TUGAS SARJANA
Karya ilmiah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknik dari Institut Teknologi Bandung
Oleh
Arda Diska Widi Pranata
13710018
LEMBAR PENGESAHAN
Tugas Sarjana
Disusun oleh:
Arda Diska Widi Pranata
13710018
Pembimbing
TUGAS SARJANA
Abstrak
Aluminium merupakan salah satu logam yang dikembangkan menjadi
komposit logam dengan partikel silikon karbida sebagai penguat. Pengembangan
komposit SiC/Al terbatas pada volume fraksi silikon karbida di bawah 50%.
Padahal terdapat peluang untuk mendapatkan sifat mekanik yang lebih baik. Hal
menjadi sesuatu yang menarik untuk melakukan penelitian pada volume fraksi
silikon karbida di atas 50% di dalam komposit SiC/Al.
Metalurgi serbuk digunakan dalam penelitian ini untuk memperoleh volume
fraksi SiC sebesar 40% dan 75%. Pemrosesan ini didahului dengan proses ball
milling selama 25 menit dan 75 menit. Kekerasan vickers mikro menunjukkan
kekerasan ditentukan oleh morfologi partikel Al dalam Komposit SiC/Al.
Metalografi kuantitatif digunakan untuk mengetahui distribusi partikel Al.
Spesimen komposit SiC/Al diuji ketahanan abrasifnya dengan mesin uji pin-
on-disc. Spesimen diberikan pembebanan yang menghasilkan tegangan sebesar 0,5
MPa dengan waktu 4 menit. Morfologi Al yang selalu didampingi SiC
menunjukkan ketahanan abrasif yang paling tinggi.
ii
DAFTAR ISI
iii
3.2.4 Mesin Planetary Ball Mill .................................................................... 26
3.2.5 Tungku Pemanas ................................................................................... 26
3.2.6 Peralatan untuk analisis ........................................................................ 27
3.3 Persiapan Spesimen Green Compacted ....................................................... 27
3.3.1 Penentuan Berat Serbuk ........................................................................ 27
3.4 Kompaksi Dua Arah .................................................................................... 29
3.5 Proses Penyinteran ...................................................................................... 30
3.6 Pemeriksaan Struktur Mikro ....................................................................... 30
3.7 Pengujian Keras Vickers Mikro .................................................................. 32
3.8 Pengujian Abrasif Pin-on-Disc .................................................................... 33
iv
DAFTAR GAMBAR
v
Gambar 4.7 Diagonal untuk spesimen yang lebih keras (629,2 HV1) (a), memiliki
panjang yang lebih pendek (258,4 HV1) (b) dari pada spesimen yang lebih lunak
............................................................................................................................... 41
Gambar 4.8 Ilustrasi penguatan dalam spesimen 4025 ......................................... 42
Gambar 4.9 Ilustrasi penguatan dalam spesimen 7575 ......................................... 42
Gambar 4.10 Ilustrasi penguatan dalam spesimen 4075 ....................................... 43
Gambar 4.11 Distribusi ukuran perimeter spesimen 75SiC ................................. 44
Gambar 4.12 Distribusi ukuran perimeter spesimen 40SiC ................................. 44
Gambar 4.13 Perbandingan hasil uji abrasif untuk setiap spesimen ..................... 45
Gambar 4.14 Pengukuran dimensi pada kontur spesimen 4025 ........................... 46
Gambar 4.15 Kontur penampang spesimen 4025 ................................................. 46
Gambar 4.16 Pengukuran dimensi pada kontur spesimen 4075 ........................... 47
Gambar 4.17 Kontur penampang spesimen 4075 ................................................. 47
Gambar 4.18 Pengukuran dimensi pada kontur spesimen 7525 ........................... 48
Gambar 4.19 Kontur penampang spesimen 7525 ................................................. 48
Gambar 4.20 Pengukuran dimensi pada kontur spesimen 7575 ........................... 49
Gambar 4.21 Kontur penampang spesimen 7575 ................................................. 49
vi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Perbandingan Karakteristik Aluminium dan Silikon Karbida .............. 11
Tabel 3.1 Material serbuk As-receive yang dipakai pada percobaan ................... 25
Tabel 3.2 Penimbangan berat dan pengkodean Spesimen .................................... 28
Tabel 3.3 Pengkodean Spesimen berdasarkan parameter yang digunakan ........... 29
Tabel 4.1 Hasil pengujian keras vikers mikro pada spesimen 4025, 4075, 7525,
dan 7575 ................................................................................................................ 39
Tabel 4.2 Hasil pengujian abrasif untuk setiap spesimen ..................................... 45
vii
I
Pendahuluan
Guna mengarahkan penelitian pada sub bahasan tertentu dalam bidang teknik
material, maka perlu dijelaskan apa saja yang menjadi dasar, motif, kerangka dan
cara untuk menghasilkan keluaran pada penelitian. Bab ini memuat hal tersebut.
1
tersebut menjadi motivasi penulis untuk penelitian ini. Pada penelitian ini akan
dilakukan proses pembuatan dan karakterisasi Komposit SiC/Al pada volum
fraksi (Vf) penguat yang tinggi atau diatas 50%. Eksperimen dengan metode
metalurgi serbuk, hal tersebut dilakukan karena metode konvensional yang biasa
dilakukan memiliki kelemahan pada perbedaan berat jenis dari Al dan SiC yang
menyebabkan SiC tidak distribusi secara merata pada Al cair.
1.2 Tujuan
Penelitian ini memiliki tujuan antara lain
Membuat komposit SiC/Al dengan Vf SiC 40% dan 75% dengan metode
metalurgi serbuk
Melakukan karakterisasi sifat komposit SiC/Al yang memiliki Vf SiC
40% dan 75% dan membandingkannya
Menganalisis pengaruh struktur mikro komposit Vf SiC 40% dan 75%
terhadap kekerasan dan hubungannya dengan ketahanan ausnya
2
1.4 Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan adalah pendekatan deskriptif dimana selama
proses penyusunan dilakukan berdasarkan pengkajian, analisa dokumen dan
eksperimen. Eksperimen dilakukan kontrol dari bahan baku awal kemudian
memanipulasi bahan baku tersebut dan observasi dilakukan untuk melihat
hasil setelah bahan baku tersebut dimanipulasi.
3
II
Tinjauan Pustaka
Penelitian ini didahului dengan mempelajari teori guna menghasilkan analisis dan
kesimpulan yang komprehensif. Sifat komposit secara umum dipelajari terlebih
dulu sebelum membuat komposit. Kemudian dikaji material penyusun yang akan
digabung. Terakhir pelaksanaan pembuatan dengan menggunakan metalurgi
serbuk juga dibahas dalam bab ini.
2.1 Komposit
Suatu material yang memiliki kombinasi dari dua komponen atau lebih, dan
berbeda secara sifat fisik dan mekanik, serta kita bisa mengatur sifat akhir dari
kombinasi tersebut, maka kita dapat mendefinisikan material tersebut adalah
komposit. Material komposit telah menjadi daya tarik di industri karena sifat
spesifiknya dapat diatur (tailorable) seperti kekuatan, kekakuan, konduktifitas,
ketahanan aus dan sebagainya. Hal ini merupakan keuntungan terbesar dari
komposit. Perlu di ingat pengombinasian terjadi secara makroskopik(4) sehingga
berbeda dengan proses doping dan pemaduan.
Kombinasi dilakukan dengan menambahkan material asing terdispersi kedalam
material yang menjadi inang (matriks). Material asing kemudian mengenalkan
sifat baru pada komposit. Material asing tersebut adalah penguat (reinforcement).
Masing-masing komposit memiliki karakteristik yang berbeda akibat penambahan
jenis penguat tertentu. Pengubahan karakteristik komposit akibat penguat,
4
menjadikan penguat sangat penting dalam komposit. Klasifikasi komposit
menurut penguat terdapat pada Gambar 2.1.
Kekuatan dan sifat dari komposit merupakan fungsi dari material penyusunnya,
komposisinya serta geometri dari material penguat. Geometri material penguat di
sini adalah bentuk dan ukuran partikel, distribusi, dan orientasinya. Ukuran dalam
komposit berpenguat fiber ditentukan oleh panjang kritis dimana fiber ini
mempunyai pengaruh terhadap kekuatan komposit. Dalam penguat partikel
semakin kecil ukuran dari penguat maka penguat tersebut memiliki pengaruh yang
besar terhadap sifat komposit. Distribusi berpengaruh besar baik pada penguat
fiber dan partikel. Semakin merata distribusi dari penguat maka komposit akan
memiliki sifat yang homogen. Sedangkan orientasi memiliki pengaruh besar pada
penguat struktural dan fiber. Kekuatan pada arah tertentu pada fiber akan berbeda
dengan arah lainnya. Sedangkan susunan arah lamina pada komposit struktural
akan mempengaruhi arah penguatan yang didapat.
5
komponen itu sendiri. Persamaan diatas tidak menggambarkan pengaruh lain yang
ada dalam komposit yang mempengaruhi sifat dari komposit. Pengaruh itu antara
lain interface antara penguat dan matriks, distribusi dan dispersi dari partikel
penguat, serta adanya rasio void dan porositas.
Nilai dari properti komposit yang lain dapat diturunkan dengan mengetahui
hubungan tersebut. Pengaruh konstituen dalam komposit dapat dilihat dari sifat
mekanik yang dihasilkannya. Pada Gambar 2.2 dapat disimpulkan bahwa semakin
Pemilihan penguat sangat penting dalam komposit mengingat penguat inilah yang
menjadi faktor utama dalam perbaikan dari sifat matriks. Terdapat beberapa
6
pertimbangan pada saat memilih penguat untuk matriks logam. Salah satunya
adalah proses penguatan logam.
Penambahan paduan tertentu pada logam akan menimbulkan efek penguatan.
Proses penguatan pada paduan logam melibatkan penghambatan dislokasi agar
tidak bergerak. Oleh karena itu jika penguat dalam paduan mampu menghambat
dislokasi pada logam, maka kerja dari penguat akan semakin baik.
Proses penguatan pada komposit tidak menyangkut proses penguat logam paduan
tersebut, mengingat bahwa dislokasi memiliki ukuran yang mikroskopis
sedangkan pada komposit memiliki ukuran yang makroskopis. Dislokasi pada
komposit memiliki ukuran yang terlalu kecil dibandingkan dengan penguatnya.
Hal adalah perbedaan proses penguatan pada komposit dan pada logam paduan.
Penguatan komposit memiliki faktor yang menyangkut interaksi logam dan
penguatnya. Masing-masing penguat memiliki efek penguatan yang unik terhadap
matriks tertentu. Efek penguatan akan berbeda jika matriksnya berbeda. Bahkan
Gambar 2.3 Kurva uji tarik komposit SiC/Al berpenguat partikel SiC (SiCp) dan
whisker SiC(SiCw) dengan volume fraksi yang berbeda(21)
jika strukturnya diubah akan terjadi perubahan sifat yang berbeda. Hal ini bisa di
observasi pada Gambar 2.3. Penguat SiC memiliki volume fraksi yang sama
namun memiliki struktur berbeda yaitu partikel dan whisker akan menghasilkan
kurva pengujian tarik yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa masing-masing
7
komposit memiliki sifat yang unik. Keunikan tersebut disebabkan oleh faktor
berikut(6).
Tipe dari Penguatan – partikel, fiber, atau laminat
Parameter dari penguatan akan berbeda jika memiliki penguatan yang
berbeda. Akibat dari penambahan penguat akan memiliki sifat yang tertentu
pada masing masing penguat
Orientasi Penguat – ter rientasi atau acak
Perbedaan arah penguat akan merubah arah penguatan dari komposit. Arah
penguatan komposit dapat berupa isotropik (penguatan kesegala arah sama)
atau anisotropik (penguatan kearah tertentu berbeda). Hal ini akan
menyangkut pembebanan komposit di lapangan.
Ikatan antara matriks dan penguat
Antara matriks dan penguat terbentuk interface. Pembentukan interface
berlangsung antara matriks dan penguat. Pembentukan ini dapat digantikan
dengan perantara senyawa lain yang menghubungkan keduanya.
Pembentukan interface dapat mempengaruhi kemampuan mengikat matriks
terhadap penguat, jika interface memiliki work of adhesion yang kecil maka
komposit akan menjadi lemah karena efek penguatannya kurang dan akan
terjadi konsentrasi tegangan padanya.
8
(7)
pada Gambar 2.4b. Kedua proses ini dapat dilangsungkan secara simultan .
Produk akhir diperoleh dengan pendinginan untuk membentuk solid sesuai
dengan bentuk cetakan.
Pencampuran pada proses manufaktur fase cair berada pada saat matriks berada
pada keadaan cair. Kemudian diharapkan cairan akan masuk di antara sela dari
penguat dengan proses pengadukan. Komposit dengan fase penguat yang
dikelilingi matriks akhirnya terbentuk (7).
9
meminimalisir degradasi yang bisa terjadi pada penguat. Terdapat juga komposit
yang hanya bisa dibuat dengan jalan padat saja seperti komposit Ti-SiC (6).
Gambar 2.5 Proses Sinter dan Tempa (forging) untuk membuat MMC(9)
Pada prinsipnya setiap pembuatan pada fase solid, tekanan digunakan untuk
menyatukan matriks dan penguat. Tekanan yang diberikan dengan kompaksi,
akan membentuk adhesi secara mekanis antara keduanya. Akibatnya kepadatan
dari material meningkat. Densitas dapat dinaikkan lagi dengan menggunakan
proses sinter. Cetakan yang akan dibuat dengan proses kompresi dapat diatur agar
dapat membentuk produk yang mirip dengan bentuk akhir dari produk (preform).
Proses tersebut dapat diikuti dengan proses sinter dan tempa untuk
memaksimalkan toleransi dari part yang dibuat.
Pada fase padat pendistribusian dari penguat dalam matriks. Pengaturan dapat
dilakukan ketika proses persiapan material sebelum diberi tekanan. Distribusi
yang lebih bisa merata memungkinkan fraksi volume penguat menjadi sangat
tinggi dan bisa melebihi fraksi volume dari matriks.
10
Tabel 2.1 Perbandingan Karakteristik Aluminium dan Silikon Karbida
2.2.1 Aluminium
Aluminium merupakan unsur ketiga paling banyak yang ada di kerak bumi dan
(10)
unsur metalik yang paling melimpah . Penggunaan Aluminium sangat umum
pada Industri selain baja. Aluminium merupakan logam yang sangat reaktif
sehingga tidak pernah ditemukan dialam aluminium pada keadaan murni.
Penemuan unsur Al sendiri baru terjadi pada 1808 oleh Sir Humpry Davy dari
Inggris kemudian diikuti dengan pengisolasian aluminium oksida (Al2O3) oleh
Carl Bayer yang selanjutnya dimurnikan secara modern oleh Charles Hall dan
Paul Heroult pada 1886.
Setelah ditemukan proses pemurnian yang efektif maka harga aluminium menjadi
turun dan banyak digunakan. Aluminium selanjutnya digunakan pada berbagai
sektor industri dan yang lainnya, karena sifatnya yang ringan (hanya sepertiga dari
masa jenis baja), konduktivitas spesifik tinggi, dan memiliki ketahanan korosi
yang tinggi. Produksi aluminium secara global terdapat pada Gambar 2.6. Selama
tahun 1900-2007 memiliki pola yang selalu meningkat dari tahun ke tahun. Hal
ini menunjukkan penggunaan aluminium akan selalu menjadi tren di dunia dan
penggunaan tersebut akan mengalami peningkatan.
11
Pada Industri aluminium juga dapat manfaatkan secara berulang ulang
(recycleable). Perulangan tersebut dapat hanya memakan lima persen dari energi
(11)
saat memurnikan . Oleh karena keuntungan dalam penggunaan aluminium
(12)
diprediksi akan meningkat dari tahun ketahun-ketahun . Efisiensi saat proses
daur ulang Al membuat harga aluminium bekas lebih tinggi dibanding logam
berlimpah yang lain (13).
Karakteristik Aluminium
12
Proses Pembuatan Aluminium
Proses pembuatan aluminium berawal dengan pemurnian bijih menjadi aluminium
oksida (Al2O3). Proses pemurnian Al2O3 disebut dengan proses bayer dengan
reaksi sebagai berikut
Al2O3 + 2 NaOH + 3 H2O → 2 NaAlO2 (1)
2 H2O + NaAlO2 → Al(OH)3 + NaOH (2)
2 Al(OH)3 → Al2O3 + 3 H2O (3)
Reaksi pertama akan melarutkan alumina yang ada dalam bauksit menjadi bentuk
sodium aluminat (NaAlO2). Senyawa NaAlO2 akan terpisah dari senyawa lain
yang ada dalam bauksit. Setelah senyawa diisolasi kemudian senyawa tersebut
dipisahkan dan dicampur dengan air. Setelah itu aluminium hidroksida kemudian
dikalsinasi pada 980 oC. Proses kalsinasi akan menghasilkan aluminium oksida.
13
2.2.2 Silikon Karbida
14
Gambar 2.8 Skema Proses Modified Lely(22)
Untuk mengatur struktur kristal dari SiC, Industri menggunakan modified lely
process. Proses tersebut mengandalkan sublimasi SiC hasil Acheson di permukaan
atas krusibel seperti pada Gambar 2.6 dengan atmosfer inert. Perbedaannya
dengan proses lely terletak pada adanya gradien pada dinding tungku. Adanya
gradien menyebabkan kristal SiC terkumpul dibagian atas dari tungku.
15
Senyawa AI4C3 memiliki adhesi yang rendah dengan SiC, sehingga SiC akan
mudah lepas dari Al. Lepasnya SiC dari matriks Al ini akan melemahkan
komposit karena akan menjadi permulaan dari retakan yang ada dalam komposit
SiC/Al. Selain mudah lepas senyawa AI4C3 mudah terhidrolisasi jika di ekspos
pada lingkungan pada kelembaban yang tinggi (15).
Terdapat berbagai macam solusi untuk mengatasi masalah degradasi tersebyt.
Metalurgi serbuk merupakan salah satu solusi untuk mencegah masalah diatas.
Fase cair dapat dihindari dalam metalurgi serbuk. Pembentukan senyawa yang
dapat mendegradasi komposit SiC/Al tidak terjadi. Solusi lainnya bisa dengan
cara melapisi SiC dengan senyawa lain agar tidak terjadi proses degradasi,
ataupun dengan menggeser reaksi tersebut kearah kiri.
Pelapisan SiC dengan material lain merupakan solusi yang paling banyak
dilakukan. Proses pelapisan ini memanfaatkan proses reaksi antara SiC dengan
oksigen untuk membentuk silikon oksida (SiO2). Lapisan ini akan menjadi akan
menjadi barier antara Aluminium cair dan SiC. Reaksi diatas menjadi reaksi
antara Al dan SiO2 sebagai berikut.
Al(s) + SiO2 (s) → Al2O3 (s) + Si (5)
Lapisan barier ini menghasilkan Al2O3 yang memiliki adhesi yang lebih baik
dengan SiC. Selain itu senyawa ini tidak mudah terdegradasi.
Pengoksidasian SiC membuat interface yang lebih baik pada komposit SiC/Al.
Hal ini dibuktikan dengan peningkatan kekerasan interface pada Al dan SiC pada
Gambar 2.9. Peningkatan kekerasan pada interface akan membuat komposit
16
SiC/Al menjadi lebih kuat karena ikatan antara Al dan SiC meningkat. Kerasnya
interface mejadikan SiC tidak mudah telepas dan penguatan SiC menjadi lebih
efektif.
17
bisa diikuti dengan proses sinter atau tempa. Setelah proses diikuti dengan proses
finishing dan akhirnya terbentuk material akhir.
Untuk menjamin distribusi dan dispersi pada spesimen maka dilakukan proses
mixing atau blending. Proses persiapan dapat dilakukan dengan proses milling.
Proses milling akan mendistribusi partikel satu sama lain sekaligus mengecilkan
serbuk. Serbuk getas akan menempel pada serbuk ulet akibat proses ini.
Gambar 2.11 Skema perputaran Planetary Ball Mill dan Gaya yang terjadi akibat
perputaran tersebut(15)
18
mengandalkan kedua hal tersebut. Dinamakan planetary mill karena gerakan
wadah seperti gerakan revolusi planet mengelilingi matahari. Mekanisme putaran
pada alat adalah wadah berevolusi karena putaran sumbunya kemudian diputar
lagi oleh planet wheel dengan arah yang berlawanan. Perputaran tersebut
ditunjukan pada Gambar 2.11 dengan simbol ωv untuk perputaran pada wadah
sedangkan ωp pada planetwheel. Akibat perputaran akan terjadi pelepasan
(detachment) bola dari dinding wadah kemudian akan menabrak (impact) dinding
lain pada saat yang berbeda. Semakin besar perputaran wadah akan semakin besar
pula gaya impak yang terjadi.
Atmosfer milling
Pada proses milling, dapat menggunakan atmosfer selain udara. Pada
umumnya milling lebih sering menggunakan atmosfer dengan gas
mulia karena gas mulia sangat tidak reaktif sehingga dapat
menghindari pengotor.
Rasio Bola dan Serbuk
Rasio berat serbuk dan bola biasanya antara 1:5, 1:10, atau 1:20
tergantung dari kapasitas wadah dan kecepatan putaran mesin. Rasio
berat bola terhadap serbuk digunakan untuk menjadi pengaruh
intensitas dari proses tumbukan yang terjadi.
Temperatur Milling
Temperatur milling akan berpengaruh pada kemampuan deformasi
pada serbuk, selain itu temperatur berpengaruh juga pada proses abrasi
yang terjadi pada wadah.
Waktu Milling
Waktu milling yang lama akan mengakibatkan serbuk akan semakin
halus dan akan terjadi terbentuk serbuk dengan tingkat deformasi yag
tinggi.
19
a) Kompaksi Dingin
Proses kompaksi digunakan untuk memberikan densitas pada serbuk. Proses ini
melibatkan pemberian gaya pada serbuk.
Proses kompaksi merupakan proses untuk menaikan densitas dari feedstock dan
memberikan green strength untuk pemrosesan selanjutnya. Pada proses kompaksi
dibedakan menjadi beberapa jenis menurut arah pembebanan. Proses kompaksi
dapat digunakan untuk membentuk serbuk menjadi bentuk akhir (final product).
Pelumas ditambahkan saat proses kompaksi untuk menaikkan efisiensi dari gaya
yang dipakai untuk mengkompaksi serta memudahkan saat proses pengeluaran
green compact dari dies atau proses injeksi.
Terdapat dua macam proses uniaksial konvensional yaitu kompaksi satu arah dan
kompaksi uniaksial. Kedua mempunyai perbedaan modus pemberian gaya.
Kompaksi satu arah akan lebih menguntungkan jika digunakan untuk produk yang
sederhana dan mempunyai rasio kompaksi yang rendah. Sedangkan jika
dibutuhkan produk yang rumit dan memiliki distribusi tekanan yang merata maka
akan double action lebih dianjurkan. Pada kompaksi uniaksial, terdapat dua
macam punch yaitu lower punch dan upper punch. Kedua punch akan
20
memberikan gaya pada serbuk, sedangkan bentuk produk sendiri dikontrol oleh
die.
Gambar 2.13 Fenomena yang terjadi pada serbuk sebelum menjadi Green Body(16)
Selanjutnya akan terjadi deformasi elastis akan terjadi di di daerah tengah partikel
yang terjadi bersamaan dengan deformasi plastis yang terjadi di ujung kontak.
Setelah semua dari partikel mengalami deformasi pada tahapan sama (plastis)
maka dalam partikel tersebut akan terjadi deformasi secara homogen. Pada
21
deformasi homogen saat telah mencapai fracture dari butir tersebut maka serbuk
akan mengalami fragmentasi. Tentunya jika serbuk tersebut ulet akan terjadi
deformasi plastis yang mendahuluinya.
b) Sinter
Sinter adalah penggabungan antara partikel menjadi partikel koheren melalui jalan
transportasi massa yang terjadi di bawah temperatur leleh (17). Proses transportasi
massa pada sinter mempunyai berbagai macam metode. Kesamaan dari setiap
metode sinter adalah prosesnya berjalan secara atomik. Transportasi massa
dilakukan oleh atom dengan metode surface transport dan bulk transport, atau
transpor permukaan dan transpor padat. Dari kedua jenis transpor massa berjalan
secara berbarengan namun salah satu akan menjadi dominan di tahapan saat
sinter.
Berbagai literatur dalam metalurgi serbuk sering menggunakan asumsi bahwa
sinter berada dalam keadaan isotermal, dimana tidak terjadi perubahan temperatur
dari partikel tinjauan. Namun dalam prakteknya metalurgi serbuk, setiap serbuk
akan memiliki morfologi yang berbeda, sehingga setiap feedstock yang dipakai
dalam proses sinter juga akan berbeda satu sama lain. Bahkan bisa dikatakan
perbedaan batch, akan membedakan pula morfologi dan ukuran dari serbuk
tersebut. Namun untuk kemudahan dalam menjelaskan fenomena yang terjadi
maka diasumsikan serbuk mempunyai bentuk yang spherical, dengan jari-jari
tertentu
22
Gambar 2.14 Mekanisme Sinter(18)
23
III
Peralatan dan Prosedur Penelitian
Mulai
Analisis
Kesimpulan
24
3.2. Bahan dan Peralatan
Bahan dan peralatan yang dipakai untuk penelitian ini adalah sebagai berikut.
Logam dan keramik dalam keadaan serbuk yang digunakan pada penelitian adalah
sebagai berikut.
(a) (b)
Gambar 3.2 Serbuk Al (a) dan SiC (b)
Pada serbuk Gambar 3.2 dapat diketahui serbuk Al memiliki warna putih
berkilauan. Sedangkan SiC memiliki warna hitam. Produk SiC/Al ini memiliki
kondisi sebagai berikut.
Tabel 3.1 Material serbuk As-receive yang dipakai pada percobaan
Aditif yang dipakai adalah asam stearat CH3(CH2)16COOH dalam bentuk pelet.
Asam strearat ditambahkan bersama dengan serbuk sebelum proses milling.
Additif bekerja sebagai surfaktan yang menempel pada aluminium, sehingga
aluminium tidak mengalami agglomerasi yang berlebihan dan SiC bisa menempel
pada aluminium.
25
3.2.3 Wadah dan Bola
Penelitian ini menggunakan wadah (vial) dengan material Stainless Steel (Grade
304) dengan volume 100 ml. Dimensi diameter dalam dari wadah adalah 52 mm
sedangkan tinggi dalam adalah sebesar 52 mm. Sedangkan Bola yang digunakan
adalah bola zirkonia (ZrO2) dengan diameter 4 mm.
26
Gambar 3.4 Tungku Pemanas Nabertherm B170
27
SiC. Penimbangan dilakukan dengan menggunakan neraca digital Mettler Toledo
AB104
Gambar 3.5 Proses Penimbangan Gambar 3.6 Campuran Al-SiC, bola ZrO2
Aluminium Powder dan Aditif dalam Wadah SS 304
Setelah dilakukan penimbangan aluminium dan silikon karbida, keduanya
kemudian dimasukan ke dalam wadah dengan penambahan asam stearat sebesar
2%wt dari tiap berat spesimen. Setelah itu bola dimasukan bola dengan rasio 1:10
dari berat spesimen. Setelah ditimbang dan dimasukan kedalam wadah kemudian
spesimen dipasangkan pada alat planetary ball mill Across International seri PQ-
N2 pada 190 rpm (planetary jar)
Proses milling dilakukan secara kumpulan untuk setiap variasi volume fraksi.
Kumpulan diambil setiap 25 menit sekali. Kemudian pada kumpulan dilakukan
28
proses selanjutnya.Bola diambil bersama serbuk agar rasio tetap sepanjang waktu.
Setelah selesai dilakukan proses milling selanjutnya setiap spesimen ditandai
dengan kode sebagai berikut.
ndasiodjasd 29
Proses kompaksi menggunakan tekanan pada mesin hidrolik sebesar 100kg/cm2
dengan diameter plunger sebesar 55 mm. Menurut hukum pascal maka untuk
ukuran dies sebesar 11 mm maka tekanan yang terjadi pada spesimen sebesar 245
MPa. Perlu diingat jika ukuran dies diubah maka tekanan dalam spesimen juga
berubah. Pelumas yang digunakan pada proses kompaksi adalah Zinc Stearat yang
ditempelkan pada dinding dies dengan menggunakan pelarut air.
30
gelap akan terlihat pada eyepiece karena terbentuk interferensi yang destruktif,
dan cahaya tidak memantul dan fokus pada lensa. Metode untuk menghaluskan
permukaan dapat menggunakan kertas abrasif ataupun pasta dengan partikel kecil
didalamnya. Berikut tahapan secara lengkap proses metalografi yang dilakukan.
1. Mounting
Spesimen dengan kode 7525, 7575 dilakukan proses mounting dengan
resin epoxy sedangkan kode 4025, 4075 digunakan akrilik yang berbeda
warna. Perbedaan warna bertujuan agar spesimen tidak tertukar satu sama
lain pada proses selanjutnya.
2. Pengamplasan (Grinding) dan Pemolesan
Semua spesimen mengalami perlakuan grinding yang sama yaitu dengan
amplas silikon karbida merek Taiyo dengan kekasaran 120, 240, 400, 600,
1000, 1500. Setelah itu dilakukan pemolesan dengan pasta titanium
dioksida. Pemolesan bertujuan untuk memperhalus sisa goresan hasil
pengamplasan. Selama proses pengamplas amplas dipasang pada alat
grinding merek Struers.
3. Pengamatan Struktur Mikro
Tahapan diatas bisa selesai ketika tidak lagi terlihat goresan pada
spesimen. Pada tahapan selanjutnya yaitu pengamatan struktur dengan
mikroskop optik merek Nikon Ephitot.
31
Proses etsa tidak digunakan karena dari struktur mikro sebelum dietsa sudah dapat
dapat dibedakan konstituen yang ada pada masing masing
Setelah mendapatkan gambar dari proses pengamatan selanjutnya adalah proses
interpretasi dari gambar tersebut menggunakan perangkat lunak. perangkat lunak
yang digunakan adalah digimizer. Perangkat lunak digimizer dapat membedakan
32
Lubang bidikan
Pengukur
indentasi
Tempat
Spesimen
Pengontrol alat
Gambar 3.11 Mesin Uji Keras Zwick Roell HVµ dan bagian bagiannya
Regulator
Tempat
Spesimen dan
Beban
33
IV
Analisis Hasil Percobaan
Data yang peroleh dari penelitian yang telah dilakukan akan di interpretasikan
menurut teori dasar yang terdapat pada bab sebelumnya. Interpretasi dari data
yang diperoleh terdapat pada bab ini.
34
pengaruhnya belum diketahui dalam proses milling hal ini diakibatkan bentuknya
yang memang tidak dapat diprediksi. Namun jika melihat dari partikel keramik
SiC yang bersifat getas maka partikel SiC akan mudah di-milling.
Silikon karbida diamati berwarna cerah. Hal ini diduga karena ada pasta yang
menempel pada silikon karbida sehingga membuat warna silikon karbida berubah.
Pada sekitar dari silikon karbida terdapat warna hitam. Warna hitam diduga
adalah silikon karbida yang menempel pada permukaan resin lunak, sebagai
akibat proses abrasi partikel silikon karbida. Partikel abrasif silikon karbida dari
amplas akan terangkat pada saat proses polishing. Namun pada area didekat
silikon karbida akan terjadi deposisi silikon karbida dari serbuk. Oleh karena
partikel silikon karbida ikut terabrasi pada saat proses polishing. Akibat dari hal
tersebut terbentuklah deposisi silikon karbida disekitar partikel silikon karbida.
Selain deposis warna hitam dapat diartikan sebagai void pada akrilik. Void terjadi
karena ada udara yang terjebak akibat penambahan additif untuk resin yang
berlebihan.
Gambar 4.1, aluminium memiliki warna putih kehitaman. Warna hitam
mengelilingi partikel aluminium. Warna hitam pada partikel tersebut diduga
adalah bayangan dari aluminium pada bagian dalam resin. Resin yang digunakan
adalah resin cerah akrilik. Akibat warna resin yang cerah bayangan pada belakang
dari aluminium akan terlihat. Namun karena cahaya yang dipantulkan oleh
aluminium menuju ke arah lain dan bukan ke lensa maka akan terpancar warna
hitam.
Struktur mikro yang dihasilkan oleh proses pemrosesan diatas mempunyai
karakter yang berbeda. Gambar 4.2 sampai 4.4 menunjukkan hasil struktur mikro
setelah sinter dari empat buah spesimen dengan volume fraksi yang berbeda.
Warna putih menunjukkan aluminium dan sedangkan silikon karbida dinyatakan
dengan warna abu-abu. Porositas tidak dapat ditunjukkan pada gambar yang
diambil. Hal ini karena tidak dibedakan antara silikon karbida dan porositas.
35
Gambar 4.3 Struktur Mikro Spesimen 4025
36
Gambar 4.5 Struktur Mikro Spesimen 7525
37
Warna putih lebih dominan pada Gambar 4.3 daripada Gambar 4.4. Hal ini
menunjukkan fraksi aluminium yang lebih banyak terdapat pada gambar tersebut.
Sesuai dengan spesimen awal dimana gambar tersebut adalah spesimen dengan
fraksi volume 60% Al. Sedangkan Gambar 4.4 memiliki 25% volum fraksi Al.
Gambar 4.3 dan Gambar 4.4 terlihat lebih dominan dengan warna abu-abu.
Dominasi warna abu-abu adalah sebagai akibat dari volume SiC yang tinggi pada
spesimen.
Morfologi partikel aluminium pada gambar di atas menunjukkan aluminium
berbentuk irregular. Bentuk irregular bukan merupakan bentuk awal dari
aluminium. Perubahan bentuk menunjukkan proses milling dapat merubah bentuk
partikel. Selain bentuk, ukuran dari partikel juga berubah menjadi lebih kecil dari
pada partikel as-receive.
Proses Milling juga merubah ukuran dari aluminium pada setiap spesimen.
Semakin lama waktu milling maka ukuran dari partikel akan semakin kecil.
Perbandingan ukuran dapat dilihat dengan waktu milling yang berbeda untuk
setiap spesimen dengan volume fraksi SiC sama namun dengan waktu milling
yang berbeda seperti Gambar 4.3 dan Gambar 4.4.
Pembandingan antara Gambar 4.2 dan 4.4 menunjukkan aluminium pada Gambar
4.4 berukuran lebih besar. Padahal volume fraksi Al pada spesimen 7525 lebih
kecil. Hal ini diduga akibat pengaruh dari proses sinter. Proses sinter akan
membentuk kluster aluminium. Kluster terbentuk karena penurunan energi
interfacial dari partikel kecil sehingga membentuk partikel yang lebih besar.
Spesimen dengan volume fraksi aluminium rendah akan memiliki ukuran partikel
yang lebih kecil ketika proses milling terjadi. Proses sinter dengan ukuran partikel
yang lebih kecil akan lebih mudah terjadi. Hal ini berbeda jika partikel dari proses
milling memiliki ukuran yang lebih besar. Proses sinter akan tidak mudah terjadi
karena total energi interfacial dari partikel yang lebih besar akan semakin besar
pula. Penjelasan tersebut dapat menjelaskan ukuran yang lebih besar yang dimiliki
oleh Gambar 4.4.
38
4.2 Analisis Pengujian Keras Vickers Mikro
Hasil pengujian keras menunjukkan spesimen 4075 memiliki kekerasan yang
tertinggi sebesar 629,2 HV1. Sedangkan spesimen yang paling lunak adalah
spesimen 7575 dengan kekerasan 258,2 HV1.Untuk kekerasan spesimen lain
terdapat pada Gambar 4.6. Kekerasan memiliki kaitan dengan pemrosesan yang
telah dilakukan.
Tabel 4.1 Hasil pengujian keras vikers mikro pada spesimen 4025,
4075, 7525, dan 7575
Proses kompaksi memiliki hubungan erat dengan kekerasan yang tidak teoritis ini.
Komposit 75SiC akan lebih sulit untuk di kompaksi. Kompaksi pada spesimen
diduga berada pada tahapan yang lebih rendah dari pada komposit 40SiC. Proses
kompaksi komposit 75SiC akan membutuhkan tekanan yang lebih untuk
mendapatkan spesimen padatan sempurna. Oleh karena berada tahapan yang lebih
rendah maka adhesi mekanik antara partikel satu dengan lainnya akan lebih
rendah pula. Tekanan yang diberikan pada setiap spesimen adalah sama sehingga
terdapat keuntungan pada komposit bervolume fraksi material lunak yang rendah
karena adhesi antara partikelnya akan lebih tinggi. Kekuatan ikatan yang tinggi
diperoleh karena material lunak lebih mudah terjadi cold welding.
39
Gambar 4.6 Grafik pengujian keras vikers mikro pada spesimen 4025, 4075,
7525, dan 7575
Sinter dilakukan pada temperatur yang jauh dibawah temperatur cair SiC. Hal ini
menyebabkan sinter pada SiC diduga tidak terjadi. Sinter hanya terjadi pada
aluminium. Hal tersebut menyebabkan komposit 75SiC sebagian besar
partikelnya hanya mengandalkan adhesi mekanik yang diperoleh dari kompaksi.
Kelemahan pada proses kompaksi dan sinter inilah yang menjadi kontributor nilai
kekerasan yang rendah pada komposit 75SiC.
Proses Milling menyebabkan terjadi evolusi partikel pada spesimen. Evolusi
partikel memiliki hubungan yang relatif acak dengan kekerasan. Hal ini
ditunjukan dengan perbandingan antara kekerasan untuk spesimen dengan volume
fraksi sama namun waktu milling yang berbeda. Spesimen 4025 lebih lunak dari
pada spesimen 4075. Sedangkan spesimen 7525 lebih keras dari pada spesimen
7575.
Keacakan dari proses milling terjadi diduga akibat proses milling sendiri yang
acak. Pada serbuk dalam proses milling mengalami gaya impak dari bola.
Sedangkan intensitas dari gaya impak spesifik terhadap masing masing partikel
serbuk dan tidak memiliki hubungan dengan partikel lain meskipun dalam satu
wadah. Selain itu pemrosesan juga melibatkan proses sinter yang mampu
40
mengubah struktur dari spesimen. Hal ini menjadikan waktu milling tidak dapat
menggambarkan kekerasan yang diperoleh diduga karena perputaran mesin
milling yang terlalu cepat.
Morfologi dari setiap spesimen diduga menjadi faktor yang signifikan terhadap
kekerasan yang diperoleh. Hal tersebut menjadi salah satu keefektifan kerja
matriks sebagai pengikat. Jika matriks Al mengikat lebih banyak SiC maka
kekerasan akan lebih tinggi.
Kebergantungan morfologi digambarkan dengan diagonal yang diperoleh dari uji
keras. Kekerasan yang rendah dihasilkan oleh diagonal penetrasi yang besar.
(a) (b)
Gambar 4.7 Diagonal untuk spesimen yang lebih keras (629,2 HV1) (a), memiliki
panjang yang lebih pendek (258,4 HV1) (b) dari pada spesimen yang lebih lunak
Sedang diagonal kecil terdapat pada spesimen lunak. Besar diagonal bergantung
pada matriks. Jika penguat diikat matriks dengan baik maka penguat berada di
tempat dan deformasi dapat dihindari. Pada spesimen 7575 pertemuan antara SiC-
SiC lebih tinggi, hal ini di tunjukan dengan dominasi warna hitam. Sedangkan
spesimen 4075 pertemuan SiC dan SiC lebih kurang, dan pertemuan antara
pengikat Al dan penguat SiC lebih sering. Spesimen 4025 juga terdapat jumlah Al
yang dominan untuk mengikat SiC namun pada spesimen pertemuan pengikat Al
dan Al terlalu dominan.
41
Gambar 4.8 Ilustrasi penguatan dalam spesimen 4025
Gambar 4.8 ikatan aluminium dan aluminium mendominasi struktur, dengan kata
lain pengikat mengikat yang lain. Hal ini menyebabkan penguat memiliki efek
yang tidak signifikan terhadap struktur komposit. Pada struktur komposit
kekerasan komposit adalah kekerasan dari pengikat. Posisi penguat untuk
mencegah deformasi menjadi kurang.
42
penguat juga semakin kecil. Adhesi yang terdapat pada spesimen terlalu rendah
jadi deformasi mudah terjadi.
43
Gambar 4.12 Distribusi ukuran perimeter spesimen 40SiC
44
besar dari pada 4075. Hal ini menunjukan terdapat range tertentu dimana ukuran
perimeter akan berpengaruh besar terhadap kekerasan.
Ukuran perimeter yang sensitif terhadap kekerasan jika dilihat persebaran ukuran
perimeter pada gambar diatas berada pada daerah 23-43 μm. Semakin banyak
komposit memiliki partikel pengikat Al pada range maka komposit akan semakin
keras.
Massa
Terabrasi (mg)
160
141,1
140
120
100
80,4 40 SiC
80 75 SiC
60
36,7
40
15,9
20
0
25 Waktu Milling (menit) 75
46
Gambar 4.17 Kontur penampang spesimen 4075
47
Gambar 4.19 Kontur penampang spesimen 7525
48
Gambar 4.21 Kontur penampang spesimen 7575
49
Gambar kontur pada berbeda untuk setiap spesimen. Kontur paling halus dimiliki
oleh spesimen yang paling keras yaitu spesimen 4075. Pada pengamatan kontur
7575 ditemukan adanya suatu spasi antara akrilik dan spesimen yang diamati. Hal
ini menunjukkan adanya retakan pada spesimen yang diuji. Retakan diduga akibat
spesimen yang tidak mampu menahan deformasi yang diberikan oleh akibat
dikenai gaya dari putaran disc. Kemampuan untuk berdeformasi plastis pada
spesimen 7575 sangat rendah.
Sampel pengukuran kontur pada spesimen 4025 menunjukkan kedalaman sebesar
13,26 μm dengan lebar 86,87 μm. Sedangkan spesimen 7525 memiliki kedalaman
19,34 μm dan lebar 182,33 μm. Kedua spesimen memiliki waktu milling yang
sama namun memiliki volume fraksi yang berbeda. Hal ini menunjukkan
pengaruh volume fraksi dalam pengujian abrasif. Pemrosesan yang dilakukan
dengan volume fraksi SiC tinggi akan menghasilkan kemampuan resistansi abrasif
yang rendah.
Spesimen 7575 memiliki ukuran dimensi kontur yang relatif lebih kecil dari pada
spesimen 7525. Kedalamannya sebesar 14,36 μm dan memiliki lebar 99,47 μm.
Namun massa terabrasi yang terjadi pada spesimen 7575 relatif lebih besar
dibanding spesimen 7525. Hal ini disebabkan modus proses abrasif yang berbeda.
Pada spesimen 7575 adhesi antara Al dan SiC relatif lebih kecil dibandingkan
spesimen 7525. Akibatnya banyak partikel SiC yang terlepas akibat proses abrasi
yang dilakukan.
Pengukuran dimensi kontur spesimen 4025 dan 4075 menunjukkan ukuran
dimensi yang lebih kecil dimiliki oleh spesimen 4075. Hal ini dapat dijelaskan
karena matriks Al yang terdapat pada spesimen 4075 lebih banyak mengikat SiC
dibanding pada spesimen 4025. Pada spesimen 4025 sendiri Al lebih banyak
mengikat partikel Al yang lain, sehingga kemampuan untuk menahan abrasinya
rendah. Hal ini disebabkan Al yang mengikat Al lain akan memiliki sifat seperti
logam Al, dan diketahui bahwa logam Al memiliki kemampuan abrasif yang
rendah. Akivat pengikatan SiC oleh Al yang lebih banyak inilah kemampuan
abrasif dari spesimen 4075 lebih tinggi.
50
V
Kesimpulan
5.1 Kesimpulan
Dari mengenai komposit SiC/Al dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
1) Telah berhasil dibuat komposit SiC/Al berfraksi volume 75% dan 40%
dengan metalurgi serbuk
2) Kekerasan sebanding dengan Kemampuan Abrasif pada komposit yang
diteliti
3) Semakin tinggi volume fraksi dari SiC tidak menjamin komposit tersebut
memiliki sifat mekanik yang baik
4) Sifat mekanik dari komposit SiC/Al bergantung pada distribusi dan
morfologi partikel Al dalam komposit SiC/Al yang diteliti
5) Temuan partikel dengan panjang perimeter 25-43 μm diduga kuat sangat
berpengaruh pada sifat mekanik di komposit SiC/Al
5.2 Saran
Penelitian yang sejenis dapat menggunakan saran sebagai berikut
51
Daftar Pustaka
52
13. Harga Rosok Kertas, Besi, Tembaga, Plastik dan Beling Kaca. [Online]
Agustus 2012. [Dikutip: 2 September 2014.]
http://hargarosok.blogspot.com/2012/08/harga-rosok-kertas-besi-tembaga-
plastik.html.
15. Contributions to the modelling of the milling process in a planetary ball mill .
all, Gy. Kakuk et. St Petersbug, Russia : Advanced Study Center Co. Ltd., 2009.
17. Lenel, Fritz V. Powder metallurgy: principles and applications. s.l. : Metal
Powder Industries Federation, 1980.
19. Gupta, Manoj dan Sharon, Nai Mui Ling. Magnesium, Magnesium Alloys,
and Magnesium Composites. New Jersey : John Wiley & Sons, 2011.
53