Anda di halaman 1dari 13

TUGAS EMERGENCY MEDICINE

KEGAWATAN KARDIOLOGI
SYOK KARDIOGENIK

Oleh:
Fadlan Adima A 0810710043

LABORATORIUM / SMF EMERGENCY MEDICINE


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RSUD DR.SAIFUL ANWAR
MALANG
2013
1. Latar Belakang

Insiden syok kardiogenik dalam komunitas tidak mengalami penurunan yang signifikan
dalam beberapa waktu terakhir. Walaupun angka mortalitas sempat menurun berkaitan
dengan tindakan revaskularisasi, syok kardiogenik masih merupakan penyebab kematian
tersering pada pasien rawat inap dengan infark miokard akut. Meskipun syok kardiogenik
muncul segera setelah kejadian infark, hal ini tetap tidak terdeteksi pada penanganan awal
di rumah sakit (Menon and Hotchman, 2013).

Syok kardiogenik adalah gangguan hemodinamik yang disebabkan oleh ketidakmampuan


jantung untuk memberikan asupan darah yang adekuat kepada jaringan untuk memenuhi
kebutuhan basal. Syok kardiogenik merupakan suatu kondisi hipotensi persisten dan
hipoperfusi jaringan akibat kegagalan fungsi jantung dengan volume intravaskular dan
tekanan pengisian ventrikel kiri yang memadai. Dengan kata lain pada syok kardiogenik
terjadi penurunan curah jantung sistemik yang dapat mengakibatkan hipoksemia jaringan
dalam kondisi volume intravaskular yang cukup (Califf & Bengston, 2008)

Etiologi syok kardiogenik yang terbanyak adalah gagal jantung kiri akibat infark miokard.
Faktor risiko terjadinya syok antara lain usia tua, diabetes infark anterior, riwayat infark
miokard sebelumnya, penyakit vaskular perifer (peripheral vaskular disease), menurunnya
fraksi ejeksi ventrikel kiri, serta infark miokard yang luas. (Cuculich and Kates, 2009).

2. Definisi

Syok kardiogenik adalah gangguan hemodinamik yang disebabkan oleh


ketidakmampuan jantung untuk memberikan asupan darah yang adekuat kepada jaringan
untuk memenuhi kebutuhan basal. Syok kardiogenik merupakan suatu kondisi hipotensi
persisten dan hipoperfusi jaringan akibat kegagalan fungsi jantung dengan volume
intravaskular dan tekanan pengisian ventrikel kiri yang memadai. Dengan kata lain pada
syok kardiogenik terjadi penurunan curah jantung sistemik yang dapat mengakibatkan
hipoksemia jaringan dalam kondisi volume intravaskular yang cukup (Califf & Bengston,
2008).

3. Etiologi dan Patofisiologi

Syok kardiogenik lebih banyak berkaitan dengan hilangnya fungsi dari >40% miokard
ventrikel kiri dan hanya sedikit akibat dari kerusakan miokard ventrikel kanan. Kerusakan
miokard harus segera diketahui karena bahkan jumlah infark miokard yang sedikit sekalipun
dapat menimbulkan syok kardiogenik. Disamping itu, pasien dengan kecacatan jantung
seperti kelainan katup maupun septum juga dapat menyebabkan syok.
Penyebab syok kardiogenik dapat dibedakan menjadi tiga bagian besar, yaitu:

 Infark Miokard Akut

Merupakan penyebab tersering dari syok kardiogenik. Hal ini disebabkan oleh hilangnya
fungsi miokard akibat infark. Syok kardiogenik lebih sering terjadi pada infark miokard
ventrikel kiri daripada ventrikel kanan.

 Komplikasi mekanis

Penyebab syok kardiogenik selain infark adalah komplikasi mekanik. Proses mekanis yang
dimaksud antara lain disfungsi atau ruptur muskulus papilaris yang biasanya terjadi pada
katup mitral dan menyebabkan regurgitasi mitral akut, ruptur septum ventrikular, ruptur
dinding, ataupun aneurisma ventrikel kiri.

 Kondisi lain seperti

- Kardiomiopati stadium akhir

- Kontusio miokard

- Miokarditis

- Obstruksi aliran keluar dai ventrikel kiri (stenosis aorta, cardiomiopati obstruktif
hipertrofik)

- Obtruksi aliran masuk ventrikel kiri (mitral stenosis, miksoma atrium kiri) (Cuculich
and Kates, 2009)
Menon & Hotchman, Heart Journal, 2013

Penurunan progesivitas tanpa adanya intervensi pada syok kardiogenik

dapat terlihat dalam suatu lingkaran setan, yaitu suatu mekanisme kompensasi yang terdiri
dari aktivasi sistem saraf simpatis, efek regulasi renal dan neurohormonal, serta
vasoregulasi lokal. Aktivasi sistim saraf pusat dipicu oleh baroreseptor dan kemoreseptor,
menyebabkan peningkatan kontraktilitas miokard, membawa cairan menuju intravaskular,
dan vasokontriksi arteri dan vena. Sistim renin angiotensin teraktivasi akibat berkurangnya
perfusi ke ginjal dan stimulasi simpatis dari persarafan ginjal. Terbentuknya angiotensin II
mengakibatkan vasokonstriksi perifer dan sintesis aldosteron yang menimbulkan
peningkatan resorpsi sodium dan air oleh ginjal untuk meningkatkan volume intravaskular.
Distensi atrium menyebabkan pembentukan peptide natriuretic atrial yang memperkuat
pengeluaran garam dan air oleh ginjal bersamaan dengan penurunan pembentukan renin
dan berlawanan dengan efek angiotensin II. Akhirnya produksi hormon antidiuretik
meningkat disertai peningkatan resorpsi air oleh ginjal akibat hipotensi. Efek lokal pada
jaringan terdiri dari akumulasi metabolit vasoaktif yang menyebabkan vasodilatasi arteri
maupun kapiler. Auto- regulasi menyebabkan redistribusi darah menuju kulit, intestinal,
tulang, dan otot setelah organ vital seperti otak, jantung, dan ginjal. Menurunnya tekanan
perfusi menyebabkan depresi kontraktilitas miokard lebih jauh dan mekanisme kompensasi
perifer tidak mampu menanggulangi penurunan fungsi jantung (Califf &Bengston, 2007)

Syok kardiogenik disebabkan oleh depresi kontraktilitas miokard yang menimbulkan suatu
lingkaran setan terhadap penurunan curah jantung, hipotensi, insufisiensi koroner, dan
kemudian terjadi penurunan kontraktilitas dan curah jantung. Penurunan curah jantung akan
menyebabkan vaskonstriksi sistemik dan peningkatan resistensi vaskular sebagai
kompensasi.

Penelitian menunjukkan adanya pelepasan sitokin setelah infark miokard, pada


pasien pasca IM, diduga terdapat aktivasi sitokin inflamasi yang mengakibatkan peninggan
kadar iNOS, NO, dan peroksinitrit, dimana semuanya memberikan efek buruk antara lain:

- Inhibisi langsung kontraktilitas miokard

- Supresi respirasi mitokondira pada miokard nom iskemik

- Efek terhadap metabolisme glukosa

- Efek proinflamasi

- Penurunan responsivitas katekolamin

- Merangsang vasodilatasi sistemik

Sindroma respon inflamasi sistemik ditemukan pada sejumlah keadaan non infeksi,
antara lain trauma, cardiopulmonal shunt, pankreatitis, dan luka bakar. Pasien dengan infark
miokard luas sering mengalami peningkatan suhu tubuh, leukosit, komplemen, interleukin,
C-raktive protein, dan petanda inflamasi ain. NO yang disintesis dalamkadar rendah oleh
endothelial nitric oxide (eNOS) sel endotel dan miokard, merupakan molekul yang bersifat
kardioprotektif (Califf and Bengston, 2007).
3. Diagnosis Syok Kardiogenik

Hipotensi sistemik dengan nilai sistol <90mmHg sering dipakai menjadi dasar
diagnosis. Penurunan tekanan darah sistolik akan meningkatkan kadar katekolamin yang
mengakibatkan konstriksi arteri dan vena sistemik. Manifestasi klinis yang dapat ditemukan
sebagai tanda hipoperfusi sistemik adalah hipotensi, tanda-tanda gangguan perfusi jaringan
(oliguria, cyanosis, akral dingin, perubahan status mental), dan syok yang tidak membaik
setelah koreksi faktor nonkardiak seperti kondisi hipovolemik, hipoksia, dan asidosis.
Diagnosis syok kardiogenik ditegakkan dengan adanya tekanan darah sistolik ≤90mmHg
selama ≥ 30 dimana:
- Tidak responsif dengan pemberian cairan saja (fluid challenge),
- Merupakan suatu komplikasi akibat disfungsi jantung, atau
- Terdapat tanda-tanda hipoperfusi jaringan (oliguria, cyanosis, akral dingin,
perubahan status mental)
- Peningkatan rasio oksigen arteri-vena >5,5 ml/dl, penurunan indeks kardiak
<2,2L/menit/m2 ,dan peningkatan tekanan kapiler pulmonum di atrium kiri
(tekanan Baji paru/ PCWP) >18 mmHg (Idrus A, 2006)
Selain itu dipertimbangkan pula definisi berikut:
- Pasien dengan tekanan darah sistolik meningkat >90mmHg dalam 1 jam setelah
pemberian obat inotropik, dan
- Pasien yang meninggal dalam 1 jam hipotensi, tetapi tidak memenuhi kriteria
syok selain kardiogenik.

Penegakan diagnosis juga membutuhkan suatu kemampuan tenaga medis untuk


segera tanggap terhadap adanya gangguan hemodinamik pada pasien penyakit jantung.
Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaaan penunjang harus harus dilakukan dengan
cepat dan tepat agar terapi dapat segera diberikan secara adekuat.
 Anamnesis
Keluhan yang timbul berkaitan dengan etiologi timbulnya syok kardiogenik tersebut.
Pasien dengan infak miokard akut datang dengan keluhan nyeri dada tipikal yang akut, dan
kemudian sudah memiliki riwayat penyakit jantung koroner sebelumnya.
Pada keadaan syok akibat komplikasi mekanik dari infark miokard akut, biasanya
terjadi dalam beberapa hari sampai minggu setelah onset infark tersebut. Umumnya pasien
mengeluh nyeri dada dan biasanya disertai gejala tiba-tiba yang menunjukkan adanya
edema paru akut bahkan henti jantung.
Pasien dengan aritmia akan mengeluhkan adanya palpitasi, presinkop, sinkop, atau
merasakan akibat berkurangnya perfusi jaringan ke sistim saraf pusat (Cuculich and Kates,
2009).
2.3.2 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan awal hemodinamik akan ditemukan tekanan darah sistolik yang menurun
hingga < 90 mmHg, bahkan dapat turun hingga <80mmHg pada pasienyang tidak
memperoleh penatalaksanaan yang adekuat. Denyut jantung cenderung meningkat sebagai
akibat stimulasi simpatis, demikian pula dengan frekuensi pernapaasan yang meningkat
sebagai akibat kongesti di paru (Menon and Hotchman, 2013).
Pasien dengan syok kardiogenik memperlihatkan tanda-tanda hipotensi, vasokonstriksi
perifer (akral dingin), nadi lemah dan cepat, oliguria hingga anuria, sampai dengan
perubahan status mental. Pada pemeriksaan jantung, akan didapatkan suara jantung yang
jauh dengan S3 dan S4. Kita harus waspada terhadap munculnya murmur sistolik yang
mengindikasikan adanya defek septum ventrikel (VSD) atau ruptur muskulus papillaris.
Selain tanda-tanda tersebut distensi vena jugular juga sering tampak (Cuculich and Kates,
2009)
Pemeriksaan thoraks akan menunjukkan adanya rhonki. Kongesti paru sangat kecil
kemungkinannya terjadi pada pasien dengan infark ventrikel kanan atau pasien dengan
keadaan hipovolemik.
Terjadi peningkatan distensi vena-vena dileher seperti vena jugularis. Letak impuls
apikal dapat bergeser pada dilatasi kardiomiopati. Intensitas bunyi jantung akan jauh
menurun pada efusi perikardial ataupun tamponade jantung. Dapat terdengar Irama gallop
yang menunjukkan adanya disfungsi ventrikel kiri yang bermakna. Sedangkan pada kondisi
regurgutasi mitral atau defek septum ventrikel, bunyi murmur yang timbul akan sangat
membantu dokter pemeriksa untuk menentukan kelaina mekanik yang ada (Cuculich and
Kates, 2009).
Pasien dengan gagal jantung kanan yang berat akan menunjukkan beberapa tanda-
tanda antara lain pembesaan hepar dan pulsasi di liver akibat regurgitasi trikuspid atau
terjadinya asites akibat gagal jantung kanan yang sulit diatasi. Pulsasi arteri diekstremitas
perifer akan menurun intensitasnya dan edema perifer dapat timbul pada gagal jantung
kanan. Sianosis dan akral dingin menunjukkan terjadinya penurunan perfusi jaringan
(Menon and Hotchman, 2013).

 Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium pada syok kardiogenik memperlihatkan adanya hipoksia,
peningkatan kreatinin dan asam laktat. Foto rontgen thorax dapat memperlihatkan
gambaran kongesti pulmonal. Pemeriksaan penunjang yang sering dipergunakan dalam
membantu diagnosis antara lain,
a. Elektrokardiografi (EKG)
Gambaran EKG dapat membantu untuk menentukan terjadinya syok kardiogenik.
Misalnya pada infark miokard akut akan terlihat gambarannya dari rekaman tersebut.
Demikian pula bila lokasi infark terjadi pada ventrikel kanan maka akan terlihat
proses di sandapan jantung sebelah kanan (misalnya elevasi T di sandapan V4R).
Begitu pula bila gangguan irama atau aritmia sebagai etiologi terjadinya syok
kardiogenik, maka dapat dilihat melalui rekaman aktivitas listrik jantung tersebut
(Cuculich and Kates, 2009).

b. Foto Rontgen Dada


Pada foto polos dada akan terlihat kardiomegali dan tanda-tanda kongesti paru atau
edema paru pada gagal ventrikel kiri yang berat. Bila terjadi komplikasi defek septum
ventrikel atau regurgutasi mitral akibat infark miokard akut, akan tampak gambaran
kongesti paru yang tidak disertai kardiomegali, terutama pada onset infark yang
pertama kali. Gambaran kongesti paru jarang terlihat pada pada gagal ventrikel
kanan atau keadaan hipovolemik.

c. Ekokardiografi
Modalitas pemeriksaan yang non invasif ini sangat banyak membantu dalam
mendiagnosis dan mencari etiologi dari syok kardiogenik. Pemeriksaan ini relatif
cepat, aman dan dapat dilakukan secara langsung di tempat tidur pasien. Informasi
yang diharapkan dari pemeriksaan ini adalah penilaian fungsi ventrikel kanan dan kiri
(global maupun segmental), fungsi katup-katup jantung (stenosis atau regurgitasi),
tekanan ventrikel kanan dan deteksi adanya shunt/pirai (misalnya pada defek spetum
ventrikel dengan left to the right shunt), efusi perikardial atau tamponade.

d. Pemantauan Hemodinamik
penggunaan kateter Swan Ganz untuk mengukur tekanan arteri pulmonal dan
pulmonal capillary wedge pressure sangat berguna, khususnya untuk memastikan
diagnosis dan etiologi syok kardiogenik, serta sebagai indikator evaluasi terapi yang
diberikan. Pasien dengan syok kardiogenik akibat kegagalan ventrikel kiri yang berat,
akan terjadi peningkatan PCWP. Apabila PCWP mencapai >18mmHG pada pasien
dengan ingfark miokard akut, maka dapat ditentukan bahwa volume intravaskular
pasien tersebut cukup adekuat. Pasien dengan kegagalan ventrikel kanan atau
hipovolemia yang berat akan menunjukkan PCWP yang normal atau rendah.
Pemantauan parameter hemodinamik juga membutuhkan perhitungan afterloas
(resistensi vaskular sistemik). Minimalisasi afterload sangat diperlukan, karena bila
terjadi peningkatan afterload akan menimbulkan efek penurunan kontraktilitas yang
akan menghasilkan penurunan curah jantung (Cuculich and Kates, 2009).

e. Saturasi oksigen
Pemantauan saturasi oksigen sangat bermanfaat dan dapat dilakukan pada saat
pemasangan kateter Swanganz yang juga dapat mendeteksi adanya defek septum
ventrikel. Bila terdapat pirai yang kaya akan oksigen dari ventrikel kiri ke ventrikel
kanan maka akan terjadi saturasi oksigen yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan
saturasi oksigen vena dari vena cava dan arteri pulmonal.

4. Penatalaksanaan Syok Kardiogenik


Dalam kondisi syok, resusitasi dan usaha suportif harus diberikan segera,
bersamaan dengan penegakan diagnosis. Volume pengisian ventrikel kiri harus
dioptimalkan, dan apabila tidak terdapat tanda-tanda kongesti paru, pemberian cairan
sekurang-kurangnya 250ml dapat dilakukan dalam 10 menit. Oksigenasi adekuat sangatlah
penting. Intubasi atau ventilasi harus dilakukan segera jika ditemukan gangguan difusi
oksigen. Hipotensi yang terus berlangsung akan memicu kegagalan otot pernapasan dan
hal ini dapat dicegah dengan pemberian ventilasi mekanis (Idrus A, 2006).
Prognosis pasien dengan syok kardiogenik tergolong buruk, karena secara definisi
tidak terlihat adanya kelainan metabolit, hemodinamik, humoral, ataupun masalah infeksi
yang dapat dikoreksi untuk memperbaiki fungsi sirkulasi.
Terapi farmakologis pasien dengan syok kardiogenik berperan penting dalam
manajemen klinis. Diuretik, agen inotropik, dan obat-obatan vasodilator memiliki tempat
tersendiri bagi pasien dengan curah jantung yang rendah dan syok kardiogenik akibat infark
miokard. Diuretik seperti furosemide dapat digunakan untuk meredakan gejala kongesti
pulmonal namun tidak efektif untuk mengatasi hipotensi maupun hipoperfusi organ.
Ditambah lagi apabila terdapat keadaan kegagalan ginjal, maka diuretik sama sekali tidak
efektif.
Agen inotropik yang palin efektif dan direkomendasikan adalah golongan amine
simpatomimetik, seperti dopamin dan dobutamin, yang memiliki efek pada beberapa
variabel penting syok kardiogenik, seperti kondisi intropik dan kronotropik positif, kebutuhan
oksigen miokard, tekanan pengisian ventrikel kiri, dan tonus vaskular perifer. Semua agen
inotropik memiliki kemungkinan memperberat iskemia miokard karena dapat meningkatkan
kebutuhan oksigen miokard dalam kondisi kurangnya suplai oksigen dari arteri. Agen
vasodilator (phentolamin, nitroprusid, dan nitrogliserin) digunakan pada kondisi akibat
komplikasi mekanis seperti regurgutasi mitral atau ruptur septum ventriel (Rude RE,1983).
Pada pasien dengan gangguan perfusi jaringan namun volume intravaskular
adekuat, obat-obatan inotropik dan vasopresor harus diberikan segera. Dobutamin
merupakan pilihan yang paling utama dibanding amine simpatomimetik meskipun terjadi
hipotensi. Obat ini menambah aliran darah diastol menuju pembuluh koroner dan pembuluh
darah kolateral pada area iskemik sambil meningkatkan kontraktilitas miokard,
meningkatkan curah jantung, serta menurunkan tekanan pengisian ventrikel kiri.
Ketika hipotensi memberat dan hipoperfusi jaringan terjadi, obat pilihan adalah
dopamin karena dibutuhkan vasokonstriksi perifer untuk mempertahankan perfusi organ-
organ vital. Norepinefrin digunakan apabila terdapat hipotensi berat untuk meningkatkan
tekanan darah sementara usaha resusitasi lain dimulai (Idrus A, 2006).
Dengan mengasumsikan gagal jantung kiri sebagai penyebab syok kardiogenik
(sistol <90mmHg, cardiac index <2.2 L/minute/m2), maka penatalaksanaan yang dianjurkan
antara lain:
2.4.1 Tindakan resusitasi segera
Tujuannya adalah mencegah kerusakan organ selama diakukan terapi definitif.
Mempertahankan tekanan arteri rata-rata (MAP) yang adekuat untuk mencegah kecacatan
neurologis dan gangguan ginjal.
1. Oksigenasi
Saturasi oksigen perlu dipertahankan hingga diatas 90% jika memungkinkan.
Intubasi dapat dilakukan, namun harus tetap waspada terhadap hipotensi akibat
sedasi dan penurunan pengisian jantung dengan ventilasi tekanan positif.
2. Cairan Intravena
Target tekanan baji paru atau pulmonary capillary wedge pressure (PCWP)
adalah 18mmHg. Pasien dengan PCWP rendah lebih baik diberikan hidrasi lambat.
Pasien dengan edema pulmonal atau peningkatan PCWP terbaik dilakukan diuresis
dengan menggunakan furosemid intravena dengan memonitor tanda-tanda hipotensi.
3. Inotropik dan vasopressor
Jika tekanan darah sistol <70mmHg, mulai pemberian norephineprin 0,01-
3mcg/kgBB/menit hingga tercapat MAP 70mmHg. Jika tekanan darah sistole 70-90
mmHg, mulai pemberian dopamin 2-20 mcg/kgBB/menit dengan dosis maksimal
50mcg/kgBB/menit. Dopamin meningkatkan cardiac output dan aliran darah ginjal
(renal blood flow) melalui reseptor spesifik beta-dopamin. Pada dosis 5-
20mcg/kgBB/menit, dopamin memberikan efek efek vasokonstriksi karena stimulasi
alfa adrenergik. Dengan tekanan darah sistol 70-90mmHg tanpa adanya tanda-tanda
syok, dobutamin adalah agen yang dipilih. Dobutamin dimulai dengan dosis 2-
20mcg/kgBB/menit dengan dosis maksimal 40mcg/kgBB/menit (AHA,2008).

Overgaard and Zavick, Inotropes and Vasopressor in Cardiovaskular Disease, 2008

 Menentukan Anatomi Koroner Secara Dini dan Revaskularisasi


Hal ini merupakan langkah penting dalam tata laksana syok kardiogenik yang
berasal dari kegagalan jantung yang predominan. Pasien di Rumah sakit perifer harus
segera dikirim ke fasilitas pelayanan tersier yang berpengalaman. Hipotensi diatasi dengan
IABP. Syok berkaitan dengan gangguan pembuluh darah seperti penurunan fungsi ventrikel
kiri. Tingkat disfungsi ventrikel dan instabilitas hemodinamik mempunyai korelasi dengan
anatomi koroner. Suatu lesi circumfleksa atau lesi koroner kanan jarang mempunyai
manifestasi syok pada kondisi tanpa infark ventrikel kanan, underfilling ventrikel kiri,
bradiaritmia, infark miokard sebelumnya atau kardiomiopati (Menon and Hotchman, 2013).
Setelah menentukan anatomi koroner, harus diikuti dengan pemilihan modalitas
terapi secepatnya. Beberapa penelitian telah menunjukkan manfaat revaskularisasi
(perkutan ataupun surgikal) atau terapi farmakologis pada pasien dengan syok kardiogenik.
Studi mengenai syok kardiogenik menunjukkan pasien yang mengalami syok kardiogenik
dalam 36 jam infark miokard dibandingkan dengan revaskularisasi sebagai tatalaksana
agresif. Walaupun tidak terdapat penurunan mortalitas dalam 30 hari, namun penurunan
mortalitas secara signifikan terlihat dalam jangka waktu 6 bulan hingga 1 tahun. Pasien
muda (<75 tahun) memberikan respon yang baik terhadap revaskularisasi sedangkan
pasien lebih tua lebih berespon baik terhadap terapi farmakologis (Cuculich and Kates,
2009).

Sesuai dengan guidelines terakhir ACC/AHA, direkomendasikan pemasangan IABP


(Intra Aortic Balloon Pump) secara dini pada pasien syok kardiogenik sebagai terapi agresif.
Intra aortic balloon pump (IABP) menurunkan afterload dan meningkatkan tekanan diastol
untuk memperbaiki curah jantung dan perfusi koroner. Pada beberapa penelitian, IABP
menurunkan angka kematian bila digunakan dalam usaha revaskularisasi (Cuculich and
Kates, 2009).
Target utama dalam pencegahan syok adalah usaha untuk mengurangi proporsi
pasien dengan presentasi STEMI yang tidak menerima terapi reperfusi. Reperfusi awal yang
dikatakan berhasil adalah perfusi yang adekuat sepanjang vaskular yang menyempit selama
proses nekrosis dan menurunkan risiko terjadinya syok pada pasien yang rentan. Dalam
usaha menangani syok kardiogenik, perlu dilakukan pula upaya monitor kondisi dan
perbaikan pasien. Tanda klinis yang perlu diperhatikan antara lain status mental, produksi
urin, dan oksigenasi arteri atau vena. Selain itu juga perlu dimonitor tekanan darah, detak
jantung, nilai kateter PA, serum kreatinin, dan enzim-enzim hati (Idrus A, 2006)

tanda klinis: hipoperfusi, CHF, ALO


prnyakit dasar yang paling mungkin?

acute lung oedem low output: syok


Hipovolemia Aritmia
ALO kardiogenik

pemberian:
furosemide IV 0,5-1 mg/kgBB periksa tekanan
Bradikardia takikardia
darah
Morfin IV 2-4mg
Oksigenasi
pemberian: cairan
Nitrogliserin SL, kemudian 10-20
mcg/menit bila TDS>100mmHG Transfusi darah TDS 70-100 mmHg, TDS 70-100mmHg, TDS<70mmHg, sesuai ACC/AHA
Intervensi spesifik TDS >100mmHg
Dopamin 5-15 mcg/kgBB/ment IV bila gejala syok - gejala syok + gejala syok + mengenai STEMI
TDS 70-100mmHg dan tanda syok + Vasopressor
Dobutamin 2-20 mcg/kgBB/menit IV bila
TDS 70-100 mmHg dan tanda syok -
Nitroglycerin 10-20 Dobutamin 2-20 Dopamin 5-15 Norepinefrin 0,5-30
mcg/menit IV mcg/kgBB/menit mcg/kgBB/menit IV mcg/menit IV
periksa tekanan
darah

TDS >100mmHg dan


tidak kurang dari
30mmHg dibawah
TDS sebelumnya

ACE inhibitor short


actting: Captopril
6,25 mg
Daftar Pustaka

Angelbeck, Judy.2010. Adverse Reaction to Platelet Transfusion, Risks, and Probable


Cause. Pall Corporation.

Babaev A, Frederick PD, Pasta DJ, et al. Trends in management and outcomes of patients
with acute myocardial infarction complicated by cardiogenic shock. JAMA 2005;
294:448

De Backer D, Biston P, Devriendt J, et al. Comparison of dopamine and norepinephrine in


the treatment of shock. N Engl J Med 2010; 362:779.

Fincke R, Hochman JS, Lowe AM, et al. Cardiac power is the strongest hemodynamic
correlate of mortality in cardiogenic shock: a report from the SHOCK trial registry. J
Am Coll Cardiol 2004; 44:340.

Hottz, Eugenio et al, 2011. Platelets in Dengue Infection. Drug Discovery Today: Disease
Mechanisme. Vol 8 No 1-2

Idrus Alwi, 2006. Syok Kardiogenik dalam Buku Ilmu Penyakit Dalam, editor Aru W Sudoyo
et al, 2006. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta

Jeger RV, Radovanovic D, Hunziker PR, et al. Ten-year trends in the incidence and
treatment of cardiogenic shock. Ann Intern Med 2008; 149:618

Kurukularatne et al, 2011. When less is More: Can We Abandon Prophylactic Platelet
Transfusion in Dengue Fever?. Ann Acad Med Singapore 2011;40:539-545

Menon and Hotchman, 2002. Management of Cardiogenic Shock Complicating acute


Myocardial Infarction.Heart 2013; 88 531-537

Overgaard and Dzavick, 2008.Inotropes and Vasopressor in Cardiovascular Disease.


Circulation-AHA 118:1047-1056

Reynolds HR, Hochman JS. Cardiogenic shock: current concepts and improving outcomes.
Circulation 2008; 117:686.

Richard et al, 1983. Combined hemodynamic effects of dopamine and dobutamine in


cardiogenic shock. AHA journal circulation 67 no3.

Rude RE, 1983. Pharmacologic Support in Cardiogenik Shock. Pubmed,10,35-49

Wollters Kluwer. Prognosis and treatment of cardigenik shock complicating acute myocardial
infark. http://www.uptodate.com/contents/prognosis-and-treatment-of-cardiogenic-
shock-complicating-acute-myocardial-infarction. diunduh pada 4 februari 2013

Anda mungkin juga menyukai