Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN REFERAT ANSIETAS PADA LANSIA

KEPANITERAAN KLINIK GERIATRI CIBUBUR

Disusun guna memenuhi salah satu tugas kepaniteraan klinik


Ilmu Geriatri
Sasawa Tresna Werdha Karya Bakti Ria Pembangunan
Cibubur

Pembimbing :
dr. Noer Saelan Tadjudin, Sp.KJ

Disusun oleh
Fernando Sugiarto Soejono
406161001

KEPANITERAAN KLINIK ILMU GERIATRI


STW KARYA BAKTI RIA PEMBANGUNAN
CIBUBUR
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
PERIODE 28 MEI – 7 JULI 2018
ANSIETAS PADA LANSIA

PENDAHULUAN
Suatu perkembangan pada manusia tidak hanya berhenti ketika orang mencapai kematangan fisik.
Sebaliknya, perkembangan merupakan proses yang berkesinambungan, mulai dari masa konsepsi
berlanjut ke masa sesudah lahir, masa bayi, anak-anak, remaja, dewasa hingga menjadi tua.
(Desmita 2007: 233). Pada setiap periode gangguan psikologis sering terganggu seperti stres,
depresi dan termasuk juga anxiety di usia lanjut (Ifdil, B Khairul, 2015;Taufik, T., & Ifdil, I. 2013).

Lanjut usia (aging structural population) di Indonesia sendiri sebagai negara berkembang
memiliki penduduk berstruktur yaitu memiliki jumlah penduduk dengan usia 60 tahun ke atas
sekitar 8,90% dari jumlah penduduk di Indonesia (Menkokestra, dalam Sunartyasih & Linda,
2013). Proses menua (aging) merupakan proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi
fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu cenderung
berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus
pada lansia (Listiana, dkk, 2013: 1).

KECEMASAN (ANXIETY)

Istilah kecemasan dalam Bahasa Inggris yaitu anxiety yang berasal dari Bahasa Latin angustus
yang memiliki arti kaku, dan ango, anci yang berarti mencekik (Trismiati, dalam Yuke Wahyu
Widosari, 2010: 16). Kecemasan berasal dari kata Latin anxius, yang berarti penyempitan atau
pencekikan. Kecemasan mirip dengan rasa takut tapi dengan fokus kurang spesifik, sedangkan
ketakutan biasanya respon terhadap beberapa ancaman langsung, sedangkan kecemasan ditandai
oleh kekhawatiran tentang bahaya tidak terduga yang terletak di masa depan. Kecemasan
merupakan keadaan emosional negatif yang ditandai dengan adanya firasat dan somatik
ketegangan, seperti jantung berdetak kencang, berkeringat, kesulitan bernapas (Steven Schwartz,
S, 2000: 139).
Definisi yang paling menekankan mengenai kecemasan adalah suatu keadaan emosional yang
mempunyai ciri keterangsangan fisiologis, perasaan tegang yang tidak menyenangkan, dan
perasaan aprehensif bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi (Jeffrey S. Nevid, dkk. 2005: 163).
Definisi kecemasan yaitu suatu keadaan patologik yang ditandai oleh ketakutan disertai tanda
somatic pertanda system autonom yang hiperaktif (Kaplan saddock 11th Ed. 2015)
Ansietas/ kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang berkaitan dengan
perasaan tidak pasti dan tidak berdaya (Gail W. Stuart. 2006: 144).

TEORI KECEMASAN

Beberapa teori yang menjelaskan mengenai kecemasan (Stuart. 2006). Teori tersebut antara lain :
1. Teori psikoanalitik, kecemasan adalah konflik emosional yang terjadi anatra dua elemen
kepribadian yaitu ide dan superego. Ide mewakili dorongan insting dan impuls primitive,
sedangkan superego mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan norma budaya
seseorang. Ego atau aku berfungsi mengahi tuntutan dari dua elemen yang bertentangan
tersebut, dan fungsi kecemasan adalah mengingatkan ego bahwa ada bahaya.
2. Teori interpersonal, kecemasan timbul dari perasaan takut terhadap ketidaksetujuan dan
penolakan interpersonal. Kecemasan juga berhubungan dengan perkembangan trauma,
seperti perpisahan dan kehilangan, yang menimbulkan kerentanan tertentu. Individu
dengan harga diri rendah terutama rentan mengalami kecemasan yang berat.
3. Teori perilaku, kecemasan merupakan hasil dari frustasi, yaitu segala sesuatu yang
mengganggu kemampuan individu untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Ahli teori
perilaku lain menganggap kecemasan sebagai suatu dorongan yang dipelajari berdasarkan
keinginan dari dalam diri untuk menghindari kepedihan.
4. Teori keluarga menunjukkan bahwa gangguan kecemasan biasanya terjadi dalam keluarga.
Gangguan kecemasan juga tumpang tindih antara gangguan kecemasan dan depresi.
5. Teori biologis menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor khusus untuk
benzodiazepin, obat-obatan yang meningkatkan neuroregulator inhibisi asam gama-
aminobitirat (GABA), yang berperan penting dalam biologis yang berhubungan dengan
kecemasan.
ASPEK-ASPEK KECEMASAN (ANXIETY)

Pengelompokkan kecemasan (anxiety) dalam respon perilaku, kognitif, dan afektif, diantaranya
(Gail W. Stuart 2006: 149).
1. Perilaku, diantaranya: 1) gelisah, 2) ketegangan fisik, 3) tremor, 4) reaksi terkejut, 5) bicara
cepat, 6) kurang koordinasi, 7) cenderung mengalami cedera, 8) menarik diri dari hubungan
interpersonal, 9) inhibisi, 10) melarikan diri dari masalah, 11) menghindar, 12)
hiperventilasi, dan 13) sangat waspada.
2. Kognitif, diantaranya: 1) perhatian terganggu, 2) konsentrasi buruk, 3) pelupa, 4) salah
dalam memberikan penilaian, 5) preokupasi, 6) hambatan berpikir, 7) lapang persepsi
menurun, 8) kreativitas menurun, 9) produktivitas menurun, 10) bingung, 11) sangat
waspada, 12) keasadaran diri, 13) kehilangan objektivitas, 14) takut kehilangan kendali,
15) takut pada gambaran visual, 16) takut cedera atau kematian, 17) kilas balik, dan 18)
mimpi buruk.
3. Afektif, diantaranya: 1) mudah terganggu, 2) tidak sabar, 3) gelisah, 4) tegang, 5) gugup,
6) ketakutan, 7) waspada, 8) kengerian, 9) kekhawatiran, 10) kecemasan, 11) mati rasa, 12)
rasa bersalah, dan 13) malu.

Analisis fungsional gangguan kecemasan, diantaranya (Ivi Marie Blackburn & Kate M. Davidson.
1994: 9).
1. Suasana hati, diantaranya: kecemasan, mudah marah, perasaan sangat tegang.
2. Pikiran, diantaranya: khawatir, sukar berkonsentrasi, pikiran kosong, membesar-besarkan
ancaman, memandang diri sebagai sangat sensitif, dan merasa tidak berdaya.
3. Motivasi, diantaranya: menghindari situasi, ketergantungan tinggi, dan ingin melarikan
diri.
4. Perilaku, diantaranya: gelisah, gugup, kewaspadaan yang berlebihan.
5. Gejala biologis, diantaranya: gerakan otomatis meningkat, seperti berkeringat, gemetar,
pusing, berdebar-debar, mual, dan mulut kering.
JENIS-JENIS KECEMASAN (ANXIETY)

Jenis kecemasan dalam dua bentuk, yaitu (Triantoro Safaria & Nofrans Eka Saputra, 2012: 53).
1. Trait anxiety
Trait anxiety, yaitu adanya rasa khawatir dan terancam yang menghinggapi diri seseorang
terhadap kondisi yang sebenarnya tidak berbahaya. Kecemasan ini disebabkan oleh
kepribadian individu yang memang memiliki potensi cemas dibandingkan dengan individu
yang lainnya.

2. State anxiety
State anxiety, merupakan kondisi emosional dan keadaan sementara pada diri individu
dengan adanya perasaan tegang dan khawatir yang dirasakan secara sadar serta bersifat
subjektif.

ETIOLOGI

Menurut para ahli psikofarmaka, Gangguan Kecemasan Menyeluruh bersumber pada


neurosis, bukan dipengaruhi oleh ancaman eksternal tetapi lebih dipengaruhi oleh keadaan
internal individu.

Sebagaimana diketahui, Sigmund Freud sebagai bapak dari pendekatan psikodinamika


mengatakan bahwa jiwa individu diibaratkan sebagai gunung es. Bagian yang muncul
dipermukaan dari gunung es itu, bagian terkecil dari kejiwaan yang disebut sebagai bagian
kesadaran. Agak di bawah permukaan air adalah bagian yang disebut pra-kesadaran, dan
bagian yang terbesar dari gunung es tersebut ada di bawah sekali dari permukaan air, dan ini
merupakan alam ketidaksadaran (uncounsciousness). Ketidaksadaran ini berisi ide, yaitu
dorongan-dorongan primitif, belum dipengaruhi oleh kebudayaan atau peraturan-peraturan
yang ada dilingkungan. Dorongan-dorongan ini ingin muncul ke permukaan/ ke kesadaran,
sedangkan tempat di atas sangat terbatas. Ego, yang menjadi pusat dari kesadaran, harus
mengatur dorongan-dorongan mana yang boleh muncul dan mana yang tetap tinggal di
ketidaksadaran karena ketidaksesuaiannya dengan superego, yaitu salah satu unit pribadi
yang berisi norma-norma sosial atau peraturan-peraturan yang berlaku di lingkungan sekitar.
Jika ternyata ego menjadi tidak cukup kuat menahan desakan atau dorongan ini maka
terjadilah kelainan-kelainan atau gangguan-gangguan kejiwaan. Neurosis adalah salah satu
gangguan kejiwaan yang muncul sebagai akibat dari ketidakmampuan ego menahan
dorongan ide.

Jadi, individu yang mengalami Gangguan Kecemasan Menyeluruh, menurut pendekatan


psikodinamika berakar dari ketidakmampuan egonya untuk mengatasi dorongan-dorongan
yang muncul dari dalam dirinya secara terus menerus sehingga ia akan mengembangkan
mekanisme pertahanan diri. Mekanisme pertahanan diri ini sebenarnya upaya ego untuk
menyalurkan dorongan dalam dirinya dan bisa tetap berhadapan dengan lingkungan. Tetapi
jika mekanisme pertahanan diri ini dipergunakan secara kaku, terus-menerus dan
berkepanjangan maka hal ini dapat menimbulkan perilaku yang tidak adaptif dan tidak
realistis.

Ada beberapa mekanisme pertahanan diri yang bisa dipergunakan oleh individu, antara
lain:

1. Represi, yaitu upaya ego untuk menekan pengalaman yang tidak menyenangkan dan
dirasakan mengancam ego masuk ke ketidaksadaran dan disimpan disana agar tidak
menganggu ego lagi. Tetapi sebenarnya pengalaman yang sudah disimpan itu masih punya
pengaruh tidak langsung terhadap tingkah laku individu tersebut.
2. Rasionalisasi, yaitu upaya ego untuk melakukan penalaran sedemikian rupa terhadap
dorongan-dorongan dalam diri yang dilarang tampil oleh superego, sehingga seolah-olah
perilakunya dapat dibenarkan.
3. Kompensasi, upaya ego untuk menutupi kelemahan yang ada di salah satu sisi kehidupan
dengan membuat prestasi atau memberikan kesan sebaliknya pada sisi lain. Dengan
demikian, ego terhindar dari ejekan dan rasa rendah diri.
4. Penempatan yang keliru, yaitu upaya ego untuk melampiaskan suatu perasaan tertentu ke
pihak lain atau sumber lain karena tidak dapat melampiaskan perasaannya ke sumber
masalah.
5. Regresi, yaitu upaya ego untuk menghindari kegagalan-kegagalan atau ancaman terhadap
ego dengan menampilkan pikiran atau perilaku yang mundur kembali ke taraf perkembangan
yang lebih rendah.
Para ahli dari aliran humanistik-eksternal mengatakan bahwa konsep kecemasan bukan
hanya sekedar masalah, yang bersifat individual tetapi juga merupakan hasil konflik antara
individu dengan masyarakat atau lingkungan sosialnya.

Jika individu melihat perbedaan yang sangat luas antara pandangannya tentang dirinya
sendiri dengan yang diinginkan maka akan muncul perasaan inadekuat dalam menghadapi
tantangan di kehidupan ini, dan hal ini menghasilkan kecemasan. Jadi menurut pandangan
humanis eksternalis, pusat kecemasan adalah konsep diri, yang terjadi sehubungan dengan
adanya gap antara konsep diri yang sesungguhnya (real self) dan diri yang diinginkan (idea
self). Hal ini muncul sehubungan tidak adanya kesempatan bagi individu untuk
mengaktualisasikan dirinya sehingga perkembangannya menjadi terhalang. Akibatnya,
dalam menghadapi tantangan atau kendala dalam menjalani hari-hari, di kehidupan
selanjutnya, ia akan mengalami kesulitan untuk membentuk konsep diri yang positif. Setiap
kita sebenarnya perlu mengembangkan suatu upaya untuk menjadi diri sendiri (authenticity),
sedangkan indivisu yang neurotis, atau mengalami gangguan kecemasan adalah individu
yang gagal menjadi diri sendiri (inauthenticity) karena mereka mengembangkan konsep diri
yang keliru/palsu.

Sementara para ahli dari pendekatan behavioristik mengatakan bahwa kecemasan


muncul karena terjadi kesalahan dalam belajar, bukan hasil dari konflik intrapsikis, individu
belajar menjadi cemas. Ada 2 tahapan belajar yang berlangsung dalam diri individu yang
menghasilkan kecemasan yaitu:

1. Dalam pengalaman individu, beberapa stimulus netral tidak berbahaya atau tidak
menimbulkan kecemasan, dihubungkan dengan stimulus yang menyakitkan (aversive)
akan menimbulkan kecemasan (melalui respondent condotioning)
2. Individu yang menghindar dari stimulus yang sudah terkondisi, dan sejak penghindaran
ini menghasilkan pembebasan/terlepas dari rasa cemas, maka respon menghindar ini
akan menjadi kebiasaan (melalui operant conditioning)

Dari sudut pandang kognitif, gangguan kecemasan terjadi karena adanya kesalahan dalam
mempersepsikan hal-hal yang menakutkan. Berdasarkan dari teori kognitif, masalah yang
terjadi dari individu yang mengalami gangguan kecemasan adalah terjadinya kesalahan
persepsi atau kesalahan interpretasi terhadap stimulus internal maupun eksternal. Indivisu
yang mengalami gangguan kecemasan akan melihat suatu hal yang tidak benar-benar
mengancam sebagai sesuatu yang mengancam. Jika individu mengalami pengalaman sensasi
dalam tubuh yang tidak biasa, lalu mengintepretasikannya sebagai sensasi yang bersifat
catastropic, yaitu suatu gejala bahwa ia sedang mengalami sesuatu hal seperti serangan
jantung, maka akan timbul rasa panik.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KECEMASAN (ANXIETY)

Ada 2 faktor yang mempengaruhi kecemasan (Suliswati. 2005) yaitu:

a) Faktor predisposisi yang meliputi :


(1) Peristiwa traumatik yang dapat memicu terjadinya kecemasan berkaitan dengan
krisis yang dialami individu baik krisis perkembangan atau situasional.
(2) Konflik emosional yang dialami individu dan tidak terselesaikan dengan baik.
Konflik antara id dan superego atau antara keinginan dan kenyataan dapat
menimbulkan kecemasan pada individu.
(3) Konsep diri terganggu akan menimbulkan ketidakmampuan individu berpikir
secara realitas sehingga akan menimbulkan kecemasan.
(4) Frustasi akan menimbulkan ketidakberdayaan untuk mengambil keputusan yang
berdampak terhadap ego.
(5) Gangguan fisik akan menimbulkan kecemasan karena merupakan ancaman
integritas fisik yang dapat mempengaruhi konsep diri individu.
(6) Pola mekanisme koping keluarga atau pola keluarga menangani kecemasan akan
mempengaruhi individu dalam berespons terhadap konflik yang dialami karena
mekanisme koping individu banyak dipelajari dalam keluarga.
(7) Riwayat gangguan kecemasan dalam keluarga akan mempengaruhi respon
individu dalam berespon terhadap konflik dan mengatasi kecemasannya.
(8) Medikasi yang dapat memicu terjadinya kecemasan adalah pengobatan yang
mengandung benzodiazepin, karena benzodiapine dapat menekan neurotransmitter
gamma amino butyric acid (GABA) yang mengontrol aktivitas neuron di otak yang
bertanggung jawab menghasilkan kecemasan.
b) Faktor presipitasi meliputi :
(1) Ancaman terhadap integritas fisik, ketegangan yang mengancam integritas fisik
meliputi : a) Sumber internal, meliputi kegagalan mekanisme fisiologi system
imun, regulasi suhu tubuh, perubahan biologis normal. b) Sumber eksternal,
meliputi paparan terhadap infeksi virus dan bakteri, polutan lingkungan,
kecelakaan, kekurangan nutrisi, tidak adekuatnya tempat tinggal.
(2) Ancaman terhadap harga diri meliputi sumber internal dan eksternal. a) Sumber
internal, meliputi kesulitan dalam berhubungan interpersonal di rumah dan di
tempat kerja, penyesuaian terhadap peran baru. Berbagai ancaman terhadap
integritas fisik juga dapat mengancam harga diri. b) Sumber eksternal, meliputi
kehilangan orang yang dicintai, perceraian, perubahan status pekerjaan, tekanan
kelompok, sosial budaya.

MANIFESTASI KLINIS

Gambaran klinis bervariasi, diagnosis Gangguan Cemas Menyeluruh ditegakkan apabila


dijumpai gejala-gejala antara lain keluhan cemas, khawatir, was-was, ragu untuk bertindak,
perasaan takut yang berlebihan, gelisah pada hal-hal yang sepele dan tidak utama yang mana
perasaan tersebut mempengaruhi seluruh aspek kehidupannya, sehingga pertimbangan akal
sehat, perasaan dan perilaku terpengaruh. Selain itu spesifik untuk Gangguan Kecemasan
Menyeluruh adalah kecemasanya terjadi kronis secara terus-menerus mencakup situasi hidup
(cemas akan terjadi kecelakaan, kesulitan finansial), cemas akan terjadinya bahaya, cemas
kehilangan kontrol, cemas akan`mendapatkan serangan jantung. Sering penderita tidak sabar,
mudah marah, sulit tidur.

Respon terhadap kecemasan ada 4 aspek (Stuart dan Sundeen. 1998), yaitu:

 Respon fisiologis
1. Kardiovaskuler, meliputi: palpitasi, jantung berdebar, tekanan darah meningkat,
rasa mau pingsan, pingsan, tekanan darah menurun, denyut nadi menurun.
2. Pernafasan, meliputi: nafas sangat pendek, nafas sangat cepat, tekanan pada dada,
napas dangkal, pembengkakan pada tenggorokan, sensasi tercekik, terengah-
engah.
3. Neuromuskuler, meliputi: refleks meningkat, reaksi kejutan, mata berkedip-kedip,
insomnia, tremor frigiditas, wajah tegang, kelemahan umum kaki goyah, gerakan
yang janggal.
4. Gastrointestinal, meliputi: kehilangan nafsu makan, menolak makanan, rasa tidak
nyaman pada abdomen, mual, rasa terbakar pada jantung, diare.
5. Traktus urinarius, meliputi: tidak dapat menahan kencing, sering berkemih.
6. Kulit, meliputi: wajah kemerahan sampai telapak tangan, gatal, rasa panas, wajah
pucat, berkeringat seluruh tubuh.
 Respon perilaku Respon perilaku yang sering terjadi yaitu: gelisah, ketegangan fisik,
tremor, gugup, bicara cepat, kurang kordinasi, cenderung mendapat cidera, menarik dari
masalah, menhindar, hiperventilasi.
 Respon kognitif Perhatian terganggu, konsentrasi buruk, pelupa, salah dalam memberikan
penilaian, preokupsi, hambatan berfikir bidang persepsi menurun, kreativitas menurun,
produktivitas menurun, bingung, sangat waspada, kesadaran diri meningkat, kehilangan
objektivitas, takut kehilangan kontrol, takut pada gambar visual, takut pada cedera dan
kematian.
 Respon afektif Mudah tersinggung, tidak sabar, gelisah, tegang, nervus, katakutan, alarm,
terror, gugup, gelisah.

TINGKAT KECEMASAN (ANXIETY)

Kecemasan (Anxiety) memiliki tingkatan, beberapa tingkat ansietas (Gail W. Stuart 2006: 144),
diantaranya:
1. Ansietas ringan
Berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari, ansietas ini menyebabkan
individu menjadi waspada dan meningkatkan lapang persepsinya. Ansietas ini dapat
memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan serta kreativitas.
2. Ansietas sedang
Memungkinkan individu untuk berfokus pada hal yang penting dan mengesampingkan
yang lain. Ansietas ini mempersempit lapang persepsi individu. Dengan demikian, individu
mengalami tidak perhatian yang selektif namun dapat berfokus pada lebih banyak area jika
diarahkan untuk melakukannya.
3. Ansietas berat
Sangat mengurangi lapang persepsi individu. Individu cenderung berfokus pada sesuatu
yang rinci dan spesifik serta tidak berpikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk
mengurangi ketegangan. Individu tersebut memerlukan banyak arahan untuk berfokus
pada area lain.
4. Tingkat panic
Berhubungan dengan terperangah, ketakutan, dan teror. Hal yang rinci terpecah dari
proporsinya karena mengalami kehilangan kendali, individu yang mengalami panik tidak
mampu melakukan sesuatu walaupun dengan arahan. Panik mencakup disorganisasi
kepribadian dan menimbulkan peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan
untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang, dan kehilangan
pemikiran yang rasional.

PROSES ADAPTASI KECEMASAN


Mekanisme koping

1. Strategi pemecahan masalah. Strategi pemecahan masalah bertujuan untuk mengatasi atau
menanggulangi masalah atau ancaman yang ada dengan kemampuan realistis. Strategi
pemecahan masalah ini secara ringkas dapat digunakan dengan metode STOP yaitu
Source, Trial and Error, Others, serta Pray and Patient. Source berarti mencari dan
mengidentifikasi apa yang menjadi sumber masalah. Trial and error mencoba berbagi
rencana pemecahan masalah yang disusun. Bila satu tidak berhasil maka mencoba lagi
dengan metode yang lain. Begitu selanjutnya, others berarti meminta bantuan orang lain
bila diri sendiri tidak mampu. Sedangkan pray and patient yaitu berdoa kepada Tuhan. Hal
yang perlu dihindari adalah adanya rasa keputusasaan yang terhadap kegagalan yang
dialami (Suliswati, 2005).
2. Task oriented (berorentasi pada tugas)
a. Dipikirkan untuk memecahkan masalah, konflik, memenuhi kebutuhan dengan
motivasi yang tinggi.
b. Realistis memenuhi tuntunan situasi stress.
c. Disadari dan berorentasi pada tindakan.
d. Berupa reaksi melawan (mengatasi rintangan untuk memuaskan kebutuhan),
menarik diri (menghindari sumber ancaman fisik atau psikologis), kompromi
(mengubah cara, tujuan untuk memuaskan kebutuhan) (Suliswati, 2005).
3. Ego oriented
Dalam teori ini, ego oriented berguna untuk melindungi diri dengan perasaan yang tidak
adekuat seperti inadequacy dan perasaan buruk berupa pengguanan mekanismme
pertahanan diri (defens mechanism). Jenis mekanisme pertahanan diri yaitu (Suliswati,
2005):
a. Denial Menghindar atau menolak untuk melihat kenyataan yang tidak diinginkan
dengan cara mengabaikan dan menolak kenyataan tersebut.
b. Proyeksi Menyalakan orang lain mengenai ketidakmampuan pribadinya atas
kesalahan yang diperbuatnya. Mekanisme ini diguakan untuk mengindari celaan
atau hukuman yang mungkin akan ditimpakan pada dirinya.
c. Represi Menekan kedalam tidak sadar dan sengaja melupakan terhadap pikiran,
perasaan, dan pengalaman yang menyakitkan.
d. Regresi Kemunduran dalam hal tingkah laku yang dilakukan individu dalam
menghadapi stress.
e. Rasionalisasi Berusahah memberikan memberikan alasan yang masuk akal
terhadap perbuatan yang dilakukanya.
f. Fantasi Keinginan yang tidak tercapai dipuaskan dengan imajinasi yang diciptakan
sendiri dan merupakan situasi yang berkhayal.
g. Displacement Memindahkan perasaan yang tidak menyenangkan diri atau objek
ke orang atau objek lain yang biasannya lebih kurang berbahaya dari pada semula.
h. Undoing Tindakan atau komunikasi tertentu yang bertujuan menghapuskan atau
meniadakan tindakan sebelumnya.
i. Kompensasi Menutupi kekurangan dengan meningkatkan kelebihan yang ada pada
dirinya (Suliswati, 2005).
DIAGNOSIS

Diagnosis Gangguan Cemas Menyeluruh (DSM-IV halaman 435, 300.02) ditegakkan bila
terdapat kecemasan kronis yang lebih berat (berlangsung lebih dari 6 bulan; biasanya tahunan
dengan gejala bertambah dan kondisi melemah) dan termasuk gejala seperti respons otonom
(palpitasi, diare, ekstremitas lembab, berkeringat, sering buang air kecil), insomnia, sulit
berkonsentrasi, rasa lelah, sering menarik nafas, gemetaran, waspada berlebihan, atau takut
akan sesuatu yang akan terjadi. Ada kecenderungan diturunkan dalam keluarga, memiliki
komponen genetik yang sedang dan dihubungkan dengan fobia sosial dan sederhana serta
depresi mayor (terdapat pada 40% atau lebih pasien; meningkatkan resiko bunuh diri.
Biasanya pada kondisi ini tidak ditemukan etiologi stres yang jelas, tetapi harus dicari
penyebabnya.

Kriteria diagnostik gangguan cemas menyeluruh menurut DSM V.

Ansietas dan kekhawatiran berlebihan (perkiraan yang menakutkan), terjadi hampir setiap hari
selama setidaknya 3 bulan (atau lebih), mengenai dua (atau lebih) kejadian atau aktivitas (contoh.
Keluarga, kesehatan, finansial, bekerja atau bersekolah).

1. Ansietas dan kekhawatiran dikaitkan dengan satu (atau lebih) dari gejala berikut:
1.1. Gelisah atau merasa terperangkap atau terpojok.
1.2. Otot tegang.
2. Ansietas dan kekhawatiran menyebabkan kecenderungan perubahan kepribadian ditunjukkan
dengaan satu (atau lebih) dari:
2.1. Ditandai dengan menghindar dari kejadian atau aktivitas yang berpotensi negative.
2.2. Ditandai dengan waktu dan usaha mempersiapkan kemungkinan hasil negatif dari suatu
kejadian atau aktivitas.
2.3. Ditandai dengan penundaan dalam perilaku atau membuat keputusan karena
kekhawatiran.
2.4. Berulang kali mencari kepastian karena kekhawatiran.

Diagnosis gangguan cemas menyeluruh menurut PPDGJ-III ditegakkan berdasarkan:


 Penderita harus menunjukkan anxietas sebagai gejala primer yang berlangsung hampir
setiap hari untuk beberapa minggu sampai beberapa bulan, yang tidak terbatas atau hanya
menonjol pada keadaan situasi khusus tertentu saja (sifatnya “free floating” atau
“mengambang”).
 Gejala-gejala tersebut biasanya mencakup unsur-unsur berikut:
1. Kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seperti di ujung tanduk, sulit
berkonsentrasi, dsb)
2. Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak dapat santai); dan
3. Overaktivitas otonomik (kepala terasa ringan, berkeringat, jantung berdebar-debar,
sesak napas, keluhan lambung, pusing kepala, mulut kering, dsb)
 Adanya gejala-gejala lain yang sifatnya sementara (untuk beberapa hari), khususnya
depresi, tidak membatalkan diagnosis utama Gangguan Anxietas Menyeluruh, selama hal
tersebut tidak memenuhi kriteria lengkap dari episode depresif(F.32.-), gangguan anxietas
fobik(F.40.-), gangguan panik(F42.0), atau gangguan obsesif-kompulsif(F.42.-).
 Pada anak-anak sering terlihat adanya kebutuhan berlebihan untuk ditenangkan
(reassurance) serta keluhan-keluhan somatic berulang yang menonjol.

PENANGANAN

Terapi pada Gangguan Kecemasan Menyeluruh pada umumnya dapat dilakukan dengan 2
cara yakni terapi psikologis (psikoterapi) atau terapi dengan obat-obatan (farmakoterapi).
Angka-angka keberhasilan terapi yang tinggi dilaporkan pada kasus-kasus dengan diagnosis
dini. Psikoterapi yang sederhana sangat efektif, khususnya dalam konteks hubungan pasien
dengan dokter yang baik, sehingga dapat membantu mengurangi farmakoterapi yang tidak
perlu.
Penanganan dengan psikoterapi juga dapat dijelaskan melalui pendekatan psikodinamika,
humanistik eksistensialis atau pendekatan behavioristik maupun kognitif.
Menurut para ahli psikodinamika, karena gangguan ini berakar pada keadaan internal
individu sehubungan dengan adanya konflik intrapsikis yang dialami individu sehingga ia
mengembangkan suatu bentuk mekanisme pertahanan diri, maka upaya menanganinya juga
terarah pada pemberian kesempatan bagi individu untuk mengeluarkan seluruh isi pikiran
atau perasaan yang muncul di dalam dirinya. Asumsinya adalah jika individu bisa
menghadapi dan memahami konflik yang dialami, ego akan lebih bebas dan tidak harus terus
berlindung di balik mekanisme pertahanan diri yang dikembangkannya.
Teknik dasar yang digunakan disebut free association, individu diminta untuk menjelaskan
secara sederhana tentang hal-hal yang ada di dalam pikirannya, tanpa melihat apakah itu logis
atau tidak, tepat atau tidak, ataupun pantas atau tidak. Hal-hal dari alam bawah sadar atau
tidak sadar yang diungkapkan akan dicatat oleh terapis untuk diinterpretasikan. Tehnik ini
juga bisa dimanfaatkan saat menggunakan teknik dream interpretation; individu diminta
untuk menceritakan mimpinya secara detail dan tepat. Kedua teknik ini memiliki kelebihan
dan kelemahan masing-masing. Dalam melaksanakan teknik-teknik tersebut di atas, ada dua
hal yang biasanya muncul, yaitu apa yang disebut dengan resistance (yaitu individu bertahan
dan beradu argumen dengan terapis saat terapis mulai sampai pada bagian sensitif), dan
transference (yaitu individu mengalihkan perasaannya pada terapis dan menjadi bergantung.
Sementara para ahli dari pendekatan humanistik eksistesialis yang melihat kecemasan
sebagai hasil konflik diri yang terkait dengan keadaan sosial dimana pengembangan diri
menjadi terhambat, maka mereka lebih menyarankan untuk membangun kembali diri yang
rusak (damaged self). Tekhniknya sering disebut sebagai client centered therapy yang
berpendapat bahwa setiap individu memiliki kemampuan yang positif yang dapat
dikembangkan sehingga ia membutuhkan situasi yang kondusif untuk mengeksplorasi
dirinya semaksimal mungkin.
Setiap permasalahan yang dihadapi setiap individu sebenarnya hanya dirinyalah yang
paling mengerti tentang apa yang sedang dihadapinya. Oleh karena itu, individu itu sendirilah
yang paling berperan dalam menyelesaikan permasalahan yang mengganggu dirinya.
Karena para ahli melihat kecemasan sebagai sebagai hasil dari belajar (belajar menjadi
cemas) maka untuk menanganinya perlu dilakukan pembelajaran ulang agar terbentuk pola
perilaku baru, yaitu pola perilaku yang tidak cemas.
Tehnik yang digunakan untuk mengurangi kecemasan adalah systematic desentisitization,
yaitu mengurangi kecemasan dengan menggunakan konsep hirarki ketakutan,
menghilangkan ketakutan secara perlahan-lahan mulai dari ketakutan yang sederhana sampai
ke hal yang lebih kompleks. Pemberian reinforcement (penguat) juga dapat digunakan
dengan secara tepat memberikan variasi yang tepat antara pemberian reward- jika ia
memperlihatkan perilaku yang mengarah keperubahan ataupun punishment – jika tidak ada
perubahan perilaku atau justru menampilkan perilaku yang bertolak belakang dengan rencana
perubahan perilaku. Adanya model yang secara nyata dapat dilihat dan menjadi contoh
langsung kepada individu juga efektif dalam upaya melawan pikiran-pikiran yang
mencemaskan.
Pendekatan kognitif yang melihat gangguan kecemasan sebagai hasil dari kesalahan dalam
mempersepsikan ancaman (misperception of threat) menawarkan upaya mengatasinya
dengan mengajak individu berpikir dan mendesain suatu pola kognitif baru. Desain kognitif
yang melibatkan 3 bagian yaitu (Acocella dkk, 1996):
1. Identifikasi interpretasi negatif yang dikembangkan individu tentang sensasi tubuhnya
2. Tentukan dugaan atau asumsi dan arahkan alternatif intrepretasi, yang noncatastropic.
3. Bantu individu menguji validitas penjelasan dan alternatif-alternatif tersebut.

Dengan kata lain, para ahli dari pendekatan kognitif ini menyatakan bahwa tujuan dari terapi
sebagai upaya menangani gangguan kecemasan adalah membantu individu melakukan
intrepretasi sensasi tubuh dengan cara yang noncatastropic.

Dalam beberapa hal, penanganan terhadap penderita gangguan kecemasan tidak selalu
hanya berpegang pada satu tehnik saja, atau hanya mengikuti pendapat salah satu ahli dari
suatu pendekatan saja. Terapi yang diberikan dapat sekaligus dengan menggunakan lebih dari
satu pendekatan atau lebih dari satu tehnik, asalkan tujuannya jelas dan tahapan-tahapannya
juga terinci.

Pertimbangkan penggunaan obat-obatan maupun psikoterapi. Anti depresan yang baru,


venlafaksin XR, tampaknya cukup efektif dan aman untuk pengobatan gangguan cemas
menyeluruh. Gunakan benzodiazepin dengan tidak berlebihan (diazepam, 5 mg per oral, 3-4
kali sehari atau 10 mg sebelum tidur) untuk jangka pendek (beberapa minggu hingga
beberapa bulan); biarkan penggunaan obat-obatan untuk mengikuti perjalanan penyakitnya.
Pertimbangkan pemberian buspiron untuk pengobatan awal atau untuk pengobatan kronis
(20-30 mg/hari dalam dosis terbagi). Pasien tertentu yang telah terbiasa dengan efek cepat
benzodiazepin akan merasakan kurangnya efektivitas buspiron. Anti depresan trisiklik, SSRI,
dan MAOI bermanfaat terhadap pasien-pasien tertentu (terutama bagi mereka yang disertai
dengan depresi). Sedangkan pasien dengan gejala otonomik akan membaik dengan β-bloker
(misal, propanolol 80-160 mg/hari).

Farmakoterapi

Table 8: Rekomendasi Farmakoterapi Gangguan Cemas Menyeluruh (Menkes. 2015)


Nama Obat Dosis Efek Samping
(mg/hari)
Lini pertama Escitalopram, 10-20 Gangguan System Pencernaan, Mual,
Muntah, Diare, Konstipasi, dan lain-
Sertralin, 25-50
lain
Venlafaksin-XR 75-150
Lini kedua Alprazolam 0,25-4
Sedasi, Pusing, Sakit Kepala
Bromazepam 3-18
Klobazam 20-30
Lorazepam 2-6
Diazepam 2,5-40
Buspiron 10-60
Imipramin 50-300 Antikolinergik
Pregabalin 25-600 Sedasi, Somnolens,
Lini ketiga Mirtazapin 15-45 Antihistamin
Adjuctive 5-12.5 Peningkatan Berat Badan

Olanzapin
Adjuctive 0,5-1 Sindrom Ekstrapiramidal
Risperidon

Tidak direkomendasikan Beta Blocker (propranolol)


Non-farmakoterapi
Terapi Psikososial:
 Terapi perilaku koqnitif
 Psikoedukasi

Obat anti-anxietas Benzodiazepine yang bereaksi dengan reseptornya (benzodiazepine


receptors) akan meng-reinforce “the inhibitory action of GABA-ergic neuron”, sehingga
hiperaktivitas tersebut di atas mereda.

Dorong rasa percaya diri, rumatan aktivitas produktif, dan kognisi yang berdasarkan pada
realita. Latihlah pasien dengan teknik relaksasi (misal biofeedback, meditasi, otohipnotis). Lebih
dari 50% pasien menjadi asimtomatik seiring berjalannya waktu, tetapi sisanya memberat pada
derajat hendaya yang bermakna. Bantulah pasien untuk memahami akan sifat kronis penyakitnya
dan mengerti akan adanya kemungkinan untuk selamanya hidup dengan beberapa gejala yang
memang tidak akan hilang.

PROGNOSIS

Pada umumnya prognosis GAM adalah baik bila mendapat penatalaksanaan yang sesuai. Sekitar
50% pasien mendapat perbaikan dalam tiga minggu pertama pengobatan. Sekitar 77% membaik
dalam sembilan bulan pengobatan.

UPAYA UNTUK MENGURANGI KECEMASAN (ANXIETY)


Cara yang terbaik untuk menghilangkan kecemasan ialah dengan jalan menghilangkan sebeb-
sebabnya. Menurut Zakiah Daradjat (1988: 29) adapun cara-cara yang dapat dilakukan, antara lain.
1. Pembelaan
Usaha yang dilakukan untuk mencari alasan-alasan yang masuk akal bagi tindakan yang
sesungguhnya tidak masuk akal, dinamakan pembelaan. Pembelaan ini tidak
dimaksudkan agar tindakan yang tidak masuk akal itu dijadikan masuk akal, akan tetapi
membelanya, sehingga terlihat masuk akal. Pembelaan ini tidak dimaksudkan untuk
membujuk atau membohongi orang lain, akan tetapi membujuk dirinya sendiri, supaya
tindakan yang tidak bisa diterima itu masih tetap dalam batas-batas yang diingini oleh
dirinya.
2. Proyeksi
Proyeksi adalah menimpakan sesuatu yang terasa dalam dirinya kepada orang lain,
terutama tindakan, fikiran atau dorongan-dorongan yang tidak masuk akal sehingga dapat
diterima dan kelihatannya masuk akal.
3. Identifikasi
Identifikasi adalah kebalikan dari proyeksi, dimana orang turut merasakan sebagian dari
tindakan atau sukses yang dicapai oleh orang lain. Apabila ia melihat orang berhasil dalam
usahanya ia gembira seolah-olah ia yang sukses dan apabila ia melihat orang kecewa ia
juga ikut merasa sedih.
4. Hilang hubungan (disasosiasi) Seharusnya perbuatan, fikiran dan perasaan orang
berhubungan satu sama lain. Apabila orang merasa bahwa ada seseorang yang dengan
sengaja menyinggung perasaannya, maka ia akan marah dan menghadapinya dengan
balasan yang sama. Dalam hal ini perasaan, fikiran dan tindakannya adalah saling
berhubungan dengan harmonis. Akan tetapi keharmonisan mungkin hilang akibat
pengalaman pahit yang dilalui waktu kecil.
5. Represi
Represi adalah tekanan untuk melupakan hal-hal, dan keinginan-keinginan yang tidak
disetujui oleh hati nuraninya. Semacam usaha untuk memelihara diri supaya jangan terasa
dorongan-dorongan yang tidak sesuai dengan hatinya. Proses itu terjadi secara tidak
disadari.
6. Subsitusi
Substitusi adalah cara pembelaan diri yang paling baik diantara cara-cara yang tidak
disadari dalam menghadapi kesukaran. Dalam substitusi orang melakukan sesuatu, karena
tujuan-tujuan yang baik, yang berbeda sama sekali dari tujuan asli yang mudah dapat
diterima, dan berusaha mencapai sukses dalam hal itu.

KESIMPULAN

Kecemasan adalah perasaan yang tidak menyenangkan, tidak enak, khawatir dan gelisah.
Keadaan emosi ini tanpa objek yang spesifik, dialami secara subjektif dipacu oleh ketidaktahuan
yang didahului oleh pengalaman baru, dan dikomunikasikan dalam hubungan interpersonal. Neale
dkk (2001) mengatakan bahwa kecemasan sebagai perasaan takut yang tidak menyenangkan dan
dapat menimbulkan beberapa keadaan psikopatologis sehingga mengalami apa yang disebut
Gangguan Kecemasan.

Gambaran klinis bervariasi dapat dijumpai keluhan cemas, khawatir, was-was, ragu untuk
bertindak, perasaan takut yang berlebihan, gelisah pada hal-hal yang sepele dan tidak utama yang
mana perasaan tersebut mempengaruhi seluruh aspek kehidupannya, sehingga pertimbangan akal
sehat, perasaan dan perilaku terpengaruh. Selain itu spesifik untuk Gangguan Kecemasan
Menyeluruh adalah kecemasanya terjadi kronis secara terus-menerus mencakup situasi hidup
(cemas akan terjadi kecelakaan, kesulitan finansial), cemas akan terjadinya bahaya, cemas
kehilangan kontrol, cemas akan`mendapatkan serangan jantung. Sering penderita tidak sabar,
mudah marah, sulit tidur.
Diagnosis gangguan cemas menyeluruh menurut PPDGJ-III ditegakkan jika penderita
menunjukkan anxietas sebagai gejala primer yang berlangsung hampir setiap hari untuk beberapa
minggu sampai beberapa bulan, yang tidak terbatas atau hanya menonjol pada keadaan situasi
khusus tertentu saja (“mengambang”). Gejala-gejala tersebut biasanya mencakup unsur-unsur
berikut: Kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seperti di ujung tanduk, sulit
berkonsentrasi), ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak dapat santai); dan
overaktivitas otonomik (kepala terasa ringan, berkeringat, jantung berdebar-debar, sesak napas,
keluhan lambung, pusing kepala, mulut kering, dsb).
Terapi pada Gangguan Kecemasan Menyeluruh pada umumnya dapat dilakukan dengan 2
cara yakni terapi psikologis (psikoterapi) atau terapi dengan obat-obatan (farmakoterapi). Obat
pilihan yang digunakan adalah antianxietas (golongan benzodiazepine khususnya diazepam dan
alprazolam). Anti depresan juga dapat dikombinasikan misalnya golongan SSRI yakni fluoxetine.
DAFTAR PUSTAKA

Desmita. (2007). Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya.


Ifdil, B Khairul. (2015). The Effectiveness of Peer-Helping to Reduce Academic-Stress of Students.
Addictive Disorders & Their Treatment, 14(4), 176-181.

Sunartyasih & Linda. (2013). “Hubungan Kendala Pelaksanaan Posbindu dengan Kehadiran
Lansia di Posbindu RW 08 Kelurahan Palasari Kecamatan Cibubur Kota Bandung.” Jurnal Stikes
Santo Borromeus, Vol 3, No 1, 2013, hal 59.

Listiana, dkk. (2013). “Hubungan antara Berpikir Positif Terhadap Kecemasan Lansia di Panti
Tresna Werda Kabupaten Gowo.” Jurnal, ISSN: 2302-1721, Volume 2 Nomor 2 Tahun 2013.
Makassar: STIKES Nani Hasanuddin Makassar.

Yuke Wahyu Widosari. (2010). “Perbedaan Derajat Kecemasan dan Depresi Mahasiswa
Kedokteran Preklinik dan Ko-Asisten di FK UNS Surakarta.” Skripsi. Surakarta: Fakultas
Kedokteran, Universitas Sebelas Maret

Steven Schwartz, S. (2000). Abnormal Psychology: a discovery approach. California: Mayfield


Publishing Company.

Jeffrey S. Nevid, dkk. (2005). Psikologi Abnormal. 5th Ed. Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Ivi Marie Blackburn & Kate M. Davidson. (1994). Terapi Kognitif untuk Depresi dan Kecemasan
Suatu Petunjuk Bagi Praktisi. Alih Bahasa: Rusda Koto Sutadi. Semarang: IKIP Semarang Press.

Triantoro Safaria & Nofrans Eka Saputra. (2012). Manajemen Emosi: Sebuah panduan cerdas
bagaimana mengelola emosi positif dalam hidup Anda. Jakarta: Bumi Aksara.

Maria, Josetta. Cemas Normal atau Tidak Normal. Program Studi Psikologi. Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.

Kaplan, H., Sadock, Benjamin. 1997. Gangguan Kecemasan dalam Sinopsis Psikiatri: Ilmu
Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis Edisi ke-7 Jilid 2. Jakarta: Bina Rupa Aksara. Hal. 1-15

Kaplan, Harold. I. 1998. Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat. Jakarta: Widya Medika. Hal. 145-54

Tomb, D. A. 2000. Buku Saku Psikiatri Edisi 6. Jakarta : EGC. Hal. 96-110
Suliswati, dkk. 2005. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
American Psychiatric Association. Anxiety Disorder. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders, 4thEd. Text Revision, DSM-IV-TR American Psychiatric Association, 2000,
hal. 429-455.

American Psychiatric Association. Anxiety Disorder. Diagnostic and Statistical Manual of


Mental Disorders, 5thEd. Text Revision, DSM-V American Psychiatric Association, 2013, hal.
189-233.

Maslim, Rusdi. 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III. Jakarta: Bagian
Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Unika Atmajaya. Hal. 72-75

Adiwena, Nuklear. 2007. Anxietas. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Islam


Indonesia.

Eldido. Anxiety Disorder; Tipe-tipe dan Penanganannya. 20 Oktober 2008.

Yates, W. R. 2008. Anxiety Disorders. Update August 13, 2008. www.emedicine.com

Acocella, J. Alloy, LB., Bootzin, RR. (1996). Abnormal Psychology : Current Perspectives. New
York : Mc Graw Hill, Inc.

Kemenkes. 2015. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa

Maslim, Rusdi. 2007. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran
Jiwa Fakultas Kedokteran Unika Atmajaya. Hal. 12

Zakiah Daradjat. (1988). Kesehatan Mental. Jakarta: CV Haji Masagung.

Neale, JM. Davidson, GC. (2001). Abnormal Psychology. New York : John Wiley &
Sons, Inc.

Anda mungkin juga menyukai