Anda di halaman 1dari 24

I.

Ciri-ciri Perilaku Adaptif dan Maladaptif


A. Ciri-ciri Perilaku Adaptif
Perilaku adaptif dapat diartikan dengan segala tindakan seseorang yang dapat
dengan mudah menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan sekitar yang
didalamnya terdapat norma dan peraturan-peraturan yang berlaku. Perilaku
adaptif menurut AAMD (American Asssociation on Mental Deficiency) adalah
“keefektifan 16 atau tingkat kemampuan seseorang dalam memenuhi norma dan
kebebasan pribadi sesuai umur dan kelompok budayanya. Selain itu Kelly
(1978) – Patton (1986) – Reynolds (1987) dalam Bandi Delphie & Pudji Asri
(2008: 11) mendefinisikan “The effectiveness and degree to which an individual
meets standards of self-sufficiency and responsibility for his or her age- related
cultural group” yang dapat diartikan bahwa perilaku adaptif merupakan
kematangan diri dan sosial seseorang dalam melakukan kegiatan umum sehari-
hari sesuai dengan usianya dan berkaitan dengan budaya kelompok. Menurut
Sunardi dan Sunaryo (2007: 280) kemampuan perilaku adaptif hakekatnya
merupakan “kemampuan anak dalam menyesuaikan diri dengan norma dan
tuntutan yang berlaku di masyarakat atau lingkungan sosialnya” (Fajri Hawa
Isniani Sia, 2014). Dapat disimpulkan bahwa perilaku adaptif adalah
kemampuan seseorang anak dalam menyesuaikan diri dengan segala bentuk
aturan maupun tuntutan yang berlaku di masyarakat sehingga dapat dengan
mudah diterima sebagai bagian dari masyarakat tersebut (Fajri Hawa Isniani Sia,
2014). American Association on Mental menyebutkan bahwa spesifikasi dari
perilaku adaptif ditentukan dengan memperhatikan 10 bidang keterampilan
adaptif, meliputi (Fajri Hawa Isniani Sia, 2014) :
1. Cara berkomunikasi
2. Bina diri
3. Melakukan kegiatan sehari-hari di rumah
4. Keterampilan social
5. Kemampuan menggunakan peralatan yang ada di lingkungan
6. Mengatur diri sendiri
7. Menjaga kesehatan dan keselamatan
8. Kemampuan yang berkaitan dengan fungsi akademik
9. Pekerjaan
10. Penggunaan waktu luang

Menurut Leland (1978) kemampuan beradaptasi dengan tuntutan lingkungan yang


ditampilkan dalam bentuk kemampuan (Fajri Hawa Isniani Sia, 2014) :
a. Independent functioning/keberfungsian kemandirian.
Kemampuan untuk mencapai keberhasilan melaksanakan tugas sesuai dengan
usia dan harapan masyarakat sekitar (makan, menggunakan toilet,
membersihkan diri,berpakaian,bepergian dsb.)
b. Personal responsibility/tanggungjawab pribadi
Kemampuan memantau perilaku pribadinya dan dapat menerima semua resiko
dari rasa tanggungjawabnya atas pengambilan suatu keputusan.
c. Social responsibility/tanggungjawab social
Penyesuaian social terhadap lingkungan,perkembangan emosional, penerimaan
rasa tanggungjawab sebagai warganegara dan kemampuan seseorang dlm
kemandirian ekonomi.
Hal ini selaras dengan Sunardi dan Sunaryo (2007: 281) yang menyatakan bahwa
untuk memahami perilaku adaptif, umumnya disepakati (Fajri Hawa Isniani Sia,
2014) :
a. Perilaku berfokus kepada perilaku sehari-hari.
b. Perilaku adaptif berfokus kepada tuntutan dari lingkungan yang bersifat
kongkret
c. Dalam asesmen perilaku umum yang dilakukan dalam kesehariannya, perilaku
yang bersifat khusus, dan perilaku hidup seharihari”. Berdasarkan beberapa
penjelasan diatas mengenai konsep perilaku adaptif, maka peneliti berpatok pada
teori Leland yang membatasi pada independent functioning/ keberfungsian
kemandirian atau hanya pada perilaku sehari-hari setelah pulang sekolah yaitu
melepas sepatu, melepas seragam atasan dan bawahan, menggosok gigi, mandi,
memakai baju, dan celana rumah, serta makan.
Fajri Hawa Isniani Sia, 2014. “Penggunaan Token Reinforcement System untuk
Mengembangkan Perilaku Adaptif Anak Autisme Di Rumah”. Fakultas Ilmu
Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta.

B. Ciri-Ciri Perilaku Maladaptif


Perilaku yang ditampilkan seseorang tidak semuanya maladaptif.
Perilaku negatif belum tentu dapat dikatakan maladaptif, hal ini terkait dengan
tempat, waktu dan budaya serta adat istiadat dimana perilaku itu ditampilkan.
Diperlukan pemahaman tersendiri tentang bagaimana ciri-ciri perilaku
maladaptif itu sendiri, seperti dijelaskan oleh Ajat Sudrajat dan Nono Sutisna
(1999:5), perilaku maladaptif mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1. Suatu perilaku yang penampilannya menimbulkan akibat yang tidak
menyenangkan bagi individu yang melakukannya, atau bagi orang lain yang
berada dilingkungannya. Misalnya : perokok, alkoholik, marah - marah,
ceroboh.
2. Suatu perilaku yang tidak mampu memenuhi harapan-harapan yang
terkandung didalam tugas-tugas yang harus dilakukannya secara teratur, (tidak
mampu melaksanakan fungsi dan peranannya secara wajar). Misalnya ;
seorang pelajar yang harus pergi sekolah secara teratur, mengerjakan
pekerjaan rumah dan tugas-tugas sekolah, tetapi dia tidak melakukannya.
3. Suatu perilaku yang memberikan tanggapan terhadap rangsangan secara salah,
baik waktu maupun tempat. Misalnya ; Seseorang yang karena sakit oleh
dokter disarankan memakai pakaian tipis dan tetap dirumah, tetapi dia pergi
keluar rumah dengan pakaian yang disarankan dokter tersebut.
4. Suatu perilaku dalam bentuk ketidakmampuan memberikan tanggapan
terhadap rangsangan yang ada di lingkungannya, atau seseorang yang tidak
memiliki keterampilan untuk memberikan tanggapan secara tepat terhadap
rangsangan atau peristiwa-peristiwa tertentu. Misalnya ditanya X tetapi dia
menjawab Z.
II. Adaptasi Autoplastis dan Alloplastis
Adaptasi menurut Gerungan, 1996 merupakan suatu proses untuk mencapai
keseimbangan dengan lingkungan. Secara luas keseimbangan itu bisa dicapai
dengan dua cara, sebagai berikut :
1. Cara pasif, yakni dengan mengubah diri di sesuaikan dengan lingkungan.
Proses ini dikenal dengan istitah autoplastis (Aldi Syahputra. 2017).
Autoplastis (auto artinya sendiri, plastis artinya bentuk) (Susi Andriani dan
Oksiana Jatiningsih. 2015). Menurut Sears, 1994, ada dua alasan utama
orang melakukan adaptasi autoplastis yaitu yaitu adanya kesadaran bahwa
orang lain, atau lingkungan bisa memberi informasi yang bermanfaat dan
upaya agar diterima secara sosial sehingga terhindar dan celaan (Aldi
Syahputra. 2017).
2. Cara kedua yaitu aktif, menurut Herlina Tarigan, 2004 yakni dengan
mengubah lingkungan sesuai dengan keinginan diri sendiri yang dikenal
dengan aloplastis. Individu mempunyai peranan terhadap alam sekitar atau
lingkungan. Artinya, dalam menghadapi dunia sekitar individu tidak bersifat
pasif, tetapi bersifat aktif atau dengan kata lain, seorang individu berusaha
mempengaruhi, menguasai, mengubah dalam batas-batas kemungkinannya
(Susi Andriani dan Oksiana Jatiningsih. 2015).
Susi Andriani dan Oksiana Jatiningsih. 2015. “Strategi Adaptasi Sosial Siswa Papua
Di Kota Lamongan. Kajian Moral dan Kewarganegaraan. Volume 02 Nomor 03
Tahun 2015. UNESA
Aldi Syahputra. 2017. “Adaptasi Masyarakat Terhadap Perubahan Lingkungan
(Studi Pada Masyarakat yang Tinggal Pada Kawasan Peternakan Ayam Petelur di
Kanagarian Tigo Jangko Kecamatan Lintau Buo Kabupaten Tanah Datar)”. JOM
FISIP Vol. 4 No. 1 – Februari 2017

III. Metode Pertahanan Diri dan Ego


A. Dibawah ini beberapa metode pertahanan diri, sebagai berikut :
1. Represi (Repression)
Mekanisme dimana seseorang yang memiliki keinginan-keinginan, impuls-
impuls pikiran, kehendak-kehendak yang tidak sesuai dan mengganggu
kebutuhan/motivasinya, disingkirkan dari alam sadar dan ditekan ke dalam
alam bawah sadar. Secara tidak sadar seseorang menekan pikiran-pikiran yang
tidak sesuai atau menyedihkan keluar dari alam sadar ke alam tak
sadar. Repression yang terus menerus akan menjadi tumpukan kekecewaan
sehingga menjadi “kompleks terdesak”. Contoh : seorang pemuda melihat
kematian temannya waktu kecelakaan, kemudian “lupa” tentang kejadian
tersebut. (lupa ini disebut amnesia yang psikogenik, bila lupa karena gegar
otak maka disebut amnesia organik).
2. Kompensasi (Compensation)
Mekanisme dimana seseorang mengabdikan dirinya kepada mengejar suatu
tujuan, dengan usaha yang lebih giat ke dalam usahanya itu untuk mengatasi
rasa kekurangan yang sebenarnya atau yang hanya dirasakan saja. Menutupi
kelemahan dengan menonjolkan sifat yang baik atau karena frustrasi dalam
suatu bidang, lalu dicari kepuasan secara berlebihan dalam bidang yang lain
(kompensasi berlebihan). Kompensasi dilakukan terhadap perasaan kurang
mampu (inferior). Contoh : anak yang tidak pandai di sekolah, menjadi anak
jagoan atau ditakuti oleh teman-temannya.
3. Konversi (Conversion)
Mekanisme dimana konflik emosional memperoleh ekspresi luar melalui
manifestasi motorik, sensoris, somatik. Contoh : saat stress menjadi mudah
marah, teriak-teriak, atau berolahraga.
4. Penyangkalan (Denial)
Proses mekanisme dimana seseorang menghindarkan kenyataan yang
menimbulkan sakit dan rasa cemas, dengan secara tidak sadar menyangkal
adanya kenyataan, yang disangkal itu mungkin berupa suatu pikiran,
keinginan, atau suatu keadaan dan benda. Menyangkal realitas yang
menimbulkan rasa takut, sakit, malu, atau cemas. Contoh : seorang ibu tidak
mau menerima bahwa anaknya terbelakang mental sehingga anak tersebut
dititipkan pada saudaranya yang jauh.
5. Memindahkan (Displacement)
Proses mekanisme dimana emosi2 yang tertahan diberikan tujuan yang lain ke
arah ideide, objek-objek, atau orang lain daripada ke sumber primer emosi.
Luapan emosi terhadap seseorang atau objek dialihkan kepada seseorang atau
objek yang lain. Contoh : seorang anak yang dimarahi ibunya kemudian dia
memukul adiknya atau menendang kucingnya.
6. Disosiasi (Dissociation)
Beban emosi dalam suaatu keadaan yang menyakitkan diputus atau diubah.
Mekanisme dimana suatu kumpulan proses-proses mental dipisahkan atau
diasingkan dari kesadaran dengan bekerja secara merdeka atau otomatis, afek
dan emosi terpisah, dan terlepas dari ide, situasi, objek, misalnya pada selektif
amnesia. Contoh : rasa sedih karena kematian seorang kekasih dikurangi
dengan mengatakan “sudah nasibnya” atau “sekarang ia sudah tidak menderita
lagi”.
7. Fantasi (Fantasy) atau Khayalan (Image)
Suatu proses melamun (menerawang) atau tindakan berkhayal untuk
memberikan pelarian dari kenyataan, dengan kepuasan diperoleh dan
pencapaianpencapaian kenikmatan yang bersifat khayal atau mati sebagai
pahlawan yang tidak berdosa. Contoh : seorang anak yang kurang pandai lalu
berkhayal dirinya menjadi bintang pelajar.
8. Identifikasi (Identification)
Suatu mekanisme dimana seseorang mempertinggi harga dirinya dengan
mempolakan dirinya serupa dengan orang lain (tabiat-tabiatnya meniru orang
lain). Menambah rasa harga diri dengan menyamakan harga dirinya seperti
seorang atau suatu hal yang dikaguminya. Contoh : seorang anak yang
bersolek atau berdandan seperti ibunya, atau malah bersolek seperti bintang
iklan.
9. Introyeksi (Introjection)
Proses dimana seseorang mengambil ke dalam struktur egonya sendiri, semua
atau sebagian dari kepribadiannya sendiri. Contoh : seorang anak yang
membenci seseorang tapi “memasukkan” ke dirinya sendiri, hingga jika ia
kesal ke orang tersebut ia akan memukuli dirinya sendiri.
10. Negativisme (Negativism)
Proses perlawanan yang aktif atau pasif terhadap permintaan-permintaan yang
ditujukan kepada seseorang. Negativisme aktif kalau seseorang berbuat
kebalikan dari apa yang diminta darinya. Negativisme pasif kalau ia
menghindarkan apa yang diharapkan dari padanya. Contoh: seorang anak
yang disekolahkan tidak sesuai dengan minatnya maka ia sering bolos
sehingga prestasinya menjadi kurang.
11. Proyeksi (Projection)
Adalah mekanisme dengan apa seseorang melindungi dirinya dari kesadaran
akan tabiat-tabiatnya sendiri yang tidak baik, atau perasaan-perasaan dengan
menuduhkannya kepada orang lain. Menyalahkan orang lain mengenai
kesulitannya sendiri yang tidak baik. Contoh : seorang murid tidak lulus lalu
mengatakan gurunya sentimen kepada dia.
12.Rasionalisme (Rationalization)
Mekanisme dimana seseorang membenarkan tingkah lakunya yang tidak
konsekuen dan tidak baik. Termasuk membenarkan kepercayaan, keterangan,
alasan-alasan (motivasi) dengan memberikan penjelasan dan keterangan
baginya. Berusaha untuk membuktikan bahwa perbuatannya (yang sebenarnya
tidak baik) dianggap rasional adanya, dapat dibenarkan, dan dapat diterima.
Contoh: seorang anak menolak bermain bulu tangkis dengan temannya karena
“kurang enak badan” atau “besok ada ulangan” (padahal takut kalah).
13.Pembentukan Reaksi (Reaction Formation)
Proses dimana seseorang mengambil kedalam struktur egonya sendiri, semua
atau sebagian dari suatu objek, yang kemudian dianggap sebagai suatu unsur
dari kepribadiannya sendiri. Supaya tidak menuruti keinginannya yang jelek,
maka sebagai penghalang diambil sikap atau perilaku yang sebaliknya.
Contoh: seorang mahasiswa yang bersikap hormat secara berlebihan terhadap
dosen yang sebenarnya tidak ia suka.
14.Regresi (Regression)
Keadaan dimana seseorang kembali ke tingkat yang lebih awal dan kurang
matang dalam adaptasi. Bentuknya yang ekstrim adalah tingkah laku infantile
(kekanak-kanakan). Keadaan seorang yang kembali ke tingkat perkembangan
yang sebelumya dan kurang matang dalam adaptasi. Contoh : seorang anak
yang sudah tidak ngompol, mendadak ngompol lagi karena cemas mau masuk
sekolah atau mulai menghisap jempol lagi setelah ia memiliki adik.karena
merasa perhatian ibunya terhadap dirinya berkurang.
15.Sublimasi (Sublimation)
Proses dengan apa kehendak-kehendak tidak sadar dan tidak dapat diterima,
disalurkan menjadi aktivitas yang memiliki nilai sosial yang tinggi. Dorongan
atau kehendak2 yang tidak dapat disalurkan menjadi aktivitas yang memiliki
nilai sosial. Contoh : seseorang tidak suka berkelahi kemudian ia menjadi atlet
petinju.
16.Menghapuskan (Undoing)
Mekanisme dimana seseorang secara simbolis melakukan kebalikan sesuatu
yang telah dikerjakannya, atau pikiran yang tidak dapat diterima oleh egonya
dan masyarakat. Dia secara simbolis menghapus pikiran, perasaan, atau
keinginan yang tidak dapat diterima egonya atau masyarakat. Contoh :
seorang suami yang berselingkuh lalu ia memberi bermacam-macam hadiah
kepada istrinya.
17.Simpatisme
Berusaha mendapatkan simpati dengan jalan menceritakan berbagai
kesukarannya, misalnya penyakit atau kesulitan-kesulitan lainnya. Bila ada
yang menyatakan simpati kepadanya maka rasa harga dirinya diperkuat,
biarpun ada kegagalan.
Contoh: seorang siswa yang mengeluh bahwa dia tidak mempunyai buku2
pelajaran karena orangtuanya miskin dan tidak bisa membelikannya, lagipula
ibunya sakit-sakitan.
B. Metode Pertahanan Ego
1. Represi
Represi adalah bentuk mekanisme pertahanan ego yang paling sering
kita tahu dan yang biasa kita lakukan. Mekanisme pertahanan ego ini
juga mendasari banyak teorinya Freud. Dalam
bukunya, Psychopathology of Everyday Life, Freud juga banyak
membahas berbagai gangguan emosional yang didasari oleh
mekanisme pertahanan ego ini. Represi sendiri adalah usaha
menyingkirkan atau menekan pengalaman atau informasi yang
menimbulkan kecemasan ke bawah sadar. Mekanisme ini disebut
juga proses pelupaan.
2. Penolakan
Penolakan atau denial dapat disebut juga pengingkaran. Penolakan
adalah mekanisme pertahanan ego menolak situasi yang membuat
tidak nyaman atau menimbulkan kecemasan. Misalnya saja orang
yang khawatir bahwa benjolan di tubuhnya adalah kanker, malah
mengingkarinya sebagai kanker. Hal ini menjadi negatif jika
pengingkaran membuatnya malah tidak berusaha memeriksakan ke
dokter.
3. Pengalihan
Pengalihan atau displacement dilakukan dengan cara mengalihkan
kepada sasaran lain, bukan sasaran yang sebenarnya dituju. Sasaran
ini biasanya lebih aman jika dibandingkan dengan sasaran yang asli.
Misalnya saja marah kepada bos. Karena takut atau tidak mungkin
memarahi bos, maka ketika pulang ke rumah, kemarahan disalurkan
kepada keluarganya.
4. Proyeksi
Proyeksi juga merupakan mekanisme pertahanan ego yang dilakukan
dengan cara mengalihkan dorongan kepada orang lain. Misalnya saja
orang yang melakukan tindakan kekerasan. Ketika ditanya kenapa
dia melukai orang lain, dia menjawab, “Mereka yang mulai duluan!”.
5. Fantasi
Fantasi atau berkhayal juga berfungsi mereduksi dorongan. Bentuk
pengurangan dorongan adalah dengan mengalihkan kepada bayangan
yang diciptakan dalam pikiran. Misalnya saja lamarannya ditolak,
maka dia membayangkan ada suatu saat akan diterima atau
mendapatkan pengganti yang lebih baik.
6. Rasionalisasi
Rasionalisasi adalah mekanisme pertahanan ego yang dilakukan
dengan menciptakan alasan yang membenarkan tindakan. Alasan ini
berfungsi untuk mereduksi ketegangan, karena itu juga bisa
melindungi ego dari ketegangan tersebut. Misalnya saja kita
contohkan dengan seseorang yang ditolak lamarannya terhadap
seorang gadis (contoh yang di bagian fantasi), maka ia bisa
mengatakan atau berpikir bahwa ini adalah jalan untuk mendapatkan
yang lebih baik. Proses rasionalisasi memang kadang bisa juga
diiringi dengan fantasi.
7. Regresi
Regresi adalah mekanisme pertahanan ego yang dilakukan dengan
cara kembali atau mundur kepada tahapan perkembangan
sebelumnya. Misalnya saja anak yang ingin tetap mendapatkan
perhatian dari ibu pasca adiknya lahir. Ia berlaku seperti anak-anak,
karena ingin tetap diperhatikan.
8. Reaksi formasi
Reaksi formasi adalah bentuk mekanisme pertahanan ego yang
dilakukan dengan berlaku sebaliknya, membentuk reaksi yang
dianggap baik. Misalnya saja seorang wanita yang menyukai seorang
pria. Karena rasa gengsi, maka ia bertindak cuek, tidak perhatian,
bahkan bisa seolah membencinya.

IV. Teori Perkembangan Kognitif, Psikososial dan Sosial


A. Teori Perkembangan Kognitif
Teori metode perkembangan kognitif disampaikan oleh Jean Piaget. Tahap
pertama, yakni tahap sensorik-motorik. Rentang waktunya adalah dari kelahiran
samapai usia dua tahun. Sebagaimana yang diperlihatkan oleh sebutannya, tahap ini
berarti seorang bayi yang menggunakan indra dan kemampuan motoriknya untuk
memahami dunia, yang dimulai dengan rangsangan-rangsangan refleksi yang
diterima panca indranya sampai kombinasi kemampuan sensor-motorik yang lebih
kompleks (Boeree, C. George. 2013). Selanjutnya yakni tahap pra-operasional yang
dialami oleh anak ketika berusia 2 sampai 7 tahun. Di tahap ini dia telah memiliki
pertimbangan yang lebih baik. Singkatnya, dia telah mempergunakan simbol-simbol.
Simbol adalah sesuatu yang mempresentasikan sesuatu yang lain. Seiring dengan
kemampuan menggunakan simbol ini, pemahaman tentang masa lalu dan masa yang
akan datang pun semakin jelas. Dalam tahap ini, anak bersifat sangat egosentris,
artinya dia cenderung hanya melihat sesatu dari sudut pandangnya sendiri.Teori
metode perkembangan kognitif disampaikan oleh Jean Piaget. Tahap pertama, yakni
tahap sensorik-motorik. Rentang waktunya adalah dari kelahiran samapai usia dua
tahun. Sebagaimana yang diperlihatkan oleh sebutannya, tahap ini berarti seorang
bayi yang menggunakan indra dan kemampuan motoriknya untuk memahami dunia,
yang dimulai dengan rangsangan-rangsangan refleksi yang diterima pancaindranya
sampai kombinasi kemampuan sensor-motorik yang lebih kompleks (Boeree, C.
George. 2013). Selanjutnya yakni tahap pra-operasional yang dialami oleh anak
ketika berusia 2 samapi 7 tahun. Di tahap ini dia telah memiliki pertimbangan yang
lebih baik. Singkatnya, dia telah mempergunakan simbol-simbol. Simbol adalah
sesuatu yang mempresentasikan sesuatu yang lain. Seiring dengan kemampuan
menggunakan simbol ini, pemahaman tentang masa lalu dan masa yang akan datang
pun semakin jelas. Dalam tahap ini, anak bersifat sangat egosentris, artinya dia
cenderung hanya melihat sesatu dari sudut pandangnya sendiri. Untuk memasuki
tahapan berikutnya, anak akan mengembangkan kemapuannya untuk menghilangkan
sifat egosentris (Boeree, C. George. 2013). Tahap operasi konkret terjadi ketika anak
berusia 7 sampai 11 tahun. Kata operasi merujuk pada cara kerja atau prinsip-prinsip
logika yang digunakan dalam memecahkan persoalan. Di tahap ini, anak tidak hanya
menggunakan simbol-simbol dalam kerangka representasi, tapi juga mampu
memanipulasinya berdasarkan logika. Tahap ini dimulai dengan apa yang disebut
progressive decentering, yakni anak mulai memiliki kemampuan untuk
mempertahankan ingatan mengenai kuantitas yang akan tetap sama meski
penampakannya berubah. Anak juga belajar melakukan pemilahan (Classification)
dan pengurutan (seriazfion). Jika tidak mengalami kendala dalam melaksanakan
tugas perkembangan ini, maka anak dapat menempuh pendidikan formal (Boeree, C.
George. 2013). Teori ini disampakan oleh Sigmund Freud. Freud mencatat bahwa
pada usia-usia tertentu, bagian-bagian kulit dapat menimbulkan kenikmatan yang
lebih besar dibanding bagian kulit yang lain (daerah endogen). Tahap perkembangan
psikoseksual itu adalah (Boeree, C. George. 2013) :
1. Tahap oral berlangsung dari usia 0 sampai 18 bulan. Titik kenikmatan
terletak pada mulut, di mana aktivitas paling utama adalah menghisap dan
menggigit.

2. Tahap anal yang berlangsung dari usia 18 bulan sampai usia 34 tahun. Titik
kenikmatan terletak pada anus. Memegang dan melepaskan sesuatu adalah
aktivitas yang paling dinikmati.

3. Tahap phallic berlangsung antara usia 3 sampai 5, 6 atau 7 tahun. Titik


kenikmatan di tahap ini adalah alat kelamin, sementara aktivitas paling
nikmatnya adalah masturbasi.

4. Tahap laten berlangsung dari usia 5, 6, atau 7 sampai usia pubertas (sekitar 12
tahun). Dalam tahap ini Freud yakin bahwa rangsangan-rangsangan seksual
ditekan sedemikian rupa demi proses belajar.

5. Tahap genital dimulai pada saat usia pubertas, ketika dorongan seksual sangat
jelas terlihat pada diri remaja, khususnya yang tertuju pada kenikmatan
hubungan seksual. Masturbasi, seks oral, homoseksual dan kecenderungan-
kecenderungan seksual lain yang kita anggap “biasa” saat ini, dianggap Freud
sebagai seksualitas yang normal.

Teori metode perkembangan kognitif disampaikan oleh Jean Piaget. Tahap pertama,
yakni tahap senson'k-motorik. Rentang waktunya adalah dari kelahiran samapai usia
dua tahun. Sebagaimana yang diperlihatkan oleh sebutannya, tahap ini berarti
seorang bayi yang menggunakan indra dan kemampuan motoriknya untuk
memahami dunia, yang dimulai dengan rangsangan-rangsangan refleksi yang
diterima pancaindranya sampai kombinasi kemampuan sensor-motorik yang lebih
kompleks. Selanjutnya yakni tahap pra-operasional yang dialami oleh anak ketika
berusia 2 samapi 7 tahun. Di tahap ini dia telah memiliki pertimbangan yang lebih
baik. Singkatnya, dia telah mempergunakan simbol-simbol. Simbol adalah sesuatu
yang mempresentasikan sesuatu yang lain. Seiring dengan kemampuan
menggunakan simbol ini, pemahaman tentang masa lalu dan masa yang akan datang
pun semakin jelas. Dalam tahap ini, anak bersifat sangat egosentris, artinya dia
cenderung hanya melihat sesatu dari sudut pandangnya sendiri. Untuk memasuki
tahapan berikutnya, anak akan mengembangkan kemapuannya untuk menghilangkan
sifat gosentris. Tahap operasi konkret terjadi ketika anak berusia 7 sampai 11 tahun.
Kata operasi merujuk pada cara kerja atau prinsip-prinsip logika yang digunakan
dalam memecahkan persoalan. Di tahap ini, anak tidak hanya menggunakan simbol-
simbol dalam kerangka representasi, tapi juga mampu memanipulasinya berdasarkan
logika. Tahap ini dimulai dengan apa yang disebut progressive decentering, yakni
anak mulai memiliki kemampuan untuk mempertahankan ingatan mengenai
kuantitas yang akan tetap sama meski penampakannya berubah. Anak juga belajar
melakukan pemilahan (Classification) dan pengurutan (seriazfion). Jika tidak
mengalami kendala dalam melaksanakan tugas perkembangan ini, maka anak dapat
menempuh pendidikan formal. Teori ini disampakan oleh Sigmund Freud. Freud
mencatat bahwa pada usia-usia tertentu, bagian-bagian kulit dapat menimbulkan
kenikmatan yang lebih besar dibanding bagian kulit yang lain (daerah endogen).
Tahap perkembangan psikoseksual itu adalah :

a. Tahap oral berlangsung dari usia 0 sampai 18 bulan. Titik kenikmatan terletak
pada mulut, di mana aktivitas paling utama adalah menghisap dan menggigit.

b. Tahap anal yang berlangsung dari usia 18 bulan sampai usia 34 tahun. Titik
kenikmatan terletak pada anus. Memegang dan melepaskan sesuatu adalah
aktivitas yang paling dinikmati.

c. Tahap phallic berlangsung antara usia 3 sampai 5, 6 atau 7 tahun. Titik kenikmatan
di tahap ini adalah alat kelamin, sementara aktivitas paling nikmatnya adalah
masturbasi.

d. Tahap laten berlangsung dari usia 5, 6, atau 7 sampai usia pubertas (sekitar 12
tahun). Dalam tahap ini Freud yakin bahwa rangsangan-rangsangan seksual
ditekan sedemikian rupa demi proses belajar.

e. Tahap genital dimulai pada sat usia pubertas, ketika dorongan seksual sangat jelas
terlihat pada diri remaja, khususnya yang tertuju pada kenikmatan hubungan
seksual. Masturbasi, seks oral, homoseksual dan kecenderungan-kecenderungan
seksual lain yang kita anggap “biasa” saat ini, dianggap Freud sebagai seksualitas
yang normal (Boeree, 2013).

Teori perkembangan ini disampaikan oleh Erik Erikson. Setiap tahapan


memiliki tugas perkembangan sendiri-sendiri yang pada hakikatnya bersifat
psikososial. Tugas-tugas tersebut menunjukkan oleh sepasang istilah. Setiap tahap
juga memiliki waktu optimal tertentu. Tidak ada gunanya “mempercepat”
kedewasaan seorang anak, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang
sangat terobsesi dengan kesuksesan. Begitu pula, kita tidak akan berhasil
memperlambat atau menghentikan pertumbuhan kejiwaan seseorang untuk
memasuki tahap selanjutnya. Pendek kata, setiap tahap sudah punya jatah waktu
masing-masing (Boeree, C. George. 2013). Jika satu tahap berhasil dilewati dengan
baik, kita akan memperoleh beberapap kelebihan atau daya tahan psikososial yang
akan membantu kita melewati tahap-tahap selanjutnya dalam kehidupan. Sebaliknya,
jika kita gagal melewati satu tahap dengan baik, kita mungkin akan tumbuh dengan
maladapzion (adaptasi keliru) dan malignasi (selalu curiga) yang membahayakan
perkembangan selanjutnya (Boeree, C. George. 2013). Menurut Erikson, pada setiap
rentang usia tertentu muncul konflik sosial yang khas pada individu. Erikson juga
memiliki pandangan khusus tentang hubungan antargenerasi, yang dia sebut
hubungan timbal-balik (mutuality) (Boeree, C. George. 2013).

B. Teori Perkembangan Psikososial


Teori perkembangan psikososial berkaitan dengan prinsip-prinsip
perkembangan psikologi dan sosial. Teori ini merupakan bentuk pengembangan
dari teori psikoseksual yang dicetuskan oleh Sigmund Freud. Erikson membagi
tahapan perkembangan psikososial menjadi delapan tahapan seperti yang tertera
dalam tabel di bawah ini.

Tahap Perkiraan Usia Krisis Psikososial


1 Lahir - 18 bulan Trust vs Mistrust (percaya vs tidak percaya)
2 18 bulan - 3 tahun Autonomy vs Doubt (kemandirian vs
keraguan)
3 3 tahun – 6 tahun Initiative vs Guilt (inisiatif vs rasa bersalah)
4 6 tahun – 12 tahun Industry vs Inferiority (ketekunan vs rasa
rendah diri)
5 12 tahun -18 tahun Identity vs Role Confusion (identitas vs
kekacauan identitas)
6 Dewasa awal (± 18 Intimacy vs Isolation (keintiman vs isolasi)
tahun – 40 tahun)
7 Dewasa pertengahan Generativity vs Self Absorption(generativitas
(± 40 tahun – 65 vs stagnasi)
tahun)
8 Dewasa akhir / tua (± Integrity vs Despair (integritas vs
65 ke atas) keputusasaan)

1. Trust vs Mistrust (Lahir - 18 bulan)


Berdasarkan Tabel 1, dapat dilihat bahwa tahap ini terjadi pada masa awal
pertumbuhan seseorang dimulai. Pada tahap ini seorang anak akan mulai belajar
untuk beradaptasi dengan sekitarnya. Hal pertama yang akan dipelajari oleh
seorang anak adalah rasa percaya. Percaya pada orang-orang yang berada di
sekitarnya. Seorang ibu atau pengasuh biasanya adalah orang penting pertama
yang ada dalam dunia si anak. Jika ibu memperhatikan kebutuhan si anak seperti
makan maupun kasih sayang, maka anak akan merasa aman dan percaya untuk
menyerahkan atau menggantungkan kebutuhannya kepada ibunya. Namun, bila
ibu tidak memberikan apa yang harusnya diberikan kepada si anak, maka secara
tidak langsung itu dapat membentuk anak menjadi seorang yang penuh
kecurigaan, sebab ia merasa tidak aman untuk hidup di dunia (Slavin, 2006).
Shaffer (2005: 135) menyatakan bahwa pengasuh
yang konsistendalam merespon kebutuhan anak akan menumbuhkan
rasa percaya anak kepada orang lain, sedangkan pengasuh yang tidak
responsif atau tidak konsisten akan membentuk anak menjadi seorang yang
penuh kecurigaan. Anak-anak yang telah belajar untuk tidak
mempercayaipengasuh selama masa bayinya mungkin akan menghindari
atau tetapskeptis untuk membangun hubungan berdasarkan rasa saling
percayasepanjang hidupnya.
2. Autonomy vs Doubt (18 bulan - 3 tahun)
Pada tahap ini anak sudah memiliki kemampuan untuk melakukan beberapa
kegiatan secara mandiri seperti makan, berjalan atau memakai sandal.
Kepercayaan orang tua kepada anak pada usia ini untuk mengeksplorasi hal-hal
yang dapat dilakukannya secara mandiri dan memberikan bimbingan kepadanya
akan membentuk anak menjadi pribadi yang mandiri dan percaya diri.
Sementara orang tua yang membatasi dan berlaku keras pada anaknya, akan
membentuk anak tersebut menjadi orang yang lemah dan tidak kompeten yang
dapat menyebabkan malu dan ragu-ragu terhadap kemampuannya.
3. Initiative vs Guilt (3 tahun – 6 tahun)
Pada tahap ini, kemampuan motorik dan bahasa anak mulai matang, sehingga
memungkinkan mereka untuk lebih agresif dalam mengeksplor lingkungan
mereka baik secara fisik maupun sosial. Pada usia-usia ini anak sudah mulai
memiliki inisiatif dalam melakukan suatu tindakan misalnya berlari, bermain,
melompat dan melempar. Orang tua yang suka memberikan hukuman terhadap
upaya anaknya dalam mengambil inisiatif akan membuat anak merasa bersalah
tentang dorongan alaminya untuk melakukan sesuatu selama fase ini maupun
fase selanjutnya. Pada masa ini anak telah memasuki tahapan prasekolah. Ia
sudah memiliki beberapa kecakapan dalam mengolah kemampuan motorik dan
bahasa. Dengan kecakapan-kecakapan tersebut, dia terdorong melakukan
beberapa kegiatan. Namun, karena kemampuan anak tersebut masih terbatas
adakalanya dia mengalami kegagalan. Kegagalan-kegagalan tersebut
menyebabkan dia memiliki perasaan bersalah. Peran orang tua untuk
membimbing dan memotivasi anak sangat dibutuhkan ketika anak mengalami
kegagalan. Hal ini dimaksudkan agar anak dapat melewati tahap ini dengan baik.
Erikson (dalam Shaffer, 2005) mengusulkan bahwa anak usia 2-3 tahun berjuang
untuk menjadi seorang yang independen atau mandiri dengan mencoba
melakukan hal-hal yang mereka butuhkan secara mandiri seperti makan dan
berjalan. Sementara anak usia 4-5 tahun yang telah mencapai rasa otonomi,
sekarang mereka memperoleh keterampilan baru, mencapai tujuan penting, dan
merasa bangga dalam prestasi yang mereka capai. Anak-
anak usia prasekolah sebagian besar mendefinisikan diri mereka dalam hal
kegiatan dan kemampuan fisik seperti “aku bisa berlari dengan cepat, aku bisa
memanjat tangga, aku bisa menggambar bunga”. Hal ini mencerminkan
rasa inisiatif mereka untuk melakukan suatu kegiatan, dan rasa inisiatif ini
sangat dibutuhkan oleh seorang anak dalam menghadapi pelajaran-pelajaran
baru yang akan ia pelajari di sekolah. Sesuatu yang berlebihan maupun
kekurangan itu tidaklah baik. Dalam hal ini, bila seorang memiliki sikap inisiatif
yang berlebihan ataujuga terlalu kurang, maka dapat menimbulkan suatu rasa
ketidakpedulian (ruthlessness). Anak yang terlalu berinisiatif, maka ia tidak
akan memperdulikan bimbingan orang tua yang diberikan kepadanya.
Sebaliknya, anak yang terlalu merasa bersalah, maka ia akan bersikap tidak
peduli, dalam arti tidak melakukan usaha untuk berbuat sesuatu, agar ia
terhindar dari berbuat kesalahan. Oleh sebab itu, hendaknya orang tua dapat
bersikap bijak dalam menanggapi setiap perbuatan yang dilakukan oleh anak.
4. Industry vs Inferiority (6 tahun – 12 tahun)
Pada tahap ini, anak sudah memasuki usia sekolah, kemampuan akademiknya
mulai berkembang. Selain itu, kemampuan sosial anak untuk berinteraksi di luar
anggota keluarganya juga mulai berkembang. Anak akan belajar berinteraksi
dengan teman-temannya maupun dengan gurunya. Jika cukup rajin, anak-
anak akan memperoleh keterampilansosial dan akademik untuk merasa percaya
diri. Kegagalan untuk memperoleh prestasi-prestasi penting menyebabkan anak
untuk menciptakan citra diri yang negatif. Hal ini dapat membawa kepada
perasaan rendah diri yang dapat menghambat pembelajaran di masa depan. Pada
tahap ini anak juga akan membandingkan dirinya dengan teman-
temannya. Shaffer (2005) mengatakan pada usia 9 tahun hubungan teman
sebaya menjadi sangat penting untuk anak-anak sekolah. Mereka peduli pada
sikap-sikap maupun penampilan yang akanmemperkuat posisi mereka dengan
teman sebayanya. Sedangkan pada anak yang berusia 11,5 tahun, anak semakin
membandingkan diri mereka dengan orang lain dan mengakui bahwa ada
dimensi di mana merekamungkin kurang dalam perbandingan tersebut, seperti
“aku tidak cantik, aku biasa-biasa saja dalam hal prestasi”. Oleh sebab itu,
sebagai seorang guru hendaknya dapat memberikan motivasi pada anak-anak
yang belum berhasil dalam mencapai prestasi mereka agar anak tidak memiliki
sifat yang rendah diri. Guru dapat mencari momen-momen penting ketika di
sekolah untuk memberikan penghargaan pada seluruh anak-anak, sehingga anak
akan merasa bangga dan percaya diri terhadap pencapaian yang mereka peroleh.
5. Identity vs Role Confusion (12 tahun -18 tahun)
Pada tahap ini anak sudah memasuki usia remaja dan mulai mencari jati dirinya.
Masa ini adalah masa peralihan antara dunia anak-anak dan dewasa. Secara
biologis anak pada tahap ini sudah mulai memasuki tahap dewasa, namun secara
psikis usia remaja masih belum bisa diberi tanggung jawab yang berat layaknya
orang dewasa. Pertanyaan “Siapa Aku?” menjadi penting pada tahapan ini. Pada
tahap ini, seorang remaja akan mencoba banyak hal untuk mengetahui jati diri
mereka yang sebenarnya. Biasanya mereka akan melaluinya dengan teman-
teman yang mempunyai kesamaan komitmen dalam sebuah kelompok.
Hubungan mereka dalam kelompok tersebut sangat erat, sehingga mereka
memiliki solidaritas yang tinggi terhadap sesama anggota kelompok.
Erikson (dalam Shaffer, 2005) percaya bahwa individu tanpaidentitas yang
jelas akhirnya akan menjadi tertekan dan kurang percaya diri ketika mereka
tidak memiliki tujuan, atau bahkan mereka mungkinsungguh-
sungguh menerima bila dicap sebagai orang yang memiliki identitas negatif,
seperti menjadi kambing hitam, nakal, atau pecundang. Alasan mereka
melakukan ini karena mereka lebih baik menjadiseseorang yang dicap sebagai
orang yang memiliki identitas negatif daripada tidak memiliki identitas sama
sekali. Harter (dalam Shaffer, 2005) mengatakan bahwa remaja
yangterlalu kecewa atas penggambaran diri mereka yang tidak konsisten
akanbertindak keluar dari karakter dalam upaya
untuk meningkatkan citramereka atau mendapat pengakuan dari orang tua
atau teman sebaya. Anak pada usia ini rawan untuk melakukan beberapa hal
negatif dalam rangka pencarian jati diri mereka. Bimbingan dan pengarahan baik
dari orang tua maupun guru juga diperlukan bagi anak pada tahap ini, agar
mereka dapat menemukan jati diri mereka sebenarnya.
6. Intimacy vs Isolation (± 18 tahun – 40 tahun)
Pada tahap ini, seseorang sudah mengetahui jati diri mereka dan akan menjadi
apa mereka nantinya. Jika pada masa sebelumnya, individu memiliki ikatan
yang kuat dengan kelompok sebaya, namun pada masa ini ikatan kelompok
sudah mulai longgar. Pada fase ini seseorang sudah memiliki komitmen untuk
menjalin suatu hubungan dengan orang lain.Dia sudah mulai selektif untuk
membina hubungan yang intim hanya dengan orang-orang tertentu yang
sepaham. Namun, jika dia mengalami kegagalan, maka akan muncul rasa
keterasingan dan jarak dalam berinteraksi dengan orang. Keberhasilan dalam
melewati fase ini tentu saja tidak terlepas dari fase-fase sebelumnya. Jika pada
fase sebelumnya seseorang belum dapat mengatasi rasa curiga, rendah diri
maupun kebingungan identitas, maka hal tersebut akan berdampak pada
kegagalan dalam membina sebuah hubungan, dan menjadikannya sebagai
seseorang yang terisolasi. Pada tahap ini, bantuan dari pasangan ataupun teman
dekat akan membantu seseorang dalam melewati tahap ini.
7. Generativity vs Self Absorption (± 40 tahun – 65 tahun)
Erikson (dalam Slavin, 2006) mengatakan bahwa generativitasadalah hal
terpenting dalam membangun dan membimbing generasi
berikutnya. Biasanya, orang yang telah mencapai fase generativitasmelaluinya
dengan membesarkan anak-anak mereka sendiri. Namun,krisis tahap ini juga
dapat berhasil dilalui dengan melewati beberapabentuk-bentuk lain
dari produktivitas dan kreativitas, seperti mengajar. Selama tahap ini, orang
harus terus tumbuh. Jika mereka yang tidak mampu atau tidak mau memikul
tanggung jawab ini, maka mereka akan menjadi stagnan atau egois.
Pada masa ini, salah satu tugas untuk dicapai ialah denganmengabdikan diri gun
a mendapatkan keseimbangan antara sifatmelahirkan sesuatu (generativitas)
dengan tidak berbuat apa-apa (stagnasi).
Generativitas adalah perluasan cinta ke masa depan. Sifat iniadalah kepedulian t
erhadap generasi yang akan datang. Melalui generativitas akan dapat
dicerminkan sikap memperdulikan orang lain. Pemahaman ini sangat jauh
berbeda dengan arti kata stagnasi yaitu pemujaan terhadap diri sendiri dan sikap
yang dapat digambarkan dalam stagnasi ini adalah tidak perduli terhadap
siapapun. Harapan yang
ingin dicapai pada masa ini yaitu terjadinyakeseimbangan antara generativitas da
n stagnansi guna mendapatkan nilaipositif yang
dapat dipetik yaitu kepedulian. Dalam tahap ini, diharapkan seseorang yang
telah mmasuki usia dewasa menengah dapat menjalin hubungan atau
berinteraksi secara baik dan menyenangkan dengan generasi penerusnya dan
tidak memaksakan kehendak mereka pada penerusnya berdasarkan pengalaman
yang mereka alami.
8. Integrity vs despair (± 65 ke atas)
Seseorang yang berada pada fase ini akan melihat kembali (flash back)
kehidupan yang telah mereka jalani dan berusaha untuk menyelesaikan
permasalahan yang sebelumnya belum terselesaikan. Penerimaan terhadap
prestasi, kegagalan, dan keterbatasan adalah hal
utama yang membawa dalam sebuah kesadaran bahwa hidup
seseorangadalah tanggung jawabnya sendiri. Orang yang berhasil melewati
tahap ini, berarti ia dapat mencerminkan keberhasilan dan kegagalan yang
pernah dialami. Individu ini akan mencapai kebijaksaan, meskipun saat
menghadapi kematian.Keputusasaan dapat terjadi pada orang-
orang yang menyesali cara mereka dalam menjalani hidup atau bagaimana
kehidupan mereka telah berubah.
C. Teori Perkembangan Sosial
Teori perkembangan sosial merupakan salah satu teori dalam psikologi yang di
aplikasikan dalam hubungan sosial. Sehingga teori perkembangan sosial tidak
lepas dari kajian individu dengan lingkungan sosialnya. Banyak teori
perkembangan sosial yang populer saat ini, seperti perkembangan seksual Erick
Erickson, Perkembangan sosial Lev Vygotsky, perkembangan sosial Albert
Bandura, Perkembangan sosial Jean Piaget dan beberapa ahli lannnya yang
mengemukakan teori perkembangan sosial. Yang perlu di catat bahwa, teori
perkembangan sosial, oleh para ahli selalu di kaitkan dengan perkembangan
lainnya, yang menjadi latar kajian para ahli. Seperti psikososial Erick Erikson
(antara psikologis dan sosial, latarnya adalah psikoanalisa), perkembangan sosial
learning oleh Albert bandura (antara belajar dan sosialisasi, latarnya adalah
psikologi kognitif) dan lain-lain. Pada ulasan ini, kita akan membahas secara
rinci perkembangan sosial dari Erick Erickson. Erik Erikson sangat terkenal
dengan tulisannya di bidang psikologi perkembangan. Dengan latar belakang
kajiannya adalah psikoanalisa, dia mengemukakan sebuah teori sosial dengan
nama psikososial. Dia mengembangkan teori yang disebut teori perkembangan
psikososial dimana ia membagi tahap-tahap perkembangan manusia menjadi
delapan tahapan. Teori pekembangan psikososial ini mulai dari bayi hingga
lanjut usia (life span). Jadi teori psikososial merupakan teori yang lengkap
membahas perkembangan dalam semua rentang kehidupan. Berikut ini terori
perkembangan sosial menurut Erik Erikson yang tergambar pada tahap-tahap
perkembangan sebagai berikut:
Umur Fase Perkembangan Perkembangan Perilaku
0–1 Trust vs Mistrust Tahap pertama adalah tahap
pengembangan rasa percaya diri
kepada orang lain, sehingga mereka
sangat memerlukan sentuhan dan
pelukan.
2–3 Autonomy vs Shame Tahap ini bisa dikatakan sebagai masa
pemberontakan anak atau masa
“nakalnya”. Namun kenakalannya
tidak dapat dicegah begitu saja, karena
tahap ini anak sedang
mengembangkan kemampuan motorik
dan mental, sehingga yang diperlukan
justru mendorong dan memberikan
tempat untukmengembangkan motorik
dan mental. Pada saat ini anak sangat
terpengaruh oleh orang-orang penting
disekitarnya, misal orang tua atau
guru.
4–5 Inisiative vs Guilt Mereka banyak bertanya dalam segala
hal, sehingga terkesan cerewet.
Mereka juga mengalami
perngembangan inisiatif/ide, sampai
pada hal-hal yang berbau fantasi.
6 – 11 Indusstry vs Inferiority Mereka sudah bisa mengerjakan
tugas-tugas sekolah dan termotivasi
untuk belajar. Namun masih memiliki
kecenderungan untuk kurang hati-hati
dan menuntut perhatian.
12 - Ego-identity vs Role on Tahap ini manusia ingin mencari
18/20 fusion identitas dirinya. Anak yang sudah
beranjak menjadi remaja mulai ingin
tampil memegang peran-peran sosial
di masyarakat. Namun masih belum
bisa mengatur dan memisahkan tugas
dalam peran yang berbeda.
18/19 – Intimacy vs Isolation Memasuki tahap ini manusia sudah
30 mulai siap menjalani hubungan intim
dengan orang lain, membangun
bahtera rumah tangga bersama calon
pilihannya
31 – 60 Generation vs Tahap ini ditandai dengan munculnya
Stagnation kepedulian yang tulus terhadap
sesama. Tahap ini terjadi saat
seseorang telah memasuki usia dewasa
60 ke Ego Integrity vs putus Masa ini dimulai pada usia 60-an,
atas asa masa dimana manusia mulai
mengembangkan integritas dirinya.
DAFTAR PUSTAKA

Fajri Hawa Isniani Sia, 2014. “Penggunaan Token Reinforcement System untuk
Mengembangkan Perilaku Adaptif Anak Autisme Di Rumah”. Fakultas Ilmu
Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta.

http://justinlase.blogspot.co.id/2017/02/perilaku-maladaptif.html. Diakses pada


tanggal 18 Februari 2018 pukul 21:00

Susi Andriani dan Oksiana Jatiningsih. 2015. “Strategi Adaptasi Sosial Siswa Papua
Di Kota Lamongan. Kajian Moral dan Kewarganegaraan”. Volume 02 Nomor 03
Tahun 2015. UNESA

Aldi Syahputra. 2017. “Adaptasi Masyarakat Terhadap Perubahan Lingkungan


(Studi Pada Masyarakat yang Tinggal Pada Kawasan Peternakan Ayam Petelur di
Kanagarian Tigo Jangko Kecamatan Lintau Buo Kabupaten Tanah Datar)”. JOM
FISIP Vol. 4 No. 1 – Februari 2017

Freud, A. (1937).”The Ego and the Mechanisms of Defense”. London: Hogarth Press
and Institute of Psycho-Analysis.

http://rudicahyo.com/psikologi-artikel/mekanisme-pertahanan-ego-dalam-
psikoanalisa-freud/. Diakses pada tanggal 18 Februari 2018 pukul 21:10

https://rimatrian.blogspot.co.id/2013/12/teori-perkembangan-psikososial-erick-
h.html. Diakses pada tanggal 18 Februari pukul 21:20

Boeree, C. George. 2013.”General Psychology : Psikologi Kepribadian, Persepsi,


Kognisi, Emosi & Perilaku”. Jogjakarta : Primasophie

Drs. Zulkifli L. 2009. Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya.


http://www.psychologymania.com/2012/06/teori-perkembangan-sosial.html. Diakses
pada tanggal 18 Februari 2018 pukul 21:40

Anda mungkin juga menyukai