Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

Peutz-Jeghers syndrome (PJS) merupakan kelainan autosomal dominan

dengan ciri-ciri adanya polip hamartomas pada saluran pencernaan dan lesi

pigmentasi pada mukokutaneus. Prevalensi PJS diperkirakan antara 1 pada 8.300

individu sampai 1 pada 280.000 individu. Faktor predisposisi pada penderita PJS

adalah berbagai macam keganasan (gastrointestinal, pankreas, paru- paru,

payudara, rahim, ovarium dan tumor testis). Komplikasi yang umumnya terjadi

pada penderita PJS adalah perdarahan, obstruksi, dan intussusception (Kopacova,

Tacheci, Rejchrt, and Bures, 2009).

Double ballon enteroscopy (DBE) dilakukan untuk pemeriksaan dan

pengobatan usus kecil. Polypectomy dengan menggunakan DBE dapat

menghindari berulang- ulangnya operasi mendesak dan reseksi usus kecil yang

mengarah pada sindrom usus pendek. Intraoperative enteroscopy (IOE)

merupakan satu- satunya terapi endoskopi yang mungkin dilakukan untuk pasien

PJS sebelum era DBE. Keduanya, baik DBE maupun IOE memfasilitasi

pemeriksaan dan perawatan usus kecil. DBE sedikit invasif dan lebih nyaman bagi

pasien. Secara umum, kedua prosedur ini aman dan sangat berguna. Rekomendasi

keseluruhan untuk pasien PJS tidak hanya meliputi pengobatan gastrointestinal

multiple polyp, tetapi juga pemeriksaan teratur kanker seumur hidup

(kolonoskopi, upper endoscopy, CT-scan MRI, USG pankreas, X-ray dada,

mamografi, pemeriksaan pelvic dengan USG pada wanita, pemeriksaan testis pada

4
5

pria). Meskipun insidensi PJS rendah, penting bagi dokter mengenali gangguan ini

untuk mencegah morbiditas dan mortalitas pada pasien, serta melakukan tes

presymptomatic pada keturunan pertama keluarga penderita PJS (Kopacova,

Tacheci, Rejchrt, and Bures, 2009).

Peutz- Jeghers syndrome (PJS) merupakan yang paling penting diantara

sindrom familial hamartomatous polyposis dan berhubungan dengan angka

morbiditas, variabel klinis dan memiliki kecenderungan ke arah keganasan yang

signifikan. Jurnal ini akan memberikan pengetahuan terbaru untuk diagnosis dan

pengobatan penyakit ini (Kopacova, Tacheci, Rejchrt, and Bures, 2009).


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Sejarah Peutz-Jegher Syndrome

PJS merupakan kelainan autosomal dominan dengan variabel yang

diturunkan, ditandai dengan polip hamartoma pada saluran pencernaan, terutama

pada usus kecil, dan lesi pigmentasi pada mukokutaneus. PJS pertama kali

dilaporkan pada sepasang kembar identik dengan makula melanotik yang

dideskripsikan oleh Connor pada tahun 1895 dan digambarkan oleh Hutchinson

pada tahun 1896. Selanjutnya, sepasang kembar ini mempunyai ciri- ciri penderita

PJS, salah satu meninggal karena intussusception pada usia 20 tahun, dan lainnya

meninggal karena kanker payudara pada usia 52 tahun (Kopacova, Tacheci,

Rejchrt, and Bures, 2009).

Deskripsi primer PJS dipublikasikan oleh Peutz tahun 1921 pada salah satu

keluarga Belanda (keluarga Harrisburg) sebagai poliposis gastrointestinal familial

dengan pigmentasi. Peutz dalam laporan aslinya menjelaskan terjadinya nasal

poliposis secara simultan. Silsilah dari keluarga asli Belanda ini terus diikuti.

Penjelasan Jeghers mendeskripsikan 10 kasus dari berbagai keluarga dalam

tulisannya pada tahun 1949, mendefinisikan hubungan antara lesi pigmentasi,

poliposis gastrointestinal dan meningkatnya resiko karsinoma; kurang lebih

setengah dari pasiennya menderita keganasan gastrointestinal. Eponim PJS

pertama kali digunakan pada tahun 1954. Deskripsi histologis polip hamartomas

pertama kali dibuat pada tahun 1957 oleh Horrilleno dkk (Kopacova, Tacheci,

Rejchrt, and Bures, 2009).

6
7

Sampai saat itu, deskripsi muncul dari beberapa sindrom yang berbeda

dengan kecenderungan berkembangnya polip dalam saluran pencernaan atas dan

bawah. Sindrom poliposis hamartoma merupakan kelompok kelainan yang

heterogen, biasanya diturunkan secara autosom dominan. Sindrom ini meliputi

familial juvenile polyposis syndrome, PJS, phosphatase and tensin homolog gene

(PTEN)hamartoma tumour syndrome(Cowden’s and Bannayan-Riley-Ruvalcaba

syndrome), multiple endocrine neoplasia syndrome 2B, hereditary mixed

polyposis syndrome, Cronkhite- Canada syndrome, basal cell nevus syndrome,

dan neurofibromatosis. Sindrom poliposis hamartoma hanya terjadi pada sejumlah

kecil (<1%) dari sindrom predisposisi kanker gastrointestinal yang diturunkan.

Sejarah PJS dengan biografi Peutz dan Jeghers telah dipublikasikan (Kopacova,

Tacheci, Rejchrt, and Bures, 2009).

2.2 Prevalensi

Perkiraan prevalensi dari PJS berbeda beda antara penelitian yang satu

dengan yang lain. Rentang terluas diperkirakan adalah dari 1 pada 8.300 individu

sampai 1 pada 280.000 individu. Prevalensinya sekitar 1 dari 100.000 orang.

Penyakit ini memiliki pemasukan variabel, bahkan di dalam satu keluarga;

beberapa anggota hanya akan memiliki hiperpigmentasi, sementara yang lain

mungkin terdapat lesi pigmentasi dan polip hamartomatous.

Data penting tentang poliposis sudah tersedia. Catatan poliposis St. Mark’s

(www.polyposisregistry.org.uk) adalah yang tertua di dunia. Ini dimulai pada

tahun 1924 oleh Dr Cuthbert Dukes dan Mr JP Lockhart Mummery. Pernyataan

yang dibuat oleh Dr. Dukes pada tahun 1958 yang berlaku sampai hari ini: “Akan
8

sulit untuk menemukan perawatan yang lebih menjanjikan untuk penatalaksanaan

pengendalian kanker dari poliposis familial, karena baik diagnosis maupun

pengobatan keduanya pada tahap prekanker menunjukkan hasil pembedahan dan

pengobatan yang sangat baik.”

Catatan tentang poliposis di Denmark dibuat pada tahun 1971 dan menjadi

nasional pada tahun 1975 (Kopacova, Tacheci, Rejchrt, and Bures, 2009). Catatan

tentang riwayat keluarga Amerika yang menderita poliposis juga tersedia di

internet: www.fascrs.org/patients/family_history_registries/.

2.3 Etiologi

2.3.1 Genetik dan patofisiologi

Tes genetik cocok untuk menegakkan diagnosis dari PJS. Sekarang ini, satu-

satunya mutasi yang dapat diindentifikasi sebagai penyebab PJS adalah gen

STK11 (serin/treonin-protein kinase 11 alias LKB1) yang terletak pada kromosom

19p13.3. STK11 adalah sebutan untuk LKB1 oleh Human Genom Organisation

(HUGO). Gen ini diidentifikasi pada tahun 1998. Gen ini mengkode untuk

serinetreonine multifungsi kinase, yang penting dalam sinyal kedua transduksi.

Serinetreonin kinase memodulasi proliferasi sel, mengendalikan polaritas sel, dan

memiliki peran penting dalam merespon tingkat energi seluler rendah. Dalam

peran kinerja yang terakhir, protein STK 11 terlibat dalam penghambatan

AMPactivated protein kinase (AMPK), serta menghambat mTOR (mammalian

target of rapamycin, juga dikenal sebagai FKBP12-rapamycin kompleks atau

FRAP); jalur mTOR adalah disregulasi pada penderita PJS. Meskipun mekanisme

kerja STK11 belum diuraikan dengan jelas, fungsi produk protein ini penting
9

dalam menghambat pertumbuhan. Perubahan genetik di STK11 dapat mewakili

hilangnya heterozigositas pada tumor penekan lokus gen.

Penelitian terbaru menduga adanya keterlibatan STK11 juga pada gangguan

yang umum terjadi pada manusia termasuk diabetes mellitus dan adenokarsinoma

di paru- paru. Penelitian ini telah menambahkan hal penting tentang jalur sinyal

dari tumor penekan enzim kinase.

Terdapat tes genetik terhadap mutasi STK11 tetapi tes ini memiliki faktor

yang dapat berubah- ubah; 70% pada kasus familial, 30- 67% pada berbagai

kasus. Proporsi yang signifikan dari PJS familial dan kasus lainnya merupakan

hasil dari mutasi gen selain STK11 atau hingga kini tidak dapat diidentifikasi

merupakan inaktivasi LKB1. Secara keseluruhan, 91% dari penelitian kasus

familial menunjukkan inaktivasi LKB1. Adanya variabel yang masuk dan

heterogenitas klinis membuat sulit untuk menentukan frekuensi yang tepat dari

PJS.

Mutasi germline pada tumor penghambat gen PTEN (10q22-23) menyebabkan

keadaan fenotip beragam, yang disebut sindrom tumor hamartoma PTEN. Ini

adalah kelainan autosom dominan yang jarang terjadi dan berbeda dari PJS

(Kopacova, Tacheci, Rejchrt, and Bures, 2009).


10

2.4 Patologi

Sindrom poliposis hamartomatous ditandai oleh pertumbuhan sel secara

berlebihan. Sangat penting untuk diperhatikan bahwa ada pertumbuhan berlebih

sel atau jaringan, paling tidak pada awalnya, tanpa adanya dugaan potensial

neoplastik. Polip hamartomatous terdiri dari elemen selular normal saluran

pencernaan, tetapi terjadi perubahan bentuk (Kopacova, Tacheci, Rejchrt, and

Bures, 2009).

Gambar 2.1 Hamartoma, gambaran khas dari


polip PJS proliferasi dari otot
polos. Pewarnaan HE, pembesaran
100x. (Sumber: Kopacova et al,
2009)

Secara mikroskopis, terdapat proliferasi disertai pemanjangan otot polos.

Pembentukan polip dengan pola arborized. Polip yang berhubungan dengan PJS

dapat dibedakan dari polip sporadic hamartomatous dan polip hamartomatous

yang berhubungan dengan sindrom lain dengan inti otot halus yang unik pada

seluruh polip. Jenis polip yang berhubungan dengan PJS tidak memiliki gambaran

endoskopi khusus dan hanya dapat dibedakan dari jenis polip lain oleh

histopatologi. Patologi polip PJS yang paling khas terdapat pada polip usus kecil.
11

Histologi polip PJS pada lambung mirip dengan polip lambung hiperplastik.

Hamartomas yang lebih besar sering mengandung jaringan adenomatous;

perkembangan menuju keganasan dari polip hamartomatous telah dijelaskan.

(Kopacova, Tacheci, Rejchrt, and Bures, 2009).

2.5 Gambaran klinis

Peutz-Jeghers Syndrome (PJS) memiliki karakteristik berupa pigmentasi

mukokutaneus dan berhubungan dengan gastrointestinal polyposis. Risiko

terjadinya keganasan gastrointestinal dan ekstraintestinal meningkat secara

signifikan. Tumor ginekologis dan gonad juga terlihat (McGarrity, Amos, Frazier,

and Wei, 2013).

1. Polip gastrointestinal

Polip hamartoma tipe Peutz-Jeghers dapat muncul dimana saja di saluran

pencernaan, namun paling sering muncul di usus kecil. Lebih dari 90% individu

yang terkena PJS akan mengalami kemunculan polip pada usus kecil sepanjang

hidupnya (Kopacova, Tacheci, Rejchrt, and Bures, 2009). Ketebalan polip paling

besar terlihat pada jejenum, kemudian ileum, dan duodenum. Polip dapat pula

muncul diginjal, pelvis, kantung kemih, ureter, paru-paru, nares, dan kantung

empedu (McGarrity, Amos, Frazier, and Wei, 2013). Polip hamartoma tipe Peutz-

Jeghers merupakan jenis yang jinak namun dapat menyebabkan komplikasi yang

signifikan seperti obstruksi usus, penurunan posisi ginjal dari tempatnya, dan/atau

perdarahan gastrointestinal parah disertasi anemia sekunder yang membutuhkan

laparotomi multipel darurat dan reseksi usus (McGarrity, Amos, Frazier, and Wei,

2013).
12

Rata-rata usia munculnya polip adalah pada usia 11-13 tahun, dan kurang

lebih 50% pasien mulai mengeluhkan gejala pada usia 20 tahun (Kopacova,

Tacheci, Rejchrt, and Bures, 2009).

Onset munculnya polip berbeda-beda pada setiap orang ((McGarrity, Amos,

Frazier, and Wei, 2013).

Gambar 2.2 Hamartoma pada jejenum (Sumber: Kopacova et al, 2009)

Gambar 2.3 Obstruksi gastrik (Sumber: Kopacova et al, 2009)

Gambar 2.4 Hamartoma multipel (Sumber: Kopacova et al, 2009)

2. Pigmentasi mukokutaneus

Makula melanotik jarang terlihat saat lahir, biasanya muncul pada anak-anak

saat berusia sebelum lima tahun namun menghilang pada saat pubertas dan
13

dewasa. Makula kutaneus berwarna biru gelap hingga coklat tua berdiameter 1-5

mm di sekitar mulut, mata, dan lubang hidung, area perianal, dan mukosa bukal

sering ditemukan pada anak-anak. Hiperpigmentasi makula pada jari-jari juga

biasa ditemukan (McGarrity, Amos, Frazier, and Wei, 2013). Karakteristik

pigmentasi yang terjadi pada 95% pasien disebabkan oleh makrofag pigmen

dalam dermis. Lesi tersebut juga dapat menjadi tanda awal pada individu yang

mengalami PJS (Kopacova, Tacheci, Rejchrt, and Bures, 2009),(Beggs et.al.,

2011).

Secara histologis, meningkatnya melanosit terlihat pada epidermal-dermal

junction, dengan peningkatan melanin di basal sel, kemungkinan disebabkan oleh

inflammatory block migrasi melanin dari melanosit ke keratinosit (Beggs et.al.,

2011). MM tidak berhubungan dengan risiko keganasan (McGarrity, Amos,

Frazier, and Wei, 2013).

3. Keganasan (Malignancy)

Individu dengan PJS meningkatkan risiko keganasan intestinal dan

ekstraintestinal.

Gambar 2.5 Makula multipel di jari-jari tangan


pada pasien Peutz Jegher Syndrom.
(Sumber: Kopacova et al, 2009)
14

2.6 Manifestasi oral

Makula melanotik berwarna coklat, fokal, dan multipel terkonsentrasi di bibir

sedangkan kulit wajah yang lain kurang terlibat. Makula terlihat sebagai bintik-

bintik atau ephelide, biasanya berdiameter <0,5 cm (Greenberg, Glick, and Ship,

2008). Lesi yang sama dapat muncul pada lidah bagian anterior, mukosa bukal,

dan permukaan mukosa bibir, juga dapat terlihat pada jari-jari dan tangan.

Intensitas lesi makula tidak berhubungan dengan paparan sinar matahari

(Greenberg, Glick, and Ship, 2008).

Gambar 2.6 Pigmentasi pada bibir


dan mukosa oral (Sumber:
Kopacova et al, 2009).

2.7 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan konfirmasi hamartomatous polyps secara

histopatologis, dan sedikitnya dua dari kriteria klinis berikut : riwayat keluarga,

hiperpigmentasi dan polip pada usus halus (Kopacova, Tacheci, Rejchrt, and

Bures, 2009).

2.7.1 Diagnosis Klinis

Berdasarkan konsensus Eropa, secara klinis seseorang dapat didiagnosis PJS

jika terdapat salah satu dari karakteristik berikut :


15

a. Terdapat dua atau lebih terkonfirmasi secara histologis polip hamartoma

tipe PJS

b. Terdeteksi polip tipe PJS pada individu yang memiliki riwayat keluarga

dekat dengan PJS.

c. Pigmentasi mukokutaneus pada individu yang memiliki riwayat keluarga

dekat dengan PJS.

d. Terdeteksi polip tipe PJS pada individu yang juga memiliki pigmentasi

mukokutaneus (McGarrity, Amos, Frazier, and Wei, 2013).

Kriteria diagnosis dari Mayo Clinic juga termasuk ditemukannya varian

patogenik gen STK11 (McGarrity, Amos, Frazier, and Wei, 2013).

2.7.2 Uji genetik

Saat ini STK11 merupakan satu satunya gen yang dalam keadaan mutasi

diidentifikasi sebagai penyebab PJS (McGarrity, Amos, Frazier, and Wei, 2013).

2.8 Perawatan

Terdapat dua tindakan dasar dalam diagnosa dan perawatan hamartomas usus

halus: enteroskopi intra-operatif (IOE) dan enteroskopi balon ganda (DBE /

Double Balloon enteroscopy) (Kopacova, Tacheci, Rejchrt, and Bures, 2009).

DBE merupakan metode enteroskopi baru yang memungkinkan pemeriksaan

dan perawatan jejunum dan ileum pada hampir seluruh pasien. Sistem ini terdiri

dari enteroskop 200 cm dan tabung 145 cm dengan balon latex lembut di

ujungnya. Balon ini digunakan untuk menempel pada dinding intestinal sehingga

endoskop dapat masuk lebih dalam tanpa melukai usus (Kopacova, Tacheci,

Rejchrt, and Bures, 2009).


16

IOE adalah kombinasi laparotomi (atau laparoskopi) dengan endoskopi.

Sistem ini membuat seluruh permukaan usus halus terlihat dan hampir seluruh

polip terangkat pada endoskopik atau pembedahan.

IOE ditetapkan sebagai tahap penentuan diagnosa terakhir dan/atau prosedur

terapi untuk pemeriksaan usus halus secara lengkap, terutama sebelum DBE

digunakan. Sebuah artikel yang dikeluarkan oleh British Journal of Surgery pada

tahun 1995 merekomendasikan IOE sebagai perawatan untuk polip usus halus

atau nyeri abdomen pada pasien PJS. Saat itu, IOE dapat mengangkat polip tanpa

membutuhkan enterotomi tambahan dan membantu menurunkan frekuensi

laparotomy (Gambar 2.7) (Kopacova, Tacheci, Rejchrt, and Bures, 2009).

Gambar 2.7 Enteroskopi intra-operatif (IOE)


(Sumber: Kopacova et al, 2009).

Aplikasi klinis pertama DBE pada 1999 dan dilaporkan 2001 oleh penemunya

Yamamoto et al. Pada 2003, DBE digunakan untuk tindakan klinis dan telah

menggantikan IOE pada sebagian besar indikasi. DBE merupakan pengganti yang

tepat untuk enteroskopi, IOE, dan terkadang sebagai terapi lanjutan usus halus

pada pasien follow-up untuk memastikan tidak ada lagi polip pada usus halus, dan
17

computed tomography (CT). Terlepas dari ini, terdapat sebagian kecil pasien yang

tidak cocok untuk metode DBE ini. Adanya perlekatan usus setelah pembedahan

sebelumnya membuat metode DBE menjadi tidak dapat dilakukan. Pemberian

informasi kepada semua pasien perlu dilakukan sebelum DBE tentang adanya

kemungkinan bedah laparotomy dengan IOE atau reseksi usus jika terjadi

kegagalan dengan metode DBE (Kopacova, Tacheci, Rejchrt, and Bures, 2009).

Pembersihan polip intestinal perlu dilakukan sebanyak mungkin (polip yang

berukuran lebih dari 5 mm). Oncel et al membandingkan 2 kelompok pasien PJS.

Kelompok pertama terdiri dari 8 pasien yang hanya fokus pada pembedahan

karena perdarahan atau penyumbatan. Pasien-pasien ini membutuhkan lebih dari

23 kali operasi bersama 87 pasien yang melakukan follow up tahunan (2.64

operasi per tahun). Kelompok kedua yang terdiri dari 3 pasien dioperasi

menggunakan IOE, dengan pengangkatan semua polip intestinal. Pasien ini tidak

membutuhkan operasi lanjutan. Pengangkatan polip intestinal yang tepat waktu

dan pemeriksaan secara teliti merupakan standar wajib untuk pasien PJS.

2.8.1 IOE (Intra-operative Endoscopy)

IOE masih merupakan metode yang berguna untuk pasien kelompok khusus

seperti kegagalan DBE, adhesi, lesi kecil transmural (menyebar pada seluruh

organ) yang tidak dapat dirawat dengan metode endoskopi, karsinoid, dan blue

rubber bleb nervus syndrome. IOE mulai digunakan pada 1995 dan telah

menyelesaikan lebih dari 7000 endoskopi gastrointestinal tiap tahunnya. Setelah

keluarnya DBE pada Maret 2006, pemakaian IOE menurun hingga 1-2 kasus per

tahunnya (Kopacova, Tacheci, Rejchrt, and Bures, 2009).


18

IOE tetap menjadi metode unik untuk pemeriksaan usus kecil dan solusi pada

beberapa temuan patologis. Pemeriksaan yang dilakukan adalah invasif, sehingga

indikasi yang tepat menjadi sangat penting. Prosedur dilakukan di ruang operasi

bersama tim bedah. Salah satu keuntungan IOE adalah terlibatnya dokter bedah

sehingga endoskopis dapat lebih tenang dalam melakukan tindakan yang invasif.

Kerjasama yang baik dari dokter bedah, endoskopis, dan dokter anestesi sangat

diperlukan (Kopacova, Tacheci, Rejchrt, and Bures, 2009).

Sehari sebelum pemeriksaan, dilakukan persiapan kolonoskopi standar

(natrium fosfat oral atau larutan makrogolum). Semua pasien diperiksa di bawah

anestesi umum dan diintubasi. Dokter yang melakukan endoskopi menjadi bagian

dari tim operasi. IOE menggunakan laparotomi standar dengan enterotomi. Polip

diangkat menggunakan perangkap polipektomi. Beberapa polip yang lebih besar,

diangkat dengan bedah eksisi karena lebih mudah dan cepat.

2.8.2 DBE

DBE memiliki saluran tambahan dan memungkinkan dlakukannya perawatan

endoskopi, termasuk polipektomi. DBE juga berguna untuk kasus kolonoskopi

yang sulit, dengan tingkat kesuksesan kolonoskopi total antara 88-100%. DBE

sudah digunakan di berbagai negara. Secara klinis, DBE digunakan untuk

menegakkan diagnosa, memulai perawatan dan endoskopi terapeutik. DBE

merupakan metode yang aman untuk mengambil jaringan guna keperluan

diagnosa dan polipektomi (Kopacova, Tacheci, Rejchrt, and Bures, 2009).


19

Gambar 2.8 Double Balloon enteroscopy. (Sumber:


http://www.evemedical.com/products/4450HD_do
uble.htm)

Pemeriksaan dilakukan setelah puasa semalam, atau setelah persiapan usus

menggunakan persiapan kolonoskopi standar (natrium fosfat oral atau larutan

makrogolum) dan prosedur anal (retrograde). Inspeksi keseluruhan oleh DBE

biasanya didapat dengan kombinasi intubasi oral dan anal; tingkat kesuksesan 40-

80%. Untuk mengkonfirmasi enteroskopi total, digunakan tinta tato Indian pada

usus. Enteroskopi total juga dikonfirmasi jika mencapai caecum dengan

pendekatan secara oral, yang dicapai dalam 10% dari keseluruhan DBE oral

(Kopacova, Tacheci, Rejchrt, and Bures, 2009).

Gambar 2.9 Teknik endoskopi untuk menandai area


polipektomi menggunakan tinta. (Sumber :
http://www.hopkinscoloncancercenter.org/)
20

CO2 telah digunakan dalam prosedur DBE sejak 2007 dan tidak ditemukan

adanya komplikasi dengan hiperinflasi, tingkat kenyamanan pasien meningkat,

dan tipe insuflasi ini membantu insersi endoskopi yang lebih mudah dan lebih

dalam, karena absorpsi CO2 150 kali lebih cepat daripada absorpsi udara pada

usus. Kombinasi air dengan simetikon digunakan secara rutin untuk

menghilangkan polip pada usus (Kopacova, Tacheci, Rejchrt, and Bures, 2009).

Akses pembuluh vena didapat sebelum prosedur. Seluruh pasien diawasi

selama prosedur saat saturasi oksigen, denyut jantung, dan tekanan darah.

Kristaloid intravena dilakukan selama DBE. Sedasi sadar terlihat lebih baik pada

DBE dibandingkan anestesi umum. Nyeri abdomen menjadi tanda peringatan

yang sangat penting, dan prosedur harus segera diselesaikan. Nyeri hebat menjadi

tanda adanya tekanan yang tidak adekuat pada pancreas dan resiko tinggi

pankreatitis pasca-DBE. Midazolam dan pentazokin dosis ulang dipakai secara

intravena untuk sedasi sadar (Kopacova, Tacheci, Rejchrt, and Bures, 2009).

Pendekatan oral lebih dipilih pada semua pasien, karena jumlah polip lebih

banyak di jejunum daripada ileum. Jika panenteroskopi tidak didapat dari

pendekatan oral, dilakukan penandaan dengan tinta. Kapsul kontrol enteroskopi

(bagian dari DBE yang berbentuk bola) dilakukan setelahnya untuk mencari

kemungkinan polip tambahan pada daerah yang tidak diperiksa (di distal usus

halus di bawah tanda tinta). Setelah polip tambahan ditemukan, dilanjutkan oral

DBE dan menuntaskan polipektomi (Kopacova, Tacheci, Rejchrt, and Bures,

2009).
21

Terapi endoskopi pada usus halus yang memiliki dinding sangat tipis, harus

dilakukan dengan perhatian khusus untuk mencegah komplikasi seperti

perdarahan dan perforasi. Untuk mencegah perdarahan, digunakan koagulasi

murni untuk memotong hamartomas bertangkai panjang. Jika batang cukup

panjang untuk mencegah hiperkoagulasi dinding usus, metode ini aman dan

sangat berguna. Namun, metode ini tidak digunakan pada polip dengan tangkai

pendek atau untuk polip tak bertangkai. Jika koagulasi terlalu banyak digunakan,

dapat memicu hiperkoagulasi dinding usus dan perforasi dalam beberapa hari

setelah prosedur.

Gambar 2.10 Teknik endoskopi dengan reseksi


menggunakan kawat pada polip
bertangkai panjang. (Sumber:
http://www.hopkinscoloncancercent
er.org/)
22

Gambar 2.11 Prosedur endoskopi menggunakan DBE. (Sumber:


http://www.evemedical.com/products/4450HD_double.ht
m)

Gambar 2.12 Ilustrasi Sistem DBE. (Sumber: http://www.e-


guide.ecco-ibd.eu/interventions-investigational/
endoscopic-procedures)

2.8.3 Kemopreventif

Beberapa penelitian membuktikan efektivitas kemopreventif rapamisin pada

PJS dengan model tikus. Rapamisin (sirolimus) adalah kompon makrolid dengan

sifat imunosupresan yang didapat dari Streptomyces hydroscopicus. Terapi


23

rapamisin mengarah pada reduksi berat dan ukuran polip. Pengurangan signifikan

pada kepadatan pembuluh mikro terlihat pada polip tikus yang diterapi rapamisin

dibandingkan kelompok kontrol. Efek antiangiogenik rapamisin diduga berperan

terhadap pengurangan polip (Kopacova, Tacheci, Rejchrt, and Bures, 2009).

Aktivitas antiproliferasi yang kuat dari antibiotik makrolid rapamisin

diketahui terlibat dalam pengikatan obat terhadap reseptor sitosolik, FKBP12, dan

interaksi dengan target rapamisin, menghasilkan inhibisi p70 S6 kinase. Efek

antiproliferasi rapamisin berhubungan dengan pencegahan mitogen yang

menginduksi penurunan cyclin-dependent kinase inhibitor p27Kip1, yang

menjelaskan bahwa yang terakhir memainkan peran penting dalam perkembangan

jalur target adalah rapamisin. Sel Murin BC3H1, sel yang diambil dari otak tikus,

dipilih karena resisten terhadap hambatan pertumbuhan oleh rapamisin,

menunjukkan p70 S6 kinase yang utuh namun memiliki level p27 yang rendah

sehingga tidak responsive terhadap mitogen atau rapamisin (ATCC, 2014).

Fibroblast dan sel limfosit T dari tikus dengan gangguan gen p27Kip1 memiliki

respon hambatan pertumbuhan yang tidak seimbang terhadap rapamisin. Hasil ini

menunjukkan bahwa kemampuan untuk meregulasi tingkat p27Kip1 penting bagi

rapamisin untuk menggunakan efek antiproliferasinya (Kopacova, Tacheci,

Rejchrt, and Bures, 2009).

Penelitian pilot open-label yang dimulai tahun ini oleh Universitas Utah dan

merekrut anggota melalui internet (www.clinicaltrials.gov). Analog rapamisin

yang telah disetujui FDA dan digunakan di lebih dari 50 percobaan klinis,

sehingga diharapkan akan dapat digunakan untuk perawatan pasien PJS.


24

De Leng et al meneliti adanya COX-2 pada PJS. Epitelial COX-2 tingkat

sedang atau tinggi ditemukan pada 25% hamartomas, termasuk 2 hamartomas

dengan perubahan dysplasia, dan 64% karsinoma. Kehadiran COX-2 pada

karsinoma PJS dan hamartomas displastik memberi dasar pemikiran untuk

kemopreventif dengan obat NSAID atau penghambat COX-2. Perubahan

imunohistokimia, yang dapat mengindikasikan potensi premaligna, terdapat pada

beberapa hamartomas PJS nondisplastik. Perubahan molekular pada karsinoma

dan hamartomas displastik pada PJS berbeda dari adenoma-karsinoma pada

umumnya (Kopacova, Tacheci, Rejchrt, and Bures, 2009).

Penelitian Udd et al dilakukan untuk menentukan apakah penghambatan

COX-2 menurunkan beban tumor pada Lkb1(+/-) tikus atau pasien PJS. Interaksi

genetik antara COX-2 dan Lkb1 pada pembentukan polip dianalisa pada tikus

dengan defisiensi gen kombinasi. Penghambatan farmakologis COX-2 diperoleh

dari penambahan diet Lkb1(+/-) tikus dengan celecoxib. Pada pasien PJS, COX-2

dihambat dengan dosis harian celecoxib 2x200 mg 6 mo. Total beban polip dalam

Lkb1(+/-) tikus menurun pada COX-2(+/-) (53%) dan pada COX-2(-/-) (54%).

Perawatan celecoxib dimulai sebelum polyposis (3.5-10 mo) memicu penurunan

beban tumor (86%) dan dihubungkan dengan penurunan vaskularisasi polip.

Perawatan yang lambat (6.5-10 mo) juga memicu penurunan polip besar. Dalam

studi klinis, pasien PJS (2/6) lebih menyukai celecoxib dengan pengurangan

polyposis lambung. Kedua penelititian menunjukkan bahwa kemopreventif COX-

2 bermanfaat pada perawatan PJS (Kopacova, Tacheci, Rejchrt, and Bures, 2009).
25

Metformin menunjukkan penghambatan aktivitas mTOR pada sel kanker

payudara namun tidak dapat menghambat mTOR pada sel yang kekurangan

STK11. Berdasarkan data-data ini, tidak diketahui dengan jelas seberapa efektif

metformin terhadap pasien PJS.

Faktor gaya hidup termasuk berat berlebih, kurang olahraga, merokok, dan

alkohol merupakan faktor resiko untuk kanker yang berhubungan dengan PJS.

Meskipun tidak ada penelitian pada pasien PJS yang menunjukkan bahwa faktor

resiko ini menurunkan resiko kanker, semua pasian PJS harus memiliki gaya

hidup yang sehat (Kopacova, Tacheci, Rejchrt, and Bures, 2009).

2.8.4 Pengalaman pasien peutz jegher syndrome secara umum

Teknologi endoskopi yang baru dapat memperbaiki manajemen polip

intestinal. Saat ini, DBE yang dikombinasikan dengan kapsul endoskopi

merupakan standar utama untuk diagnosis dan perawatan usus halus (Kopacova,

Tacheci, Rejchrt, and Bures, 2009).

Tabel 1. Keuntungan dan kerugian metode endoskopi


Metode Intra-operative endoscopy Double balloon enteroscopy
(IOE) (DBE)
Keuntungan Seluruh polip dihilangkan Kurang invasif
dalam satu prosedur.
Partnership dengan dokter Ditoleransi dengan baik
bedah
Tidak memakan banyak waktu Durasi waktu sakit pascca
untuk endoskopi endoskopi yang pendek
Kerugian Dibutuhkan untuk laparotomy Seringkali dibutuhkan lebih
dari satu prosedur
Kemungkinan terbentuknya Tidak sesuai untuk beberapa
perlekatan pasien (karena adanya
perlekatan)
Waktu pemulihan yang lama Prosedur yang lama
26

Indikasi IOE telah lama tergantikan oleh perkembangan DBE walaupun baru

diperkenalkan di praktik klinis. IOE digunakan untuk kasus yang tidak dapat

dirawat dengan DBE atau gagal untuk menginvestigasi keseluruhan usus halus,

khususnya untuk mencegah reseksi usus secara berlebihan (Kopacova, Tacheci,

Rejchrt, and Bures, 2009).

2.9 Follow up dan pemeriksaan keganasan

Seluruh penderita PJS telah terdaftar dalam skrining di sepanjang hidupnya

dikarenakan tingginya risiko karsinoma yang berbeda. Beberapa laporan kasus

pada literatur telah menunjukkan adanya keganasan pada pasien yang sangat

muda, bahkan pada anak-anak. Tidak terdapat konsensus atau pedoman dari

organisasi yang diterima untuk pengawasan kanker pada pasien PJS. Protokol

yang berbeda digunakan di John Hopkins Hospital, St.Mark Hospital, The Mayo

Clinic, The University of Edinburg, Danish Polish Registry, dan The University of

Newcastle (Australia). Terdapat banyak perbedaan di antara protokol yang ada,

namun protokol manapun yang digunakan, sebaiknya dimodifikasi sesuai sumber

daya yang tersedia, manifestasi penyakit pada setiap pasien, situasi psikososial,

dan keinginan pribadi pasien (Kopacova, Tacheci, Rejchrt, and Bures, 2009).

Skrining pada keganasan yang mungkin muncul harus dilakukan dengan

konsisten pada semua pasien dengan PJS : kolonoskopi, endoskopi atas, CT, MRI,

atau ultrasonik pada pankreas, foto rontgen dada, mamografi, dan pemeriksaan

pelvis dengan ultrasound pada wanita, pemeriksaan testikuler pada laki-laki,


27

antigen karbohidrat 19-9 (CA-19-9), dan antigen kanker (CA 125) (Kopacova,

Tacheci, Rejchrt, and Bures, 2009).

Tabel 2. Skrining kanker pada pasien PJS


Lokasi Usia Perioditas Metode skrining
kemungkinan inisiasi
tumor skrining
Kolon 15 tahun 2 tahun Kolonoskopi, CA 19-9
Oral 15 tahun 2 tahun Gastroskopi
Usus halus 15 tahun 2 tahun Enteroskopi kapsul atau scan
MRI
Payudara 21 tahun Bulanan Pemeriksaan sendiri
6-12 bulan Sonografi atau mamografi,
CA 125
Kelenjar tiroid 18 tahun 1 tahun Sonografi, pemeriksaan klinis
Pankreas 18 tahun 1 tahun Sonografi atau CT atau MRI
Uterus dan ovaria 18 tahun 1 tahun Sonografi, pemeriksaan klinis
testes 18 tahun 1 tahun Sonografi, pemeriksaan klinis
Paru-paru 18 tahun 5 tahun X ray, pemeriksaan klinis

2.10 Terapi manifestasi oral

Secara umum, lesi pigmentasi fokal dapat diangkat, baik untuk tujuan

diagnosis maupun terapi. Namun, terlepas dari kasus yang berhubungan dengan

jaringan neoplasia, intervensi bedah kurang dipilih untuk pigmentasi multifokal

atau difus. Terapi laser telah terbukti sebagai cara yang efektif untuk merawat

pigmentasi oral yang mengganggu, namun efek terapinya, setidaknya 20% dari

pasien yang telah dirawat mengalami rekurensi pigmentasi sebagian. Beberapa

jenis laser telah digunakan, termasuk superpulsed co2, Q-switched nd-yag, dan Q-

switched alexandrite lasers. Pigmentasi perioral dan wajah lebih menantang untuk

dirawat karena adanya komplikasi pasca operasi, termasuk hiperpigmentasi pasca

inflamasi. Walaupun laser dan cryotherapy telah sukses digunakan untuk merawat

beberapa kasus, fototerapi juga dapat digunakan termasuk fractional


28

photothermolysis. Namun, terapi lini pertama tetap aplikasi medikemen topikal,

yaitu krim pemutih. Walaupun agen tunggal seperti asam azelaik atau hidrokuinon

telah digunakan, namun lebih umum menggunakan terapi kombinasi dua atau tiga

obat. kombinasi hidrokuinon 4%, asam retinoik 0,05%, dan flukonilon asetonida

0,01% telah terbukti efektif pada lebih dari 90% pasien. Namun, sebagian besar

pasien yang menjalani terapi ini dapat mengalami sensitivitas imunologi atau efek

samping, seperti terbentuknya okronosis eksogen. Okronosis eksogen merupakan

hiperpigmentasi kutaneus dengan atau tanpa striae atrofik dan kekasaran kulit,

atau pembentukan beberapa papula hitam yang menyatu. Fenomena ini lebih

sering terjadi pada individu berkulit hitam, terutama wanita yang telah melakukan

terapi bleaching jangka panjang (Greenberg, Glick, and Ship , 2008).


BAB III

KESIMPULAN

Peutz- Jeghers syndrome (PJS) termasuk diantara sindrom familial

hamartomatous polyposis paling penting, dan berhubungan dengan angka

morbiditas yang signifikan, variabel klinis dan memiliki kecenderungan ke arah

keganasan (Kopacova, Tacheci, Rejchrt, and Bures, 2009).

PJS memiliki karakteristik berupa pigmentasi mukokutaneus dan

berhubungan dengan polip gastrointestinal. Risiko terjadinya keganasan

gastrointestinal dan ekstraintestinal meningkat secara signifikan. Tumor

ginekologis dan gonad juga terlihat (McGarrity, Amos, Frazier, and Wei, 2013).

Manifestasi oral dari PJS berupa makula melanotik berwarna coklat, fokal,

dan multipel terkonsentrasi di bibir sedangkan kulit wajah yang lain kurang

terlibat. Makula terlihat sebagai bintik-bintik atau ephelide, biasanya berdiameter

<0,5 cm (Greenberg, Glick, and Ship, 2008). Secara histologis, meningkatnya

melanosit terlihat pada epidermal-dermal junction, dengan peningkatan melanin

di basal sel, kemungkinan disebabkan oleh inflammatory block migrasi melanin

dari melanosit ke keratinosit (Beggs et.al., 2011).

Perawatan pasien PJS meliputi IOE, DBE, kemopreventif, serta skrining

keganasan sepanjang hidup juga penting untuk dilakukan. Selain itu, penting pula

untuk memeriksa keluarga pasien. Walaupun insidensi PJS rendah, seorang klinisi

penting untuk mengenali kelainan-kelainannya untuk mencegah morbiditas dan

mortalitas pada pasien-pasien tersebut, serta dalam melaksanakan uji

27
28

presimptomatik pada pasien yang berisiko (Kopacova, Tacheci, Rejchrt, and

Bures, 2009).
DAFTAR PUSTAKA

ATCC. 2014. BC3H1 (ATCC CRL-1443). http://www.atcc.org/products/all/CRL-


1443.aspx#generalinformation diakses pada 24 November 2015 pukul 20.05
WIB
Beggs, A.D., Latchford, A.R., Vase, H.F.A. et al. Peutze Jeghers syndrome: a
systematic review and recommendations for management. Gut. 2010.
59:975-986.

Calva, D., and Howe, J.R. Hamartomatous Polyposis Syndrome. Surg Clin North
Am. 2008. 88(4): 779–vii.
Greenberg, M.S., Glick, M., and Ship, J.A. 2008. Burket’s Oral Medicine 11th Ed.
Hamilton: BC Decker Inc. p.119.
Kopacova, M., Tacheci, I., Rejchrt, S., and Bure, J. Peutz-Jeghers syndrome:
Diagnostic and therapeutic approach. World Journal of Gastroenterology.
2009. 5(43): 5397-5408.
McGarrity T.J., Amos C.I., Frazier A.L., and Wei C. Peutz-Jeghers Syndrome.
Gene Review. NCBI Bookshelf. 2013.
http://www.evemedical.com/products/4450HD_double.htm diakses pada 6
Oktober 2015 pukul 19.07 WIB
http://www.e-guide.ecco-ibd.eu/interventions-investigational/endoscopic-
procedures diakses pada 6 Oktober 2015 pukul 19.15 WIB
Colonoscopy Screening Test. Johns Hopkins Medicine Colorectal Cancer.
http://www.hopkinscoloncancercenter.org/CMS/CMS_Page.aspx?CurrentU
DV=59&CMS_Page_ID=33CD25B0-CCC6-4F55-A226-3C202E67D0B1
diakses pada 6 Oktober 2015 pukul 19.40 WIB

29

Anda mungkin juga menyukai