Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Embalming atau pengawetan jenazah merupakan suatu tindakan medis

dengan melakukan pemberian bahan kimia tertentu pada jenazah untuk

menghambat pembusukan serta menjaga penampilan luar jenazah supaya tetap

mirip dengan konsisi sewaktu hidup.1 Tindakan ini telah ada sejak zaman Mesir

Kuno dan masih dilakukan sampai sekarang. Metode yang digunakan pun telah

berkembang dari zaman ke zaman. Dari embalming menggunakan larutan natron

(neutral carbonate of sodium) pada zaman mesir kuno sampai penggunaan

formaldehyde melalui injeksi arteri di zaman modern.

Embalming tidak hanya dilakukan kepada jasad penguasa besar, orang

biasa pun dapat melakukannya. Biasanya embalming dilakukan atas permintaan

keluarga. Keluarga yang menghendaki embalming untuk anggota keluarganya,

beranggapan bahwa penampilan di saat terakhir, secara fisik lebih dapat diterima

dan menjaga wibawa anggota keluarga yang telah meninggal dunia. Keluarga

mengatakan bahwa jenazah yang diembalming terlihat lebih damai dan terlihat

seperti manusia lagi.2

Alasan melakukan embalming bermacam macam. Misalnya apabila

seseorang meninggal di suatu tempat dan atas keinginan keluarga atau wasiat

almarhum ingin dimakamkan di daerah asalnya sedangkan butuh waktu beberapa

hari untuk mencapai tujuan, maka embalming dilakukan untuk mencegah

pembusukan saat dipindahkan. Selain itu embalming juga dilakukan untuk

1
kepentingan ilmu pengetahuan baik untuk penelitian maupun pendidikan. Adapun

embalming juga dilakukan untuk adat, kebiasaan, atau agama.

Embalming menjadi masalah saat diketahui bahwa jenazah mempunyai

riwayat penyakit infeksi seperti tuberkulosis, hepatitis, HIV, dan lain lain. Hal

ini membuat kecurigaan bahwa kuman dari jenazah tersebut dapat menular ke

sekitarnya. Beberapa negara membuat aturan larangan embalming dalam hal

tersebut seperti Belgia, Belanda, Luxemburg, Denmark, dan negara negara

skandinavia. Di Prancis yang merupakan negara yang melegalkan pun membatasi

embalming hanya pada jenazah yang mempunyai riwayat penyakit infeksi.

Namun, Inggris dan Kanada membolehkan embalming pada jenazah yang

mempunyai riwayat penyakit infeksi dengan prosedur yang khusus.2

Indonesia termasuk negara dengan penyakit infeksi yang tinggi. 35

Menurut data WHO tahun 2013 tercatat 183 kasus Tuberculosis tiap 100.000

orang.6 Untuk HIV sendiri ditemukan 32.711 kasus baru tahun 2014 di Indonesia. 3

Hal ini mengakibatkan semakin besar kemungkinan jenazah yang yang

mempunyai riwayat penyakit infeksi. Pekerja yang banyak berurusan dengan

jenazah seperti dokter dan petugas jenazah menjadi kelompok yang berisiko tinggi

tertular penyakit dari jenazah. Pemeriksaan yang berkaitan dengan jenazah seperti

autopsi ataupun tindakan seperti embalming menjadi perhatian khusus karena hal

tersebut. Oleh karena itu, embalming pada jenazah infeksius penting dan menarik

untuk ditinjau dari berbagai aspek.

2
1.2 Permasalahan

1. Bagaimana prosedur embalming dilakukan dan apa indikasinya?

2. Bagaimana penanganan jenazah dengan penyakit infeksi?

3. Bagaimana sudut pandang agama terhadap embalming?

4. Bagaimana aspek hukum dan etika yang mengatur embalming di luar

negeri dan Indonesia, khususnya pada jenazah infeksius?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui indikasi dan prosedur embalming.

2. Mengetahui aspek kesehatan embalming pada jenazah penyakit infeksi.

3. Mengetahui sudut pandang agama terhadap embalming.

4. Mengetahui aspek hukum dan etika tentang embalming di luar negeri dan

Indonesia.

1.4 Manfaat

1. Manfaat untuk ilmu pengetahuan: Menambah khasanah pengetahuan

tentang embalming khususnya pada jenazah dengan penyakit infeksius.

2. Manfaat untuk masyarakat: Memberi informasi mengenai embalming dan

penularan infeksi dari jenazah.

3. Manfaat untuk pelayanan kesehatan: Memberikan informasi tentang

kewaspadaan dalam penanganan jenazah dan penularan penyakit dari

jenazah.

3
BAB II

CONTOH KASUS DAN PEMBAHASAN

2.1 Kasus A.7

Pada Bulan Juni 1995, di New York, seorang wanita 34 tahun datang ke

dokter dengan keluhan demam dan penurunan berat badan. Pada waktu itu

diketahui HIV positif. Pada pemeriksaan awal ditemukan limfadenopati

retroperitoneal, yang pada biopsi dan kultur menunjukkan Mycobacterium

tuberculosis. Kultur Darah juga positif untuk Mycobacterium tuberculosis. Dari

hasil pemeriksaan, diketahui organisme tersebut sensitif terhadap semua obat lini

pertama TB.

Ketidakpatuhan minum obat kemudian menimbulkan masalah. Tak lama

setelah memulai pengobatan pada awal Juli 1995, Pasien akhirnya dirawat oleh

dokter pribadi untuk pengawasan secara langsung. Pengawas minum obat

diberikan oleh departemen kesehatan, yang kemudian dilanjutkan oleh ibu pasien.

Walaupun pasien mendapat terapi 4 obat, dia hanya mendapat 300 mg rifampin

sehari, bukan 600 mg perhari. Pada Agustus 1996, pasien mengalami adenopati

servikal. Kultur dari kelenjar limfe menunjukkan hasil positif untuk

Mycobacterium tuberculosis, dan dari tes sensitivitas diketahui resistan terhadap

obat rifampin saja. Pada Oktober 1996, dilakukan pemeriksaan lanjutan radiografi

thoraks, dan hasil menunjukkan adanya infiltrat paru. Pasien meninggal karena

gagal napas pada November 1996.

4
2.2 Kasus B.7

Tahun 1993, di New York, seorang pasien wanita 48 tahun tanpa masalah

medis selain hipertensi, mengalami dispneu dan batuk kering. Pasien diminta

untuk foto thorax curiga sarcoidosis dan bronkoskopi dengan biopsi transbronkial,

yang kemudian tidak memberikan hasil yang berarti. Pada saat itu, hasil

pemeriksaan skin test derivat protein murni untuk TB dinyatakan negatif.

Gambaran klinis dan radiologis paling cocok dengan sarcoidosis, terlepas dari

hasil biopsi transbronkial yang nondiagnostik. Karena itu, pasien diberikan terapi

steroid sistemik per oral (prednisone). Pasien menunjukkan respon klinis yang

baik, dan tidak pernah kontrol rutin. Sampai akhirnya pada Desember 1996,

pasien datang kembali dengan keluhan dispneu dan batuk kering lagi. Diberikan

prednisone dan oksigen, lalu keadaannya membaik. Pasien tidak lagi mendapatkan

prednisone atau apapun terapi untuk sarcoidosis selama 2 tahun. Dosis prednisone

mulai tapering off sejak Februari 1997, dan dispneu serta batuk keringnya

bertambah parah.

Pada Maret 1997, terapi prednisone ditambahkan dengan siklofosfamid

peroral. Pada April 1997, dilakukan bronkoskopi dengan biopsy transbronkial.

Hasil histologis biopsi spesimen negatif, dan pada pengecatan juga menunjukkan

hasil negatif untuk semua organisme. Terapi siklofosfamid dihentikan, lalu pasien

diberikan terapi empiris untuk pneumonia atipikal, yaitu clarithromycin.

Pasien kembali dirawat pada bulan Juli 1997 dan dirujuk untuk

transplantasi paru. Saat dirawat, pasien meninggal dunia. 3 hari sebelum pasien

5
meninggal, kultur dari bronkoskopi pada bulan April menunjukkan hasil positif

untuk M. tuberculosis, dan pada uji sensitivitas antibiotic diketahui bahwa

organisme tersebut tergolong rifampin monoresistant (RMR).

Telah diketahui bahwa pasien pada kasus sumber telah diembalming oleh

pasien pada kasus kedua 1 bulan sebelum pasien kedua jatuh sakit, survei

dilakukan dalam dua bagian. Bagian pertama melibatkan penijauan catatan yang

tersedia dari embalming, termasuk sertifikat kematian, dan juga peninjauan

prosedur yang digunakan untuk embalming. Bagian kedua dilakukan oleh teknisi

untuk mengukur jumlah pergantian udara perjam.

2.3 Pembahasan Kasus

2.3.1. Aspek Kesehatan

Ada 3 kemungkinan transmisi TB pada dua orang tersebut. Pertama,

terjadi kontak antar orang tersebut di luar ruang pengawetan jenazah yang

menghindari investigasi kontak. Hal ini dianggap kurang mungkin karena dari

berbagai wawancara yang dilakukan oleh berbagai orang pada awal investigasi

kontak dan secara retrospektif setelah ditentukan bahwa kedua kasus

berhubungan. Dua kemungkinan yang lain dari kasus ini berfokus pada ruang

pengawetan jenazah. Selama menangani jenazah, perpindahan tubuh dapat

menyebabkan pengeluaran udara dari rongga dada dan berdampak pada pelepasan

Mycobacterium Tuberculosis dalam bentuk aerosol. Walaupun hal ini mungkin,

volume udara yang dikeluarkan kelihatan tidak cukup untuk mencapai batas

jumlah droplet nuclei yang dapat menyebabkan infeksi pada kasus yang kedua.

6
Penjelasan yang lebih mungkin, yaitu dari prosedur embalming itu sendiri. Saat

rongga tubuh ditembus dan cairan tubuh dikeluarkan dari perut dan dada, tubercle

bacili pada jumlah besar dapat masuk ke dalam alat penyedot. Saat isi penyedot

dibuang, tubercle bacili dapat menguap bila bercampur dengan air dan dapat

terpercik. Hal ini terjadi khususnya pada orang dengan disseminated disease,

seperti pada pasien kasus in.7

Pada umumnya, pencegahan dilakukan dengan penggunaan masker,

kewaspadaan uiversal, dan sistem ventilasi yang memadai. Pada investigasi lebih

lanjut, ternyata diketahui bahwa masker yang dipakai secara rutin merupakan

masker bedah, yang tidak menunjukkan perlindungan yang teruji terhadap

penyebaran Mycobacterium Tuberculosis. Lebih jauh lagi, walau tingkat ventilasi

melebihi 25 kali perganitian udara tiap jam, yang dapat mengurangi 99%

kontaminan udara setelah 11 menit, penghentian exhaust fan segera setelah

embalming selesai dianggap dapat meninggalkan partikel infeksius di udara.7

2.3.2 Aspek Hukum

Menurut Departemen Kesehatan New York, rumah duka tidak boleh

menolak untuk melakukan embalming atau menangani jenazah terlepas dari

apapun penyebab kematiannya. Selain itu rumah duka juga tidak diperkenankan

meminta biaya tambahan untuk menangani jenazah yang mengalami penyakit

infeksi, seperti AIDS, Hepatitis B atau Tuberkulosis.8

Dalam rekomendasi tertanggal 27 November 2009, Dewan Tinggi

Kesehatan Masyarakat Perancis secara tegas tetap melanjutkan ketetapan

7
sebelumnya sejak 1998, yang melarang embalming untuk 13 penyakit infeksi.

Inggris dan Kanada merupakan negara yang memperbolehkan embalming,

terutama untuk pasien HIV, Hepatitis B, dan Tuberkulosis. Beberapa negara

membuat aturan larangan embalming seperti Belgia, Belanda, Luxemburg,

Denmark, dan negara negara Skandinavia dikarenakan masalah infeksi dan

paparan terhadap formaldehid.2

Di Indonesia embalming hanya boleh dilakukan oleh dokter pada mayat

yang meninggal secara wajar (natural death), sedangkan pada mayat yang

meninggal tidak wajar (akibat pembunuhan, bunuh diri, serta kecelakaan)

embalming baru boleh dilakukan setelah proses pemeriksaan forensik selesai

dilakukan.9

Embalming sebelum otopsi dapat menyebabkan perubahan serta hilangnya

atau berubahnya beberapa fakta forensik. Dokter yang melakukan hal tersebut

dapat diancam hukuman karena melakukan tindak pidana menghilangkan barang

bukti berdasarkan pasal 233 KUHP. Bunyi pasal 233 KUHP adalah Barang siapa

dengan sengaja menghancurkan, merusak, membikin tak dapat dipakai,

menghilangkan barang-barang yang digunakan untuk meyakinkan atau

membuktikan sesuatu di muka penguasa yang berwenang, akta-akta, surat-surat

atau daftar-daftar yang atas perintah penguasa umum, terus-menerus atau untuk

sementara waktu disimpan, atau diserahkan kepada seorang pejabat, ataupun

kepada orang lain untuk kepentingan umum, diancam dengan pidana penjara

paling lama empat tahun.10

2.3.3 Aspek Etika Klinis

8
Pada kasus dengan jenazah yang meninggal akibat penyakit menular akan

lebih cepat membusuk dan potensial menulari petugas kamar jenazah, keluarga

serta orang-orang di sekitarnya. Pada kasus semacam ini, walaupun penguburan

atau kremasinya akan segera dilakukan, tetap dianjurkan dilakukan embalming

untuk mencegah penularan kuman/ bibit penyakit ke sekitarnya.11

Pada kasus ini, pilihan embalming terletak pada keputusan pasien. Jadi,

untuk dapat mengangkut jenazah dari suatu tempat ke tempat lain, harus dijamin

bahwa jenazah tersebut aman, artinya tidak berbau, tidak menularkan bibit

penyakit ke sekitarnya selama proses pengangkutan. Dalam hal ini perusahaan

pengangkutan, demi reputasinya dan untuk mencegah adanya gugatan di belakang

hari, harus mensyaratkan bahwa jenazah akan diangkut telah diawetkan secara

baik, yang dibuktikan oleh suatu sertifikat pengawetan.11

Pada kasus embalming jenazah, perlu dianalisis apakah terdapat

kepentingan pihak-pihak lain selain pasien, seperti dari pihak keluarga maupun

institusi profesional. Selain itu, kasus ini juga perlu dianalisis dari isu legal serta

isu agama. Di Indonesia belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur

mengenai pengawetan jenazah khususnya pada pasien infeksius. Isu legal ini jelas

akan mempengaruhi keputusan klinis dokter. Keinginan keluarga hendaknya

dipertimbangkan walaupun jenazah tersebut infeksius. Peningkatan kewaspadaan

seperti penggunaan sarung tangan ganda, vaksinasi, dan tempat yang memadai

dapat mencegah penularan penyakit infeksi dari jenazah ke embalmer, sehingga

embalmer dapat melakukan embalming tanpa masalah.11

9
2.3.4 Aspek Agama

Dari sudut pandang agama Islam, embalming tidak di perbolehkan karena

agama Islam mewajibkan jenazah untuk dikuburkan dalam waktu 24 jam dari

kematian. Seorang muslim percaya bahwa roh akan tetap berada di tubuhnya dari

mulai kematian sampai setelah pemakaman. Tetapi untuk kasus tertentu seperti

pendidikan, hukum embalming ini dapat menjadi mubah, dengan syarat segera

dikuburkan setelah urusan terhadap jenazah selesai.12

Menurut Kristen, embalming tidak masalah untuk dilakukan. Sebagian

besar tokoh agama Kristen mengatakan bahwa pengawetan dapat dilakukan.

Beberapa badan organisasi dalam Ortodoksi Timur mengatakan untuk dilakukan

pengawetan kecuali jika diwajibkan oleh hukum atau keharusan lainnya,

sedangkan yang lain mungkin mencegah, tetapi tidak melarang juga untuk

dilakukan untuk dilakukan pengawetan. Secara umum keputusan untuk dilakukan

pengawetan adalah salah satu yangditentukan oleh keluarga jenazah dan kebijakan

gereja tertentu.13

Pengawetan jenazah tidak dilarang dalam ajaran agama Buddha dan

Hindu. Sehubungan jenazah akan dikremasikan maka pengawetan jenazah tidak

wajib untuk dilakukan.14

10
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Embalming

3.1.1 Definisi

Embalming (pengawetan jenazah) adalah suatu proses dimana dilakukan

pemberian bermacam-macam bahan kimia tertentu pada interior dan eksterior

jaringan orang mati (menghambat dekomposisi jaringan) dan membuat serta

menjaganya tetap mirip dengan kondisi sewaktu hidup sesuai dengan waktu yang

diperlukan, dengan kata lain embalming adalah proses kimiawi yang melindungi

jasad atau tubuh secara sementara.1

Orang yang melakukan tindakan embalming disebut embalmer. Embalmer

adalah seorang individu yang memenuhi syarat untuk disinfeksi atau memelihara

jenazah dengan suntikan atau aplikasi eksternal antiseptik, desinfektan atau cairan

pengawet, mempersiapkan jenazah untuk transportasi dalam kasus dimana

kematian disebabkan oleh penyakit menular atau infeksi.15

3.1.2 Tujuan

Ada tiga alasan mengapa dilakukannya embalming, yaitu:16

1. Desinfeksi.
Saat seseorang meninggal, beberapa patogen akan ikut mati, namun sebagian

besar masih dapat bertahan hidup karena memiliki kemampuan untuk

bertahan hidup dalam jangka waktu lama dalam jaringan mati. Serta ada

11
kemungkinan menjadi lalat atau agen lain mentransfer patogen untuk manusia

dan menginfeksi mereka.


2. Pelestarian
Pelestarian, yaitu upaya pencegahan pembusukan dan dekomposisi jenazah,

sehingga jenazah di dikuburkan, dikremasikan tanpa bau atau hal-hal yang

tidak menyenangkan lainnya.


3. Restorasi
Restorasi, yaitu upaya untuk mengembalikan keadaan tubuh jenazah kembali

seperti masih hidup.

3.1.3 Jenis dan Prosedur

Proses embalming dimulai dengan mencuci tubuh mayat secara menyeluruh

dan disinfeksi tubuh. Jika ada luka terbuka, lakukan penjahitan pada luka tersebut.

Daerah mulut, hidung, serta lubang lainnya dibersihkan dan ditutup untuk

mencegah ekskresi yang dapat menjadi sumber penyakit atau infeksi.1

Bahan pengawet kimia kemudian disuntikkan ke dalam tubuh melalui satu

arteri atau lebih, sementara cairan tubuh dikeluarkan melalui pembuluh darah

yang sesuai (Arterial dan Cavity Embalming). Bahan pengawet kimia dapat

membunuh bakteri dan mengawetkan mayat dengan mengubah struktur fisik dari

protein tubuh, sehingga tidak dapat lagi berfungsi sebagai host untuk

pertumbuhan bakteri. Dengan demikian proses dekomposisi dapat dihambat dan

jenazah dapat diawetkan.1

A. Arterial Embalming

12
Arterial embalming melibatkan injeksi bahan kimia ke dalam pembuluh

darah, biasanya melalui arteri carotis dextra dan darah dikeluarkan dari vena

jugularis. Bahan kimia disuntikkan melalui pompa mekanis atau dengan

memanfaatkan gaya gravitasi. Pijatan embalmer pada mayat untuk memastikan

distribusi yang tepat dari cairan embalming. Dalam kasus sirkulasi yang buruk,

titik injeksi lain dapat digunakan, yaitu arteri iliaka atau arteri femoralis,

pembuluh darah subklavia atau aksila.16

B. Cavity Embalming

Cairan di dalam rongga tubuh mayat diaspirasi dan bahan kimia diinjeksikan

ke dalam rongga tubuh dengan menggunakan aspirator dan trocar. Trocar yang

panjang, runcing, dan adanya tabung logam yang melekat pada selang

pengaspirasi disisipkan dekat dengan pusar. Embalmer menggunakan itu untuk

menusuk perut, kandung kemih, usus besar, dan paru. Gas dan cairan tubuh

diaspirasi yang kemudian rongga tubuh diisi dengan bahan kimia yang

mengandung formaldehid terkonsentrasi.16

C. Hypodermic Embalming

Hypodermic Embalming merupakan metode tambahan dimana injeksi bahan

kimia pengawet ke dalam jaringan dengan menggunakan jarum dan suntik

hipodermik yang biasanya digunakan pada kasus dimana area yang tidak memiliki

aliran arterial yang baik setelah dilakukan injeksi arteri.16

D. Surface Embalming

13
Surface Embalming merupakan metode tambahan yang menggunakan bahan

kimia pengawet untuk mengawetkan area langsung pada permukaan kulit dan area

superfisial lainnya dan juga area yang rusak, seperti pada kecelakaan lalu lintas,

penbusukan, pertumbuhan kanker, atau donor kulit.16

3.1.4 Indikasi

Pengawetan jenazah perlu dilakukan pada keadaan:1

- Adanya penundaan penguburan atau kremasi lebih dari 24 jam: Hal ini

penting karena di Indonesia yang beriklim tropis, dalam 24 jam mayat

sudah mulai membusuk, mengeluarkan bau, dan cairan pembusukan yang

dapat mencemari lingkungan sekitarnya.


- Jenazah perlu dibawa ke tempat lain: Untuk dapat mengangkut jenazah dari

suatu tempat ke tempat lain, harus dijamin bahwa jenazah tersebut aman,

artinya tidak berbau, tidak menularkan bibit penyakit ke sekitarnya selama

proses pengangkutan. Dalam hal ini perusahaan pengangkutan, demi

reputasinya dan untuk mencegah adanya gugatan di belakang hari, harus

mensyaratkan bahwa jenazah akan diangkut telah diawetkan secara baik,

yang dibuktikan oleh suatu sertifikat pengawetan.


- Jenazah meninggal akibat penyakit menular: Jenazah yang meninggal

akibat penyakit menular akan lebih cepat membusuk dan potensial

menulari petugas kamar jenazah, keluarga serta orang-orang di sekitarnya.

Pada kasus semacam ini, walaupun penguburan atau kremasinya akan

segera dilakukan, tetap dianjurkan dilakukan embalming untuk mencegah

penularan kuman/ bibit penyakit ke sekitarnya.

14
3.1.5 Kontraindikasi

Embalming di Indonesia tidak dapat dilakukan pada kematian tidak wajar

sebelum dilakukan autopsi, hal ini dapat menyebabkan terjadinya kesulitan

penyidikan karena adanya bukti-bukti tindak pidana yang hilang atau berubah dan

karenanya dapat dikenakan sanksi pidana penghilangan benda bukti berdasarkan

pasal 233 KUHP. Oleh karena itu setiap kematian tidak wajar menjadi kontra

indikasi embalming.1

Setiap kematian yang terjadi akibat kekerasan atau keracunan termasuk

kematian yang tidak wajar. Cara kematian pada kematian tidak wajar adalah

pembunuhan, bunuh diri dan kecelakaan. Pada kasus kematian tidak wajar,

kasusnya hendaknya segera dilaporkan ke penyidik, sesuai dengan pasal 108

KUHAP. Adapun yang termasuk dalam kategori kasus yang harus dilaporkan ke

penyidik adalah:1

1. Kematian yang terjadi di dalam tahanan atau penjara


2. Kematian terjadi bukan karena penyakit dan bukan karena hukuman mati
3. Adanya penemuan mayat dimana penyebab dan informasi mengenai

kematiannya tidak ada


4. Keadaan kematiannya menunjukkan bahwa kemungkinan kematian akibat

perbuatan melanggar hukum.


5. Orang tersebut melakukan bunuh diri atau situasi kematiannya

mengindikasikan kematian akibat bunuh diri.


6. Kematian yang terjadi tanpa kehadiran dokter.
7. Kematian yang disaksikan dokter tetapi ia tidak dapat memastikan penyebab

kematiannya.

3.2 Penanganan Jenazah dengan Penyakit Infeksi

15
3.2.1 Pengertian Infeksi

Infeksi adalah proses patologis yang mencakup dirusakannya jaringan

tubuh oleh mikroorganisme ataupun substansia toksik yang dihasilkannya.

(Community Infection Control Team, 1999). Mikroorganisme patogenik seperti

bakteri, virus, dan jamur dapat menyebabkan penyakit infeksi. Singkatnya,

penyakit infeksi merupakan hasil dari adanya agen mikroba serta aktivitasnya

yang dapat menular. Penularan penyakit infeksi dapat terjadi melalui berbagai cara

paparan, seperti:17

Inhalation ketika airborne aerosols ataupun droplet yang terkontaminasi

mikroorganisme terhirup oleh seseorang.

Mucocutaneous kontak langsung antara mikroorganisme dan kulit atau mata.

Percutaneous ketika organisme penyebab menembus kulit yang utuh, misalnya

melalui tusukan jarum suntik.

Ingestion ketika mikroorganisme masuk ke tubuh melalui makanan atau

minuman seseorang, biasanya karena hygiene yang kurang baik.

3.2.2 Klasifikasi Jenazah Infeksius

Semua jenazah memiliki potensi infeksius, maka kewaspadaan standar

seharusnya selalu diterapkan dalam kasus apapun. Walaupun sebagian besar

mikroorganisme pada tubuh jenazah jarang menginfeksi tubuh orang sehat,

beberapa agen infeksi masih bisa ditransmisikan ketika seseorang ada kontak

dengan darah, cairan tubuh, ataupun jaringan dari tubuh jenazah dari orang

16
dengan penyakit infeksius. Untuk meminimalisir risiko transmisi dari penyakit-

penyakit menular tertentu, dalam penanganan kasus jenazah pasien infeksius,

paparan antara petugas dan darah, cairan, dan jaringan tubuh jenazah harus

seminimal mungkin. Pendekatan yang paling mungkin dilakukan yaitu mencakup

pelatihan dan pendidikan staf, lingkungan kerja yang aman, penggunaan alat

pelindung diri (APD), dan vaksin Hepatitis B.18

Klasifikasi penyakit pada jenazah dan cara penanganannya, menurut Northwest

Territory Health and Social Services:19

1. Risiko Sangat Tinggi (Very High Risk)

- Harus menggunakan kantung jenazah

- Tidak boleh dilakukan embalming

- Jenazah tidak boleh dilihat dan disentuh.

- Jenazah tidak boleh dibersihkan.

- Kewaspadaan untuk penyakit airborne

- Jenazah dipakaikan masker

Penyakit yang termasuk golongan ini:

- Anthrax.

- Lassa, Ebola, Marburg dan demam berdarah akibat virus lainnya.

- Yellow fever.

- Plague.

17
- Rabies.

- SARS (Dinas Kesehatan Kanada mengizinkan keluarga untuk melihat

jenazah dengan menggunakan alat pelindung diri dan dalam jarak 2 meter)

- Septicemia akibat infeksi Streptococcus Group A, jika pasien sebelumnya

mendapat terapi antibiotic kurang dari 24 jam

- Smallpox.

2. Risiko Tinggi (High Risk)

- Harus menggunakan kantung jenazah

- Sebaiknya tidak dilakukan embalming

- Pemulasaraan jenazah harus dilakukan di bawah supervisi atau pengawasan

dan kewaspadaan standar

- Kewaspadaan terhadap droplet

- Jenazah di pakaikan masker

Penyakit yang yang termasuk golongan ini:

- Penyakit Creutzfeldt-Jacob dan transmissible spongioform

encephalopathies lainnya

- Typhus

- Hepatitis B, C, dan D

18
- HIV/AIDS: Jenazah dengan HIV/AIDS mungkin saja memiliki penyakit

infeksi lainnya seperti tuberculosis, yang lebih infeksius dari HIV/AIDS itu

sendiri.

3. Risiko Sedang (Medium Risk)

- Kantong jenazah di sarankan untuk mencegah kebocoran cairan tubuh.

- Jenazah boleh dimandikan dengan prosedur yang sesuai

- Jenazah diperbolehkan untuk dilihat dan disentuh sesuai dengan prosedur

- Boleh dilakukan embalming

- Jenazah dipakaikan masker

Penyakit yang termasuk dalam kategori ini:

- Kolera

- Difteri

- Disentri (amuba atau basiler)

- Infeksi meningokokus (yang belum diobati)

- MRSA

- Demam tidoid atau paratifoid

- Demam berulang

- Scarlet fever

- Tuberkulosis

19
- Brucellosis

- Salmonellosis

- VRE

4. Risiko Rendah (Low Risk):

- Jenazah tidak perlu dimasukan kantung jenazah

- Jenazah boleh dimandikan

- Jenazah boleh disentuh dan dilihat

- Boleh dilakukan embalming

- Alat pelindung diri dan mencuci tangan tetap harus dilakukan bagi setiap

petugas yang menangani jenazah.

3.2.3 Prinsip Dalam Pemulasaraan Jenazah Penyakit Infeksi:20

1. Selalu menerapkan Kewaspadaan Universal (memperlakukan setiap

cairan tubuh, darah dan jaringan tubuh manusia sebagai bahan yang

infeksius).

2. Pastikan jenazah sudah didiamkan selama kurang lebih 4 (empat) jam

sebelum dilakukan perawatan jenazah. Ini perlu dilakukan untuk

memastikan kematian seluler (matinya seluruh sel dalam tubuh).

3. Tidak mengabaikan budaya dan agama yang dianut keluarga.

4. Tindakan petugas mampu mencegah penularan.

20
3.2.4 Ketentuan Umum Penanganan Jenazah :20

1. Semua petugas/keluarga/masyarakat yang menangani jenazah sebaiknya

telah mendapatkan vaksinasi Hepatitis-B sebelum melaksanakan

pemulasaraan jenazah (catatan: efektivitas vaksinasi Hepatitis-B selama 5

tahun).

2. Hindari kontak langsung dengan darah atau cairan tubuh lainnya.

3. Luka dan bekas suntikan pada jenazah diberikan desinfektan.

4. Semua lubang-lubang tubuh, ditutup dengan kasa absorben dan diplester

kedap air.

5. Badan jenazah harus bersih dan kering.

6. Jenazah yang sudah dibungkus tidak boleh di buka lagi.

7. Jenazah tidak boleh dibalsem atau disuntik untuk pengawetan atau autopsi,

kecuali oleh petugas khusus.

8. Dalam hal tertentu autopsi hanya dapat dilakukan setelah mendapat

persetujuan dari pimpinan Rumah Sakit.

3.2.5 Kewaspadaan Universal Pada Pemulasaraan Jenazah

Kewaspadaan Universal (Universal Precautions) adalah tindakan

pengendalian infeksi sederhana yang digunakan oleh seluruh petugas

21
kesehatan/keluarga/masyarakat dalam rangka mengurangi resiko penyebaran

infeksi.20 Secara umum, Kewaspadaan Universal meliputi :

1. Pengelolaan alat kesehatan habis pakai.

2. Cuci tangan dengan sabun guna mencegah infeksi silang.

3. Pemakaian alat pelindung diri, misalnya pemakaian sarung tangan untuk

mencegah kontak dengan darah serta cairan infeksius yang lain.

4. Pengelolaan jarum dan alat tajam untuk mencegah perlukaan.

5. Pengelolaan limbah dan sanitasi ruangan.

6. Desinfeksi dan sterilisasi untuk alat yang digunakan ulang.

7. Pengelolaan linen.

3.2.5.1 Tujuan Kewaspadaan Universal Pemulasaraan Jenazah Pasien Infeksi :

1. Agar prosedur pemulasaraan jenazah dengan HIV & AIDS berjalan dengan

baik dan teratur.

2. Meminimalkan risiko penularan virus HIV ataupun penyakit menular

lainnya dari jenazah ke petugas/keluarga/ masyarakat yang menangani.

3. Memberikan rasa aman pada petugas/keluarga/masyarakat.

4. Memberikan rasa aman pada lingkungan tempat dirawatnya jenazah.

3.2.5.2 Prosedur Kewaspadaan Universal Pemulasaraan Jenazah :

22
1. Periksa ada atau tidaknya luka terbuka pada tangan atau kaki petugas yang

akan memandikan jenazah. Jika didapatkan luka terbuka atau borok pada

tangan atau kaki, petugas tidak boleh memandikan jenazah.

2. Kenakan gaun pelindung.

3. Kenakan sepatu boot dari karet.

4. Kenakan celemek plastik.

5. Kenakan masker pelindung mulut dan hidung.

6. Kenakan kacamata pelindung.

7. Kenakan sarung tangan karet.

8. Setelah jenazah selesai dimandikan, siram meja tempat memandikan

jenazah dengan larutan klorin 0,5%, lalu bilas dengan air mengalir.

9. Rendam tangan yang masih mengenakan sarung tangan karet dalam

larutan klorin 0,5%, lalu bilas dengan sabun dan air mengalir.

10. Lepaskan kacamata pelindung, lalu rendam dalam larutan klorin 0,5%.

11. Lepaskan masker pelindung, buang ke tempat sampah medis.

12. Lepaskan celemek plastik, buang ke tempat sampah medis.

13. Lepaskan gaun pelindung, rendam pada larutan klorin 0,5%.

14. Celupkan bagian luar sepatu pada lautan klorin 0,5%, bilas dengan air

bersih lalu lepaskan sepatu dan letakkan di tempat semula.

23
15. Terakhir lepaskan sarung tangan plastik, buang ke tempat sampah medis.

3.3 Embalming dari Sudut Pandang Agama

Terdapat banyak perbedaan pendapat antara agama yang berbeda mengenai

kebolehan pengawetan jenazah:

3.3.1 Sudut Pandang Agama Islam


Di masyarakat yang mayoritas penduduknya beragama Islam adalah larangan

dilakukannya pengawetan karena agama Islam mewajibkan jenazah untuk

dikuburkan dalam waktu 24 jam dari kematian. Seorang muslim percaya bahwa

roh akan tetap berada di tubuhnya dari mulai kematian sampai setelah

pemakaman. Tetapi untuk kasus tertentu seperti pendidikan, hukum embalming ini

dapat menjadi mubah, dengan syarat segera dikuburkan setelah urusan terhadap

jenazah selesai.12
Mengawetkan mayat dengan tujuan bukan untuk dikuburkan seperti untuk

pajangan maka ini tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan syariat Islam.

Hal ini berlawanan dengan firman Allah:21

24
3.3.2 Sudut Pandang Agama Kristen dan Katholik
Sebagian besar tokoh agama Kristen mengatakan bahwa pengawetan dapat

dilakukan. Beberapa badan organisasi dalam Ortodoksi Timur mengatakan untuk

dilakukan pengawetan kecuali jika diwajibkan oleh hukum atau keharusan

lainnya, sedangkan yang lain mungkin mencegah, tetapi tidak melarang juga

untuk dilakukan untuk dilakukan pengawetan. Secara umum keputusan untuk

dilakukan pengawetan adalah salah satu yangditentukan oleh keluarga jenazah dan

kebijakan gereja tertentu.13


3.3.3 Sudut Pandang Agama Buddha
Pengawetan jenazah tidak dilarang dalam ajaran agama Buddha. Sehubungan

jenazah akan dikremasikan maka pengawetan jenajah tidak wajib untuk

dilakukan.14
3.3.4 Sudut Pandang Agama Hindu
Banyak pihak berwenang berpendapat bahwa Hinduisme tidak menerima

pengawetan. Dalam prakteknya, agama hindu tidak melarang keras untuk

dilakukan pengawetan, seperti pengawetan yang pernah terjadi pada tokoh agama

Hindu yang sangat dihormati, umumnya pengawetan ini dilakukan untuk

pemulangan ke India untuk dilakukan ritual keagamaan dan keagamaan di rumah

25
keluarganya sebelum kremasi akhir. Secara tradisional, tubuh yang mati harus

dikremasi sebelum matahari terbenam, sehingga pengawetan bukanlah sesuatu

yang umum atau luas untuk dilakukan.14

3.4 Embalming dari Sudut Pandang Hukum dan Etika

3.4.1 Sudut Pandang Hukum

Setiap negara berbeda beda dalam menetapkan hukum mengenai

embalming. Dalam rekomendasi tertanggal 27 November 2009,

Dewan Tinggi Kesehatan Masyarakat Perancis secara tegas tetap melanjutkan

ketetapan sebelumnya sejak 1998, yang melarang pembalseman untuk 13 penyakit

infeksi. Inggris dan Kanada merupakan negara yang memperbolehkan embalming,

terutama untuk pasien HIV, Hepatitis B, dan Tuberkulosis. Beberapa negara

membuat aturan larangan embalming seperti Belgia, Belanda, Luxemburg,

Denmark, dan negara negara Skandinavia dikarenakan masalah infeksi dan

paparan terhadap formaldehid.2 Sedangkan, menurut Departemen Kesehatan New

York, rumah duka tidak boleh menolak untuk melakukan embalming atau

menangani jenazah terlepas dari apapun penyebab kematiannya termasuk infeksi.

Selain itu rumah duka juga tidak diperkenankan meminta biaya tambahan untuk

menangani jenazah yang mengalami penyakit infeksi, seperti AIDS, Hepatitis B

atau Tuberkulosis.8

Dalam praktek sehari-hari seorang dokter mungkin diminta untuk

melakukan embalming. Embalming pada umumnya dilakukan untuk menghambat

pembusukan, membunuh kuman, serta mempertahankan bentuk mayat. Pada

prinsipnya embalming hanya boleh dilakukan oleh dokter pada mayat yang

26
meninggal secara wajar (natural death), sedangkan pada mayat yang meninggal

tidak wajar (akibat pembunuhan, bunuh diri, serta kecelakaan) embalming baru

boleh dilakukan setelah proses pemeriksaan forensik selesai dilakukan.1

Embalming sebelum otopsi dapat menyebabkan perubahan serta hilangnya

atau berubahnya beberapa fakta forensik. Dokter yang melakukan hal tersebut

dapat diancam hukuman karena melakukan tindak pidana menghilangkan barang

bukti berdasarkan pasal 233 KUHP. Bunyi pasal 233 KUHP adalah Barang siapa

dengan sengaja menghancurkan, merusak, membikin tak dapat dipakai,

menghilangkan barang-barang yang digunakan untuk meyakinkan atau

membuktikan sesuatu di muka penguasa yang berwenang, akta-akta, surat-surat

atau daftar-daftar yang atas perintah penguasa umum, terus-menerus atau untuk

sementara waktu disimpan, atau diserahkan kepada seorang pejabat, ataupun

kepada orang lain untuk kepentingan umum, diancam dengan pidana penjara

paling lama empat tahun.1,22

Di Negara Inggris pengawetan jenazah dilakukan oleh orang yang

mempunyai sertifikat sebagai embalmer setelah yang bersangkutan mengikuti

pendidikan selama 3 tahun. Di Indonesia, sampai saat ini tidak ada institusi

pendidikan yang khusus mendidik seorang untuk menjadi embalmer. Dalam

pendidikan S2, spesialisasi kedokteran forensik adalah satu-satunya program

pendidikan yang mencantumkan pelajaran mengenai pengawetan jenazah dalam

kurikulumnya. Oleh karena itu, sebaiknya dilakukan oleh orang yang mempunyai

keahlian dan kewenangan yaitu dokter spesialis forensik. Adapun alasannya

adalah sebagai berikut:1

27
A. Indonesia tidak menganut sistim koroner atau medical examiner yang bertugas

memilah kasus kematian wajar dan tidak wajar.


B. Embalmer di Indonesia, yang secara sengaja maupun tidak sengaja melakukan

embalming pada kasus kematian tidak wajar sebelum dilakukan otopsi, dapat

menyebabkan terjadinya kesulitan penyidikan karena adanya bukti-bukti

tindak pidana yang hilang atau berubah dan karenanya dapat dikenakan sanksi

pidana penghilangan benda bukti berdasarkan pasal 233 KUHP. Jika pada

kasus ini dilakukan juga gugatan perdata, maka pihak rumah duka pun dapat

saja ikut dilibatkan sebagai pihak tergugat.

Dalam hal telah dilakukan embalming tanpa sertifikat dan hasilnya buruk dan

merugikan keluarga, maka pihak rumah duka sebagai pihak yang turut

memfasilitasi embalming tersebut dapat turut digugat secara perdata berdasarkan

pasal 1365KUHPer. Pasal 1365 KUHPer berbunyi Tiap perbuatan yang

melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang

yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan

kerugian tersebut.10

3.4.2 Sudut Pandang Etika

Secara sederhana, etika merupakan kajian mengenai moralitas - refleksi

terhadap moral secara sistematik dan hati-hati dan analisis terhadap keputusan

moral dan perilaku baik pada masa lampau, sekarang atau masa mendatang.

Moralitas merupakan dimensi nilai dari keputusan dan tindakan yang dilakukan

manusia. Bahasa moralitas termasuk kata-kata seperti hak, tanggung jawab,

dan kebaikan dan sifat seperti baik dan buruk (atau jahat), benar dan

salah, sesuai dan tidak sesuai. Menurut dimensi ini, etika terutama adalah

28
bagaimana mengetahuinya (knowing), sedangkan moralitas adalah bagaimana

melakukannya (doing). Hubungan keduanya adalah bahwa etika mencoba

memberikan kriteria rasional bagi orang untuk menentukan keputusan atau

bertindak dengan suatu cara diantara pilihan cara yang lain.11

Etika klinis adalah disiplin praktis yang membahas pendekatan struktural

untuk membantu dokter dalam mengidentifikasi, menganalisis, dan

menyelesaikan isu etika dalam kedokteran klinis. Praktek kedokteran klinis

memerlukan pengetahuan mengenai isu-isu etika seperti informed consent,

kejujuran, kerahasiaan, end-of-life care, dan hak-hak pasien. Dalam mengambil

keputusan tindakan medis, dari segi etik dianjurkan untuk mengamalkan etika

klinis yang merupakan etika terapan untuk mengenal, menganalisis, dan

menyelesaikan masalah etik dalam pelayanan klinik. Pada tahun 1982, Jonsen,

Siegler, dan Winslade mempublikasikan Clinical Ethics, dimana mereka

mendeskripsikan pendekatan empat kuadran, sebuah metode untuk

menganalisis kasus etika klinis.

Pendekatan empat kuadran tersebut menggunakan empat topik yaitu:11

1. Indikasi medis (medical indications)

Indikasi medis menganut prinsip beneficence dan nonmaleficence, dan

merupakan seluruh temuan klinis, mencakup diagnosis, prognosis, dan pilihan

penatalaksanaan, serta penilaian tujuan perawatan. Pokok pembicaraan ini

29
mencakup konten umum diskusi klinis: diagnosis dan penatalaksanaan kondisi

patologis pasien. Indikasi merujuk pada hubungan antara keadaan patofisiologi

pasien dengan diagnosis dan intervensi terapeutik yang diindikasikan, yang

tepat untuk mengevaluasi dan mengurangi masalah. Walaupun hal ini sering

diulas pada presentasi masalah klinis setiap pasien, diskusi etika tidak hanya akan

meninjau fakta-fakta medis, namun juga membahas tujuan dari intervensi yang

diindikasikan.11

Jenazah yang meninggal akibat penyakit menular akan lebih cepat

membusuk dan potensial menulari petugas kamar jenazah, keluarga serta orang-

orang di sekitarnya. Pada kasus semacam ini, walaupun penguburan atau

kremasinya akan segera dilakukan, tetap dianjurkan dilakukan embalming untuk

mencegah penularan kuman/ bibit penyakit ke sekitarnya.1

2. Preferensi pasien (patient preferences)

Preferensi dan nilai-nilai pasien menganut prinsip respect for autonomy,

dan merupakan alasan utama dalam menentukan penatalaksanaan terbaik untuk

pasien. Dalam semua penatalaksanaan medis, preferensi pasien berdasarkan nilai-

nilai pasien sendiri dan penilaian personal mengenai manfaat dan bahaya yang

relevan secara etika. Pada setiap kasus klinis, pertanyaan yang pasti timbul adalah:

Apa yang pasien inginkan? Ulasan sistematis pada topik ini memerlukan

pertanyaan lebih lanjut. Apakah pasien telah diberikan infomasi yang cukup?

Apakah pasien mengerti? Apakah pasien setuju secara sukarela? Pada beberapa

kasus, jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini mungkin adalah Kami tidak tahu

karena pasien tidak mampu menyatakan suatu preferensi. Apabila pasien tidak

30
mampu secara mental pada saat keputusan harus dibuat, kita harus bertanya,

Siapa yang memiliki kewenangan untuk menentukan keputusan pada pasien ini?

Bagaimana batas-batas etika dan legal pada kewenangan tersebut? Apa yang harus

dilakukan apabila tidak ada seorangpun yang dapat mewakilkan?.11

Pada kasus ini, pilihan embalming terletak pada keputusan pasien, sebagai

contoh, seseorang yang mewasiatkan agar jenazahnya di kubur di kampung

halamannya, tetapi, meninggal di negara lain. Jadi, untuk dapat mengangkut

jenazah dari suatu tempat ke tempat lain, harus dijamin bahwa jenazah tersebut

aman, artinya tidak berbau, tidak menularkan bibit penyakit ke sekitarnya selama

proses pengangkutan. Dalam hal ini perusahaan pengangkutan, demi reputasinya

dan untuk mencegah adanya gugatan di belakang hari, harus mensyaratkan bahwa

jenazah akan diangkut telah diawetkan secara baik, yang dibuktikan oleh suatu

sertifikat pengawetan.1

3. Kualitas hidup (quality of life)

Kualitas hidup menganut prinsip beneficence, nonmaleficence, dan respect

for autonomy. Tujuan utama dari seluruh temuan klinis adalah untuk

meningkatkan kualitas hidup pasien. Adanya trauma atau penyakit yang

mencederai pasien yang dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup,

bermanifestasi pada gejala dan tanda penyakit mereka. Tujuan dari seluruh

intervensi medis adalah untuk mengembalikan, memelihara, atau meningkatkan

kualitas hidup. Maka dari itu, pada setiap situasi medis, pembahasan mengenai

kualitas hidup pasti muncul.11

31
4. Gambaran kontekstual (contextual features)

Topik ini menganut prinsip justice dan fairness. Seluruh temuan klinis yang

terjadi di dalam konteks sosial yang lebih luas selain dokter dan pasien, mencakup

keluarga, hukum, kultur, aturan rumah sakit, perusahaan asuransi dan hal finansial

lain, dan sebagainya. Pasien datang ke dokter karena mereka memiliki masalah

yang mereka harapkan dokter dapat membantu mengatasinya. Dokter melakukan

perawatan terhadap pasien dengan tujuan berusaha untuk membantu mereka.

Pembahasan mengenai indikasi medis, preferensi pasien, dan kualitas hidup

merupakan hal yang penting pada kasus medis. Namun, setiap kasus juga

dicampurtangani oleh sekumpulan orang, institusi, aturan finansial, dan aturan

sosial. Perawatan pasien, baik secara positif maupun negatif, dipengaruhi oleh hal-

hal tersebut. Pada saat yang sama, hal-hal tersebut pun dipengaruhi oleh

keputusan yang dibuat oleh pasien: keputusan ini berdampak psikologis,

emosional, finansial, legal, ilmiah, edukasional, agama pada orang lain. Pada

setiap kasus, relevansi fitur kontekstual harus ditentukan dan dinilai. Fitur

kontekstual ini sangat penting untuk pemahaman dan penyelesaian kasus.11

Pada kasus embalming jenazah, perlu dianalisis apakah terdapat kepentingan

pihak-pihak lain selain pasien, seperti pihak keluarga maupun institusi

profesional. Selain itu, kasus ini juga perlu dianalisis dari isu legal serta isu

agama. Di Indonesia belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur

mengenai pengawetan jenazah khususnya pada pasien infeksius. Isu legal ini jelas

akan mempengaruhi keputusan klinis dokter. Keinginan keluarga hendaknya

dipertimbangkan walaupun jenazah tersebut infeksius. Peningkatan kewaspadaan

32
seperti penggunaan sarung tangan ganda, vaksinasi, dan tempat yang memadai

dapat mencegah penularan penyakit infeksi dari jenazah ke embalmer, sehingga

embalmer dapat melakukan embalming tanpa masalah.2

Dari sudut pandang agama di Indonesia, agama Islam, embalming tidak di

perbolehkan. Namun, menurut Kristen, embalming tidak masalah untuk

dilakukan. Perbedaan sudut pandang dari beberapa agama ini juga akan

mempengaruhi keputusan klinis dokter dalam pemulasaraan jenazah.1

Inggris dan Kanada merupakan negara yang memperbolehkan embalming,

terutama untuk pasien HIV, Hepatitis B, dan Tuberkulosis. Sedangkan di negara

lain seperti, Perancis, embalming di bolehkan, tetapi di larang untuk pasien

infeksius.2

33
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Embalming dapat dilihat dari berbagai macam aspek. Menurut

pandangan hukum di Indonesia, belum ada hukum yang mengatur mengenai

masalah embalming ini, lebih banyak membicarakan mengenai hak asasi

manusia untuk mendapatkan kesetaraan. Dari segi Agama, Islam, melarang

embalming. Menurut Kristen, embalming diperbolehkan. Menurut etika klinis,

embalming diperbolehkan dengan kewaspadaan yang khususnya untuk

petugas. Menurut kesehatan, diperlukan pencegahan penularan dari jenazah ke

petugas embalming seperti penggunaan alat pelindung diri, vaksinasi, sarana

yang memadai.

4.2 Saran

Pada kasus embalming pada jenazah yang infeksius, selain di perlukan

peningkatan kewaspadaan, diperlukan juga hukum dan prosedur yang jelas

untuk mengatur embalming khususnya pada jenazah yang infeksius.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. DS Atmadja. Pengawetan jenazah dan aspek medikolegal. Majalah


Kedokteran Indonesia. 2002. http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php/. Accessed
December 12, 2015.

2. Charlier P, Herv C. No Embalming for French HIV +: Ultimate


Discrimination or Educational Issue? 2013;1(2):1-5. doi:10.4172/2332-
0915.1000103.

3. Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia.; 2015.

4. World Health Organization. Noncommunicable Diseases (NCD) Country


Profiles: Indonesia. 2014:2014.
http://www.who.int/nmh/countries/idn_en.pdf.

5. Health W, Who O, Ntd CDS. Communicable Disease Toolkit for Burundi.


2005.

6. Asia S, Asia S. World Health Organization ( WHO ) estimates of


tuberculosis incidence by country , 2013 Definition of high incidence With
reference to the National Institute for Health and Clinical Excellence
( NICE ) recommendations for BCG vaccination and screening in . 2013.

7. Lauzardo M, Lee P, Duncan H, Hale Y. Transmission of Mycobacterium


tuberculosis to a funeral director during routine embalming. Chest.
2001;119(2):640-642. doi:10.1378/chest.119.2.640.

8. Department of Health State of New York. A Consumers Guide To


Arranging a Funeral. 2015.

35
9. Scott TJ. What is Embalming.
http://www.tjscottandson.com.au/files/6embalming.pdf. Accessed
December 12, 2015.

10. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Buku Kedua.


http://id.wikisource.org/wiki/Kitab_Undang-
Undang_Hukum_Pidana/Buku_Kedua. Accessed December 12, 2015.

11. University of Washington School of Medicine. Ethics In Medicine. 2013.


https://depts.washington.edu/bioethx/tools/index.html. Accessed December
12, 2015.

12. Rumililawati. Pegawetan Mayat Guna Penelitian Ilmiah Menurut Hukum


Islam. Badan Pengemb dan Penelit Drh Provinsi Jambi. 2002.

13. Lawler P. Is Embalming A Big, Anti Cristian Deal? 2011.


http://www.firstthings.com/blogs/firstthoughts/2011/01/is-embalming-a-
big-anti-christian-deal. Accessed December 12, 2015.

14. Funeral Consumers Alliance. Embalming: What You Should Know. 2015.
http://www.funerals.org/frequently-asked-questions/48-what-you-should-
know-about-embalming. Accessed December 12, 2015.

15. Embalming Process. www.amsocembalmers.org. Accessed December 12,


2015.

16. Bajracharya S, Magar A. Embalming: An art of preserving human body.


Kathmandu Univ Med J. 2006;4(4):554-557.

17. Creely K. Infection Risks and embalming. Inst Occup Med. 2004;(March).

18. Department of Health Hospital Authority Food and Environmental


Hygiene. Precautions for Handling and Disposal of Dead Bodies. 2014.

36
19. Northwest Territories Health and Social Services. Northwest Territories
Infection Control Policy and Procedure Regarding the Care of the Deceased
with an Infectious Disease. 2008.

20. Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Jawa Tengah. Tata Cara


Pemulasaran Jenazah Orang Dengan HIV dan AIDS. 2012.

21. Ammi Nur Baits. Hukum Mengawetkan Mayit. 2013.


https://konsultasisyariah.com/16822-hukum-mengawetkan-mayit.html.
Accessed December 12, 2015.

22. Tim Permata Press. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.; 2008.

37

Anda mungkin juga menyukai