A. Hakikat Ekonomi
Ekonomi berasal dari kata Yunani oikonomia yaitu pengelolaan rumah, yang berarti
cara rumah tangga memperoleh dan menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi
kebutuhan hidup (fisik) anggota rumah tangganya (Capra, 2002). Namun sejak perolehan
maupun penggunaan kekayaan sumberdaya secara fundamental perlu diadakan efesiensi
termasuk pekerja dan produksinya, maka dalam bahasa modern istilah ‘ekonomi’ tersebut
menunjuk terhadap prinsip usaha maupun metode untuk mencapai tujuan dengan alat-alat
sesedikit mungkin.
Ilmu ekonomi adalah ilmu yang berhubungan dengan produksi, distribusi, dan konsumsi.
Menurut para ahli:
Albert L. Meyers ilmu ekonomi adalah ilmu yang mempersoalkan kebutuhan
dan pemuasan kebutuhan manusia.
J.L. Meij mengemukakan bahwa ilmu ekonomi adalah ilmu tentang usaha
manusia ke arah kemakmuran.
Samuelson dan Nordhaus mengemukakan Ilmu ekonomi merupakan studi
tentang perilaku orang dan masyarakat dalam memilih cara menggunakan
sumber daya yang langka dan memiliki beberapa alternatif penggunaan, dalam
rangka memproduksi berbagai komoditi, untuk kemudian menyalurkannya
baik saat ini maupun di masa depan kepada berbagai individu dan kelompok
yang ada dalam suatu masyarakat.
Maka, pada hakikatnya ilmu ekonomi itu merupakan usaha manusia untuk memenuhi
kebutuhannya dalam mencapai kemakmuran yang diharapkan, dengan memilih
penggunaan sumber daya produksi yang sifatnya langka/terbatas itu. Dengan kata lain
yang sederhana bahwa ilmu ekonomi itu merupakan suatu disiplin tentang aspek-aspek
ekonomi dan tingkah laku manusia. Secara fundamental dan historis, ilmu ekonomi dapat
dibedakan menjadi dua, yakni ilmu ekonomi positif dan normatif (Samuelson dan
Nordhaus, 1990:9). Jika ilmu ekonomi positif hanya membahas deskripsi mengenai fakta,
situasi dan hubungan yang terjadi dalam ekonomi. Sedangkan ilmu ekonomi normatif
membahas pertimbangan-pertimbangan nilai dan etika.
Ilmu ekonomi juga memiliki keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya. Walaupun
kita ketahui dalam ilmu ini telah digunakan pendekatan-pendekatan kuantitatif-matematis,
tetapi pendekatan-pendekatan tersebut tidak dapat menghilangkan keterbatasan-
keterbatasannya yang melekat pada ilmu ekonomi sebagai salah satu cabang ilmu sosial.
Ilmu ekonomi berkembang berdasarkan asumsi dasar bahwa adanya kebutuhan
(needs) manusia yang tidak terbatas dihadapkan pada sumber daya yang terbatas (scarce
resources), sehingga timbul persoalan bagaimana mengeksploitasi sumber daya yang
terbatas secara efektif dan efisien guna memenuhi kebutuhan manusia yang tak terbatas.
Dengan demikian, ilmu ekonomi berkepentingan dalam mengembangkan konsep, teori,
hukum, sistem, dan kebijakan, ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran
masyarakat. Kemakmuran dicapai melalui peningkatan produksi dan distribusi dari sudut
produsen di satu sisi, serta peningkatan pendapatan, konsumsi, dan lapangan kerja dari
sudut konsumen di sisi lain
.
Paradigma Ilmu Ekonomi Modern, dimana Hakikat manusia adalah:
1. Manusia adalah makhluk ekonomi.
2. Manusia mempunyai kebutuhan tak terbatas.
3. Dalam upaya merealisasikan kebutuhannya, manusia bertindak rasional.
Kesimpulannya, bahwa sistem ekonomi apa pun dapat saja memunculkan banyak
persoalan yang berifat tidak etis. Etis tidaknya suatu tindakan lebih disebabkan oleh
tingkat kesadaran individual para pelaku dalam aktivitas ekonomi (oknum birokrasi,
pejabat negara, pemimpin perusahaan), bukan pada sistem ekonomi yang dipilih oleh
suatu negara. Di sini yang berperan adalah tingkat kesadaran dalam memaknai
dirinya-hakikat manusia sebagai manusia utuh atau manusia tidak utuh.
1. Dimensi Ekonomi
Dari sudut pandang ini, bisnis adalah kegiatan produktif dengan tujuan
memperoleh keuntungan. Keuntungan diperoleh berdasarkan rumus yang
sudah jamak dikembangkan para akuntan yaitu penjualan dikurangi harga
pokok penjualan dan beban-beban. Bagi akuntan, harga pokok penjualan
dan beban merupakan harta yang telah dikorbankan atau dimanfaatkan
untuk menciptakan penjualan pada periode ini sehingga sering disebut
expired cost of assets.
Harta adalah sumber daya ekonomis yang masih mempunyai manfaat
untuk menciptakan penjualan pada periode mendatang.
Faktor-faktor produksi dari sudut ekonomi terdiri atas tanah, tenaga kerja,
modal, wirausahawan. Ilmu manajemen dan akuntansi mengajarkan
berbagai teknik untuk meningkatkan penjualan dan beban-beban pada
tingkat minimum. Sebenarnya keuntungan merupakan ukuran efisiensi
prusahaan kerana keuntungan menggambarkan hasil yang diperoleh setelah
dikurangi harta yang dikorbankan.
2. Dimensi Etis
Berbagai teori etika muncul dengan penalaran yang berbeda-beda.Dipakai
dua acuan pokok yaitu:
a. Definisi etika adalah tinjauan kritis tentang baik-tidaknya perilaku atau
tindakan.
b. Ukuran penilaian menggunakan tiga tingkat kesadaran yaitu kesadaran
hewani, kesadaran manusiawi dan kesadran spiritual/transendental
(teori teonom).
Dari sudut pandang kesadaran hewani menilai bahwa suatu tindakan
dianggap etis bila tindakan itu bermanfaat bagi seseorang dan suatu
tindakan dianggap tidak etis bila merugikan bagi diri individu yang
bersangkutan. Sudut pandang kesadaranm manusiawi menilai semua
tindakan yang bermanfaat bagi diri individu dan masyarakat bersifat etis
namun bila tindakan itu merugikan masyarakat dan alam makan dinilai
tidak etis meskipun menguntungkan diri individu. Dari sudut pandang
kesadaran spiritual menilai suatu tindakan tersebut bermanfaat bagi diri
individu, masyarakat dan alam serta sesuai dengan ajaran/perintah agama.
3. Dimensi Hukum
Dalam kaitannya dengan tinjauan dari aspek hukum ini, De George (Dalam
Sonny Keraf, 1998) membedakan dua macam pandangan tentang status
perusahaan yaitu legal creator di mana perusahaan diciptakan secara legal
oleh negara sehingga perusahaan adalah sebagai badan hukum dan
perusahaan mempunyai hak dan kewajiban hukum sebagaimana layaknya
hukum yang dimiliki manusia. Dan legal recognition di mana perusahaan
bukan diciptakan atau didirikan oleh negara, melainkan oleh orang yang
mempunyai kepentingan untuk memperoleh keuntungan. Peranan negara
dalam hal ini hanya mendaftarkan, mengesahkan dan memberi izin secara
hukum atas keberadaan perusahaan tersebut.
Setiap peraturan hukum yang baik memang harus dijiwai oleh moralitas.
Namun tidak semua peraturan hukum berkaitan dengan moral. Ada
anggapan bila ditinjau dari aspek moral dianggap kurang etis misalnya
Undang-Undang Lalu Lintas.
4. Dimensi Sosial
Perusahaan saat ini sudah berkembang menjadi suatu sistem terbuka yang
sangat kompleks. Sebagai suatu sistem, berarti di dalam organisasi
perusahaan terdapat berbagai elemen, unsur, orang, dan jaringan yang
saling terhubung, saling berinteraksi, saling bergantung, dan saling
berkepentingan. Berbagai sistem terbuka terdapat faktor internal seperti
faktor sumber daya manusia dan sumber daya non-manusia lalu ada faktor
eksternal yang terdiri atas elemen manusia dan non-manusia. Faktor
eksternal inilah yang pada hakikatnya diciptakan karena sebagai kunci
keberhasilan kinerja perusahaan. Jadi dapat disimpulkan bahwa keberadaan
suatu perusahaan sebenarnya ditentukan oleh manusia atau orang baik yang
ada di dalam perusahaan maupun di luar perusahaan yang semuanya
memiliki kepentingan dan kekuatan untuk mendukung atau menghambat
keberadaan dan pertumbuhan perusahaan. Oleh karena itu, bila perusahaan
dilihat dari dimensi sosial, tujuan pokok perusahaan adalah untuk
menciptakan barang dan jasa yang diperlukan oleh masyarakat, sedangkan
keuntungan akan datang dengan sendirinya. Pandangan ini selanjutnya
akan melahirkan paradigma dan konsep stakeholder dalam pengelolaan
perusahaan.
5. Dimensi Spiritual
Keberadaan perusahaan diperlukan untuk melayani kebutuhan masyarakat.
Sepanjang masyarakat membutuhkan produk perusahaan, maka perusahaan
akan tetap exist. Kegiatan bisnis dalam pandangan Barat tidak pernah
dikaitkan dengan agama (kepercayaan), padahal dalam ajaran agama yang
dipercayai oleh manusia ada ketentuan yang sangat jelas tentang
melakukan kegiatan bisnis. Dalam dimensi spiritual, para pengusaha yang
ada di dalam perusahaan memaknai pengelolaan perusahaan sebagai bagian
dari ibadah kepada Tuhan, menjadikan perusahaan yang dikelola menjadi
sejahtera, sekaligus menjaga dan memelihara kelestarian alam. Namun
dalam kenyataannya, masih terdapat banyak pelaku bisnis dan oknum
stakeholder yang belum sepenuhnya mengikuti ajaran agama dalam
menjalankan praktek bisnisnya.
Tunggal (2008) menyatakan bahwa teori stakeholder dapat dilihat dalam tiga
pendekatan:
1. Deskriptif
Pendekatan deskriptif pada intinya menyatakan bahwa, stakeholder secara
sederhana merupakan deskripsi yang realitas mengenai bagaimana sebuah
perusahaan beroperasi. Teori stakeholder dalam pendekatan deskriptif,
bertujuan untuk memahami bagaimana manajer menangani kepentingan
stakeholder dengan tetap menjalankan kepentingan perusahaan. Manajer
dituntut untuk mengarahkan energi mereka terhadap seluruh pemangku
kepentingan, tidak hanya terhadap pemilik perusahaan saja.
2. Instrumental
Teori stakeholder dalam pendekatan instrumental menyatakan bahwa, salah
satu strategi pihak manajemen perusahaan untuk menghasilkan kinerja
perusahaan yang lebih baik adalah dengan memperhatikan para pemangku
kepentingan. Hal ini didukung oleh bukti empiris yang diungkapkan oleh
Lawrence & Weber (2008), yang menunjukkan bahwa setidaknya lebih
dari 450 perusahaan yang menyatakan komitmennya terhadap pemangku
kepentingan dalam laporan tahunnya memiliki kinerja keuangan yang lebih
baik dibandingkan dengan perusahaan yang tidak memiliki komitmen.
Pendekatan instrumental bertujuan untuk mempelajari konsekuensi yang
ditanggung perusahaan, dengan melihat dari pengelolaan hubungan
stakeholder dan berbagai tujuan tata kelola perusahaan yang telah dicapai.
3. Normatif
Teori stakeholder dalam pendekatan normatif menyatakan bahwa setiap
orang atau kelompok yang telah memberikan kontribusi terhadap nilai
suatu perusahaan memiliki hak moral untuk menerima imbalan (rewards)
dari perusahaan, dan hal ini menjadi suatu kewajiban bagi manajemen
untuk memenuhi apa yang menjadi hak para pemangku kepentingan.
Pendekatan normatif juga bertujuan untuk mengidentifikasi pedoman moral
atau filosofis terkait dengan aktivitas ataupun manajemen perusahaan.
Analisis Stakeholders
Perusahaan adalah bagian dari sistem yang lebih besar. Hal penting yang perlu
dipertimbangkan dalam proses pengambilan keputusan berdasarkan pendekatan
stakeholders, antara lain:
a. Lakukan identifikasi semua stakeholders.
b. Cari tahu kepentingan dan kekuasaan setiap golongan stakeholders.
c. Cari tahu apakah ada koalisi kepentingan dan kekuasaan
Definisi di atas tidaklah semata mengacu pada aktivitas bisnis yang patuh pada hukum
atau sebatas pada moral dan etika. Namun, lebih dimaksudkan sebagai komitmen
sukarela yang dibuat oleh organisasi bisnis dalam memilih dan menerapkan praktek
tanggung jawab sosial serta berkontribusi pada masyarakat. Komitmen tersebut,
menurut Kotler dan Lee, harus ditunjukkan agar perusahaan dinilai sebagai organisasi
yang secara sosial bertanggung jawab dan akan menjalankan praktek bisnis yang
berdasar prinsip tanggung jawab sosial tersebut, baik secara moneter atau non-
moneter. Istilah community well-being dalam definisi Kotler dan Lee tersebut
memasukkan kondisi manusia sebagai anggota masyarakat, sebagaimana juga masalah
lingkungan.
Meluasnya perhatian pada praktek CSR tersebut mengundang berbagai pihak untuk
memberikan pengertian dan definisi atas terminology tersebut. Komisi Eropa
mendefinisikan CSR sebagai “integrasi secara sukarela oleh organisasi bisnis atas
persoalan sosial dan lingkungan hidup dalam aktivitas komersial organisasi dan dalam
hubungannya dengan berbagai pemangku kepentingan” (Fonteneau, 2003:3).
Lebih spesifik Mazurkiewicz (2004, p3) mengungkapkan bahwa kegiatan CSR pada
dasarnya berdasarkan pendekatan sukarela, eksternalitas lingkungan diamati untuk
pihak-pihak yang berperan, tetapi sering kali tidak dapat diverifikasi. Secara umum,
keprihatinan tentang CSR adalah bahwa, bukan jumlah besar inisiatif, akan tetapi tidak
adanya kerangka komprehensif yang akan menutup pada saat yang sama isu-isu
seperti: standar pemerintah, sistem manajemen, ketentuan bertindak, standar kinerja,
pelaporan kinerja, dan jaminan standar. Perusahaan, biasanya, menerapkan komponen
yang terpisah, atau bergabung inisiatif yang dipilih, sering lupa misalnya tentang
mekanisme pemantauan yang transparan.
Pengertian CSR
a. The World Business Council for Sustainable Development mendefinisikan
CSR sebagai komitmen bisnis untuk secara terus-menerus berperilaku etis dan
berkontribusi dalam pembangunan ekonomi serta meningkatkan kualitas hidup
karyawan dan keluarganya, masyarakat lokal, serta masyarakat luas pada
umumnya.
b. EU Green Paper on CSR memberikan definisi sebagai suatu konsep di mana
perusahaan mengintegrasikan perhatian pada masyarakat dan lingkungan
dalam operasi bisnisnya serta dalam interaksinya dengan para pemangku
kepentingan secara sukarela.
c. Magnan dan Ferrel mendefinisikan CSR sebagai suatu bisnis telah
melaksanakan tanggung jawab sosialnya jika keputusan yang diambil telah
mempertimbangkan keseimbangan antar berbagai pemangku kepentingan yang
berbeda-beda.
Definisi di atas tidaklah semata mengacu pada aktivitas bisnis yang patuh pada
hukum atau sebatas pada moral dan etika. Namun, lebih dimaksudkan sebagai
komitmen sukarela yang dibuat oleh organisasi bisnis dalam memilih dan
menerapkan praktek tanggung jawab sosial serta berkontribusi pada masyarakat.
Komitmen tersebut, menurut Kotler dan Lee, harus ditunjukkan agar perusahaan
dinilai sebagai organisasi yang secara sosial bertanggung jawab dan akan
menjalankan praktek bisnis yang berdasar prinsip tanggung jawab sosial tersebut,
baik secara moneter atau non-moneter. Istilah community well-being dalam
definisi Kotler dan Lee tersebut memasukkan kondisi manusia sebagai anggota
masyarakat, sebgaimana juga masalah lingkungan.
Organisasi sering juga mempertimbangkan CSR dalam upaya untuk meningkatkan reputasi
mereka. Dengan media selalu melaporkan urusan mereka, dan karena homogenitas produk
yang lebih besar dan persaingan di pasar banyak, banyak organisasi menyadari bahwa
melakukan bisnis secara bertanggung jawab dan adil menawarkan keunggulan strategis dan
reputasi. Seperti dengan manajemen stakeholder, inisiatif CSR mungkin di contoh pertama
akan dimulai untuk salah satu alasan reputasi moral atau instrumental. Namun, alasan
sebenarnya untuk CSR seringkali sulit untuk memisahkan diberi ‘kesulitan yang signifikan
dalam membedakan apakah perilaku usaha adalah benar-benar melakukan adopsi moral atau
instrumental penampilan perilaku moral sebagai strategi reputasi. Namun, terlepas dari motif
yang mendasari, inisiatif CSR sering muncul untuk menjadi nilai instrumental langsung ke
organisasi. Telah menemukan bahwa inisiatif tersebut terkait dengan pengembalian reputasi
dan kinerja keuangan yang lebih baik secara keseluruhan