Anda di halaman 1dari 4

Aku, Rasti, dan Pernikahan Palsu

Yety Ursel

Rasti melintas di hadapanku. Langkahnya terburu sambil tetap menunduk, seperti biasanya.
Selang beberapa saat dia kembali muncul dengan secangkir kopi yang asapnya masih mengepul
dan menebarkan aroma nikmat. Kopi itu diletakkannya di meja yang ada di hadapanku kemudian
kembali berlalu. Selalu begitu.

Sudah enam bulan kami hidup bersama, terikat dalam satu ikatan yang bernama
pernikahan. Pernikahan yang tidak pernah kami rencanakan tetapi harus kami jalani. Pernikahan
yang hanya berguna untuk menutupi rasa malu dan menjaga status sosial keluarga saja.

Rasti, remaja enam belas tahun itu hamil dan Mas Yanto adalah ayah dari bayi yang ada di
dalam rahimnya. Mas Yanto, ayah tiri Rasti, telah memaksa gadis belia itu untuk memenuhi
hasratnya hingga akhirnya Rasti hamil.

“Yadi, tolongin Mas. Mas tahu… Mas salah. Mas khilaf… Mas tidak mungkin
menikahinya.”

“Jadi... maksud, Mas?” Aah… untuk apa pertanyaan ini aku lontarkan. Aku sudah tahu
arah ucapannya. Mas Yanto meminta aku menikahi Rasti. Demi nama baik keluarga. Demi status
sosial yang selama ini selalu dibanggakan.

Mas Yanto pasti tahu, aku tidak mungkin menolak keinginannya. Mas Yantolah yang
selama ini membiayai kami sekeluarga. Dia yang membiayai sekolahku dan adik-adik. Dia
terpaksa menikahi perempuan separuh baya yang sudah memiliki tiga orang anak remaja. Dia
menikahi seorang janda kaya agar bisa menyelamatkan kami semua. Ibu, aku, dan dua adikku.

“Begini, Yad. Yang penting kamu nikahi dulu dia. Nanti kalau anaknya sudah lahir, kamu
boleh ceraikan lagi. Setidaknya ini bisa menyelamatkan kita semua.”

Jangan tanya mengapa aku mengikuti saja kemauan Mas Yanto. Bagiku persoalan ini
bukan saja soal nama baik dan status sosial, tetapi tentang remaja enam belas tahun yang telah
menjadi korban kejahatan orang dewasa.

Sudah enam bulan usia pernikahan kami. Aku tak pernah sekalipun menyentuhnya. Aku
tak boleh menodai anak yang ada dalam rahimnya. Sudah cukup dosa yang pernah ada. Aku tak
boleh melajutkannya dengan dosa-dosa lainnya. Aku bukan ayah bayi itu. Pernikahan kami tidak
sah secara agama. Aku tidak berhak atas dirinya.

Rasti kembali melintas. Masih dengan wajah tertunduk dan langkah tergesa.
“Rasti…” Panggilanku menghentikan langkahnya. Dia hanya mematung tanpa menoleh.

“Rasti… duduklah sekali-sekali di sini. Setidak-tidaknya kita jangan seperti dua orang
asing yang tinggal satu rumah.” Rasti masih berdiri dan belum juga menoleh.

“Rasti…” Kali ini dia bereaksi, dia menoleh walau tidak langsung menghampiriku. Dia
tetap mematung di tempatnya berdiri. Aku menganggukkan kepala mencoba meyakinkannya
untuk mendekat.

Rasti memilih duduk di kursi yang berada di sisi kiriku. Gayanya yang canggung dan ragu-
ragu membuatku merasa kasihan.

“Rasti… sudah berapa bulan usia kehamilanmu?” tanyaku mencoba memecah kekakuan di
antara kami.

“Sembilan bulan, Mas.”

“Jadi...?” jawaban yang diucapkan secara perlahan itu, sempurna membuat tenggorokanku
tercekat. Sejenak aku terpaku, berusaha menormalkan kembali seluruh fungsi tubuhku yang
tiba-tiba saja bekerja tanpa aturan. Sementara Rasti masih saja duduk dengan kepala tertunduk.

Sembilan bulan. Usia kehamilannya sudah mendekati masa kelahiran. Tiba-tiba saja aku
diliputi kengerian. Bagaimana dia akan menghadapi proses kelahirannya nanti? Aku tiba-tiba
tersadar, belum satu pun persiapan untuk menyambut kelahiran bayi itu yang kami lakukan. Aku
dan Rasti betul-betul hanya menjadi dua sosok yang hidup dalam satu atap. Tanpa rasa. Aku
mulai merutuki keegoisanku. Betapa selama ini Rasti sudah berusaha menjadi teman serumah
yang baik. Dia yang selalu menyiapkan secangkir kopi di pagi hari untukku. Dia pula yang telah
mengurus segala keperluan pribadiku; menyiapkan sarapan, mencuci dan menyetrika pakaianku,
dan urusan tetek-bengek lainnya yang memang bisanya dilakukan oleh seorang istri.

“Mas, maaf… saya mau ke kamar dulu.” Melihat aku yang hanya duduk diam membuat
Rasti tidak nyaman berlama-lama duduk satu meja denganku.

“Tunggu…Saya ingin mengajak kamu membeli keperluan bayi yang sudah hampir lahir
itu.” Ide itu muncul begitu saja.

“Tapi…. Bayi ini…bukan….”

“Sudahlah, jangan ngomong ke mana-mana. Bayimu akan lahir dan kita harus
mempersiapkan kelahirannya. Sana, ganti pakaianmu!” Kata-kataku yang memaksa membuat
Rasti tidak berani membantah. Dia segera menuju kamarnya. Tidak menunggu terlalu lama dia
sudah kembali dengan penampilan yang siap untuk bepergian.
***

Sudah lebih dari seminggu sejak aku dan Rasti belanja bersama. Sejak saat itu aku mulai
lebih memperhatikannya. Aku mulai diliputi kecemasan. Bagiku Rasti masih terlalu muda untuk
menjalani proses melahirkan. Dia baru enam belas tahun.

“Rasti sudah hampir melahirkan, Mas. Kata dokter tinggal menunggu hari.”

“Kamu urus sajalah.... Berapa pun biaya rumah sakitnya, kamu tidak usah khawatir. Sudah
kami siapkan.”

Jawaban ringan Mas Yanto telah membuat darahku tiba-tiba memanas. Sesederhana itukah
masalah ini baginya? Aku yang setiap hari melihat bagaimana anak kecil itu harus menanggung
beban dalam perutnya. Berjalan dengan napas terengah dengan tangan yang menopang bagian
belakang pinggangnya yang mungkin terasa nyeri. Sedangkan aku tidak bisa berbuat apa-apa.
Dia bukan istriku.

Aku juga yakin dia pasti diliputi rasa takut. Melahirkan itu perjuangan antara hidup dan
mati, itu yang aku pernah dengar dari Ibu. Sekarang orang yang menyebabkan dia hamil hanya
berhitung tentang uang. Gila! Ini benar-benar gila!

“Mas, ini sudah bukan lagi soal uang. Ini soal Rasti. Dia akan melahirkan, dan Mas tau
usianya baru enam belas tahun!” Suaraku kini meninggi. Hal yang tak pernah kulakukan selama
ini kepada Mas Yanto.

“Yad, jadi menurutmu, Mas harus bagaimana? Menikahinya? Itu tidak mungkin, kan?”

Ya, Mas Yanto memang tidak bisa menikahinya, kecuali ibunya Rasti memilih untuk
mengalah, dan membiarkan Mas Yanto menikahi Rasti, anaknya dan bercerai dengannya.

“Yad, kalau Mas menikahi Rasti, berarti Mas harus bercerai dengan mamanya. Kamu tau
akibatnya bagi kita? Akan semakin banyak orang yang menjadi korban. Mas tidak lagi bisa
membantu adik-adik untuk kuliah.”

Ya, Tuhan… mengapa jadi serumit ini?

***

“Mas Yadi, perutku sakit. Mungkin aku sudah akan melahirkan.” Rasti yang berdiri di
ambang pintu kamarku, sontak saja membuatku segera bangkit dan mengeluarkan motor.

“Ayo, kita ke klinik.”


Perjalanan menuju klinik yang jaraknya hanya tiga kilometer, rasanya begitu jauh. Aku
bisa mendengar erangan Rasti yang kesakitan di belakang tubuhku, mataku mengembun
karenanya.

Di klinik bidan langsung menangani Rasti. Butuh waktu hampir lima jam hingga bayinya
lahir. Dan aku menyaksikan detik demi detik peristiwa itu. Di samping kepalanya aku berdoa dan
berusaha memberinya kekuatan.

“Rasti, jangan takut. Mas di sampingmu. Tidak hanya sekarang, tapi selamanya. Kita akan
membesarkan anak kita dengan kasih sayang. Ayo berjuanglah!” Rasti menatapku dengan
tatapan penuh harap. Aku mengecup keningnya.

Dan aku memenuhi janjiku. Kami kembali menikah. Kali ini karena aku menyayanginya.
Ketegarannya telah membuatku jatuh cinta.

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai