Anda di halaman 1dari 4

TUGAS MATA KULIAH: BAHASA INDONESIA

MEMBUAT CERITA PENDEK (CERPEN)

I GUSTI NGURAH KADE OKA ABDIARJANA


1A1

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NGURAH RAI

2018
KAU YANG TERBAIK

Panas yang terik badan yang lelah seusai pengambilan nilai praktek olahraga,
segera kuambil sebotol air mineral dan langsung meminumnya. Dengan mengeluarkan
uang sepuluh ribu, aku pergi keluar kantin.“Kania, main basket tuh.” “Iya,” Aku berjalan
melalui koridor kelas yang mengarah langsung ke lapangan basket. Mataku tertuju kepada
orang yang ada di depanku, ia sedang menonton permainan basket yang ada di depannya.
“Eh, Dek. Bisa tolong kasihin minum ke orang itu. Jangan bilang dari saya, tapi bilang aja
dari kamu ya,” mintaku padanya. “Oke kak,” balasnya. Aku melanjutkan langkah kaki ini
menuju kelasku. Jam pelajaran dilanjutkan kembali, penjelasan dari guru aku dengar
dengan baik. Tiba-tiba lonceng berbunyi, membuat guru mengakhiri pelajaran dan semua
siswa berhamburan keluar tak terkecuali Aku dan Afifah, kami berjalan keluar menuju
gerbang sekolah, sudah tak ada siapapun di sini. “Kania, aku ingin mengatakan sesuatu”
ucap Afifah kepadaku, perasaanku mulai tak enak, “maaf Afifah aku buru-buru” kataku
sambil meninggalkan Afifah, saat hampir tiba di gerbang sekolah, titik fokus lensa mataku
tiba-tiba saja berhenti dan tidak mau bergerak, aku merasakan pusing mungkin karena efek
olahraga tadi pagi. Aku mencoba memfokuskan penglihatanku. Aku benar- benar, tidak
dapat melihat. Aku mencoba menahan semuanya, dan aku memaksakan diriku untuk
pulang saat itu “Tunggu Kania !, aku cuma ingin kamu tau yang sebenarnya,” ucap Afifah
sambil berteriak. Dengan satu tarikan nafas, “Makasih atas semuanya Fif, kamu memang
sahabat aku, lain kali saja” kataku sembari melanjutkan langkahku pergi meninggalkan
Afifah. Aku berjalan dengan cepat dan berlari. Langit yang tadinya biru dalam sekejap
berubah menjadi hitam. Aku merasakan aroma mistis yang begitu kental. Kenapa aku yang
harus merasa tersakiti. Batinku yang berbicara. Tak lama hujan pun turun, bersamaan
dengan itu sebuah kilat tajam melintas di depan mataku. Kaki ini sudah tak sanggup lagi
melangkah, pandangan ini sudah kabur tergenang oleh air mata. Perlahan mataku sedikit
terpejam menahan perih dan sakit. Samar-samar aku mendengar rintihan seorang. Aku
merasa diatas kepalaku ada beban yang berat sehingga sulit untuk digerakkan. “A-Fifah”
ucapku susah payah menyebut namanya. Dia langsung menoleh ke arahku, “Kania, kamu
udah sadar. Sebentar aku panggil dokter dulu,” balasnya. Tak lama seorang berseragam
putih memasuki ruangan. Hanya satu hal yang kupikirkan saat ini. Aku kenapa. Itulah yang
kupikirkan. Setelah cukup lama, ia keluar dari ruanganku berganti dengan Afifah. Aku
menatap Afifah bingung. “Aku kenapa Fif?” tanyaku. Bukannya menjawab, dia malah
menangis sambil menatapku. “Maafin aku, enggak bisa bantu kamu waktu itu. Waktu aku
datang kamu udah jatuh di jalan karena ditabrak oleh mobil, aku minta maaf Kania,”
balasnya dengan air mata yang sangat deras. Aku mengerti berarti aku di sini karena
kecelakaan. Tak masalah yang penting aku masih hidup. Aku tersenyum padanya, “Enggak
apa-apa. Saat takdir datang tidak ada yang bisa menolak. Ini bukan salah kamu,” jawabku.
“Makasih Kania,” balasnya menahan air mata. Aku menganggukkan kepala, lalu ia pergi
dari ruangan ini karena aku sendiri ingin beristirahat.

Terasa begitu menyebalkan sekali, aku tidak diizinkan sekolah hari ini. Hanya
dengan satu alasan ‘Kamu lagi sakit, lebih baik istirahat.’ Aku menjadi tidak nyaman kalau
sendirian di rumah. Dengan langkah seperti seorang maling, aku berjalan melewati ruang
tamu yang nampak kosong. “Mas, tadi tuan pesan. Kita harus memantau non Kania jangan
sampai keluar rumah,” ucapnya seorang wanita. “Siap, kalau gitu saya mau jaga gerbang,”
balas seorang laki-laki. Aku langsung melangkah jauh dari mereka. Sungguh menyebalkan,
semua orang jadi khawatir denganku. Aku berlari ke arah gudang belakang. Mataku
menelusur ke segala penjuru hingga terhenti pada sebuah tangga. Aku berusaha
mengangkat tangga itu tapi tidak bisa, tanganku masih sakit. Tanpa sengaja aku melihat
gerbang belakang rumah belum ada orang. Secepat kilat aku keluar dari gerbang. Aku
melihat jam yang ada ditanganku, sudah pukul 14.00 artinya sekolah telah pulang. Aku
memberhentikan taksi lalu pergi menuju rumah Afifah. Setelah sampai di sana aku melihat
sebuah motor terparkir. ‘Wahh.. kak Arga pasti udah pulang nih’ batinku senang. Namun,
langkahku terhenti ketika melihat seorang di sana. Dia bukan kak Arga. “Gara-gara rencana
kamu, Kania jadi celaka,” ucap Afifah pada orang itu. Aku yang penasaran akhirnya
memberanikan diri untuk menguping pembicaraan mereka.“Yah harus gimana lagi. Kita
udah pacaran tapi kamu enggak mau sahabat kamu itu tau. Itu satu-satunya cara biar dia
berhenti suka sama aku,” balasnya. Kania kenal suara itu bahkan sangat hafal. Itu suara
Dito, sosok laki-laki yang ia sukai sejak dua tahun terakhir. “Tapi aku enggak enak sama
Kania,” jawab Afifah. “Dengerin aku, terkadang cinta itu butuh yang namanya keegoisan.
Kamu suka aku, aku juga suka kamu,” jelas Dito yang meyakinkan Afifah. “Kalian enggak
perlu cemas, aku ikhlas kamu sama Dito. Semoga bahagia dan langgeng. Aku juga enggak
suka kamu lagi,” ucap Kania yang tiba-tiba ada di depan gerbang rumah Afifah. “A-aku
min-ta maaf Kan, aku enggak ada maksud-” “Diam Fif. Cukup penjelasannya, lo udah
terlalu baik sama gue dan mungkin saatnya lo bersikap jahat sama gue. Gue ngerti tapi gue
mohon setelah ini lo jangan pernah temuin gue lagi. Anggap kita enggak saling
kenal.”Setelah mengucapkan kata tersebut, Kania langsung pergi dari rumah Afifah. Dia
tidak peduli dengan Afifah yang meneriaki namanya.

4 bulan berlalu, hubungan persahabatan Kania dan Afifah tidak seperti dulu. Kania
tidak ingin membahas masa lalunya itu. Dia ingin melupakan semuanya. “Kan, udah tau
kalo Afifah putus sama Dito?” Ucap Rinda yang menjadi teman sebangku Kania. “Enggak
tau. Emang benar?” Tanya Kania balik. Rinda menganggukkan kepalanya. “Katanya Dito
pacaran sama Afifah, karena dia dapat tantangan dari temannya aja.” Kania mengangguk
paham. Ia melihat ke arah meja Afifah, wajar saja Afifah tidak masuk hari ini. Tak lama
bel pulang berbunyi. “Eh Kania. Sudah lama enggak mampir ke sini,” sapa perempuan itu
ramah.“Hehe.. sibuk sekolah tan, Afifahnya ada tan?” Tanya Kania. Perempuan itu
menampakkan wajah sedihnya. “Dia enggak mau keluar kamar, dia juga enggak mau
makan. Kamu bujuk dia yah?” Mohonnya. Akupun berdiri di depan kamar Afifah,
mencoba membuka pintu kamar yang dikunci. “Fif buka,” ucap Ku. Pintu itu langsung
terbuka. “Kania, aku minta maaf karena udah buat kamu luka. Ternyata dia jahat Kan,”
ucap Afifah sambil menangis. “Kamu enggak salah. Itu masalah yang kemarin enggak usah
dibahas. Kamu makan dulu,” ucapku. Afifah langsung memakan makanan yang aku bawa.
“Aku salah udah berbuat jahat sama kamu, Kania. Aku siap kalo kamu mau marah sama
aku.” Afifah menangis tersedu-sedu. “Kita terlalu bodoh Fif. Persahabatan hancur hanya
karena satu cowok. Aku enggak mau itu terjadi lagi. Aku pengen kita tetap sahabatan
seperti dulu,” tuturku lembut. “Setelah hal jahat yang aku lakuin, kamu masih nganggep
aku sahabat kamu?” Tanya Afifah seakan tak percaya. aku mengangguk. “Aku maafin
kamu. Aku pengen kita jadi sahabat selamanya.”

Anda mungkin juga menyukai