Makalah Pemberdayaan Masyarakat
Makalah Pemberdayaan Masyarakat
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
Cary (1970) mengatakan, bahwa partisipasi dapat tumbuh jika tiga kondisi berikut terpenuhi:
a. Merdeka untuk berpartisipasi, berarti adanya kondisi yang memungkinkan anggota-anggota
masyarakat untuk berpartisipasi.
b. Mampu untuk berpartisipasi,adanya kapasitas dan kompetensi anggota masyarakat sehingga
mampu untuk memberikan sumbang saran yang konstruktif untuk program.
c. Mau berpartisipasi, kemauan atau kesediaan anggota masyarakat untuk berpartisipasi dalam
program.
Ketiga kondisi itu harus hadir secara bersama-sama.Apabila orang mau dan mampu tetapi tidak
merdeka untuk berpartisipasi,maka orang tidak akan berpartisipasi.
Menurut Ross (1960),terdapat tiga prakondisi tumbuhnya partisipasi,yaitu:
a. Mempunyai pengetahuan yang luas dan latar belakang yang memadai sehingga dapat
mengidentifikasi masalah,prioritas masalah dan melihat permasalahan secara komprehensif.
b. Mempunyai kemampuan untuk belajar cepat tentang permasalahan,dan belajar untuk mengambil
keputusan.
c. Kemampuan mengambil tindakan dan bertindak efektif.
Batasan Ross di atas sebenarnya menuntut prasyarat bahwa orang-orang yang akan berpartisipasi
harus memenuhi persyaratan tertentu,yaitu kompetensi kognisi tertentu.Pendapat ini mungkin
cocok diterapkan pada kelompok masyarakat yang cukup cerdas, namun mengandung banyak
kelemahan apabila diterapkan pada masyarakat yang “agak terbelakang”.
Menurut Chapin (1939), partisipasi dapat diukur dari yang rendah sampai yang tertinggi, yaitu:
a. Kehadiran individu dalam pertemuan-pertemuan.
b. Memberikan bantuan dan sumbangan keuangan.
c. Keanggotaan dalam kepanitiaan kegiatan.
d. Posisi kepemimpinan.
Berdasarkan teori Chapin, maka partisipasi yang tertinggi dilakukan oleh pemimpin.Meskipun
terlihat agak kontroversial, namun bisa dapat dipahami,karena dal;am konteks
kepemimpinan,walaupun jumlahnya paling sedikit,pemimpin menentukan keberhasilanorganisasi.
Apabila dilihat dari subjek partisipasi, Sanders (1958) membedakannya menjadi:
a. Pemimpin-pemimpin lokal,adalah tokoh masyarakat dan pemimpin formal dan non formal yang
mempunyai pengaruh besar dal;am mengambil keputusan dan mendorong anggota masyarakat
untuk melaksanakannya.
b. Penduduk yang profesional, adalah penduduk setempat yang mempunyai kemampuan tertentu
yang dapat dimanfaatkan untuk menunjang pelaksanaan kegiatan.
c. Pihak luar yang profesional, adalah pihak-pihak diluar kelompok masyarakat, yang diminta
maupun tidak, memberikan bantuan untuk kelancaran kegiatan program.
d. Pekerja serbaguna pengembangan masyarakat yang mempunyai komitmen kuat atas kemajuan
masyarakat,serta senantiasa membantu dan melaksanakan berbagai program yang ada.
Keterbukaan (inclusive) akan sangat membantu terutama dalam konteks keterbatasan diri,maupun
implementasi kemitraan (partnership).
Selanjutnya Sutton dan Kolaja (1960), membagi peran-peran dalam partisipasi program menjadi
tiga, yaitu:
1. Pelaku, adalah pihak yang mengambil peran dan tindakan aktif dalam program.
2. Penerima, adalah pihak yang nantinya akan menerima manfaat dari program yang dijalankan.
3. Publik, adalah pihak yang tidak terlibat secara langsung dalam pelaksanaan program,tetapi dapat
membantu pihak pelaku.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Empowerment yang dalam bahasa Indonesia berarti “pemberdayaan”, adalah sebuah
konsep yang lahir sebagai bagian dari perkembangan alam pikiran masyarakat kebudayaan Barat,
utamanya Eropa. Memahami konsep empowerment secara tepat harus memahami latar belakang
kontekstual yang melahirkannya. Konsep empowerment mulai nampak sekitar dekade 70-an dan
terus berkembang hingga 1990-an. (Pranarka & Vidhyandika,1996).
Pranarka & Vidhyandika (1996) menjelaskan bahwa ”proses pemberdayaan mengandung
dua kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan yang mene-kankan pada proses memberikan
atau mengalihkan sebagian kekuatan, kekuasaan atau kemampuan kepada masyarakat agar
individu lebih berdaya. Kecenderungan pertama tersebut dapat disebut sebagai kecenderungan
primer dari makna pemberdayaan. Sedangkan kecenderungan kedua atau kecenderungan sekunder
menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai
kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui
proses dialog”.
Promosi kesehatan adalah suatu proses membantu individu dan masyarakat meningkatkan
kemampuan dan keterampilannya guna mengontrol berbagai faktor yang berpengaruh pada
kesehatan, sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatannya (WHO). Promosi kesehatan adalah
kombinasi pendekatan pendidikan kesehatan dan pendekatan organisasi, ekonomi, lingkungan
yang seluruhnya mendukung terciptanya perilaku yang kondusif dengan kesehatan (Mee
Lian,1998). Hubley (2002) mengatakan, bahwa pemberdayaan kesehatan (health empowerment),
melek (sadar) kesehatan (health literacy) dan promosi kesehatan (health promotion) diletakkan
dalam kerangka pendekatan yang komprehensif.Pemberdayaan didiskusikan dalam kerangka
bagaimana mengembangkan kemampuan penduduk untuk menolong didrinya sendiri (self-
eficacy) dari teori belajar sosial.