PENDAHULUAN
1
diperlukan proses embalming. Proses embalming yang dilakukan disesuaikan
dengan kebutuhan atau kewajiban keluarga terhadap jenazah, seperti tetap
mempertahankan kesegaran jenazah, jenazah tidak berbau busuk, lentur dan tidak
kaku. Untuk memenuhi kebutuhan tesebut diperlukan suatu proses embalming
dengan metode tertentu yang menghilangkan hal-hal yang tidak diinginkan dan
memberikan keadaan jenazah yang menyerupai keadaannya sewaktu hidup.1
1.2. Tujuan
1. Untuk memenuhi tugas sari pustaka selama berada di kepaniteraan klinik
senior bagian ilmu kedokteran forensik dan medikolegal
2. Menambah pengetahuan tentang penulis dan pembaca mengenai pengawetan
jenazah.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Kultur lainnya yang mengembangkan proses pengawetan mayat termasuk
diantaranya adalah suku Inka dan Peru yang iklimnya cocok untuk dilakukan
proses mumifikasi. Masyarakat purba lain yang melakukan teknik pengawetan
mayat adalah suku Ethiopia, suku Aborigin yang mendiami Pulau Canary, bangsa
Babilonia, Persia, Syria, Yunani, Romawi, Sumeria, suku Jivaro dari Ekuador,
Guanches, dan bangsa Tibet. Studi terbaru menunjukkan bahwa suku Nigeria juga
mempraktekkan pengawetan tradisional. Wadel pada tahun 1912 yang mencatat
sejarah pengawetan mayat juga menyatakan bahwa beberapa umat Kristiani awal
melakukan pengawetan meskipun hal tersebut ditolak karena dianggap sebagai
kegiatan menyembah berhala.1
Pengawetan menyebar ke Eropa dari masyarakat purba Afrika dan Asia.
Pengawetan di Eropa dilakukan dari waktu ke waktu, terutama selama Perang
Salib, ketika orang penting pada perang tersebut menginginkan badan mereka
diawetkan untuk pemakaman yang lebih dekat dengan kampung halaman mereka.
Pada masa lampau, pengawetan jenazah dilakukan di Eropa, Asia, Afrika. Pada
Juni 1999, makam yang mengandung 10.000 mumi ditemukan dekat Bawiti, 320
km barat daya Kairo. Pada 2002, tubuh yang mengalami mumifikasi ditemukan di
pulau pada tenggara Outer Hebides, Skotlandia dan berasal dari tahun 10.000
SM.1
Metode pengawetan kontemporer lanjut terjadi pada perang sipil Amerika.
Pada masa itu pengawetan modern dimulai dan penggunaan es atau pembekuan
diperkenalkan sebagai teknik pengawetan masyarakat Amerika awal. Pengawetan
dengan injeksi arterial dimulai di Inggris pada abad ke 18 oleh ilmuan Inggris Dr.
William Harvey dengan menggunakan larutan berwarna ke arteri kadaver.
Penelitian menunjukkan bahwa ilmuan Belanda, Jerman, dan Skotlandia,
Frederich Ruysch, Griel Claurus, dan William Hunter menggunakan injeksi arteri
yang serupa untuk mengawetkan jenazah. Selama abad ke 18 William Hunter
bekerja di London menggunakan injeksi cairan yang mengandung terpentin,
minyak lavender yang diwarnai dengan warna merah untuk injeksi arteri. Ia juga
menginjeksikan minyak yang mengandung kapur barus dan wine ke rongga dada
dan perut.1
4
2.3 Tujuan Pengawetan Jenazah
Embalming dilakukan untuk tujuan mencegah terjadinya pembusukan atau
dekomposisi. Dekomposisi adalah perubahan terakhir yang terjadi (late post-
mortem periode) pada tubuh mayat setelah kematian, dimana terjadinya
pemecahan protein kompleks menjadi protein yang lebih sederhana disertai
timbulnya gas-gas pembusukan yang bau dan terjadinya perubahan warna.
Penyebab pembusukan adalah kerja bakteri komensalis seperti
Clostridium welchii, Streptococcus, Staphylicocus, Dipteroid, Proteus dan lain-
lain serta binatang-binatang seperti larva lalat, semut dan lainnya turut yang
mampu menghancurkan tubuh mayat.1
5
2.4. Indikasi dan Kontraindikasi Pengawetan Jenazah
2.4.1 Indikasi Embalming
2.4.2 Kontraindikasi
6
pembunuhan, bunuh diri dan kecelakaan. Pada kasus kematian tidak wajar,
kasusnya hendaknya segera dilaporkan ke penyidik, sesuai dengan pasal 108
KUHAP. Adapun yang termasuk dalam kategori kasus yang harus dilaporkan ke
penyidik adalah: 7
1. Kematian yang terjadi di dalam tahanan atau penjara
2. Kematian terjadi bukan karena penyakit dan bukan karena hukuman mati
3. Adanya penemuan mayat dimana penyebab dan informasi mengenai
kematiannya tidak ada
4. Keadaan kematiannya menunjukkan bahwa kemungkinan kematian akibat
perbuatan melanggar hukum.
5. Orang tersebut melakukan bunuh diri atau situasi kematiannya
mengindikasikan kematian akibat bunuh diri.
6. Kematian yang terjadi tanpa kehadiran dokter.
7. Kematian yang disaksikan dokter tetapi ia tidak dapat memastikan penyebab
kematiannya.
7
Gambar 1. Arterial embalming
B. Cavity embalming
Hisap cairan rongga tubuh mayat dan injeksi bahan kimia ke dalam rongga
tubuh, menggunakan aspirator dan trocar. Embalmer membuat sayatan kecil tepat
di atas pusar dan mendorong trocar di rongga dada dan perut untuk menusuk
organ berongga dan aspirasi cairannya. Kemudian rongga tubuh diisi dengan
bahan kimia yang mengandung formaldehid terkonsentrasi.4
8
c. Hypodermic embalming
Hypodermic embalming merupakan metode tambahan dimana injeksi
bahan kimia pengawet ke dalam jaringan dengan menggunakan jarum dan suntik
hipodermik yang biasanya digunakan pada kasus dimana area yang tidak memiliki
aliran arterial yang baik setelah dilakukan injeksi arteri.2
d. Surface embalming
Surface embalming merupakan metode tambahan yang menggunakan
bahan kimia pengawet untuk mengawetkan area langsung pada permukaan kulit
dan area superfisial lainnya dan juga area yang rusak, seperti pada kecelakaan lalu
lintas, pembusukan, pertumbuhan kanker, atau donor kulit.2
9
9. Dengan menggunakan trocar, larutan embalming dimasukkan kedalam rongga-
rongga dalam tubuh pada abdomen dan thorax, serta pada otot-otot dan sendi.
10. Cairan embalming juga dimasukkan lewat superior orbital fissure untuk
mengawetkan otak.
10
BAB III
KESIMPULAN
11
DAFTAR PUSTAKA
12