Beberapa Aspek Ekonomi Pendidikan
Beberapa Aspek Ekonomi Pendidikan
Paradigma ini menegaskan tiga hal. Pertama, kemajuan ekonomi dalam banyak hal
bertumpu pada basis dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, hubungan
kausalitas antara pendidikan dan kemajuan ekonomi menjadi kian kuat dan solid.
Ketiga, pendidikan menjadi penggerak utama dinamika perkembangan ekonomi,
yang mendorong proses transformasi struktural berjangka panjang.
Oleh karena itu, tidaklah salah jika salah satu tesis-aksiomatik yang diyakini di
dunia pendidikan adalah bahwa pendidikan memberi kontribusi secara signifikan
terhadap pembangunan ekonomi, semakin kuat. Berbagai kajian akademis dan
penelitian empiris telah membuktikan keabsahan tesis itu. Buku terakhir William
Schweke, Smart Money: Education and Economic Development (2004), sekali lagi
memberi afirmasi atas tesis ilmiah para sarjana terdahulu, bahwa pendidikan bukan
saja akan melahirkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas, memiliki
pengetahuan dan keterampilan serta menguasai teknologi, tetapi juga dapat
menumbuhkan iklim bisnis yang sehat dan kondusif bagi pertumbuhan ekonomi.
Karena itu, investasi di bidang pendidikan tidak saja berfaedah bagi perorangan,
tetapi juga bagi pertumbuhan ekonomi dan pada gilirannya berdampak pada
peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Pencapaian pendidikan pada
semua level disumsikan mampu meningkatkan pendapatan dan produktivitas
masyarakat. Pemerataan pendidikan dapat berkorelasi dengan peningkatan kualitas
sumber daya manusia dan perbaikan taraf hidup masyarakat. Berkaitan dengan hal
ini, Walter Frank Ward berpendapat, ”Perbedaan kemakmuran individu bersumber
pada perbedaan kesempatan memperoleh pendidikan” (Sudardja, 2009:8). Oleh
karena itu, pendidikan merupakan jalan menuju kemajuan dan pencapaian
kesejahteraan sosial dan ekonomi. Sedangkan kegagalan membangun pendidikan
akan melahirkan berbagai problem krusial: pengangguran, kriminalitas,
penyalahgunaan narkoba, dan welfare dependency yang menjadi beban sosial,
ekonomi, dan politik bagi negara dan pemerintah.
Sebagai studi kasus terhadap kontribusi peningkatan pendidikan dan distribusi
pendapatan terhadap pertumbuhan ekonomi, di bawah ini dideskripsikan
perbandingan antara Korea mewakili Asia serta Kenya dan Zimbabwe mewakili
Afrika. Pilihan tiga negara ini menarik karena semula Korea, yang secara ekonomi
tertinggal, ternyata mampu mengungguli dan kemudian meninggalkan kedua negara
Afrika itu. Beberapa indikator ekonomi makro menunjukkan perubahan amat
signifikan antara ketiga negara berbeda benua itu. Yang-Ro Yoon, seorang peneliti
ekonomi Bank Dunia, dalam Effectiveness Born Out of Necessity: A Comparison of
Korean and East African Education Policies (2003), mengemukakan sejumlah
temuan menarik berdasarkan observasi di tiga negara itu. Pada dekade 1960-an GNP
per kapita Korea hanya 87 dollar AS, sementara Kenya 90 dollar AS. Memasuki
dekade 1970-an GNP per kapita Korea mulai meningkat menjadi 270 dollar AS,
namun masih lebih rendah dibanding Zimbabwe yang telah mencapai 330 dollar AS.
Indikator lain seperti gross savings rate (persentase terhadap GDP) juga
menunjukkan, Korea lebih rendah dibanding kedua negara Afrika itu. Pada
pertengahan 1970-an, gross savings rate masing-masing negara adalah: Korea 8
persen, Kenya 15 persen, dan Zimbabwe 14 persen. Meski demikian, dalam hal
pembangunan pertanian Korea relatif lebih unggul. Sektor pertanian memberi
4
2. Relasi antara Investasi di Sektor Pendidikan dan Investasi pada bidang Lainnya
dengan menggunakan model fungsi produksi
Nilai investasi pendidikan pada dasarnya memiliki nilai kepentingan yang tidak
kalah penting dengan investasi dalam sektor lainnya, seperti dalam bidang kesehatan,
industri, dan pertanian. Semua bentuk investasi tersebut, secara makro, memiliki
tujuan dan nilai manfaat yang sama; sedangkan secara mikro semua investasi tersebut
memiliki tujuan spesifik dan nilai guna yang berbeda. Secara makro, semua investasi
dalam bidang pendidikan, kesehatan, industri, dan pertanian dimaksudkan agar
mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, peningkatan taraf hidup manusia, dan
pencapaian kesejahteraan masyarakat.
Hanya saja dilihat dari fungsi produksinya, hasil investasi dalam bidang
pertanian dan industri dapat terlihat dalam jangka waktu pendek. Selain itu, produk
dari investasi dalam bidang pertanian dan industri bersifat konkret (nyata atau kasat
mata), dan karenanya itu relatif mudah untuk diukur. Dilihat dari fungsinya, produk
investasi dalam bidang industri dan pertanian lebih banyak diorientasikan pada hal
yang bersifat konsumtif. Misalnya, jika pemerintah atau perusahaan berinvestasi
dalam bidang pembukaan industri textile atau energi (gas, BBM, uap, dll), maka
hasilnya dapat diprediksi secara terukur dan dapat dirasakan dalam relatif dalam
jangka pendek. Demikian pula, jika pemerintah berinvestasi dalam pembukaan kebun
sawit, kopi, jarak, dan lainnya, hasilnya bersifat konkret, dapat diprediksi, dan dalam
jangka waktu relatif singkat pula.
Berbeda dengan investasi dalam bidang pertanian dan industri, investasi dalam
bidang pendidikan dan kesehatan merupakan investasi jangka panjang dan produknya
lebih banyak bersifat abstrak. Orientasi produk kedua investasi ini lebih banyak
menyangkut investasi pada sumber daya manusia (human resource/capital
investment), berjangka panjang, dan sifat produknya lebih pada pembangunan
manusia (human development) dan produktif.
Hanya saja, menurut Ace Suryadi, Pendidikan, Investasi SDM dan
Pembangunan: Isu, Teori dan Aplikasi (Balai Pustaka: Jakarta, 1999, h. 247),
investasi pendidikan memberikan nilai balik (rate of return) yang lebih tinggi dari
pada investasi fisik di bidang lain. Nilai balik pendidikan adalah perbandingan antara
total biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan total pendapatan
yang akan diperoleh setelah seseorang lulus dan memasuki dunia kerja. Di negara-
negara sedang berkembang umumnya menunjukkan nilai balik terhadap investasi
pendidikan relatif lebih tinggi dari pada investasi modal fisik yaitu 20 % dibanding
15 %. Sementara itu di negara-negara maju nilai balik investasi pendidikan lebih
rendah dibanding investasi modal fisik yaitu 9 % dibanding 13 %. Keadaan ini dapat
dijelaskan bahwa dengan jumlah tenaga kerja terdidik yang terampil dan ahli di
negara berkembang relatif lebih terbatas jumlahnya dibandingkan dengan kebutuhan
sehingga tingkat upah lebih tinggi dan akan menyebabkan nilai balik terhadap
pendidikan juga tinggi.
6
2. Nilai Ekonomi Pendidikan Objektif dan Subjektif berkaitan dengan Nilai Guna
dan Nilai Tukar
Perkataan “nilai ekonomi” dapat ditafsirkan sebagai ” makna” atau “arti”
(worth) dari sesuatu pendidikan atau benda. Hal ini mempunyai pengertian bahwa
pendidikan, sebagaimana benda lainnya, akan mempunyai nilai bagi seseorang
jika pendidikan benda tersebut memberi makna atau arti bagi seseorang atau
masyarakat secara ekonomi. Sebagai ilustrasi, nilai pendidikan, sebagaimana
suatu properti, dapat pula ditafsirkan sebagai suatu harga yang dibayar oleh
pembeli yang mampu, bersedia dan berkelayakan membeli dari penjual yang
8
bersedia, berkelayakan dan mempunyai hak untuk menjualnya. Jadi dalam hal ini
di antara penjual dan pembeli harus mengetahui keadaan pasaran yang sebenarnya
atau kedua belah pihak telah mendapat nasehat dari pihak profesional yang telah
ahli dalam pasaran benda atau pendidikan tersebut.
Nilai pendidikan, sebagaimana barang/benda lainnya, tidak semestinya
selalu dinyatakan dalam bentuk uang (rupiah). Sebagai contoh terhadap sebuah
properti (misalnya rumah), seseorang mungkin sanggup melepaskan dan
menawarkan 2 buah mobil toyota kijangnya untuk mendapatkan rumah tersebut,
tetapi di lain pihak ada seseorang lagi yang bersedia menawarkan 3 buah mobil
toyota kijang. Demikian pula dengan pendidikan, terdapat sejumlah orang yang
mengeluarkan uangnya untuk mendapat pendidikan di bidang tertentu, misalnya
kedokteran atau hubungan internasional. Jadi dapat pula dinyatakan bahwa nilai
adalah kekuatan/daya tukar sesuatu barang terhadap barang lain. Inilah yang
kemudian dikenal dengan nilai tukar. Tetapi oleh karena kita sekarang
menggunakan uang sebagai alat tukar, maka nilai biasanya akan diwujudkan
dalam satuan mata uang. Dalam konteks pendidikan, nilai tukar terletak dalam
kekuatan atau daya tawar/tukar dengan hal lain.
Sementara itu, pendidikan juga member manfaat kepada masyarakat, baik
dalam hal peningkatan pengetahuan, keterampilan, pendapatan, dan taraf hidup.
Dalam hal yang lebih jauh, pendidikan mempunyai manfaat untuk mobilitas
sosial, pertumbuhan ekonomi makro, alat untuk menyejahterakan masyarakat, dan
menjadikan sebuah negara menjadi negara maju dan berperadaban. Dengan
demikian, pendidikan memiliki nilai guna (manfaat). Inilah yang kemudian
dikenal sebagai nilai manfaat (guna) pendidikan.
Di lain sisi, pendidikan pun mempunyai harga/nilai yang standard. Nilai
standard pendidikan inilah yang kemudian dikenal dengan nilai pasar pendidikan
(market value of education). Secara umum, nilai pasar didefinisikan dalam
Webster sebagai: ” A price at which both buyer and sellers are willing to do
business” Suatu harga di mana baik pembeli maupun penjual berkehendak
melakukan transaksi. Sementara Dictionary of the English Language,
mendefinisikannya sebagai “What a property can be sold for on the open market”
(harga yang mungkin dari suatu properti jika dijual pada pasar terbuka).
Berdasarkan pada paparan di atas, dalam perkembangannya, istilah ‘nilai’
penidikan ini biasanya tidak berdiri sendiri tetapi menyatu dalam suatu istilah
yang lebih spesifik, yakni a) nilai pasar pendidikan (market value of education),
b) nilai guna pendidikan (use value of education), dan c) nilai tukar pendidikan
(educational value in exchange) dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan bahwa
semua nilai ekonomis pendidikan berjalin kelindan, saling berkaitan, dan saling
melengkapi.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana pendidikan mampu mempunyai nilai
ekonomis tersebut? Nilai ekonomi pendidikan, menurut Theodore Schultz (1963)
terletak pada dalil-dalil bahwa masyarakat meningkatkan kemampuannya sebagai
produsen dan konsumen dengan berinvestasi sendiri dan pendidikan merupakan
investasi terbesar dalam pengembangan modal manusia. Dalil ini menyatakan
bahwa kebanyakan kemampuan ekonomi masyarakat tidak ditetapkan pada saat
9
lahir atau pada saat kanak-kanak ketika hendak memasuki sekolah. Kemampuan-
kemampuan yang diperoleh ini merupakan segalanya namun disepelekan.
Kemampuan itu penting untuk merubah secara radikal ukuran-ukuran yang biasa
dari sejumlah tabungan dan pemupukan modal. Demikian juga merubah struktur
upah dan gaji serta sejumlah pendapatan dari pekerjaan yang berkaitan dengan
sejumlah pendapatan dari harta kekayaan. Telah lama menjadi teka-teki berkenaan
dengan pertumbuhan ekonomi, perubahan struktur upah dan gaji, serta perubahan
distribusi pendapatan secara personal – dapat menjadi hal yang substansial, yang
diatasi dengan menghitung jumlah investasi dalam modal manusia (Schultz, 1963:
10-11).
Nilai-nilai ekonomi pendidikan dapat bersifat objektif dan dapat bersifat
subjektif. Nilai ekonomi objektif adalah nilai yang dberikan manusia scara umum
kapada pendidikan, sebagaimana kepada barang/jasa karena dapat memenuhi
kebutuhan seluruh manusia dan disepakati standar nilai dan manfaatnya.
Misalnya, pendidikan untuk baca-tulis merupakan pendidikan yang memiliki
nilai tukar dan nilai guna yang disepakati diperlukan oleh setiap orang. Hampir
tidak ada orang yang tidak setuju dengan hal tersebut, atau dengan kata lain
semua orang sepekat mengenai pentingnya pendidikan baca tulis bagi setiap
orang. Kesepakatan (konvensi) inilah yang menjadikan pendidikan baca tulis
mempunyai nilai tukar dan nilai guna yang bersifat objektif atau dapat diterima
oleh semua orang.
Sementara itu, nilai subjektif adalah nilai yangg diberikan seseorang terhadap
pendidikan atau barang/jasa karena hanya dapat memenuhi kebutuhan atau
kepuasan perseorangan atau kelompok tertentu. Misalnya, pendidikan atau
pelatihan untuk paralayang atau terjun payung untuk tujuan kompetisi hanya
memiliki nilai tukar dan nilai guna yang hanya dapat dirasakan oleh
perseorangan yang concern atau hobbi terhadap hal tersebut, tetapi tidak berlaku
bagi yang lain. Oleh karena hanya perseorangan datau sekelompok saja yang
menilai pendidikan atau pelatihan paralayang dan terjun payung, tersebut maka
nilai tukar dan nilai guna pendidikan ini dikategorikan bersifat subjektif.
pendidikan bukan hanya sebagai hak, tetapi juga sebagai kewajiban bagi setiap
warga negara pada tingkat umur tertentu (di Indonesia antara 6 sampai 15 tahun).
Dilihat dari segi sifat kebutuhan, pengadaannya pendidikan pada tingkat ini
merupakan barang publik. Kemudian dilihat dari motivasinya, maka pendidikan
sebagai konsumsi ini dimotivasi oleh keinginan untuk memuaskan kebutuhan
akan pengembangan kepribadian, kebutuhan sosial, kebutuhan akan pengetahuan
dan pemahaman. Selanjutnya mengenai orientasi waktu dan tempatnya adalah
kekinian (sekarang) dan kedisinian. Permintaan pendidikan ini dipengaruhi oleh
besar kecilnya pendapatan disposible.
Kedua, pendidikan sebagai barang produktif. Pendidikan, layaknya sebuah
industri, merupakan alat/media produksi untuk menciptakan output dan outcomes
yang memiliki keunggulan, keunikan, nilai pasar, nilai guna, dan nilai tukar yang
dapat dipasarkan dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemuliaan
kehidupan. Bagi sebagian orang, pendidikan merupakan sumber kehidupan atau
matapencaharian, di mana ia menggunakan pendidikan sebagai “alat produksi”
yang dapat dijadikan sumber pendapatan.
Ketiga, pendidikan sebagai investasi. Investasi berarti penanaman modal
atau uang. Modal atau uang yang ditanamkan bertujuan untuk mendapatkan
keuntungan, baik berupa uang atau modal maupun dalam bentuk barang atau
jasa. Kenneth J. Arrow (1962) mengemukakan bahwa istilah investasi atau
investment merupakan alokasi current resources yang mempunyai alternatif
produktif yang berguna untuk pelaksanaan kegiatan yang dapat menambah
keuntungan yang diperoleh di masa yang akan datang. Biaya atau cost suatu
investasi merupakan keuntungan yang diperoleh dibagi dengan penggunaan
sumber daya dalam berbagai kegiatan lain. Pendidikan sebagai upaya investasi
bertujuan untuk memperoleh pendapatan neto atau rate of return yang lebih besar
di masa yang akan datang. Biaya pendidikan dalam jenis pendidikan ini
dipandang sebagai jumlah uang yang dibelikan untuk memperoleh atau
ditanamkan dalam sejumlah modal manusia (human capital) yang dapat
memperbesar kemampuan ekonomi di masa yang akan datang. Pendidikan
sebagai investasi didasarkan atas anggapan bahwa manusia merupakan suatu
bentuk kapital (modal) sebagaimana bentuk-bentuk kapital lainnya yang sangat
menentukan terhadap pertumbuhan produktivitas suatu bangsa. Melalui investasi
dirinya seseorang dapat memperluas alternatif untuk kegiatan-kegiatan lainnya
sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya di masa yang akan datang.
Keempat, pendidikan sebagai konsumsi dan investasi secara komplementer.
Setelah wajib belajar dilalui, pendidikan mempunyai tujuan bukan hanya untuk
memperoleh pengetahuan, pemahaman, pengembangan kepribadian, dan
pemuasan terhadap kebutuhan sosial (status, gengsi, atau social demand), tetapi
juga untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik, sehingga dapat memperoleh
pendapatan neto seumur hidup yang lebih tinggi di masa yang akan datang.
Indikatornya adalah naiknya taraf hidup, kemampuan untuk menabung atau
berinvestasi pada barang, dan mampu menyekolahkan anak dan kelurganya
sebagai upaya human investment yang lebih baik dari dirinya.
11
akan mampu berjalan tanpa adanya biaya, dana, modal, atau uang” kemudian diyakini
sebagai kebenaran aksiomatis yang tidak dapat diganggu gugat.
Terbukti kemudian bahwa bangsa-bangsa yang memberikan perhatian besar serta
melakukan usaha luas, termasuk mengalokasikan dana untuk pendidikan cukup
tinggi, menjadi maju dan sejahtera. Dalam kehidupan masyarakat dunia yang
tidak/belum bebas dari persaingan antar-bangsa ternyata bangsa-bangsa yang
menjalankan pendidikan luas dan bermutu bagi rakyatnya, lebih mampu melakukan
persaingan itu dan juga lebih mampu untuk melakukan kerjasama antar-bangsa yang
menguntungkannya. Maka pendidikan menjadi kunci bagi kesintasan dan
keselamatan bangsa. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa investasi pendidikan
adalah investasi terpenting yang dapat dilakukan satu bangsa dan warganya.
Kasus kongkrit mengenai kebijakan pembiayaan dalam skala makro adalah hal
yang dialami Indonesia dalam hubungannya dengan Malaysia. Pada era tahun 1950-
an ketika Malaysia baru berdiri sebagai negara, pendidikan di Malaysia sangat
tergantung pada bantuan yang diberikan Indonesia dalam bentuk penempatan tenaga
Pendidik di berbagai lembaga pendidikan tinggi negara itu. Akan tetapi sikap para
pemimpin Malaysia lebih tegas dan kongkrit menghadapi pendidikan dari pada para
pemimpin Indonesia, terutama dalam politik-kebijakan pembiayaan pendidikan. Sejak
awal, pemerintahan Malaysia menganggarkan sekitar 20% untuk sektor
pendidikannya dari anggaran belanja negara. Dengan begitu ia bangun pendidikan
dasar dan menengah (dikdasmen) yang tidak tergantung dari kekuatan keuangan
orang tua, sebab dengan cara itu mula-mula pendidikan dasar dan kemudian juga
pendidikan menengah sepenuhnya dibiayai negara. Dengan jumlah manusia yang
makin banyak mengalami Pendidikan secara teratur dan bermutu maka sumber daya
manusia juga meningkat kualitasnya. Hal ini meningkatkan kemampuan ekonomi dan
kehidupan di Malaysia pada umumnya, yang kemudian berakibat makin meningkat
pula kekayaan negara dan masyarakat. Hal itu menjadikannya lebih mampu lagi
menyelenggarakan pendidikan yang diperlukan negara dan masyarakat masakini bagi
makin banyak manusia. Maka sekarang Pendidikan secara umum di Malaysia sudah
tidak memerlukan bantuan Indonesia, malahan mungkin lebih tinggi dari kemampuan
pendidikan di Indonesia.
Adalah satu kekurangan bangsa Indonesia untuk tidak melihat pengaruh dan
peran pendidikan secara kongkrit dan realistis. Ada kecenderungan juga untuk
terlampau idealistis melihatnya, seperti pendidikan tidak memerlukan gedung dan
peralatan yang macam-macam, sebab yang penting adalah peran dan mutu guru/dosen
. Andai kata benar bahwa yang penting adalah peran dan mutu guru saja, rupanya
tidak disadari bahwa untuk memperoleh guru yang benar-benar menguasai tugasnya
dalam jumlah yang sesuai untuk Indonesia dengan penduduknya 250 juta orang,
diperlukan usaha luas yang memerlukan uang, dana, atau biaya besar. Diperlukan
berbagai keperluan, seperti adanya jumlah dan mutu tenaga pendidik (calon) guru
yang memadai dibantu berbagai fasilitas dan alat pendidikan seperti perpustakaan dan
laboratorium, yang kesemuanya memerlukan dukungan uang, dana, dan biaya yang
tidak sedikit.
Maka untuk menjadi bangsa yang kuat Indonesia memerlukan satu sistem
sekolah yang berjalan efektif dan bermutu, mulai dari pendidikan dasar ke pendidikan
13
menengah ke pendidikan tinggi. Hal itu harus meliputi seluruh wilayah nasional yang
begitu luas dengan jumlah penduduk begitu besar. Lagi pula jenis pendidikan di masa
kini makin banyak, terutama di tingkat pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.
Sebab itu untuk membiaya Pendidikan Sekolah diperlukan uang, dana, dan biaya
yang tidak sedikit.
Namun demikian, aspek biaya bukanlah satu-satunya faktor dalam peningkatan
mutu pendidikan. Terdapat sejumlah faktor lain dalam upaya peningkatan mutu
pendidikan selain aspek biaya. Faktor tersebut adalah a) faktor motivasi manusia
(pendidik, tenaga kependidikan, peserta didik, dan wali), b) faktor political will
(kemauan politik) dari pemerintah dan kemampuan membiayai pendidikan, terutama
public school/education c) faktor sosial-budaya yang mendukung pada iklim budaya
pendidikan, d) faktor sarana dan prasarana pendidikan, e) faktor kesejahteraan
pendidik dan tenaga kependidikan lainnya, dan f) perencanaan dan pengelolaan
pendidikan. Semua faktor-faktor tersebut harus berjalan seiringan agar tujuan
pendidikan dapat dicapai secara maksimal. Sebaliknya, apabila salah satu faktor
tersebut tidak berjalan secara efektif, maka ia akan menjadi hambatan bagi efektivitas
dan efisiensi pencapaian tujuan pendidikan.
setiap tingkat dan jenis pendidikan memerlukan pendekatan yang berbeda. Hanya
saja, hal ini mempersyaratkan adanya pemahaman komprehensif terhadap ruang
lingkup dan keterbatasan-keterbatasan setiap perencanaan pendidikan yang ada agar
dapat diadaptasi, dimodifikasi, dan diterapkan secara tepat guna, efektif, dan efisien
di Indonesia.
Secara teoritis, setidaknya, perencaaan pendidikan memiliki beberapa
pendekatan, yakni social demand approach (pendekatan kebutuhan sosial), man
power approach (pendekatan pemenuhan kebutuhan tenaga kerja), cost benefit
approach (pendekatan manfaat biaya), dan comprehensive approach (pendekatan
komprehensif). Dari keempat pendekatan tersebut, pendekatan social demand
approach dan man power approach merupakan pendekatan utama yang pernah dan
sedang dijalankan oleh pemerintah Indonesia, sebagaimana dijelaskan pada bagian
tulisan selanjutnya. Namun sebelum menjelaskan implementasi dari kedua
pendekatan dimaksud, terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian dari pendekatan-
pendekatan dalam perencanaan pendidikan tersebut.
Pertama, Pendekatan Kebutuhan Sosial. Pendekatan ini menitikberatkan pada
tujuan pendidikan yang mengandung misi pembebasan terutama bagi negara-negara
berkembang. Pendektan ini lebih menekankan pada pemerataan kesempaan atau
kuantitatif dibandingkan dengan aspek kualitatif. Menurut A.W. Guruge, perencanaan
pendidikan dengan pendekatan kebutuhan sosial ini adalah “The traditional approach
to educational development by providing institution and facilities to meet pressures of
admission and make allovance, for the free exercise of students and parents
preferences.
Kedua, Pendekatan Kebutuhan Ketanakerjaan. Pendekatan ini lebih
menekankan pada keterkaitan lulusan sistem pendidikan dengan tuntutan terhadap
tenaga kerja pada berbagai sektor pembangunan dengan tujuan yang dicapai bahwa
pendidikan itu diperlukan untuk membantu lulusan memperoleh kesempatan kerja
yang lebih baik sehingga dapat memperbaiki tingkat taraf hidupannya. Pendekatan ini
bertujuan mengarahkan kegiatan-kegiatan pendidikan kepada usaha untuk memenuhi
kebutuhan nasional akan tenaga kerja (man power atau person power), sehingga
diharapkan dapat memberikan keyakinan penyediaan fasilitas dan pengarahan arus
murid benar-benar didasarkan atas perkiraan keburuhan tenaga kerja.
Ketiga, pendekatan Efisiensi Biaya (cost benefits approach). Pendekatan ini
bersifat ekonomi, karena memiliki pandangan bahwa pendidikan memerlukan
investasi yang besar dan karena itu keuntungan dari investasi tersebut harus dapat
diperhitungkan bilamana pendidikan itu memang mempunyai nilai ekonomi.
Pendekatan ini merupakan penentuan besarnya investasi dalam dunia pendidikan
sesuai dengan hasil, keuntungan, atau efektivitas yang akan diperoleh. Pendekatan ini
mempunyai implikasi sesuai dengan prinsip ekonomi, yaitu program pendidikan
yang mempunyai nilai ekonomi tinggi menempati urutan prioritas penting, karena
pendekatan untung rugi mempunya keterkaitan dengan pendekatan ketenagaan.
Pendekatan Komprehensif. Pendekatan ini merupakan pendekatan yang cukup
ideal karena merupakan gabungan dari pendekatan-pendekatan sebelumnya.
Pendekatan ini memperhitungkan segala sumber daya yang dimiliki untuk
16
Dalam konteks Indonesia, jika pendekatan ini diterapkan secara murni akan
menemui beberapa masalah, yakni 1) Jenis dan jumlah lapangan kerja yang terbatas
dibanding dengan jumlah peserta didik; 2) persyaratan yang jelas mengenai mutu
personil yang dituntut oleh pasaran tenaga kerja terus berubah, yang direspon dan
diikuti secara lamban oleh dunia pendidikan; 3) perbandingan jumlah personil
berdasarkan jenjang keahlian yang tidak seimbang; dan 4) kebutuhan rill akan tenaga
kerja.
Selain kedua pendektakan di atas, pendekatan cost benefits approach pun
digunakan oleh pemerintah Indonesia, sekalipun masih dalam skala kecil. Pendekatan
ini didasarkan pada asumsi bahwa a) sumbangan seseorang terhadap pendapatan
nasional sebanding dengan tingkat pendidikannya, dan b) perbedaan pendapatan di
masyarakat yang disebabakan oleh perbedaan dalam pendidikan dan bukan perbedaan
kemampuan atau latar belakang sosial. Dengan demikian, pendekatan cost benefit
didasarkan pada keuntungan penambahan pendapatan seseorang karena pendidikan.
Ditekankan agar perencanaan ekonomi dan perencanaan pendidikan harus mengikuti
bentuk logika yang sama apabila tidak kepada alokasi biaya nasional untuk setiap
sektor.
Masing-masing pendekatan di atas memiliki kelemahan. Oleh karena itu,
pendekatan Komprehensif muncul sebagai salah satu solusi dari pendekatan-
pendekatan sebelumnya. Pendekatan ini merupakan pendekatan yang cukup ideal
diterapkan di Indonesia karena merupakan gabungan dari pendekatan-pendekatan
sebelumnya.
bahwa tambahan anggaran untuk peralatan dan gedung memberikan hasil lebih besar
terhadap peningkatan mutu pendidikan. Dalam hal ke tingkat pendidikan mana
anggaran harus dialokasikan, Booth (2000) menulis bahwa di Indonesia pada 1980-an
dan 1990-an dalam laporan World Bank subsidi pemerintah yang terlalu besar bagi
pendidikan tinggi menyebabkan koefisien ini yang meningkat. Selain soal anggaran,
tingkat pendidikan di suatu negara mungkin menghadapi masalah lain di luar
pendanaan. Di sini dibutuhkan intervensi pemerintah yang spesifik untuk mengatasi
masalah-masalah itu. Dunia Pendidikan dapat menghasilkan SDM yang berkualitas
untuk membuat rancangan strategi pembangunan ekonomi Indonesia yang sesuai dan
matang bagi seluruh komponen lapisan masyarakat terutama pemerintah dapat
mengambil kebijakan ini.
Agar pendekatan komprehensif dalam perencanaan pendidikan ini dapat
berjalan, maka ia harus mengikuti prinsip-prinsip umum, yakni:
1) Politically defendable, yakni memiliki dukungan politis dari semua kalangan,
terutama para pemangku kebijakan dan pengambil keputusan. Dalam hal ini,
dukungan politis yang kondusif dari legislatif dan eksekutif menjadi prasyarat
bagi implementasi pendekatan ini
2) Socially and culturally acceptable , yakni dapat diterima dan sesuai dengan
sosial-budaya masyarakat Indonesia.
3) Technically workable, yakni secara tekhnis pendekatan ini dapat dijalankan
secara efisien dan efektif.
4) Administrativelly, managerially, organizationally practicable, yakni praktis
secara administratif, manajemen, dan organisasi
5) Economically feasible, yakni secara ekonomis dapat diprediksi atau diukur
6) Financially feasible, yakni secara financial dapat diprediksi dan diukur, dan
7) Legally permissible, yakni legal secara hukum.