Herpes Zoster
Pembimbing:
dr. Endang Sukmawati, Sp.KK
Oleh :
Jefri Sokko
112015270
1|
Status Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. A.S
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 55 Tahun
Alamat : Jepang, Kudus
Pekerjaan :-
Status Perkawinan : Belum Menikah
Agama : Islam
II. ANAMNESA
Autoanamnesa dari pasien
tanggal 30 Juni 2018, jam 14.40 WIB
Keluhan Utama : Muncul lenting berisi cairan bening di leher sebelah kanan.
Keluhan Tambahan: badan terasa demam dan merasa pusing
Pasien datang ke Mardi Rahayu dengan keluhan utama muncul lenting berisi cairan bening
di leher sebelah kanan yang dirasakan mengganggu sejak 5 hari lalu (hari senin sore). Pasien
mengaku lesi pertama awalnya hanya seperti bintik merah berisi cairan bening di leher pada
sebelah kanan dan lesi berkumpul. Tidak ditemukan lesi dibagian tubuh lain maupun disisi
tubuh sebelah kiri. Pasien mengaku terasa nyeri seperti berdenyut pada lesi. Rasa gatal
terkadang dirasakan. Pasien merasa seperti meriang atau demam sejak 3 hari lalu.
Tidak ada riwayat bersin pagi hari, maupun gatal saat mengkonsumsi makanan maupun
obat. Saat ini pasien merasa demam (-), sesak nafas (-), batuk (-), pilek (-), sakit tenggorokan (-
17 |
), gigi berlubang(-). Pasien tidak ingat pernah mengalami cacar air.
Sebelum datang ke Poli Kulit RS Mardi Rahayu pasien belum pernah dibawa berobat
untuk penyakit ini.
18 |
IV. STATUS DERMATOLOGI
Distribusi : Unilateral
Lokasi : Regio colli (D)
Efloresensi : Vesikel, berukuran miliar, batas tegas, unilateral.
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG -
Pemeriksaan Tzank
VI. RESUME
Seorang laki-laki datang ke Poli Kulit RS Mardi Rahayu dengan keluhan utama muncul
lenting berisi cairan bening di leher sebelah kiri yang dirasakan mengganggu sejak 2 hari lalu.
Pasien mengaku lesi pertama awalnya hanya seperti bintik merah berisi cairan bening di leher kiri.
Tidak ditemukan lesi dibagian tubuh lain maupun disisi tubuh sebelah kanan. Pasien mengaku
terasa nyeri seperti berdenyut pada lesi. Rasa gatal tidak ada. Pasien merasa seperti meriang atau
demam sejak 2 hari lalu.
19 |
Tidak ada riwayat bersin pagi hari, maupun gatal saat mengkonsumsi makanan maupun
obat. Saat ini pasien merasa demam (-), sesak nafas (-), batuk (-), pilek (-), sakit tenggorokan (-),
gigi berlubang(-). Pasien tidak ingat pernah mengalami cacar air.
Sebelum datang ke Poli Kulit RS Mardi Rahayu pasien belum pernah dibawa berobat
untuk penyakit ini.
Status Dermatologi :
Distribusi : Unilateral
Lokasi : Regio colli (D)
Efloresensi : Vesikel, berukuran miliar, batas tegas, unilateral.
VII. DIAGNOSIS
Diagnosis Kerja : Herpes Zoster
Diagnosis Banding :
Varicella Zoster
Herpes Simpleks
Medikamentosa
o Topikal (Gentamisin Zalf 5gr ) 2 kali sehari
o Sistemik (Asiklovir 400mg ) 5 kali 2 tablet sehari
o Sistemik (asam mefenamat 500 mg) 3 kali sehari
o Roboransia (vit b complex) 1 kali sehari
20 |
IX.PROGNOSIS
1. Ad vitam : ad bonam
2. Ad fungtionam : ad bonam
3. Ad sanationam : ad bonam
4. Ad kosmetikam : ad bonam
X. PEMERIKSAAN SELANJUTNYA
Kontrol kembali setelah obat habis
Kontrol kembali setelah keluar pemeriksaan laboratorium
KESIMPULAN
Berdasar anamnesis, pemeriksaan fisik, dan usulan pemeriksaan penunjang, maka diagnosis
kerja untuk Tn. HS adalah herpes zoster. Pokok dasar terapi herpes zoster adalah mengatasi
virus varisela zoster, mengatasi gejala utama yaitu nyeri dan gejala sistemik lain yaitu demam,
mencegah kekambuhan, dan mencegah komplikasi.
TINJAUAN PUSTAKA
2|
Vesikel akan berada pada lapisan sel dibawah kulit dan membentuk atap pada stratum
korneum dan lusidum, sedangkan dasarnya adalah lapisan yang lebih dalam Gambaran
vesikel khas, bulat, berdinding tipis, tidak umbilicated, menonjol dari permukaan kulit, dasar
eritematous, terlihat seperti tetesan air mata/embun “tear drops”. Cairan dalam vesikel kecil
mula-mula jernih, kemudian vesikel berubah menjadi besar dan keruh akibat sebukan sel
radang polimorfonuklear lalu menjadi pustula. Kemudian terjadi absorpsi dari cairan dan lesi
mulai mengering dimulai dari bagian tengah dan akhirnya terbentuk krusta. Krusta akan
lepas dalam 1-3 minggu tergantung pada dalamnya kelainan kulit. Bekasnya akan
membentuk cekungan dangkal berwarna merah muda, dapat terasa nyeri, kemudian
berangsur-angsur hilang. Lesi-lesi pada membran mukosa (hidung, faring, laring, trakea,
saluran cerna, saluran kemih, vagina dan konjungtiva) tidak langsung membentuk krusta,
vesikel-vesikel akan pecah dan membentuk luka yang terbuka, kemudian sembuh dengan
cepat. Karena lesi kulit terbatas terjadi pada jaringan epidermis dan tidak menembus
membran basalis, maka penyembuhan kira-kira 7-10 hari terjadi tanpa meninggalkan
jaringan parut, walaupun lesi hyper-hipo pigmentasi mungkin menetap sampai beberapa
bulan. Penyulit berupa infeksi sekunder dapat terjadi ditandai dengan demam yang berlanjut
dengan suhu leher yang tinggi (39-40,5°C) mungkin akan terbentuk jaringan parut (Menaldi
SL et al., 2014).
Pada sebagian besar individu satu kali infeksi VZV biasanya memberikan
perlindungan seumur hidup terhadap infeksi ulang VZV dari luar. Tetapi sudah diketahui
bahwa infeksi ulang dapat terjadi baik klinis atau sub-klinis; yang diketahui dengan
peningkatan titer antibodi VZV setelah terpapar sumber infeksi. Hal ini biasa dijumpai pada
orang dewasa yang sudah pernah menderita varisela, tetapi mempunyai kontak serumah
dengan penderita varisela. Salah satu penelitian mengatakan infeksi ulang VZV ditemukan
64% asimtomatik pada individu imunokompeten, yang ditandai dengan peningkatan antibodi
VZV sampai 4 kali lipat. Infeksi ulang dengan gejala klinis varisela ditemukan sekitar 13%
pada kelompok imunokompeten dan 19% pada kelompok imunokompromais (Oxman MN &
Schmander KE, 2012)
3|
untuk melawan infeksi berikutnya, (3) faktor genetik, yang didasari pada ditemukannya 45%
individu dengan infeksi ulang dengan gejala klinis mempunyai 1 atau lebih anggota keluarga
yang pernah menderita varisela berulang. Herpes zoster tidak bisa dipisahkan dengan infeksi
primernya yaitu varisela. Untuk lebih memahami patogenesis herpes zoster ini juga
dibicarakan perjalanan penyakit yang dimulai dari munculnya varisela (Oxman MN, 2010).
Viremia primer
Di kelenjar limfe regional virus mengalami replikasi pertama di sel-sel mononukleus
darah perifer / PBMCs, diikuti dengan fase viremia primer dimana VZV dalam jumlah yang
sedikit menyebar melalui aliran limfe dan darah ke seluruh bagian tubuh untuk selanjutnya
mengalami replikasi kedua di liver, limfa atau sel mononukleus dalam jumlah yang lebih
banyak. Masa inkubasi ini biasanya berlangsung selama 2 minggu. Adanya DNA VZV di
PBMCs pasien imunokompeten dengan varisela sudah dibuktikan dengan metode PCR
setelah 24-72 jam munculnya lesi kulit. Pada pasien imunokompeten perkiraan jumlah
PBMCs yang terinfeksi VZV sekitar 0,01% - 0,001% (Menaldi SL et al., 2014).
Varicella zoster virus dimusnahkan oleh sel sistim retikuloendotelial, yang
merupakan tempat utama replikasi virus selama masa inkubasi. Infeksi virus dihambat
sebagian oleh mekanisme pertahanan tubuh alami dan respon imun didapat yang timbul.
Pada sebagian besar individu replikasi virus tidak dapat diatasi oleh sistim pertahanan tubuh
yang belum berkembang. Sehingga terjadi viremia sekunder dalam jumlah virus yang lebih
banyak (Oxman MN & Schmander KE, 2012).
4|
Gambar 1. Skema Viremia Primer
Viremia sekunder
Viremia sekunder terjadi setelah virus yang bertambah banyak dan menyebar ke
seluruh tubuh dan menimbulkan gejala demam dan malaise. Pada viremia sekunder virus
terutama menyebar ke kulit, mukosa dan neuron ganglion dorsalis untuk menjadi infeksi
laten. Varicella zoster virus dibawa ke kulit oleh sel mononukleus darah perifer yang sudah
terinfeksi VZV sebelum muncul lesi di kulit. Di kulit VZV mengalami replikasi pada sel
endotel kapiler, fibroblas, epitel kulit dan menimbulkan vaskulitis di pembuluh darah kecil,
degenerasi sel-sel epitel kulit yang bermanifestasi sebagai lesi varisela (Oxman MN, 2010).
Respon imun alami dan didapat menghambat berlanjutnya viremia sekunder ini,
sehingga menghambat berkembangnya lesi di kulit, timbulnya varisela yang luas dan varisela
pada organ viseral seperti paru yang dikenal dengan varisela pneumonia. Respon imun
seluler yang berperan dalam menghambat penyebaran VZV adalah natural killer cells,
dengan cara membunuh sel yang terinfeksi oleh VZV. Terjadinya komplikasi varisela
mencerminkan gagalnya sistim imun dalam menghentikan replikasi dan penyebaran virus
(Wolff K et al., 2013).
5|
Gambar 2. Skema Viremia Sekunder
6|
zoster. Biasanya hanya satu saraf yang terlibat, namun di beberapa kasus bisa jadi lebih dari
satu saraf ikut terlibat. Vesikel akan pecah dan berair, kemudian daerah sekitarnya akan
mengeras dan mulai sembuh, gejala ini akan terjadi 3-4 minggu. Pada sebagian kecil kasus,
eritema tidak muncul tetapi ada rasa sakit (Arenas R & Estrada R, 2001).
Infeksi Laten Varicella Zoster Virus
Selama penyembuhan varisela, Varicella zoster virus menjadi laten di nervus kranialis
seperti nervus trigeminal, fasialis dan di serabut ganglion posterior medula spinalis. Pada
sebagian besar individu virus ini menjadi laten seumur hidup. Perjalanan virus ke ganglion
sensoris diduga dengan cara hematogenik, transport neuronal retrograde atau keduanya.
Selama infeksi laten di serabut ganglion posterior ini tidak menimbulkan apoptosis sel saraf,
karena pada infeksi laten tidak terjadi inflamasi sehingga tidak merusak sel-sel neuron
(Arenas R & Estrada R, 2001)
Pada fase laten ini VZV tidak infeksius dan sebagian besar ekspresi gen VZV tidak
ditemukan pada sel neuron dari ganglion dorsalis yang merupakan tempat infeksi laten VZV.
Sehingga virus tidak bisa dideteksi dan dibersihkan oleh sistim imun. Sistim imun yang
berperan dalam mempertahankan keadaan laten ini adalah sistim imun seluler. Hal ini
terbukti dengan tingginya insiden herpes zoster pada pasien HIV dengan jumlah CD4
menurun dibandingkan insiden pada individu dengan status imun yang baik. Hanya beberapa
material genetik VZV yang diekspresikan di ganglion posteriror. Gen-gen yang biasa
ditemukan pada fase ini adalah gen 21, 29, 62, dan 63. Gen-gen tersebut umumnya
ditemukan dalam sitoplasma neuron ganglion dorsalis. Kadang- kadang juga ditemukan di
sel-sel satelit ganglion seperti sel Schwann dan astrosit. Berbeda pada fase reaktivasi, gen-
gen tersebut terdapat di dalam nukleus sel neuron yang terinfeksi VZV. Gen 63 berfungsi
sebagai protein yang menekan apoptosis neuron selama fase laten. Gen 62 berfungsi sebagai
regulator transkripsi ketika gen tersebut berada di dalam nukleus pada fase reaktivasi. Tidak
adanya gen-gen regulator transkripsi lainnya menyebabkan tidak terjadi replikasi VZV
selama fase laten (Gnann JW & Whitley RJ, 2002).
Dari penelitian kuantitatif PCR mengindikasikan sangat sedikit jumlah gen VZV,
yaitu sekitar 6-31 per 100.000 sel ganglion yang terinfeksi laten. Pengetahuan mengenai gen
mana yang diekspresikan selama fase laten penting
7|
untuk berbagai alasan. Dengan diketahuinya berbagai fungsi gen VZV diharapkan dapat
lebih memahami proses yang terjadi pada fase laten ini. Ekspresi gen VZV tersebut dapat
digunakan sebagai dasar terapi antivirus dalam mencegah terjadinya reaktivasi virus, dan
selanjutnya dapat mengidentifikasi secara spesifik enzim-enzim yang dapat menghambat
reaktivasi VZV, seperti enzim anti-sense oligonukleotidase dapat menghambat reaktivasi
virus laten dan kemungkinan pengembangan vaksin melawan protein VZV (Oxman MN,
2010).
Komponen genetik VZV terdapat ekstrakromosomal dalam bentuk yang tidak
infeksius. Hal ini berbeda dengan retrovirus, dimana komponen genetiknya terdapat di DNA
sel host. Sebagian besar penelitian memperlihatkan bahwa komponen DNA virus berada di
dalam sitoplasma sel neuron serabut saraf baik nervus trigeminal ataupun di neuron serabut
ganglion posterior. Pada infeksi ini ditemukan sedikit perubahan morfologi tanpa disertai
peradangan pada neuron- neuron tersebut (Wolff K et al., 2013).
Reaktivasi Varicella Zoster Virus
Reaktivasi VZV bisa terjadi secara spontan atau mengikuti berbagai faktor pencetus,
seperti infeksi, imunosupresi, trauma, radiasi dan keganasan. Selama fase klinis aktivasi
terjadi berbagai perubahan patologik pada serabut ganglion. Perubahan utama adalah
nekrosis dari sel-sel neuron baik sebagian maupun keseluruhan ganglion. Perubahan lain
adalah infiltrasi limfosit dan hemoragik pada sel-sel neuron (Wolff K et al., 2013).
8|
Proses patologik tersebut pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya neuralgia.
VZV kemudian menyebar secara sentrifugal ke saraf sensorik dan menyebabkan neuritis.
Virus yang terdapat pada ujung saraf sensorik menyebar di kulit menimbulkan kelompok-
kelompok vesikel herpes zoster. Biasanya keadaan ini berada pada satu unilateral dermatom
(Oxman MN & Schmander KE, 2012).
Pada keadaan reaktivasi didahului dengan keberadaan komponen genetik virus yang
sebelumnya berada di sitoplasma neuron selama fase laten, mencapai nukleus dan
mengaktifkan proses replikasi virus, kemudian memproduksi virus yang infeksius. Virus
tersebut kemudian keluar dari sel neuron ganglion posterior ke saraf sensorik, dan mencapai
kulit menginfeksi sel- sel epitel kulit dan menimbulkan lesi herpes zoster. Pada keadaan
reaktivasi ini, VZV menstimulasi respon imun yang mampu mencegah reaktivasi pada
ganglion lainnya dan reaktivasi klinis berikutnya. Sehingga herpes zoster hanya menyerang
satu dermatom dan muncul hanya sekali seumur hidup (Wolff K et al., 2013).
9|
Reaktivasi bisa menghasilkan klinis herpes zoster yang generalisata hal ini
disebabkan karena gagalnya sistem imun menghamabat perkembangan lesi herpes yang
terjadi. Keadaan ini biasanya ditemui pada pasien-pasien imunokompromais seperti
penderita HIV, pasien yang mendapat pengobatan dengan imunosupresan atau sitostatik. Hal
ini bertolak belakang dengan variasi klinis herpes zoster lainnya seperti pada zoster sine
herpete dimana klinis hanya berupa rasa nyeri pada dermatom yang terkena tanpa disertai
munculnya erupsi kulit. Pada keadaan tersebut sistim imun dapat mencegah penyebaran virus
ke kulit saat reaktivasi sehingga lesi kulit tidak muncul. Herpes zoster abortif dimana klinis
yang muncul sangat ringan dan berlangsung sebentar disebabkan sistim imun dapat menekan
perkembangan lebih lanjut virus sehingga tidak menimbulkan lesi yang lebih berat (Oxman
MN & Schmander KE, 2012).
Patogenesis Nyeri pada Herpes Zoster dan Neuralgia Paska Herpetik Nyeri merupakan
keluhan yang dirasakan penderita herpes zoster. Khususnya pada pasien tua, nyeri yang
terdistribusi pada saraf sensorik bisa menetap sampai beberapa minggu, bulan, bahkan tahun
setelah lesi kulit sembuh. Nyeri kronis yang menetap ini disebut neuralgia paska herpetik,
didefinisikan dengan nyeri yang menetap setelah lesi kulit sembuh atau yang menetap lebih
dari 4 minggu, tanpa melihat derajat perbaikan. Tidak seperti nyeri yang menyertai kerusakan
jaringan akut dimana pada NPH tidak ditemukan kelainan biologik. Nyeri pada herpes
merupakan hasil dari aktifitas jaras spinotalamikus dan pontin hipotalamik. Nyeri ini adalah
suatu bentuk nyeri neuropati yang disebabkan oleh kerusakan pada sistim saraf. Sensasi nyeri
tersebut merupakan hasil dari proses komplek sensorik pada level tertinggi disusunan saraf
pusat (Arenas R & Estrada R, 2001).
Dari pemeriksaan neuropatologi ditemukan adanya inflamasi akut oleh herpes zoster
yang maksimal pada serabut ganglion posterior. Inflamasi akut ini menyebabkan nyeri pada
suatu dermatom kemudian meluas ke perifer sepanjang saraf sensorik dan kadang-kadang ke
bagian proksimal saraf sensorik dan motorik dari dermatom yang terkena. Replikasi VZV di
sel neuron ganglion posterior menimbulkan inflamasi dan kerusakan pada sel tersebut,
sehingga terjadi peningkatan sensitifitas dan respon yang berlebihan pada nosireseptor /
reseptor taktil yang dikenal dengan sensitisasi perifer. Pada proses inflamasi ini
10 |
terjadi pelepasan sitokin-sitokin yang ikut memperberat kerusakan neuron. Nyeri pada herpes
tidak disebabkan oleh kuatnya rangsangan pada reseptor sensorik, tetapi disebabkan oleh
gangguan fungsi transmisi pada serat saraf sensorik setelah rangsangan taktil pada
nosireseptor di kulit (Oxman MN & Schmander KE, 2012).
Meskipun sensitisasi perifer penting pada mekanisme terjadinya nyeri pada herpes
zoster, masih tidak bisa dijelaskan kenapa area kulit yang mengalami hipersensitifitas hanya
terjadi di dermatom yang terkena, seperti allodynia atau hiperalgesia yang merupakan hasil
dari sensitisasi sentral, yaitu perubahan yang terjadi pada kornu posterior medula spinalis
sebagai konsekuensi rangsangan pada nosireseptor. Kerusakan akson sensorik karena herpes
zoster menimbulkan gangguan impuls yang menyebabkan depolarisasi terus-menerus pada
medula spinalis menimbulkan respon yang berlebihan pada kornu posterior medula spinalis
terhadap semua rangsangan (wind up mechanism) (Menaldi SL et al., 2014).
Gangguan fungsi saraf yang berkepanjangan pada kornu posterior medula spinalis
juga disebabkan karena pada saat depolarisasi, kalsium masuk ke sel neuron. Masuknya
kalsium diinduksi rangsangan glutamat atau aspartat terhadap reseptor N-metil-d-asam
glutamat / aspartat yang terjadi ketika sel neuron yang rusak di kornu posterior
menghantarkan impuls. Glutamat atau aspartat merupakan neurotransmiter yang dikeluarkan
oleh sel neuron yang rusak akibat proses peradangan. Akibat gangguan fungsi pada kornu
posterior medula spinalis terjadi sensitisasi sentral temporer bahkan permanen meskipun
tidak ada rangsangan taktil pada nosireseptor (Gnann JW & Whitley RJ, 2002)
Berbagai perubahan patologik bisa menyebabkan nyeri berkepanjangan yang susah
dikontrol setelah herpes zoster. Tahapan respon yang menyebabkan nyeri sesudah terjadinya
kerusakan saraf terjadi sangat cepat. Pelepasan neurotransmiter timbul dalam beberapa detik
setelah kerusakan saraf. Hipersensitifitas dan sensitisasi sel neuron terjadi dalam beberapa
menit, remodeling sel-sel neuron terjadi dalam beberapa jam, responstruktural terjadi dalam
beberapa hari atau dalam beberapa bulan. Hal ini berarti setiap usaha pengobatan bisa
mengurangi kerusakan saraf lebih lanjut selama dilakukan pada fase akut (Arenas R &
Estrada R, 2001).
11 |
Manifestasi Klinis Herpes Zoster
Manifestasi Herpes Zoster dapat dimulai dengan gejala prodromal berupa nyeri dan
parasthesia kemudian diikuti dengan timbulnya sensasi gatal, kesemutan, rasa terbakar,
hingga rasa nyeri dan pedih setelah beberapa hari. Rasa sakit dapat muncul secara konstan
atau intermiten. Brntukan khas dari herpes zoster adalah lokalisasi dan distribusi dari ruam
yang hampir selalu unilateral dan umumnya terbatas pada daerah kulit yang dipersarafi oleh
ganglion sensoris tunggal. Lokasi yang sering terkena oleh herpes zoster adalah T3 – L2 dan
daerah yang disarafi oleh saraf trigeminal terutama bagian mata. Lesi herpes zoster bermula
berbentuk makula erimatosa dan papula yang pertama kali muncul pada cabang superficial
dari saraf yang terkena. Vesikel terbentuk pada 12-24 jam pertama dna berkembang menjadi
pustula pada hari ke tiga. Ruam akan mengering dan berkrusta pada hari ke 7 – 10, krusta
umumnya akan bertahan 2 – 3 minggu. Pada individu normal, ruam baru akan muncul untuk
1-4 hari kadang 7 hari (Wolff K et al., 2013).
Rasa sakit atau ketidaknyamanan pada penderita herpes zoster sering pada fase akut
yang berkisar dari ringan hingga berat. Pasien menggambarkan rasa sakit mereka atau
ketidaknyamanan mereka sebagai rasa terbakar, gatal, sakit yang mendalam, dan sensasi
menusuk (Wolff K et al., 2013).
12 |
Immunoflouresent
13 |
Pada sebagian besar kasus, nyeri bersifat ringan dan tidak memerlukan pengobatan
khusus.Perubahan Anatomis dan fungsional bertanggung jawab pada kemunculan NPH yang
akan dibentuk awal pada herpes zoster. Konsisten dengan ini adalah korelasi untuk inisiasi
nyeri hebat dan kehadiran nyeri prodormal dengan pembentukan NPH dikemudiannya dan
kegagalan terapi antiviral untuk mencegah penuh NPH (Wolff K et al., 2013).
B. Infeksi sekunder
Pada penderita tanpa disertai defisiensi imunitas biasanya tanpa komplikasi.
Sebaliknyapada yang disertai defisiensi imunitas, infeksi HIV, keganasan, atau berusia
lanjutdapat disertai komplikasi. Vesikel sering manjadi ulkus dengan jaringan nekrotik
(Wolff K et al., 2013).
14 |
Pencegahan Herpes Zoster
Untuk mencegah herper zoster, salah satu cara yang dapat ditempuh adalah
pemberian vaksinasi. Vaksin berfungsi untuk meningkatkan respon spesifik limfosit
sitotoksik terhadap virus tersebut pada pasien seropositif usia lanjut.Vaksin herpes zoster
dapat berupa virus herpes zoster yang telah dilemahkan atau komponen selular virus tersebut
yang berperan sebagai antigen. Penggunaan virus yang telah dilemahkan telah terbukti dapat
mencegah atau mengurangi risiko terkena penyakit tersebut pada pasien yang rentan, yaitu
orang lanjut usia dan penderita imunokompeten, serta imunosupresi (Wolff K et al., 2013).
Untuk memberantas cacar/herpes, setiap wabah harus dihentikan dari menyebarnya,
isolasi khusus dengan vaksinasi semua orang yang tinggal didekat. Proses ini dikenal sebagai
dikenal sebagai “cincin vaksinasi”. Kunci untuk starategi ini pemantauan kasus dalam
masyarakat (dikenal sebagai pengawasan ) dan penahanan (Wolff K et al., 2013).
15 |
dipermukaan kulit maka pasien dianjurkan menggunakan pelembab setiap setalah mandi
ataupun setiap kulit terasa kering. Pasien harus menggunakan obat-obatan yang diberikan
secara teratur, tanpa membeli sendiri jika obat sudah habis. Maka dari itu pasien harus rajin
kontrol (Wolff K et al., 2013).
Pengobatan Khusus
1. Obat Antivirus
Obat yang biasa digunakan ialah asiklovir dan modifikasinya, misalnya valasiklovir
danfamsiklovir. Asiklovir bekerja sebagai inhibitor DNA polimerase pada virus. Asiklovir
dapat diberikan peroral ataupun intravena. Asiklovir Sebaiknya pada 3 hari pertamasejak
lesi muncul. Dosis asiklovir peroral yang dianjurkan adalah 5×800 mg/hari selama7 hari,
sedangkan melalui intravena biasanya hanya digunakan pada pasien yangimunokompromise
atau penderita yang tidak bisa minum obat. Obat lain yang dapatdigunakan sebagai terapi
herpes zoster adalah valasiklovir. Valasiklovir diberikan3×1000 mg/hari selama 7 hari,
karena konsentrasi dalam plasma tinggi. Selain itufamsiklovir juga dapat dipakai.
Famsiklovir juga bekerja sebagai inhibitor DNApolimerase. Famsiklovir diberikan 3×200
mg/hari selama 7 hari (Wolff K et al., 2013).
2. Analgetik
Analgetik diberikan untuk mengurangi neuralgia yang ditimbulkan oleh virus herpeszoster.
Obat yang biasa digunakan adalah asam mefenamat. Dosis asam mefenamatadalah 1500
mg/hari diberikan sebanyak 3 kali, atau dapat juga dipakai seperlunya ketika nyeri muncul
(Wolff K et al., 2013).
3. Kortikosteroid Indikasi
Pemberian kortikostreroid ialah untuk mencegah Sindrom Ramsay Hunt. Pemberian harus
sedini mungkin untuk mencegah terjadinya paralisis. Yang biasa diberikan ialah Prednison
dengan dosis 3×20 mg/hari, setelah seminggu dosis diturunkan secarabertahap. Dengan
dosis prednison setinggi itu imunitas akan tertekan sehingga lebihbaik digabung dengan
obat antivirus (Wolff K et al., 2013).
16 |
21 |
DAFTAR PUSTAKA
22 |