Cerebral Toxoplasmosis
Cerebral Toxoplasmosis
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. TOKSOPLASMOSIS
A. Definisi
Toxoplasmosis adalah penyakit infeksi oleh parasit yang disebabkan
oleh Toxoplasma gondii yang dapat menimbulkan radang pada kulit, kelenjar
getah bening, jantung, paru, ,mata, otak, dan selaput otak.
B. Klasifikasi
Terdapat 2 macam bentuk dari Toxoplasma yaitu bentuk intraseluler
dan bentuk ekstraseluler bulat atau lonjong, sedang bentuk ekstraseluler
seperti bulan sabit yang langsing, dengan ujung yang satu runcing sedang
lainnya tumpul. Ukuran parasit micron 4-6 mikron, dengan inti terletak di
ujung yang tumpul.
Jumlah parasit dalam darah akan menurun dengan terbentuknya
antibodi namun kista Toxoplasma yang ada dalam jaringan tetap msih hidup.
Kista jaringan ini akan reaktif jika terjadi penurunan kekebalan. Infeksi yang
terjadi pada orang dengan kekebalan rendah baik infeksi primer maupun
infeksi reaktivasi akan menyebabkan terjadinya Cerebritis, Chorioretinitis,
pneumonia, terserangnya seluruh jaringan otot, myocarditis, ruam
makulopapuler dan atau dengan kematian. Toxoplasmosis yang menyerang
otak sering terjadi pada penderita AIDS.
Infeksi primer yang terjadi pada awal kehamilan dapat menyebabkan
terjadinya infeksi pada bayi yang dapat menyebabkan kematian bayi atau
dapat menyebabkab Chorioretinis, kerusakan otak disertai dengan klasifikasi
intraserebral, hidrosefalus, mikrosefalus, demam, ikterus, ruam,
hepatosplenomegasli, Xanthochromic CSF, kejang beberapa saat setelah lahir
C. Etiologi Toxoplasmosis.
Toxoplasmosis sendiri ditemukan oleh Nicelle dan Manceaux pada
tahun 1909 yang menyerang hewan pengerat di Tunisia, Afrika Utara.
Selanjutnya setelah diselidiki maka penyakit yang disebabkan oleh
toxoplasmosis dianggap suatu genus termasuk famili babesiidae.
Toxoplasma gondii adalah parasit intraseluler pada momocyte dan sel-
sel endothelial pada berbagai organ tubuh. Toxoplasma ini biasanya
berbentuk bulat atau oval, jarang ditemukan dalam darah perifer, tetapi
sering ditemukan dalam jumlah besar pada organ-organ tubuh seperti pada
jaringan hati, limpa, sumsum tulang, otak, ginjal, urat daging, jantung dan
urat daging licin lainnya.
D. Siklus Hidup dan Morfologi Toxoplasmosis.
Toxoplasma gondii terdapat dalam 3 bentuk yaitu bentuk trofozoit, kista, clan
Ookista.
Bentuk yang ke tiga adalah bentuk Ookista yang berukuran 10-12 um.
Ookista terbentuk di sel mukosa usus kucing dan dikeluarkan
bersamaan dengan feces kucing. Dalam epitel usus kucing
berlangsung siklus aseksual atau schizogoni dan siklus atau
gametogeni dan sporogoni. Yang menghasilkan ookista dan
clikeluarkan bersama feces kucing. Kucing yang mengandung
toxoplasma gondii dalam sekali exkresi akan mengeluarkan jutaan
ookista. Bila ookista ini tertelan oleh hospes perantara seperti
manusia, sapi, kambing atau kucing maka pada berbagai jaringan
hospes perantara akan dibentuk kelompok-kelompok trofozoit yang
membelah secara aktif. Pada hospes perantara tidak dibentuk
stadium seksual tetapi dibentuk stadium istirahat yaitu kista. Bila
kucing makan tikus yang mengandung kista maka terbentuk kembali
stadium seksual di dalam usus halus kucing tersebut.
Setelah terjadi infeksi T. gondii ke dalam tubuh akan terjadi proses yang terdiri dari
tiga tahap yaitu parasitemia, di mana parasit menyerang organ dan jaringan serta
memperbanyak diri dan menghancurkan sel-sel inang. Perbanyakan diri ini paling nyata
terjadi pada jaringan retikuloendotelial dan otak, di mana parasit mempunyai afinitas paling
besar. Pembentukan antibodi merupakan tahap kedua setelah terjadinya infeksi. Tahap
ketiga rnerupakan rase kronik, terbentuk kista-kista yang menyebar di jaringan otot dan
syaraf, yang sifatnya menetap tanpa menimbulkan peradangan lokal.
G.Diagnosis
Diagnosis untuk Toxoplasmosis sendiri dibagi menjadi 2 yaitu :
• Diagnosis Klinik
Toksoplasmosis hendaknya wajib dicurigai bila didapatkan klasifikasi serebral pada
ventikulogram dan korioretinitis ditemukan pada pemeriksaan mata. Apalagi jika didapatkan
kelainan-kelainan yang berupa hidrosefalus, mikrosefalus, mikroptalmus, pneumonitis,
miokarditid, adenopati, hepatomegali atau splenomegali.
• Diagnosis Spesifik
Diagnosis spesifik ditegakkan dengan mengadakan pemeriksaan laboratorium untuk
menemukan Toxoplasma gondii yang berasal dari hasil biopsy aau pengambilan cairan dari
organ dan jaringan penderita. Inokulasi hewan-hewan percobaan (tikus, mamot atau
hamster) dengan hasil biopsy organ dan jaringan dapat meningkatkan hasil pemeriksaan
H.Pencegahan Toxoplasmosis
Tindakan yang perlu dilakukan dalam mencegah penyakit toxoplasmosis adalah sebagai
berikut :
1. Daging yang akan dikonsumsi hendaknya daging yang sudah diradiasi atau yang sudah
dimasak pada suhu 150°F (66°C),sedangkan pada daging yang dibekukan mengurangi
infektivitas parasit tetapi tidak membunuh parasit.
2. Ibu hamil yang belum diketahui telah mempunya antibodi terhadap toxoplasma gondi,
dianjurkan untuk tidak kontak dengan kucing dan tidak membersihkan tempat sampah.
Pakailah sarung tangan karet dan cucilah tangan selallu setelah bekerja dan sebelum makan.
3. Apabila memelihara kucing, maka sebaiknya kucing diberikan makanan kering, makanan
kaleng atau makanan yang telah dimasak dengan baik dan jangan biarkan membru makanan
sendiri.
4. Cucilah tangan baik-bai sebelum makan dan sesudah menjamah dagin mentah atau
setelah memegang tanah yang terkontaminasi kotoran kucing.
5. Awasi kucing liar, jangan biarkan kucing tersebut membuang kotoran ditempat bermain
anak-anak
I.Pengobatan Toxoplasmosis
Sampai saat ini pengobatan yang terbaik adalah kombinasi pyrimethamine dengan
trisulfapyrimidine. Kombinasi ke dua obat ini secara sinergis akan menghambat siklus p-
amino asam benzoat dan siklus asam foist.
Dosis yang dianjurkan untuk pyrimethamine ialah 25-50 mg per hari selama
sebulan dan trisulfapyrimidine dengan dosis 2.000-6.000 mg sehari selama sebulan.
efek samping obat tadi ialah leukopenia dan trombositopenia, maka
dianjurkan untuk menambahkan asam folat dan yeast selama pengobatan.
Trimetoprimn juga temyata efektif untuk pengobatan toxoplasmosis tetapi bila
dibandingkan dengan kombinasi antara pyrimethamine dan trisulfapyrimidine,
ternyata trimetoprim masih kalah efektifitasnya.
Spiramycin merupakan obat pilihan lain walaupun kurang efektif tetapi efek
sampingnya kurang bila dibandingkan dengan obat-obat sebelumnya. Dosis
spiramycin yang dianjurkan ialah 2-4 gram sehari yang di bagi dalam 2 atau 4 kali
pemberian. Beberapa peneliti menganjurkan pengobatan wanita hamil trimester
pertama dengan spiramycin 2-3 gram sehari selama seminggu atau 3 minggu
kemudian disusul 2 minggu tanpa obat. Demikian berselang seling sampai sembuh.
Pengobatan juga ditujukan pada penderita dengan gejala klinis jelas dan terhadap
bayi yang lahir dari ibu penderita toxoplasmosis.
C. Daur Hidup
Toxoplasma gondii hidup dalam 3 bentuk: thachyzoite, tissue cyst (yang
mengandung bradyzoites) dan oocyst ( yang mengandung sporozoites). Bentuk akhir
dari parasit diproduksi selama siklus seksual pada usus halus dari kucing. Kucing
merupakan pejamu definitif dari T gondii. Siklus hidup aseksual terjadi pada
pejamu perantara, (termasuk manusia ). Dimulai dengan tertelannya tissue cyst atau
oocyst diikuti oleh terinfeksinya sel epitel usus halus oleh bradyzoites atau
sporozoites secara berturut-turut. Setelah bertransformasi menjadi tachyzoites,
organisme ini menyebar ke seluruh tubuh lewat peredaran darah atau limfatik.
Parasit ini berubah bentuk menjadi tissue cysts begitu mencapai jaringan perifer.
Bentuk ini dapat bertahan sepanjang hidup pejamu, dan berpredileksi untuk
menetap pada otak, myocardium, paru, otot skeletal dan retina. Tissue cyst ada
dalam daging, tapi dapat dirusak dengan pemanasan sampai 67 oC, didinginkan
sampai –20oC atau oleh iradiasi gamma. Siklus seksual entero-epithelial dengan
bentuk oocyst hidup pada kucing yang akan menjadi infeksius setelah tertelan daging
yang mengandung tissue cyst. Ekskresi oocysts berakhir selama 7-20 hari dan jarang
berulang. Oocyst menjadi infeksius setelah diekskresikan dan terjadi sporulasi.
Lamanya proses ini tergantung dari kondisi lingkungan, tapi biasanya 2-3 hari setelah
diekskresi. Oocysts menjadi infeksius di lingkungan selama lebih dari 1 tahun. 4,7
Transmisi pada manusia terutama terjadi bila makan daging babi atau domba yang
mentah yang mengandung oocyst. Bisa juga dari sayur yang terkontaminasi atau
kontak langsung dengan feces kucing. Selain itu dapat terjadi transmisi lewat
transplasental, transfusi darah, dan transplantasi organ. Infeksi akut pada individu
yang imunokompeten biasanya asimptomatik. Pada manusia dengan imunitas tubuh
yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten. yang akan mengakibatkan
timbulnya infeksi oportunistik dengan predileksi di otak. Tissue cyst menjadi ruptur
dan melepaskan invasive tropozoit (takizoit). Takisoit ini akan menghancurkan sel
dan menyebabkan focus nekrosis. 4,7,8
Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi prediktor
kemungkinanan adanya infeksi oportunistik. Pada pasien dengan CD4 < 200 sel/mL
kemungkinan untuk terjadi infeksi oportunistik sangat tinggi. Oportunistik infeksi
yang mungkin terjadi pada penderita dengan CD4 < 200 sel/mL adalah pneumocystis
carinii, CD4 <100 sel/mL adalah toxoplasma gondii, dan CD4 < 50 adalah M. avium
Complex, sehingga diindikasikan untuk pemberian profilaksis primer. M. tuberculosis
dan candida species dapat menyebabkan infeksi oportunistik pada CD4 > 200 sel/mL.
E. Patofisiologi
HIV secara signifikan berdampak pada kapasitas fungsional dan kualitas
kekebalan tubuh. HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4, yang
mempunyai reseptor CD4. Beberapa sel lain yangjuga mempunyai reseptor CD4
adalah : sel monosit, sel makrofag, sel folikular dendritik, sel retina, sel leher rahim,
dan sel langerhans. Infeksi limfosit CD4 oleh HIV dimediasi oleh perlekatan virus
kepermukaan sel reseptor CD4, yang menyebabkan kematian sel dengan
meningkatkan tingkat apoptosispada sel yang terinfeksiSelain menyerang sistem
kekebalan tubuh, infeksi HIV juga berdampak pada sistem saraf dandapat
mengakibatkan kelainan pada saraf. Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat
penurunan kekebalantubuh pada penderita HIV/AIDS. Infeksi tersebut dapat
menyerang sistem saraf yang membahayakanfungsi dan kesehatan sel saraf
Mekanisme bagaimana HIV menginduksi infeksi oportunistik seperti
toxoplasmosis sangat kompleks. Ini meliputi deplesi dari sel T CD4; kegagalan
produksi IL-2, IL-12, dan IFN-gamma; kegagalan aktivitas Limfosit T sitokin. Sel-sel
dari pasien yang terinfeksi HIV menunjukkan penurunan produksi IL-12 dan IFN-
gamma secara in vitro dan penurunan ekspresi dari CD 154 sebagai respon terhadap
T gondii. Hal ini memainkan peranan yang penting dari perkembangan toxoplasmosis
dihubungkan dengan infeksi HIV.
Ensefalitis toxolasma biasanya terjadi pada penderita yang terinfeksi virus HIV
dengan CD4 T sel < 100/mL. Ensefalitis toxoplasma ditandai dengan onset yang
subakut. Manifestasi klinis yang timbul dapat berupa defisit neurologis fokal (69%),
nyeri kepala (55%), bingung / kacau (52%), dan kejang (29%)9. Pada suatu studi
didapatkan adanya tanda ensefalitis global dengan perubahan status mental pada 75
% kasus, adanya defisit neurologis pada 70% kasus, Nyeri kepala pada 50 % kasus,
demam pada 45 % kasus dan kejang pada 30 % kasus.5 Defisit neurologis yang
biasanya terjadi adalah kelemahan motorik dan gangguan bicara. Bisa juga terdapat
abnormalitas saraf otak, gangguan penglihatan, gangguan sensorik, disfungsi
serebelum, meningismus, movement disorders dan menifestasi neuropsikiatri.7
Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi prediktor
untuk validasi kemungkinanan adanya infeksi oportunistik. Pada pasien dengan CD4
< 200 sel/mL kemungkinan untuk terjadi infeksi oportunistik sangat tinggi.
F. Diagnosa
Pemeriksaan Serologi :didapatkan seropositif dari anti-T.gondii IgG dan IgM.
Deteksi juga dapat dilakukan denganindirect fluorescent antibody (IFA),
aglutinasi, atau enzyme linked immunosorbent assay (ELISA).Titer IgG
mencapai puncak dalam 1-2 bulan setelah terinfeksi kemudian bertahan
seumur hidup.
Pemeriksaan cairan serebrospinal: menunjukkan adanya pleositosis ringan
dari mononuklear predominan dan elevasi protein.
Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) : m endeteksi DNA T.gondii.
PCR untuk T.gondii dapat juga positif pada cairan bronkoalveolar dancairan
vitreus atau aquos humor dari penderita toksoplasmosis yang terinfeksi HIV.
Adanya PCRyang positif pada jaringan otak tidak berarti terdapat infeksi aktif
karena tissue cyst dapat bertahanlama berada di otak setelah infeksi akut.
CT scan : menunjukkan fokal edema dengan bercak-bercak hiperdens
multiple disertai dan biasanyaditemukan lesi berbentuk cincin atau
penyengatan homogen dan disertai edema vasogenik padajaringan
sekitarnya. Ensefalitis toksoplasma jarang muncul dengan lesi tunggal atau
tanpa lesi.
Biopsi otak : untuk diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi otak
G. Penatalaksanaan
Toksoplasmosis otak diobati dengan kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin.
Kedua obat ini dapat melalui sawar-darah otak.
Toxoplasma Gondii,membutuhkan vitamin B untuk hidup. Pirimetamin
menghambat pemerolehan vitamin B oleh tokso. Sulfadiazin menghambat
penggunaannya.
kombinasi pirimetamin 50-100 mg perhari yang dikombinasikan dengan
sulfadiazin 1-2 g tiap 6 jam.
pasien yang alergi terhadap sulfa dapat diberikan kombinasi pirimetamin 50-
100 mg perhari dengan clindamicin 450-600 mg tiap 6 jam.
pemberian asam folinic 5-10 mg perhari untuk mencegah depresi sumsum
tulang.
pasien alergi terhadap sulfa dan clindamicin, dapat diganti dengan
Azitromycin 1200 mg/hr, atau claritromicin 1 gram tiap 12 jam, atau
atovaquone 750 mg tiap 6 jam. Terapi ini diberikan selam 4-6 minggu atau 3
minggu setelah perbaikan gejala klinis.
Terapi anti retro viral (ARV) diindikasikan pada penderita yang terinfeksi HIV
dengan CD4 kurang dari 200 sel/mL, dengan gejala (AIDS) atau limfosit total
kurang dari 1200. Pada pasien ini, CD4 42, sehingga diberikan ARV.
BAB III
KESIMPULAN
Patric Davey. Infeksi HIV dan AIDS. At a Glance Medicine. Jakarta: EMS. 20064.
Harrington Robert. Opportunistic Infection in HIV Disease. Best Practice Medicine. Januari
2003.8.
Howard L. Weiner, dkk. AIDS dan system saraf. Buku Saku Neurologi. Jakarta: EGC. 20019.
Yayasan Spirita. 2007. Oleh National institude of Neurological Disorders and Stroke. Diunduh
darihttp://www.spirita.or.id13.