Anda di halaman 1dari 22

ANALISIS JURNAL

PENGARUH TERAPI KOMPRES HANGAT DENGAN JAHE


TERHADAP PERUBAHAN INTENSITAS NYERI PADA LANSIA
YANG MENDERITA ARTHRITIS REUMATOID

DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA PUSPAKARMA


MATARAM

DI SUSUN OLEH

NURUL SETIYOWATI

NIM : 11172024

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PERTAMEDIKA


JAKARTA

2018
BAB I
ANALISA JURNAL

A. JUDUL JURNAL

Pengaruh terapi kompres hangat dengan jahe terhadap perubahan intensitas nyeri pada
lansia yang menderita arthritis reumatoid di panti sosial tresna werdha puspakarma
mataram.

B. NAMA PENELITI
I Made Eka Santosa, Ainun Jaariah, Muhammad Arsani

C. LATAR BELAKANG JURNAL


Nyeri adalah perasaan tidak nyaman yang betul-betul subyektif dan hanya orang yang
menderitanya yang dapat menjelaskan dan mengevaluasinya.Salah satu tindakan
peredaan nyeri pada pasien yang mengalami nyeri arthritis rheumatoid adalah dengan
terapi kompres hangat dan masase terapi jahe dimana menyebabkan pengeluaran
endorphin pada tahap modulasi nyeri yang dapat menyebabkan vasodiltasi sehingga
dapat meningkatkan aliran darah dan rasa nyeri pun bisa berkurang dan berhenti.

D. TUJUAN PENELITIAN
Untuk mengetahui perbedaan pengaruh terapi kompres hangat dengan pemberian
masase terapi jahe terhadap perubahan intensitas nyeri pada lansia yang menderita
arthritis reumatoid di Panti Sosial TresnaWerdha ”Puspakarma” Mataram.

E. TEMPAT PENELITIAN
Di Panti Sosial TresnaWerdha ”Puspakarma” Mataram

F. METODE PENELITIAN
Menggunakan rancangan penelitian two group pre-post test design. Tehnik
pengambilan sampel yaitu menggunakan tehnik total sampling, dengan jumlah sampel
sebanyak 24 responden. Analisa data menggunakan uji statistic t-test.
G. ANALISA JURNAL (PICO)
1. Problem

Populasi yang diambil adalah semua lansia yang mengalami nyeri artritis reumatoid di
Panti Sosial Tresna Werdha ”Puspakarma” Mataram yang berjumlah sebanyak 24 orang
2. Intervention
Peneliti menggunakan lembar observasi berupa Skala Bourbonai suntuk
mengukur intensitas nyeri saat Pre-Test dan Post-test dengan melihat respon
subyek; apabila responden terlihat berkomunikasi dengan baik maka termasuk
nyeri ringan, apabila responden terlihat mendesis, menyeringai, menunjukan
lokasi nyeri, dapat mendiskripsikan nyeri , dan bisa mengikuti perintah dengan
baik maka termasuk nyeri sedang, dan apabila responden tidak mengikuti
perintah tetapi dapat merespon terhadap tindakan, dapat menunjukan lokasi
nyeri, tidak dapat mendiskripsikanya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi,
napas panjang maka termasuk nyeri berat.
Prinsip kerja kompres jahe adalah dengan cara memanaskan terlebih dahulu
rimpang jahe diatas api atau bara dan kemudian ditumbuk atau di parut dan
ditempelkan pada daerah persendian yang mengalami nyeri dan kemudian
dibungkus dengan menggunakan plastik untuk mengantisipasi agar jahe tidak
jatuh, kompres jahe ini dilakukan selama 20 menit selang 2 minggu rutin.
Selain itu kompres jahe dapat dilakukan dengan cara mengompres dengan air
rendaman jahe dan hasil maksimal akan dicapai dalam waktu 20 menit dan
mengganti air rendamannya setiap 2 menit.Kompres jahe memiliki kandungan
enzim siklo-oksigenasi yang dapat mengurangi peradangan pada penderita asam
urat,selain itu jahe juga memiliki efek farmakologi yaiutu efek panas dan
pedas(zingerol dan oleoresin tinggi)dimana senyawa ini dapat meredakan rasa
nyeri,kaku dan spasme otot atau terjadinya vasodilatasi pembuluh darah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian air rebusan jahe merah dapat
menurunkan skala nyeri rata-rata 1,37 dengan standar deviasi 1,03. Hal ini
sesuai dengan teori bahwa air rebusan jahe mengandung gingerol diduga dapat
memblok produksi prostaglandin sehingga dapat menurunkan nyeri sendi pada
penderita arthritis rheumatoid
3. Comparison
Hasil metode perbandingan dalam penanganan nyeri pada kasus RA pada lansia
adalah : bahwa terapi kompres hangat dengan jahe terhadap perubahan
intensitas nyeri pada lansia yang menderita arthritis rheumatoid dibanding
Model comfort fod for the soul (aspek relasasi dengan slow deep breath dan doa
diiringi alunan musik) “Peningkatan kenyamanan lansia dengan nyeri
rheumatoid arthritis melalui model Comfort Food For The Soul,Dhina
Widayati1, Farida Hayati” adalah lebih simple,ekonomis dan efisien.
Keuntungan lain dalam pemberian kompres hangat dan terapi massage jahe
yang dimana dapat dijadikan sebagai alternatif pilihan untuk menurunkan
intensitas nyeri arthritis reumatoid pada lansia adalah pemberian therapy ini
secara non farmakologis yang relatif tidak menimbulkan efek samping apapun.
4. Outcome
Menunjukkan bahwa intensitas nyeri pada kelompok lansia sebelum diberikan
terapi kompres hangat sebagian besar yaitu dalam kategori nyeri ringan
sebanyak 4 responden (16,67%), nyeri sedang sebanyak 6 responden (25%), dan
nyeri berat 2 responden (8,33%).
Dan di dapatkan dari keseluruhan kelompok sebelum diberikan perlakuan dari
kategori nyeri ringan 8 responden (33,33%) nyeri sedang sebanyak 12
responden (50%) dan nyeri berat 4 responden (16,67%)
Kelompok lansia setelah diberikan terapi kompres hangat dan terapi masase
jahe berturut-turut dan diobservasi, pada kelompok lansia yang diberi kompres
hangat dalam kategori nyeri ringan sebanyak 8 responden (33,33%), nyeri
sedang sebanyak 4 responden (16,67%).
Pada kelompok lansia yang diberikan terapi masase jahe yaitu dalam kategori
nyeri ringan sebanyak 5 responden (20,83%), nyeri sedang sebanyak 7
responden (29,17%)
Dan di dapatkan dari keseluruhan kelompok responden setelah diberikan
perlakuan dari kategori nyeri ringan 13 responden (54,17%) nyeri sedang
sebanyak 11 responden (45,83%).
Terapi kompres hangat dengan pemberian masase terapi jahe adalah tindakan
perawatan yang secara ilmiah terbukti bisa menurunkan intensitas nyeri pada
pasien lansia yang menderita arthritis rheumatoid,dengan efek samping yang
minimal dikarenakan tindakan ini merupakan terapi non farmakologis
H. ANALISA JURNAL /EBN
Jurnal pendukung
1. Pengaruh pemberian Kompres Hangat Jahe Terhadap Skala Nyeri Kepala
Hipertensi Pada Lansia Di Posyandu Lansia Karang Werdha Rambutan Desa
Burneh Bangkalan
Penelitian in dilakukan oleh Syiddatul B sebagai peneliti utama, penelitian ini
dilakukan pada Mei 2016 di Posyandu Lansia Karang Werdha Rambutan Desa
Burneh Bangkalan
2. Pengaruh pemberian kompres hangat (jahe) terhadap skala nyeri sendi pasien
artritis rheumatoid
Penelitian ini dilakukan oleh Enny Virda Yuniarti ,Skep,Ns,Mkes sebagai
peneliti utama dan dibantu oleh Ani Kharisma penelitian ini dilakukan pada
April tahun 2015 didesa Bulan Bleberan Kecamatan Jatirejo Mojokerto.

I. IMPLIKASI KEPERAWATAN
1. Untuk menambah pengalaman perawat dalam tindakan mandiri yang dapat
mengurangi intensitas nyeri pada lansia yang mengalami arthritis rheumatoid
2. Mengapikasikan kemampuan perawat dalam melakukan kompres hangat
dengan jahe
3. Menambah pengetahuan perawat tentang manfaat kompres hangat dengan jahe
4. Sebagai terapi non farmakologis untuk mengurangi nyeri pada lansia yang
menderita arthritis rheumatoid
5. Menambah informasi baru mengenai terapi komplementer untuk mengurangi
nyeri pada lansia yang menderita arthritis rheumatoid

J. KESIMPULAN DAN SARAN


Dalam penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa ada pengaruh terapi kompres
hangat dengan pemberian masase terapi jahe terhadap perubahan intensitas nyeri pada
lansia yang menderita arthritis rheumatoid di PantiSosial Tresna Werdha”Puspakarma”
Mataram”, Oleh karena itu, disarankan kepada perawat maupun tenaga kesehatan
lainnya sangat penting untuk memberikan KIE (Komunikasi Informasi dan edukasi)
tentang pemberian kompres hangat dan pemberian masase terapi jahe pada penderita
athritis reumatoid.
BAB II

KONSEP DASAR

A. KOMPRES JAHE
1. Definisi Jahe
Tanaman jahe (Zingiber officinale) telah lama dikenal dan tumbuh baik di
indonesia. Jahe merupakan salah satu rempah-rempah penting. Rimpangnya
sangat luas dipakai, antara lain sebagai bumbu masak, pemberi aroma dan rasa
pada makanan seperti roti, kue, biscuit, kembang gula dan berbagai minuman.
Jahe adalah tumbuhan tahunan dengan tinggi 50-100 cm. Tumbuhan ini
memiliki rimpang tebal berwarna coklat kemerahan. Daunnya sempit berbentuk
lanset dengan panjang tangaki 10-25 cm dan terdapat daun kecil pada dasar
bunga. Mahkota bunga bentuk corong, panjang 2-2,5 cm, berwarna ungu tua 31
dengan bercak krem-kuning. Kelopak bunga kecil, berbentuk tabung dan
bergerigi tiga (Ross, 1999). Berdasarkan bentuk, warna dan ukuran rimpang,
ada 3 jenis jahe yang dikenal, yaitu jahe putih besar/jahe badak, jahe putih kecil
atau emprit dan jahe sunti atau merah secara umum ketiga jahe tersebut
mengandung pati, minyak atsiri, serat,sjumlah kecil protein, vitamin, mineral,
dan enzim proteolik yang disebut Zingibain (Denyer et al 1994 dalam Hernani
dan Winarti, 2010). Tanaman jahe memiliki beberapa sebutan, antara lain
gember (Aceh), halia (Gayo). Goraka (Manado). halia, sipadao (Minangkabau),
lai (Sunda), jahe (Jahe), jae (Madura), lia tana’,lia (Gorontalo), gihoro, gisoro
(Ternate). (Heyne, 1987). Di luar negeri dikenal dengan nama ginger, red ginger
(Inggris), sunthi (Kanada), adrak, sunthi (Hindi) Djahe (Belanda) (Ross,1999;
Khare, 2007).
2. Kandungan Kimia
Jahe mengandung minyak atsiri (1-3%), oleoresin, dan protease. Oleoresin jahe
mengandung banyak zat aktif dan sebagian besar memberikan efek rasa pedas,
yaitu gingerol (Monografi ekstrak, 2004 ; Singh, Kpoor, Singh, P., Heluani,
Lampasona, & Catalan, 2008) Minyak atsirinya terdiri dari monoterpen seperti
geranial (citral a) dan neral (citral b) dan sesquiterpen seperti bisabolone,
zingiberen dan sesquithujen. Gingerol, shogaol, dan paradol merupakan
senyawa identitas dalam jahe merah yang dikenal memiiki berbagai macam
aktivitas
biologis termasuk sebagai antiinflamasi, shogaol dan zingeron banyak terdapat
pada jahe yang sudah menjadi serbuk, sebaliiknya jumlahnya sedikit pada jahe
yang masih segar. Gingerol memiliki gugus fenol yang bersifat termolabil,
sehingga bila terkena panas dan udara maka akan berubah menjadi shogaol dan
zingerol. Shogaol bisa berubah menjadi paradol (Sing et all, 2008).
Kandungan jahe bermanfaat untuk mengurangi nyeri osteoarthritis karena jahe
memiliki sifat pedas, pahit dan aromatic dari oleoresin seperti zingeron,
gingerol 32 dan shogaol. Oleoresin memiliki potensi antiinflamasi dan
antioksidan yang kuat. Kandungan air dan minyak tidak menguap pada jahe
berfungsi sebagai enhancer yang dapat meningkatkan permeabilitas oleoresin
menembus kulit tanpa menyebabkan iritasi atau kerusakan hingga sirkulasi
perifer (Swarbrick dan Boylan, 2002) Hasil penelitian Nasuda et al.1995 dan
Kim et all. 2005 menyatakan bahwa senyawa antioksidan alami dalam jahe
cukup tinggi. Beberapa senyawa, termasuk gingenol, shagaol dan zingeron
memberikan aktivitas farmakologi dan fisiologis seperti efek antioksidan, anti
inflamasi, analgesik, antikarsinogenik dan kondiokton. Penelitian tentang
manfaat jahe adalah Jolad, (2004) meneliti kandungan rizoma jahe segar dan
Wohlmuth, (2005) meneliti kandungan zat aktifnya dari oleoresin yang terdiri
dari giingerol, sungaol dan zingeberence yang merupakan homolog dari fenol
melalui proses pemanasan. Degradasi panas dari gingerol menjadi gingerone,
shogaol dan kandungan lain terbentuk dengan pemanasan rimpang kering dan
segar pada suhu pelarut air 100 C (Badreldin, 2007). Komponen jahe mampu
menekan inflamasi dan mampu mengatur proses biokimia yang mengaktifkan
inflamasi akut dan kronis seperti osteoarthritis dengan menekkan pro-inflamasi
sitokinin dan cemokin yang diproduksi oleh sinoviosit, condrosite, leukosit dan
jahe ditemukan secara efektif menghambat ekspresi cemokin (Phan, 2005).
3. Kegunaan
Jahe memiliki banyak kegunaan. Penelitian untuk menguji aktivitas
farmakologi maupun untuk mengisolasi komponen aktif sudah banyak
dilakukan dan semakin berkembang. Pada pengobatan tradisional China dan
India, jahe merah digunakan untuk mengatasi penyakit batuk, diare, mual, asma,
gangguan pernapasan, sakit gigi, dan arthritis reumatoid, dyspepsia, dan
morning sickness. Beberapa efek farmakologi yang sudah diuji baik pada hewan
coba maupun 33
secara in vitro adalah anti oksidan, antiemetik, antikanker, antinfalamasi akut
maupun kronik, antipireti, dan analgesik (Joanne, Anderson, Phillipson, 2007;
Ross,1999)
4. Kompres Jahe
Kompres jahe dapat menurunkan nyeri reumathoid artritis (Santoso, 2013).
Mengompres berarti memberikan rasa hangat pada klien dengan menggunakan
cairan atau alat yang menimbulkan rasa hangat pada bagian tubuh tertentu yang
memerlukannya (Poltekes Kemenkes maluku, 2011 dalam Fanada, 2012).
Komponen utama dari jahe segar adalah senyawa homolog fenolik keton yang
dikenal sebagai gingerol. Pada suhu tinggi gingerol akan berubah menjadi
shogaol yang memiliki efek panas dan pedas dibanding gingerol (Misrah, 2009).
Efek panas dan pedas pada jahe inilah yang dapat meredakan nyeri, kaku dan
spasme otot pada arthritis reumatoid. Sehingga jahe juga dapat digunakan untuk
mengobati penyakit, jahe juga banyak mempunyai khasiat seperti antihelmetik,
antirematik, dan peluruh masuk angin. Jahe mempunyai efek untuk menurunkan
sensasi nyeri juga meningkatkan proses penyembuhan jaringan yang mengalami
kerusakan, penggunaan panas pada jahe selain memberikan reaksi fisiologis,
antara lain : meningkatkan respon inflamasi (Utami, 2005)
Prinsip kerja kompres jahe adalah dengan cara memanaskan terlebih dahulu
rimpang jahe diatas api atau bara dan kemudian ditumbuk atau di parut dan
ditempelkan pada daerah persendian yang mengalami nyeri dan kemudian
dibungkus dengan menggunakan plastik untuk mengantisipasi agar jahe tidak
jatuh, kompres jahe ini dilakukan selama 20 menit selang 2 minggu rutin.
Selain itu kompres jahe dapat dilakukan dengan cara mengompres dengan air
rendaman jahe dan hasil maksimal akan dicapai dalam waktu 20 menit dan
mengganti air rendamannya setiap 2 menit.Kompres jahe memiliki kandungan
enzim siklo-oksigenasi yang dapat mengurangi peradangan pada penderita asam
urat,selain itu jahe juga memiliki efek farmakologi yaiutu efek panas dan
pedas(zingerol dan oleoresin tinggi)dimana senyawa ini dapat meredakan rasa
nyeri,kaku dan spasme otot atau terjadinya vasodilatasi pembuluh darah.
B. PROSEDUR KOMPRES JAHE
Prosedur kerja persiapan alat dan bahan menurut (An, 2010) adalah sebagai
berikut :
a. Alat
1. Parutan jahe
2. Baskom kecil
3. Handuk kecil
b. Bahan
1. Jahe 100gram
2. Air secukup nyac.
c. Cara kerja
Untuk pelaksaan kompres hangat jahe dapat mengikuti langkah-langkah sebagai
berikut
1. Inform consent
2. Siap kan jahe 100 gram.
3. Cuci jehe dengan air sampai bersih
4. Parut Jahe
5. Siapkan wadah dan isi dengan air hangat suhu 40-500Csecukup nya
6.Masukan handuk kecil ke dalam air hangat tersebut kemudian tunggubeberapa
saat sebelum handuk di peras
7. Peraskan handuk kemudian tempelkan ke daerah sendi yang terasa nyeriklien.
8. tambahkan parutan jahe di atas handuk tersebut.
9. Pengompresan dilakukan selam 20 menit
10. Setelah selasai bereskan semua peralatan yang telah dipakai. Sebaik
kompres hangat jehe dilakukan dua kali dalam sehari pagi dan soreagar
mendapatkan hasil yang optimal.

C. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN KOMPRES JAHE


a. Kelebihan
1. Meminimalkan konsumsi obat bagi pasien yang banyak mengandung efek
samping
2. Meminimalkan biaya bagi pasien
3. Hasil dari penelitian ini bisa ditiru atau diaplikasikan di rmasyarakat
b. Kekurangan
1. Pada jurnal ini tidak menjelaskan secara detail langkah pengompresan, tidak
ada gambar per langkah dalam melalukan kompres hangat dengan jahe.
2. Jurnal tidak menyampaikan kontraindikasi terhadap kompres hangat dengan
jahe secara jelas.

D. NYERI
a. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan
ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah
sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait
dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan
kondisi terjadinya kerusakan
b. Fisiologi nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang
nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf
bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara
potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis
reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak
bermielin dari syaraf perifer.
c. Klasifikasi
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa
bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan
pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang
timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari
daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan
kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
1) Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang
memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila
penyebab nyeri dihilangkan
2) Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang
terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan
sulit dilokalisasi

Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat
pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya.
Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri
yang tumpul dan sulit dilokalisasi.

Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi
organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri
yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan
organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.

d. Teori Pengontrolan nyeri (Gate control theory)


Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptor
dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang
mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang
kendali nyeri dianggap paling relevan (Tamsuri, 2007)
Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls
nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang
sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat
sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup.
Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan
nyeri.
Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden
dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan
substansi C melepaskan substansi P untuk mentranmisi impuls melalui
mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A
yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan neurotransmiter
penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka
akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat
terlihat saat seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan
yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang
dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka
pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika
impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak
yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen,
seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari
tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan
menghambat pelepasan substansi P. tehnik distraksi, konseling dan pemberian
plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin (Potter, 2005)
e. Respon Psikologis
Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri
yang terjadi atau arti nyeri bagi klien.
Arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda antara lain :
1) Bahaya atau merusak
2) Komplikasi seperti infeksi
3) Penyakit yang berulang
4) Penyakit baru
5) Penyakit yang fatal
6) Peningkatan ketidakmampuan
7) Kehilangan mobilitas
8) Menjadi tua
9) Sembuh
10) Perlu untuk penyembuhan
11) Hukuman untuk berdosa
12) Tantangan
13) Penghargaan terhadap penderitaan orang lain
14) Sesuatu yang harus ditoleransi
15) Bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki
Pemahaman dan pemberian arti nyeri sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan,
persepsi, pengalaman masa lalu dan juga faktor sosial budaya
f. Respon fisiologis terhadap nyeri
1) Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)
a) Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate
b) Peningkatan heart rate
c) Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP
d) Peningkatan nilai gula darah
e) Diaphoresis
f) Peningkatan kekuatan otot
g) Dilatasi pupil
h) Penurunan motilitas GI
2) Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)
a) Muka pucat
b) Otot mengeras
c) Penurunan HR dan BP
d) Nafas cepat dan irreguler
e) Nausea dan vomitus
f) Kelelahan dan keletihan
g. Respon tingkah laku terhadap nyeri
1) Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:
2) Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)
3) Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)
4) Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan gerakan
jari & tangan
5) Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan,
Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd aktivitas
menghilangkan nyeri)
Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat
berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi
kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih
untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat.
Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas karena menjadi mahir
dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri.
h. Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:
1) Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)
Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini
bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang
belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran
perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan informasi
pada klien.
2) Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)
Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat
subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda.
Toleraransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan orang
lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak
akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi
terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri
kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan
nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya
rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang.
Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana
orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar
endorfin berbeda tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit
merasakan nyeri dan individu dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih
besar.
Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari
ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan
klien itulah yang digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang
menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti
apabila klien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang
yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus
seperti itu tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien
mengkomunikasikan nyeri secara efektif.
3) Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)
Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien
masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis,
sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila
klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath)
dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam
membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan
kemungkinan nyeri berulang.
i. Faktor yang mempengaruhi respon nyeri
1) Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji
respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika
sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung
memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah
hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit
berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.
2) Jenis kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara
signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex:
tidak pantas kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).
3) Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon
terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa
nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan,
jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.
4) Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan
dan bagaimana mengatasinya.
5) Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat
mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang
meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya
distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi,
guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.
6) Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan
seseorang cemas.
7) Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini
nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya.
Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa
lalu dalam mengatasi nyeri.
8) Pola koping

Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan


sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang
mengatasi nyeri.

9) Support keluarga dan sosial


Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga
atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan
Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh
individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan
kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh
dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan
pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon
fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik
ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri
(Tamsuri, 2007).

Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :

1) skala intensitas nyeri deskritifskala intensitas nyeri deskritif

2) Skala identitas nyeri numerik

3) Skala analog visual

4) Skala nyeri menurut bourbanis

Skala nyeri menurut bourbanis

Keterangan :

Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.
4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti
perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti
perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi
nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih
posisi nafas panjang dan distraksi
10 Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi,
memukul.

Karakteristik paling subyektif pada nyeri adlah tingkat keparahan atau intensitas nyeri tersebut.
Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau parah.
Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu
informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan.

Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih obyektif. Skala
pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari
tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis.
Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”.
Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri
trbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling
menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini
memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian
numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi
kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif
digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila
digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992).

Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah suatu
garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada
setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan
nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien
dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau
satu angka (Potter, 2005).

Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak
mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien dapat membaca dan
memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan
saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi
klien. Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau
menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter, 2005).

E. RHEUMATOID ARTHRITIS
a. Pengertian Rheumatoid Arthritis Kata berasal dari dua kata Yunani. Pertama,
Arthron yang berarti sendi. Kedua it is yang berarti peradangan. Secara harfiah,
arthritis berarti radang sendi. Rheumatoid Arthritis merupakan inflamasi
kronisyang paling sering ditemukan pada sendi.Pengertian Rheumatoid Arthritis
menurut para ahli, sebagai berikut (Rheumatoid arthritis adalah suatu penyakit
autoimun dimana persendian )biasanya sendi tangan dan kaki( mengalami
peradangan,sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali akhir
menyebabkan kerusakan bagian dalam sendi,mengatakan bahwa, rheumatoid
arthritis adalah penyakit jaringan penyambung sistemik dan kronis
dikarakteristikkan olehinflamasi dari membran sino/ial dari sendi
diartroidial.&(Rheumatoid Arthritis adalah penyakit inflamasi non bakterial yang
bersifat sistemik, progresif, cenderung kronis, yang bersifat menyerang berbagai
sistem organ. Penyakit ini adalah salah satu dari sekelompok penyakit jaringan
penyambung difus yang diperantarai oleh imunitas, biasanya terjadi destruksi sendi
progresif walaupun episode peradangansendi dapat mengalami masa remisi
b. Masa remisi : hilangnya secaralengkap atau partial dari tanda-tanda dan gejala
penyakit sebagai responterhadap pengobatan, masa dimana penyakit dibawah
kontrol. Remisitidak selalu berarti kesembuhan.etiologi dari Rheumatoid Arthritis
sampai saat ini belum diketahui secara pasti, namun faktor predisposisinya adalah
mekanisme,imunitas antigen antibody, faktor metabolik, dan infeksi
Faktor autoimun atau mekanisme imunitas antigen antibodi(seperti interaksi Ig+
dari imunoglobulin dengan rhematoid faktor. Rheumatoid Factor merupakan
antibodi yang sering digunakan dalam diagnosis RA dan sekitar 567 indi/idu yang
mengalami RA juga memiliki nilai R4 yang positif. Kelemahan R4 antara lain
karena nilai R4 positif juga terdapat pada kondisi penyakit autoimun lainnya,
infeksi kronik, dan bahkan terdapat pada kurang lebih 67 populasi sehat terutama
individu usia lanjut. Oleh karena itu, adanya penanda spesifik dan sensitif yang
timbul pada a%al penyakit sangat dibutuhkan. Anticyclic citrullinated antibody
merupakan penanda baru yang berguna dalamdiagnosis RA. Walaupun memiliki
keterbatasan, R4 tetap banyak digunakan sebagai penanda RA dan penggunaan R4
bersama-sama antibodi sangat berguna dalam diagnosis RA. faktor infeksi
mungkin disebabkan oleh virus dan organisme mikoplasma atau grup difteroid yang
menghasilkan antigen kolagen tipe dari tulang radagn sendi.Hipotesis terbaru
tentang penyebab penyakit ini adalah faktor genetik yang mengarah pada
perkembangan penyakit setelah terjangkit beberapa penyakit virus. Klasifikasi
Rheumatoid Arthritis mengklasifikasikan rheumatoid arthritis menjadi :
 Rheumatoid arthritis klasik pada tipe ini harus terdapat 5 kriteriatanda dan
gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, palingsedikit dalam
waktu $ minggu
 Rheumatoid arthritis defisit pada tipe ini harus terdapat 6 kriteriatanda dan
gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, palingsedikit dalam
waktu $ minggu. & probable rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat
& kriteria tanda dan geala sendi yang harus berlangsung terus menerus,
palingsedikit dalam waktu 5 minggu.
 Possible rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria tanda dan
gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam
waktu
c. Patofisiologi
Pada rheumatoid arthritis, reaksi autoimun yang dijelaskan sebelumnya terutama
terjadi dalam jaringan sinovial. Proses fagositosis menghasilkan enzim enzim
dalam sendi,tersebut akanmemecah kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi
membran synovial dan akhirnya pembentukan pannus. Pannus akan
menghancurkan tulang dan dan menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah
menghilangnya permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Otot akan
turut terkena karena serabut otot akan mengalami perubahan degeneratif dengan
menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan kontraksi otot. Rheumatoid arthritis
berbeda pada setiap orang ditandai dengan adanya masa serangan dan tidak adanya
serangan.Sementara ada orang yang sembuh dari serangan pertama dan
selan*utnyatidak terserang lagi. >amun pada s ebagian kecil indi/idu ter*adi
progresif yang cepat ditandai dengan kerusakan sendi yang terus menerus dan teradi
vaskulitis.
Manifestasi klinis dan gambaran klinis Rheumatoid Arthritis sangat bervariasi,
bergantung pada keluhan yang ada, distribusi, stadium, dan progresisitas penyakit.
Gejala terjadi adi pada beberapa sendi sehingga disebut poliarthritis rheumatoid.
Persendian yang paling sering terkena adalahsendi tangan, pergelangan tangan,
sendi lutut, sendi siku, pergelangankaki, sendi bahu, serta sendi panggul, dan
biasanya bersifat bilateral simetris. Stadium awal biasanya ditandai dengan
gangguankeadaan umum berupa malaise, penurunan berat badan, rasa capek,
sedikit panas, dan anemia, anoreksia, takikardi, biasanya berupa kaku sendi
terutama pada pagi hari ,morning stiffness( biasanya berlangsung tidak lebih dari 3
menit, pembengkakan, nyeri, hiperemi dangangguan gerak pada sendi
metakarpoalangeal
d. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan laboratorium
Sedimentasi eritrosit meningkat,anemia sel darah merah dan komponen
menurun dan leukositosis
2. Pemeriksaan radiologi dengan foto roentgen
Periartricular osteoporosis, permulaan persendian erosi,cairan sinovial
menuntukkan adanya proses radang aseptik, cairan darisendi dikultur dan bisa
diperiksa secara makroskopik. Cairan berwarna keruh seperti susu atau kuning
gelap, dan mengandung banyak selinflamasi seperti leukosit dan komplemen
e. Penatalaksanaan
Tujuan utama terapi adalah:
1. meringankan rasa nyeri dan peradangan
2. Memperatahankan fungsi sendi dan kapasitas fungsional maksimal penderita.
3. Mencegah atau memperbaiki deformitas terapi di mulai dengan pendidikan
pasien mengenai penyakitnyadan penatalaksanaan yang akan dilakukan
sehingga terjalin hubungan baik antara pasien dan keluarganya dengan dokter
atau tim pengobatan yang merawatnya.
f. Pencegahan
Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah datangnya penyakit rheumatoid
arthritis antara lain tidak melakukan olahraga secara berlebihan, menjaga berat
badan tetap stabil, menjaga asupan makanan selalu seimbang sesuai dengan
kebutuhan tubuh, terutama banyak memakan ikan laut. Mengkonsumsi suplemen
bisa menJadi pilihan,terutama yang mengandung Omega.
F. REFERENSI
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Edisi
Revisi V. Rineka Cipta: Jakarta.
Arikunto,S.2006.Prosedur penelitian suatu pendekatan peraktek.Jakarta:Rineka
medika
Brunner & Suddarth. (2004). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah vol 1. Jakarta:
EGC
Chayatin,M., Santoso. 2009. Ilmu Keperawatan Komunitas Konsep Dan Aplikasi Edisi
2. Salemba Medika: Jakarta.
Darmojo, B. (2006). Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan UsiaLanjut) Edisi Ke-3, Balai
Pustaka FKUI, Jakarta.
Hegner,B.R., Caldwell,E. 2003. Asisten Keperawatan Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan. Ed.6. EGC: Jakarta.
Hidayat, A.A. 2006. Pengantar kebutuhan dasar manusia : aplikasi konsep dan proses
keperawatan. jakarta : salemba mediak
Irianto,K. 2004. Struktur Dan Fungsi Tubuh Manusia Paramedis, Bandung: Yrama
Widya.
Kenworthy. (2002). Common Foundation Studies in Nursing , Third Edition, Churchill
Livingstone, USA
Kozier,B., Berman,A. 2009. Buku Ajar Praktek Keperawatan Klinis.Ed. 5. EGC:
Jakarta.
Lukito, 2007. Jahe dan hasil olahannya.jakarta: pustaka sinar harapan.
Lukman., Ningsih,N. 2011. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan
Sistem Muskuloskletal, Salemba Medika: Jakarta.
Maheshwari H.2002.Pemanfaatan obat alami: Potensi dan prospek pengembangan
(online). http:// rudct.tripod.com./sem2_012/hera_maheshwari.htm
Mubarak, Wahit Iqbal dan Chayatin, Nurul, 2009. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Jakarta:
Salemba Medika.
Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Ed. Rev. Rineka Cipta:
Jakarta
G. LAMPIRAN JURNAL ASLI
1. Jurnal Utama
Pengaruh terapi kompres hangat dengan jahe terhadap perubahan intensitas nyeri pada
lansia yang menderita arthritis reumatoid di panti sosial tresna werdha puspakarma
mataram
I Made Eka Santosa, Ainun Jaariah, Muhammad Arsani
Staff Pengajar STIKES Mataram
2. Jurnal Pendukung
Pengaruh pemberian Kompres Hangat Jahe Terhadap Skala Nyeri Kepala Hipertensi
Pada Lansia Di Posyandu Lansia Karang Werdha Rambutan Desa Burneh Bangkalan
Syiddatul B
Stikes Insan Se Agung Bangkalan
3. Jurnal Pendukung
Pengaruh pemberian kompres hangat (jahe) terhadap skala nyeri sendi pasien artritis
rheumatoid
Enny Virda Yuniarti,S.Kep.Ns.,M.Kes Ani Kharisma
Program Studi Ilmu Keperawatan Stikes Bina Sehat PPNI Mojokerto Jawa Timur
4. Jurnal Pembanding
Peningkatan kenyamanan lansia dengan nyeri rheumatoid arthritis melalui model
comfort food for the soul
Dhina widayati, farida hayati
STIKES Karya Husada Kediri

Anda mungkin juga menyukai