Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kematian merupakan salah satu siklus hidup yang pasti dilalui oleh setiap
orang. Secara medis penyebab kematian dapat terjadi akibat penyakit, tua,
kekerasan (rudapaksa) atau keracunan. Dilihat dari caranya, kematian dapat di
bagi menjadi kematian wajar dan kematian tidak wajar. Kematian wajar adalah
kematian yang terjadi akibat ketuaan atau penyakit. Kematian tidak wajar adalah
kematian yang terjadi akibat suatu peristiwa pembunuhan, bunuh diri, serta
kecelakaan. 
Terjadinya kematian seorang individu akan menyebabkan timbulnya serangkaian
pengurusan terhadap jenazah, yang perlu dilakukan sampai saatnya jenazah
tersebut dikubur atau dikremasi.1
Semakin tingginya mobilitas dan penyebaran penduduk ke seluruh penjuru
dunia, maka pada kematian salah seorang anggota keluarga ada kemungkinan
perlunya dilakukan penundaan penguburan/kremasi untuk menunggu kerabat
yang tinggal jauh di luar kota atau luar negeri. Kematian yang terjadi jauh dari
tempat asalnya, terkadang perlu dilakukan pengangkutan jenazah dari satu tempat
ke tempat lainnya. Kedua keadaan ini diperlukan pengawetan jenazah untuk
mencegah pembusukan dan penyebaran kuman dari jenazah ke lingkungan.
Dalam bidang kedokteran, pengawetan mayat digunakan sebagai media
pembelajaran anatomi yaitu bedah cadaver.1
Pengawetan jenazah atau embalming adalah suatu tindakan medis
melakukan pemberian bahan kimia tertentu pada jenazah untuk menghambat
pembusukan serta menjaga penampilan luar jenazah supaya tetap mirip dengan
kondisi sewaktu hidup. Pengawetan jenazah dapat dilakukan langsung pada
kematian wajar, akan tetapi pada kematian tidak wajar pengawetan jenazah baru
boleh dilakukan setelah pemeriksaan jenazah atau autopsi selesai dilakukan.1
Seiring dengan berkembangnya zaman dan adanya kebutuhan untuk
mempertahankan keadaan jenazah tetap menyerupai keadaan sewaktu hidup

1
diperlukan proses embalming. Proses embalming yang dilakukan disesuaikan
dengan kebutuhan atau kewajiban keluarga terhadap jenazah, seperti tetap
mempertahankan kesegaran jenazah, jenazah tidak berbau busuk, lentur dan tidak
kaku. Untuk memenuhi kebutuhan tesebut diperlukan suatu proses embalming
dengan metode tertentu yang menghilangkan hal-hal yang tidak diinginkan dan
memberikan keadaan jenazah yang menyerupai keadaannya sewaktu hidup.1

1.2. Tujuan
1. Untuk memenuhi tugas sari pustaka selama berada di kepaniteraan klinik
senior bagian ilmu kedokteran forensik dan medikolegal
2. Menambah pengetahuan tentang penulis dan pembaca mengenai pengawetan
jenazah.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengawetan Jenazah atau Embalming


Embalming adalah proses pengawetan jenazah untuk mempertahankan
penampilan jenazah tetap dalam kondisi yang baik untuk jangka waktu lama.
Jenazah akan mengalami pembusukan dalam waktu beberapa hari setelah
kematian, untuk mencegah atau memperlambat proses pembusukan dapat
menggunakan bahan pengawet kimia yang termasuk dalam proses embalming.
Embalming diperlukan baik untuk tubuh normal maupun tubuh membusuk dan
mayat yang akan diangkut untuk jarak jauh. Jenazah yang membusuk merupakan
tempat berkembang bakteri yang dapat menyebabkan penyebaran penyakit pada
lingkungan sekitar. Pengawetan jenazah dapat mencegah jenazah menjadi tempat
berkembangnya bakteri penyakit. Hal ini sangat diperlukan ketika jenazah
tersebut akan dikirim ke daerah lain, agar jenazah tidak menyebarkan penyakit
selama dalam pengiriman maupun ketika sudah sampai pada daerah tujuan.1,2
Orang yang melakukan tindakan embalming disebut embalmer. Embalmer
adalah seorang individu yang memenuhi syarat untuk disinfeksi atau memelihara
jenazah dengan suntikan atau aplikasi eksternal antiseptik, desinfektan atau cairan
pengawet, mempersiapkan jenazah untuk transportasi dalam kasus dimana
kematian disebabkan oleh penyakit menular atau infeksi.1

2.2 Sejarah Pengawetan Jenazah


Mesir biasanya dikaitkan dengan awal dari seni dan teknik pengawetan
mayat yang tercatat pertama kali sebelum 400 SM dan tahun 700. Pada tahun
tersebut setidaknya terdapat 730 juta badan yang dimumifikasi di Mesir dan
banyak bukti yang memperlihatkan awalnya pengawetan tersebut dilakukan
dengan tujuan keagamaan. Para rakyat Mesir percaya bahwa pengawetan mumi
dapat memberikan kekuatan bagi jiwa setelah orang tersebut meninggal, dan akan
mengembalikannya kepada mayat yang diawetkan tersebut.1

3
Kultur lainnya yang mengembangkan proses pengawetan mayat termasuk
diantaranya adalah suku Inka dan Peru yang iklimnya cocok untuk dilakukan
proses mumifikasi. Masyarakat purba lain yang melakukan teknik pengawetan
mayat adalah suku Ethiopia, suku Aborigin yang mendiami Pulau Canary, bangsa
Babilonia, Persia, Syria, Yunani, Romawi, Sumeria, suku Jivaro dari Ekuador,
Guanches, dan bangsa Tibet. Studi terbaru menunjukkan bahwa suku Nigeria juga
mempraktekkan pengawetan tradisional. Wadel pada tahun 1912 yang mencatat
sejarah pengawetan mayat juga menyatakan bahwa beberapa umat Kristiani awal
melakukan pengawetan meskipun hal tersebut ditolak karena dianggap sebagai
kegiatan menyembah berhala.1
Pengawetan menyebar ke Eropa dari masyarakat purba Afrika dan Asia.
Pengawetan di Eropa dilakukan dari waktu ke waktu, terutama selama Perang
Salib, ketika orang penting pada perang tersebut menginginkan badan mereka
diawetkan untuk pemakaman yang lebih dekat dengan kampung halaman mereka.
Pada masa lampau, pengawetan jenazah dilakukan di Eropa, Asia, Afrika. Pada
Juni 1999, makam yang mengandung 10.000 mumi ditemukan dekat Bawiti, 320
km barat daya Kairo. Pada 2002, tubuh yang mengalami mumifikasi ditemukan di
pulau pada tenggara Outer Hebides, Skotlandia dan berasal dari tahun 10.000
SM.1
Metode pengawetan kontemporer lanjut terjadi pada perang sipil Amerika.
Pada masa itu pengawetan modern dimulai dan penggunaan es atau pembekuan
diperkenalkan sebagai teknik pengawetan masyarakat Amerika awal. Pengawetan
dengan injeksi arterial dimulai di Inggris pada abad ke 18 oleh ilmuan Inggris Dr.
William Harvey dengan menggunakan larutan berwarna ke arteri kadaver.
Penelitian menunjukkan bahwa ilmuan Belanda, Jerman, dan Skotlandia,
Frederich Ruysch, Griel Claurus, dan William Hunter menggunakan injeksi arteri
yang serupa untuk mengawetkan jenazah. Selama abad ke 18 William Hunter
bekerja di London menggunakan injeksi cairan yang mengandung terpentin,
minyak lavender yang diwarnai dengan warna merah untuk injeksi arteri. Ia juga
menginjeksikan minyak yang mengandung kapur barus dan wine ke rongga dada
dan perut.1

4
2.3 Tujuan Pengawetan Jenazah
Embalming dilakukan untuk tujuan mencegah terjadinya pembusukan atau
dekomposisi. Dekomposisi adalah perubahan terakhir yang terjadi (late post-
mortem periode) pada tubuh mayat setelah kematian, dimana terjadinya
pemecahan protein kompleks menjadi protein yang lebih sederhana disertai
timbulnya gas-gas pembusukan yang bau dan terjadinya perubahan warna.
Penyebab pembusukan adalah kerja bakteri komensalis seperti
Clostridium welchii, Streptococcus, Staphylicocus, Dipteroid, Proteus dan lain-
lain serta binatang-binatang seperti larva lalat, semut dan lainnya turut yang
mampu menghancurkan tubuh mayat.1

Ada tiga alasan mengapa dilakukannya pengawetan jenazah, yaitu:2


1. Desinfeksi.
Saat seseorang meninggal, beberapa patogen akan ikut mati, namun
sebagian besar masih dapat bertahan hidup karena memiliki kemampuan
untuk bertahan hidup dalam jangka waktu lama dalam jaringan mati.
Orang yang datang dan kontak langsung dengan tubuh jenazah yang tidak
embalming dapat terinfeksi serta ada kemungkinan menjadi lalat atau
agen lain mentransfer patogen untuk manusia dan menginfeksi mereka
2. Pelestarian
Pelestarian, yaitu upaya pencegahan pembusukan dan dekomposisi
jenazah, sehingga jenazah di dikuburkan, dikremasikan tanpa bau atau
hal-hal yang tidak menyenangkan lainnya.
3. Restorasi
Restorasi, yaitu upaya untuk mengembalikan keadaan tubuh jenazah
kembali seperti masih hidup.

5
2.4. Indikasi dan Kontraindikasi Pengawetan Jenazah
2.4.1 Indikasi Embalming

Pengawetan jenazah perlu dilakukan pada keadaan:6


 Adanya penundaan penguburan atau kremasi lebih dari 24 jam: Hal ini penting
karena di Indonesia yang beriklim tropis, dalam 24 jam mayat sudah mulai
membusuk, mengeluarkan bau, dan cairan pembusukan yang dapat mencemari
lingkungan sekitarnya.
 perlu dibawa ke tempat lain: Untuk dapat mengangkut jenazah dari Jenazah
suatu tempat ke tempat lain, harus dijamin bahwa jenazah tersebut aman,
artinya tidak berbau, tidak menularkan bibit penyakit ke sekitarnya selama
proses pengangkutan. Dalam hal ini perusahaan pengangkutan, demi
reputasinya dan untuk mencegah adanya gugatan di belakang hari, harus
mensyaratkan bahwa jenazah akan diangkut telah diawetkan secara baik, yang
dibuktikan oleh suatu sertifikat pengawetan.
 Jenazah meninggal akibat penyakit menular: Jenazah yang meninggal akibat
penyakit menular akan lebih cepat membusuk dan potensial menulari petugas
kamar jenazah, keluarga serta orang-orang di sekitarnya. Pada kasus semacam
ini, walaupun penguburan atau kremasinya akan segera dilakukan, tetap
dianjurkan dilakukan embalming untuk mencegah penularan kuman/ bibit
penyakit ke sekitarnya.

2.4.2 Kontraindikasi

Embalming di Indonesia tidak dapat dilakukan pada kematian tidak wajar


sebelum dilakukan autopsi, hal ini dapat menyebabkan terjadinya kesulitan
penyidikan karena adanya bukti-bukti tindak pidana yang hilang atau berubah dan
karenanya dapat dikenakan sanksi pidana penghilangan benda bukti berdasarkan
pasal 233 KUHP. Oleh karena itu setiap kematian tidak wajar menjadi kontra
indikasi embalming.7
Setiap kematian yang terjadi akibat kekerasan atau keracunan termasuk
kematian yang tidak wajar. Cara kematian pada kematian tidak wajar adalah

6
pembunuhan, bunuh diri dan kecelakaan. Pada kasus kematian tidak wajar,
kasusnya hendaknya segera dilaporkan ke penyidik, sesuai dengan pasal 108
KUHAP. Adapun yang termasuk dalam kategori kasus yang harus dilaporkan ke
penyidik adalah: 7
1. Kematian yang terjadi di dalam tahanan atau penjara
2. Kematian terjadi bukan karena penyakit dan bukan karena hukuman mati
3. Adanya penemuan mayat dimana penyebab dan informasi mengenai
kematiannya tidak ada
4. Keadaan kematiannya menunjukkan bahwa kemungkinan kematian akibat
perbuatan melanggar hukum.
5. Orang tersebut melakukan bunuh diri atau situasi kematiannya
mengindikasikan kematian akibat bunuh diri.
6. Kematian yang terjadi tanpa kehadiran dokter.
7. Kematian yang disaksikan dokter tetapi ia tidak dapat memastikan penyebab
kematiannya.

2.5 Teknik Pengawetan Jenazah


A. Arterial embalming
Arterial embalming melibatkan injeksi bahan kimia ke dalam pembuluh
darah, biasanya melalui arteri karotis dextra dan darah dikeluarkan dari vena
jugularis. Bahan kimia disuntikkan melalui pompa mekanis atau dengan
memanfaatkan gaya gravitasi. Pijatan embalmer pada mayat untuk memastikan
distribusi yang tepat dari cairan embalming. Dalam kasus sirkulasi yang buruk,
titik injeksi lain dapat digunakan, yaitu iliaka atau arteri femoralis, pembuluh
subklavia atau aksila.4

7
Gambar 1. Arterial embalming

B. Cavity embalming
Hisap cairan rongga tubuh mayat dan injeksi bahan kimia ke dalam rongga
tubuh, menggunakan aspirator dan trocar. Embalmer membuat sayatan kecil tepat
di atas pusar dan mendorong trocar di rongga dada dan perut untuk menusuk
organ berongga dan aspirasi cairannya. Kemudian rongga tubuh diisi dengan
bahan kimia yang mengandung formaldehid terkonsentrasi.4

Gambar 2. Cavity embalming

8
c. Hypodermic embalming
Hypodermic embalming merupakan metode tambahan dimana injeksi
bahan kimia pengawet ke dalam jaringan dengan menggunakan jarum dan suntik
hipodermik yang biasanya digunakan pada kasus dimana area yang tidak memiliki
aliran arterial yang baik setelah dilakukan injeksi arteri.2

d. Surface embalming
Surface embalming merupakan metode tambahan yang menggunakan
bahan kimia pengawet untuk mengawetkan area langsung pada permukaan kulit
dan area superfisial lainnya dan juga area yang rusak, seperti pada kecelakaan lalu
lintas, pembusukan, pertumbuhan kanker, atau donor kulit.2

2.6 Proses Pengawetan Jenazah

Proses-proses pengawetan jenazah adalah sebagai berikut:1


1. Cuci jenazah atau mandikan jenazah dengan larutan desinfektan.
2. Menyiapkan larutan embalming
3. Hidung, mulut, lubang dubur, lubang vagina dan lubang telinga disumbat untuk
mencegah kebocoran.
4. Setelah itu jenazah dibaringkan dengan ekstensi penuh dan hilangkan kaku
mayat dan dilakukan insisi pada segitiga femoralis untuk mengidentifikasi
arteri femoralis.
5. Pada arteri femoralis dimasukkan trocar, sebuah pipa besi panjang untuk
mengalirkan larutan embalming. Larutan tersebut kemudian dialirkan melalui
alat pompa.
6. Selain pada arteri femoralis, pengaliran cairan pengawet juga dapat dilakukan
lewat arteri carotid, arteri aksilaris maupun vena saphenous.
7. Lakukan pengeluaran darah lewat vena jugular untuk mengurangi tekanan
secara periodik.
8. Pada rongga-rongga tubuh perlu dilakukan aspirasi terhadap cairan pada
rongga tubuh sebelum menginjeksi larutan embalming.

9
9. Dengan menggunakan trocar, larutan embalming dimasukkan kedalam rongga-
rongga dalam tubuh pada abdomen dan thorax, serta pada otot-otot dan sendi.
10. Cairan embalming juga dimasukkan lewat superior orbital fissure untuk
mengawetkan otak.

Beberapa keadaan yang dapat menyulitkan proses embalming:1


 Sumbatan pada arteri
Perlu dilakukan penyuntikan cairan embalming pada beberapa tempat untuk
memastikan distribusi cairan embalming yang baik.
 Trauma
Dilakukan surface embalming terutama pada luka-luka terbuka
 Prosedur autopsi

Pada kasus autopsi, dilakukan hal berikut:1


1. Melakukan injeksi cairan embalming dibawah kulit pada daerah-daerah dimana
sistem arterial dirusak oleh proses autopsy.
2. Merendam organ visceral pada larutan embalming minimal selama 1 jam.

10
BAB III
KESIMPULAN

Pengawetan jenazah atau embalming adalah suatu tindakan medis


melakukan pemberian bahan kimia tertentu pada jenazah untuk menghambat
pembusukan serta menjaga penampilan luar jenazah supaya tetap mirip dengan
kondisi sewaktu hidup. Embalming dilakukan untuk tujuan mencegah terjadinya
pembusukan atau dekomposisi. Formaldehyde atau formalin umumnya dipilih
sebagai pengawet karena bahan kimia ini dapat mengawetkan mayat dengan
sangat baik, selain itu formaldehyde juga dapat digunakan sebagai disinfektan
karena cukup efektif dalam membunuh sebagian besar bakteri. Namun,
penggunaan formalin memiliki ciri khas dari baunya yang menyengat. Selain
baunya yang menyengat, pemaparan formaldehyde yang berlebih dapat
menyebabkan efek samping dari gejala ringan sampai mengancam nyawa.
Pengawetan jenazah perlu dilakukan apabila adanya penundaan
penguburan atau kremasi lebih dari 24 jam, jenazah perlu dibawa ke tempat lain,
ataupun jenazah meninggal akibat penyakit menular. Pengawetan jenazah di
Indonesia tidak dapat dilakukan pada kematian tidak wajar seperti kekerasan atau
keracunan sebelum dilakukan autopsi, hal ini dapat menyebabkan terjadinya
kesulitan penyidikan karena adanya bukti-bukti tindak pidana yang hilang atau
berubah.

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Bajracharya S, Magar A. Embalming: an art of preserving human body.


Kath Univ Med J. 2006; 4(4): 554-557
2. Batra AP, Khurana BS, Mahajan A, Kaur N. Embalming and Other
Methods of Dead Body Preservation. International Journal of Medical
Toxicology & Legal Medicine 2010; 12(3).
3. WHO, Formaldehyde on Air Quality Guideline 2nd ed Copenhagen,
Denmark, 2001 [Accessed on 9 Januari 2020] Available from:
http://www.euro.who.int/__data/assets/pdf_file/0014/123062/AQG2ndEd_
5_8Formaldehyde.pdf
4. Bedino JH. Embalming chemistry: glutaraldehyde versus formaldehyde.
Expanding encyclopedia of mortuary practices. 2003; 649. [Accessed on 8
Januari 2020] Available from:http://www.champion-
newera.com/CHAMP.PDFS/encyclo649.pdf
5. Mao C, Woskie S. Formaldehyde use reduction in mortuaries. University of
Massachusetts Lowell. 1994. [Accessed on 8 Januari 2020] Available from:
http://www.turi.org.
6. Atmadja DS. Tatacara dan pelayanan pemeriksaan serta pengawetan
jenazah pada kematian wajar. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik dan
Medikolegal FKUI / RSUPN Cipto Mangunkosumo. 2002. [Accessed on 8
Januari 2020] diunduh dari: http://www.tatacaraembalming.com
7. Utomo RP. Pengawetan jenazah (embalming). Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan. 2019;
[Accessed on 8 Januari 2020] diunduh dari:
http://yankes.kemkes.go.id/read-pengawetanjenazah(embalming).html

12

Anda mungkin juga menyukai