polisi. Alasan polisi pun sederhana, yakni dituduh melakukan penjualan ilegal. Polisi yang kini
menangkap kedua tersangka tersebut mengaku bahwa penangkapan kedua tersangka sudah
sesuai prosedur.
Transaksi yang terjadi pada 24 November 2010 di City Walk, Tanah Abang, Jakarta Pusat itu
berakhir dengan penangkapan Dian dan Randy. Kedua alumni Institut Teknologi Bandung (ITB)
itu kemudian ditetapkan sebagai tersangka dengan dakwaan melanggar Pasal 62 Ayat (1) juncto
Pasal 8 Ayat (1) huruf j Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
karena tidak memilild buku manual berbahasa Indonesia.
Tak hanya itu, keduanya juga dijerat dengan Pasal 52 juncto Pasal 32 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi karena iPad belum dikategorikan sebagai alat
elektronik komunikasi resmi. Pelanggaran ini diancam hukuman pidana penjara paling lama 5
tahun penjara.
Kasus yang masih berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu pun menjadi pembicaraan
hangat, terutama di forum-forum dunia maya. Banyak yang mempertanyakan karena
penangkapan itu dilakukan hanya gara-gara menjual iPad tanpa buku manual berbahasa
Indonesia. Padahal, Dian dan Randy cuma bermaksud menjual gadget yang ‘katanya’ dibelinya
di Singapura.
“Dalam hal ini, kami berharap dapat mengungkap siapa yang mengimpor barang-barang yang
tidak terdaftar itu dan siapa pelaku yang melakukan perdagangan secara ilegal ini,” kata
Komisaris Besar Baharudin.
iPad yang kali pertama beredar di Indonesia belum memiliki izin dari Direktorat Jenderal Pos
dan Telekomunikasi dan belum disertai buku manual berbahasa Indonesia. Dua alasan inilah
yang dijadikan dasar bagi aparat penegak hukum untuk melakukan penangkapan Dian dan
Randy, tambah Mantan Kabid Humas Polda Sumatera Utara itu.
Dituduh asal tangkap, Polisi bersikukuh bahwa keduanya adalah penjual iPad ilegal. Proses
penyelidikan dan penyidikan diperkuat oleh saksi ahli dari pihak Direktorat Jenderal Pos dan
Telekomunikasi (Ditjen Postel) serta Kementerian Perdagangan (Kemdag).
“Pada saat itu (2010), aturan tentang penjualan barang ini (iPad) belum dikeluarkan oleh Ditjen
Postel dan Departemen Perdagangan. Oleh sebab itu, sebelum dilakukan penangkapan terhadap
dua tersangka, Ditreskrimsus Polda Metro Jaya telah berkoordinasi dengan Ditjen Postel dan
Kemdag,” kata Komisaris Besar Baharudin Djafar, Minggu.
Dari hasil koordinasi dengan dua instansi terkait, kata Baharudin, disebutkan bahwa penjualan
barang-barang yang dimiliki Randy dan Dian tidak mendapatkan izin dari kedua lembaga
tersebut. Dengan begitu, perbuatan keduanya dinilai melanggar suatu tindak pidana dan bisa
diproses sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
“Namun ketika kami desak siapa penjualnya, dia tidak bisa tunjukkan siapa penjualnya. Dia
bilang, enggak kenal sama penjualnya. Masa jualan banyak enggak kenal sama penjualnya, kan
enggak mungkin,” ujarnya.
Dan setelah didesak lagi, Randy kemudian mengaku mendapatkan barang tersebut dari
Singapura. Namun, saat diminta petugas untuk menunjukkan paspornya, Randy tidak bisa
menunjukkannya. “Kami minta dia tunjukkan paspor kalau dia ke Singapura, tetapi dia tidak bisa
menunjukkannya,” ujar Sandy.
“Boleh bawa barang dari Singapura, dengan catatan tidak boleh lebih dari 500 dollar AS dan
untuk dipakai sendiri, bukan untuk diperjualbelikan,” kata Sandy.
Randy juga sempat diminta menunjukkan faktur pajak atas barang yang dia beli dari luar negeri,
tetapi lagi-lagi tak bisa menunjukkannya. “Kalau dia bayar bea cukai, tentu dia ada buktinya.
Kalau barangnya mau dia jual, seharusnya dia punya faktur penjualan. Nah, sementara ini
enggak ada,” papar Sandy.
Randy juga mengaku sudah menjual 12 komputer tablet sebelum kasus ini terjadi. “Pengakuan
dia, dia pernah jual 12 iPad secara ilegal. Pengakuan itu tertuang dalam berita acara pemeriksaan
(BAP),” katanya.
Dalam kesempatan kemarin, Baharudin juga membantah telah menahan Dian dan Randy. “Sejak
penangkapan, kami tidak melakukan penahanan kepada keduanya. Dia kooperatif, kemudian
tidak ada indikasi melarikan diri dan mereka selalu hadir ketika diminta untuk hadir memberikan
keterangan sehingga tidak ditahan,” ungkapnya.
Sumber: Kompas.com
Inilah Kronologi Kasus iPad Dian dan Randy
Dian dan Randy ditangkap oleh Polda Metro Jaya bersama
delapan barang bukti iPad.
Sabtu, 2 Juli 2011, 15:46 WIB
VIVAnews- Penahanan Randy dan Dian, penjual iPad melalui suatu situs forum media sosial
dipertanyakan banyak pihak. Berawal dari menjual iPad secara iseng, kedua pria itu kini ditahan.
Pengacara Dian dan Randy, Virza Roy Hizzal, menuturkan pada awalnya Randy pergi ke
Singapura dengan keluarga besarnya. Dalam tamasya itu, masing-masing anggota keluarga
membeli iPad. Karena sudah memiliki pekerjaan tetap, ia hanya iseng menjual koleksi iPad-nya.
Randy lalu menjual 2 iPad itu kepada Dian, masing-masing iPad 16 Gb seharga Rp6,6 juta dan
iPad 64Gb seharga Rp8,5 juta. Randy mendapat keuntungan Rp300-400 ribu dari penjualan itu.
Dian lalu menjual 2 iPad itu melalui situs kaskus dengan mengambil keuntungan sekitar Rp150
ribu dari harga yang dijual Randy.
Penjualan itu dilakukan oleh istri Dian, yang membuka penawaran di kaskus. "Jadi Dian
menawarkan 2 iPad itu melalui istrinya" ujar dia saat dihubungi VIVAnews, Sabtu, 2 Juli 2011.
Penawaran itu berhasil menarik minat pembeli yang ternyata polisi. Bahkan keduanya sempat
bertukar nomor handphone dan pin BlackBerry. Sang pembeli itu menanyakan apakah Dian
memiliki 8 unit iPad.
Karena hanya menjual 2 iPad, Dian lalu menghubungi Randy yang memiliki beberapa unit iPad
lagi. Akhirnya mereka sepakat bertemu di Plaza Citiwalk pada 24 November 2010. Dian dan
Randy membawa 8 unit iPad sesuai pesanan.
Di awal pertemuan, pembeli itu masih belum mengakui identitasnya. Ketika mereka memeriksa
barang, sang pembeli menanyakan apakah ada buku manual berbahasa Indonesia, keduanya
mengatakan tidak ada. Dian dan Randy lalu ditangkap oleh Polda Metro Jaya bersama 8 barang
bukti iPad.
Sebelum ditangkap, polisi menanyakan lokasi kantor Dian. Petugas lalu menggeledah kantornya.
Namun Polisi tidak menemukan adanya iPad karena perusahaan Dian bukan bergerak di bidang
elektronik. Kemudian mereka digelandang ke Polda Metro Jaya.
Kena Dakwaan
Selama dilakukan proses pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), keduanya tidak ditahan
karena memiliki identitas jelas dan kooperatif. Keduanya didakwa Pasal 8 ayat 1 huruf J UU No
8/1999 mengenai Perlindungan Konsumen dan Pasal 52 junto ayat 32 no 36/1999 tentang
Telekomunkasi.
Ketika BAP sudah lengkap dan dialihkan ke Kejaksaan, keduanya lalu ditahan pada 3 Mei 2011.
Alasannya, mereka melanggar Pasal 8 ayat 1 huruf J UU No 8/1999 mengenai Perlindungan
Konsumen. Ancamannya ditahan dan sanksi maksimal 5 tahun.
Sidang tahap pertama terjadi pada Selasa, 28 Juni 2011 dengan agenda pembuktian saksi. Dalam
sidang itu menghadirkan polisi yang menangkap Dian dan Randy. Sidang selanjutnya akan
dilakukan pada 5 Juli 2011.
Firza mengatakan mereka tidak memiliki tujuan khusus menjual iPad dari luar negeri. Keduanya
memiliki pekerjaan tetap.
"Tujuannya hanya iseng saja, karena Randy sering bepergian ke luar negeri ya sambilan saja
menjual barang elektronik" ujar Firza. (ren)
Awalnya, mereka tidak ditahan karena dinilai memiliki itikad baik dan bersikap kooperatif.
Namun, ketika berkas mereka dilimpahkan ke kejaksaan, mereka ditahan sejak 3 Mei 2011.
Alasannya, mereka dijerat UU Perlindungan Konsumen yang membuat tersangka bisa dikenakan
penahanan.
Kasus itu bermula saat Dian dan Randy menawarkan dua iPad 3G Wi Fi 64 GB di forum jual
beli situs www.kaskus.us. Tiba-tiba saja hal itu membuat polisi Polda Metro Jaya melakukan
penyelidikan. Lantas, seorang polisi, Eben Patar Opsunggu, menyamar sebagai pembeli.
Transaksi pun dilakukan pada 24 November 2010 di City Walk, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Hari itu juga, dua alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) tersebut ditangkap. Mereka
kemudian ditetapkan sebagai tersangka. Keduanya didakwa melanggar Pasal 62 Ayat (1) juncto
Pasal 8 Ayat (1) huruf j Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
karena tidak memilild buku manual berbahasa Indonesia.
Keduanya juga dijerat dengan Pasal 52 juncto Pasal 32 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 36
Tahun 1999 tentang Telekomunikasi karena iPad belum dikategorikan sebagai alat elektronik
komunikasi resmi. Ancamannya pidana penjara paling lama 5 tahun penjara. Kasus ini masih
berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Kasus itu menyedot perhatian banyak pihak. Sepanjang dua hari terakhir, kasus ini menjadi
pembicaraan hangat, terutama di forum-forum dunia maya. Banyak yang mempertanyakan
karena penangkapan itu dilakukan hanya gara-gara menjual iPad tanpa buku manual berbahasa
Indonesia. Padahal, Dian dan Randy cuma bermaksud menjual gadget yang dibelinya di
Singapura.
Namun, polisi memiliki alasan sendiri. Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar
Baharudin Djafar, Minggu (3/7/2011) siang, menjelaskan, proses penyidikan kasus itu berawal
dari beredarnya iPad pada tahun 2010 yang saat itu mulai booming. Menurut Komisaris Besar
Baharudin, diduga banyak iPad yang diperjualbelikan secara ilegal saat itu sehingga Direktorat
Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Metro Jaya berinisiatif untuk mengungkap dan
melihat bagaimana perdagangan iPad ilegal tersebut.
"Dalam hal ini, kami berharap dapat mengungkap siapa yang mengimpor barang-barang yang
tidak terdaftar itu dan siapa pelaku yang melakukan perdagangan secara ilegal ini," kata
Komisaris Besar Baharudin.
Mantan Kabid Humas Polda Sumatera Utara itu mengatakan, iPad yang kali pertama beredar di
Indonesia belum memiliki izin dari Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi. Selain itu,
belum ada buku manual berbahasa Indonesia. Dua alasan inilah yang dijadikan dasar bagi aparat
penegak hukum untuk melakukan penangkapan terhadap Dian dan Randy.
Polisi bersikukuh bahwa keduanya adalah penjual iPad ilegal. Jadi, penangkapan keduanya
bukan asal tangkap. Proses penyelidikan dan penyidikan diperkuat oleh saksi ahli dari pihak
Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi (Ditjen Postel) serta Kementerian Perdagangan
(Kemdag).
"Pada saat itu (2010), aturan tentang penjualan barang ini (iPad) belum dikeluarkan oleh Ditjen
Postel dan Departemen Perdagangan. Oleh sebab itu, sebelum dilakukan penangkapan terhadap
dua tersangka, Ditreskrimsus Polda Metro Jaya telah berkoordinasi dengan Ditjen Postel dan
Kemdag," kata Komisaris Besar Baharudin Djafar, Minggu.
Dari hasil koordinasi dengan dua instansi terkait, kata Baharudin, disebutkan bahwa penjualan
barang-barang yang dimiliki Randy dan Dian tidak mendapatkan izin dari kedua lembaga
tersebut. Dengan begitu, perbuatan keduanya dinilai melanggar suatu tindak pidana dan bisa
diproses sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
Kepala Satuan Industri dan Perdagangan (Indag) Direktorat Reskrimsus Polda Metro Jaya AKBP
Sandy Nugroho menjelaskan, Randy mengaku membeli iPad tersebut dari seorang penjual dan
mengaku "beli putus".
"Namun ketika kami desak siapa penjualnya, dia tidak bisa tunjukkan siapa penjualnya. Dia
bilang, enggak kenal sama penjualnya. Masa jualan banyak enggak kenal sama penjualnya, kan
enggak mungkin," katanya.
Setelah didesak lagi, Randy kemudian mengaku mendapatkan barang tersebut dari Singapura.
Namun, saat diminta petugas untuk menunjukkan paspornya, Randy tidak bisa menunjukkannya.
"Kami minta dia tunjukkan paspor kalau dia ke Singapura, tetapi dia tidak bisa
menunjukkannya," ujar Sandy.
Menurut Sandy, jika barang tersebut dibawa ke Indonesia melalui udara, seharusnya Randy
memberitahukan barang yang dibelinya ke pihak Bea dan Cukai. "Boleh bawa barang dari
Singapura, dengan catatan tidak boleh lebih dari 500 dollar AS dan untuk dipakai sendiri, bukan
untuk diperjualbelikan," kata Sandy.
Randy juga sempat diminta menunjukkan faktur pajak atas barang yang dia beli dari luar negeri,
tetapi lagi-lagi tak bisa menunjukkannya. "Kalau dia bayar bea cukai, tentu dia ada buktinya.
Kalau barangnya mau dia jual, seharusnya dia punya faktur penjualan. Nah, sementara ini
enggak ada," papar Sandy.
Tak hanya itu. Baharudin Djafar menambahkan bahwa Randy bukan hanya sekali ini menjual
iPad. Sebelumnya, dia sudah pernah menjual 12 komputer tablet tersebut. "Pengakuan dia, dia
pernah jual 12 iPad secara ilegal. Pengakuan itu tertuang dalam berita acara pemeriksaan
(BAP)," katanya.
Dalam kesempatan kemarin, Baharudin juga membantah telah menahan Dian dan Randy. "Sejak
penangkapan, kami tidak melakukan penahanan kepada keduanya. Dia kooperatif, kemudian
tidak ada indikasi melarikan diri dan mereka selalu hadir ketika diminta untuk hadir memberikan
keterangan sehingga tidak ditahan," ungkapnya. (ded)
Heboh Kasus Jualan Ipad Bodong, Charlie "iPad" Akhirnya Divonis Bebas
Jakarta: Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membebaskan terdakwa Charlie
"iPad" Mangapul Sianipar dari segala tuntutan jaksa.
Hakim menilai dakwaan penjualan iPad tanpa buku panduan manual berbahasa Indonesia dan
sertifikasi tidak terbukti.
"Mengadili, menyatakan terdakwa Charlie Mangapul Sianipar tidak terbukti bersalah. Maka
terdakwa harus dibebaskan dan dipulihkan nama baiknya," kata Ketua Hakim Yonisman, dalam
persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (14/3).
Dalam amar putusan hakim, dakwaan Jaksa Penutut Umum (JPU) mengenai tidak adanya buku
panduan berbahasa Indonesia dan sertifikasi itu tidak terbukti. Karena buku panduan tersebut
telah ada di dalam lebel iPad itu sendiri yang dapat dilihat di regulatory.
Mendengar putusan itu, jaksa akan mengajukan kasasi. "Iya kita ajukan kasasi," kata Jaksa
Yoklina.
Sebelumnya, JPU menuntut Charlie selama enam bulan penjara pada Rabu (11/1). Charlie juga
dikenai denda Rp 5 juta subsider dua bulan kurungan.
Kasus Charlie berawal pada 2 November 2010, saat Charlie mendemonstrasikan petunjuk
pemakaian dan fungsi perangkat Ipad tersebut. Charlie juga mempromosikan iPad melalui forum
Jual Beli Kaskus.
Namun tiba-tiba, seorang polisi menangkap dan menyita barang bukti berupa 14 unit iPad.
Charlie tidak ditahan, namun 14 unit iPad seharga Rp 9 juta per unit disita polisi. Peristiwa itu
terjadi pada tahun 2010, satu bulan kemudian di saat Charlie baru membuka usahanya di Mal
Ambasador.(MEL)
Charlie terdakwa kasus “iPad” divonis bebas
 Jakarta – Terdakwa kasus penjualan iPad tanpa sertifikasi dan buku manual berbahasa
Indonesia, Charlie Mangapul Sianipar, Rabu, divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan.
“Mengadili, menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar dakwaan
pertama dan kedua, terdakwa harus dibebaskan dan dipulihkan nama baiknya,” kata pimpinan
majelis hakim, Yonisman, di PN Jaksel, Rabu,
Sebelumnya, penuntut umum menuntut Charlie Mangapul Sianipar dengan enam bulan kurungan
karena didakwa melanggar Pasal 62 ayat (1) jo Pasal 8 ayat (1) huruf j UU Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen dan Pasal 52 jo Pasal 32 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 1999
tentang Telekomunikasi.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan iPad yang dijual oleh terdakwa telah
memenuhi persyaratan dan ketentuan hukum serta bisa diperjualbelikan ke konsumen.
Majelis hakim juga memerintahkan agar 14 unit iPad yang disita oleh penuntut umum dari
terdakwa agar dikembalikan lagi.
Ke-14 unit iPad yang disita itu, yakni, 10 unit iPad, Apple 65 GB-3G, dua unit iPad Apple 32
GB-3G, dan dua unit iPad Apple 16 GB-3G.
Seusai persidangan, Charlie menyatakan putusan itu menunjukkan bahwa secara hukum iPad
yang dijual itu tidak memiliki masalah karena sudah ada petunjuk berbahasa Indonesia dan label
Dirjen Postel.
Sementara itu, penuntut umum, Yoklina Sitepu mengaku kecewa dengan putusan tersebut dan
akan mengajukan kasasi.(lalalulu)
Dari tokonya, aparat Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya telah melakukan
penyitaan terhadap barang bukti berupa 14 unit iPad pada Selasa, 2 November 2010. Penyitaan
dilakukan dengan alasan produk Apple yang diperdagangkan tidak memenuhi persyaratan teknis
yang ditetapkan undang-undang.
Dalam sidang pada Rabu (11/2/2012), penuntut umum Samadi Budi Syam menuntut terdakwa
dengan hukuman penjara selama 6 bulan, disertai denda sebesar Rp 5 juta subsider dua bulan
kurungan. Charlie dikenai dakwaan alternatif kedua, yakni Pasal 52 juncto Pasal 32 Ayat (1)
Undang-Undang RI No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi karena dianggap telah
memperdagangkan perangkat telekomunikasi yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis.
Persyaratan teknis dimaksud adalah iPad yang diperdagangkan tidak dilengkapi sertifikasi dari
Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi. Produk Apple tersebut juga tidak memiliki
sertifikasi izin edar, buku petunjuk penggunaan berbahasa Indonesia, dan tanpa kartu garansi.
Sementara itu, dakwaan alternatif pertama yang dikenakan pada Charlie adalah Pasal 62 Ayat (1)
juncto Pasal 8 Ayat (1) huruf j Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. Pasal ini kemudian tidak ikut disertakan sebagai pertimbangan dalam tuntutan JPU.
Charlie yang dihubungi wartawan sebelum sidang menyatakan keheranannya karena justru
pedagang kecil seperti dirinya yang dijadikan sasaran penggerebekan aparat.
"Padahal ada banyak pembajakan di depan masa yang bisa kita tunjuk," kata pria kelahiran
Sidikalang, Sumatera Utara itu.
Terkait izin edar, Charlie menegaskan dirinya adalah pedagang perorangan. Sesuai keterangan
saksi a de charge (saksi meringankan) Gatot S Dewa Broto dari Kemenkominfo, yang
diwajibkan memiliki surat izin edar adalah distributor atau pabrikan, bukan pedagang
perorangan.
Sementara itu, JPU tetap bersikukuh bahwa dalam produk asli iPad selalu tersegel label garansi.
Hal itu tidak terdapat pada 14 unit iPad yang disita dari toko Charlie. Ke-14 unit iPad itu adalah
10 unit iPad Apple 3G 64 GB, 2 unit iPad Apple 3G 32 GB, dan 2 unit iPad Apple 3G 16 GB.
Kasus iPad Indonesia
Salah satu dari 10 kasus yang menghebohkan, mengguncang hukum Indonesia dalam dua tahun
belakangan ini (2010-2011) selama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
adalah kasus iPad Indonesia. Polisi menangkap pedagang kecil, perorangan dan pedagang online
serta menyita dagangannya, dengan cara berpura pura menjadi konsumen, mendakwanya dengan
Undang Undang Perlindungan Konsumen RI No 8 tahun 1999 serta UU Telekomunikasi RI No.
36 tahun 1999 tanpa pernah terjadi transaksi jual beli layaknya antara pedagang dengan
konsumen.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Baharudin Djafar, Senin (4/7/2011) di
markas Polda Metro Jaya mengatakan ada 11 kasus iPad di Jakarta yang ditangani oleh
Direktorat Reskrimsus Kasat I Indag AKBP Sandi Nugroho, SIk, SH, MH. Empat dari sebelas
kasus iPad yang hanya terdapat di Jakarta ini terjadi terhadap Wiwi Siswanto, Dian Yudha
Negara dan Randy Lester Samusamu, Charlie Sianipar serta Calvin Winoto. Anak anak bangsa
ini didakwa menjual iPad tanpa dilengkapi buku panduan berbahasa Indonesia. Pada
kenyataanya, Apple iPad yang dijual diseluruh dunia telah dilengkapi dengan menu dan petunjuk
pengguna iPad dalam bahasa Indonesia, Selain itu buku digital gadget tersebut dapat diunduh
dan dicetak setebal 209 halaman. Apple Inc. sejak dulu berpihak pada konsep go green,
peperless menghindari pohon agar tidak menjadi bubur kertas termasuk garansi internasional
dapat diregistrasi pada apple.com secara online, tidak menerbitkan kartu dalam cetakan seperti
yang selalu ditanyakan jaksa Samadi Budi Syam dalam persidangan iPad di Jakarta Selatan
terhadap Charlie iPad. Kemudian iPad tidak diwajibkan memiliki buku panduan berbahasa
Indonesia sesuai dengan Peraturan Menteri perdagangan No.19/M-DAG/PER/5/2009 tentang
Pendaftaran Petunjuk Penggunaan (Manual) Dan Kartu Jaminan/Garansi Purna Jual Dalam
Bahasa Indonesia Bagi Produk Telematika dan Elektronika. Pedagang kecil yang ditangkap
polisi ini juga tidak diwajibkan melakukan sertifikasi sesuai dengan Peraturan Menteri
Komunikasi Dan Informatika Nomor:29/PER/M.KOMINFO/ 09/2008 tentang Sertifikasi Alat
Dan Perangkat Telekomunikasi. Disebutkan bahwa pihak-pihak yang berkewajiban untuk
melakukan sertifikasi adalah (i) Pabrikan atau perwakilannya (representative), (ii) Distributor
(badan usaha yang sah yang ditunjuk oleh pabrikan), (iii) Importir, (iv) Badan usaha perakit alat
dan perangkat telekomunikasi; dan (v) Institusi yang menggunakan alat dan perangkat
telekomunikasi untuk keperluan sendiri.
Pengadilan kasus iPad sesat yang terjadi hanya di Indonesia, menurut Faisal Basri dapat terjadi
kepada siapa saja. Ditempat terpisah Andi F. Simangunsong kuasa hukum Charlie M. Sianipar
setelah pemeriksaa saksi polisi yang diajukan jaksa memaparkan keganjilan kasus iPad. Atang
Setiawan, S. Sos, MSI malah mengatakan tidak mengerti tentang digital file yang ada pada sabak
(iPad) rancangan Steve Jobs ini. Ahli IT pemilik blog dari Cyber Crime tersebut bersaksi pada
sidang iPad bersama rekannya Yeni Yuningsih. Demikian juga dua saksi lain yang diajukan oleh
polisi saat BAP dibuat di POLDA, Aman Sinaga SH dari Kementerian Perdagangan dan Ir.
Subagyo dari Kemenkominfo, kedua ahli ini ternyata gaptek (gagap teknology), setali dua uang
dengan JPU Samadi Budi Syam yang tidak dapat menggunakan iPad.
Dagelan kasus iPad ini belum berakhir walaupun kasus iPad Indonesia yang dialami Dian dan
Randy telah di vonis bebas oleh majelis hakim di pengadilan negeri Jakarta Selatan
(25/11/2011), masih ada sidang yang sedang berjalan di PN Jakarta Pusat, jalan Ampera Raya
terhadap Charlie serta sisa dari 11 kasus iPad lainnya yang tidak terpantau oleh media, menjadi
dagelan dan sorotan publik. Beritanya ditautkan di forum on line, masyarakan menghujat polisi,
jaksa, saksi yang mengaku ahli dicaci maki di internet. Teman dan sahabat Charlie Sianipar
menerbitkan Siaran Pers IKA FISIP USU, masyarakat pencinta seni fotografi Indonesia
membuat petisi online melengkapi dukungan atas kasus iPad di Facebook.
Semoga perkara iPad yang berikut, majelis hakim di negeri ini memiliki cara berfikir dan
pandangan yang sama dengan putusan pengadilan di Jakarta Pusat, atas nama kebenaran dan
keadilan menuntut bebas perkara kasus iPad Indonesia yang persidangannya menjadi perhatian
masyarakat, menjadi bagian dari beberapa kasus yang menghebohkan dalam dua tahun terakhir.
JAKARTA - Dua terdakwa kasus penjualan iPad tanpa buku petunjuk manual, Randy Lester
Samusamu dan Dian Yudha Negara divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat, Selasa (25/10/2011).
"Menyatakan terdakwa Randy Lester Samusamu dan Dian Yudha Negara tidak terbukti dalam
dakwaan, membebaskan dan memulihkan hak haknya," kata Ketua Majelis Hakim Sapawi saat
membacakan putusannya.
Majelis hakim juga meminta, nama keduanya direhabilitasi dan barang bukti berupa 8 iPad
dikembalikan ke Randy dan Dian.
Sapawi menjelaskan, kedua terdakwa tidak bersalah karena menjual iPad tanpa panduan
berbahasa Indonesia. Sebab, menurut peraturan Menteri Perdagangan, iPad tidak termasuk dalam
45 barang dagangan yang harus dijual dengan melampirkan panduan berbahasa Indonesia.
Sapawi juga menjelaskan, penjualan produk Ipad harus disertai sertifikasi dari Direktorat
Jenderal Pos dan Telekomunikasi. Namun, aturan tersebut hanya berlaku bagi perusahaan.
Sedangkan, Randy dan Dian adalah perseorangan dan bukan perusahaan. Karena itu, keduanya
tidak dapat disalahkan.
Seusai sidang Randy mengaku bahagia dengan vonis tersebut. "Saya bersyukur karena hakim
memberi vonis bebas. Sebelumnya apapun putusannya saya sudah siap. Saya juga berterima
kasih karena dibantu penasihat hukum yang top," katanya.
Seusai sidang, puluhan pendukung Randy dan Dian meluapkan kegembiraannya. Beberapa
mereka menyanyi dan berfoto di depan ruang sidang.
Kasus ini diawali ketika Randy dan Dian disangka menjual 8 iPad yang tidak memunyai panduan
berbahasa Indonesia dan tidak ada sertifikasi dari Dirjen Postel Kementerian Komunikasi dan
Informatika. Randy dan Dian melakukan penjualan Ipad dengan pengiklanan melalui media
internet. Kedua terdakwa membeli Ipad dari luar negeri untuk dijual di Indonesia. Tindakan
kedua terdakwa tersebut dinilai merugikan konsumen. Rendy dan Dian dijerat UU Perlindungan
Konsumen dan UU Telekomunikasi.
Keduanya ditangkap oleh petugas kepolisian yang menyamar sebagai pembeli. Keduanya
ditangkap di Citywalk Sudirman Jakarta Pusat.
Kasus ini memunculkan kontroversi. Kesan yang muncul ada kriminalisasi pada dua terdakwa
ini. Beberapa tokoh mengaku prihatin dengan kasus iPad ini. Misalnya, Wakil Ketua DPR
Pramono Anung yang menilai kasus iPad terjadi karena Rendy dan Dian tidak punya akses
kekuasaan. Mantan Ketua Ombudsman Antonius Sujata juga menilai kasus Ipad adalah bentuk
kriminalisasi. Jaksa Agung Basrief Arief mengungkapkan kepada jajaran jaksa agar kasus iPad
ini tidak terulang di kemudian hari. (tyo)
VIVAnews - Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Pusat membebaskan terdakwa Dian Yudha Negara dan
Randy Lester Samu Samu dari segala dakwaan Jaksa Penuntut Umum atas kasus penjualan iPad ilegal.
"Menyatakan Randy Lester Samu Samu dan Dian Yudha Negara tidak terbukti secara sah meyakinkan
melakukan tindak pidana dalam dakwaan kesatu dan kedua," kata Ketua Majelis Hakim Sapawi, saat
membacakan putusan di PN Jakarta Pusat, Selasa 25 Oktober 2011.
"Membebaskan terdakwa dari dakwaan kesatu dan kedua, memulihkan haknya, martabatnya seperti
semula," imbuhnya. Majelis hakim juga memerintahkan Jaksa Penuntut Umum untuk mengembalikan
barang bukti delapan iPad kepada para terdakwa. Serta, membebankan biaya perkara ini kepada negara.
Dian dan Randy diputus bebas karena unsur dakwaan pertama dan kedua tak terbukti. Pada unsur
dakwaan satu, yakni Pasal 8 ayat 1 huruf J Undang-undang No. 8/1999 mengenai Perlindungan
Konsumen karena peraturan itu tidak menyebutkan iPad sebagai salah satu dari 45 barang telematika
yang diharuskan memiliki modul berbahasa Indonesia.
Kemudian pada dakwaan kedua, yakni pada pasal 52 junto ayat 32 UU No. 36/1999 tentang
Telekomunikasi, juga digugurkan, karena Dian dan Randy bukanlah importir maupun distributor.
Melainkan perseorangan.
"Menimbang terdakwa adalah perseorangan. Tidak ada fakta yang menyatakan dia importir atau
distributor, karena perseorangan tidak termasuk dalam aturan itu, maka ketentuan tidak dapat
diberikan kepada terdakwa. Maka unsur itu tidak dapat dibuktikan," kata Hakim Sapawi. (umi)
Kepala Satuan Indag Direktorat Reskrimsus Polda Metro Jaya menjelaskan bagaimana kronologi
penangkapan kedua alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) yang kini telah ditahan di
Lembaga Pemasyarakatan Rutan Salemba, Jakarta Pusat.
Polisi kemudian menyelidiki perdagangan bebas iPad melalui internet sehingga ditemukan
seorang wanita berinisial G yang mempromosikan iPad melalui forum Kaskus. Polisi kemudian
melakukan undercover buy dengan G.
Namun, G kemudian menyatakan barang yang dia promosikan bukan miliknya, melainkan milik
Dian Yudha (42) yang merupakan suaminya. Saat itu, G menawarkan harga 1 unit iPad sebesar
Rp 10 juta.
Penyidik memesan 8 unit iPad. Sebagai uang muka, penyidik mentransfer Rp 670 ribu ke
rekening Dian.
24 November 2010
Lokasi transaksi yang disepakati oleh tersangka Randy adalah Citywalk, Tanah Abang, Jakarta
Pusat. Di Citywalk, yang hadir adalah Dian dan Randy. Saat itu, Dian menunjukkan 2 unit iPad.
Enam unit lainnya, disimpan di dalam tas.
Polisi kemudian meminta Randy dan Dian untuk menunjukkan manual book berbahasa
Indonesia atas iPad yang dijual. Namun, Randy tidak bisa menunjukkannya, sehingga petugas
kemudian menangkapnya.
Dari tangan Randy dan Dian, polisi menyita 8 unit iPad. Namun pengakuan Randy, semua
barang tersebut bukan miliknya. Dua di antaranya, diakuinya sebagai milik tersangka Dian.
Saat diinterogasi, Randy dan Dian mengaku membeli barang tersebut dari Singapura. Namun
saat diminta menunjukkan paspor, keduanya tidak dapat menunjukkannya. Belakangan dalam
pemeriksaan, keduanya mengaku mendapatkan barang tersebut dari seorang sales. Namun,
keduanya tidak bisa menunjukkan siapa salesnya.
Setelah dilakukan pemeriksaan, polisi tidak melakukan penahanan terhadap keduanya. Polisi
beralasan, keduanya kooperatif dan tidak ada indikasi melarikan diri.
19 April 2011
Berkas pemeriksaan kedua tersangka dinyatakan telah lengkap (P-21) oleh kejaksaan.
22 April 2011
Tersangka dan barang bukti berupa 8 unit iPad diserahkan ke kejaksaan. Selanjutnya, kejaksaan
melakukan penahanan terhadap keduanya di Rutan Salemba, Jakarta Pusat. [detikinet]
Jakarta - Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba saja hidup Dian (42) dan Randy (29) berubah 180
derajat. Layaknya disambar petir di siang bolong, karena jual iPad, 2 alumni ITB ini harus meringkuk di
Rumah Tahanan (Rutan) Salemba sejak 3 Mei lalu. Hanya karena manual book iPad tersebut berbahasa
inggris.
"Saya tidak ada niat melakukan kejahatan. Saya beli iPad itu senilai Rp 8,5 juta. Kami hanya mengambil
untung Rp 100 ribu tiap unit iPad. Kok sekarang seperti ini. Padahal ini pertama kali saya menjual iPad
ini," kata Dian saat ditemui detikcom di Rutan Salemba, Jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat, Sabtu,
(2/7/2011).
Hanya dukungan total dari keluarganya lah yang membuatnya terus tegar. Selain itu, dukungan juga
tidak henti-hentinya diberikan dari teman SMA, alumnus ITB serta teman kantor keduanya. Silih berganti
mereka menjenguk keduanya di Rutan Salemba. Atau sekedar menelepon istri Dian dan istri Randy
untuk memberikan dukungan moril.
"Ada juga klien kantor menawarkan bantuan. Teman-teman kampus juga sering menjenguk ke sini,"
ungkap Dian.
Dirinya merasa kaget ketika kasusnya ramai diperbincangkan. Dian yang berada di tahanan tidak
menyangka kasusnya akan menyita perhatian publik. "Saya sekarang berada di tahanan, jadi tidak tahu
apa yang terjadi di luar sana," beber Dian.
Kasus ini bermula ketika Dian dan Randy menawarkan 2 buah Ipad 3G Wi Fi 64 GB di forum jual beli situs
www.kaskus.us. Entah karena apa, tawaran ini membuat anggota polisi Polda Metro Jaya melakukan
penyelidikan. Lantas, seorang anggota polisi, Eben Patar Opsunggu menyamar sebagai pembeli.
Transaksi pun dilakukan pada 24 November 2010 di City Walk, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Lantas, keduanya ditangkap polisi. Oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Endang, mendakwa keduanya
melanggar Pasal 62 Ayat (1) juncto Pasal 8 Ayat (1) Huruf j UU No 8/ 1999 tentang Perlindungan
Konsumen karena tidak memiliki manual book berbahasa Indonesia. Lalu, Pasal 52 juncto Pasal 32 Ayat
(1) UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi, karena iPad belum terkategori alat elektronik komunikasi
resmi. Ancamannya pidana penjara paling lama 5 tahun penjara. Kasus ini masih berlangsung di PN
Jakarta Pusat.
Jakarta - Dian Yudha (42) dan Randy (29) mendekam di penjara lantaran menjual iPad tanpa buku
panduan berbahasa Indonesia. Polisi mengklaim pemrosesan hukum atas keduanya dengan
pertimbangan matang karena sudah mendapat keterangan sejumlah saksi ahli.
"Untuk menguatkan kasus ini, kita memeriksa saksi ahli dari Dirjen Pos dan Telekomunikasi dan saksi ahli
Kemendag. Dua saksi ahli mendukung, dan dua saksi ini menyatakan bahwa perbuatan tersangka ada
tindak pidana," terang Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Baharudin Djafar di Mapolda
Metro Jaya, Jl Sudirman, Jakarta, Minggu (3/7/2011).
Kasubdit Industri dan Perdagangan Direktorat Reskrimsus Polda Metro Jaya AKBP Sandy Nugroho
menyampaikan hal yang sama. Selain itu, polisi juga meminta keterangan dari Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia (YLKI).
"Kita juga menghadirkan saksi ahli dari YLKI. Dari merekalah harus ada manual book. Barang elektronik
impor harus ada manual booknya," kata Sandy.
Baharudin menambahkan, untuk kasus semacam ini, polisi baru mengungkap kasus yang melibatkan
Dian dan Randy. Polisi berniat menyelamatkan bea masuk dari perdagangan barang impor.
"Inilah yang menjadi niat kita siapa yang membeli kalau yang dimasukkan ke negeri ini begitu banyak
tentu kita ingin menyelamatkan perdagangan. Menyelamatkan berapa bea yang harus dimasukkan ke
dalam negara dan berapa yang harus diselamatkan," jelas Baharudin.
Dia menegaskan, pihaknya tidak motif personal dalam pengungkapan kasus itu. Namun polisi ingin
mengungkap perbuatan pidana yang scope-nya lebih besar.
"Ini yang menjadi motivasi daripada Polda untuk melakukan pengungkapan kasus ini," ujarnya.
Apakah selain di Kaskus, keduanya juga menjual di tokonya? "Kemungkinan dijual juga di tempatnya,
akan tetapi yang kita proses tentu yang kita dapatkan pada saat itu," ucap Baharudin.
Kasus ini dinyatakan telah lengkap (P21) pada 19 April 2011. Kemudian, tersangka berikut barang bukti
berupa 8 unit iPad2 itu diserahkan tahap kedua pada 22 April 2011. Namun menurut versi Dian dan
Randy, mereka mulanya tidak menawarkan 8 iPad,melainkan 2 Ipad 3G Wi Fi 64 GB di forum jual beli
situs www.kaskus.us. Entah karena apa, tawaran ini membuat anggota polisi Polda Metro Jaya
melakukan penyelidikan. Lantas, seorang anggota polisi, Eben Patar Opsunggu menyamar sebagai
pembeli. Transaksi pun dilakukan pada 24 November 2010 di City Walk, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Lantas, keduanya ditangkap polisi. Oleh jaksa penuntut umum (JPU) Endang, keduanya didakwa
melanggar pasal 62 ayat (1) juncto pasal 8 ayat (1) huruf j UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen karena tidak memiliki manual book berbahasa Indonesia. Lalu, pasal 52 juncto pasal 32 Ayat
(1) UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, karena iPad belum terkategori alat elektronik
komunikasi resmi. Ancamannya pidana penjara paling lama 5 tahun penjara. Kasus ini masih
berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Jakarta - Penangkapan yang berakhir ditahannya Dian (42) dan Randy (29) gara-gara menjual 2 unit iPad
menuai kontroversi. Sebab unsur kriminalisasi sangat kental dan terkesan tebang pilih.
Pertama, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Baharudin Djafar menjelaskan, penangkapan
keduanya setelah kepolisian melakukan penyelidikan terkait penjualan iPad secara ilegal. Lantas
Direktorat Reskrimsus berinisiatif untuk mengungkap dan melihat bagaimana perdagangan iPad secara
ilegal ini. Dengan harapan dapat ungkap siapa pengimpor barang tidak terdaftar dan siapa pelaku
perdaganganan secara ilegal ini.
Namun, dalam dakwaan jaksa, bukannya menjerat dengan pasal penyelundupan, tapi berubah 180
derajat. Jaksa menjerat keduanya dengan tindakan menjual barang tidak menggunakan manual book
berbahasa Indonesia. Hal ini sesuai dengan Pasal 62 Ayat (1) juncto Pasal 8 Ayat (1) Huruf j UU 8 / 1999
tentang Perlindungan Konsumen.
Perubahan niat polisi, dari niat mengungkap penyelundupan menjadi pemidanaan penggunaan manual
book berbahasa asing menjadi kejanggalan serius.
Kedua, polisi dan jaksa berdalih keduanya melanggar UU Perlindungan Konsumen, pasal 62 tersebut.
Padahal pasal tersebut masih harus diatur lebih lanjut oleh peraturan yang dibuat oleh menteri. Karena
Menteri Perdagangan mengeluarkan surat edaran untuk memperjelas maksud pasal UU Perlindungan
Konsumen ini.
Dalam Surat Edaran Menteri Perdagangan, iPad tidak masuk dalam 45 jenis barang yang diatur. Jika 45
jenis barang tersebut tidak menggunakan manual book berbahasa Indonesia, maka siap- siap saja
penjual akan menghadapi ancaman penjara.
Atas kejanggalan-kejanggalan tersebut, masyarakat pun mengecam keras tindakan polisi yang tidak
professional. Anggota YLKI, Tulus Abadi mengimbau agar pihak kepolisian tidak tebang pilih dalam kasus
semacam itu.
"Kalau mau bersikap adil, ya, semua pedagang yang menjual barang yang tidak menyertakan manual
book dalam bahasa Indonesia ditangkap juga dong, jangan tebang pilih," kata Tulus saat dihubungi
detikcom, kemarin.
Kasus ini bermula saat Dian dan Randy menawarkan 2 buah Ipad 3G Wi Fi 64 GB di forum jual beli situs
www.kaskus.us. Entah karena apa, tawaran ini membuat anggota polisi Polda Metro Jaya melakukan
penyelidikan. Lantas, seorang anggota polisi, Eben Patar Opsunggu menyamar sebagai pembeli.
Transaksi pun dilakukan pada 24 November 2010 di City Walk, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Lantas, keduanya ditangkap polisi. Oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Endang, keduanya didakwa
melanggar Pasal 62 Ayat (1) juncto Pasal 8 Ayat (1) Huruf j UU/ 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen karena tidak memiliki manual book berbahasa Indonesia. Lalu, Pasal 52 juncto Pasal 32 Ayat
(1) UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, karena I Pad belum terkategori alat elektronik
komunikasi resmi. Ancamannya pidana penjara paling lama 5 tahun penjara. Kasus ini masih
berlangsung di PN Jakarta Pusat.
Dipenjara karena Jual iPad, IA ITB Beri
Bantuan Hukum untuk Anggotanya
Susi Fatimah - Okezone
JAKARTA – Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) menyiapkan bantuan hukum kepada dua
anggotanya yakni Dian dan Randy yang diduga melakukan tindak kejahatan karena menjual 2 iPad tanpa
ada manual book dalam bahasa Indonesia.
“Kami dari ikatan alumni ITB telah menyiapkan pengacara dalam upaya memberikan bantuan hukum
kepada Dian dan Randy,” ujar Kabid Bisnis dan Teknopreneur Ikatan Alumni ITB, Amir Sambodo kepada
okezone, Sabtu (2/7/2011).
Selain itu, lanjut Amir, pihaknya juga akan mengajukan tahanan rumah kepada kedua rekannya
tersebut. Hal ini diajukan karena mereka yakin keduanya tidak akan menghilangkan barang bukti.
Tidak hanya itu, ikatan alumni ITB juga akan berupaya menghadirkan saksi ahli dari Kementrian
Komunikasi dan Informatika dan Kementerian Perdagangan untuk memberikan ketarangan meringankan
kepada keduanya.
Menurut Amir, tuduhan kepada keduanya tidak jelas. Saat ini tim kuasa hukum masih mempelajari kasus
tersebut. “Kalau tuduhan terkait perlindungan hak konsumen itu sebetulnya belum ada peraturan iPad
harus berbahasa Indonesia. Undang-undang telekomunikasi tidak bisa menjerat. Kuasa hukum kita
masih mempelajari kasusnya,” tuturnya.
Kasus ini berawal ketika Dian dan Randy menjual iPad yang mereka beli dari Singapura melalui forum
jual beli kaskus.us. Pemasangan iklan tersebut menarik pembeli. Keduanya bertemu pembeli di Citywalk
Tanah Abang yang ternyata adalah petugas kepolisian yang menyamar. Keduanya langsung dibawa ke
Polda Metro Jaya untuk dilakukan penyelidikan lebih lanjut.
Yang terhormat
Ketua Mahkamah Konstitusi RI
Di –
Jakarta
Hal: Permohonan Uji Materil terhadap Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) huruf j
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
Kesemuanya adalah Advokat dan Pembela Umum (Public Defender) yang tergabung dalam
“Tim Advokasi Perkara iPad”, sepakat memilih domisili hukum di Apartemen Sudirman Park
A 23 CC, Jl. K.H. Mas Mansyur Kav. 35, Jakarta Pusat – 10220, dalam hal ini bertindak baik
sendiri-sendiri maupun bersama-sama, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 29 September
2011 untuk dan atas nama :
Pemohon dengan ini mengajukan Permohonan Uji Materil atas Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat
(1) huruf j Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terhadap
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.
I. PENDAHULUAN
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh
Begitulah bunyi Pembukaan (Preambule) dalam alinea keempat Undang-Undang Dasar (UUD)
1945 yang meletakkan tugas, fungsi dan tanggung jawab kepada Pemerintah untuk melindungi
segenap warga negara Indonesia.
Hal ini dipertegas pula melalui Pasal 8 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia yang menyatakan :
“Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia terutama menjadi
tanggung jawab pemerintah.”
The founding father ketika mendirikan Negara Republik Indonesia, merumuskan bahwa Negara
kita adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan bukan sebagai Negara yang
berdasarkan atas kekuasaan semata (machstaat). Oleh karena itu, hukum hendaknya dijadikan
sebagai panglima tertinggi, sebagai kerangka pijakan untuk mengatur dan menyelesaikan
berbagai persoalan dalam menjalankan roda kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Di sinilah kemudian konstitusi menjadi penting artinya bagi kehidupan masyarakat. Konstitusi
dijadikan sebagai perwujudan hukum tertinggi yang harus dipatuhi Negara dan pejabat-pejabat
pemerintah sekalipun, sesuai dengan dalil “government by laws, not by men” (pemerintah
berdasarkan hukum, bukan berdasarkan manusia). Hal ini dipertegas pula melalui wakil rakyat
kita yang telah berhasil mengamandemen UUD 1945 melalui amandemen ketiga pada tanggal 10
oktober 2001, bahwa Pasal 1 ayat (3) dengan tegas menyatakan:
Negara hukum merupakan suatu dimensi dari Negara demokratis dan memuat subtansi hak asasi
manusia, bila tidak dikuatirkan akan kehilangan esensinya dan cenderung sebagai alat penguasa
untuk melakukan penindasan terhadap rakyatnya, juga sebagai instrument untuk melakukan
justifikasi terhadap kebijakan pemerintah yang sebenarnya melanggar.
Suatu Negara yang berdasarkan atas hukum harus menjamin adanya penghormatan,
perlindungan, penegakan hukum dan pemenuhan keadilan setiap warga Negara. Hal ini
merupakan condition sine quanon, mengingat bahwa Negara hukum lahir sebagai hasil
perjuangan individu untuk melepaskan dirinya dari keterikatan serta tindakan sewenang-wenang
penguasa. Atas dasar itu rezim penguasa tidak boleh bertindak sewenang-wenang terhadap
masyarakat/individu dan kekuasaannya harus dibatasi berdasarkan hukum. Baik Negara maupun
individu adalah subyek hukum dalam Negara hukum yang memiliki hak dan kewajiban. Oleh
karena itu dalam suatu Negara hukum, kedudukan masyarakat/individu dengan Negara
senantiasa dalam suasana keseimbangan yang dilindungi oleh hukum.
Salah satu bagian dari hukum yang selalu menjadi ukuran untuk efektifitas hukum dalam
masyarakat adalah “hukum pidana”, yang merupakan bagian dari hukum publik. Sebagai bagian
dari hukum publik, maka Negara dengan tangan penguasa yang berdaulat akan diberikan
kekuasaan untuk mengatur dan membatasi hak-hak dan kebebasan setiap individu dalam
masyarakat demi terciptanya ketertiban hidup bermasyarakat dalam suatu bangsa dan Negara
yang merupakan tujuan utama dari hukum pidana.
Akan tetapi, adanya campur tangan Negara dalam fungsi penegakan hukum pidana (in casu oleh
aparat penegak hukum kepolisian, kejaksaan dan pengadilan) rentan berbenturan dengan hak-hak
dan kebebasan kehidupan individu dalam hidup bermasyarakat, dan sering melakukan
pelanggaran serta penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dalam menjalankan tugasnya.
Penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran tersebut tidak dapat dipisahkan akibat adanya suatu
kewenangan yang diberikan oleh undang-undang yang tidak sesuai dengan amanat UUD 1945,
karena bisa saja undang-undang tersebut berbenturan dengan UUD 1945 dan kaidah hukum
pidana sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum serta membuka ruang abuse of power bagi
aparat penegak hukum dalam penerapannya.
Oleh karenanya peraturan-peraturan yang memberikan kewenangan bagi aparat penegak hukum
untuk melakukan proses hukum (due proccess of law) melalui sarana penal yang sanksinya
adalah pidana, haruslah diatur secara ketat dan sedemikian rupa sesuai dengan teori-teori ilmu
hukum pidana serta UUD 1945. Sedangkan aturan berisi sanksi pidana yang tidak sesuai dengan
kaidah ilmu hukum pidana dan UUD 1945, maka sudah selayaknya dihapuskan.
Bahwa akhir-akhir ini marak terjadinya penangkapan oleh oknum Kepolisian terhadap anggota
masyarakat yang menjual barang berupa iPad tanpa disertai petunjuk penggunaan (manual)
Bahasa Indonesia. Penangkapan tersebut telah menimbulkan keresahan dan penurunan aktifitas
perdagangan elektronik/telematika di masyarakat. Tindakan aparat tersebut tidak sesuai dengan
filosofi yang terkandung dalam Penjelasan Umum alinea delapan Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UUPK”) yang menyebutkan: “Undang-undang ini
mengacu pada filosofi pembangunan nasional,….”.
Bahwa penangkapan-penangkapan tersebut dilakukan dengan cara yang janggal dan melanggar
hukum. Yakni oknum kepolisian berpura-pura sebagai pembeli untuk menjebak pelaku.
Diantaranya dilakukan melalui media internet online, ataupun aparat mendatangi toko-toko yang
tersebar di mall-mall Jakarta dengan menyamar sebagai pembeli untuk kemudian melakukan
penggeledahan dan penangkapan.
Padahal metode penyamaran dan penjebakan lazimnya digunakan terhadap pelaku kejahatan
terorganisir seperti pengedar narkotika. Metode tersebut tidak layak digunakan terhadap para
penjual iPad yang merupakan perorangan ataupun pedagang biasa dan bukan menjual barang
haram seperti narkotika, karena dalam beberapa kasus faktanya iPad tersebut diperoleh secara
legal dan memiliki garansi resmi.
Bahwa tindakan tersebut melanggar hukum, karena faktanya Pasal yang kerapkali dipakai
penyidik untuk menjerat tersangka adalah Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) huruf j Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, padahal
pasal tersebut masih harus merefer aturan perundang-undang yang lebih khusus yakni Peraturan
Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 19/M-DAG/PER/5/2009 tentang Pendaftaran
Petunjuk Penggunaan (Manual) dan Kartu Jaminan/Garansi Purna Jual dalam Bahasa Indonesia
Bagi Produk Telematika dan Elektronika (”Permendag 19/2009”), yang nyatanya menurut
peraturan tersebut iPad belum termasuk barang yang diwajibkan menggunakan manual book
dalam Bahasa Indonesia ketika diperdagangkan. Inilah yang selalu dikesampingkan dan terus-
menerus dilakukan dalam beberapa kasus oleh penegak hukum, padahal penegak hukum
seharusnya tahu hukum (ius curia novit).
Bahwa dari beberapa kasus, proses penyidikan kepolisian ditindaklanjuti pula oleh kejaksaan
untuk dilakukan penuntutan terhadap para tersangka/terdakwa dengan memakai pasal a quo.
Bahkan salah satu perkara yang Pemohon ketahui, seorang yang bernama Wiwi telah divonis
bersalah menjadi Terpidana atas dakwaan yang memakai Pasal a quo di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat.
Berikut ini kasus-kasus yang santer terdengar di media, beberapa anggota masyarakat yang telah
“termakan” akibat penyalahgunaan Pasal a quo oleh oknum penegak hukum untuk menjeratnya,
antara lain:
Pada tanggal 2 November 2010, Charlie ditangkap karena menjual iPad tanpa dilengkapi buku
manual dalam bahasa Indonesia. Saat itu, Charlie menjual iPad dengan harga bervariasi
sebanyak 14 (empat belas) unit melalui tokonya di Mal Ambasador Jl. Prof. Dr. Satrio,
Kuningan, Jakarta Selatan. Tokonya didatangi dua perempuan yang berpura-pura mengaku
sebagai calon pembeli iPad untuk anaknya. Charlie pun melayani mereka dan memberikan
penjelasan atas produk iPad tersebut secara detail. Belakangan, ternyata kedua perempuan
tersebut adalah polisi dari Polda Metro jaya yang sedang menyamar dan menjebaknya. Tak
lama, polisi lainnya berdatangan. 14 (empat belas) unit iPad yang dijual di tokonya lalu disita
dan Charlie langsung ditangkap. Saat permohonan uji materil ini didaftarkan, perkara charlie
masih berjalan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan belum diputus. Proses pidana
terhadap Charlie memakai Pasal 62 Ayat (1) juncto Pasal 8 Ayat 1 huruf j Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
1. 3. Kasus Wiwi Siswanto
Kasus Wiwi bermula saat ia membantu menjual iPad milik temannya. Penjualan ditawarkan
melalui forum jual beli www.kaskus.us, dan ada pembeli yang menawar lewat telepon. Namun,
saat barang diantarkan pada 7 Juni 2010, oleh Wiwi dan temannya, Kenward Suwandi dalam
pertemuan (Cash On Delivery) di Hotel Mulia, keduanya malah ditangkap karena pembeli
adalah polisi. Sang pembeli yang menyamar adalah penyidik anggota Direktorat Reskrimsus
Polda Metro Jaya. Wiwi ditahan sejak Februari 2011 saat berkas dilimpahkan ke Kejaksaan.
Selanjutnya, kasus ini bergulir ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Wiwi divonis 6 (enam)
bulan penjara pada akhir Mei 2011 lalu oleh ketua majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat. Majelis hakim menyatakan Wiwi bersalah atas dakwaan primair penuntut umum dikenai
Pasal 62 Ayat (1) juncto Pasal 8 Ayat (1) Huruf j UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Menurut hakim, Ipad yang dijual terbukti tidak memiliki manual
berbahasa Indonesia.
1. 4. Kasus Calvin
Calvin alias Winoto, ditangkap oleh Direskrimsus Polda Metro Jaya dengan cara menjebak dan
berpura-pura menyamar sebagai pembeli. Sebelumnya Calvin menawarkan iPad tersebut di
forum jual beli internet kaskus. Sebelum pertemuan untuk bertransaksi, polisi yang menyamar
menghubungi Calvin lewat handphone. Polisi hendak membeli 8 unit iPad dari Calvin. Awalnya
ketika bertemu di lobi Hotel Grand tropic, Calvin hanya membawa 1 unit iPad sebagai contoh.
Setelah ada persetujuan, polisi meminta 7 (tujuh) unit lagi agar disediakan, jadi total ada 8
(delapan) unit. Setelah polisi meyakini iPad tersebut tidak disertai petunjuk penggunaan dalam
bahasa Indonesia, Calvin langsung ditangkap. Ketika proses penyidikan di kepolisian Calvin
tidak ditahan, tetapi begitu berkas dilimpahkan ke kejaksaan, jaksa langsung melakukan
penahanan terhadap Calvin sejak Juni 2011 hingga saat permohonan ini diajukan Calvin masih
ditahan di rumah tahanan salemba dan menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta
Barat. Calvin dijerat dengan pasal yang sama dengan Dian dan Randy, Charlie, dan Wiwi
dengan menggunakan Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) huruf j UUPK.
Selain kasus-kasus tersebut di atas, ternyata masih banyak lagi anggota masyarakat yang
tersangkut proses hukum pidana akibat Pasal a quo, yang tidak diketahui oleh umum.
Sebagaimana pernyataan Kabid Humas Polda Metro Jaya kepada media www.kompas.com pada
tanggal 4 Juli 2011, yang menyatakan bahwa: “Kasus Randy hanyalah salah satu yang Polda
tangani. Pada 2010, ada lima kasus serupa. Dari situ, polisi mengamankan 61 barang bukti
berupa iPad berbagai kapasitas. Polda Metro Jaya juga meringkus beberapa tersangka, antara
lain WS, MM, CM, F, dan Randy. Adapun pada 2011, hingga bulan Juni, tercatat ada enam
kasus penjualan iPad bermasalah. Polisi pun mengamankan 71 barang bukti berupa iPad dari
tiga tersangka yakni BF, W alias C, dan RH. Sisanya masih dalam pengembangan, ada 36 iPad
yang dalam pengembangan. Jadi, sebelum kasus Randy, ada kasus yang sudah diproses. Setelah
dia pun ada lagi kasus seperti ini. Ada juga yang P21 (berkas perkara telah lengkap).”
Bahwa perbuatan penegak hukum yang telah salah menerapkan pasal a quo terus-menerus
dilakukan. Padahal faktanya terdapat Permendag 19/2009 yang merupakan aturan khusus yang
tidak mewajibkan penjual iPad menyertai manual book Bahasa Indonesia ketika diperdagangkan.
Terhadap seluruh rangkaian proses penyidikan, penuntutuan, dan penjatuhan putusan pidana
bagi penjual iPad a quo oleh aparat penegak hukum, adalah didasari “peradilan sesat” atas
penyalahgunaan dan penerapan hukum yang salah, serta merupakan tindakan sewenang-wenang
(abuse of power) yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Bahwa selain itu, Pasal a quo kerapkali digunakan bagi oknum penegak hukum untuk melakukan
penahanan terhadap Tersangka/Terdakwa, karena pasal tersebut ancaman pidananya maksimum
5 (lima) tahun sehingga aparat memakainya sebagai alasan untuk menahan. Padahal dengan
melakukan penahanan didasari kesalahan penerapan hukum dan penyalahgunaan pasal yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum, berarti telah melakukan penahanan sewenang-wenang
dan merupakan pelanggaran HAM.
Bahwa fenomena sebagaimana diuraikan di atas dapat terjadi akibat adanya sanksi pidana
sebagaimana Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) huruf j Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang telah memberikan ruang bagi
aparat penegak hukum untuk mempergunakan Pasal tersebut dalam memproses pidana/sarana
penal.
Bahwa telah terjadi ketidakpastian hukum akibat keberadaan Pasal a quo. Pasal a quo mendasari
penafsiran dan penerapan hukum yang salah oleh penegak hukum, serta membuat Aparat
Penegak Hukum dapat bertindak sewenang-wenang. Padahal jika ditafsirkan dan diterapkan
secara benar, masih ada Permendag 19/2009 yang secara khusus mengatur sebagai hukum positif
yang berlaku berdasarkan asas lex specialis de rogat lex generalie.
Bahwa selain itu, sanksi pidana maksimum 5 (lima) tahun penjara atau denda paling banyak Rp.
2.000.000.000,- (dua milyar) terhadap pelaku usaha yang memperdagangkan barang tanpa
disertai petunjuk penggunaan dalam Bahasa Indonesia sebagaimana Pasal a quo, adalah tidak
sesuai dengan asas-asas dan kaidah hukum pidana, yang mana hukum pidana mensyaratkan
aturan ketat dalam pengkategorian suatu pasal pidana (lex certa), yang juga harus mengutamakan
prinsip-prinsip ultimum remidium.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana
ditegaskan dalam alinea kelima Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, maka segala bentuk
ketidakadilan di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen,
harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. UUD 1945 sebagai
konstitusi yang menjamin perlindungan bagi seluruh Warga Negara Indonesia harus dapat
menjamin agar Pemerintah dan aparat penegak hukum bekerja sesuai fungsi dan kewenangannya
dengan baik dalam menegakkan UU No. 8 Tahun 1999.
1. Bahwa Pasal 24 ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945 menyatakan : “Kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di bawahnya dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi”.
2. Bahwa selanjutnya Pasal 24 C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945 menyatakan :
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran
partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu”.
3. Bahwa berdasarkan ketentuan di atas, maka Mahkamah Konstitusi mempunyai hak atau
kewenangannya untuk melakukan pengujian undang-undang (UU) terhadap UUD yang juga
didasarkan pada Pasal 10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang
menyatakan : “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk: (a) menguji undang-undang (UU) terhadap UUD RI tahun
1945”.
4. Bahwa oleh karena objek permohonan Hak Uji ini adalah Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka berdasarkan peraturan
tersebut di atas Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan mengadili permohonan
ini.
1. Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
menyatakan : “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu
: (a) perorangan WNI, (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur
dalam undang-undang, (c) badan hukum publik dan privat, atau (d) lembaga negara”;
2) bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh
suatu undang-undang yang diuji;
3) bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan
aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan
akan terjadi;
4) adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-
undang yang dimohonkan untuk diuji;
1. Bahwa Pemohon merupakan Badan Hukum Privat yang memiliki legal standing dan
menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan ini dengan menggunakan prosedur
organization standing (legal standing);
4. Bahwa doktrin organization standing atau legal standing merupakan sebuah prosedur
beracara yang tidak hanya dikenal dalam doktrin akan tetapi juga telah dianut dalam berbagai
peraturan perundangan di Indonesia seperti Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;
5. Bahwa pada praktik peradilan di Indonesia, legal standing telah diterima dan diakui menjadi
mekanisme dalam upaya pencarian keadilan, yang mana dapat dibuktikan antara lain :
b. Dalam anggaran dasar organisasi yang bersangkutan menyebutkan dengan tegas mengenai
tujuan didirikannya organisasi tersebut.
7. Bahwa Pemohon adalah organisasi yang bernama Organisasi Advokat Indonesia (OAI)
dideklarasikan di Jakarta pada tanggal 25 Februari 2011, oleh para Advokat muda yang memilih
berjuang menegakkan keadilan sebagai jalan utama, demi terpenuhinya keadilan bagi semua para
pencari keadilan (justiabellen);
11. Bahwa dasar dan kepentingan hukum Pemohon dalam mengajukan Permohonan Pengujian
Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) huruf j Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, dapat dibuktikan dengan Anggaran Dasar Organisasi;
12. Bahwa Pemohon sebagai suatu organisasi non pemerintah yang concern bergerak di bidang
hukum, yang tujuannya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 Anggaran Dasar adalah:
Pasal 6 Anggaran Dasar-nya menyebutkan usaha-usaha untuk mencapai tujuan tersebut adalah:
1. 1. Kritis dan selalu berperan serta dalam setiap momentum, isu-isu dan perkembangan
hukum yang terjadi di tengah masyarakat demi tegaknya hukum.
2. 2. Menggunakan langkah-langkah advokasi, non litigasi maupun litigasi yang
berkaitan dengan persoalan hukum Negara serta demi kepentingan publik.
13. Maka berdasarkan tujuan dan usaha-usahanya yang dituangkan dalam Anggaran Dasar a
quo, Pemohon memiliki legal standing untuk mewakili masyarakat yang hak-hak
konstitusionalnya telah dirugikan akibat adanya Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) huruf j
Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang akan Pemohon
uraikan lebih lanjut dalam permohonan ini;
14. Bahwa tugas dan peranan Pemohon dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan perlindungan
dan penegakan hukum di Indonesia telah secara terus-menerus mendayagunakan organisasinya
sebagai sarana untuk memperjuangkan keadilan;
15. Bahwa tugas dan peranan Pemohon dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan penegakan,
perlindungan, pembelaan hukum dan keadilan, dalam hal ini mendayagunakan organisasinya
sebagai sarana untuk mengikutsertakan sebanyak mungkin anggota masyarakat dalam
memperjuangkan penghargaan dan penghormatan hukum dan keadilan terhadap siapapun juga
tanpa membedakan jenis kelamin, suku bangsa, ras, agama, dll. Hal ini tercermin di dalam
Anggaran Dasar dan/atau akta pendirian Pemohon;
16. Bahwa Pemohon dalam mencapai maksud dan tujuannya telah melakukan berbagai macam
usaha/kegiatan yang dilakukan secara terus menerus dalam rangka menjalankan tugas dan
peranannya tersebut. Hal mana yang telah menjadi pengetahuan umum (notoire feiten) bahwa
dalam rangka mewujudkan tatanan masyarakat yang menjunjung tinggi hukum, nilai-nilai
keadilan, hak asasi manusia, dan demokrasi, baik dalam rumusan hukum maupun dalam
pelaksanaannya, PEMOHON telah : (i) melakukan advokasi hukum, secara non litigasi maupun
litigasi yang berkaitan dengan persoalan hukum Negara serta demi kepentingan publik; (ii)
mengadakan pelatihan dan penyuluhan hukum; (iii) Memberi bantuan hukum secara cuma-cuma
kepada yang tidak mampu; (iv) melakukan pengkajian terhadap kebijakan-kebijakan dan aturan
hukum, penerapannya, serta dampaknya terhadap kehidupan sosial, ekonomi dan budaya
masyarakat; (iv) mengadakan penerbitan dan riset dalam bidang hukum.
17. Bahwa Organisasi Kemasyarakatan, sesuai Pasal 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985
tentang Organisasi kemasyarakatan, adalah :
18. Bahwa Pemohon adalah wadah para Advokat Indonesia yang merupakan organisasi
profesi dan perjuangan, mengemban misi luhur para advokat Indonesia untuk membangun
hukum nasional. Pemohon sebagai organisasi kemasyarakatan maka dilindungi hak
konstitusionalnya dalam berorganisasi, berserikat dan berkumpul sesuai Pasal 28 E ayat (3) UUD
1945 yang menyebutkan: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat”, dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi
kemasyarakatan yang menyebutkan: “Organisasi Kemasyarakatan berhak: a. melaksanakan
kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi, b. mempertahankan hak hidupnya sesuai dengan
tujuan organisasi”;
19. Bahwa usaha-usaha perlindungan, pemajuan dan pemenuhan keadilan dan penegakan
hukum yang dilakukan oleh Pemohon telah dicantumkan di dalam UUD 1945, terutama Pasal
1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 G, Pasal 28 I ayat
(1), Pasal 28 I ayat (4) dan pasal 28 I ayat (5);
20. Bahwa selain itu Pemohon memiliki hak konstitusional untuk memperjuangkan haknya
secara bersama untuk kepentingan bangsa dan negara ini. Menurut Pasal 28 C ayat (2) Undang-
Undang Dasar 1945 dinyatakan: “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan
negaranya.”.
21. Sementara itu, persoalan adanya sanksi pidana sebagaimana Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8
ayat (1) huruf j Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 yang inkonstitusional, yang
seharusnya tidak perlu ada, karena bertentangan dengan UUD 1945 dan prinsip-prinsip hukum
pidana, yang mana Pasal tersebut membuka ruang bagi aparat penegak hukum untuk melakukan
kesewenang-wenangan (abuse of power) dan melakukan kesalahan penafsiran dalam due process
of law, mengakibat terciptanya kondisi ketidakpastian hukum. Hal ini sudah merupakan
persoalan setiap warga Negara sehingga persoalan ini tidak hanya menjadi urusan Pemohon yang
notabene langsung bersentuhan dengan persoalan pemenuhan keadilan dan penegakan hukum,
namun juga menjadi persoalan setiap masyarakat Indonesia;
22. Lebih jauh, pengajuan permohonan pengujian Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) huruf j
Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 merupakan wujud dari kepedulian dan upaya
Pemohon untuk perlindungan, pemajuan, pemenuhan serta penegakan hukum dan keadilan di
Indonesia;
23. Bahwa dengan demikian, adanya Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) huruf j Undang-
Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 berpotensi melanggar hak konstitusi dari Pemohon, dengan
cara langsung maupun tidak langsung, merugikan berbagai macam usaha-usaha yang telah
dilakukan oleh Pemohon secara terus-menerus dalam rangka menjalankan tugas dan peranan
untuk perlindungan, pemajuan, pemenuhan dan penegakan hukum dan keadilan di Indonesia,
termasuk mendampingi dan memperjuangkan hak-hak masyarakat yang selama ini dirugikan
dengan adanya sanksi pidana dalam Pasal a quo.
1. Barangkali kita semua baru mengetahui adanya aturan yang dapat berakibat pidana
terhadap seseorang yang memperdagangkan barang tanpa disertai buku petunjuk dalam
bahasa Indonesia, semenjak mencuatnya kasus iPad Dian dan Randy di media.
1. Semenjak kasus tersebut masyarakat mulai berhati-hati ketika melakukan transaksi jual-
beli barang, terutama barang elektronik. Jangan-jangan pembelinya adalah polisi yang
menyamar. Padahal sangat lazim di masyarakat, transaksi jual beli barang tidak perlu
menyertai manual bahasa Indonesia. Apalagi barang yang dijual adalah barang pribadi
seperti yang akhir-akhir ini marak dipasarkan melalui forum jual beli media internet
online. Karena yang diutamakan oleh konsumen/pembeli bukanlah adanya manual
bahasa, akan tetapi kualitas dan kegunaan barang itu yang terpenting;
1. Sanksi pidana tersebut memberikan ancaman kepada Pelaku Usaha sebagaimana menurut
Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen yang berbunyi:
“Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal
10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan
Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling
banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).”
Selanjutnya Pasal 8 ayat (1) huruf j Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, berbunyi:
(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa
yang:
1. Kita semua sepakat bahwa semangat UUPK adalah untuk menyeimbangkan kedudukan
konsumen yang lemah terhadap pelaku usaha, agar konsumen terlindungi dan terhindar
dari kerugian-kerugian yang mungkin timbul atas kedudukan tersebut. Sehingga salah
satu hak konsumen berupa “hak atas informasi” menjadi penting. Akan tetapi,
memaksakan suatu jenis perbuatan hukum yang lazim dalam ranah keperdataan menjadi
pidana, hal tersebut merupakan langkah yang salah. In casu meletakkan pelanggaran hak
konsumen atas petunjuk penggunaan dalam bahasa Indonesia ke dalam sarana penal yang
sanksinya adalah pidana penjara dan denda, tidak sesuai dengan ius constitutum maupun
ius constituendum UUPK itu sendiri;
1. Pemberian informasi atas suatu barang/jasa tidak hanya dapat dilakukan dengan cara
tertulis, namun dapat pula dengan cara lisan. Dalam proses penawaran barang/jasa,
pastilah tercipta kondisi di mana konsumen berhak menanyakan informasi atas
barang/jasa yang kelak akan dipakainya. Pada kondisi tersebut, sudah merupakan tugas
dari Pelaku Usaha untuk menjawab dengan memberikan informasi atas kegunaan dan
keadaan barang/jasa tersebut;
1. Selanjutnya jika akses “hak atas informasi” atas barang yang akan dibeli oleh konsumen
tersebut tidak dihalangi oleh Pelaku Usaha, bahkan telah terpenuhi dengan cara lisan atau
cara lain, apakah masih diperlukan buku manual dalam bahasa Indonesia? -quod none-.
Lagipula, seorang calon konsumen tidak akan membeli barang/jasa jika dia belum
megetahui keadaan dan kegunaan barang tersebut secara mendetail. Ketidaktahuan
tersebut dapat berakibat transaksi tidak jadi dilakukan.
1. Sarana penal tidak tepat diberlakukan terhadap suatu perbuatan yang sesungguhnya
dibenarkan oleh norma dan peraturan lain yang tidak bertentangan dengan kesusilaan.
Dalam hal ini prinsip jual beli telah diatur dalam Buku ketiga Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata di mana melekat unsur perikatan sehingga tidak perlu ada pemidaan
terhadap para pihak yang mengingkarinya. Jikapun upaya-upaya pencegahan dan
penyelesaian terhadap kerugian konsumen akibat tidak diberikannya informasi atas
barang/jasa tidak disertai petunjuk penggunaan berbahasa Indonesia, dapat
mempergunakan sanksi di luar sarana penal seperti sanksi administratif, gugatan
perbuatan melawan hukum atau ingkar janji.
1. Sanksi pidana jika adanya pelanggaran hak konsumen atas informasi, hanya pantas
diberlakukan terhadap Pelaku Usaha yang melakukan penawaran dan promosi
barang/jasa ternyata tidak sesuai dengan apa yang dia tawarkan/perjanjikan. Hal tersebut
tentunya merupakan ranah pidana karena ada unsur penipuan di sana. Mengenai jenis
perbuatan ini telah tercover melalui Pasal 8 ayat (1) huruf f, Pasal 9 dan Pasal 10 UUPK;
1. Bahwa dengan adanya Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) huruf j UUPK, ternyata tidak
sejalan dengan asas manfaat yang tercantum dalam Pasal 2 UUPK itu sendiri. Karena
faktanya dengan teknologi yang semakin mudah dan dengan adanya media penawaran
bagi konsumen untuk mendapatkan informasi secara lisan, software (perangkat lunak),
atau cara lainnya, maka tidak perlu ada penghamburan kertas/buku petunjuk penggunaan
yang harus tercantum dalam bahasa Indonesia. Sesuai dengan penggalangan go green dan
cinta lingkungan yang digalakkan oleh pemerintah;
10. Bahwa Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) huruf j yang bersifat premium remidium,
menegasikan (meniadakan) penggunaan mekanisme complain yang lazim dalam hubungan
keperdataan bagi seorang yang merasa dirugikan;
11. Dalam kasus Randy & Dian, Charlie, Wiwi, maupun Calvin, tidak terdapat konsumen
sebenarnya. Proses pidana terjadi akibat polisi yang menyamar sebagai konsumen. Padahal, jika
pembeli adalah konsumen yang benar, proses pidana tidak mungkin langsung terjadi. Konsumen
masih dapat menuntut diserahkannya informasi mengenai petunjuk penggunaan dalam bahasa
Indonesia tersebut dari pelaku usaha, sehingga sarana non penal masih terbuka;
12. Bahwa Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) huruf j membuka ruang bagi polisi bertindak
terlampau jauh tanpa mengindahkan saranan non penal yang dapat ditempuh antara pelaku usaha
dan konsumen seperti: mengadakan musyawarah, mekanisme complain, somasi/teguran dan
sanksi administrative. Penegasian terhadap sarana-sarana non penal ini tidak sesuai dengan asas
keseimbangan dan keadilan, sebagaimana seharusnya pelaku usaha juga diberi kesempatan untuk
memperbaiki perbuatannya sehingga tidak harus dipidana. Sebagaimana Pelaku Usaha
berdasarkan Pasal 6 UUPK juga memiliki hak:
1. b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad
tidak baik;
2. c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum
sengketa konsumen.”
13. Bahwa sanksi pidana dalam Pasal a quo hanya menjadi ketakutan masyarakat untuk
melakukan aktifitas perdagangan sehingga tidak sejalan dengan filosofi pembangunan nasional
dalam UUPK;
14. Bahwa setiap orang berhak meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat
manusia, setiap orang berhak untuk memajukan dirinya untuk membangun masyarakat, bangsa,
dan negaranya, maka dengan keberadaan Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) huruf j UUPK
telah bertentangan dengan Pasal 28 C UUD RI 1945;
15. Selain itu, dengan menempatkan sanksi bagi pelaku usaha yang memproduksi/
memperdagangkan barang tidak mencantumkan petunjuk penggunaan berbahasa Indonesia ke
dalam ranah pidana (yang seharusnya adalah ranah perdata/privat), maka Pasal 62 ayat (1) jo.
Pasal 8 ayat (1) huruf j UUPK bertentangan dengan asas kepastian hukum yang adil
sebagaimana menurut Pasal 28 D UUD Republik Indonesia 1945.
1. Bahwa Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) huruf j Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, merupakan suatu bentuk kriminalisasi yang
dilegalkan melalui undang-undang. Pasal a quo telah membuka ruang bagi aparat untuk
menangkapi pedagang iPad namun sarat terjadi pelanggaran hukum;
1. Bahwa asas lex certa merupakan asas hukum yang menghendaki agar hukum itu haruslah
bersifat tegas dan jelas. Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) huruf j bersifat kabur (tidak
pasti) sehingga berpotensi multitafsir. Dalam ranah hukum, rumusan-rumusan hukum
seharusnya pasti dan jelas agar orang juga memperoleh kepastian hukum, bukannya
kebingungan tanpa jaminan kepastian hukum karena rumusan pasal-pasalnya yang
multitafsir;
1. Bahwa berdasarkan asas lex certa dalam kaitannya dengan hukum yang tertulis, pembuat
undang-undang (legislatif) harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai perbuatan
yang disebut dengan tindak pidana (kejahatan, crimes). Hal inilah yang disebut dengan
asas lex certa atau bestimmtheitsgebot. Pembuat Undang-Undang harus mendefinisikan
dengan jelas tanpa samar-samar (nullum crimen sine lege stricta), sehingga tidak ada
perumusan yang ambigu mengenai perbuatan yang dilarang dan diberikan sanksi.
Perumusan yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian
hukum;
1. Bahwa metode yang digunakan Penyidik Kepolisian dalam menangkapi para penjual iPad
tanpa disertai manual bahasa Indonesia memiliki pola yang sama. Yakni dengan cara
menyamar dan berpura-pura sebagai calon pembeli;
1. Pada kasus Dian & Randy, Wiwi, dan Calvin, penyidik kepolisian berpura-pura sebagai
pembeli lewat forum jual beli internet kaskus, lalu mengadakan perjanjian untuk
bertransaksi. Selanjutnya saat bertransaksi mereka langsung ditangkap ketika iPad yang
ditawarkan tidak disertai buku petunjuk penggunaan dalam bahasa Indonesia. Sedangkan
pada kasus Charlie, penyidik polisi langsung mendatangi tokonya di mall ambassador
dengan cara berpura-pura sebagai pembeli dan menanyakan cara-cara penggunaan iPad.
Selanjutnya ketika tidak ada manual bahasa Indonesia, Charlie pun digeledah dan
ditangkap;
1. Bahwa metode yang diterapkan kepolisian dalam melakukan penangkapan dengan cara
penyamaran tersebut tidak ada dasar hukumnya. Lain hal jika menangkap
pengedar/bandar narkotika penyidik memiliki dasar karena disebutkan dalam Undang-
Undang Narkotika tentang “teknik penyelidikan terselubung”. Di mana cara-cara
menyamar dengan “delivery order” diperkenankan.
1. Bahwa dalam setiap kasus penangkapan a quo, laporan kepolisian yang dibuat terjadi
kecacatan. Laporan merupakan dasar/pijakan polisi untuk melakukan proses penyelidikan
dan penyidikan. Namun dalam kasus Dian & Randy, Charlie, Wiwi, dan Calvin, laporan
baru dibuat setelah terjadinya penangkapan. Selain itu pada laporan tertera “laporan
berdasarkan dari informasi masyarakat”. Masyarakat yang mana? Sedangkan
sebelumnya polisi melakukan pengintaian melalui media internet Kaskus secara acak
kepada target. Beberapa minggu sebelumnya polisi sudah melakukan penyelidikan. Jelas
mereka ditangkap bukan karena tertangkap tangan. Sebagaimana pengakuan Penyidik
Randy dan Dian yang hadir dalam persidangan mengakui bahwa beberapa minggu
sebelumnya penyidik telah melakukan pengintaian di media internet dan sehari sebelum
dibuatnya laporan, surat tugas sudah dibuat. Sedangkan dalam surat tugas dasarnya
adalah laporan yang tanggal esok. Terhadap proses ini, penyidik tidak profesional.
Karena antara laporan dengan surat tugas dan tindakan penangkapan tidak berkesesuaian.
Selain itu Penyidik kerapkali membuat laporan belakangan setelah menangkap. Cara-
cara seperti ini bertentangan dengan hukum acara pidana;
1. Selain hal di atas, yang sangat bertentangan dengan “due proccess of law” pada tiap
perkara iPad selama ini adalah, penyidik yang memeriksa para tersangka menjadi
saksi yang memberatkan (a charge). Seharusnya penyidik yang menjadi saksi, tidak
dapat dikualifikasikan sebagai saksi dan atau dianggap sebagai keterangan saksi yang
dapat dinyatakan sah dan berharga sebagai alat bukti dan berkualitas hanya sebagai
“verbalisan” (vide Pasal 1 butir (1) jo. Butir (2) jo. Butir 26 jo. Butir 27 jo. Pasal 185
ayat (6) huruf c dan d KUHAP);
1. Selain itu, penyidik saling bertukar peran untuk melakukan pemeriksaan terhadap
rekannya yang lain dan atau saksi lain yang mengakibatkan kualitas dari kesaksiannya
tersebut sangatlah tidak valid sebagaimana yang dimaksud Pasal 185 ayat (6) huruf c dan
d KUHAP : “alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan
tertentu” dan “…serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat
tidaknya keterangan itu dipercaya”. Karena peran sebagai penyidik jelas memiliki
“kepentingan” yang berbeda dibandingkan dengan peran sebagai “saksi murni”. Terhadap
tindakan penyidik seperti ini, Dr. Arbijoto SH MH LLM (mantan hakim agung) ketika
dihadirkan sebagai ahli dalam persidangan Terdakwa Dian dan Randy di Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 19 Juli 2011 menyatakan:
“Bahwa penyidik yang bertukar tempat menjadi saksi demikian selanjutnya saksi tersebut
menjadi penyidik untuk saksi yang lain maka penyidik tersebut sudah masuk ke dalam terjadinya
abuse of power. Hal tersebut sebagai penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan yang telah
dilakukan oleh penguasa, dalam hal ini penyidik.”
10. Selain terjadinya abuse of power dalam kerangka hukum acara pidana sebagaimana
diutarakan di atas, ternyata dalam tataran normatif, terjadi penyimpangan penafsiran/salah tafsir
yang dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) huruf j
UUPK dalam perkara iPad. Hal ini berakibat terjadinya kriminalisasi terhadap penjual iPad yang
tidak disertai manual bahasa Indonesia;
11. Penegak hukum dalam melakukan proses hukum pidana terhadap Dian & Randi, Charlie,
Wiwi dan Calvin tidak mengindahkan frasa ”sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku”. Selengkapnya Pasal 8 ayat (1) huruf j UU No.8 Tahun 1999 menyatakan bahwa:
“(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa
yang:
12. Dengan demikian, Pasal 8 ayat (1) huruf j UU Perlindungan Konsumen merupakan ketentuan
bersyarat. Artinya, untuk ketentuan Pasal 8 ayat (1) huruf j hanya akan mempunyai daya laku
(binding power) bila peraturan perundang-undangan yang dimaksud diundangkan. Peraturan
perundang-undangan yang dimaksud adalah Permendag 19/2009;
13. Bukti bahwa Permendag No. 19/2009 merupakan peraturan perundang-undangan lebih lanjut
dari UUPK, adalah disebutkannya UU Perlindungan Konsumen dalam konsiderans Permendag
19/2009. Berikut kutipannya:
“Produk telematika dan elektronika yang wajib dilengkapi dengan petunjuk penggunaan dan
kartu jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) sebagaimana tercantum dalam
lampiran I Peraturan Menteri ini.”
15. Bahwa iPad tidak termasuk barang yang wajib disertai manual dalam bahasa Indonesia
ketika diperdagangkan sudah merupakan norma yang berlaku (hukum positif), namun faktanya
penegak hukum masih saja salah menafsirkan Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) huruf j UUPK
dengan melakukan proses pidana terhadap tersangka/terdakwa menggunakan Pasal a quo;
16. Secara faktual dan aktual, Kementerian perdagangan memberikan respon kepada masyarakat
atas terjadinya kasus kriminalisasi Dian dan Randy. Kementerian Perdagangan mengeluarkan
pernyataan melalui konfrensi pers bahwa iPad tidak termasuk ke dalam 45 jenis barang yang
wajib disertai manual berbahasa Indonesia pada tanggal 5 Juli 2011, serta telah memberikan
surat otentik kepada penasihat hukum Dian & Randy, penasihat hukum Charlie Sianipar, namun
faktanya terhadap Calvin masih dilakukan penahanan oleh kejaksaan sejak Juni 2011 hingga
permohonan ini diajukan ke Mahkamah Konstitusi;
17. Bahwa kementerian perdagangan adalah satu-satunya lembaga yang secara khusus diberikan
kewenangan dan pemegang amanat berdasarkan Pasal 8 ayat (1) huruf j UUPK untuk
mengeluarkan kebijakan sebagai aturan pelaksanaan UUPK terkait petunjuk penggunaan
(manual) produk telematika dan elektronika dalam Bahasa Indonesia. Lalu kenapa para penegak
hukum masih mengingkarinya dan berbeda penafsiran?
18. Terhadap fakta ini telah terjadi ketidakpastian hukum akibat tindakan penegak hukum yang
menegasikan frasa “sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku”;
19. Maka dapat ditarik hubungan sebab akibat atau akar permasalahan terjadinya ketidakpastian
hukum dan perbedaan penafsiran yang menyebabkan kesewenang-wenangan dan kriminalisasi
terhadap perkara penjual iPad adalah akibat adanya Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) huruf j
UUPK yang essensinya tidak memiliki kepastian hukum untuk diterapkan;
20. Bahwa keberadaan Pasal a quo tidak relevan dengan tujuan pembangunan nasional. Sehingga
dengan sendirinya telah bertentangan dengan lima asas perlindungan konsumen yang dituangkan
dalam Pasal 2 UUPK dan penjelasannya yang meliputi:
21. Bahwa ketentuan Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) huruf j UUPK tidak mencerminkan
aturan yang jelas, mudah dipahami, dan dapat dilaksanakan secara adil (fair). Rumusan delik
pemidanaan dalam pasal a quo adalah rumusan yang tidak jelas dan berpotensi disalahgunakan
secara sewenang-wenang. Ketentuan dalam Pasal a quo yang tidak jelas dan sumir tersebut
merupakan bentuk pelanggaran atas negara hukum (the rule of law) dimana hukum harus jelas,
mudah dipahami, dan dapat menegakan keadilan;
22. Bahwa menurut Prof. Kusumadi Pudjosewojo dikarenakan Indonesia adalah negara hukum,
maka segala kewenangan dan tindakan alat-alat perlengkapan negara harus pula berdasarkan dan
diatur oleh hukum. Penguasa bukanlah pembentuk hukum, melainkan pembentuk aturan-aturan
hukum, oleh sebab itu hukum berlaku bukan karena ditetapkan oleh penguasa, akan tetapi karena
hukum itu sendiri. Hal ini membawa konsekuensi, bahwa penguasa pun dapat dimintai
pertanggungjawaban jika dalam menjalankan kekuasaannya melampaui batas-batas yang telah
diatur oleh hukum, atau melakukan perbuatan melawan hukum. Kewenangan penguasa dan
organ-organ negara sangat dibatasi kewenangan perseorangan dalam negara, yang berupa hak
asasi manusia;
23. Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) huruf j Undang-
Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bertentangan dengan
prinsip-prinsip Negara hukum yang ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 serta
bertentangan dengan asas kepastian hukum yang adil berdasarkan Pasal 28 D Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, serta melanggar hak setiap orang atas
perlindungan diri pribadi dan harta benda yang di bawah kekuasaannya sebagaimana
Pasal 28 G ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
1. Bahwa berdasarkan prinsip “nullum crimen, noella poena sine lege certa” artinya “tidak
ada perbuatan pidana tanpa adanya aturan undang-undang yang jelas”. Maka
konsekwensinya adalah setiap rumusan perbuatan pidana harus jelas undang-undangnya,
tidak multitafsir sehingga dapat menjamin adanya kepastian hukum;
1. Bahwa Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) huruf j UUPK bertentangan dengan asas lex
certa. Pasal tersebut menimbulkan ketidakjelasan, ketidak pastian, dan keraguan, atas
terjadinya pembedaan (disparitas) antara penegak hukum kepolisian/kejaksaan dengan
Kementerian Perdagangan untuk menentukan apakah objek yang dapat dikenakan
larangan dijual tanpa manual bahasa Indonesia tersebut adalah seluruh barang, ataukah
hanya barang-barang yang diwajibkan ketika diatur kemudian oleh peraturan
perundang-undangan yang lain?
1. Bahwa bila kita baca dengan seksama lampiran Permendag 19/2009, telah jelas barang
jenis iPad tidak terdapat dalam 45 jenis barang yang tertera. Akan tetapi penyidik tetap
saja melakukan penangkapan terhadap penjual iPad yang tidak menyertai manual
berbahasa Indonesia. Ini artinya penyidik memakai dasar penafsiran bahwa objek barang
sesuai Pasal 8 ayat (1) huruf j UUPK adalah bersifat menyeluruh (generalisir). Maka jika
penyidik konsisten terhadap kasus-kasus iPad yang ditangkapnya dan ada persamaan
hukum, seharusnya tidak hanya iPad yang wajib disertai bahasa Indonesia ketika
diperdagangkan, akan tetapi seluruh barang yang ada beredar di masyarakat, harus pula
memiliki manual bahasa Indonesia ketika dijual. Dan semua penjual barang harus
ditangkap jika tidak menyertakan manual bahasa Indonesia. Sungguh penafsiran penyidik
yang seperti ini bertentangan dengan nalar dan akal sehat kita;
1. Bahwa Kementerian Perdagangan sebagai institusi yang diberikan amanat dan wewenang
untuk mengeluarkan suatu aturan mengenai petunjuk penggunaan dalam bahasa
Indonesia, maka peraturan yang dikeluarkannya menjadi hukum positif yang berlaku dan
harus ditaati oleh penegak hukum. Akan tetapi patut disayangkan penegak hukum
melakukan penangkapan, penahanan, penyidikan, persidangan bahkan dalam
menjatuhkan putusan terhadap perkara penjual iPad tanpa manual bahasa Indonesia,
masih saja tidak menyesuaikan dengan Permendag 19/2009;
1. Bahwa atas adanya disparitas tersebut, Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir undang-
undang dapat memberikan tafsir yang benar dan jelas sehingga menyadarkan Penegak
Hukum agar tidak melakukan pelanggaran dalam melaksanakan tugasnya;
1. Bahwa terhadap subjek yang dilarang menurut Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) huruf
j juga tidak jelas sehingga menimbulkan kekacauan dan ketidakpastian hukum. Apakah
sanksi pidana terhadap pelaku usaha yang menjual iPad tanpa manual bahasa Indonesia
dapat dikenakan kepada perorangan? -quod none-. Pasal 8 ayat (1) huruf j UUPK
memang menggunakan istilah “pelaku usaha”. Namun pelaku usaha yang dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1) huruf j UUPK diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-
undangan. Sehingga penafsirannya bertambah luas dan berbeda-beda di antara penegak
hukum maupun para pakar;
10. Bahwa Permendag 19/2009 merupakan peraturan khusus/spesifik berupa penjelasan lebih
lanjut tentang larangan memproduksi dan/atau memperdagangkan sebagaimana yang dimaksud
Pasal 8 ayat (1) UUPK. Dengan kata lain, Permendag 19/2009 merupakan pengaturan ‘larangan
memproduksi dan/atau memperdagangkan’ khusus untuk produk telematika dan elektronika.
Kesimpulan ini sesuai dengan judul Permendag 19/2009 yaitu “… tentang Pendaftaran Petunjuk
Penggunaan (Manual) dan Kartu Jaminan/Garansi Purna Jual dalam Bahasa Indonesia bagi
Produk Telematika dan Elektronika”. Sedangkan pengaturan untuk barang lain (selain produk
telematika dan elektronika) tidak diatur dalam Permendag 19/2009;
11. Bahwa Permendag 19/2009 mengatur bahwa ‘subyek’ yang diatur dalam Permendag 19/2009
adalah badan hukum (rechtpersoon) bukan orang-perseorangan (natuurlijke persoon).
Kesimpulan ini dapat dicapai dengan pendekatan interpretasi sistematik, artinya, memahami
suatu peraturan perundang-undangan berdasarkan konteks dan keseluruhan pasal di dalamnya.
Berikut adalah beberapa contoh pasal dalam Permendag 19/2009 yang bila dibaca secara
sistematik membuktikan bahwa Permendag 19/2009 mengatur ‘subyek’ badan hukum dan bukan
orang-perseorangan. Dalam Pasal 1 ayat (5), Pasal 1 ayat (6), Pasal 3 ayat (1) huruf (a), Pasal 3
ayat (3), Pasal 7 Permendag 19/2009 hanya menyebutkan : “Importir adalah
perusahaan….”, “Produsen adalah perusahaan….”, ”Produsen atau importir produk
telematika dan elektronika wajib……”.
12. Pasal-pasal di atas menunjukkan bahwa ‘subyek’ yang diatur dalam Permendag 19/2009
adalah badan hukum, bukan orang-perseorangan. Bila ditilik dari segi addressat atau ‘subyek’,
maka kutipan-kutipan pasal diatas hanya dapat diberlakukan kepada badan hukum dan tidak
mungkin diberlakukan kepada orang-perseorangan.
13. Bahwa oleh karena Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) huruf j UUPK membuka ruang
penafsiran yang sangat luas mengenai subjek hukumnya maupun objek hukumnya yang masih
menimbulkan perdebatan, penafsiran yang berbeda-beda, maka pasal ini telah bertentangan
dengan asas lex certa di dalam hukum pidana, dan asas kepastian hukum;
14. Bahwa selain itu, Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) huruf j UUPK hanya menyebutkan
omisi atau larangan bagi pelaku usaha yang memproduksi/memperdagangkan barang/jasa tanpa
petunjuk penggunaan bahasa Indonesia dengan tidak melihat keharusan adanya pihak yang
dirugikan dalam rumusan pasal tersebut. Dalam pasal a quo tidak menyebutkan konsumen
sebagai pihak yang dirugikan. Sehingga rumusan dalam pasal a quo kabur (obscure) mengenai
siapa yang menjadi korban yang dirugikan;
15. Bahwa Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) huruf j UUPK tidak sesuai dengan asas
“relevansi“ dalam hukum pidana. Dari sudut pandang hukum pidana, bagi seorang yang
memperdagangkan barang tanpa disertai petunjuk penggunaan tidak relevan dengan suatu pasal
yang mensyaratkan adanya unsur niat jahat (mens rea) dalam suatu perbuatan tindak pidana
(actus reus). Perbuatan “tidak memberikan informasi dalam bahasa Indonesia” tidak ada
relevansinya dengan persoalan penyimpangan perilaku sosial yang patut mendapat reaksi, sanksi
dan koreksi dari sudut pandang hukum pidana, serta tidak ada unsur niat jahat dan perbuatan
jahatnya. Asas ini mendasari pada fungsi umum hukum pidana sebagaimana yang disampaikan
oleh Vos “….hukum pidana adalah untuk melawan kelakuan-kelakuan yang
tidak normal (…het strafrecht zicht tegen min of meer abnormal gedragingen)”;
16. Bahwa Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) huruf j UUPK tidak sesuai dengan “asas
kepatutan”. Asas yang dalam hal menguji logika yuridis lebih mengedepankan rasa kepatutan
yang berkembang di tengah masyarakat. Dalam perkara iPad tidak patut seseorang dipenjara
cuma lantaran tidak menyertai buku petunjuk bahasa Indonesia ketika menjual iPad. Sungguh
tidak patut timbul keresahan dan ancaman bagi masyarakat akibat tindakan represif aparat yang
mempergunakan pasal yang sebenarnya masih perlu diuji karena bertentangan dengan konstitusi
dan norma-norma masyarakat. Sungguh fenomena penangkapan terhadap para penjual iPad
tanpa manual bahasa Indonesia, tidak masuk akal sehat kita semua dan bertentangan dengan
nurani keadilan;
17. Bahwa jika diilihat dalam sudut pandang “ajaran sifat melawan hukum dalam fungsinya yang
negatif”, yang menurut pandangan hidup masyarakat perbuatan itu bukan merupakan perbuatan
tercela berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat
umum. Maka perbuatan pelaku usaha menjual barang tanpa disertai petunjuk penggunaan dalam
bahasa Indonesia tidak dapat dijatuhi pidana, sebagai contoh putusan Mahkamah Agung RI No:
42 K / Kr / 1965 tanggal 8 Januari 1966 dalam kasus penyalah gunaan DO Gula di PN
Singkawang. Selanjutnya buat apa sanksi pidana diadakan sebagaimana pasal a quo? Pasal a quo
tidak efektif jika diberlakukan. Pelanggaran terhadap pelaku usaha yang memperdagangkan
barang/jasa tanpa manual bahasa Indonesia dapat menggunakan mekanisme di luar pidana yakni
dengan sanksi administrative atau gugatan perdata perbuatan melawan hukum;
18. Bahwa syarat-syarat membuat suatu aturan yang dapat dipidana/kriminalisasi (limiting
principles) harus memperhatikan:
20. Bahwa pencantuman sanksi pidana sebagaimana Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) huruf j
UUPK dalam perspektif hukum pidana yang humanistis, adalah tidak tepat dan tidak
proporsional. Hal demikian ini dapat kita simak dari pendapat pakar hukum pidana Prof. Muladi
dan Prof. Barda Nawawi Arif di dalam bukunya yang berjudul Bunga Rampai Hukum Pidana
pada halaman 73, menegaskan:
21. Jika dilihat dari perumusan unsur-unsur delik dalam Pasal 62 ayat (1) jo Pasal 8 ayat (1)
huruf j UUPK yang ancaman pidananya maksimal 5 (lima) tahun penjara, bahwa perumusan
larangan dalam Pasal a quo tidak memenuhi syarat-syarat pemidanaan antara lain:
Pertama, dari segi efektifitas, tidak efektif jika membuat aturan pidana yang sebenarnya tidak
layak dikategorikan perbuatan yang harus dipidana. Tidak efektif jika terlalu banyak membuat
aturan yang melarang yang sebenarnya tidak layak untuk dilarang. In casu Pasal 62 ayat (1) jo.
Pasal 8 ayat (1) huruf j UUPK yang dilarang adalah “perbuatan tidak memberikan informasi”,
sedangkan hubungan yang terjadi antara pelaku usaha dengan konsumen adalah hubungan
perikatan yang terdapat kebebasan berkontrak di sana. Sehingga resiko yang akan terjadi sudah
dapat diketahui sejak awal oleh konsumen sebelum terjadinya transaksi. Jadi atau tidaknya
transaksi adalah hak sepenuhnya dari konsumen sebagai pembeli. Hubungan tersebut adalah
hubungan keperdataan yang tidak layak untuk dilarang apalagi dipidana;
Kedua, perumusannya juga sangat sumir karena masih harus mengacu pada frasa “sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku”. Frasa ini menimbulkan sesuatu yang tidak pasti.
Ketentuan perundang-undangan yang mana tersebut menimbulkan penafsiran yang berbeda-
beda sedangkan ancaman pidananya sebagaimana Pasal 62 ayat (1) telah berlaku. Faktanya
penegak hukum terlebih dahulu menggunakan ancaman pidananya ketimbang harus menelusuri
dengan cermat dan tepat frasa “sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku
tersebut”.
22. Berdasarkan uraian di atas bahwa Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) huruf j UUPK sangat
sumir dan melanggar asas lex certa karena tidak merumuskan secara jelas dan rinci uraian
perbuatan pidananya berikut bentuk kesalahannya. Maka Pasal a quo bertentangan dengan
Pasal 1 ayat (3), dan Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945.
1. Bahwa perbuatan yang dilarang dalam Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) huruf j UPK
adalah “tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam
bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku”;
1. Bahwa hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen adalah bersifat privat (hubungan
pribadi), bukan layaknya warga Negara dengan instansi pemerintahan yang merupakan
badan hukum publik. Maka “informasi atas petunjuk penggunaan barang dalam bahasa
Indonesia” yang wajib diserahkan kepada konsumen dalam Pasal 8 ayat (1) huruf j
UUPK, adalah informasi yang bersifat privat (pribadi), bukan “informasi publik”.
1. Bahwa berkaitan dengan hak seseorang untuk mendapatkan informasi bersifat pribadi,
memang merupakan hal yang penting dalam segala aktifitas kehidupan sosial masyarakat.
Namun di beberapa undang-undang yang Pemohon sebutkan di bawah ini mengenai hak
memperoleh informasi yang bersifat pribadi, tidak diatur sanksi pidana terhadap
pelanggaran atas tidak diberikannya hak untuk memperoleh informasi tersebut.
Diantaranya:
Hak setiap orang atas informasi Pasal 8 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
kesehatan dan tindakan pengobatan tentang Kesehatan:
1. Bahwa benar hak atas informasi merupakan sesuatu yang sangat penting. Akan tetapi jika
diukur dari skala priorotas mana yang lebih penting dari keempat undang-undang di atas
dengan kepentingan kewajiban pemberian informasi sebagaimana diatur dalam Pasal 62
ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) huruf j UUPK, maka jawabannya: yang paling tidak penting
adalah kewajiban pelaku usaha memberikan informasi petunjuk penggunaan
berbahasa Indonesia kepada konsumen sebagaimana dalam Pasal 8 ayat (1) huruf j
UUPK. Apalagi sampai harus dikenakan sanksi pidana bagi pelaku usaha yang
melanggar karena tidak memberikan hak informasi petunjuk penggunaan bahasa
Indonesia kepada konsumen. Sedangkan keempat hak informasi di atas yang jauh lebih
penting, tidak dikenakan sanksi pidana;
1. Bahkan hak informasi yang begitu penting bagi pasien karena menyangkut nyawa dan
keselamatan dirinya, yakni hak pasien atas rekam medis, informasi atas tindakan medis,
informasi kesehatan dan informasi tindakan pengobatan, ternyata tidak diatur dan tidak
dikenakan sanksi pidana bagi para dokter, rumah sakit atau tenaga kesehatan yang tidak
memberikan hak tersebut kepada pasien;
1. Bahwa Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) huruf j UUPK yang membedakan sanksi
antara pelaku usaha dengan: dokter atau tenaga kesehatan yang tidak memberikan
informasi medis; intansi pemerintah maupun pihak lain yang tidak memberikan informasi
kepada advokat; bank yang tidak memberikan informasi mengenai risiko kerugian yang
timbul kepada nasabah, maka Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) huruf j UUPK
telah melanggar asas persamaan di muka hukum sebagaimana Pasal 27 ayat (1) dan
Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945.
1. Bahwa sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu sehingga yang
merupakan titik tolaknya adalah kepentingan individu pula. Dengan demikian dapat
dipahami bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk
berkontrak;
1. Dalam kasus penjualan iPad tanpa manual bahasa Indonesia, bagaimana jika si konsumen
sudah tahu bahwa sebenarnya di dalam dus (box) iPad yang ditawarkan tersebut tidak
dilampirkan buku petunjuk penggunaan dalam bahasia Indonesia, lalu si calon konsumen
tetap saja setuju dan membeli iPad tersebut? Apakah Negara harus mempidana pelaku
usaha tersebut sendirian, padahal dalam kondisi terjadinya transaksi tersebut ada tindakan
dan keturutsertaan, serta didasari atas keinginan si konsumen? –quod none-
1. Menurut hukum perjanjian Indonesia seseorang bebas untuk membuat perjanjian dengan
pihak manapun yang dikehendakinya. Undang-undang hanya mengatur orang-orang
tertentu yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, pengaturan mengenai hal ini dapat
dilihat dalam pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
1. Di era globalisasi dan perdagangan bebas, persoalan bahasa asing bukan suatu yang
menjadi penghalang untuk dilakukannya aktivitas perdagangan. Kemajuan teknologi
membuat segala sesuatunya menjadi mudah. Barang/produk yang sekalipun tidak
memiliki petunjuk penggunaan, dengan mudah dan cukup dimengerti dapat dipergunakan
dengan hanya melihat wujud fisiknya dan selanjutnya mencobanya. Pada keadaan
tersebut, penjual/pelaku usaha dapat menjelaskan kegunaan dan keadaan barang yang dia
tawarkan guna meyakinkan calon pembeli/konsumen;
1. Selanjutnya jika si calon konsumen tersebut merasa yakin dengan produk yang akan
dibelinya, maka pilihan/keputusan akhir untuk jadi membeli atau tidak merupakan hak
dari si konsumen. Artinya, terjadinya transaksi jual beli merupakan pilihan bagi si
konsumen. Dalam keadaan seperti ini, maka yang berlaku adalah hubungan perikatan
sebagaimana syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 1320 dan 1338 KUH perdata;
1. Sebagai bagian dari hukum publik, hukum pidana sebagaimana Pasal a quo telah
melakukan intervensi kepada hak privasi seseorang, dalam hal ini telah menegasikan asas
kebebasan berkontrak yang seharusnya diserahkan kepada para pihak yang membuatnya;
10. Bahwa Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) huruf j UUPK yang telah menghilangkan
kesempatan dan kebebasan berkontrak antara pelaku usaha dan konsumen dalam membuat
perikatan, yang telah memaksakan aturan bersifat perdata masuk ke dalam ranah publik (pidana)
dengan ancaman sanksi penjara, maka Pasal a quo telah melanggar hak setiap orang untuk
mengembangkan diri dan meningkatkan kualitas hidupnya, sebagaimana Pasal 28 C ayat
(1) UUD 1945, serta melanggar hak setiap orang atas perlindungan diri pribadi dan harta
benda yang di bawah kekuasaannya sebagaimana Pasal 28 G ayat (1) Undang-Undang
Dasar 1945.
V. PROVISI
1. Bahwa pada akhir Juni 2011, masyarakat dihebohkan atas pemberitaan kasus iPad Terdakwa
Dian dan Randy yang ditahan cuma gara-gara menjual iPad tanpa disertai petunjuk penggunaan
dalam Bahasa Indonesia. Dalam persidangan majelis hakim Terdakwa Dian dan Randy
memberikan respon positif dengan mengeluarkan penetapan penangguhan penahanan, melalui
penetapan No. 906/Pen.Pid/2011/PN Jkt Pst, pada tanggal 5 Juli 2011. Akan tetapi berbeda
dengan kasus Calvin alias Winoto yang saat ini masih mendekam di rutan Salemba, yang
kasusnya hampir sama dengan Dian dan Randy;
2. Bahwa saat permohonan ini diajukan ke Mahkamah Konstitusi tanggal 3 Oktober 2011,
Terdakwa kasus iPad Dian dan Randy di PN Jakarta Pusat, Charlie Mangapul di PN Jakarta
Selatan dan Calvin alias Winoto di PN Jakarta Barat, masih menjalani persidangan dan belum
sampai pada tahap putusan;
3. Bahwa selain orang-orang yang disebutkan di atas yang tersangkut kasus iPad dijerat dengan
Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) huruf j UUPK, ternyata masih banyak lagi anggota
masyarakat lain yang masih dalam proses penyidikan atau pra penuntutan sebagaimana inisial-
inisial yang diucapkan oleh humas Polda Metro jaya melalui media, belum lagi orang-orang yang
tidak diketahui oleh Pemohon dan umum;
4. Selain itu, masyarakat yang belum tersangkut masalah pidana akibat Pasal 62 ayat (1) jo.
Pasal 8 ayat (1) huruf j UUPK, juga berpotensi/terancam dengan keberadaan pasal tersebut yang
digunakan polisi secara represif menangkapi para penjual iPad dengan cara menyamar dan
penjebakan baik melalui forum jual beli internet, di toko-toko dan di mana saja, hal ini
menimbulkan ketakutan dan keresahan di masyarakat baik pedagang maupun bukan pedagang
yang lazim menjual barang-barang pribadi;
5. Bila melihat tindakan penyidik kepolisian yang tidak mengindahkan bahwa objek barang
telematika dan elektronika yang diwajibkan disertai manual bahasa Indonesia hanya 45 jenis
barang sesuai lampiran permendag 19/2009, maka objek yang terancam pasal a quo tidak hanya
terhadap iPad. Namun terhadap barang-barang lain juga dapat ditindak hal yang sama. Misalnya
saja terhadap barang-barang elektronik lain dan barang-barang keperluan rumah tangga maupun
pribadi;
7. Bahwa kegiatan perdagangan menyentuh dan dijalani dalam setiap aspek kehidupan
masyarakat Indonesia. Sehingga keberadaan pasal a quo yang multi tafsir dan dapat
dipergunakan oleh aparat penegak hukum dengan sewenang-wenang sangat berbahaya;
8. Bahwa atas terjadinya kesimpangsiuran dan penafsiran yang salah oleh penegak hukum
terkait perkara iPad, yang menimbulkan terjadinya penyalahgunaan wewenang, penangkapan
dan penahanan sewenang-wenang, proses peradilan yang tidak sejalan dengan prinsip “fair
trial” terhadap anggota masyarakat, maka diperlukan adanya suatu putusan mendesak oleh
Mahkamah Konstitusi sebagai institusi yang mengawal konstitusi (guardian constitution) dan
menafsirkan undang-undang agar sesuai dengan aturan yang ada (rule of law), maka kiranya
Mahkamah Konstitusi memberikan suatu putusan sementara yang menegaskan bahwa
Permendag 19/2009 adalah aturan khusus sebagaimana dimaksud frasa “sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku” dalam Pasal 8 ayat (1) huruf j UUPK. Serta
menegaskan kaitannya Pasal a quo dengan perkara iPAd, bahwa iPad tidak termasuk ke dalam
45 jenis barang yang diwajibkan disertai petunjuk penggunaan dalam bahasa Indonesia sesuai
Pasal 8 ayat (1) huruf j UUPK jo. Pasal 4 Permendag 19/2019;
9. Bahwa diperlukan adanya suatu putusan mendesak oleh Mahkamah Konstitusi, setidaknya
dapat mengikat untuk sementara waktu agar penegak hukum tidak salah melakukan penafsiran
terhadap undang-undang dan tidak salah langkah melakukan tindakan hukum, bahwa semenjak
putusan provisi dibacakan agar Kepolisian RI dan Kejaksaan RI tidak lagi melakukan
penangkapan-penangkapan, penahanan, melakukan proses penyidikan dan penuntutan, yang
didasari sangkaan atau dakwaan dengan mempergunakan Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1)
huruf j UUP, agar kesemuanya ditangguhkan, dan Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1)
huruf j UUPK dinyatakan tidak berlaku untuk sementara waktu, sebelum adanya putusan
akhir yang akan memberikan kepastian hukum terhadap Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1)
huruf j UUPK.
VI. PETITUM
Dalam Provisi:
3. Menyatakan barang berupa iPad-Apple tidak termasuk jenis barang yang wajib
disertai petunjuk penggunaan (manual) dalam bahasa Indonesia ketika diperdagangkan
sebagaimana menurut Pasal 8 ayat (1) huruf j Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen jo. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor
19/M-DAG/PER/5/2009 tentang Pendaftaran Petunjuk Penggunaan (Manual) dan Kartu
Jaminan/Garansi Purna Jual dalam Bahasa Indonesia Bagi Produk Telematika dan
Elektronika.
4. Menyatakan Pasal 62 ayat (1) sepanjang berkaitan dengan Pasal 8 ayat (1) huruf j
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak berlaku dan
tidak mengikat untuk sementara waktu sampai adanya putusan akhir terhadap
permohonan ini.
Atau apabila Majelis Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya
(ex aeque et bono)
Hormat kami,
Pengajuan uji materi UU perlindungan konsumen oleh OAI ini merupakan yang pertama sejak UU ini
disahkan tahun 1999. "Rasa keadilan kami terusik atas penangkapan sejumlah penjual iPad hanya
karena tidak menyertakan buku petunjuk berbahasa Indonesia," ujarnya.
Sebelumnya, polisi menangkap sejumlah penjual iPad dengan tuduhan tidak menyertakan buku manual
berbahasa Indonesia sehingga menyebabkan potensi kerugian pada konsumen. Mereka adalah Wiwi
Siswanto disusul Dian Yudha Negara dan Randy Lester Samusamu yang sudah divonis lima bulan
penjara. Kemudian ada Charlie Sianipar yang saat ini masih menjalani persidangan di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan. Yang terakhir adalah Calvin Winoto yang kini kasusnya masih menjalani persidangan di
PN Jakarta Barat.
Untuk kasus Dian dan Randy yang juga ditangani Virza, misalnya, dia menyebut telah terjadi tindakan
sewenang-wenang dengan putusan yang dijatuhkan pada kliennya. Dian dan Randy dijerat Pasal 8 ayat 1
huruf j jo Pasal 62 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang
menyatakan telah menjual barang tanpa dilengkapi manual bahasa Indonesia. Tuntutan terhadap kedua
terdakwa itu semakin berat sebab semua barang bukti milik kedua terdakwa berupa dua buah iPad 3G,
Wi-Fi, 64 GB, serta enam buah iPad 3G, Wi-Fi, 16 GB mesti dimusnahkan.
Atas putusan ini, Virza menyatakan kekecewaannya atas tuntutan yang diajukan jaksa penuntut umum.
Ia melihat dalam kasus tersebut ada upaya kriminalisasi terhadap kedua kliennya. Hal ini merujuk
kepada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19 tahun 2009 yang menyatakan iPad tidak termasuk
dalam 45 produk yang wajib menyertakan buku panduan bahasa Indonesia.
Selain soal iPad ini, Kementerian Perdagangan (Kemendag) sebagai lembaga resmi yang membuat
aturan tersebut, secara tegas menyatakan bahwa iPad tidak termasuk barang yang wajib bermanual
book bahasa Indonesia. Pada 5 Juli 2011, secara resmi Kemendag menyatakan bahwa produk iPad belum
termasuk produk yang wajib dilengkapi dengan petunjuk penggunaan dan kartu jaminan purna-jual
dalam bahasa Indonesia. Pernyataan ini dituangkan dalam surat bernomor 014/SPK/Sd/0/2011.
Pada uji materi yang akan diajukan besok itu, OAI akan menjelaskan terjadinya kesewenang-wenangan
penegak hukum dalam menafsirkan undang-undang ini. "Telah terjadi penyalahgunaan wewenang dan
penafsiran yang sewenang-wenang atas undang-undang ini sehingga perlu diuji kembali."
IRA GUSLINA