Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Embalming (Pengawetan Mayat)


Secara umum, embalming (pengawetan mayat) adalah suatu tindakan yang dilakukan
untuk mencegah pembusukan dan penyebaran kuman dari mayat ke lingkungan. Secara medis,
pengawetan mayat adalah suatu tindakan medis dengan memberikan bahan kimia tertentu pada
mayat untuk menghambat pembusukan, serta menjaga penampilan luar mayat tetap mirip dengan
kondisi sewaktu hidup (Bajracharya, 2010).
Embalming adalah proses pengawetan mayat untuk mempertahankan penampilan mayat
dalam, tetap dalam kondisi yang baik untuk jangka waktu lama. Beberapa hari setelah kematian,
tubuh seseorang akan mulai membusuk, agar pembusukan tersebut tidak terjadi digunakan bahan
pengawet kimia yang termasuk dalam proses embalming. Embalming diperlukan baik untuk
tubuh normal maupun tubuh membusuk dan mayat yang akan diangkut untuk jarak jauh
(Bajracharya, 2010).

2.2 Sejarah Embalming


Sejarah embalming (pengawetan mayat) dilakukan sejak zaman mesir kuno. Lebih
tepatnya dalam pembuatan mumi. Pada umunya pengawetan mayat ini dilakukan bagi para raja
dan bangsawan. Karena pada masa lalu, mereka meyakini mitos bahwa tubuh mereka dapat
dihidupkan kembali nantinya apabila jasad mereka tidak hancur berkalang tanah (Chew, 2011).
Pada tahun 1368, para ilmuan mencari cara bagaimana proses pengawetan mayat yang
lebih sederhana. Mereka menemukan dengan menggunakan bahan-bahan alami, seperi daun sirih,
dan garam. Pada tahun 1644, tiga ilmuan Belanda yaitu, Awammerdam, Ruysch, dan Blanchard
menemukan cara yang lebih modern, dengan menggunakan bahan kimia, yaitu menggunakan
formalin. Hingga sampai saat ini, kita menggunakan bahan kimia tersebut. Dengan cara yang
telah dimodifikasi, tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan cara
tradisional (Morgan, 2014).
2.3 Indikasi dan Kontraindikasi
2.3.1 Indikasi Embalming
Pengawetan jenazah perlu dilakukan pada keadaan (Bajracharya, 2010):
 Adanya penundaan penguburan atau kremasi lebih dari 24 jam
Hal ini penting karena di Indonesia yang beriklim tropis, dalam 24 jam mayat sudah mulai
membusuk, mengeluarkan bau, dan cairan pembusukan yang dapat mencemari
lingkungan sekitarnya.
 Jenazah perlu dibawa ke tempat lain
Untuk dapat mengangkut jenazah dari suatu tempat ke tempat lain, harus dijamin bahwa
jenazah tersebut aman, artinya tidak berbau, tidak menularkan bibit penyakit ke sekitarnya
selama proses pengangkutan. Dalam hal ini perusahaan pengangkutan, demi reputasinya
dan untuk mencegah adanya gugatan di belakang hari, harus mensyaratkan bahwa jenazah
yang akan diangkut telah diawetkan secara baik, yang dibuktikan oleh suatu sertifikat
pengawetan (Rumililawati, 2011).
 Jenazah meninggal akibat penyakit menular
Jenazah yang meninggal akibat penyakit menular akan lebih cepat membusuk dan
potensial menulari petugas kamar jenazah, keluarga serta orang-orang di sekitarnya. Pada
kasus semacam ini, walaupun penguburan atau kremasinya akan segera dilakukan, tetap
dianjurkan dilakukan embalming untuk mencegah penularan kuman / bibit penyakit ke
sekitarnya (Lawler, 2011).

2.3.2 Kontraindikasi Embalming


Embalming di Indonesia tidak dapat dilakukan pada kematian tidak wajar sebelum
dilakukan autopsi, hal ini dapat menyebabkan terjadinya kesulitan penyidikan karena adanya
bukti-bukti tindak pidana yang hilang atau berubah dan karenanya dapat dikenakan sanksi pidana
penghilangan benda bukti berdasarkan pasal 233 KUHP. Oleh karena itu setiap kematian tidak
wajar menjadi kontraindikasi embalming (Singh, 2012)
Setiap kematian yang terjadi akibat kekerasan atau keracunan termasuk kematian yang
tidak wajar. Cara kematian pada kematian tidak wajar adalah pembunuhan, bunuh diri dan
kecelakaan. Pada kasus kematian tidak wajar, kasus hendaknya segera dilaporkan ke penyidik,
sesuai dengan pasal 108 KUHAP. Adapun yang termasuk dalam kategori kasus yang harus
dilaporkan ke penyidik adalah (Atmadja, 2012):
 Kematian yang terjadi di dalam tahanan atau penjara
 Kematian terjadi bukan karena penyakit dan bukan karena hukuman mati
 Adanya penemuan mayat dimana penyebab dan informasi mengenai kematiannya tidak
ada
 Keadaan kematiannya menunjukkan bahwa kemungkinan kematian akibat perbuatan
melanggar hukum
 Orang tersebut melakukan bunuh diri atau situasi kematiannya mengindikasikan kematian
akibat bunuh diri
 Kematian yang terjadi tanpa kehadiran dokter
 Kematian yang disaksikan dokter, tetapi ia tidak dapat memastikan penyebab
kematiannya

2.4 Tujuan Embalming


Ada 3 alasan mengapa dilakukannya embalming, yaitu (Permata, 2008):
1. Desinfeksi
Saat seseorang meninggal, beberapa patogen akan ikut mati, namun sebagian besar masih
dapat bertahan hidup karena memiliki kemampuan untuk bertahan hidup dalam jangka
waktu lama pada jaringan mati. Orang yang datang dan kontak langsung dengan tubuh
jenazah yang tidak embalming dapat terinfeksi, serta ada kemungkinan menjadi lalat atau
agen lain mentransfer patogen untuk manusia dan menginfeksi mereka.
2. Pelestarian
Pelestarian yaitu upaya pencegahan pembusukan dan dekomposisi jenazah, sehingga
jenazah dikuburkan, dikremasikan tanpa bau atau hal-hal yang tidak menyenangkan
lainnya.
3. Restorasi
Restorasi yaitu upaya untuk mengembalikan keadaan tubuh jenazah kembali seperti
masih hidup.

2.5 Teknik Embalming

Ada beberapa teknik untuk mengawetkan mayat, yaitu:

2.5.1 Teknik Pembalseman (AlaMumi)

Pengawetan mayat ini biasa dilakukan pada mumi. Caranya yaitu (Bedino, 2013) :

a. Pengeluaran otak.
b. Pegeluaran oragan tubuh, kecuali jantung.
c. Proses Pengawetan dengan menggunakan natron dan anggur.
d. Diamkan mayat selama 40 hari pada sebuah meja terbuat dari batu.
e. Pemumian atau pembalutan.
f. Pemetian.
g. Penguburan dalam pyramid.

Gambar 1. Teknik pembalseman

2.5.2 Teknik Pengawetan Tradisional

Pengawetan mayat ini dilakukan dengan cara yang masih sangat sederhana. Caranya yaitu

(Kiernan, 2012) :
a. Membersihkan mayat, isi kotoran dalam perut mayat harus dibuang, jadi harus benar-
benar bersih.
b. Minumkan mayat tersebut dengan larutan cuka dan garam yang telah direbus. Harus
diminumkan sampai satu gelas air cuka habis.
c. Siram mayat dengan cairan daun sirih, tembakau dan daun teh.
d. Pusar mayat ditutupi dengan cairan daun kom.
e. Bungkus mayat dengan kain yang sebelumnya dibungkus dengan daun sirih.

Gambar 2. Teknik Tradisional


2.5.3 Teknik Konvensional

Pengawetan yang dilakukan dengan menggunkan formalin. Caranya yaitu (Depkes RI, 2016):
a. Sayat mayat pada bagian arteri femoralis (pada bagian paha).
b. Alirkan cairan formalin kedalam mayat tersebut.
c. Rendam mayat beberapa menit pada formalin.
d. Dan tunggu selama 2-3 jam.

Gambar 3 Teknik Konvensional

2.5.4 Teknik Kompressi

Pengawetan yang dilakukan dengan menggunakan formalin. Caranya yaitu (Mayer, 2011) :

a. Sayat mayat pada bagian vena saphen magna.


b. Masukan jarum dan selang kecil khusus yang telah berhubungan dengan jarum.
Formalin yang digunakan sebanyak 5 liter.
c. Alirkan cairan formalin kedalam mayat tersebut.
d. Masukkan mayat kedalam kantung mayat.

Gambar 4 Teknik Kompresi


2.6 Proses Embalming
2.6.1 Proses pada embalming modern
a. Arterial embalming
Arterial embalming melibatkan injeksi bahan kimia ke dalam pembuluh darah, biasanya
melalui arteri karotis dextra dan darah dikeluarkan dari vena jugularis. Bahan kimia disuntikkan
melalui pompa mekanis atau dengan memanfaatkan gaya gravitasi. Pijatan embalmer pada mayat
untuk memastikan distribusi yang tepat dari cairan embalming. Dalam kasus sirkulasi yang
buruk, titik injeksi lain dapat digunakan, yaitu iliaka atau arteri femoralis, pembuluh subklavia
atau aksila (Ezugworie, 2009).

Gambar 5. Arterial embalming


b. Cavity embalming
Hisap cairan rongga tubuh mayat dan injeksi bahan kimia ke dalam rongga tubuh,
menggunakan aspirator dan trocar. Embalmer membuat sayatan kecil tepat di atas pusar dan
mendorong trocar di rongga dada dan perut untuk menusuk organ berongga dan aspirasi
cairannya. Kemudian rongga tubuh diisi dengan bahan kimia yang mengandung formaldehid
terkonsentrasi (Katy, 2011).
Gambar 6. Cavity embalming

c. Hypodermic embalming
Hypodermic embalming merupakan metode tambahan dimana injeksi bahan kimia
pengawet ke dalam jaringan dengan menggunakan jarum dan suntik hipodermik yang biasanya
digunakan pada kasus dimana area yang tidak memiliki aliran arterial yang baik setelah dilakukan
injeksi arteri (Empl, 2011).

d. Surface embalming
Surface embalming merupakan metode tambahan yang menggunakan bahan kimia
pengawet untuk mengawetkan area langsung pada permukaan kulit dan area superfisial lainnya
dan juga area yang rusak, seperti pada kecelakaan lalu lintas, penbusukan, pertumbuhan kanker,
atau donor kulit (Edmund, 2011).

2.6.2 Langkah-langkah normal untuk persiapan tubuh (Bedino, 2011)


1. Tubuh ditempatkan dalam posisi yang tepat di meja embalming dengan tangan diletakkan
di atas perut .
2. Tubuh dicuci dan didesinfeksi.
3. Wajah dicukur diperlukan.
4. Mata tertutup. Hal ini biasanya dicapai dengan disk plastik kecil melengkung disebut
"mata topi" ditempatkan di bawah kelopak mata. Perforasi dalam membantu memegang
tutup kelopak mata di tempat.
5. Mulut tertutup. Hal ini biasanya dicapai dengan menempatkan sebuah "taktik" yang
dirancang khusus di rahang atas dan bawah. Taktik masing-masing memiliki kawat halus
terpasang. Dengan memutar dua kabel bersama-sama, rahang demikian tertutup dan bibir
diatur pada garis bibir alami menggunakan krim untuk mempertahankan posisi yang tepat
dan untuk mencegah dehidrasi.
6. Solusi embalming disiapkan. Mesin embalming modern yang terdiri dari suatu reservoir
galon 2-3 dan pompa listrik. Sebuah solusi sekitar 8 ons cairan untuk 1 galon air siap.
7. Sebuah insisi dibuat di atas arteri karotid (di mana leher memenuhi bahu) atau melalui
arteri femoralis (di leg di pangkal paha). Arteri dan vena terletak dan terisolasi.
8. Sebuah tabung yang melekat pada mesin dimasukkan ke dalam arteri. Sebuah tabung
sedikit lebih besar ditempatkan ke dalam vena yang menyertainya. Tabung ini melekat
pada selang ke sistem saluran pembuangan.
9. Cairan disuntikkan ke dalam arteri di bawah tekanan oleh mesin embalming. Seperti darah
digantikan oleh cairan masuk, itu dipaksa keluar dari tabung vena dan dibuang. Tekanan
cairan embalming pasukan ke kapiler dan akhirnya ke sel-sel tubuh. Setelah sekitar 3 galon
larutan yang disuntikkan ke dalam tubuh, darah telah menipis dan cairan datang melalui
tabung vena sebagian besar embalming cairan.
10. Tabung dihapus dan sayatan dijahit.
11. Rongga perut diobati dengan menggunakan tabung hampa disebut trocar yang digunakan
untuk aspirasi gas dan isi cairan di bawah hisap. Sebuah kimia pengawet diperkenalkan.
12. Tubuh lagi dicuci dan krim ditempatkan pada tangan dan wajah untuk mencegah dehidrasi.
13. Rambut dikeramas dan kuku jari dibersihkan.
14. Tubuh ditutupi dengan selembar menunggu ganti dan penempatan di peti mati.
15. Kosmetik yang kemudian diterapkan untuk menggantikan warna alami dihapus oleh proses
embalming, banyak yang diciptakan oleh kapiler darah di wajah yang tidak lagi hadir.
Dalam kasus wanita, kosmetik yang digunakan dalam hidup juga dapat digunakan untuk
menciptakan kembali "melihat" orang tersebut selama hidup. Rambut disisir atau set.

2.6.3 Proses Embalming


Proses embalming dimulai dengan mencuci secara menyeluruh dan desinfeksi tubuh.
Mulut, hidung, dan lubang lainnya dibersihkan dan ditutup untuk mencegah ekskresi yang bisa
menjadi sumber penyakit atau infeksi. Bahan pengawet kimia kemudian disuntikkan ke dalam
tubuh melalui satu atau lebih arteri, sementara cairan tubuh dikeluarkan melalui pembuluh darah
yang sesuai. Bahan pengawet kimia membunuh bakteri dan mengawetkan mayat dengan
mengubah struktur fisik dari protein tubuh, sehingga tidak bisa lagi berfungsi sebagai host untuk
bakteri. Dengan demikian proses dekomposisi dapat dihambat (Nicnas, 2006).

2.7 Implikasi Embalming dalam Globalisasi Dunia


2.7.1 Manfaat Embalming
Ada berbagai manfaat dari embalming, yaitu (Zulham, 2009) :
a. Dapat dijadikan alat praktikum dalam dunia kesehatan
b. Membantu dalam proses belajar mengajar
c. Membantu dalam proses pemakaman
d. Dapat dijadikan alat atau model dalam suatu pameran

2.7.2 Dampak Negatif Embalming


Selain manfaat atau dampak positif dari embalming, ada juga dampak negatif atau
kerugiannya, yaitu (Mao, 2011) :

a. Dapat merusak lingkungan

b. Menyebabkan keracunan dalam jangka panjang

c. Menyebabkan iritasi dalam proses pengawetan mayat

d. Akumulasi formalin yang sangat tinggi

2.8 Embalming dilihat dari Sudut Pandang Agama


Ada banyak perbedaan pendapat diantara agama yang berbeda mengenai kebolehan
pengawetan mayat, yaitu:
a. Sudut pandang agama Islam
Di masyarakat yang mayoritas penduduknya beragama Islam, ada larangan
dilakukannya pengawetan karena agama Islam mewajibkan jenazah untuk dikuburkan
dalam waktu 24 jam dari kematian. Seorang muslim percaya bahwa roh akan tetap
berada di tubuhnya dari mulai kematian sampai setelah pemakaman (Mao, 2011)
b. Sudut pandang agama Kristen
Sebagian besar tokoh agama Kristen mengatakan bahwa pengawetan dapat
dilakukan. Beberapa badan dalam Ortodoksi Timur mengatakan untuk dilakukan
pengawetan, kecuali jika diwajibkan oleh hukum atau keharusan lainnya, sedangkan
yang lain mungkin mencegah, tetapi tidak melarang juga untuk dilakukan
pengawetan. Secara umum keputusan untuk dilakukan pengawetan adalah salah satu
yang ditentukan oleh keluarga jenazah dan kebijakan gereja tertentu (Paak, 2011).
c. Sudut pandang Agama Hindu
Banyak pihak berwenang berpendapat bahwa Hinduisme tidak menerima
pengawetan. Dalam prakteknya, agama hindu tidak melarang keras untuk dilakukan
pengawetan, seperti pengawetan yang pernah terjadi pada tokoh agama Hindu yang
sangat dihormati. Umumnya pengawetan ini dilakukan untuk pemulangan ke India,
untuk dilakukan ritual keagamaan dan keagamaan di rumah keluarganya sebelum
kremasi akhir. Secara tradisional, tubuh yang mati harus dikremasi sebelum matahari
terbenam, sehingga pengawetan bukanlah sesuatu yang umum atau luas untuk
dilakukan (Wyoming, 2011)
DAFTAR PUSTAKA

1. Bajracharya S, Magar A. Embalming: an art of preserving human body. Kath Univ Med J.
2010; 4(4): 554-557
2. Morgan O. Infectious disease risks from dead bodies following natural disasters. Rev
Panam Salud Publica. 2014;15(5):307–12.
3. Singh S. Ilmu Kedokteran Forensik. Medan, 2012
4. Atmadja DS. Tatacara Dan Pelayanan Pemeriksaan Serta Pengawetan Jenazah Pada
Kematian Wajar. 2012. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal FKUI /
RSUPN Cipto Mangunkosumo.
5. Atmadja DS. Pengawetan Jenazah Dan Aspek Medikolegalnya. Majalah Kedokteran
Indonesia. 2012; 52(8): 293-7
6. Tim Permata Press. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana. 2008. Jakarta: Permata Press.
7. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Buku Kesatu.. Diunduh
dari:http://hukum.unsrat.ac.id/uu/kolonial_kuh_perdata.pdf .
8. Departement of health. Precautions for handling and disposal of dead bodies. 2010 may;
8
9. Bedino JH. Embalming chemistry: glutaraldehyde versus formaldehyde. Champ Exp
Encyclopedia of Mortuary Practices. 2013; 649
10. Kiernan JA. Preservation and retrieval of antigens for immunohistochemistry – methods
and mechanisms. 2012; 1: 63-84
11. Departemen Kesehatan Indonesia. Mengenal formalin. 2016; p 2-4
12. Mayer RG. An introduction to the American society of embalmers. [Accessed on 2
Desember 2011] Available from: http://www.amsocembalmers.org/html/intro.html.
13. Kathy hawkins. What is embalming?. 2011 [Accessed on 3 Desember 2011] http://www.
wisegeek.com/what-is-embalming.htm.
14. Atmadja DS. Pengawetan jenazah dan aspek medikolegalnya. Majalah kedokteran
Indonesia. 2002; 52(8): 293-7. [diakses pad 3 Desember 2011] diunduh dari:
http://isjd.pdii.lipi.go.id
15. Ezugworie J, Anibeze C, Ozoemena F. Trends in the development of embalming
methods. The internet journal of alternative medicine. 2009; 7(2). [Accessed on 3
Desember 2011] Available from: http://www.ispub.com/journal/the_internet_journal_of_
alternativ e_medicine/volume_7_number_2_21/article/trends-in-the-development-of-
embal ming-methods.html.
16. Employment development department. California occupational guide : embalmers. 2005.
[Accessed on 3 Desember 2011] Available from: http://www.calmis.ca.gov/file/occ guide
/embalmer.pdf.
17. Edmund G, Brown JR. Information and instructions for embalmer licensure. 2011.
[Accessed on 3 Desember 2011] Available from: http://www.cfb.ca.gov.
18. Bedino JH. Embalming chemistry : glutaraldehyde versus formaldehyde. Expanding
encyclopedia of mortuary practices. 2003; 649. [Accessed on 3 Desember 2011]
Available from:http://www.champion-newera.com/CHAMP.PDFS/encyclo649.pdf.
19. Departement of health and ageing NICNAS. Formaldehyde. Australia: Commonwealth of
Australia. 2006. [Accessed on 3 Desember 2011] Available
from:http://www.nicnas.gov.au/publication/car/pec/pec28/pec_28_full_report_pdf.pdf.
20. Zulham. Penuntun praktikum histoteknik. Medan: Departemen histologi FKUSU. 2009.
1-32.
21. Tatum M. What are the effect of formaldehyde exposure. 2001. [Accessed on 3 desember
2011] Available from: http://www.wisegeek.com/what-are-the-effects-of-formaldehyde-
exposure.htm.
22. Mao C, Woskie S. Formaldehyde use reduction in mortuaries. University of
Massachusetts Lowell. 1994. [Accessed on 3 Desember 2011] Available from:
http://www.turi.org.
23. Paak funeral. Shipment & embalming. 2011. [Accessed on 3 Desember 2011] Available
from: https://paakfuneral.com/body-shipping.
24. Atmadja DS. Tatacara dan pelayanan pemeriksaan serta pengawetan jenazah pada
kematian wajar. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal FKUI / RSUPN
Cipto Mangunkosumo. 2002. [diakses pada 3 Desember 2011] diunduh dari:
http://www.tatacaraembalming.com.
25. Atmadja DS. Pengawetan jenazah dan aspek medikolegalnya. Majalah kedokteran
Indonesia. 2002; 52(8): 293-7. [diakses 3 Desemeber 2011] diunduh dari:
http://isjd.pdii.lipi.go.id.
26. Tim Permata Press. Kitab undang-undang hukum pidana dan Kitab undang-undang
hukum acara pidana. Jakarta: Permata Press. 2008
27. Wyoming Funeral Directors Association. Embalming history. [Accessed on 2 Desember
2011] Available from: http://www.wyfda.org/basics_3.html
28. Chew JA, Laframboise R. Applied embalming. [Accessed on 3 Desember 2011]
Available from: http://www.embalmers.com/applied.html
29. Bedino JH, Chemist. A failure to evolve: formaldehyde-driven archaism and obsolescence
in embalming. [Accessed on 3 Desember 2011] Available from:
http://www.themodernembalmer.com/archaicformaldehyde.html
30. Bagian Kedokteran Forensik FKUI. Ilmu kedokteran forensik. Jakarta : Bagian
Kedokteran Forensik FKUI. 1997.
31. Kitab undang-undang hukum perdata. Buku kesatu. [diakses 2 Desember 2011]. Diunduh
dari: http://hukum.unsrat.ac.id/uu/kolonial_kuh_perdata.pdf.
32. Wikipedia. Embalming.2011. [Assecced on 3 Desember 2011] Available from:
http://www.wikipedia.com
33. Rumililawati. Pegawetan mayat guna penelitian ilmiah menurut hukum islam. Jambi:
Badan Pengembangan dan Penelitian Daerah Provinsi Jambi. 2002. ISBN 979-9203-28-7.
34. Lawler P. is embalming a big, anti cristian deal?. 2011. [Accessed on 3 Desember 2011].
Available from: http://www.firstthings.com/postmodernconservative/2011/01/15/is-
embalming-a-big-anti-christian-deal/

Anda mungkin juga menyukai