 bulan tidak ada perbaikan, kemungkinan :
- Kepatuhan minum obat kurang.
- MDR (Multi Drug Resisten).
- Bukan TBC.

OBAT PENCEGAHAN DENGAN INH : 5-10 mg/kgBB/hari diberikan pada:


1. Profilaksis primer : anak yang tidak kontak erat dengan penderita TB menular
(BTA positif, tetapi belum terinfeksi).
2. Profilaksis sekunder : anak dengan infeksi TB yaitu tuberkulin positif dan
klinis baik, dengan faktor risiko yang memungkinkan menjadi TB aktif.
- Umur di bawah 5 tahun.
- Menderita penyakit infeksi (morbili, varicella).
- Mendapat obat imunosupresif (sitostatik, steroid, dll).

-38-
- Umur akil balik.
- Kalau ada infeksi HIV.

KOMPLIKASI
Pada anak komplikasi biasa terjadi pada 5 tahun pertama setelah infeksi
terutama 1 tahun pertama. Penyebaran limfohematogen menjadi Tb milier atau
meningitis Tb atau efusi pleura biasa terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tb
tulang dan sendi terbanyak terjadi dalam 3 tahun pertama, dan Tb ginjal dan kulit
terbanyak setelah 5 tahun dari infeksi primer.

-39-
Lampiran 1 : SISTEM KORING DIAGNOSIS TUBERKULOSIS ANAK
PARAMETER 0 1 2 3
Kontak Tb Tidak jelas Laporan Kavitas (+). BTA BTA (+)
keluarga, BTA (- tidak jelas
) atau tidak tahu
Uji tuberkulin Negatif
Berat BB/TB <90% Klinis gizi buruk Positif ( 10
badan/keadaan gizi atau BB/U < atau BB/TB < mm atau  5
80% 70% atau BB/U mm pada
< 60% keadaan
imunosupresi)
Demam tanpa sebab  2 minggu
jelas
Batuk  3 minggu
Pembesaran  1 cm, jumlah >
kelenjar limfe kolli, 1, tidak nyeri
aksila, inguinal
Pembengkakan Ada
tulang/sendi pembengkakan
panggul, lutut,
falang
Foto rontgen toraks Normal/tidak  Infiltrat  Kalsifikasi +
jelas  Pembesaran infriltrat
kelenjar  Pembesaran
 Konsolidasi kelenjar +
segemental/ infiltrat
lobar
 atelektasis

Catatan :
 Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.
 Jika dijumpai skrofuloderma, langsung didiagnosis tuberkulosis.
 Berat badan dinilai saat datang (moment opname).
 Demam dan batuk tidak ada respons terhadap terapi sesuai baku.
 Foto rontgen toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak.
 Semua anak dengan reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan sistem skoring
TB anak.

-40-
 Didiagnosis TB jika skor  6 (skor maksimal 14) ini masih bersifat
tentatif/sementara, nilai definitif menunggu hasil penelitian yang sedang
dilaksanakan.

Lampiran 2 : ALUR DETEKSI DINI DAN RUJUKAN Tb ANAK

Hal-hal yang mencurigakan TB :


1. Mempunyai sejarah kontak erat dengan penderita TB yang BTA (+)
2. Tes tuberkulin yang positf (> 10 mm)
3. Gambaran foto rontgen sugestif TB
4. Terdapat reaksi kemerahan yang cepat (dalam 3-7 hari) setelah pemberian BCG
5. Batuk-batuk lebih dari 3 minggu
6. Sakit dan demam lama atau berulang, tanpa sebab yang jelas
7. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1 bulan meskipun
sudah dengan penanganan gizi (failure of thrive)
8. Gejala-gejala klinis spesifik (pada kelenjar limfe, otak, tulang dll)

Bila  3 Positif

Dengan TB

Membaik Beri OAT Memburuk/Tetap


OBSERVASI 2 BULAN

Tb Bukan Tb Tb kebal Obat (MDR)

OAT ditemukan Rujuk ke RS

Perhatian : Pemeriksaan lanjutan di RS :


 Gejala klinis
Bila terjadi tanda-tanda bahaya
 Uji tuberkulin
seperti :  Foto rontgen paru
1. Kejang  Pemeriksaan mikrobiologi dan serologi
 Pemeriksaan patologi anatomi
2. Kesadaran menurun Prosedur diagnostik dan tatalaksana sesuai dengan
3. Kaku kuduk prosedur di RS yang bersangkutan

4. Benjolan di punggung
5. Dan kegawatan lain
SEGERA RUJUK KE RUMAH SAKIT

-41-
III. DIVISI TROPIK & MENULAR
1. Prof. Dr. H. Ismoedijanto, dr., DTM & H., Sp.A(K)
2. Prof. Parwati Setiono Basuki, dr., MS.c., DTM & H., Sp.A(K)
3. Prof. Dr. H. Soegeng Soegijanto, dr., DTM & H., Sp.A(K)
4. Widodo Darmowandowo, dr., Sp.A(K)
5. Prof. H.M. Faried Kaspan, dr., Sp.A(K)

-42-
CAMPAK
Widodo Darmowandowo, Parwati Setiono Basuki

BATASAN
Campak, measles atau rubeola adalah penyakit virus akut yang disebabkan
oleh virus campak. Penyakit ini sangat infeksius, menular sejak awal masa
prodromal sampai lebih kurang 4 hari setelah muncul ruam. Infeksi disebarkan
lewat udara (airborne).

PATOFISIOLOGI
Virus campak ditularkan lewat infeksi droplet lewat udara, menempel dan
berbiak pada epitel nasofaring. Tiga hari setelah invasi, replikasi dan kolonisasi
berlanjut pada kelenjar limfe fegional dan terjadi viremia yang pertama. Virus
menyebar pada semua sistem retikuloendotelial dan menyusul viremia kedua
setelah 5-7 hari dari infeksi awal. Giant cells dan proses keradangan merupakan
dasar patologik ruam dan infiltrat peribronchial paru, juga terdapat udema,
bendungan dan perdarahan yang tersebar pada otak. Kolonisasi dan penyebaran
pada epitel dan kulit menyebabkan batuk, pilek, mata merah (3 C: corzya, cough
and conjunctivitis) dan demam yang makin lama makin tinggi. Gejala panas,
batuk, pilek makin lama makin berat dan pada hari ke 10 sejak awal infeksi (pada
hari penderita kontak dengan sumber infeksi) mulai timbul ruam makulopapuler
warna kemerahan. Virus dapat berbiak juga pada susunan saraf pusat dan
menimbulkan gejala klinis ensefalitis. Setelah masa konvalesen pada panas turun,
hipervaskularisasi mereda dan menyebabkan ruam menjadi makin gelap, berubah
menjadi desquamasi dan hiperpigmentasi. Proses ini disebabkan pada awalnya
terdapat perdarahan perivaskuler dan infiltrasi limfosit.

GEJALA KLINIS
 Panas meningkat dan mencapai puncak pada hari ke 4-5, pada saat ruam
keluar.
 Coryza yang terjadi sukar dibedakan dengan common cold yang berat.
Membaik dengan cepat pada saat panas menurun.

-43-
 Conjunctivitis ditandai dengan mata merah pada conjunctiva disertai dengan
keradangan dengan keluhan fotofobia.
 Cough merupakan akibat keradangan pada epitel saluran nafas, mencapai
puncak pada saat erupsi dan menghilang setelah beberapa minggu.
 Muncl Koplik’s spot pada sekitar 2 hari sebelum muncul ruam (hari ke 3-4)
dan cepat menghilang setelah beberapa jam atau hari. Koplik’s spot adalah
sekumpulan noktah putih pada daerah epitel bucal yang merah (a grain of salt
in the sea of red), yang merupakan tanda klinis yang pathognomonik untuk
campak.
 Ruam makulopapular semula berwarna kemerahan. Ruam ini muncul pertama
pada daerah batas rambut dan dahi, serta belakang telinga, menyebar ke arah
perifer sampai pada kaki. Ruam umumnya saling rengkuh sehingga pada
muka dan dada menjadi confluent. Ruam ini membedakan dengan rubella
yang ruamnya discrete dan tidak mengalami diesquamasi. Telapak tangan dan
kaki tidak mengalami desquamasi.

LANGKAH DIAGNOSTIK
Anamnesis
Demam tinggi terus menerus 38,5oC atau lebih disertai batuk, pilek, nyeri
menelan, mata merah dan silau bila kena cahaya (fotofobia), seringkali diikuti
diare. Pada hari ke 4-5 demam, timbul ruam kulit, didahului oleh suhu yang
meningkat lebih tinggi dari semula. Pada saat ini anak dapat mengalami kejang
demam. Saat ruam timbul, batuk dan diare bertambah parah sehingga anak
mengalami sesak nafas atau dehidrasi.
Pemeriksaan Fisik
Gejala klinis terjadi setelah masa tunas 10-12 hari, terjadi dari tiga
stadium:
 Stadium prodromal, berlangsung 2-4 hari, ditandai dengan demam yang
diikuti batuk, pilek, farings merah, nyeri menelan, stomatis, dan
konjungtivitis. Tanda patognomonik timbul enantema mukosa pipi di depan
molar tiga disebut bercak Koplik.

-44-
 Stadium erupsi, ditandai dengan timbul ruam makulo-papular yang bertahan
selama 5-6 hari. Timbul ruam dimulai dari batas rambut di belakang telinga,
kemudian menyebar ke wajah, leher, dan akhirnya ke ekstrimitas.
 Stadium penyembuhan (konvalesens), setelah 3 hari ruam berangsur-angsur
menghilang sesuai urutan timbulnya. Ruam kulit menjadi kehitaman dan
mengelupas yang menghilang setelah 1-2 minggu.
 Sangat penting untuk menentukan status gizi penderita, untuk mewaspadai
timbul komplikasi. Gizi buruk merupakan resiko komplikasi berat.
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
 Darah tepi : jumlah leukosit normal atau meningkat apabila ada komplikasi
infeksi bakteri.
 Pemeriksaan antibodi IgM anti campak.
 Pemeriksaan untuk komplikasi :
1) Ensefalopati/ensefalitis : dilakukan pemeriksaan cairan serebrospinalis,
kadar elektrolit darah dan analisis gas darah.
2) Enteritis : feses lengkap.
3) Bronkopneumonia : dilakukan pemeriksaan foto dada dan analisis gas
darah.

DIAGNOSIS
Ditegakkan berdasarkan :
 Anamnesis, tanda klinis dan tanda yang patognomonik.
 Pemeriksaan serologik atau virologik yang positif.

DIAGNOSIS BANDING
Ruam kulit eksantema akut yang lain seperti :
 Rubella.
 Roseola infantum (eksantema subitum).
 Infeksi mononukleosus.
 Erupsi obat.

-45-
KOMPLIKASI
 Campak menjadi berat pada pasien dengan gizi buruk dan anak yang lebih
kecil.
 Diare dapat diikuti dehidrasi.
 Otitis media.
 Laringotrakeobronkitis (croup).
 Bronkopneumonia.
 Ensefalitis akut.
 Reaktivasi tuberkulosis.
 Malnutrisi pasca serangan campak.
 Subacute sclerosing panencephalitis (SSPE), suatu proses degeneratif susunan
syaraf pusat dengan gejala karakteristik terjadi deteriorisasi tingkah laku dan
intelektual, diikuti kejang. Salah satu komplikasi campak onset lambat
disebabkan oleh infeksi virus yang menetap, timbul beberapa tahun setelah
infeksi.

PENATALAKSANAAN
 Tatalaksana Medik
i. Pengobatan bersifat suportif, terdiri dari :
1. Pemberian cukup cairan.
2. Kalori dan jenis makanan yang disesuaikan dengan tingkat kesadaran
dan komplikasi.
3. Suplemen nutrisi.
4. Antibiotik diberikan apabila terjadi infeksi sekunder.
5. Anti konvulsi apabila terjadi kejang.
6. Pemberian vitamin A.
ii. Indikasi rawat inap : hiperpireksia (suhu > 39,0oC), dehidrasi, kejang,
asupan oral sulit, atau ada komplikasi.
iii. Campak tanpa komplikasi :
1. Hindari penularan.
2. Tirah baring di tempat tidur.

-46-
3. Vitamin A 100.000 IU, apabila disertai malnutrisi dilanjutkan 1500 IU
tiap hari.
4. Diet makanan cukup cairan, kalori yang memadai. Jenis makanan
disesuaikan dengan tingkat kesadaran pasien dan komplikasi.
iv. Campak dengan komplikasi :
1. Ensefalopati/ensefalitis.
a. Antibiotik bila diperlukan, antivirus dan lainnya sesuai dengan
Pedoman Diagnosis Terapi (PDT) ensefalitis.
b. Kortikosteroid, bila diperlukan sesuai dengan PDT ensefalis.
c. Kebutuhan jumlah cairan disesuaikan dengan kebutuhan serta
koreksi terhadap gangguan elektrolit.
2. Bronkopneumonia.
a. Antibiotik sesuai dengan PDT pneumonia.
b. Oksigen nasal atau dengan masker.
c. Koreksi gangguan keseimbangan asam-basa, gas darah dan
elektrolit.
3. Enteritis : koreksi dehidrasi sesuai derajat (lihat Bab enteritis
dehidrasi).
4. Pada kasus campak dengan komplikasi bronkkhopneumonia dan gizi
kurang, perlu dipantau terhadap infeksi TB laten. Pantau gejala klinis
serta lakukan uji tuberkulin setelah 1-3 bulan penyembuhan.
5. Pantau keadaan gizi untuk gizi kurang/buruk.
 Tatalaksana Epidemiologik
Langkah preventif :
1. Imunisasi campak termasuk dalam program imunisasi nasional sejak tahun
1982, angka cakupan imunisasi menurun < 80% dalam 3 tahun terakhir
sehingga masih dijumpai daerah kantong risiko tinggi transmisi virus
campak.
2. Strategi reduksi campak terdiri dari :
a. Pemberian vitamin A pasien campak.
b. Imunisasi campak.
i. PPI : diberikan pada umur 9 bulan.

-47-
ii. Imunisasi campak dapat diberikan bersama vaksin MMR pada
umur 12-15 bulan.
iii. Mass campaign, bersamaan dengan Pekan Imunisasi Nasional.
iv. Catch-up immuniztion, diberikan pada anak sekolah dasar kelas 1-
6, disertai dengan keep up dan strengthening.
c. Surveilans.

-48-
DIPHTHERIA
Parwati Setiono Basuki, Soegeng Soegijanto

BATASAN DIPHTHERIA
Adalah suatu penyakit infeksi toksik akut yang sangat menular,
disebabkan oleh Corynebacterium diphtheria dengan diandai pembentukan
seudomembran pada kulit dan/atau mukosa

PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI


Kuman masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berbiak pada
permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang
merembes ke sekeliling serta menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe
dan darah. Toksin ini merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.000
dalton, tidak tahan panas/cahaya, mempunyai fragmen yaitu fragmen A
(aminoterminal) dan fragmen B (carboxyterminal) yang disatukan dengan ikatan
disulfida. Fragmen B diperlukan untuk melekatkan molekul toksin yang teraktifasi
pada reseptor sel pejamu yang sensitif. Perlekatan ini mutlak agar fragmen A
dapat melakukan penetrasi ke dalam sel. Kedua fragmen ini penting dalam
menimbulkan efek toksik pada sel.
Reseptor-reseptor toksin diphtheria pada membran sel terkumpul dalam
suatu coated pit dan toksin mengadakan penetrasi dengan cara endositosis. Proses
ini memungkinkan toksin mencapai bagian dalam sel. Selanjutnya endosom yang
mengalami asidifikasi secara alamiah ini dan mengandung toksin memudahkan
toksin untuk melalui membran endosom ke cytosol. Efek toksik pada jaringan
tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel.
Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino
yang telah diikat 2 transfer RNA yang menempati kedudukan P dan A ribosome.
Bila rangkaian asam amino ini ditambah dengan asam amino lain untuk
membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses
translokasi. Translokasi ini merupakan pindahan gabungan transfer RNA +
dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan
enzim translokasi (Elongation faktor-2) yang aktif.

-49-
Toksin diphtheria mula-mula menempel pada membran sel dengan
bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen A masuk dan mengakibatkan
inaktivasi enzim translokase melalui proses : NAD+ + EF2 (aktif) — toksin
ADP-ribosil-EF2 (inaktif) + H2 + Nicotinamide ADP-ribosil-EF2 yang inaktif.
Hal ini menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk
rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel mati.
Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi
inflamasi lokal yang bersama-sama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak
eksudat yang mula-mula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah
infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu
membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah
darah yang terkandung. Selain fibrin, membran juga terdiri dari sel-sel radang,
eritrosit dan sel-sel epitel. Bila dipaksa melepas membran akan terjadi perdarahan.
Selanjutnya membran akan terlepas sendiri dalam periode penyembuhan.
Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder dengan bakteri (misalnya
Streptococcus pyogeneses). Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat
jalan nafas. Gangguan pernafasan/suffokasi bisa terjadi dengan perluasan penyakit
ke dalam laring atau cabang-cabang tracheobronchial. Toksin yang diedarkan
dalam tubuh bisa mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama jantung,
saraf dan ginjal.
Antitoksin diphtheria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau
yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak bila telah terjadi penetrasi ke dalam sel.
Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat periode laten yang bervariasi sebelum
timbul manifestasi klinis. Miokardiopati toksik biasa terjadi dalam 10-14 hari,
manifestasi saraf umum terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologi yang
menonjol adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada bermacam-macam
organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel
mononuklear pada serat otot dan sistem konduksi. Bila penderita tetap hidup
terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik
dengan degenerasi lemak pada selaput mielin. Nekrosis hati bisa disertai gejala
hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubuler
akut pada ginjal.

-50-
MANIFESTASI KLINIS
Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bisa
bervariasi dari tanpa gejala sampai suatu keadaan/penyakit yang hipertoksik serta
fatal. Sebagai faktor primer adalah imunitas penderita terhadap toksin diphtheria,
virulensi serta toksinogenesitas (kemampuan membentuk toksin) C, diphtheriae,
dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor-faktor lain termasuk umur, penyakit
sistemik penyerta dan penyakit-penyakit pada daerah nasofaring yang sudah ada
sebelumnya. Masa tunas 2-6 haria. Penderita pada umumnya datang untuk berobat
setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebihi 38,9oC
dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokasi penyakit diphtheria.
Diphtheria Hidung
Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau disertai
gejala sistemis ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinous dan
kemudian mukopurulen, menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas. Pada
pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi. Absorpsi toksin
sangat lambat dan gejala sistemis yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis
lambat dibuat.
Diphtheria Tonsil-Faring
Gejala anoreksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan. Dalam 1-2 hari
timbul membran yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan
dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke distal, ke laring dan
trachea.
Usaha melepas membran akan mengakibatkan perdarahan. Dapat terjadi
lymphadenitis servikalis dan submandibularis bila bersamaan dengan edema
jaringan lunak leher yang luas timbul bullneck. Selanjutnya tergantung derajat
elaborasi toksin dan luas membran. Bila kasus berat, bisa terjadi kegagalan
pernafasan atau sirkulasi. Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni maupun
bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bisa
terjadi dalam satu minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang, penyembuhan
terjadi secara berangsur-angsur dan bisa disertai penyulit miokarditis atau neuritis.
Pada kasus ringan membran terlepas dalam 7-10 hari; biasanya terjadi
penyembuhan sempurna.

-51-
Diphtheria Laring
Biasa merupakan perluasan diphtheria faring, pada diphtheria laring
primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih berupa gejala obstruksi saluran
nafas atas. Gejala sukar dibedakan dari tipe infectious croup yang lain seperti
nafas berbunyi, stridor progresif, suara parau, batuk kering dan pada obstruksi
laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, subcostal dan supraclavicular.
Bila terjadi pelepasan membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian
mendadak. Pada kasus berat, membran meluas ke percabangan tracheobronchial.
Dalam hal diphtheria laring sebagai perluasan dari diphtheria faring, gejala
merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia.
Diphtheria Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva, Telinga
Diphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran
pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata dengan lesi
pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva
palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau.

DIAGNOSIS
Harus dibuat atas dasar pemeriksaan klinis oleh karena penundaan
pengobatan dapat membahayakan jiwa penderita. Penentuan kuman diphtheria
dengan sediaan langsung kurang dapat dipercaya. Cara yang lebih akurat adalah
dengan identifikasi secara fluorescent antibody techique, namun untuk ini
diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C, diphtheria dengan
pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan dengan tes toksinogenesitas secara
vivo (marmut) dan vitro (tes Elek). Cara Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat
membantu menegakkan diagnosis difteri dengan cepat, namun pemeriksaan ini
mahal dan masih memerlukan penjagaan lebih lanjut untuk penggunaan secara
luas.

DIAGNOSIS BANDING
Diphtheria Hidung :
1. Rhinorrhea (common cold, sinusitis, adenoiditis).
2. Benda asing dalam hidung.

-52-
3. Snuffles (lues congenita).
Diphtheria Faring :
1. Tonsilitis membranosa akuta oleh karena streptococus (tonsilitis akuta/septic
sore throat).
2. Mononucleosis infectiosa.
3. Tonsilitis membranosa non bakterial.
4. Tonsilitis herpetika primer.
5. Moniliasis.
6. Blood dyscrasia.
7. Pasca tonsilektomi.
Diphtheria Laring :
1. Infectious croup yang lain.
2. Spasmodic croup.
3. Angioneurotic edema pada laring.
4. Benda asing dalam laring.
Diphtheria Kulit :
1. Impertigo.
2. Infeksi oleh karena streptococcus/staphylococcus.

PENYULIT
1. Obstruksi jalan nafas :
Disebabkan oleh karena jalan nafas tertutup oleh membran diphtheria
atau oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah sub mandibular dan
cervical.
2. Efek toksin
Penyulit pada jantung berupa miokardiopati toksik bisa terjadi pada
minggu kedua, tetapi bisa lebih dini (minggu pertama) atau lebih lambat
(minggu ke enam). Manifestasinya bisa berupa takhikardi, suara jantung
redup, bising jantung, atau aritmia. Bisa pula terjadi gagal jantung. Penyulit
pada saraf (neuropati) biasa terjadi lambat, bersifat bilateral, terutama
mengenai safar motorik dan sembuh sempurna. Kelumpuhan pada palatum
molle pada minggu ke-3, suara menjadi sengau, terjadi regurgitasi nasal,

-53-
kesukaran menelan. Paralisis otot mata biasa pada minggu ke-5, meskipun
dapat terjadi antara minggu ke-5 dan ke-7. Paralisis ekstremitas bersifat
bilateral dan simetris disertai deep tendon reflexes menghilang, peningkatan
kadar protein dalam liquor cerebrospinalis. Bila terjadi kelumpuhan pada
pusat vasomotor dapat terjadi hipotensi dan gagal jantung.
3. Infeksi sekunder dengan bakteri lain :
Setelah penggunaan antibiotik secara luas, penyulit ini sudah sangat
jarang.

PENATALAKSANAAN
1. Isolasi dan Karantina
Penderita diisolasi sampai biakan negatif 3 kali berturut-turut setelah
masa akut terlampaui. Kontak penderita diisolasi sampai tindakan-tindakan
berikut terlaksana :
a. Biakan hidung dan tenggorok.
b. Seyogyanya dilakukan tes Schick (tes kerentaan terhadap diphtheria).
c. Diikuti gejala klinis setiap hari imunisasi dasar diberikan booster dengan
toksoid diphtheria.
Bila kultur (-)/Shick test (-) : bebas isolasi.
Bila kultur (+)/Shick test (-) : pengobatan carrier.
Bila kultur (+)/Shick test (+)/gejala : anti toksin diphteria + penisilin.
Bila kultur (-)/Shick test (+) : toksoid (imunisasi aktif).
2. Pengobatan
Tujuan mengobati penderita diphteria adalah menginaktivasi toksin
yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit
yang terjadi minimal, mengeliminasi C, diphteria untuk mencegah penularan
serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit diphteria.
2.1 Umum
Istirahat mutlak selama kurang lebiih 2 minggu, pemberian cairan
serta diet yang adekwat. Khusus pada diphteria laring dijaga agar nafas
tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan
nebulizer.

-54-
Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan
yang progresif hal-hal tersebut merupakan indikasi tindakan trakeostomi.
2.2 Khusus
2.2.1 Antitoksin : Serum Anti Diphtheria (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis
diphteria. Sebelumnya harus dilakukan tes kulit atau tes
konjungtiva dahulu. Oleh karena pada pemberian ADS terdapat
kemungkinan terjadi reaksi anafilaktik, maka harus tersedia larutan
adrenalin 1 : 1000 dalam semprit.
Tes kulit dilakukan dengan penyuntikkan 0,1 ml ADS dalam
larutan garam fisiologis 1 : 1000 secara intrakutan tes positif bila
dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm.
Tes konjungtiva dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan
serum 1 : 10 dalam garam faali. Pada mata yang lain diteteskan
garam faali. Tes positif bila dalam 20 menit tampak gejala
konjungtivitis dan lakrimasi.
Bila tes kulit/konjungtiva positif, ADS diberikan dengan cara
desensitisasi (Besredka). Bila tes hipersensitivitas tersebut di atas
negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara tetesan intravena.
Dosis serum anti diphtheria ditentukan secara empiris berdasarkan
berat penyakit, tidak tergantung pada berat badan penderita, dan
berkisar antara 20.000 – 120.000 KI.
Dosis ADS di ruang Menular Anak RSU Dr. Soetomo disesuaikan
menurut derajat berat penyakit sebagai berikut :
 20.000 KI i.m untuk diphteria ringan (hidung, kulit,
konjungtiva).
 40.000 KI. i.v. untuk diphteria sedang (pseudomembran
terbatas pada tonsil, diphteria laring).
 100.000 KI. i.v. untuk diphteria berat (pseudomembran meluas
ke luar tonsil, keadaan anak yang toksik; disertai “bullneck”,
disertai penyulit akibat efek toksin).

-55-
Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara tetesan dalam
larutan 200 ml dalam waktu kira-kira 4-8 jam. Pengamatan
terhadap kemungkinan efek samping obat/reaksi sakal dilakukan
selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya.
Demikian pula perlu dimonitor terjadi reaksi hipersensitivitas
lambat (serum sickness).
2.2.2 Antimikrobial
Antimikroba digunakan bukan sebagai pengganti antitoksin,
melainkan untuk menghentikan produksi toksin. Penicillin
procaine 50.000-100.000 KI/KgBB/hari selama 7-10 hari, bila
alergi bisa diberikan Erithromycine 40 mg/kgBB/hari.
2.2.3 Corticosteroid
Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini
pada diphtheria. Di Ruang Menular Anak RSU Dr. Soetomo
Corticosteroid diberikan kepada penderita dengan gejala obstruksi
saluran nafas bagian atas dan bila terdapat penyulit miokardiopati
toksik.
2.2.4 Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan terhadap hemodinamika penderita
agar tetap baik oleh karena penyulit yang disebabkan oleh toksin
pada umumnya reversibel.
2.2.5 Pengobatan Carrier
Carrier adalah mereka yang tidak menujukkan keluhan,
mempunyai reaksi Schick negatif tetapi mengandung basil
diphtheria dalam nasofaringnya.
Pengobatan yang dapat diberikan adalah Penicilline oral atau
suntikan, atau Erithromycine selama satu minggu. Mungkin
diperlukan tindakan tonsilektomi/adenoidektomi.

-56-
3. Pencegahan
3.1 Umum
Kebersihan dan pengetahuan tentang bahaya penyakit ini bagi anak-anak.
Pada umumnya setelah menderita penyakit diphtheria kekebalan penderita
terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi.
3.2 Khusus
Terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan carrier.

IMUNITAS
Tes kekebalan :
Shick test : menentukan kerentanan (suseptibilitas) terhadap diphtheria. Tes
dilakukan dengan menyuntikkan toksin diphtheria (dilemahkan) secara intrakutan.
Bila tidak terdapat kekebalan antitoksik akan terjadi nekrosis jaringan sehingga
tes positif.
Moloney test : menentukan sensivitas terhadap produk kuman diphtheria. Tes
dilakukan dengan memberikan 0,1 ml larutan fluid diphtheria toxoid secara
suntikan intradermal.
Reaksi positif bila dalam 24 jam timbul eritema > 10 mm. Ini berarti bahwa :
 Pernah terpapar pada basil diphtheria sebelumnya sehingga terjadi reaksi
hipersensitivitas.
 Pemberian toksoid diphtheria bisa mengakibatkan timbulnya reaksi yang
berabahaya.

Kekebalan pasif : diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal terhadap
diphtheria (sampai 6 bulan) dan suntikan antitoksin (sampai 2-3 minggu).
Kekebalan aktif : diperoleh dengan cara menderita sakit atau inapparent
infection dan imunisasi dengan toksoid diphtheria.

-57-
DEMAM TANPA PENYEBAB YANG JELAS
Ismoedijanto, M. Faried Kaspan

BATASAN
Demam merupakan keluhan utama sekitar 10-15% kunjungan ke
poliklinik dan unit emergensi dengan sebagian besar berusia kurang dari 3 tahun.
Pada umumnya disebabkan oleh virus yang dapat sembuh sendri, hanya sebagian
kecil dapat berupa infeksi bakteri serius diantaranya meningitis bakteriil,
bakterima, pneumonia bakteri, infeksi saluran kemih, enteritis bakteriil, infeksi
tulang dan sendi. Penyebab demam dapat diidentifikasikan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik.

PATOFISIOLOGI
1. Demam dapat dipicu oleh bahan exogenous maupun endogenous. Bahan
exogenous pun ternyata harus lewat endogenous pyrogen, polipeptida yang
diproduksi oleh jajaran monosit, makrofag dan sel lain. Pemicu peningkatan suhu
yang diketahui al IL-1. TNF, IFN dan II-6. Sitokin ini bila telah terbentuk akan
masuk sirkulasi sistemik dan pada daerah praeptik hypothalamus merangsang
phospholipase A2, melepas plasma membrane arachidonic acid untuk masuk ke
jalur cyclooxigenase, yang meningkatkan ekspresi cyclooxigenase dalam melepas
prostaglandin E2, yang mudah masuk blood-brain barrier, sehingga merangsang
thermoregulatory neuron untuk meningkatkan thermostas setpoint. Set point yang
tinggi memerintahkan tubuh untuk meningkatkan suhu lewat rangkaian
simpatetik. Saraf efferent adrenergik dapat memicu konservasi panas (dengan cara
vaskonstriksi) dan kontraksi otot (menggigil). Selain itu jalur autonomik dan
endokrine ikut menurunkan penguapan dan mengurangi jumlah cairan yang akan
dipanaskan. Proses ini berjalan terus sampai suhu sudah sesuai dengan termostat,
suhu tubuh terukur akan di atas suhu rata-rata. Bilamana rangsangan sitokin telah
menurun, termostat diturunkan kembali, sehingga proses pengeluaran panas dan
penambahan jumlah cairan akan berjalan. Termoregulasi ini dibantu korteks
serebri dalam menyesuaikan dengan perilaku. Aspek klinis demam terlihat pada
variasi suhu badan sesuai dengan kegiatan, meskipun pada anak kecil lonjakan

-58-
tajam tidak jelas. Interpretasi demam pada bayi dan anak harus dibedakan antara
demam (di atas 38oC) dan hiperpireksia (di atas 39,5oC).
2. Respons radang adalah serangkaian reaksi yang kompleks sekali yang
melibatkan migrasi sel dan bahan radang ke tempat invasi kuman. Secara
sederhana, efek klinisnya adalah mempercepat resolusi infeksi dan mendorong
remodeling jaringan. Bilamana infeksi terlalu berat untuk dikontrol dengan cara
ini, maka rangsangan infeksi akan masuk ke sirkulasi dan memicu molekul
efektor menimbulkan reaksi berantai (cascade reaction) lokal maupun sistemik
sehingga menyebabkan systemic inflamatory response. Respons ini melibatkan
reaksi-reaksi khusus oleh TNF, IL-1, IL-6, II-8, CSF, PAF. Sitokin-sitokin ini
tidak hanya diproduksi oleh monosit-makrofag cells. Mediator ini akan
merangsang metabolit asam arachidonik menjadi leukotrienes, thrommboxane A2,
PGS, yang menyebabkan perembesan endotel. IL-1 dapat menyebabkan endotel
vaskuler menghasilkan berbagai molekul mediator sekunder, memperberat dan
memperluas reaksi radang yang ada. Aktivasi komplemen dan coagulation
cascade terjadi bersamaan dengan pelepasan berbagai sitokin sehingga produksi
bahan proinflammatory meningkat dan reaksi bisa menjadi sistemik, bilamana
negative feedback yang terjadi tidak mampu mengendalikan berbagai reaksi yang
makin kuat.
3. Respons fase akut merupakan respons tubuh (selain demam dan reaksi
radang) yang non-antigenic-spesific untuk menyingkirkan antigen atau melakukan
modulasi agar dapat mempermudah reaksi eliminasi benda asing.
i. Sitokin (IL-1 dan IL-6) yang beredar merangsang hati untuk menghasilkan
berbagai protein untuk mengintensifkan radang :
1. Positive acute-phase proteins : CRP, serum amyloida, antitypsin,
haptoglobin, ceruplasma, fibrinogen, oleh karena kadar meningkat setelah
stimuli.
2. Negative acute-phase proteins : albumin, preaalbumin, transferrin, retinol
binding proteins.
ii. Perubahan hematologik dengan peningkatan PMN, trombositopaenia, anemia
iii. Perubahan mineral dengan penurunan zink dan besi dan peningkatan cuprum

-59-
iv. Hipermetabolik yang melibatkan berbagai bahan bahkan terjadi metabolisme
yang khusus (mis glukoneogenesis)

KLASIFIKASI KLINIS PADA ANAK DENGAN DEMAM


Seringkali kita lupa bahwa kuman beredar dalam darah tidak berenang
dalam plasma, tetapi ada dalam lekosit (intraseluler), limfosit atau makrofag.
Keberadaan mereka tidak konstan dari waktu ke waktu, namun hanya dapat
bertahan sementara, sebelum menempel dan berhasil membuat koloni pada
jaringan atau dihancurkan atau dieliminasi oleh sel-sel radang. Bakteremia kita
gunakan sebagai gold standard deteksi kuman penyebab (postulat Koch).
Ternyata kuman hanya berada dalam darah dalam waktu terbatas, sehingga hasil
biakan kuman tidak selalu positif, tergantung pada jumlah darah sampel, jumlah
kuman dan virulesi.
Pada umumnya kita menggolongkan anak dengan demam berdasarkan
keberadaan fokus, dan kelompok usia, masing-masing dan dalam gabungan.
i) Fokus pada anak dengan demam
(1) Demam dengan fokus yang jelas (overt focus). Anak dengan demam
dengan fokus yang jelas akan mudah dikenali secara klinis. Fokus pada
anak besar, akibat kemampuan tubuhnya melokalisir radang. Fokus dapat
memberikan dugaan akan kemungkinan penyebab etiologik (kuman) dari
kelainan anatomik tersebut. Infeksi saluran kemih, pneumonia, meningitis,
enteritis bakterial, abses, merupakan fokus yang jelas dan pada usia
tertentu kumannya dapat diduga. Detritus pada tonsil, furunkel pada kulit,
nanah dari liang telinga, dapat memberikan gambaran kuman yang
menyebabkan infeksi. Pemeriksaan biakan jaringan pada fokus dapat
menjelaskan kuman penyebab, fokus pada bayi kecil dapat disertai
bakteremia.
(2) Demam tanpa fokus yang jelas (occult focus). Infeksi selain menyebabkan
kelainan anatomik juga dapat menyebabkan kelainan fungsional, akibat
reaksi radang. Fokus yang tidak jelas, gejala klinis disebabkan oleh
mediator yang menyebabkan perubahan faali. Demam tanpa fokus ini pada
usia muda makin tidak jelas gejala klinisnya, karena keterbatasan tubuh

-60-
merespons infeksi. Selain itu juga terdapat gabungan gejalayang menjadi
kabur, misalnya pada anak diare dengan parasit malaria dalam darah,
pneumonia pada anak anemia, kebocoran plasma akibat DHF pada anak
dan sebagainya. Meskipun pada fase lanjutan beberapa penyakit
menunjukkan gejala klinis yang jelas, namun bayi muda belum mampu
melokalisir reaksi radang dan menyebabkan reaksi radang yang sistemik.
(3) Demam tanpa penyebab yang jelas (unknown origin). Dengan jenis ini
biasanya terdapat pada infeksi yang kronis dan berjalan pelan, tidak
menunjukkan fokus dan tidak terdapat gejala lain yang mencolok, kecuali
demam. Reaksi radang tidak hanya akibat infeksi tetapi akibat kerusakan
jaringan dan kematian sel, seperti pada anak dengan keganasan atau anak
dengan penyakit autoimun. Pencarian sumber demam menjadi makin
rumit dan mahal dan seringkali tidak tuntas akibat ketidakmampuan
teknologi dan finansial.
ii) Kelompok usia anak dengan demam
a) Kelompok bayi muda, 0-48 hari
Demam pada anak usia < 28 hari (neonatus) dapat menyulitkan dokter,
karena tiga perempat dari yang menderita infeksi baktreial tetap baik
kondisi klinisnya pada saat pemeriksaan. Infeksi bakteri terjadi pada 10%
dari anak demam usia 1-2 bulan, 13% pada anak di bawah 1 bulan. Pada
bayi di bawah 3 bulan Urinary Tract Infection (UTI) merupakan sepertiga
dari seluruh kasus. Prevalensi bakteremia sekitar 2-3% pada semua bayi
demam dengan usia di bawah 2 bulan. Penilaian risiko infeksi berat
dengan menggunakan gejala klinis belum memuaskan. Pada 32 neonatus
demam dengan Philadelphia kita dapatkan 15,6% yang masuk golongan
low risk pada bayi di bawah 1 bulan, 17% menderita Serious Bacterial
Illness (SBI) meskipun dengan kriteria Philadelphia 19,4% termasuk low-
risk dan dengan Boston 25%. Bayi demam yang dinilai dengan kriteria
Rochester hanya menemukan 0,88% yang masuk low risk (sebagian besar
memang high risk). Probabilitas SBI pada neonatus dengan demam cukup
tinggi, sehingga rawat inap merupakan indikasi yang aman. (Lihat
lampiran 3).

-61-
b) 2-36 bulan
Bayi demam pada usia ini tampilan klinisnya berada di daerah yang ‘abu-
abu’, antara demam berarti SBI pada bayi muda (di bawah 2 bulan) dan
demam berarti infeksi bila ada fokus yang jelas. Semua setuju pada
penderita dengan risiko tinggi, harus masuk RS dan mendapat antibiotik
empirik. (Lihat lampiran 3).
(1) Boston meneliti pemberian Ceftriaxon pada 503 bayi low risk dan
ternyata 5% menderita bakteremia. Sensitivitas tidak jelas, namun
spesifisitas 94,6%, PPV dan NPV tidak dijelaskan.
(2) Philadelphia meneliti dengan kriteria yang lebih ketat dan
mendapatkan hanya 0,34% dari yang low risk menderita SBI. Bahkan
pada penelitian lanjutan pada 1169 bayi usia 1-2 bulan, 0% yang
menderita SBI. Ada infiltrat pada chest x-ray pada 33 bayi demam,
meskipun 5 bayi tidak menunjukkan tanda-tanda klinis dan
anamnestik. Kriteria ini memberikan sensitivitas 98%, spesifisitas
42%, PPV 14%, NPV 99,7%.
(3) Rochester menggunakan cara yang lebih longgar namun mendapatkan
sensitivitas 92%, spesifitas 50%, PPV 12,3% dan NPV 98,9%. Cara ini
dinyatakan dapat memilah kelompok low risk yang di follow up tanpa
perlu memberikan antibiotik.
(4) Bachur dan Harper menggunakan cara memilah secara sekuensial
berdasarkan urinalisis. WBC yang tinggi, suhu tubuh, WBC yang
rendah, umur kurang dari 2 minggu. Bila kelima pertanda ada anak
termasuk risiko tinggi (high risk), sedangkan bila kelima petanda tidak
ada termasuk low risk.
(5) Cincicinatti Children’s Hospital Medical Center menetapkan
kemungkinan SBI pada :
(a) Well appearing : < 3% chance of SBI.
(b) Ill appearing : 26% chance of SBI.
(c) Toxic : 92% chance of SBI.

-62-
c) Lebih dari 36 bulan
Anak usia di atas 3 tahun dapat memberikan gejala klinis yang lebih jelas,
seperti adanya kelainan anatomik (mis fokus pada paru) atau kelainan
fungsional seperti syok pada DHF. Anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan laboratorik sangat bermanfaat untuk mengambil keputusan
memberi atau tidak memberi antibiotik. Masalah khusus adalah pada
penderita dengan Fever Unknown Origin (FUO), dengan fokus maupun
gejala gangguan faali tidak jelas. (Lihat lampiran).

LANGKAH DIAGNOSTIK
I. Anamnesis
Dinyatakan :
 Riwayat imunisasi.
 Paparan terhadap infeksi.
 Nyeri menelan.
 Nyeri telinga.
 Batuk dan telinga sesak napas.
 Muntah berak.
 Nyeri atau menangis waktu buang air kecil.
II. Pemeriksaan Fisis
Ukur temperatur tubuh :
 Demam :  38oC rectal.
Tentukan derajat sakit :
Subjektif :
 Kualitas tangis.
 Reaksi terhadap orang tua.
 Tingkat kesadaran.
 Warna kulit/selaput lendir.
 Derajat hidrasi.
 Interaksi.
Objektif :
 Tidak tampak sakit.

-63-
 Tampak sakit.
 Sakit berat/toksik.
Tidak ada metode spesifik untuk mendeteksi kemungkinan infeksi fokal yang
tersembunyi.
1. ISK (Infeksi Saluran Kemih).
a. Urinalisis.
b. Biakan urin.
Setiap pemeriksaan urinalisis positif dianggap sebagai tersangka ISK yang
merupakan indikasi untuk memulai pengobatan dengan antibiotik.
Diagnosis pasti ditegakkan bila hasil biakan urin positif.
Catatan :
 Urinalis positif : nitrit (+).
 Lekosit esterase (+).
 Mikroskopik : lekosit > 10/LPB atau bakteri (+).
 Dengan pewarnaan gram (+).
2. Pneumonia.
Pneumonia bakterial bila demam  39oC atau lekosit > 20.000 mm3.
Catatan :
a. Pada anak dengan suhu yang tidak terlalu tinggi, hitung lekosit tidak
terlalu tinggi, tidak disertai distress respirasi, tachipnea, ronchi atau suara
napas melemah maka kemungkinan pneumonia dapat disingkirkan.
b. Umur dapat digunakan sebagai prediksi penyebab pneumonia. Pneumonia
oleh virus paling banyak dijumpai pada umur 2 tahun pertama.
c. Foto thorax seringkali tidak selalu membantu dalam menentukan
pengobatan pneumonia.
d. Pneumonia dan bakteremia jarang terjadi bersamaan < 3%.
3. Gastroenteritis bakterial, umumnya ditandai dengan muntah dan berak.
Catatan :
a. Penyebab terbanyak rotavirus.
b. Berak darah lendir biasanya karena Gastro Enteritis bakterial.
4. Meningitis.
a. Bayi/anak tampak sakit berat.

-64-
b. Pemeriksaan fisik : letargik, kaku kuduk, muntah.
c. Diagnosis ditegakkan dengan pungsi lumbal.
Demam sebagai predikator bakteremia tersembunyi :
39o-39,4oC : < 2%.
39,4o-40oC : 2-3%.
40o-45oC : 3-4%.
>40,5oC : 4-5%.
 Anak dengan risiko rendah dan orang tua yang kooperatif dapat berobat jalan
dengan pengamatan setiap hari sampai demam turun.
 Bila anak terlihat sakit berat diperlukan pemeriksaan laboratorium termasuk
darah lengkap, urinalisis, biakan urin.

Catatan :
1. Lekosit > 15.000 meningkatkan risiko bakteremia menjadi 3-5%, bila >
20.000 risiko menjadi 8-10%.
2. Untuk mendeteksi bakteremia tersembunyi hitung netrofit absolut lebih
sensitif dari hitung lekosit atau atang absolut. Hitung absolut netrofil >
10.000/mm3 meningkatkan risiko bakteremia menjadi 8-10%.
3. Pemeriksaan biakan darah dari anak dianjurkan dilakukan karena 6-10% anak
dengan bakteremia dapat berkembang menjadi infeksi bakteri yang berat,
terutama pada anak yang terlihat sakit berat.

PENATALAKSANAAN
1. Anak yang tidak tampak sakit, tidak perlu dirawat dan tidak perlu dilakukan
pemeriksaan laboratorium serta tidak perlu diberikan antibiotik.
2. Apabila dari anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium menunjukkan hasil
risiko tinggi untuk terjadinya bakteremia tersembunyi, maka dapat diberikan
antibiotik setelah pengambilan sediaan untuk biakan (catatan : terutama bila
hitung lekosit > 15.000/mm3 atau hitung total netrofil absolut > 10.000/mm3).
3. Pemberian antibiotik secara empirik harus memperhitungkan kemungkinan
terjadinya peningkatan resistensi bakteri. Secara empirik antibiotik pilihan
adalah Amoxicilline : 60-100 mg/kgBB/hr atau seftriaxon 50-75 mg/kgBB/hr

-65-
(maksimum 2 g/hr). Bila didapatkan alergi terhadap kedua obat tersebut, maka
dapat dipilih obat lain sesuai dengan hasil uji resistensi dan bila perlu dapat
dikonsulkan/rujuk kepada konsultan infeksi dan penyakit tropis.
4. Bila kultur darah positif dan demam menetap 5 hari, maka perlu dilakukan
pemeriksaan ulang untuk kemungkinan bakteremia oleh fokal infeksi yang
tidak terdeteksi sebelumnya (misalnya : meningitis).
5. Antipiretik. Dasar kerja antipiretik adalah menghambat kerja enzim pada
jalur cyclooxigenase :
(1) Acetaminophen merupakan bahan anti cyclooxigenase yang lemah,
namun dalam otak mengalami oksidasi sehingga hasilnya sangat
mempengaruhi aktivitas jalur cyclooxigenase.
(2) Aspirin menghambat produksi dan aktivitas PG dalam berbagai jenis
jaringan, dengan efektivitas yang setara dengan Acetaminophen. Karena
bekerja pada berbagai jaringan, efek sampingnya pun lebih banyak,
termasuk sindrom Reye.
(3) Ibuprofen dan naproxen sebagai anti-inflamasi non steroidal mempunyai
efektivitas yang setara dengan Acetaminohen, namun banyaknya efek
samping, mendorong para pakar menajamkan penggunaannya hanya pada
demam yang perlu anti inflamasi.
(4) Surface cooling dengan selimut dingin atau mandi alkohol sudah
ditinggalkan.

DASAR PENGGUNAAN ANTI INFEKSI


Antimikroba merupakan alat terapi untuk penyakit infeksi pada anak
bahkan merupakan intervensi utama pada pediatri klinik, namun penggunaannya
yang berlebihan telah menyebabkan peningkatan kuman yang resisten, oleh
karena itu pertimbangkan :
1. Identifikasi Kuman/Agen Penyebab
Sedapat mungkin etiologi kuman penyakit penyebab harus dapat
dibuktikan pada setiap pemberian antibiotik. Antibiotik empirik dapat

-66-
diberikan pada beberapa kasus selama 3 hari, menunggu data yang lebih
lengkap untuk menentukan pengobatan definitif.
2. Tes Kepekaan
Manfaat tes kepekaan adalah untuk menuntun pemilihan antibiotik
yang akan digunakan. Cara ini bermanfaat untuk terapi individual atau untuk
terapi empirik pada kasus yang data penduduknya tidak lengkap. Selain
akurasi Minimum Inhibitory Concentration (MIC), interpretasi hasil tes
kepekaan juga harus diterjemahkan secara klinis. Bilamana tes kepekaan akan
digunakan, lokasi infeksi yang dapat dicapai antibiotik, jenis infeksi
intraseluler atau extraseluler, harus ditetapkan untuk terapi klinis definitif.
3. Dosis, Route, Lama Terapi
Dosis optimal antibiotik sangat tergantung pada hubungan antar
konsentrasi obat pada jaringan situs infeksi, karakter kerja antibiotik, eliminasi
obat dari tubuh dan efek samping dosis optimal tidak hanya tergantung pada
jumlah obat yang harus diberikan, namun juga pada jalur pemberian.
4. Farmakokinetik dan Farmakodinamik
Pharmacokinetic (PK) adalah runtutan waktu pergerakan obat dalam
tubuh, namun pergerakan obat tidak akan memberi manfaat yang besar,
kecuali bila disertai dengan efek obat pada tubuh penderita
(Pharmacodynamic = PD). PK menyangkut absorpsi obat, distribusi ke dalam
berbagai jaringan, metabolisme dan tatacara eliminasi obat keluar dari tubuh.
PD berkaitan dengan efek antibiotik pada kuman, juga pada jaringan.
Tergantung pada jenis kuman yang akan dibunuh, efektivitas antibiotik
tergantung pada lama obat di jaringan dalam kadar di atas MIC atau kadar
obat tertinggi yang berada dalam jaringan. Pengetahuan PK/PD masing-
masing antibiotik sangat penting untuk menentukan jenis antibiotik yang
sesuai dengan kuman yang menginfeksi, dosis yang cukup dan frekuensi
pemberian. Masing-masing obat mempunyai PK/PD tersendiri, juga obat
antikuman, antivirus dan antijamur yang berbeda-beda.
5. Kombinasi
Antibiotik kombinasi pada kasus demam netropenia, digunakan
sebagai terapi empirik antibiotik dengan harapan tetap ada kuman yang

-67-
terbunuh. Indikasi relatif kedua adalah infeksi polimikrobial, suatu infeksi
yang disebabkan oleh banyak kuman, seperti pada appendix perforatus, pelvic
inflammatory disease, dsb. Antibiotik kombinasi juga digunakan bila kita
menghadapi kuman resisten betalaktamase, misalnya kombinasi amoxycilline
dengan clavulanic acid, sulbactam atau tazobactam.
6. Resistensi
Bilamana antibiotik digunakan secara hati-hati (prudent use of antiviotics),
maka kuman menjadi peka kembali pada antibiotik lama, sehingga pengobatan
menjadi efektif dan efisien.

Lampiran :
1. Tabel penampilan pasien dengan demam.
2. Algoritme tatalaksana pasien demam..

-68-
Lampiran 1

FLOW CHART OF FEVER MANAGEMENT

DEMAM Routine Lab Blood Culture


(selesai dalam 3-4 jam) (selesai 72 jam)

< 1 bln 1-36 bln > 36 bln

MRS

Focus + Focus -

Severity index

1-3 bln 3-36 bln

high low Algoritma I Algoritma II

MRS Rawat Jalan

-69-
Lampiran 2

ALGORITMA III

toxic Admitted to the


hospital (I)

Without
focus Outpatients Antibiotics

Not toxic Diseases


(see A)

Admitted to the hospital (II)


Age more
than 36
months

toxic Admitted to the


hospital (I)

Without
focus

No Follow up 24-48
Not toxic Outpatient
Antibiotics hours

-70-
Lampiran 3
ALGORITMA II
Algorithm for outpatient evaluation and
Start management of Fever of Uncertain Source in
Clinical
Assesment
children 2 to 36 months of age

Is there the Does focus Not eliglibe for FUS


focal explain severity gudeline. Manage as
infectioan of illness? appropriate to focus and
disease severity

If Viral cause is Consider UTI : Consider Consider other SBI :


suspected, Risk factors : Bacteremia : Risk factors :
consider : Male : Risk factors : Clinical signs and
Ǿ Prevnar series symptoms indicative of
Ǿ < 6 months Incomplete for age specific SBI
Female : < 2 yr Ill-appearing fever
Caucasian race  40oC
Fever  39oC meningococcal
contact

In select children Sterile urine CBC Pneumonia Meningitis Bacterial


depending on collection urinalysis Blood culture Assess by Assess by Enteritis
season and clinical culture Positive result history and history and Rarely occult
presentation : Positive result ANC > 10.000 physical exam. physical exam. ↑ Stool culture,
Rapid diagnosis + nitrite screen (see text regarding May be occult. Diagnostic by if indicated
and/or culture for + leukocyte esterase WBC) ↑ Chest X-ray, lumar puncture.
influenza, RSV or  5 WBC/hpf selectively ↑ LP, if
enteroviruses indicated

Observase without Viral etiology most likely source


antibiotic treatment Test results
NO explain
fever?
If ill-appearing, reexamine patient
Educate parent to and reevaluate cllinical signs and
careful observation symptoms
and follow-up with YES
PCP
Treat by appropriate CCHMC ABCPG guideline or consider empirie
antibiotic treatment
Follow-up as
appropriate to
presumpitve
diagnosis, clinical
course and culture
results

-71-
Table 1 : Clinical Appearance and Risk
Well-Appearing Smiles, palyful, not irritable, alerts quickly, feeds well, cries strongly but easly
consoled by a caregiver
No sign of dehydration
Good peripheral perfusion, pink, warm
No sign of respiratory distress
Ill-Appearing Brief smiles, irritable with crying and sobbing, still responsive to a caregiver, less
playful or active than usual, poor reeding
Signs or mild or moderate dehydration
Good peripheral perfusion extremities pink and warm
Toxic Irritable and not easilyl consolable, poor or absent eye contact, failure to interact
(Baraff 1993 [S.E]) with parents or object in environment, lethargic or unresponsive, too wak to feed,
seizures or signs of meningeal irritation
Pethechiae, purpura
Signs of severe dehydration
Poor perfussion, mottled, cool extremities
Pale,thready pulse
Respiratory rate > 60, retractions, grunting to apnea, cyanosis, respiratory failure

Table 2 : Definitions adapted from (Baraff 1993 [S.E])


TERM DEFINITION
Temperature Rectal temperatures are prefened to azillary or other temperature measures.
Although rectal temperature are more accurate, it is recommended that a
practitioner give credence to a parent’s verbal report of a child’s fever measured
by any method, including when detected only by touch (Graneto 1996 [C], Hooker
1993 [C], Singhi 1990 [C])
Fever A temperature of at least 38oC (100.4oF) rectally
Fever of Uncertain Fever of uncertain source is an acute illness in which the etiology of the fever is
Source (FUS) not apparent after a careful history and physical examination (Baraff 1993 [S.E]).
Serious Bacterial Includes bacterial meningitis, sepsis/bacteremia, bacterial pneumonia, urinary tract
Illness (SBI) infection, bacterial enteritis, soft tissue infections/lcellulitis, and bone and joint
infections (Baraff 1993 [S.E]).
Occult Bacteremia The presence of bacteria in the blood in the absence of signs of systemic illness.

-72-
DEMAM TIFOID
Widodo Darmowandowo, M. Faried Kaspan

BATASAN
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram
negatif Salmomella. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam
sel fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah.

PATOFISIOLOGI
 Setelah melalui asam lambung, salmonella typhosa menembus ileum
ditangkap oleh sel mononuklear, disusul bakteriemi I. Setelah berkembang
biak di RES, terjadilah bakteriemi II.
 Interaksi Salmonella dengan makrofag memunculkan mediator-mediator.
Lokal (patch of payer) terjadi hiperplasi, nekrosis dan ulkus. Timbul gejala
panas sistemik, instabilitas vaskuler, inisiasi sistem beku darah, depresi
sumsum tulang dll.
 Imunologi. Humoral lokal, di usus diproduksi IgA sekretorik yang berfungsi
mencegah perlekatan Salmonella pada mukosa usus. Humoral sistemik,
diproduksi IgM da IgG untuk mempermudah fagositosis Salmonella oleh
makrofag. Seluler berfungsi untuk membunuh Salmonella instraseluler.

GEJALA KLINIS
Keluhan dan gejala Demam Tifoid tidak khas, dan bervariasi dari gejala
seperti flu ringan sampai tampilan sakit berat dan fatal yang mengenai banyak
sistem organ. Secara klinis gambaran penyakit demam tifoid berupa demam
berkepanjangan, gangguan fungsi usus, dan keluhan susunan saraf pusat.
1. Panas lebih dari 7 hari, biasanya mulai dengan sumer yang makin hari makin
meninggi, sehingga pada minggu ke-2 panas tinggi terus menerus terutama
pada malam hari.
2. Gejala gastrotestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual, muntah, dan
kembung, hepatomegali, splenomegali, dan lidah kotor tepi hiperemi.

-73-
3. Gejala saraf sentral berupa delirium, apatis, somnolen, sopor, bahkan sampai
koma.

LANGKAH DIAGNOSTIK
1. Amanesis.
2. Tanda klinis.
3. Laboratoris.
a. Leukopenia, anesonofilia.
b. Kultur empedu (+) : darah pada minggu 1 (pada minggu II mungkin sudah
negatif), tinja minggu II, air kemih minggu III.
c. Reaksi Widal (+) : titer > 1/200. Biasanya baru positif pada minggu II,
pada stadium rekonvalescen titer makin meninggi.
d. Identifikasi antigen : Elisa, PCR, IgM S typhi dengan Tubex TF cukup
akurat dengan,
e. Identifikasi antibodi : Elisa, typhi dot dan typhi dot M.

DIAGNOSIS BANDING
1. Influenza.
2. Bronchitis.
3. Broncho Pneumonia.
4. Gastroenteritis.
5. Tuberculosa.
6. Malaria.
7. Sepsis.
8. LSK.
9. Keganasan :
- Leukemia.
- Lymphoma.

KOMPLIKASI/PENYULIT
Penderita Demam Tifoid dapat mengalami penyulit. Di bagian Ilmu
Kesehatan Anak RSU Dr. Soetomo macam penyulit yang pernah didapatkan

-74-
antara lain adalah otitis media, pneumoni, ensefalopati, syok, ileus, melena
ikterus, ISK. Termasuk penyulit adalah relapse (kambuh), karier, perdarahan usus,
perforasi, gangguan status mental berat.

PENATALAKSANAAN
Pengobatan penderita Demam Tifoid di Rumah Sakit terdiri dari
pengobatan suportif, medikamentosa, terapi penyulit (tergantung penyulit yang
terjadi). Kadang-kadang perlu konsultasi ke Divisi Hematologi, Jantung,
Neurologi, bahkan ke Bagian lain/Bedah.

PENGOBATAN MEDIKA MENTOSA


Obat-obat pilihan pertama adalah Chloramhenicol,
Ampicilline/Amoxycilline atau Cotrimoxazole. Obat pilihan kedua adalah
cephalosporine generasi III. Obat-obat pilihan ketiga adalah Meropenem,
Azithromycine dan Fluoroquinolone.
 Chloramphenicole diberikan dengan dosis 50 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-
4 kali pemberian, oral atau intravena, selama 14 hari. Bilamana terdapat
indikasi kontra pemberian Chloramphenicole, diberi.
 Ampicilline dengan dosis 200 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali.
Pemberian, intravena saat belum dapat minum obat, selama 21 hari, atau
 Amoxycilline dengan dosis 100 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali.
Pemberian oral/intravena selama 21 hari, atau
 Cotrimoxazole dengan dosis (tmp) 8 mg/kgBB/hari terbagi dalam 2 kali
pemberian, oral, selama 14 hari.
Pada kasus berat, dapat diberi Ceftriaxone dengan dosis 50 mg/kgBB/kali
dan diberikan 2 kali sehari atau 80 mg/kgBB/hari, sekali sehari, intravena, selama
5-7 hari. Pada kasus yang diduga mengalami MDR (Multi Drug Resistance),
maka pilihan antibiotik adalah Meropenem, Azithromycine dan Fluoroquinolon.

-75-
PENTALAKSANAAN PENYULIT
Pengobatan penyulit tergantung macamnya. Untuk kasus berat dan dengan
manifestasi neurologik menonjol, diberi Dexamethazone dosis tinggi dengan dosis
awal 3 mg/kgBB, intravena perlahan (selama 30 menit), kemudian disusul dengan
dosis 1 mg/kgBB dengan tenggang waktu 6 jam sampai 7 kali pemberian.
Tatalaksana bedah dilakukan pada kasus-kasus dengan penyulit perforasi usus.

PENTALAKSANAAN EPIDEMIOLOGIS
Meliputi isolasi penderita berupa isolasi gastrointestinal, sedangkan
pemutusan transmisi dengan pengelolaan disposal dan terapi pembawa kuman
(‘carrier’), sedangkan pencegahan dengan melakukan immunisasi.

PENCEGAHAN
Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara : umum dan
khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan higiene
dan sanitasi karena perbaikan higiene dan sanitasi saja dapat menurunkan
insidensi demam tifoid. (Penyediaan air bersih, pembuangan dan pengelolaan
sampah).
Menjaga kebersihan pribadi dan menjaga apa yang masuk mulut
(minuman/makanan) tidak tercemar Salmonella typhi. Pemutusan rantai transmisi
juga penting yaitu pengawasan terhadap penjual (keliling) minuman/makanan.
Pada saat ini telah ada di pasaran berbagai vaksin untuk pencegahan
demam tifoid. Vaksin chotypa dari kuman dimatikan (whole cell) tidak digunakan
lagi karena efek samping yang terlalu berat dan daya lindungnya pendek.
Dua vaksin yang aman dan efektif yang telah mendapat lisensi dan sudah
ada di pasaran. Satu vaksin berdasar subunit antigen tertentu dan yang lain
berdasar bakteri (whole cell) hidup dilemahkan. Vaksin pertama, mengandung Vi
polisakarida, diberikan cukup sekali, subcutan atau intramuskular. Diberikan
mulai usia > 2 tahun. Re-imunisasi tiap 3 tahun. Kadar protektif bila mempunyai
antibodi anti-Vi 1 g/ml.
Vaksin Ty2 1 a hidup dilemahkan diberikan secara total, bentuk kapsul
enterocoated atau sirup. Diberikan 3 dosis, selang sehari pada perut kosong.

-76-
Untuk anak usia  5 tahun. Reimunisasi tiap tahun. Tidak boleh diberi antibiotik
selama kurun waktu 1 minggu sebelum sampai 1 minggu sesudah imunisasi.

Penderita dinyatakan sembuh


Gejala, tanda sudah hilang dan tidak ada komplikasi.

-77-
INFEKSI VIRUS DENGEU
Widodo Darmowandowo, Parwati Setiono Basuki, Soegeng Soegijanto

A. DEMAM DENGUE
BATASAN
Salah satu varian klinis infeksi virus dengue, yang ditandai oleh gejala
panas 2-7 hari dan pada saat panas turun disertai/disusul dengan gangguan
hemostatik dan kebocoran plasma (plasma leakage).

PATOFISIOLOGI
Berhubungan dengan :
1. Strain virus, dengan urutan Den 2, Den 3, Den 4 dan Den 1.
2. Infeksi sekunder.
3. “Antibody” dependent enhancement.

GEJALA KLINIS
1. Demam.
 Timbul mendadak, berlangsung 2-7 hari.
 Disertai dengan tidak mau bermain (‘not doing well’), nafsu makan
menghilang, mual, dan tidak jarang disertai muntah.
 Kadang kurva suhu berbentuk pelana (sadle-back fever).
 Suhu turun mendadak, kemudian penderita merasa/tampak membaik dan
muncul nafsu makan.
2. Nyeri.
 Nyeri kepala.
 Nyeri belakang mata (retro orbital).
 Nyeri otot (myalgia).
 Nyeri sendi (arthralgia).
3. Ruam.
 Pada awal sakit dapat timbul kemerahan (flushing) pada kulit penderita.

-78-
 Pada periode penyembuhan dapat muncul “confalescence rash”, berupa
morbilli like rash yang lokasinya di ekstremitas bawah (shoe like
appearance).
4. Manifestasi perdarahan.
 Tidak selalu ada.
 Dapat berupa tourniquet test yang positif, petekiae, epistaksis, perdarahan
gusi dan dapat terjadi perdarahan masif berupa hematemesis/melena yang
sampai membutuhkan transfusi darah.
5. Dapat dijumpai gejala gastro intestinal, berupa diare dan gejala saluran nafas
atas berupa batuk serta pilek yang ringan.

CARA PEMERIKSAAN
 Lakukan pemeriksaan klinis yang lengkap meliputi anamnesis yang teliti,
tetapkan hitungan hari sakit penderita datang, pemeriksaan fisik yang cermat
khususnya mencari tanda perdarahan (kalau mungkin lakukan tourniquet test).
 Laboratorium rutin sering dijumpai leukopenia, dan dapat disertai penurunan
trombosit, walaupun seringkali masih > 100.000.
 Diagnosis etiologis :
1) Serologis eliza, memeriksa IgM dan IgG dengue, lakukan pada hari sakit 
5, untuk lebih memperoleh hasil positif.
2) Serologis hemaglutinasi inhibisi, dengan mengambil serum sepasang,
serum pertama saat masuk Rumah Sakit dan serum kedua usahakan  7
hari kemudian (seringkali susah dipenuhi).
3) Virologi, isolasi virus dari spesimen darah, usahakan pengambilan serum
saat periode febris, kemudian dengan dry ice dikirimj ke pusat-pusat
pemeriksaan virologi (dilakukan saat riset).

DIAGNOSIS BANDING
1. Exanthema subitum.
2. German measles.
3. Chikunguya.
4. Demam berdarah dengeu grade I dan II.

-79-
PENYULIT
1. Dehidrasi.
2. Kejang demam.

PENATALAKSANAAN
Lihat pada demam berdarah dengue.

-80-
B. DEMAM BERDARAH DENGUE
BATASAN
Salah satu varian klinis infeksi virus dengue, yang ditandai oleh panas 2-7
hari dan pada saat panas turun disertai/disusul dengan gangguan hemostatik dan
kebocoran plasma (plasma leakage).

PATOFISIOLOGI
1. Berhubungan dengan strain virus, dengan urutan Den 2, Den 3, Den 4 dan Den
1.
2. Berhubungan dengan infeksi sekunder.
3. Berhubungan dengan “antibody-dependent enhacement”.

GEJALA KLINIS
Pada awal sakit, ketika penderita infeksi virus dengue timbul gejala panas,
tidak dapat dibedakan apakah akan menjadi varian klinis Demam Dengue atau
Demam Berdarah Dengue. Pada saat panas turun, penderita Demam Berdarah
Dengue ditandai dengan penampilan klinis yang memburuk. Penderita tampak
sakit berat, gangguan hemostatik yang berupa gejala perdarahan menjadi lebih
prominen dan kebocoran plasma yang ditandai dengan adanya defisit cairan yang
ringan berupa peningkatan PCV  20% sampai gangguan sirkulasi/syok.

CARA PEMERIKSAAN
 Lakukan anamnesis yang cermat, tetapkan hitungan/jumlah/besaran hari sakit
dan berapa lama penderita sudah berada pada keadan klinis yang diasses
sebagai demam berdarah dengue ini.
 Lakukan pemeriksaan fisik yang seksama, gangguan sirkulasi berupa
penyempitan tekanan nadi, penurunan sistole dan diastole. Efusi pleura dan
ascites, sebagai akibat kebocoran plasma.
 Laboratorium rutin didapat leukopeni, trombositopeni dan peningkatan PCV 
20%.
 Photo thorax untuk mendeteksi efusi pleura, terutama pada kasus yang dugaan
plasma leakage tidak seberapa banyak, dan deteksi ascites tidak jelas didapat.

-81-
 Etiologis, serologis hanya diperlukan pada penderita yang tampilan klinisnya
meragukan, sedangkan virologis hanya dilakukan saat riset.

DIAGNOSIS BANDING
1. Demam Berdarah Dengue grade I/II perlu dibedakan dengan Demam
Dengue.
2. Penderita Demam Berdarah Dengue grade III/IV yang disertai febris perlu
dibedakakn dengan sepsis.

PENYULIT
1. Asidosis.
2. Efusi pleura dan ascites, apalagi kalau masif.
3. Perdarahan.
4. Disseminted Intravascular Coagulation.

PENATALAKSANAAN
Periode Febris
Apabila penderita infeksi Virus Dengue datang pada periode febris,
saat/ketika belum/tidak dapat dibedakan Dengue Fever/Dengue Hemorrhagic
Fever, maka pengobatan yang dapat diberikan adalah sbb :
 Antipiretik
Parasetamol sebagai pilihan, dengan dosis 10 mg/BB/kali tidak lebih dari 4
kalil sehari. Jangan memberikan aspirin dan brufen/ibuprofen, sebab dapat
menimbulkan gastritis dan atau perdarahan.
 Antibiotik tidak dieperlukan.
 Makan disesuaikan dengan kondisi nafsu makannya.
 Apabila penderita ditetapkan rawat jalan, maka kalau dalam perjalanan
didapat keluhan dan tanda klinis seperti di bawah ini dianjurkan untuk segera
datang ke rumah sakit untuk pengobatan selanjutnya.
Gejala dan tanda yang dimaksud adalah :
o Nyeri abdomen.
o Tanda perdarahan di kulit, petekiae dan ekimosis.

-82-
o Perdarahan lain seperti epistaksis dan perdarahan gusi.
o Penderita tampak loyo dan pada perabaan terasa dingin.
 Kebutuhan cairan harus dipenuhi. Pemberian cairan dapat diberikan per oral,
akan tetapi apabila penderita tidak mau minum, muntah terus, atau panas yang
terlalu tinggi maka pemberian cairan intravena menjadi pilihan. Apabila cairan
intravena dijadikan pilihan terapi, maka dikenal formula untuk memenuhi
cairan rumatan yaitu formula Halliday Segar dengan rincian sbb :
Berat Badan (Kg) Cairan Rumatan (Volume/24 jam)
10 100 CC/Kg BB
10-20 1000 CC + 50 CC/KgBB di atas 10 Kg
> 20 1500 CC + 20 CC/KgBB di atas 20 Kg
* Setiap derajat C peningkatan temperatur, cairan ditambah 12% dari
kebutuhan rumatan.
Untuk cairan rumatan ini dapat diberikan solutio D5 ½ Saline untuk anak usia
> 3 tahun atau D5 ¼ Saline untuk penderita berumur  3 tahun.
 Lakukan observasi secara cermat setiap 6 jam atas tanda vitalnya, dengan
tujuan untuk mendeteksi tanda-tanda kebocoran plasma (plasma leakage),
yang mengarah ke dengue haemorhagic fever.

Periode Afebris
Demam Dengue
Kebanyakan penderita Demam Dengue, setelah panas turun,
merasa/tampak lebih segar, timbul nafsu makan dan akan segera sembuh tanpa
disertai komplikasi, sehingga tidak ada pengobatan khusus. Kadang timbul gejala
klinis “confalescence petechial rash” pada tangan atau kaki dengan memberi
kesan seperti sarung tangan atau kaus kaki. Dalalm prosentase yang kecil periode
konfalesence ini membutuhkan waktu agak panjang.
Demam Berdarah Dengue
Pada saat temperatur turun, pada penderita Demam Berdarah Dengue
terjadi 2 fenomena yang dapat membawa penderita pada keadaan ktiris bahkan
dapat berakhir dengan kematian apabila tidak tertangani secara benar, yaitu
gangguan hemostatik berupa penurunan jumlah dan kualitas trombosit, gangguan
faktor beku darah, bahkan dapat timbul “disseminated intravascular coagulation”

-83-
dan kebocoran plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas pembuluh darah.
Proses kebocoran plasma dari pembuluh darah ini dapat menimbulkan defisit
plasma di dalam pembuluh darah.
Apabila diurut tahapan klinis defisit plasma dalam pembuluh darah
didapat urutan sbb :
1. Peningkatan hematokrit  20%, tanpa disertai gejala gangguan sirkulasi.
2. Peningkatan hematokrit  20%,, disertai munculnya gejala penyempitan
tekanan nadi.
3. Peningkatan hematokrit  20%,, disertai dengan timbulnya gejala syock, yang
ditandai dengan tekanan darah sistole dan diastole menurun, nadi kecil dan
cepat serta pada perabaan akral dingin.
4. Peningkatan hematokrit  20%,, disertai gejala nadi tak teraba dan tekanan
darah tak terukur (“profound shock”).
Kalau dihadapkan pada penderita Demam Berdarah Dengue yang
termasuk kelompok 3 dan 4, akan dengan mudah mengenalinya, sehingga segera
dapat diberikan penatalaksanaannya, namun untuk kasus jenis kelompok 2, untuk
mendeteksi penyempitan tekanan nadi memerlukan ketelitian dari dokter yang
memeriksanya. Apabila menemukan kasus dari kelompok 1 agak sukar untuk
menetapkan penderita tersebut tanpa/disertai kebocoran plasma, sebab hematokrit
penderita saat sehat tidak diketahui.
Setelah diagnosis Demam Berdarah Dengue dibuat oleh seorang dokter,
maka tetapkan terlebih dahulu derajatnya, apakah grade I/II yang tidak disertai
gangguan sirkulasi, ataukah grade III/IV yang sudah disertai shock. Perlu
ditegaskan bahwa untuk penatalaksanaan penderita Demam Berdarah Dengue
yang harus dikuasai oleh seorang dokter adalah pemberian cairan intravena,
sebatas cukup untuk mempertahankan sirkulasi yang efektif selama periode
plasma leakage, disertai pengamatan yang teliti dan cermat secara periodik
seperti terpampang dalam diagram di bawah ini.
Cairan yang digunakan dapat berupa kritaloid seperti D5 Normal Saline,
Ringer Lactate, D5 Ringer Laktat, D5 Ringer Asetat dan koloid yang mempunyai
berat molekul tinggi seperti Plasma, pengganti Plasma.

-84-
Berikut algoritma pemberian cairan pada penderita Demam Berdarah
Dengue :

DEMAM BERDARAH DENGUE DERAJAT I/II

RL 7 cc/KgBB/1 JAM

PCV. VS

Membaik Tetap Buruk/Respons (+)

PCV ↓ T/N Stabil PCV ↑ N PP ? 20 mmHg


Diuresis (+) Diuresis (-)

RL 5 cc/kgBB/1 Jam Membaik RL 10 cc/kgBB/1 Jam

RL 3 cc/kgBB/1 Jam Tetap Buruk/Respons

Membaik 24-48 Jam RL 15 cc/kgBB/1 Jam

PCV T/N Stabil Tetap Buruk/Respons (-)


Diuresis (+)

STOP PCV ↑ PCV ↓

Koloid/ Transfusi
Plasma Whole
Blood

MEMBAIK

-85-
DEMAM BERDARAH DENGUE DERAJAT III

KRISTALOID 20 cc/KgBB CEPAT

Membaik Tetap Buruk/Respons (-)

Kristaloid Koloid
10 cc/kgBB/1 Jam 20 cc/kgBB Cepat

Membaik
Membaik Tetap Buruk/Respons (-)

Kristaloid
7 cc/kgBB/1 Jam Kristaloid Koloid
10 cc/kgBB/1 Jam 10 cc/kgBB Cepat

Kristaloid
5 cc/kgBB/1 Jam Kristaloid
7 cc/kgBB/1 Jam Membaik Tetap Buruk/
Respons (-)
Kristaloid
3 cc/kgBB/1 Jam Kristaloid Kristaloid
5 cc/kgBB/1 Jam 10 cc/kgBB/1 Jam
Perdarahan Perdarahan
(+) (-)
Kristaloid Kristaloid
3 cc/kgBB/1 Jam 7 cc/kgBB/1 Jam
Transfusi Inotropik
Whole Blood
Kristaloid
5 cc/kgBB/1 Jam

Kristaloid
3 cc/kgBB/1 Jam

-86-
DEMAM BERDARAH DENGUE DERAJAT IV

KRISTALOID 20 cc/KgBB CEPAT

Membaik Tetap Buruk/Respons (-)

Koloid Koloid
10 cc/kgBB/1 Jam 20 cc/kgBB Cepat

Membaik
Membaik ± Membaik + Tetap Buruk/Respons (-)

Kristaloid
7 cc/kgBB/1 Jam Kristaloid Kristaloid Kristaloid
10 cc/kgBB/1 Jam 7 cc/kgBB/1 Jam 10 cc/kgBB Cepat

Kristaloid
5 cc/kgBB/1 Jam Kristaloid Kristaloid
7 cc/kgBB/1 Jam 5 cc/kgBB/1 Jam Membaik Tetap Buruk/
Respons (-)

Kristaloid
3 cc/kgBB/1 Jam Kristaloid Kristaloid Kristaloid
5 cc/kgBB/1 Jam 3 cc/kgBB/1 Jam 7 cc/kgBB/1 Jam
Perdarahan Perdarahan
(+) (-)
Kristaloid Kristaloid
3 cc/kgBB/1 Jam 5 cc/kgBB/1 Jam
Transfusi Inotropik
Whole
Kristaloid Blood
3 cc/kgBB/1 Jam

-87-
MALARIA
Parwati Setiono Basuki, Widodo Darmowandowo

BATASAN
Malaria merupakan penyakit infeksi akut hingga kronis yang disebabkan
oleh satu atau lebih Plasmodium, diatandai dengan panas tinggi bersifat
intermiten, anemia dan hepatosplenomegali. Plasmodium falciparum
menyebabkan malaria tropikana, Plamodium vivax menyebabkan malaria
tertiana, Plasomodium ovale menyebabkan malaria ovale, Plasmodium malariae
menyebabkan malaria kuartana.
Siklus Hidup Plasmodium Malaria :
1. Fase seksual eksogen (sporogoni) dalam tubuh nyamuk.
2. Fase aseksual (skizogoni) dalam tubuh hospes perantara/manusia.
a. Daur dalam darah (skozogoni eritrosit).
b. Daur dalam sel parenkim hati/stadium jaringan (skizogoni ekso-eritrosit).

PATOFISIOLOGI
Melalui gigitan nyamuk Anopheles, sporozoit masuk aliran darah selama
½ - 1 jam menuju hati untuk berkembang biak. Selanjutnya berpuluh-puluh ribu
merozoit masuk ke dalam eritrosit untuk berkembang biak menjadi tropozit.
Skizon eritrosit pecah (disebut sporulasi), sambil membesarkan puluhan merozoit
sebagian skizon masuk kembali ke eritrosit baru dan sebagian lagi membentuk
mikro dan makro gametosit. Gemetosit akan terisap oleh nyamuk Anopheles saat
menghisap darah penderita untuk memulai fase sporogoni.

GEJALA KLINIS
Gejala klinik malaria sangat bervariasi. Pada anak besar, semua gejala
klinis dapat tampak, selain reaksi radang yang sistemik, juga manifestasi pada
organ, mulai dari gejala SSP, ginjal, paru maupun gangguan faali.
 Demam, pola tergantung jenis plasmodium.
 Berkeringat setelah panas turun.
 Penurunan kesadaran.

-88-
 Hepatomegali.
 Gangguan fungsi ginjal.
 Pucat.
Gejala pada anak sering tidak khas :
Yang terpenting adalah indikasi malaria berat yang perlu rujukan dan perawatan
yang lebih intensif. Tanda ini dapat dilihat pada bab tahapan diagnosis.

LANGKAH DIAGNOSTIK
Anamnesis
 Pasien berasal dari daerah endemis malaria, atau riwayat bepergian ke daerah
endemis malaria.
 Demam tinggi (intermiten) disertai menggigil, berkeringat, dan nyeri kepala.
Serangan demam dapat terus-menerus terjadi pada infeksi campuran (> 1 jenis
Plasmodium tetapi infeksi berulang dalam waktu berbeda).
 Lemah, nausea, muntah, tidak ada nafsu makan, nyeri punggng, nyeri daerah
perut, pucat, mialga dan atralgia.
Pemeriksaan Fisis
 Pada malaria ringan dijumpai anemia, muntah atau diare, ikterus, dan
hepatosplenomegali.
 Malaria berat adalah malaria yang disebabkan oleh P.falciparum, disertai satu
atau lebih kelainan sebagai berikut :
 Hiperparasitemia, bila > 5% eritrosit dihinggapi parasit.
 Malaria serebral dengan kesadaran menurun (Blantyre coma score < 3).
 Anemia berat, kadar hemoglobin < 5 g/dl.
 Perdarahan atau koagulasi intravaskular diseminata.
 Ikterus, kadar bilirubin serum > 50 mmol/l.
 Hipoglikemia, kadang-kadang akibat terapi quinine.
 Gagal ginjal, kadar kreatinin serum > 3 g/dl dan diuresis < 400 ml/24 jam.
 Hiperpireksia.
 Edem paru.
 Syok, hipotensi, gangguan asam basa.

-89-
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Apus darah tepi.
 Tebal : ada Plasmodium.
 Tipis : identifikasi spesies Plasmodium/tingkat parasitemia.
 Pemeriksaan kepadatan parasit ditentukan secara :
 Semi-kuantitatif : jumlah parasit per 100 LPB
 Kuantitatif dengan menghitung jumlah parasit per 200 lekosit (pada tetes
tebal) atau per 1000 eritrosit pada sediaan tipis.
 Pemeriksaan dilakukan tiap 6 jam sampai 3 hari berturut-turut.
 Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah HRP-2 (histidine rich protein 2)
atau enzim parasite lactate dehydorgenase (p-LDH).

PENYULIT
 Pada P. falcifarum dapat terjadi :
 Malaria serebral,
 Black water fever (Hb-uria masif),
 Malaria algida (syok),
 Malaria biliosa (gangguan fungsi hati),
 Anemia berat (Hb < 5 gr%),
 Edema paru atau Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS),
 Hipoglikemia,
 Perdarahan spontan, kejang, asidemia.
 Pada P. malariae dapat terjadi penyulit sindrom nefrotik.

DIAGNOSIS
Diagnosis malaria dibuat berdasarkan :
 Anamnesis yang mendukung.
 Pemeriksaan fisik.
 Pemeriksaan laboratorium.

DIAGNOSIS BANDING
1. Malaria ringan tanpa komplikasi.

-90-
i. Demam tifoid.
ii. Demem dengue.
iii. Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA).
iv. Leptospirosis ringan.
v. Infeksi virus akut lain.
2. Malaria berat dengan komplikasi :
i. Radang otak (meningoencehalitis).
ii. Tifoid encefalopati.
iii. Hepatitis.
iv. Leptosirosis berat.
v. Sepsis.
vi. Demam berdarah dengue.

PENATALAKSANAAN
I. Medikamentosa
a. Untuk semua spesies Plasmodium, kecuali P. falciparum yang resisten
terhadap Chloroquine.
 Chloroquine sulfat oral, 25 mg/kgBB terbagi dalam 3 hari yaitu 10
mg/kgBB pada hari ke-1 dan 2, serta 5 mg/kgBB pada hari ke-3.
 Quinine dihydrochloride intravena 1 mg garam/kgBB/dosis dalam 10
cc/kgBB larutan dextrosa 5% atau larutan NaCl 0,9%, diberikan per
infus dalam 4 jam, diulangi tiap 8 jam dengan dosis yang sama sampai
terapi oral dapat dimulai. Keseluruhan pemberian obat adalah 7 hari
dengan dosis total 21 kali.
 Lini pertama untuk P. falciparum adalah tablet Artesunat (4 mg/kgBB
dosis tunggal/hari/oral, hari 1, 2, 3) + tablet Amodiquine (10 mg
basa/kgBB/hari, hari 1, 2, 3) + tablet Primaquine (dosis 0.75 mg
basa/kgBB/oral dosis tunggal pada hari 1). Lini kedua digunakan tablet
Chinine (30 mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis) + Tetracycline (50
mg/kgBB, 4 dosis)/Doxycicline (2 mg/kgBB/hari, 2 dosis) +
Primaquine (dosis tunggal).

-91-
b. Plasmodium falciparum yang resisten terhadap Chloroquine
 Quinine sulphate oral 10 mg/kgBB/dosis, sehari 3 kali, selama 7 hari.
Dosis untuk bayi adalah 10 mg/umur dalam bulan dibagi 3 bagian
selama 7 hari.
 Ditambah Tetracycline oral 5 mg/kgBB/kali, sehari 4 kali selama 7
hari (maksimal 4 x 250 mg/hari).
c. Regimen alternatif
 Quinine sulphate oral.
 Quinine dihydrochloride intravena ditambah Pyrimethamine
sulphadoxine oral.
Tabel 1 Dosis Pyrimethamine Sullphadoxine menurut umur
Umur Pyrimethamine
(Tahun) Sulphadoxine (Tablet)
<1 ¼
1-3 ½
4-8 1
9-14 2
> 14 3

d. Pencegahan relaps
Primaquine phosphate oral.
 Malaria falciparum : 0,5-0,75 mg basa/kgBB, dosis tunggal, pada hari
pertama pengobatan.
 Malaria vivax, malariae, dan ovale : 0,25 mg/kgBB, dosis tunggal
selama 5-14 hari.
II. Bedah
-
III. Suportif
Pemberian cairan, nutrisi, transfusi darah
 Penuhi kebutuhan volume cairan intravaskular dan jaringan dengan
pemberian oral atau parenteral.
 Pelihara keadaan nutrisi.

-92-
 Transfusi darah pack red cell 10 ml/kgBB atau whole blood 20 ml/kgBB
apabila anemia dengan Hb < 7,1 g/dl.
 Bila terjadi perdarahan, diberikan komponen darah yang sesuai.
 Pengobatan gangguan asam basa dan elektrolit.
 Pertahankan fungsi sirkulasi dengan baik, bila perlu pasang CVP. Dialisis
peritoneal dilakukan pada gagal ginjal.
 Pertahankan oksigenasi jaringan, bila perlu diberikan oksigen. Apabila
terjadi gagal nafas perlu pemasangan ventilator mekanik (bila mungkin).
 Pertahankan kadar gula darah normal.
Antipiretik
Diberikan apabila demam > 39oC, kecuali pada riwayat kejang demam
dapat diberikan lebih awal.

MONITORING
I. Terapi
Efektifitas pengobatan anti-malaria dinilai berdasarkan respons klinis
dan pemeriksaan parasitologis.
1. Kegagalan pengobatan dini, bila penyakit berkembang menjadi :
 Malaria berat hari ke-1, 2, 3 dan dijumpai parasitemia, atau
 Parasitemia hari-3 dengan suhu aksila > 37,5oC.
2. Kegagalan pengobatan lanjut, bila perkembangan penyakit pada hari ke 4-
28 :
a. Secara klinis dan parasitologis.
 Ada malaria berat setelah hari ke-3 dan parasitemia, atau
 Parasitemia dan suhu aksila > 37,5oC pada hari ke 4-28 tanpa ada
kriteria kegagalan pengobatan dini.
b. Secara parasitologis.
 Ada parasetimia pada hari ke-7, 14, 21, dan 28.
 Suhu aksila < 37,5oC tanpa ada kriteria kegagalan pengobatan dini.
3. Respons klinis dan parasitologis memadai, apabila pasien sebelumnya
tidak berkembang menjadi kegagalan butir No. 1 atau 2, dan tidak ada
parasitemia.

-93-
LANGKAH PROMOTIF/PREVENTIF
Pencegahan :
 Hindari gigitan nyamuk, membunuh nyamuk/jentik dengan insektisid,
mengunakan kelambu anti-nyamuk.
 Pencegahan dengan obat anti malaria yang diminum 2 minggu sebelum,
selama tinggal dan 8 minggu sesudah meninggalkan daerah endemis. Obat
yang dapat digunakan ialah :
 Chloroquine base 5 mg/kgBB, maksimal 300 mg, sekali seminggu atau
 Sulphadoxine-pyrimethamine dengan dosis pyrimethamine 0,5-0,75
mg/kgBB, atau
 Sulphadoxine 10-15 mg/kgBB sekali seminggu (untuk usia > 6 bulan).
 Vaksin malaria, masihj dalam uji coba.

-94-
TETANUS
Ismoedijanto, Widodo Darmowandowo

BATASAN
Tetanus adalah suatu penyakit toksemik akut yang disebabkan oleh
Clostridium tetani, dengan tanda utama kekakuan otot (spasme), tanpa disertai
gangguan kesadaran. Tetanus neonatorum menyebabkan 50% kematian perinatal
dan menyumbangkan 20% kematian bayi. Angka kejadian 6-7/100 kelahiran
hidup di perkotaan dan 11-23/100 kelahiran hidup di pedesaan, sedangkan angka
kejadian tetanus pada anak di Rumah Sakit 7-40 kasus/tahun, 50% terjadi pada
kelompok 5-9 tahun, 30% kelompok 1-4 tahun, 18% kelompok > 10 tahun, dan
sisanya pada bayi < 12 bulan. Angka kematian keseluruhan antara 6,7-30%.

PATOGENESIS
Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi
bentuk vegetatif bila ada dalam lingkungan anaerob, dengan tekanan oksigen
jaringan yang rendah. Kuman ini dapat membentuk metalo-exotosin tetanus. Yang
terpenting untuk manusia adalah tetanuspasmin. Gejala klinis timbul sebagai
dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan nuromuscular junction serta
saraf otonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah
masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal ke dalam sel saraf tepi,
kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang, akhirnya menyebar ke
Susunan Saraf Pusat (SSP). Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh
eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan pusat. Pengaruh tersebut berupa
gangguan terhadap inhibisi persinaptik sehingga mencegah pengeluaran
nurotransmiter inhibisi yaitu GABA dan glisin, sehingga terjadi eksitasi terus-
menerus dan spasme. Kekakuan dimulai pada tempat masuk kuman atau pada otot
masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke sumsum tulang belakang terjadi
kekakuan yang makin berat pada ekstremitas, otot-otot bergaris pada dada, perut
dan mulai timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks cerebri, penderita
akan mulai mengalami kejang umum yang spontan. Tetanospasmin pada sistem
saraf otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi gangguan pada pernafasan,

-95-
metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran kemih, dan
neuromoskular. Spame larynx, hipertensi, gangguan irama jantung, hiperpirexi,
hyperhydrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom, yang dulu
jarang dilaporkan karena penderita sudah meninggal sebelum gejala timbul.
Dengan penggunaan Diazepam dosis tinggi dan pernafasan mekanik, kejang dapat
diatasi naumun gangguan saraf otonom harus dikenali dan dekelola dengan teliti.

GEJALA KLINIS
Gejala klinik yang dominan adalah kekakukan otot bergaris yang disusul
dengan kejang tonik dan klonik. Masa inkubasi 5-14 hari, period of onset (waktu
antara gejala pertama sampai timbul kejang pertama) yang pendek dapat dijadikan
indikator tetanus berat dengan berbagai penyulit.
Gejala awal adalah trismus, pada neonatus tidak dapat/sulit menetek,
mulut mencucu. Pada anak besar berupa trismus, akibat kekakuan otot masseter,
disertai dengan kaku kuduk, risus sardonikus (karena kekauan otot mimik,
opistotonus, perut papan). Selanjutnya dapat diikuti kejang apabila dirangsang
atau menjadi makin berat dengan kejang spontan, bahkan pada kasus berat terjadi
status konvulsivus. Spasme larynx merupakan penyebab kematian yang sering
dijumpai, bronchopneumonia akibat kekakuan rongga dada, gagal nafas dan status
konvulsivus.
Perubahan derajat berat penyakit dapat terjadi sangat cepat, sehingga
seringkali memerlukan perubahan dosis antikonvulsan yang sesuai dengan
perjalanan klinis. Digunakan kriteria berat penyakit Surabaya yang lebih
sederhana dibanding cara penilaian dari Abblet, skro Phillips, skor Dakar atau
modifikasi Patel dan Joag. Penelitian Rizal membuktikan ada kesetaraan kuat
antara kriteria Surabaya dan Kriteria Abblet. Penilaian klinis yang menitik
beratkan pada perbedaan jenis kejang, dapat dilakukan oleh paramedik, sehingga
perubahan dosis dapat dilakukan lebih cepat dan tepat.

Derajat penyakit tetanus Surabaya


Derajat I (tetanus ringan)
 Trismus (lebar antar gigi sama atau lebih 2 cm).

-96-
 Kekakuan umum.
 Tidak dijumpai kejang.
 Tidak dijumpai ganguan respirasi.
Derajat II (tetanus sedang)
 Trismus (lebih kurang dari 1 cm).
 Kekakuan umum makin jelas.
 Dijumpai kejang rangsang, tidak ada kejang spontan.
Derajat III a. tetanus berat
 Trismus berat (kedua baris gigi rapat).
 Otot sangat spastis, timbul kejang spontan.
 Takipnea, takikakardia.
 Apneic spell (spasme larynx).
Derajat III b. tetanus dengan gangguan saraf otonom
 Gangguan otonom berat.
 Hipertensi berat dan takikardi, atau
 Hipotensi dan bradikardi.
 Hipertensi berat atau hipotensi berat.

LANGKAH DIAGNOSTIK
Anamnesis
 Riwayat mendapat trauma (terutama luka tusuk), pemotongan dan perawatan
tali pusat yang tidak steril, riwayat Otitis Media Supurativa Kronik (OMSK),
atau gangren gigi.
 Riwayat anak tidak diimunisasi/tidak lengkap imunisasi tetanus/Ibu Hamil
(BUMIL)/Wanita Usia Subur (WUS).
Pemeriksaan fisik
 Ada kekakuan lokal atau trismus.
 Ada kaku kuduk, risus sardonikus, opisthotonus, perut paapn.
 Kekakuan ekstermitas yang khas : fleksi tangan, ekstensi kaki.
 Ada penyulit.

-97-
DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis
 Anamnesis : partus non steril, status imunisasi, masa inkubasi, period of onset,
luka tusuk, otitis media.
 Pemeriksaan fisik : kekakuan otot, kejang, kesadaran baik.
 Diagnosis berdasarkan data klinis, tidak ada pemeriksaan penunjang yang
membantu.
Diagnosis banding
 Trismus akibat abses gigi, abses parafering/retrofaring/peritonsiler.
 Sepsis neonatorum, meningitis bakterialis, ensefalitis, rabies.
 Keracunan striknin, efek samping phenothiazine, tetani, epilepsi.

PENYULIT
Waspadai :
 Gangguan ventilasi paru.
 Aspirasi pneumonia.
 Bronkopneumonia, atelektasis.
 Emfisema mediastinal, pneumotoraks.
 Sepsis.
 Fraktur vertebrata atau fraktur tulang paha.

PENATALAKSANAAN
Terapi dasar tetanus
Antibiotik diberikan selama 10 hari, 2 minggu bila ada komplikasi
 Penicilline procaine 50.000 IU/kgBB/kali i.m, tiap 12 jam, atau
 Metronidazole loading dose 15 mg/kgBB/jam, selanjutnya 7,5 mg/kgBB tiap 6
jam.
Catatan : Bila ada sepsis/pneumonia dapat ditambahkan antibiotik yang sesuai.
Imunisasi aktif-pasif.
 Anti tetanus serum (ATS) 5.000-10.000 IU, diberikan intramuskular. Untuk
neonatus bisa diberikan iv; apabila tersedia dapat diberikan Human Tetanus
Immuno Globulin (HTIG) 3000-6000 IU i.m.

-98-
 Dilakukan imunisasi DT/TT/DTP pada sisi yang lain, pada saat bersamaan.
Anti konvulsi
Pada dasarnya kejang diatasi dengan Diazepam, dosis disesuaikan dengan
responst klinis (titrasi) :
 Bila datang dengan kejang diberi Diazepam :
 Neonatus bolus 5 mg iv.
 Anak bolus 10 mg iv.
 Dosis rumatan maksimal :
 Anak 240 mg/hari.
 Neonatus 120 mg/hari.
 Bila dengan dosis 240 mg/hari masih kejang (tetanus sangat berat), harus
dilanjutkan dengan bantuan ventilasi mekanik, dosis Diazepam dapat
ditingkatkan sampai 480 mg/hari, dengan atau tanpa kurarisasi.
 Diazepam sebaiknya diberikan dengan syringe pump, jangan dicampur dalam
botol cairan infus. Bilamana tidak ada syringe pump, diberikan bolus tiap 2
jam (12 x/hari)
 Dapat dipertimbangkan penggunaan anti konvulsan lain, seperti magnesium
sulfat, bilamana ada gangguan saraf otonom.
Perawatan luka atau port d’entrée yang dicurigai, dilakukan sekaligus
dengan pembuangan jaringan yang diduga mengandung kuman dan spora
(debridemant), sebaiknya dilakukan setelah diberi antitoksin dan anti-konvulsi.
Terapi suportif
 Bebaskan jalan nafas.
 Hindarkan aspirasi (dengan menghisap lendir perlahan-lahan dan memindah-
mindahkan posisi pasien).
 Pemberian oksigen.
 Perawatan oksigen.
 Perawatan dengan stimulasi minimal.
 Pemberian cairan dan nutrisi adekuat, bila perlu dapat dipasang sonde
nasogastrik, asal tidak memperkuat kejang.
 Bantuan nafas pada tetanus berat atau tetanus neonatrum.
 Pemantauan/monitoring kejang dan tanda penyulit.

-99-
Tetanus ringan dan sedang
 Diberikan pengobatan tetanus dasar.
Tetanus sedang
 Terapi dasar tetanus.
 Perhatian khusus pada keadaan jalan nafas (akibat kejang dan aspirasi).
 Pemberian cairan parenteral, bila perlu nutirisi secara parenteral.
Tetanus berat/sangat berat
 Terapi dasar seperti di atas.
 Perawatan dilakukan di ICU, diperlukan intubasi atau tracheostomi.
 Balans cairan dimonitor secara ketat.
 Apabila spasme sangat hebat (tetanus berat), perlu ventilasi mekanik dengan
Pancuronium bromide 0,02 mg/kgBB intravena, diikuti 0,05 mg/kgBB/kali,
diberikan tiap 2-3 jam.
 Apabila terjadi aktivitas simpatis yang berlebihan, berikan -blocker seperti
propanolol/ dan -blocker labetalol.

PENCEGAHAN
1. Imunisasi aktif
a. Imunisasi dasar Diphteri Pertusis Tetanus (DPT) diberikan tiga kali sejak
usia 2 bulan dengan interval 4-6 minggu, ulangan pada umur 18 bulan dan
5 tahun (lihat Bab Jadwal Imunisasi).
b. Eliminasi tetanus neonatorum dilakukan dengan imunisasi Tetanus Toxoid
(TT) pada ibu hamil, wanita usia subur, minimal 5 x suntikan toksoid,
(untuk mencapai tingkat TT lifelong-card).
2. Pencegahan pada luka
 Luka dibersihkan, jaringan nekrotik dan benda asing dibuang.
 Luka ringan dan bersih.
 Imunisasi lengkap : tidak perlu Anti Tetanus Serum (ATS) atau tetanus
imunoglobin.
 Imunisasi tidak lengkap : imunisasi aktif DPT/DT.
 Luka sedang/berat dan kotor.

-100-
 Imunisasi (-)/tidak jelas : ATS 3000-5000 IU, atau tetanus
imunoglobin 250-500 IU. Toksoid tetanus pada sisi lain.
 Imunisasi (+)/lamanya sudah > 5 tahun : ulangan toksoid, ATS 3000-
5000 IU, tetanus imunoglobin 250-500 IU.

MONITORING
1. Sekuele
 Spasme berkurang setelah 2-3 minggu, namun kekakuan dapat terus
berlangsung lebih lama.
 Kekakuan dapat tetap berlangsung sampai 6-8 minggu pada kasus yang
berat.
 Gangguan otonom biasanya dimulai beberapa hari setelah kejang dan
berlangsung selama 1-2 minggu.
2. Tumbuh kembang
 Infeksi tetanus pada anak merupakan infeksi yang akut sehingga relatif
tidak menanggu tumbuh kembang anak.
 Pada tetanus neonatorum, dapat terjadi gangguan tumbuh kembang oleh
karena hipoksia yang berat.

-101-
IV. DIVISI HEMATOLOGI
1. Prof. H. Bambang Permono, dr., Sp.A(K)
2. I Dewa Gede Ugrasena, dr., Sp.A(K)
3. Mia Ratwita Andarsini, dr., Sp.A

-102-
ANEMIA DEFINISI BESI
Bambang Permono, I Dewa Gede Ugrasena, Mia Ratwita Andarsini

BATASAN
Anemia yang disebabkan kekurangan zat besi untuk sintesis hemoglobin.

PATOFISIOLOGI
Zat besi (Fe) diperlukan untuk pembuatan heme dan hemoglobin (Hb).
Kekuranga Fe mengakibatkan kekurangan Hb. Walaupun pembuatan eritrosit juga
menurun, tiap eritrosit mengandung Hb lebih sedikit dari pada biasa sehingga
timbul anemia hipokromik mikrositik.

ETIOLOGI
Kekurangan Fe dapat terjadi bila :
 Makanan tidak cukup mengandung Fe.
 Komposisi makanan tidak baik untuk penyerapan Fe (banyak sayuran, kurang
daging).
 Ganggan penyerapan Fe (penyakit usus, reseksi usus).
 Kebutuhan Fe meningkat (pertumbuhan yang cepat, pada bayi dan adolesensi,
kehamilan).
 Perdarahan kronis atau berulang (epistaksis, hematemesis, ankilostomiasis).

EPIDEMIOLOGI
Diperkirakan 30% penduduk dunia menderita anemia dan lebih dari 50%
penderita ini adalah Anemia Defisiensi Besi (ADB) dan terutama mengenai bayi,
anak sekolah, ibu hamil dan menyusui. Di Indonesia masih merupakan masalah
gizi utama selain kekurangan kalori, protein, vitamin A dan yodium. Penelitian di
Indonesia mendapatkan prevalensi ADB pada anak balita sekitar 30-40%, pada
anak sekolah 25-35% sedangkan hasil SKRT 1992 prevalensi ADB pada balita
sebesar 55,5%. ADB mempunyai dampak yang merugikan bagi kesehatan anak
berupa gangguan tumbuh kembang, penurunan daya tahan tubuh dan daya

-103-
konsentrasi serta kemampuan belajar sehingga menurunkanj prestasi belajar di
sekolah.

DIAGNOSIS
1. Anamnesis
1) Riwayat faktor predisposisi dan etiologi :
 Kebutuhan meningkat secara fisiologis
 Masa pertumbuhan yang cepat.
 Menstruasi.
 Infeksi kronis.
 Keurangan besi yang diserap
 Asupan besi dari makanan tidak adekuat.
 Malabsorpsi besi.
 Perdarahan
 Perdarahan saluran cerna (tukak lambung, penyakit Crohn, colitis
ulserativa).
2) Pucat, lemah, lesu, gejala pika.
2. Pemeriksaan fisis
 Anemis, tidak disertai ikterus, organomegali dan limphadenopati.
 Stomatis angularis, atrofi papil lidah.
 Ditemukan takikardi, murmur sistolik dengan atau tanpa pembesaran
jantung.
3. Pemeriksaan penunjang
 Hemaglobin, Hdct dan indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC) menurun.
 Hapus darah tepi : hipokromik mikrositik.
 Kadar besi serum (SI) menurun dan TIBC meningkat, saturasi menurun.
 Kadar feritin menurun dan kadar Ree Erythrocyte Porphyrin (FEP)
meningkat.
 Sumsung tulang : aktifitas eritropik meningkat.

-104-
DIAGNOSIS BANDING
Anemia hipokromik mikrositik :
 Thalasemia (khususnya thalasemia minor) :
 Hb A2 meningkat.
 Feritin serum dan timbunan Fe tidak turun.
 Anemia karena infeksi menahun :
 Biasanya anemia normokromik normositik, kadang-kadang terjadi anemia
hipokromik mikrositik.
 Feritin serum dan timbunan Fe tidak turun.
 Keracunan timah hitam (Pb)
 Terdapat gejala lain keracunan Pb.
 Anemia sideroblastik :
 Terdapat ring sideroblastik pada pemeriksaan sumsum tulang.

PENYULIT
Bila Hb sangat rendah dan keadaan ini berlangsung lama dapat terjadi
payah jantung.

PENATALAKSANAAN
1. Medikamentosa
Pemberian preparat besi (ferro sulphate/ferro fumarate/ferro gluconate)
dosis 4-6 mg besi elemental/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis, diberikan di
antara waktu makan. Preparat besi ini diberikan sampai 2-3 bulan setelah
kadar hemoglobin normal.
Ascorbic acid 100 mg/15 mg besi elemental (untuk meningkatkan
absorbsi besi).
2. Bedah
Untuk penyebab yang memerlukan intervensi bedah seperti perdarahan
karena diverticulum Meckel.

-105-
3. Suportif
Makanan gizi seimbang terutama yang mengandung kadar besi tinggi
yang bersumber dari hewani (limfa, hati, daging) dan nabati (bayam, kacang-
kacangan).
4. Lain-lain (rujukan sub spesialis rujukan spesialisasi lainnya)
Ke sub bagian terkait dengan etiologi dan komplikasi (gizi, infeksi,
respirologi, gastrohepatologi, kardiologi).

PEMANTAUAN
1. Terapi
 Periksa kadar hemoglobin setiap 2 minggu.
 Kepatuhan orang tua dalam memberikan obat.
 Gejala sampingan pemberian zat besi yang bisa berupa gejala gangguan
gastrointestinal misalnya konstipasi, diare, rasa terbakar di ulu hati, nyeri
abdomen dan mual. Gejala lain dapat berupa pewarnaan gigi yang bersifat
sementara.
2. Tumbuh kembang
 Penimbangan berat badan setiap bulan.
 Perubahan tingkah laku.
 Daya konsentrasi dan kemampuan belajar pada anak usia sekolah dengan
konsultasi ke ahli psikologi.
 Aktivitas motorik.

Langkah Promotif/Preventif
Upaya penangggulangan Angka Kematian Bayi (AKB) diprioritaskan
pada kelompok rawan yaitu BALITA, anak usia sekolah, ibu hamil dan menyusui,
wanita usia subur termasuk remaja putri dan pekerja wanita. Upaya pencegahan
efektif untuk menanggulangi Angka Kematian Bayi (AKB) adalah dengan pola
hidup sehat dan upaya-upaya pengendalian faktor penyebab dan predisposisi
Angka Kematian Bayi (AKB) yaitu berupa penyuluhan kesehatan, memenuhi
kebutuhan zat besi pada masa pertumbuhan cepat, infeksi kronis/berulang
pemberantasan penyakit cacing dan fortifikasi besi.

-106-
TALASEMIA
Bambang Permono, I Dewa Gede Ugrasena, Mia Ratwita Andarsini

BATASAN
Talasemia adalah suatu kelompok anemia hemolitik kongenital herediter
yang diturunkan secara autosomal, disebabkan kekurangan sintesis rantai
polipeptid yang menyusun molekul globin dalam hemoglobin.

PATOFISIOLOGI
 Molekul globin terdiri atas sepasang rantai - dan sepasang rantai lain yang
menentukan jenis Hb. Pada orang tua normal terdapat 3 jenis Hb, yaitu Hb A
(merupakan > 96% dari Hb total, tersusun dari 2 rantai - dan 2 rantai - =
22), Hb F (< 2% = 22) dan HbA2 (< 3% = 22). Kelainan produksi
dapat terjadi pada rantai- (-thalassemia), rantai- (-thalassemia), rantai-
(-thalassemia), maupun kombinasi kelainan rantai- dan rantai- (-
thalassemia).
 Pada thalassemia-, kekurangan produksi rantai beta menyebabkan
kekurangan pembentukan 22 (Hb A); kelebihan rantai - akan berikatan
dengan rantai- yang secara kompensatoir Hb F meningkat; sisanya dalam
jumlah besar diendapkan pada membran eritrosit sebagai Heinz bodies dengan
akibat eritrosit mudah rusak (ineffective erythropoesis).

EPIDEMIOLOGI
Frekuensi gen talasemia di Indonesia berkisar 3-10%. Berdasarkan angka
ini, diperkirakan lebih dari 2000 penderita baru dilahirkan setiap tahun di
Indonesia.

DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Keluhan timbul karena anemia : pucat, gangguan nafsu makan,
gangguan tumbuh kembang dan perut membesar karena pembesaran lien dan
hati. Pada umumnya keluh kesah ini mulai timbul pada usia 6 bulan.

-107-
2. Pemeriksaan fisis
 Pucat.
 Bentuk muka mongoloid (facies cooley).
 Dapat ditemukan ikterus.
 Gangguan pertumbuhan.
 Splenomegali dan hepatomegali yang menyebabkan perut membesar.
3. Pemeriksaan penunjang
1) Darah tepi :
 Hb rendah dapat sampai 2-3 g%.
 Gambaran morfologi eritrosit : mikrositk hpokromik, sel target,
anisositosis berat denga makroovalositosis, mikrosferosit, polikromasi,
basophilic stippling, benda Howell-Jolly, poikilositosis dan sel target.
Gambaran ini lebih kurang khas.
 Retikulosit meningkat.
2) Sumsum tulang (tidak menentukan diagnosis) :
 Hiperplasi sistem eritropoesis dengan normoblas terbanyak dari jenis
asidofil.
 Granula Fe (dengan pengecatan Prussian biru) meningkat.
3) Pemeriksan khusus :
 Hb F meningkat : 20%-90% Hb total.
 Elektroforesis Hb : hemoglobinopati lain dan mengukur kadar Hb F.
 Pemeriksaan pedigree : kedua orang tua pasien talasemia mayor
merupakan trait (carrier) dengan Hb A2 meningkat (> 3,5% dari Hb
total).
4) Pemeriksaan lain :
 Foto Ro tulang kepala : gambaran hair on end, korteks menipis, diploe
melebar dengan trabekula tegak lurus pada korteks.
 Foto tulang pipih dan ujung tulang panjang : perluasan sumsum tulang
sehingga trabekula tampak jelas.

-108-
DIAGNOSIS BANDING
Talasemia minor :
 Anemia kurang besi.
 Anemia karena infeksi menahun.
 Anemia pada keracunan timah hitam (Pb).
 Anemia sideroblastik.

PENATALAKSANAAN
1. Medikamentosa
 Pemberian iron chelating agent (desferoxamine) : diberikan setelah kadar
feritin serum sudah mencapai 1000 g/l atau saturasi transferin lebih 50%,
atau sekitar 10-20 kali transfusi darah.
 Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian khelat besi, untuk
meningkatkan efek kelasi besi.
 Folic acid 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.
 Vitamin E 200-400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat
memperpanjang umur sel darah merah.
2. Bedah
Splenektomi, dengan indikasi :
 Limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak penderita,
menimbulkan peningkatan tekanan intraabdominal dan bahaya ruptur.
 Hipersplenisme ditandai dengan peningkatan kebutuhan transfusi darah
atau kebutuhan suspensi eritrosit (Packed Red Cell = PRC) melebihi 250
ml/kgBB dalam satu tahun.
3. Suportif
Transfusi darah :
Hb penderita dipertahankan antara 8 g/dl sampai 9,5 g/dl. Dengan
keadaan ini akan memberikan supresi sumsum tulang yang adekuat,
menurunkan tingkat akumulasi besi, dan dapat mempertahankan pertumbuhan
dan perkembangan penderita. Pemberian darah dalam bentuk PRC (packed red
cell), 3 ml/kgBB untuk setiap kenaikan Hb 1 g/dl.

-109-
4. Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialisasi lainnya dll)
Tumbuh kembang, kardiologi, gizi, endokrinologi, radiologi, gigi.

PEMANTAUAN
1. Terapi
 Pemeriksaan kadar feritin setiap 1-3 bulan, karena kecenderungan
kelebihan besi akibat absorbsi besi meningkat dan transfusi darah
berulang.
 Efek samping kelasi besi yang dipantau : demam, sakit perut, sakit kepala,
gatal, sukar bernapas. Bila hal ini terjadi kelasi besi dihentikan.
2. Tumbuh kembang
Anemia kronis memberikan dampak pada proses tumbuh kembang,
sehingga diperlukan perhatian dan pemantauan tumbuh kembang penderita.
3. Gangguan jantung, hepar dan endokrin
Anemia kronis dan kelebihan zat besi dapat menimbulkan gangguan
fungsi jantung (gagal jantung), hepar (gagal hepar), ganguan endokrin
(diabetes mellitus, hipoparatiroid) dan fraktur patologis.

-110-
PURPURA TROMBOSITOPENIK IMUN (PTI)
Bambang Permono, I Dewa Gede Ugrasena, Mia Ratwita Andarsini

SINONIM : Autoimmune Thrombocytopenic Purpura, Morbus Wirlhof,


Purpura Hemorrhagica

BATASAN
Merupakan kelainan perdarahan (bleeding disorders) pada anak usia 2-4
tahun, dengan insiden 4-8 kasus per 100.000 anak per tahun. Terjadi akut, biasa
sembuh sendiri dalam 6 bulan dan jika PTI terjadi pada usia < 1 tahun atau > 10
tahun biasa kronis dan dihubungkan dengan kelainan imunias.

PATOFISIOLOGI
Pada PTI akut, telah dipercaya bahwa penghancuran trombosit meningkat
karena ada antibodi yang dibentuk saat terjadi respons imun terhadap infeksi
bakteri/virus atau pada imunisasi yang bereaksi silang dengan antigen dari
trombosit. Mediator-mediator lain yang meningkat selama terjadi respons imun
terhadap infeksi, dapat berperan dalam penekanan terhadap produksi trombosit.

DIAGNOSIS
1. Anamnesis
 Trombositopenia terjadi 1-3 minggu setelah infeksi bakteri atau virus
(infeksi saluran nafas atau saluran cerna), misalnya Rubella, Rubeola,
Chicken Pox atau vaksinasi dengan virus hidup.
 Riwayat perdarahan, gejala dan tipe perdarahan, lama perdarahan, riwayat
sebelum perdarahan.
 Riwayat pemberian obat-obat, misalnya heparin, sulphonamide,
quinidine/quinine, aspirin.
 Riwayat ibu menderita HIV, riwayat keluarga yang menderita
trombositopenia atau kelainan hematologi.

-111-
2. Pemeriksaan fisis
 Perhatikan manifestasi perdarahan (Tabel 1), tipe perdarahan termasuk
perdarahan retina, derajat berat perdarahan.
 Perabaan hati, limpa, kelenjar getah bening.
 Infeksi.
 Gambaran dismorfik yang diduga kelainan kongenital termasuk kelainan
tulang, kehilangan pendengaran.

Tabel 1 : Stadium berdasarkan jumlah trombosit, manifestasi klinis dan


petunjuk intervensi pada anak dengan PTI
Trombosit Gejala dan
Stadium Rekomendasi
(x 109/1) Pemeriksaan Fisik

1 > 50-150 Tidak ada Tidak ada


2 > 20 Tidak ada Pengobatan indivual
(terapi/preventif)
3 > 20 dan/atau Perdarahan mukosa Dirawat di RS dan IVIG atau
< 10 Perdarahan minor kortikosteroid

3. Pemeriksaan penunjang
 Morfologi eritrosit, leukosit dan retikulosit biasa normal.
 Hemoglobin, indeks eritrosit dan jumlah leukosit normal.
 Trombositopenia, besar trombosit normal atau lebih besar (giant platelet),
masa perdarahan (bleeding time) memanjang.
 Pemeriksaan aspirasi sumsum tulang tidak perlu bila gambaran klinis dan
laboratorium klasik, tapi bila ditemukan limfadenopati, organomegali,
anemia atau kelainan jumlah leukosit perlu dilakukan.

-112-
Tabel 2 : Gambaran PTI akut dan kronis

AKUT KRONIS
Umur 2-6 tahun Dewasa
Jenis kelamin Laki : wanita = 1 : 1 Laki : wanita = 1 : 3
Ada infeksi yang ± 80% Jarang
mendahului
Permulaan Akut Perlahan-lahan
Jumlah trombosit < 20.000/mm3 40.000-80.000/mm3
Eosinofili dan limfositosis Sering Jarang
Kadar IgA Normal Lebih rendah
Lama penyakit Biasa 2-6 minggu Berbulan-bulan sampai
bertahun-tahun
prognosis Penyembuhan spontan Perjalanan penyakit
pada 80% kasus menahun dengan jumlah
trombosit naik turun

DIAGNOSIS BANDING
 Anemia aplastik dan leukemia akut : gambaran darah tepi dan sumsum tulang
biasa cukup luas.
 Septikemia pada stadium permulaan : penderita tampak sakit.
 Penyakit imunologik seperti Systemic Lupus Erythematosus (SLE) : tes sel
LE, tes ANA (Antinuclear antibody).

PENATALAKSANAAN
Berdasarkan kemungkinan pengobatan PTI pada anak dapat dilihat pada tabel 3

Tabel 3 : Beberapa kemungkinan pengobatan PTI pada anak


Intravenous immunoglobulin Dosis inisial 0,8 g/kg BB, 1 kali pemberian.
(IVIG) Diulang dengan dosis yang sama jika jumlah
trombosit < 30 x 109/l pada hari ke-3 (72 jam
setelah infus pertama).
Pada perdarahan emergensi : 0,8 g/kgBB, 1-2 kali
pemberian, bersama-sama dengan kortikosteroid
dan tansfusi trombosit. Pada PTI kronis : 0,4

-113-
g/kgBB/x, setiap 2-8 minggu
Kortikosteroid 4 mg prednisonel/kgBB/hari/po atau iv selama 7 hari,
kemudian tappering of dalam periode 7 hari. Pada
perdarahan emergensi : 8-12.00 mg
Methylprednisolone/kgBB/iv atau 0,5-1,0 mg
Dexamethazone/kgBB/iv atau po, bersama-sama
dengan IVIG atau transfusi trombosit
Anti-R(D) antibody 10-25 g/kgBB/hari selama 2-5 hari, intravena
dalam 50 cc NaCl 0,9% dan habis dalam 30 menit
-interferon 3 x 106 unit subkutan, 3 kali per minggu selama 4
minggu
Siklosporin 3-8 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2-3 dosis
azatioprin 50-300 mg/m2 per os/hari selama  4 bulan

Catatan :
 Transfusi trombosit pada umumnya tidak diberikan berhubung adanya zat anti
terhadap trombosit.
 Splenektomi kadang-kadang dilakukan pada PTI akut dengan perdarahan otak.
Biasa dilakukan bersama dengan transfusi trombosit dalam jumlah besar.

KOMPLIKASI
 Anemia karena perdarahan hebat.
 Perdarahan otak setelah anak jatuh (rudapaksa pada kepala).
 Sepsis pasca splenektomi.

-114-
HEMOFILIA
Bambang Permono, I Dewa Gede Ugrasena, Mia Ratwita Andarsini

BATASAN
Hemofilia adalah penyakit kongenital herediter yang disebabkan karena
gangguan sintesis faktor pembekuan darah.
Ada 3 jenis hemofilia :
 Hemofilia A : defek faktor VIII (AHF).
 Hemofilia B : defek faktor IX (prevalensi hemofilia A : B = (5-8) : 1).
 Hemofilia C : defek faktor XI (jarang).

EPIDEMIOLOGI
Hemofilia A merupakan bentuk yang paling sering dijumpai (hemofilia A
80-85%, hemofilia B 15-20%). Prevalensi 1 : 10.000 kelahiran bayi laki.

DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Keluhan penyakit ini dapat timbul saat :
 Lahir : perdarahan lewat tali pusat.
 Anak yang lebih besar : perdarahan sendi sebagai akibat jatuh pada saat
belajar berjalan.
 Ada riwayat timbul “biru-biru” bila terbentur (perdarahan abnormal).
2. Pemeriksaan fisis
Ada perdarahan yang dapat berupa :
 Hematom di kepala atau tungkai atas/bawah.
 Hemarthrosis.
 Sering dijumpai perdarahan interstitial yang akan menyebabkan atrofi otot,
pergerakan terganggu dan terjadi kontraktur sendi. Sendi yang sering
terkena adalah siku, lutut, pergelangan kaki, paha dan sendi bahu.
3. Pemeriksaan penunjang
 APTT/masa pembekuan memanjang.
 PPT (Plasma Prothrombin Time) normal.

-115-
 SPT (Serum Prothrombin Time) pendek.
 Kadar fibrinogen normal.
 Retraksi bekuan baik.

DIAGNOSIS BANDING
1. Von Willebrand’s disease.
2. Defisiensi vitamin K.

PENATALAKSANAAN
1. Hemofilia A
1) Transfusi faktor VIII : preparat berupa fresh pooled plasma, fresh frozen
plasma, cryoprecipitate atau AHF concentrate.
Pedoman terapi (bila tersedia fasilitas) kurang lebih sebagai berikut :
Kadar
Dosis Unit/kgBB
Macam Perdarahan F.VIII Terapi Pelengkap
per 12 Jam
Sampai (%)
Spontan dalam 40-50 20-25 (2-3 hari) Prednisone
sendi, otot 2 mg/kgBB/hari (1 kali)
1 mg/kgBB/hari (1 kali)
Immobilisasi
Hematuria 40-50 20-25 Prednisone
(sampai gross 2 mg/kgBB/hari (1 kali)
hematuri 1 mg/kgBB/hari (1 kali)
menghilang) (EACA kontraindikasi)
Hematom di tempat 60-80 30-40 Fisioterapi jika ada gangguan
berbahaya (5-7 hari) saraf oleh karena tekanan
Perawatan gigi profilaktif
Tindakan gigi : 20-30 10-15 (1 hari) EACA 100 mg/kgBB/hari/6
Ekstraksi 1 gigi jam (7 hari)
Kumur antiseptik skrinnng
inhibitor, assay F.VIII tiap
Ekstraksi multipel 40-50 20-25 (1-3 hari) jam (ideal)
Operasi besar, 100-150 50-75
trauma kepala, Cyclophoshamide iv atau oral,
kecelakaan berat plasmapheresis
Pasien dengan Human AHF
inhibitor F.VIII concentrate dosis

-116-
tinggi, proplex
(faktor II, VIII,
IX, X) AHF
sapi/babi

Keterangan :
EACA = aminocaproic acid
2) Transfusi darah/plasma segar efek preparat AHF kurang memuaskan
3) Corticosteroid : mengurangi kebutuhan faktor VIII, meningkatkan
resistensi kapiler dan mengurangi reaksi radang. Dapat diberikan pada
hematuria.
4) Pencegahan perdarahan : pasien hemofilia klasik seharusnya selalu
mendapat AHF sebagai profilaksis. Dosis AHF 20 unit/kgBB/tiap 48 jam
akan mempertahankan kadar faktor VIII di atas 1% sehingga perdarahan
spontan terhindarkan.
2. Hemofilia B
 Transfusi preparat PPSB (mengandung protrombin/F.II,
proconvertin/F.VIII, Stuart faktor/F.X dan antihemofilia B/F.IX).
 Dosis : pedoman dosis untuk faktor VIII dapat digunakan untuk hemofilia
B (definisi faktor IX).
 Dosis profilasis 10 unit/kgBB (2 kali seminggu).

PEMANTAUAN
1. Terapi
Efek samping terapi :
 Hepatitis B dan hepatitis C dapat terjadi pada penderita hemofilia karena
transmisi virus. Dianjurkan pemeriksaan fungsi hati setiap 6 bulan.
 Monitor kemungkinan AIDS dan kelainan imunologi.
2. Tumbuh Kembang
Gangguan tumbuh kembang dapat terjadi bila terdapat komplikasi
kontraktor sendi. Hal ini dapat dicegah dengan penanganan secara
komprehensif, yang terdiri dari dokter anak, dokter gigi, ahli bedah ortopedi,
ahli jiwa dan ahli patologi klinik.

-117-
PERDARAHAN AKIBAT DEFINISI VITAMIN K
Bambang Permono, I Dewa Gede Ugrasena, Mia Ratwita Andarsini

BATASAN
Kecenderungan terjadi perdarahan akibat gangguan proses koagulasi yang
disebabkan oleh kekurangan vitamin K atau dikenal dengan Vitamin K Deficiency
Bleeding (VKDB).

PATOFISIOLOGI
Vitamin K diperlukan untuk sintesis prokoagulan faktor II, VII, IX dan X
(kompleks protrombin) serta protein C dan S yang berperan sebagai antikoagulan
(menghambat proses pembekuan). Selain itu Vitamin K diperlukan untuk konversi
faktor pembekuan tidak aktif menjadi aktif.
Ada 3 kelompok :
 VKDB dini.
 VKDB klasik.
 VKDB lambat atau acquired prothrombin complex deficiency (APCD).
 Secondary prothrombin complex (PC) deficiency.

EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian VKDB berkisar antara 1 : 200 sampai 1 : 400 kelahiran
bayi yang tidak mendapat vitamin K profilaksis. Di Indonesia, data mengenai
VKDB secara nasional belum tersedia. Hingga tahun 2004 didapatkan 21 kasus di
RSCM Jakarta, 6 kasus di RS Dr. Sardjito Yogyakarta dan 8 kasus di RSU Dr.
Soetomo Surabaya.

DIAGNOSIS
1. Anamnesis
 Onset perdarahan.
 Lokasi perdarahan.
 Pola pemberian makanan.
 Riwayat pemberian obat-obat pada ibu selama kehamilan.

-118-
2. Pemeriksaan fisik
 Ada perdarahan di saluran cerna, umbilikus, hidung, bekas sirkumsisi dan
lain sebagainya.
3. Pemeriksaan penunjang
 Waktu pembekuan memanjang.
 PPT (Plasma Prothrombin Time) memanjang.
 Partial Thromboplastin Time (PTT) memanjang.
 Thrombin Time normal.
 USG, CT Scan atau MRI untuk melihat lokasi perdarahan.

Tabel : Perdarahan akibat defisiensi vitamin K pada anak


VKDB Lambat Secondary PC
VKDB Dini VKDB Klasik
(APCD) Deficiency
Umur < 24 jam 1-7 hari 2 minggu – 6 bulan Segala usia
(terbanyak 3-5 hari) (terutama 2-8
minggu)
Penyebab Obat yang - Pemberian - Intake Vit K - Obstruksi bilier
dan Faktor diminum selama makanan terlambat inadekuat - Penyakit hati
Risiko kehamilan - Intake Vit K - Kadar Vit K - Malabsorbsi
inadekuat rendah pada ASI - Intake kurang
- Kadar Vit K - Tidak dapat (nutrisi parenteral)
rendah pada ASI profilaksis Vit K
- Tidak dapat
profilaksis Vit K
Frekuensi < 5% pada 0,01-1% 4-10 per 100.000
kelompok risiko (tergantung pola kelahiran (terutama
tinggi makan bayi) di Asia Tenggara)
Lokasi Sefalhematom, GIT, umbilikus, Intrakranial (30-
Perdarahan umbilukus, hidung, tempat 60%), kulit, hidung,
intrakranial, suntikan, bekas GIT, tempat
intraabdominal, sirkulasi, intrakranial suntikan, umbilikus,
GIT, intratorakal UGT, intratorakal
Pencegahan Penghentian/ - Vit K profilaksis Vit K profilaksis
penggantian obat (oral/im) (im)
penyebab - Asupan Vit K yang - Asupan Vit K
adekuat yang adekuat

DIAGNOSIS BANDING
VKDB dibedakan dengan gangguan hemostasis lain misalnya gangguan
fungsi hati.

-119-
PENATALAKSANAAN
1. Pencegahan VKDB
Dapat dilakukan dengan pemberian Vitamin K Profilaksis
 Vitamin K 1 pada bayi baru lahir 1 mg im (dosis tunggal) atau per oral 3
kali @ 2 mg pada waktu bayi baru lahir, umur 3-7 hari dan umur 1-2
tahun.
 Ibu hamil yang mendapat pengobatan antikonvulsan mendapat profilaksis
Vitamin K1 5 mg/hari selama trimester ketiga atau 10 mg im pada 24 jam
sebelum melahirkan. Selanjutnya bayinya diberi Vitamn K1 1 mg im dan
diulang 24 jam kemudian.
2. Pengobatan VKDB
 Vitamin K1 dosis 1-2 mg/hari selama 1-3 hari.
 Fresh frozen plasma (FFP) dosis 10-15 ml/kg

-120-
ANEMIA APLASTIK
Bambang Permono, I Dewa Gede Ugrasena, Mia Ratwita Andarsini

BATASAN
Anemia aplastik adalah suatu kelainan yang ditandai oleh pansitopenia
pada darah tepi dan penurunan selularitas sumsum tulang.

PATOFISIOLOGI
1. Defek sel induk hematopoetik.
2. Defek lingkungan mikro sumsum tulang.
3. Proses imunologi.
Kurang lebih 70% penderita anemia aplastik mempunyai penyebab yang
tidak jelas, dinamakan idiopatik. Defek sel induk yang didapat (acquired) diduga
disebabkan oleh obat-obat : Busulphan, Chloramphenicol, Acetamiophen,
Chlorpromazine, Benzenebenzol, Methyldopa, Penicilline, Streptomycine,
Sulphonamide dan lain-lain.
Pengaruh obat-obat pada sumsum tulang diduga sebagai berikut :
 Penekanan bergantung dosis obat, reversibel dan dapat diduga sebelumnya
(obat-obat anti tumor).
 Penekanan bergantung dosis, reversibel, tetapi tidak dapat diduga sebelumnya
 Penekanan tidak bergantung dosis obat (idiosinkrasi).
Microenvironment :
Kelainan microenvironment memegang peranan terjadi anemia aplastik.
Akibat radiasi penggunaan kemoterapi yang lama atau dosis tinggi, dapat
menyebabkan microarchitecture mengalami sembab yang fibrinus dan infiltrasi
sel. Faktor humoral misalnya erytropoitine, ternyata tidak mengalami penurunan.
Cell inhibitors :
Pada beberapa penderita anemia aplastik, dapat dibuktikan ada T-limfosit
yang menghambat pertumbuhan sel-sel sumsum tulang pada biakan.

GEJALA KLINIS
Gejala-gejala timbul sebagai akibat dari :

-121-
 Anemia : pucat, lemah, mudah lelah, dan berdebar-debar.
 Leukopenia ataupun granulositopenia : infeksi bakteri, virus, jamur, dan
kuman patogen lain.
 Trombositopenia : perdarahan seperti petekia, ekimosa, epistaksis, perdarahan
gusi dan lain-lain.
Hepatosplenomegali dan limfadenopati tidak lazim ditemukan pada
anemia aplastik.

PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS


Kriteria anemia aplastik yang berat.
Darah tepi :
Granulosit < 500/mm3
Trombosit < 20.000/mm3
Retikulosit < 1,0/mm3
Sumsum tulang :
Hiposeluler < 25%

DIAGNOSIS BANDING
 Leukemia akut.
 Sindrom Fanconi : anemia aplastik konstitusional dengan anomali kongenital.
 Anemia ekstren-damashek : anemia aplastik konstitusional tanpa anomali
kongenital.
 Anemia aplastik konstitusional tipe II.
 Diskeratosis kongenital.

PENATALAKSANAAN
 Hindari infeksi eksogen maupun endogen, seperti :
 Pemeriksaan rektal.
 Pengukuran suhu rektal.
 Tindakan dokter gigi.
Pada tindakan-tindakan di atas, risiko infeksi bakteri meningkat.

-122-
 Simtomatik
 Anemia : transfusi sel darah merah padat (PRC).
 Perdarahan profus atau trombosit < 10.000/mm3 : transfusi trombosit (tiap
unit/10 kgBB dapat meningkatkan jumlah trombosit ± 50.000/mm3).
Transfusi trombosit untuk profilaksis tidak dianjurkan.
 Transfusi leukosit (PMN).
Efek samping : panas badan, takipnea, hipoksia, sembab paru (karena
timbul anti PMN leukoaglutinin).
 Corticosteroid
Prednison 2 mg/kgBB/24 jam, untuk mengurangi fragilitas pembuluh
kapiler, diberikan selama 4-6 minggu.
 Steroid Anabolik
 Nandrolone decanoate : 1-2 mg/kgBB/minggu IM (diberikan selama 8-12
minggu).
 Oxymetholone : 3-5 mg/kg/hari per oral.
 Testosteron enantate : 4-7 mg/kg/minggu IM.
 Testosteron propionat : ½ mg/kg/hari sublingual.
Efek samping :
 Virilisme, hirsutisme akne hebat, perubahan suara (revesibel sebagian bila
obat dihentikan).
 Pemberian jangka panjang dapat menimbulkan adenoma karsinoma hati,
kolestasis.
 Hepatotoksik pada pemberian sublingual.
 Transplantasi sumsum tulang :
Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan utama bagi anak-anak
dan dewasa muda dengan anemia berat. Hindari transfusi darah yang berasal
dari donor keluarga sendiri pada calon transplantasi sumsum tulang.

KOMPLIKASI
 Anemia dan akibat-akibatnya (karena pembentukannya berkurang).
 Infeksi.
 Perdarahan.

-123-
PROGNOSIS
 Anemia aplastik ± 80% meninggal (karena perdarahan atas infeksi). Separuh
meninggal dalam waktu 3-4 bulan setelah diagnosis.
 Anemia aplastik ringan ± 50% sembuh sempurna atau parsial. Kematian
terjadi dalam waktu yang lama.

-124-
LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT
Bambang Permono, I Dewa Gede Ugrasena, Mia Ratwita Andarsini

BATASAN
Leukemia adalah suatu keganasan organ pembuat darah, sehingga sumsum
tulang didominasi oleh klon maligna limfositik dan terjadi penyebaran sel-sel
ganas tersebut ke darah dan semua organ tubuh.

EPIDEMIOLOGI
Leukemia menempati 40% dari semua keganasan pada anak. Faktor risiko
terjadi leukemia adalah kelainan kromosom, bahan kimia, radiasi, faktor
hormonal, infeksi virus.

PATOGENESIS DAN KLASIFIKASI


 Blastosit abnormal gagal berdiferensiasi menjadi bentuk dewasa, sementara
proses pembelahan berlangsung terus. Sel-sel ini mendesak komponen
hemopoitik normal sehingga terjadi kegagalan sumsum tulang. Di samping
itu, sel-sel abnormal melalui peredaran darah melakukan infiltrasi ke organ-
organ tubuh.
 Klasifikasi :
Dikenal 2 golongan besar leukemia akut :
 Leukemia limfoblastik akut (LLA) : sel induk berasal dari sel induk sistem
limfoid.
 Leukemia mieloblastik akut (LMA) : sel induk berasal dari sel induk
sistem mieloid.

DIAGNOSIS
1. Anamnesis
 Anemia, sering demam, perdarahan, berat badan turun, anoreksia,
kelemahan umum.
 Keluhan pembesaran kelenjar getah bening dan perut.

-125-
2. Pemeriksaan fisis
 Anemis dan tanda perdarahan : mukosa anemis, perdarahan, ulsera, angina
Ludwig.
 Pembesaran kelenjar limfe general.
 Splenomegali, kadang hepatomegali.
 Pada jantung terjadi akibat anemia.
 Infeksi pada kulit, paru, tulang.
3. Pemeriksaan penunjang
 Anemia normositik normokkromik, kadang-kadang dijumpai normoblas.
 Pada hitung jenis terdapat limfoblas. Jumlah limfoblas dapat mencapai
100%.
 Trombositopeni, uji tourniquet positif dan waktu perdarahan memanjang.
 Retikulositopenia.
 Kepastian diagnostik : pungsi sumsum tulang, terdapat pendesakan
eritropoeiesis, trombopoesis, dan granulopoesis. Sumsum tulang
didominasi oleh limfoblas.
 Rontgen foto toraks AP dan lateral untuk melihat infiltrasi mediastinal.
 Lumbal pungsi : untuk mengetahui ada infiltrasi ke cairan serebrospinal.

PENATALAKSANAAN
1. Protokol pengobatan
Protokol pengobatan menurut IDAI ada 2 macam yaitu :
a. Protokol half dose Metothrexate (Jakarta 1994) lihat lampiran.
b. Protokol Wijaya Kusuma (WK-ALL 2000) lihat lampiran.
2. Pengobatan suportif
Terapi suportif misalnya transfusi komponen darah, pemberian
antibiotik, nutrisi, dan psikososial.

PEMANTAUAN
1. Terapi
Komplikasi terapi adalah alopesia, depresi sumsum tulang,
agranulositosis. Sepsis merupakan komplikasi selama pengobatan sitostatik.

-126-
Pada pemberian Corticosteroid dapat terjadi perubahan perilaku,
misalnya marah, dan nafsu makan yang berlebihan.
2. Tumbuh kembang
Pasien secepatnya masuk sekolah. Dalam jangka lama perlu
diobservasi fungsi hormonal dan tumbuh kembang anak.

PROGNOSIS
Prognosis tidak baik. Angka kematian tinggi.

-127-
INDONESIA A.L.L PROTOCOL - 2006 MAINTENANCE (SR)

N a m e : …………………………. D a t e o f B irt h : ……………………………M


…./ F M R : ……………………………… D a t e o f D x : …………………………..

C ys t o s t a t ic Do s a- M a in t e n a n c e - I ( WB C > 1.0 0 0 , P la t e le t s > 8 0 .0 0 0 )


( We e k s ) ge 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62

M TX + De xa it ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓
VC R : 1.5 m g/m 2 iv ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓
P re d 60 m g/m 2 po o r
De xa 6 m g/m 2 po
6 - M P : 50 m g/m 2 po
M TX: 20 m g/m 2 po ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓

da y
D a t e o f T h e ra p y m o n t h
ye a r

B W …………………..…kg
He ight ………………. c m
B S A ………………….. m 2

C ys t o s t a t ic Do s a- M a in t e n a n c e - I ( WB C > 1.0 0 0 , P la t e le t s > 8 0 .0 0 0 )


( We e k s ) ge 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112

VC R : 1.5 m g/m 2 iv ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ BMP


De xa 6 m g/m 2 po
6 - M P : 50 m g/m 2 po
M TX: 20 m g/m 2 po ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓

da y
D a t e o f T h e ra p y m o n t h
ye a r

B S A ………………….. m 2

-128-
INDONES IA A.L.L PROTOCOL 2006 - S R

Name : …………….. Date of Birth : …………………. M /F M R : ……………………….. Date of Dx : ………………..

Introduction Consolidation
Medicines (Weeks) Dosage
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
M TX II ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓
VCR : 1,5 mg/m2 iv ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓
2
Prednison : 30 mg/m po or Window
Dexa 6 mg/m2 po Pred
2
HD-M TX : 1000 mg/m iv ↓ ↓ ↓
with Leucovorin rescue
2
DNR 30 mg/m iv ↓ ↓ ↓ ↓
2
L - Asp. : 6000 u/m iv ↓↓↓ ↓↓↓
2
6 - M P : 50 mg/m po
Blast LCS
Peripheral Blast *
BM P

day
Date of Therapy month
year
BW ……………….. kg
Height …………….. cm
2
BSA ………………. m

Peripheral Blast if ≥ 1000 = HR, < 1000 = S R Dosage : MTX it Dexa it


S upervisor, < 1year : 6 mg/x 0,6 mg
1year : 8 mg/x 0,8 mg
2 year : 10 mg/x 1 mg
≥ 3 year : 12 mg/x 1 mg

-129-
INDONESIA A.L.L PROTOCOL 2006 - HR MAINTENANCE

N a m e : …………………………. D a t e o f B irt h : ……………………………M


…./ F M R : ……………………………… D a t e o f D x : …………………………..

M e d ic in e s Do s a- M a in t e n a n c e - I ( WB C > 1.0 0 0 , P la t e le t s > 8 0 .0 0 0 )


( We e k s ) ge 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64

M TX + De xa it ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓
VC R : 1.5 m g/m 2 iv ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓
P re d 60 m g/m 2 po o r ↓
De xa 6 m g/m 2 po
6 - M P : 50 m g/m 2 po
M TX: 20 m g/m 2 po ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓

da y
D a t e o f T h e ra p y m o n t h
ye a r

B W …………………..…kg
He ight ………………. c m
B S A ………………….. m 2

C ys t o s t a t ic Do s a- M a in t e n a n c e - II ( WB C > 1.0 0 0 but < 4 .0 0 0 ; P la t e le t s > 8 0 .0 0 0 )


( We e k s ) ge 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 # # 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111

VC R : 1.5 m g/m 2 iv ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ BMP


P re d/De xa po
6 - M P : 50 m g/m 2 po
M TX: 20 m g/m 2 po ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓

da y
D a t e o f T h e ra p y m o n t h
ye a r

B S A ………………….. m 2

S u p e rv is o r,

-130-
INDONES IA A.L.L PROTOCOL 2006 - HR - 2006

Name : …………….. Birtht Date : ………………………..


M /F M R : ………………………..
Dare of Diagnosis : …………………………

Introduction Consolidation Reinduction


Medicines (Weeks) Dosage
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
M TX II ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓
2
VCR : 1,5 mg/m iv ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓
2
Dexa 6 mg/m po Dexamethason Dexametason
HD-M TX : 1000 mg/m2 iv ↓ ↓ ↓
CPA 1000 mg/m2 ↓ ↓
DNR 30 mg/m2 iv ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓
L - Asp. : 6000 u/m2 iv ↓↓↓ ↓↓↓
Ara-C 75 mg/m2 iv ↓↓↓ ↓↓↓
6 - M P : 50 mg/m2 po
BM P

day
Date of Therapy month
year
BW ……………….. kg
Height …………….. cm
BSA ………………. m2

De xa
De xame tason Dosage ( mg/m 2 ) Dosage : MTX it
it
Supe rvisor, Days < 1year : 6 mg/x 0,6 mg
Le ucocyte
1 2 3 4 5 1year : 8 mg/x 0,8 mg
< 20.000 6 6 6 6 6 2 year : 10 mg/x 1 mg
> 20.000 - < 50.000 2 3 4 5 6 ≥ 3 year : 12 mg/x 1 mg
> 50.000 - < 100.000 10 2 3 4 6
> 100.000 0,5 1,0 2 4 6

-131-
HIPERLEUKOSITOSIS
Bambang Permono, I Dewa Gede Ugrasena, Mia Ratwita Andarsini

BATASAN
Hiperleukositosis adalah jumlah leukosit, darah tepi yang melebihi
100.000/.

EPIDEMIOLOGI
Keadaan ini ditemukan pada 9-13% anak dengan lekemia limfoblastik
akut (LLA), pada 5-22% anak dengan leukemia non limfoblastik akut (LNLA)
dan pada hampir semua anak dengan leukemia mielotik kronis (LMK) fase kronis.
Jumlah leukosit darah tepi pada awal diagnosis leukemia akut merupakan
faktor yang sangat penting dalam menentukan prognosis. Jumlah leukosit yang
tinggi merupakan salah satu penyebab tingginya angka relaps, baik relaps di
sumsum tulang maupun di luar sumsum tulang dan angka kesintasan (survival)
rendah penderita leukemia akut. Di samping merupakan faktor penyebab terjadi
relaps keadaan hiperleukositosis dapat menyebabkan terjadi berbagai komplikasi
yang mengancam jiwa penderita yang memerlukan tindakan segera seingga
keadaan ini dikategorikan sebagai keadaan kedaruratan onkologi (oncology
emergency) yaitu :
Sindrom lisis tumor
Sindrom lisis tumor merupakan kondisi kelainan metabolik sebagai akibat
nekrosis sel-sel tumor atau apoptosis fulminan, baik yang terjadi secara spontan
maupun setelah terapi. Kelainan yang terjadi meliputi : hiprekalemia,
hiperurisemia, hiperfosfatemia, dan hipokalsemia.
Insiden sindrom lisis tumor tidak diketahui secara pasti. Prevalensinya
bervariasi pada berbagai jenis keganasan. Penelitian terhadap pasien dengan
limfoma non Hodgkin oleh Hande dan Garrow (1993) didapatkan sebanyak 42%
pasien mengalami sindrom lisis tumor pada hasil pemeriksaan laboratoriumnya
(asimptomatik) dan hanya sebanyak 6% pasien menunjukkan gejala lisis tumor
secara klinis. Penelitian pada anak-anak dengan leukemia limfoblastik akut yang
sedang dalam fase induksi kemoterapi didapatkan sebanyak 70% penderita tanpa

-132-
gejala klinis namun hasil laboratorium menunjukkan telah terjadi sindrom lisis
tumor dan hanya 3% yang menunjukkan gejala klinis. Tidak didapatkan
perbedaan predileksi insiden sindrom lisis tumor pada laki-laki dan perempuan,
ras, atau usia. Beberapa penulis melaporkan terjadi gangguan fungsi ginjal lebih
sering pada usia yang lebih.

PATOFISIOLOGI
Kerusakan sel yang cepat sebagai akibat terapi sitostatika akan diikuti
materi intraseluler keluar ke sistem sirkulasi. Materi intraseluler yang keluar ini
melebihi kemampuan mekanisme buffer seluler dan kemampuan eksresi ginjal,
sehingga timbul kekacauan metabolisme. Secara klinis sindrom lisis tumor dapat
terjadi secara spontan, namun paling sering terjadi 48-72 jam sesudah dimulai
terapi keganasan. Lisis sel yang terjadi dengan cepat secara langsung akan
menyebabkan pengeluaran ion kalium dan fosfat intrasel sehingga terjadi
hiperkalemia dan hiperfosfatemia. Asam nukleat purin yang dikeluarkan pada saat
kerusakan sel, oleh enzim xanthin oksidase hepar akan dimetabolisme menjadi
asam urat yang dapat menyebabkan hiperurisema. Hiperfosfatemia akut akan
mengakibatkan hipokalsemia dan prestipitasi kalsium fosfat di jaringan lunak.
Fosfat merupakan anion intraseluler yang pada saat lisis sel-sel tumor,
sejumlah besar fosfat akan keluar sel dan menimbulkan hiperfosfatemia.
Hipokalsemia bisa menyertai hiperfosfatemia karena fosfat akan berikatan dengan
kalsium dan mengendap di jaringan dalam bentuk kalsium fosfat, termasuk di
jaringan ginjal. Menurut Jones DP pengobatan hipokalsemia pada keadaan
hiperfosfatemia akan meningkatkan risiko kalsifikasi, nefrokalsinosis/nefrolitiasis.
Hipokalsemia juga bisa timbul karena penurunan aktivitas enzim 1-hidroksilase
di tubulus proksimal dan penurunan kadar 1.25 dihidroksi vitamin D3. Pada
sindrom lisis tumor terjadi penurunan reabsorpsi fosfat di tubulus proksimal
menyebabkan peningkatan eksresi fosfat dalam urine. Hal ini meningkatkan risiko
nefrokalsinosis dan obstruksi tubulus karena presipitasi kalsium fosfat.
Asidosis metabolik dapat meningkatkan perpindahan fosfat dari
intraseluler ke ekstraseluler sehingga konsentrasi fosfat dalam plasma meningkat
dan beban filtrasi glomerulus juga ikut meningkat. Pemberian natrium bikarbonat

-133-
untuk alkalinisasi urine akan menurunkan kelarutan kalsium fosfat intravaskuler
sehingga risiko presipitasi kalsium fosfat meningkat. Gagal ginjal akut dan
pelepasan asam-asam intraseluler dalam jumlah besar akan menimbulkan
asidemia; penurunan konsentrasi bikarbonat dan kesenjangan anion yang melebar.
Kondisi asidemia akan memperberat ketidakseimbangan elektrolit yang terjadi
pada sindrom lisis tumor.

MANIFESTASI KLINIS
Tidak didapatkan keluhan atau manifestasi klinis yang khas dan spesifik.
Keluhan dan kelainan klinis yang timbul merupakan perwujudan kelainan
metabolik yang mendasari.

TERAPI
Tujuan pengelolaan sindrom lisis tumor adalah mencegah gagal ginjal dan
ketidakseimbangan elektrolit. Dengan hidrasi yang adekuat melalui cairan
intravena D5 ¼ NS 3 liter/m2 luas permukaan tubuh per hari dapat memperbaiki
gangguan elektrolit, meningkatkan volume intravaskuler, meningkatkan aliran
darah ke ginjal, meningkatkan GFR dan volume urine dan mengurangi
kemungkinan dialisis gangguan. Elektrolit yang berat, untuk itu biasanya
dilakukan dengan meningkatkan produksi urine, menurunkan konsentrasi asam
urat, dan meningkatkan kelarutan asam urat dalam urine
1. Hidrasi
Hidrasi intravena dilakukan 24-48 jam sebelum kemoterapi dan
dilanjutkan sampai 48-72 jam sesudahnya dapat menurunkan kecepatan
pengendapan urat di ginjal dan meningkatkan klirens urine. Hidrasi dilakukan
dengan cairan D5 ¼ NS2-4 kali kebutuhan rumatan, dengan demikian GFR
dan produksi urine meningkat. Produksi urine dipertahankan tidak kurang dari
3 ml/kg/jam untuk anak < 9 tahun atau 90-100 ml/m2 luas permukaan
tubuh/jam untuk anak yang lebih tua dengan BJ urine tidak lebih dari 1,010.
Kalium dan kalsium harus dihindari dalam cairan intravena.
Diuretik bisa diberikan pada pasien dengan produksi urine yang tidak
adekuat. Jika produksi urine 60 ml/m2/jam, manitol dapat diberikan dengan

-134-
dosis 0,5 mg/kbBB selama 15 menit kemudian diikuti dengan pemberian
Furosemid 1-2 mg/kgBB. Penggunaan diuretik, khususnya Furosemid bisa
dipertimbangkan pada penderita yang sudah terhidrasi dengan baik tapi
produksi urine belum adekuat, pada penderita normovolemik dengan
hiperkalemia, dan pada penderita yang terbukti mengalami overload cairan.
2. Alkalinisasi Urine
Penggunaan natrium bicarbonat isotonis secara intravena untuk
mendorong diuresis alkali mempunyai efek meningkatkan kelarutan asam urat
dan mengurangi pengendapan asam urat intratubuler. Penambahan natrium
bikarbonat 40-80 mEq/liter, 100-125 mEq/m2 atau 75-100 mEq/liter cairan
hidrasi akan membuat pH urine berkisar antara 7,0-7,5 dan BJ urine tidak
lebih dari 1,010 sehingga eksresi asam urat menjadi lebih efisien.
3. Pengobatan Hiperurisemia
Beri Allopurinol dosis 10 mg/kgBB/hari.

-135-
LIMFOMA NON HODGKIN
Bambang Permono, I Dewa Gede Ugrasena, Mia Ratwita Andarsini

BATASAN
Limfoma non hodgkin (LNH) adalah keganasan primer jaringan limfoid
yang bersifat padat yang pada dasarnya merupakan keganasan sel limfosit.

EPIDEMIOLOGI
Limfoma merupakan penyakit keganasan yang sering ditemukan pada
anak sepertiga leukemia dan keganasan susunan saraf pusat. Angka kejadian
tertinggi pada umur 7-10 tahun dan jarang dijumpai pada usia di bawah 2 tahun.
Laki-laki lebih sering bila dibandingkan wanita dengan perbandingan 2,5 : 1.
Angka kejadian setiap tahun diperkirakan meningkat dan USA 16,4 per sejuta
anak di bawah usia 14 tahun. Angka kejadian limfoma malignum di Indonesia
sampai saat ini belum diketahui dengan pasti.

KLASIFIKASI HISTOPATOLOGI
Klasifikasi yang banyak dipergunakan adalah dari Rappaport (R), Kiel
(K), Lukes and Collins, WHO dan Working Formulation (WF).

Tabel 1 : Klasifikasi histopatologi LNH pada anak

KIEL RAPPAPORT WORKING FORMULA

High grade High grade


Limfoblastik Burkitt’s Diffuse indifferentiated Small non cleaved cell
dan bentuk lain (Burkitt’s dan non Burkitt’s)

Limfoblastik komuluted Limfoblastik difus Limfoblastik


Limfoblastik non
klasifikasi

Imunoblastik Histiositik difus Imunoblastik sel besar


Sentroblastik Intermediete grade
Difus sel besar

-136-
GEJALA KLINIS DAN LABORATORIUM
 Masa intra abdominal dan intratorakal (masa mediastinum) sering disertai
efusi pleura.
 Pada anak lebih besar sering ditemukan masa mediastinal (25-35%)
khususnya pada limfoma limfoblastik sel T. Gejala yang menonjol adalah
nyeri, disfagi, sesak napas, pembengkakan daerah leher, muka dan sekitar
leher, akibat obstruksi vena kava superior.
 Pembesaran kelenjar limfe (limfadenopati) di sebelah atas diafragma meliputi
leher, supraklavikular atau aksiler, tetapi jaran sekali pembesaran kelenjar
limfe retroperitoneal.
 Pembesaran limpa dan hati menunjukkan keterlibatan sumsum tulang, sering
menunjukkan gejala leukemia limfoblastik akut.
 Gambaran laboratorium dalam batas normal, kadar LDH dan asam urat
menggambarkan ada tumor lisis maupun nekrosis jaringan.

DIAGNOSIS
 Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik sangat penting.
 Diagnosis ditegakkan dengan biopsi, pemeriksaan sitologis cairan efusi
maupun aspirasi sumsum tulang, bila dimungkinkan dengan pemeriksaan
imunologik dan sitogenik.
 Pemeriksaan lain adalah pemeriksaan darah lengkap, fungsi hati, fungsi ginjal,
cairan serebrospinal, asam urat, LDH, USG abdomen dan scanning tulang.

Tabel 2 : Skema stadium LNH dari St. Jude Children’s Research Hospital

STADIUM KARAKTERISTIK

I Tumor tunggal (ekstranodal) atau tumor di daerah regional tunggal (nodal),


kecuali di daerah mediastinum atau abdomen
II Tumor tunggal (ekstra nodal) disertai perluasan tumor di kelenjar regional
Tumor lebih dari satu tetapi masih satu sisi dengan diafragma
Tumor primer pada gastrointestinal (ileosekal) dengan atau tanpa perluasan
ke mesenterium
III Tumor lebih dari dua (ekstra nodal) pada kedua sisi diafragma
Tumor dua atau lebih pada satu sisi diagfragma

-137-
Tumor primer di daerah intratorakal (mediastinal, pleura, tinus)
Tumor meluas pada intraabdominal yang unresektabel
Tumor pada paraspinal atau epidural
IV Tumor meluas dan penyebaran ke sumsum tulang atau susunan saraf pusat

PENATALAKSANAAN
Kemoterapi dengan menggunakan protokol COMP terdiri dari :
 Fase induksi :
 Cyclophosphamide 1,2 g/m2 iv (hari ke-1).
 Vincristine 2 mg/m2 iv (hari ke-3, 10, 18, 26).
 Methotrexate 300 mg/m2 iv (hari ke-12).
 Methotrexate 6,25 mg/m2 it (hari ke-4, 30, 34).
 Prednisone 60 mg/m2 po (hari ke-3 sampai 30 kemudian diturunkan
bertahap sampai hari ke-40).
 Fase rumatan :
 Siklosofamid 1,0 g/m2 iv (minggu ke-0, 4, 8, 12, 16, 20).
 Vincristine 1,5 mg/m2 iv (minggu ke-0, 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, 16, 18, 20).
 Methotrexate 300 mg/m2 iv (minggu ke-2, 6, 10, 14, 18).
 Methotrexate 6,25 mg/m2 it (minggu ke-0, 4, 8, 12, 16, 20).
 Prednisone 60 mg/m2 po selama 5 hari (minggu ke-0, 4, 8, 12, 16, 20).
Selama kemoterapi dilakukan pemeriksaan fungsi hati, ginjal tiap bulan.

-138-
TUMOR WILMS
Bambang Permono, I Dewa Gede Ugrasena, Mia Ratwita Andarsini

BATASAN
Tumor Wilms adalah tumor ganas embrional ginjal yang berasal dari
metanefros. Nama lain tumor ini adalah nefroblastoma atau embrioma renal.

EPIDEMIOLOGI
Tumor Wilms merupakan tumor ganas ginjal yang terbanyak pada bayi
dan anak. Sekitar 80% tumor ini terjadi pada anak di bawah 6 tahun, dengan
puncak insidens pada umur 2-4 tahun. Tumor Wilms dapat juga dijumpai pada
neonatus. Tumor Wilms terhitung 6% dari seluruh penyakit keganasan pada anak.
Insiden penyakit ini hampir sama di setiap negara, karena tidak ada
perbedaan ras, iklim dan lingkungan, yaitu diperkirakan 8 per 1 juta anak di
bawah umur 15 tahun. Perbandingan insiden laki-laki dan perempuan hampir
sama. Lokasi tumor biasa unilateral, lebih sering di sebelah kiri, bisa juga bilateral
(sekitar 5%).

ETIOLOGI
Tumor Wilms berasal dari proliferasi patologik blastema metanefron
akibat tidak ada stimulasi yang normal dari duktus metanefron untuk
menghasilkan tubuli dan glomeruli yang berdiferensiasi baik. Perkembangan
blastema renalis untuk membentuk struktur ginjal terjadi pada umur kehamilan 8-
34 minggu; sehingga diduga bahwa kemampuan blastema primitif untuk merintis
jalan ke arahj pembentukan tumor Wilms, sebagai mutasi germinal atau somatik,
itu terjadi pada usia kehamilan 8-34 minggu.
Sekitar 1,5% penderita mempunyaij saudara atau anggota keluarga lain
yang juga menderita tumor Wilms. Hampir semua kasus unilateral tidak bersifat
keturunan yang berbeda dengan kasus tumor bilateral. Sekitar 7-10% kasus tumor
Wilms diturunkan secara autosomal dominan. Mekanisme genetik yang berkaitan
dengan penyakit ini, belum sepenuhnya diketahui. Pada penderita sindrom
WAGR (tumor Wilms, aniridia, malformasi genital dan retardasi mental)

-139-
memperlihatkan delesi sitogenetik pada kromosom 11, daerah p13. Pada beberapa
penderita, ditemukan gen WT1 pada lengan pendek kromosom 11, daerah p13.
Gen WT1 secara spesifik berekspresi di ginjal dan dikenal sebagai faktor
transkripsi yang diduga bertanggungjawab untuk perkembangan tumor Wilms.

PATOLOGI
Tumor Wilms tersusun dari jaringan blastema metanefrik primitif. Di
samping itu tumor ini sering mengandung jaringan yang tidak biasa terdapat pada
metanefron normal, misal jaringan tulang, tulang rawan dan epitel skukamous.
Gambaran histologik yang sangat beragam merupakan suatu ciri dari tumor
Wilms. Gambaran klasik tumor Wilms bersifat trifasik, termasuk sel epitel
blastema dan stroma. Berdasarkan korelasi histologis dan klinis, gambaran
histopatologik tumor Wilms dapat dikelompokkanj dalam tiga kelompok, yaitu
tumor risiko rendah (favourable), tumor risiko sedang dan tumor risiko tinggi
(unfavourable).
1. Stadium
The National Wilms Tumor Study (NWTS) membagi 5 stadium tumor Wilms,
yaitu :
2. Stadium I
Tumor terbatas di dalam jaringan ginjal tanpa menembus kapsul. Tumor ini
dapat direseksi dengan lengkap.
3. Stadium II
Tumor menembus kapsul dan meluas masuk ke dalam jaringan ginjal dan
sekitar ginjal yaitu jaringan perirenal, hilus renalis, vena renalis dan kelenjar
limfe para-aortal. Tumor masih dapat direseksi denganj lengkap.
4. Stadium III
Tumor menyebar ke rongga abdomen (perkontinuitatum), misal ke hepar,
peritoneum dan lain-lain.
5. Stadium IV
Tumor menyebar secara hematogenj ke rongga abdomen, paru-paru, otak dan
tulang.

-140-
Sebelum diberikan kemoterapi, ada beberapa evaluasi yang harus
dilakukan :
1. Anamnesis : apakah ada keluarga yang menderita tumor Wilms, penyakit yang
menyertai, riwayat keluarga untuk kanker, kelainan kongenital, tumor jinak.
2. Diagnosis fisik : tekanan darah, berat badan, tinggi badan, hepar, lien,
pembesaran kelenjar getah bening, massa abdomen (tempat dan ukuran).
Anomali : hemihipertropi, genitalia external abnormal (hipospadia,
criptosidism, duplikasi ureteral, ektopik ginjal), stigmata dari sindrom
Beckwith-Wiedeman : aniridia, hemartroma.
3. Data laboratorium :
Darah lengkap, fungsi ginjal, fungsi hati, alkali phosphatase, LDH dan VMA.
Radiologi : foto thoraxs (PA dan lateral), IVP, USG, CT Scan abdomen
dengan kontras. Pengobatan tumor Wilms terdiri dari operasi (pembedahan),
kemoterapi dan radioterapi.

GEJALA KLINIS
Tumor dalam perut (tumor abdomen) merupakan gejala tumor Wilms yang
paling sering (75-90%), yang sebagian besar diketahui pertama kali oleh orang tua
atau keluarga penderita. Kadang-kadang ditemukan secara kebetulan oleh seorang
dokter pada saat melakukan pemeriksaan fisik. Tumor Wilms dapat membesar
sangat cepat, yang dalam beberapa keadaan disebabkan karena terjadi perdarahan.
Hematuri (makroskopis) terdapat pada sekitar 25% kasus, akibat infiltrasi
tumor ke dalam sistem kaliks. Hipertensi ditemukan pada sekitar 60% kasus,
diduga karena penekanan tumor atau hematom pada pembuluh-pembuluh darah
yang mensuplai dara ke ginjal, sehingga terjadi iskemi jaringan yang merangsang
pelepasan renin, atau tumor sendiri mengeluarkan renin. Gejala lain berupa
anemia, penurunan berat badan, infeksi saluran kencing, demam, malaise dan
anoreksia. Pada beberapa penderita dapat ditemukan nyeri perut yang bersifat
kolik, akibat gumpalan darah dalam saluran kencing. Tumor Wilms tidak jarang
dijumpai bersama kelainan kongenital lain, seperti aniridia, hemihipertrofi,
anomali saluran kemih atau genitalia dan retardasi mental.

-141-
DIAGNOSIS
Diagnosis tumor Wilms berdasarkan atas :
 Gejala klinis.
 Pemeriksaan radiologik (IVP dan USG), laboratorium LDH.
 Dipastikan dengan pemeriksaan histopatologik jaringan tumor.
Dengan pemeriksaan IVP tampak distorsi sistem pielokalises (perubahan
bentuk sistem pielokalises) dan sekaligus pemeriksaan ini berguna untuk
mengetahui fungsi ginjal. USG merupakan pemeriksaan non invasif yang dapat
membedakan tumor solid dengan tumor yang mengandung cairan. Dengan
pemeriksaan USG, tumor Wilms nampak sebagai tumor padat di daerah ginjal.
Hasil pemeriksaan laboratorium penting yang menunjang untuk tumor Wilms
adalah kadar lactic dehydrogenase (LDH) meninggi dan Vinyl mandelic acid
(VMA) dalam batas normal.
1. Terapi
Modalitas pengobatan tumor Wilms terdiri dari, operasi (pembedaan),
kemoterapi dan radioterapi. Pada tumor stadium I dan II dengan jenis sel
favourable, dilakukan operasi dengan kombinasi kemoterapi Dactinomycin da
Vincristin tanpa pemberian radiasi abdomen. Tumor stadium III dengan jenis
sel favourable diberikan pengobatan pembedahan dengan kombinasi
Dactinomycine, Vincristine dan Doxorubicine disertai radiasi abdomen.
Untuk tumor stadium IV dengan jenis favourable, diberikan kombinasi
Dactinomycine, Vincristine dan Doxorubicine. Penderita ini mendapat pula
radiasi abdomen dan paru bila sudah ada penyebaran ke dalam jaringan paru.
Pada kasus stadium III sampai IV dengan jenis sel anaplastik (unfavourable)
diberikan pengobatan pembedahan dengan kombinasi Dactinomycine,
Vincristine dan Doxorubicine ditambah Cyclophosphamide. Pada penderita ini
menerima pula radiasi abdomen dan paru.
2. Prognosis
Beberapa faktor menentukan prognosis, yaitu ukuran tumor, gambaran
histopatologik, umur penderita dan stadium atau tingkat penyebaran tumor.
Mereka yang mempunyai prognosis baik adalah penderita yang mempunyai
ukuran tumor masih kecil, tingkat diferensiasi sel tinggi secara histopatologik,

-142-
stadium masih dini atau belum ada metastasis dan umur penderita di bawah
dua tahun.

PROTOKOL NEFROBLASTOMA
STADIUM I (Intermediate Grade and Aplasia)

Nama : ………………………. BB/TB/LPT : …. kg …. cm


Umur/Tanggal Lahir : ………………………… No. CM : ………………….
Jenis Kelamin : …………………………………………………………
Alamat : …………………………………………………………

-143-

Anda mungkin juga menyukai