Anda di halaman 1dari 46

PROPOSAL PENELITIAN TUGAS AKHIR

PENGARUH VARIASI TEMPERATUR TUANG TERHADAP


KEKUATAN MEKANIK ALUMINIUM SERI 6061 BERPENGUAT CNT
DENGAN METODE STIR CASTING

OLEH:

ZULFIKAR ABDUL RAHMAN SUWARDI


D21114525

DEPARTEMEN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di era perkembangan teknologi yang semakin canggih membuat beragam
fasilitas berupa alat maupun komponen industri semakin berkualitas, demi
mempermudah berbagai macam kegiatan manusia sebagai pengguna teknologi
tersebut. Dalam dunia industri saat ini pemilihan bahan dan proses dalam
pembuatan sebuah produk yang di produksi oleh sebuah perusahaan harus
sesuai dengan fungsi dan tujuan diproduksinya produk tersebut. Dengan
demikian seorang konsumen akan merasa puas dalam menggunakan produk
hasil produksi perusahaan tersebut karena kualitas yang dicapai sesuai.
(Subagyo, 2017)
Ada berbagai jenis material yang dapat digunakan oleh perusahaan dalam
pembuatan sebuah produk, salah satu material yang banyak diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari adalah aluminium. Pengaplikasian dari aluminum itu
sendiri tidak hanya dalam kebutuhan rumah tangga akan tetapi hingga kepada
kebutuhan otomotif maupun kebutuhan pesawat terbang yang selalu ditutut
memiliki teknologi yang semakin canggih. Hal ini disebabkan karena logam ini
mempunyai beberapa kelebihan, seperti : ratio terhadap beban yang tinggi (high
strength to weight ratio), ringan (light), tahan terhadap korosi dari berbagai
macam bahan kimia (resistence to coorosion by many chemicals), konduktifitas
panas dan listrik tinggi ( high thermal and electrical conductivity), tidak
beracun (non-toxicity), memantulkan cahaya (reflectivity), mudah dibentuk dan
dimachining (easy of formability and machinability) dan tidak bersifat magnet
(no magnetic). (Kurniawan dan Isranuri, 2014)
Aluminium itu sendiri adalah logam yang memiliki kekuatan yang relative
rendah dan lunak. Aluminium merupakan logam yang ringan dan memiliki
ketahanan korosi yang baik, hantaran listrik yang baik dan sifat – sifat lainnya.
Umumnya aluminium dicampur dengan logam lainnya sehingga membentuk
aluminium paduan. Penambahan unsur paduan terhadap alumunium dapat
dilakukan untuk meningkatkan kekuatan fisis dan mekanis logam tersebut.
(Subagyo, 2017)
Shadakshari melakukan riset mengenai CNT dan mengemukakan bahwa
CNT adalah penguat yang menjanjikan untuk komposit matriks logam untuk
mendapatkan kemampuan redaman yang tinggi pada suhu tinggi tanpa
menghilangkan kekuatan dan kekakuan mekanis. Ia mengilustrasikan prosedur
pencampuran untuk pembuatan bubuk Al-CNT bersamaan dengan
penggambaran hasil dispersi CNT dari teknik pencampuran yang berbeda.
(Shadakshari, 2012)
Muhammad Hayat Jokhio dkk mengatakan bahwa ia telah melakukan
pembuatan material komposit aluminium dengan menggunakan stir casting.
Pembuatan bahan komposit pengecoran paduan aluminium melalui metode stir
casting adalah salah satu rute yang menonjol dan ekonomis untuk
pengembangan dan pengolahan material komposit matriks logam. Banyak
sumber mengungkapkan bahwa sebagian besar peneliti menggunakan Al-Cu,
Al-Mg-Cu, dan Al-Zn yang diperkuat dengan partikel SiC untuk sifat kekuatan
yang tinggi. (Jokhio dkk, 2010)
Banyak penelitian yang membahas mengenai pengerasan aluminium
komposit menggunakan penguat CNT tetapi belum banyak yang membahas
mengenai pengaruh temperatur pada proses penguatannya. Maka dari uraian
diatas, perlu kiranya untuk mengadakan penelitian terhadap Aluminium hasil
dari proses daur ulang dengan metode stir casting, sehingga hasil dari penelitian
tersebut dapat digunakan sebagai pertimbangan oleh bahan industri pengecoran
untuk menghasilkan material atau produk yang baik dan siap pakai.
Berdasarkan alasan-alasan diatas yang mendorong penulis untuk
mengadakan penelitian sebagai tugas akhir dengan judul “Pengaruh Variasi
Temperatur Tuang Terhadap Kekuatan Mekanik Aluminium Seri 6061
Berpenguat CNT Dengan Metode Stir Casting”

1.2 Rumusan Masalah


Dalam penulisan ini, penulis memberikan rumusan masalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana pengaruh variasi temperatur terhadap kekuatan tarik, kekerasan,
dan impack pada aluminium 6061 dengan penguat CNT melalui metode stir
casting ?
2. Bagaimana pengaruh variasi temperatur terhadap struktur mikro pada
aluminium 6061 dengan penguat CNT melalui metode stir casting ?
3. Bagaimana karakteristik perpatahan aluminium 6061 berpenguat CNT ?

1.3 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk menganalisa pengaruh variasi temperatur terhadap kekuatan tarik,
kekerasan, dan impack pada aluminium 6061 dengan penguat CNT melalui
metode stir casting
2. Untuk mengetahui pengaruh variasi temperatur terhadap struktur mikro
pada aluminium 6061 dengan penguat CNT melalui metode stir casting
3. Menganalisa karakteristik perpatahan aluminium 6061 berpenguat CNT .

1.4 Batasan Masalah


Dalam penulisan ini, penulis memberikan batasan masalah sebagai
berikut:
1. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah aluminium seri 6061
2. CNT yang digunakan berukuran serbuk 350 mesh
3. Perbandingan campuran yang digunakan yaitu: 95% Al – 5% CNT
4. Jenis pengecoran yang digunakan adalah stir casting dengan putaran 500
rpm dan variasi suhu tungku 670 oC, 700 oC dan 730 oC
5. Cetakan yang digunakan adalah cetakan logam dengan temperatur 400°c
6. Degassing menggunakan gas argon

1.5 Manfaat Penelitian


Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Dapat mengetahui pengaruh variasi temperatur terhadap kekuatan tarik,
kekerasan, dan impack pada aluminium 6061 dengan penguat CNT
2. Dapat mengetahui gambaran penambahan unsur penguat CNT terhadap
struktur mikro aluminium 6061
3. Memberi informasi yang jelas kepada juru casting pengaruh penambahan
unsur penguat CNT pada aluminium 6061
4. Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dalam pengembangan teknologi
konstruksi dan material khususnya bidang pengecoran (casting).
5. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi pada dunia
pengecoran (casting) serta kemajuan industri.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Aluminium
2.1.1 Sejarah Aluminium
Pada tahun 1884 aluminium masih menjadi barang yang sangat
langka dan berharga, saat itu aluminium seberat 6 pon berbentuk
setengah lingkaran diletakkan di bagian puncak Monument of
Washington di Amerika dan hingga saat ini masih bertahan. Namun 100
tahun kemudian aluminium menjadi material yang paling banyak
digunakan didunia setelah besi. Saat ini semua paduan aluminium
masih terus diteliti oleh banyak industri di dunia dengan
mencampurkan unsur lain seperti tembaga (Cu), besi (Fe), magnesium
(Mg), mangan (Mn), dan lain sebagainya. Sehingga membentuk paduan
yang baru yang memiliki sifat dan karakteristik yang berbeda. (Wessel,
2004)

Gambar 2.1. Aluminium


Aluminium murni 100% tidak memiliki kandungan unsur apapun
selain aluminium itu sendiri, namun aluminium murni yang dijual di
pasaran tidak pernah mengandung 100% aluminium, melainkan selalu
ada pengotor yang terkandung di dalamnya. Pengotor yang mungkin
berada di dalam aluminium murni biasanya adalah gelembung
gas di dalam yang masuk akibat proses peleburan dan
pendinginan/pengecoran yang tidak sempurna, material cetakan
akibat kualitas cetakan yang tidak baik, atau pengotor lainnya akibat
kualitas bahan baku yang tidak baik (misalnya pada proses daur
ulang aluminium). Umumnya, aluminium murni yang dijual
dipasaran adalah aluminium murni 99%, misalnya: aluminium foil.
(Wessel, 2004)
2.1.2 Sifat-sifat Aluminium
Perlu diketahui bahwa aluminium merupakan logam yang paling
banyak terkandung di kerak bumi. Aluminium terdapat di kerak bumi
sebanyak kira-kira 8,07% hingga 8,23% dari seluruh massa padat dari
kerak bumi, dengan produksi tahunan dunia sekitar 30 juta ton pertahun
dalam bentuk bauksit dan bebatuan lain.
Saat ini aluminium berkembang luas dalam banyak aplikasi
industri seperti industri otomotif, rumah tangga, maupun elektrik.
Beberapa sifat dari aluminium itu sendiri, yaitu:
1. Ringan
Aluminium memiliki sifat ringan, bahkan lebih ringan dari
magnesium dengan densitas sekitar 1/3 dari densitas besi. Kekuatan
dari paduan aluminium dapat mendekati dari kekuatan baja karbon
dengan kekuatan tarik 700 Mpa (100 ksi). Kombinasi ringan dengan
kekuatan yang cukup baik membuat aluminium sering diaplikasikan
pada kendaraan bermotor, pesawat terbang, alat-alat konstruksi
seperti tangga, maupun pada roket.
2. Mudah dalam pembentukannya
Aluminium merupakan salah satu logam yang mudah untuk
dibentuk dan mudah dalam fabrikasi seperti forging, bending,
rolling, casting, drawing, dan machining. Struktur kristal yang
dimiliki aluminium adalah struktur kristal FCC (Face Centered
Cubic), sehingga aluminium tetap ulet meskipun pada temperatur
yang sangat rendah. Bahan aluminium mudah dibentuk menjadi
bentuk yang kompleks dan tipis sekalipun, sepeti bingkai jendela,
lembaran aluminium foil, rel, gording, dan lain sebagainya.
3. Tahan terhadap korosi
Aluminium tahan terhadap korosi karena fenomena pasivasi.
Pasivasi adalah pembentukan lapisan pelindung akibat reaksi logam
terhadap komponen udara sehingga lapisan tersebut melindungi
lapisan dalam logam dari korosi. Hal tersebut dapat terjadi
karena permukaan aluminium mampu membentuk lapisan
alumina (Al2O3) bila bereaksi dengan oksigen.
4. Konduktif panas tinggi
Konduktifitas panas aluminium tiga kali lebih besar dari besi,
maupun dalam pendinginan dan pemanasan. Sehingga aplikasi
banyak digunakan pada radiator mobil, koil pada evaporator, alat
penukar kalor, alat-alat masak, maupun komponen mesin.
5. Konduktif listrik tinggi
Konduktifitas listrik dari aluminium dua kali lebih besar
dari pada tembaga dengan perbandingan berat yang sama.
Sehingga sangat cocok digunakan dalam kabel transmisi listrik.
6. Tangguh pada temperatur rendah
Aluminium tidak menjadi getas pada temperatur rendah hingga
-100 oC, bahkan menjadi lebih keras dan ketangguhan meningkat.
Sehingga aluminium dapat digunakan pada material bejana yang
beroperasi pada temperatur rendah.
7. Tidak beracun
Aluminium tidak memiliki sifat racun pada tubuh manusia,
sehingga sering digunakan dalam industri makanan seperti kaleng
makanan dan minuman, serta pipa-pipa penyalur pada industri
makanan dan minuman.
8. Mudah didaur ulang
Aluminium mudah untuk didaur ulang, bahkan 30% produksi
aluminium di Amerika berasal dari aluminium yang didaur ulang.
Pembentukan kembali aluminium dari material bekas hanya
membutuhkan 5% energi dari pemisahan aluminium dari bauksit.
Aluminium juga memiliki beberapa kekurangan yaitu
kekuatan dan kekerasan yang rendah bila dibanding dengan logam
lain seperti besi dan baja. (Wessel, 2004)
Tabel 2.1. Sifat-sifat fisik aluminium
Element Symbo Atomic Melting Boiling Latent heat of Mean specific heat
l weight point 0
Point ( C) Fusion 0
0-100 C
0
( C) (kl/kg) (cal/g) 0
(kl/kg.K) (cal/g c)

Aluminium A1 26,97 660,4 2520 386,8 92,4 0,917 0,219

Thermal Resistivity Vol. Change on Density Coedd Brinell


Conductivity melting (g/cm3) Of Expansion Hardness
( ohm.c -6
(W/m.K) (%) (x10 /K) No.
m at
0
20 C)
238 2,67 6,6 2,70 23,5 17

2.1.3 Aluminium dan Paduannya


Umumnya semua jenis logam memiliki kegunaan yang sempit pada
kondisi murni, karena memiliki sifat yang tunggal. Oleh karena itu
dengan menambahkan elemen lain pada suatu material akan merubah
sifat fisik maupun mekanik dari suatu material sehingga material
tersebut lebih dapat diaplikasikan diberbagai keadaan, begitu juga
dengan aluminium. (Hatch, 1984)
Misalnya penambahan unsur tembaga pada aluminium akan
meningkatkan kekerasan, namun mengurangi ketahanan terhadap
korosi. Terdapat 15 unsur yang dapat dipadukan dengan aluminium,
dan semuanya dapat merubah sifat fisik maupun mekanik dari
aluminium.
Larutan dalam logam utama memiliki batas kelarutan
maksimum. Apabila larutan melebihi daya larut maksimum maka
akan membentuk fasa lain. Paduan yang masih dalam batas kelarutan
disebut dengan paduan logam fasa tunggal. Sedangkan paduan yang
melebihi batas kelarutan disebut dengan paduan fasa ganda.
Peningkatan kekuatan dan kekerasan logam paduan disebabkan oleh
adanya atom- atom yang larut yang menghambat pergerakan dislokasi
dalam kristal sewaktu deformasi plastik
Paduan aluminium dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu paduan
tempa (wrought alloy) dan paduan cor (cast alloy). Keduanya memiliki
jenis-jenis yang berbeda dengan disimbolkan kode yang telah
distandarisasi oleh ANSI H35.1 alloy and temper designations for
aluminum.
a. Paduan Tempa (Wrought Alloy)
Pada paduan tempa menggunakan sistem penamaan
empat angka. Angka pertama menyatakan kandungan unsur
paduan utama. Angka kedua menotasikan modifikasi dari
paduan, sebagai contoh paduan aluminium seri 6463
merupakan modifikasi dari 6063 dengan sedikit
perbedaan unsur paduan lain seperti besi, mangan, dan crom.
1. Seri 1xxx (pure Al)
Seri 1xxx (pure A1) merupakan aluminium murni
yang mengandung 99% aluminium dan 1% pengotor.
Memiliki konduktifitas panas dan listrik yang sangat
baik, serta memiliki ketahanan terhadap korosi yang
tinggi. Aluminium seri ini memiliki kekuatan yang
rendah.
Dua digit terakhir dari nomor paduan menotasikan
dua desimal dari presentasi kandungan aluminium.
Contohnya aluminium seri 1060, berarti memiliki
kandungan 99,60% aluminium.
2. Seri 2xxx (Al-Cu)
Kandungan unsur utama pada seri ini adalah
tembaga, tetapi magnesium dan sejumlah kecil elemen lain
juga ditambahkan pada paduan ini. Penambahan tembaga
meningkatkan kekerasan tetapi menurunkan ketahanan
terhadap korosi. Paduan seri 2024 (super duralimin)
merupakan paduan yang paling terkenal dan sering dipakai
pada badan pesawat terbang.
Penambahan tembaga mengurangi mampu las dari
aluminium. Jenis paduan Al-Cu adalah jenis yang dapat
diperlaku-panaskan. Dengan melalui pengerasan endap atau
penyepuhan, sifat mekanik paduan ini dapat menyamai sifat
dari baja lunak.
3. Seri 3xxx (Al-Mn)
Manganese merupakan elemen paduan utama pada seri
ini. Mn dapat mengeraskan sebesar 20% dari aluminium
murni, meningkatkan ketahanan korosi dan mampu potong
yang baik. Paduan ini adalah jenis yang tidak dapat diperlaku-
panaskan, sehingga penaikan kekuatannya hanya dapat
diusahakan melalui pengerjaan dingin pada proses
pembuatannya.
Aluminium seri ini sering digunakan pada produk-
produk arsitektur seperti slides bar, rangka atap, dan lain
sebagainya.
4. Seri 4xxx (Al-Si)
Silikon sebagai kandungan utama paduan dapat
menurunkan titik lebur pada pengelasan dan pelapisan.
Silikon juga meningkatkan mampu alir aluminium pada
proses pengecoran.
Konsentrasi silikon lebih tinggi dari 15%, tingkat
kerapuhan logam akan meningkat secara drastis akibat
terbentuknya kristal granula silika. Paduan Al-Si
termasuk jenis yang tidak dapat diperlaku-panaskan.
5. Seri 5xxx (Al-Mg)
Penambahan unsur magnesium akan meningkatkan
kekuatan, ketahanan terhadap korosi, terutama korosi
oleh air laut dan sifat mampu las yang baik. Seri ini
banyak diaplikasikan pada industri perkapalan.
penambahan magnesium hingga 15,35% dapat
menurunkan titik lebur logam paduan yang cukup
drastis, dari 660 oC hingga 450 oC.
6. Seri 6xxx (Al-Mg-Cu)
Elemen paduan untuk seri 6xxx adalah magnesiun dan
silikon. Paduan ini termasuk dalam jenis yang dapat
diperlaku-panaskan dan mempunyai sifat mampu potong dan
daya tahan korosi yang cukup.
Sifat yang kurang baik dari paduan ini adalah terjadinya
pelunakan pada daerah las sebagai akibat dari panas
pengelasan yang timbul. Paduan jenis ini banyak digunakan
untuk tujuan struktur rangka dan biasanya diproduksi dalam
bentuk ekstrusi, lembaran, atau pelat.
7. Seri 7xxx (Al-Zn)
Paduan ini termasuk jenis yang dapat diperlaku-
panaskan. Seri ini terdapat dua jenis paduan, paduan Al-Zn-Mg
(7005) dan paduan Al-Zn-Mg-Cu (7075 dan 7178).
Pada seri ini terdapat paduan yang terkenal dengan
kekuatannya hingga 580 MPa yaitu seri 7178 atau sering
disebut ultra duralumin yang digunakan untuk struktur rangka
pesawat dan komponen struktural. Berlawanan dengan
kekuatan tariknya, sifat mampu las dan daya tahannya
terhadap korosi kurang baik.
8. Seri 8xxx (Al-fe-Ni)
Besi dan nikel merupakan unsur utama pada paduan
ini. Kandungan besi dan nikel dapat meningkatkan
kekuatan tarik dan mengurangi sedikit konduktifitas
listrik.
Pada Tabel 2.2 menjelaskan tentang karakteristik
pada aluminium paduan tempa (wrought) untuk
beberapa seri yang telah dijelaskan sebelumnya.
(Wessel, 2004)
Table 2.2. Kelompok Paduan Al Tempa (Wrought Alloys)

b. Paduan Cor ( Cast Alloy)


Pada aluminium paduan cor memiliki lebih banyak variasi
unsur paduan dibanding dengan aluminium paduan tempa. Hal
tersebut disebabkan pada paduan cor memiliki struktur mikro
yang lebih homogen dibanding paduan tempa. Paduan cor
biasanya memiliki kandungan silikon yang lebih tinggi untuk
meningkatkan fluiditas pada saat pengecoran. (Hatch, 1984)
Aluminium paduan cor juga menggunakan kode penomoran
dengan 4 digit, seperti paduan tempa. Namun pada paduan cor
memiliki 1 digit desimal pada akhir penomoran. Digit pertama
menunjukkan kandungan unsur utama pada paduan. Digit ke 2 dan
ke 3 menunjukkan level kemurnian dari dari paduannya.
Sedangkan angka terakhir yang dipisahkan dengan tanda desimal
merupakan bentuk hasil pengecorannya, misalnya casting (0) atau
ingot (1, 2).
1. Seri 1xxx (pure Al)
Seri ini mengandung aluminium murni dengan kadar
minimum 99% aluminium.
2. Seri 2xxx (Al-Cu)
Kandungan paduan utama pada seri ini adalah
tembaga, penambahan Cu menghasilkan paduan cor
yang bersifat keras.
Paduan seri ini sering digunakan pada peralatan
mesin, pesawat terbang, dan beberapa komponen mesin.
Paduan 203.0 memiliki kekuatan yang paling tinggi
pada temperatur tinggi dan cocok digunakan pada daerah
operasi 200 oC.
3. Seri 3xxx (Al-Si-Cu-Mg)
Paduan seri ini mengandung unsur paduan utama silikon
dengan tembaga atau dengan magnesium, atau keduanya. Seri
ini memiliki fluiditas yang baik, dan kekerasan yang tinggi.
Jenis paduan ini paling banyak digunakan di seluruh
industri di dunia. Contohnya adalah paduan AA356.0
merupakan paduan yang sangat populer dan banyak digunakan
diberbagai aplikasi. Kandungan silicon yang tinggi juga
meningkatkan keausan material, sering digunakan pada blok
mesin dan piston kendaraaan.
4. Seri 4xxx (Al-Si)
Silikon sebagai kandungan utama paduan memiliki
sifat mampu alir yang sangat baik pada paduan cor.
Sering digunakan pada proses pengecoran dengan
bentuk geometri benda kerja yang rumit.
5. Seri 5xxx (Al-Mg)
Penambahan unsur magnesium (Mg) akan
meningkatkan ketahanan terhadap korosi, terutama
terhadap air laut. Memiliki sifat machinability yang
baik, namun sulit dalam proses pengecoran karena
menurunkan fluiditas.
6. Seri 6xxx
Paduan jenis ini tidak digunakan.
7. Seri 7xxx (Al-Zn)
Unsur paduan utama adalah seng (Zn), sulit untuk dicor
karena fluiditas rendah, sehingga dalam proses finishing perlu
proses pemesinan yang lebih banyak dibanding seri lain.

Gambar 2.2. Diagram fasa Al-Zn


Jenis seri ini memiliki keseimbangan antara kekuatan
dengan ketahanan terhadap korosi, namun tidak dapat
beroperasi pada temperatur tinggi.
8. Seri 8xxx (Al-Sn)
Seri ini mengandung paling banyak 6% timah dan
sangat baik digunakan untuk material bearing. Paduan
jenis ini juga baik digunakan pada rolling mill bearing,
connecting rod, dan crankcase bearing pada mesin
diesel.
9. Seri 9xxx
Paduan jenis ini tidak di gunakan.
Tabel 2 . 3 berikut ini menjelaskan karakteristik dari
paduan aluminium cor yang telah dijelaskan
sebelumnya. (Hatch, 1984)
Tabel 2.3. Kelompok Paduan Al Cor (Casting Alloys)
Group Major Alloying Addition General Characteristics, Typical Uses
(s)
1xx.x Highest conductivity and ductility, low strength;
conductor bars for electric motors

2xx.x Cu (Extra low Fe) Heat treatable, high strength, mediocre corrosion resistance ;
pistons. Cylinder heads, valve bodies,gears.
3xx.x Si, with added Cu and/or The most widely used casting alloys, good castability,heat
Mg treatable, higher strength than 4xx.x machine tool
parts,aircraft wheels,pistons,transmission casings.
4xx.x Si General purpose casting alloys, best castability, non-
heat- treatable, good corrosion resistance; increcate
castings with thin sections, housings, frames, engine
parts.
5xx.x Mg Medium strength, non-heat-treatable, good corrosion
resistance; marine components, food-processing vessels,
architectural trim

6xx.x (unused series)


7xx.x Zn Natural aging alloys, capable of producing good
surface finish and good corrosions resistance, more
difficult to cast

8xx.x Sn
9xx.x Other element(s) Specialty alloys; bearings and bushings

2.2 Aluminium –Metal Matrix Composites / AMCs


Campuran dari aluminium yang digunakan dalam aplikasi memberikan
keuntungan karena kombinasinya yang sangat kuat, densitas yang rendah,
ketahanan, mampu mesin, ketersediaan serta harga yang sangat menarik
dibandingkan material lainnya. Semua ini dapat dikembangkan dengan
menggunakan aluminium matrix composites. Aluminium matrix composites
menawarkan keuntungan yang spesifik bila dibandingkan dengan aluminium yang
tanpa penguat, polymer matrix composites dan ceramic matrix composites
walaupun tetap memiliki kekurangan tertentu. Kelebihan dan kekurangan dari
aluminium matrix composites dapat dilihat pada Tabel 2.4 . (Surappa, 2003)
Tabel 2.4. Kelebihan dan Kekurangan Aluminium Matrix Composites

Aluminium matrix composites bisa diklasifikasikan ke dalam beberapa tipe


yang berbeda menurut penguat dan campuran yang dimilikinya. Klasifikasi ini
dapat dilihat pada Tabel 2.5. (Surappa, 2003)
Tabel 2.5. Aluminium reinforcement

Aluminium matrix composites dapat dibedakan menurut geometri penguatnya :


1. Continous fibre reinforced composites dengan monofilament (memiliki
diameter >100 µm) atau dengan tows of fibres (diameter >20 µm).
2. Discontinous reinforced composite dengan short fibre, whisker atau
particulates.
Continuous fibre reinforced composite memiliki ciri-ciri :
1. Meningkatkan kekakuan dan kekuatan.
2. Mengurangi keausan dan keretakan.
3. Bersifat anisotropic
4. Meningkatkan kekuatan lelah dalam arah fiber.
5. Memiliki harga dan biaya yang tinggi dan teknik manufaktur yang
kompleks.
Discontinuous reinforced composite akan meningkat pada saat kekuatan
tidak menjadi sasaran utama, melainkan yang diharapkan adalah
peningkatan kekakuan, resistensi keausan yang lebih baik, pemuaian panas
yang terkontrol, dapat digunakan pada temperatur yang lebih tinggi.
Perbedaan antara continuos fibre reinforced composite dengan
monofilament dan discontinuos reinforced composite dengan short fibre,
whisker atau particulated ditunjukkan pada Gambar 2.3 (Surappa, 2003)

Gambar 2.3. Jenis Aluminium Matrix Composites .


Keuntungan utama dari Aluminium Matrix Composites
dibandingkan dengan logam-logam lain yang tanpa penguat :
1. Memiliki kekeuatan yang lebih besar.
2. Meningkatkan kekakuan.
3. Mengurangi densitas.
4. Sifatnya meningkat pada temperatur yang tinggi.
5. Mengontrol koefisien peningkatan arus panas.
6. Management arus panas.
7. Meningkatkan dan menyesuaikan performansi listrik.
8. Meningkatkan resistensi keausan dan goresan/abrasi.
9. Sangat banyak mengontrol (khususnya pada aplikasi yang
berlawanan).
10. Meningkatkan kemampuan lembab / damping.
Aluminium Matrix Composites dapat diklasifikasikan menjadi empat
tipe berdasarkan penguatnya, yaitu :
1. Particle-reinforced AMCs (PAMCs).
2. Whisker-or short fibre-reinforced AMCs (SFAMCs).
3. Continuous fibre-reinforced AMCs (CFAMCs).
4. Mono filament-reinforced AMCs (MFAMCs).
Keistimewaan-keistimewaan yang menonjol dari masing-masing
aluminium matrix composites tersebut adalah sebagai berikut :
1. Particle Reinforced Aluminium Matrix Composites
Komposit ini umumnya mengandung materi penguat dari
keramik dengan rasio kurang dari 5. Penguat keramik biasanya
menggunakan (Al2O3 atau SiC atau TiB) dengan volume kurang
dari 30% pada saat digunakan untuk aplikasi ketahanan keausan dan
struktural. Secaraumum, PAMCs dapat diperoleh baik melalui
proses solid state (PM Processing) atau liquid state (stir casting,
infiltration and in-situ). PAMCs lebih murah bila dibandingkan
dengan CFAMCs. Walaupun sifat mekanis dari PAMCs lebih
rendah dibandingkan jenis AMCs yang lain namun masih lebih baik
bila dibandingkan dengan aluminium murni atau campuran
aluminium tanpa penguat. Komposit ini adalah isotopic alami dan
dapat diberlakukan untuk pembuatan sekunder lain yang mencakup
tekanan, bergulung/forging dan tempaan. Gambar (a) menunjukkan
struktur mikro dari PAMCs dengan materi berupa 40%volume
partikel SiC.
2. Short Fibre and Whisker-Reinforced Aluminium Matrix Composites
Komposit jenis ini memiliki materi penguat dengan rasio
lebih besar dari 5, tetapi tidak kontinyu. Penguat serat pendek
alumina AMCs merupakan aluminium matrix composites yang
pertama dan yang paling populer digunakan untuk piston, penguat
jenis ini diperoleh dengan squeeze infiltration. Pada Gambar (b)
menunjukkan struktur mikro dari SAMCs dengan materi penguat
berupa short fibre. Komposit penguat whisker dihasilkan oleh PM
processing dan infiltration route. Penguat whisker mempunyai sifat
mekanis yang lebih kuat dibandingkan dengan komposit penguat
serbuk atau short fibre. Namun belakangan,penggunaan AMCs
menurun dikarenakan efeknya yang mempengaruhi kesehatan.
3. Continuous Fibre-Reinforced Aluminium Matrix Composites
Komposit ini menggunakan penguat yang terbuat dari serat
yang kontinyu (alumina, SiC atau karbon) dengan diameter kurang
dari 20 µm. AMCs yang memiliki volume fraction lebih dari 40%
dihasilkan oleh teknik squeeze infiltration. Continuous fibre-
reinforced matrix composite mempunyai materi penguat yang dapat
disusun satu arah maupun saling tegak lurus. Untuk CFAMCs yang
posisi materi penguatnya hanya satu arah kekuatan tariknya akan
tinggi jika mengalami gaya tarik yang searah dengan susunan materi
penguatnya. Struktur mikro dari AMCs dengan penguat fiber
alumina yang kontinyu ditunjukkan pada Gambar (c)
4. Mono Filament Reinforced Aluminium Matrix Composites
Mono filament memiliki diameter antara 100 sampai 150
µm. Mono Filament biasannya diproduksi dengan proses chemical
vapour deposition (CVD) dengan menggunakan penguat SiC atau B
dalam sebuah inti dari fiber karbon atau kawat W. Fleksibilitas
bending dari mono filament lebih rendah bila dibandingkan dengan
multi filament. Mono filament memperkuat AMCs yang diproduksi
dengan Teknik diffusion bonding namun ini terbatas hanya pada
super plastic yang membentuk AMCs. Pada CFAMCs dan
MFAMCs, penguatnya adalah unsur load-bearing yang utama dan
peran aluminium matrix adalah untuk mengikat penguat tersebut dan
memindahkan serta mendistribusikan beban. Matrix adalah unsur
pokok utama dari load-bearing pada partikel dan whiskers yang
memperkuat AMCs. Fungsi dari penguat adalah untuk memperkuat
dan memperkeras paduan tersebut dengan cara mencegah perubahan
bentuk oleh pengekangan mekanis. Selain dari keempat jenis
aluminium matrix composites diatas terdapat satu jenis lagi yang
masih dalam tahap pengembangan, yaitu jenis hybrid composites.
Hybrid composites merupakan komposit yang memiliki lebih dari
satu jenis penguat. Contohnya adalah komposit partikel dan whisker,
atau komposit partikel dan fibre, atau komposit antara penguat keras
dan penguat lunak. Salah satu contoh aplikasi dari hybrid AMCs
adalah komposit dari carbon fibre dan partikel alumina yang
digunakan pada aplikasi kapal silindris. (Surappa, 2003)

Gambar 2.4. Microstructures of (a) aluminium matrix composite having


high volume fraction of SiC particle reinforcement (40 vol%), (b) short
fibre-reinforced aluminium matrix composite, (c) continuous
fibrereinforced aluminium matrix composite, (d) hybrid composite
containing 10% SiC and 4% graphite particles.
2.3 Carbon nanotube
Carbon nanotube adalah salah satu struktur carbon yang berbentuk seperti
silinder dengan diameter dalam orde nanometer. Salah satu keunikan dalam
struktur ini adalah kelebihannya dalam hal kekuatan, sifat keelektrikannya, dan
juga sifat dalam penghantaran panas yang baik. Struktur ini memiliki bermacam
bentuk turunan yang masing-masing memiliki sifatnya tersendiri.
Keistimewaan carbon nanotube membuatnya menjadi harapan baru dalam
perkembangan teknologi nano.
Carbon nanotube merupakan turunan dari struktur carbon. Carbon
nanotube dapat dideskripsikan sebagai lembaran grafit setebal 1 atom yang
digulung menyerupai silinder dan memiliki diameter dengan orde nanometer.
Lembaran ini memiliki struktur seperti sarang lebah (honeycomb) yang terdiri
dari ikatan-ikatan atom carbon.
Struktur carbon nanotube yang unik memungkinkannya memiliki sifat
kenyal, daya regang, dan stabil dibandingkan struktur carbon lainnya.
Kelebihannya ini dapat dimanfaatkan dalam pengembangan struktur bangunan
yang kuat, struktur kendaraan yang aman, dan lainnya. Hal ini dikarenakan
carbon nanotube memiliki ikatan 𝑠𝑝3 menyerupai struktur di grafit. Ikatan ini
lebih kuat dibandingkan dengan struktur ikatan 𝑠𝑝2 yang dimiliki oleh intan.
Dengan demikian secara alami carbon nanotube akan membentuk ikatan yang
sangat kuat. (Sudibyo, 2017)

Gambar 2.5. Struktur Carbon Nanotube Dalam 3 Dimensi


2.3.1 Struktur Carbon Nanotube
1. Single Walled Nanotubes (SWNT)
Struktur ini memiliki diameter kurang lebih 1 nanometer dan
memiliki panjang hingga ribuan kali dari diameternya. Struktur
SWNT dapat dideskripsikan menyerupai sebuah lembaran panjang
struktur grafit (disebut graphene) yang tergulung. Umumnya
SWNT terdiri dari dua bagian dengan properti fisik dan kimia yang
berbeda. Bagian pertama adalah bagian sisi dan bagian kedua
adalah bagian kepala. SWNT memiliki beberapa bentuk struktur
berbeda yang dapat dilihat bilamana struktur tube dibuka.

(a)
(b)

(c)
Gambar 2.6. Beberapa Bentuk Struktur SWNT (a) Struktur Armchair (b)
Struktur Zigzag (c) Struktur Chiral

Gambar 2.7. Struktur SWNT Secara Vektor


Pada gambar 2.7 terlihat cara lembaran grafit (graphene) dilipat
dapat dijabarkan oleh chiral vector Ch yang direpresentasikan oleh
pasangan (n,m). n dan m menunjukkan jumlah unit vektor di antara
2 vektor di dalam crystal lattice dari graphene. Jika m=0 maka
struktur nanotube dinamakan struktur zigzag. Jika n=m maka
struktur nanotube dinamakan struktur armchair. Selebihnya
dinamakan struktur chiral. Perbedaan dalam chiral vector akan
menyebabkan perbedaan sifat struktur, misalnya sifat struktur
terhadap cahaya, kekuatan mekanik, dan konduktivitas elektrik.
SWNT memiliki sifat keelektrikan yang tidak dimiliki
oleh struktur MWNT. Hal ini memungkinkan pengembangan
struktur SWNT menjadi nanowire karena SWNT dapat menjadi
konduktor yang baik. Selain itu SWNT telah dikembangkan
sebagai pengganti dari field effect transistors (FET) dalam skala
nano. Hal ini karena sifat SWNT yang dapat bersifat sebagai n-
FET juga p-FET ketika bereaksi terhadap oksigen. Karena dapat
memiliki sifat sebagai n-FET dan p-FET maka SWNT dapat
difungsikan sebagi logic gate.
2. Multi Walled Nanotubes (MWNT)
MWNT dibentuk dari beberapa lapisan struktur grafit yang
digulung membentuk silinder. Atau dapat juga dikatakan MWNT
tersusun oleh beberapa SWNT dengan berbeda diameter. MWNT
jelas memiliki sifat yang berbeda dengan SWNT.

Gambar 2.8. Struktur MWNT


Pada MWNT yang hanya memiliki 2 lapis dinding
(Double-Walled Carbon Nanotubes- DWNT) memiliki sifat
yang penting karena memiliki sifat yang menyerupai SWNT
dengan chemical resistance yang lebih baik. Hal ini dikarenakan
pada SWNT hanya memiliki 1 lapis dinding sehingga bilamana
terdapat ikatan C=C yang rusak maka akan menghasilkan lubang
di SWNT dan hal ini akan mengubah sifat mekanik dan elektrik
dari ikatan SWNT tersebut. Sedangkan pada DWNT masih
terdapat 1 lapisan lagi di dalam yang akan mempertahankan
sifatnya.

(a) (b)
Gambar 2 . 9. Struktur Yang Berbeda Dari MWNT (a) MWNT yang
terpisah 0.34 nm (b) Bentuk cone shaped end caps Yang Simetris Dan
Tidak Simetris
3. Torus
Bentuk struktur ini masih berupa teoritis. Bentuk torus
adalah bentuk struktur melingkar seperti donut. Struktur ini
memiliki beberapa sifat yang menonjol seperti momen magnetik
yang lebih besar, stabil dalam suhu, dan sebagainya. Sifat ini akan
bervariasi tergantung dari diameter torus dan diameter dari
nanotube.
4. Peapod
Struktur ini cukup unik karena terdapat molekul C60 yang
terbungkus di tengah nanotube.
2.3.2 Sifat-Sifat Carbon Nanotubes
1. Konduktivitas Listrik dan Panas
Sifat keelektrikan yang dimiliki oleh carbon
nanotube ditentukan oleh struktur yang dimilikinya.
Struktur ini menyangkut diameter dan bagaimana tube
”digulung” menjadi nanotube. Nanotube memiliki densitas
arus listrik 1000 kali lebih besar daripada logam seperti perak
dan tembaga.
Ketika nanotube bersifat sebagai konduktor,
nanotube memiliki konduktivitas yang sangat tinggi.
Diperkirakan pada saat nanotube bersifat sebagai konduktor
maka ia mempunyai konduktivitas listrik sebesar 1 milyar

Ampere per 1 cm2. Hal ini tidak mungkin terjadi pada


bahan tembaga karena akan terjadi panas yang dapat
melelehkan tembaga. Pada nanotube tidak akan terjadi panas
yang tinggi karena hambatan yang rendah. Nanotube juga
memiliki konduktivitas panas yang baik. Hal ini yang
kemudian nanotube diberi sebutan ballistic conduction.
Nanotube memiliki kemampuan untuk mentransmisikan
6000 W/m/K di suhu ruangan (pada tembaga hanya 385

W/m/K). Selain itu nanotube tetap stabil hingga suhu 2800 oC

di ruang hampa udara dan sekitar 750 oC di udara bebas.


2. Kekuatan Mekanik
Nanotube memiliki modulus elastik dan sifat

peregangan yang sangat baik. Sifat ini karena ikatan sp2


yang dimiliki oleh carbon nanotube ini. Tipe MWNT dapat
menangani hingga 63 GPa regangan yang diberikan padanya
(pada baja carbon terbaik saat ini hanya mampu menahan
peregangan hingga 1.2 GPa). Sedangkan modulus elastik yang
dimiliki oleh nanotube dapat mencapai 1 TPa. Saat ini telah
diketahui pula nanotube memiliki kekuatan hingga 48462
kN.m/kg (dibandingkan baja carbon terbaik hanya 154
kN.m/kg).
Gambar 2.10. Perbandingan Sifat Mekanik Dari Carbon dan Grafit Fiber
3. Sifat Vibrasi
Atom memiliki pola getaran yang kontinue dan
periodik. Pada MWNT, dimana beberapa nanotube saling
terpola satu di dalam yang lain, memperlihatkan bahwa
pada lapisan yang di dalam akan bergetar sedemikian
hingga mendekati pola gerakan yang berputar sempurna
tanpa adanya gesekan dengan lapisan di atasnya. Pendekatan
ini kemudian dapat dikembangkan menjadi motor dalam
skala nanometer. Pergetaran ini sangat ditentukan oleh
diameter dari nanotube. (Poole, 2003)
2.3.3 Pembentukan Nanotube
Terdapat beberapa cara dalam pembentukan nanotube, namun
secara umum yang banyak digunakan adalah metode pelepasan bunga
api (arc discharge), CVD (Chemical Vapour Deposition), dan laser
ablation. (Shifrina, 2011)
1. Metode Arc Discharge
Metode ini menggunakan 2 buah batang carbon yang
diletakkan saling berhadapan pada ujungnya dan dipisahkan
sejarak kurang lebih 1 mm. Ruang yang terpisah ini kemudian
dialiri gas seperti Helium dan Argon pada tekanan rendah (50-
700 mbar).Kemudian arus listrik sebesar 50-100 A dan
tegangan 20 volt diberikan sehingga menciptakan perubahan
suhu yang tinggi di antara ujung elektroda sehingga akan
terjadi penguapan di ujung batang tersebut. Kemudian proses
ini akan dilanjutkan dengan pembentukkan lapisan oleh uap
dari penguapan batang tersebut pada ujung batang lainnya.

Gambar 2.11. Proses Pembentukan Nanotube Dengan Arc Discharge


Pada proses ini dapat terbentuk 2 buah struktur yaitu
SWNT dan MWNT. Bilamana diinginkan hasilnya SWNT
maka pada anoda didoping dengan katalis logam seperti Fe,
Co, dan Ni. Kuantitas dan kualitas dari nanotube tergantung
dari beberapa parameter seperti konsentrasi logam yang
digunakan, tekanan gas, jenis gas, dan berbagai parameter
lainnya.
Sedangkan pada MWNT tidak menggunakan doping
seperti halnya proses pembentukan SWNT. Namun dalam
proses pembentukan MWNT akan terbentuk berbagai bahan
lain yang tidak diinginkan. Bila diusahakan benar-benar
murni maka akan MWNT yang terbentuk akan kehilangan
strukturnya dan dinding struktur yang tidak teratur.
2. Metode CVD (Chemical Vapour Deposition)
Metode ini telah ada sejak tahun 1959 namun baru
dipakai sejak tahun 1993 untuk proses pembentukan nanotube.
Pada proses ini carbon disiapkan dengan lapisan partikel logam
katalis, seperti nikel, kobalt, besi, atau kombinasinya dan
dikondisikan pada suhu sekitar 700 oC. Sementara itu 2 jenis
gas, yaitu gas untuk proses seperti ammonia, nitrogen,
hydrogen dan sebagainya serta gas yang mengandung carbon
seperti acetylene, ethylene, ethanol, methane, dan sebagainya,
dialirkan ke dalam proses.

Gambar 2.12. Reaktor Pembentukan Metode CVD


3. Metode Laser Ablation
Metode ini menggunakan laser untuk menguapkan grafit

pada suhu 1200 oC. Ruangan tempat berlangsungnya proses


ini akan diisi dengan gas helium atau argon dan dijaga tetap
pada tekanan 500 Torr. Pada keadaan ini maka akan terbentuk
uap yang kemudian dengan cepat akan kembali dingin.
Keadaan ini akan menyebabkan terbentuknya atom dan
molekul carbon dan akan terbentuk kelompok yang besar.
Kelompok-kelompok ini kemudian akan tumbuh
menjadisingle-wall carbon nanotube. Kondisi yang
menggambarkan peristiwa ini digambarkan pada gambar 2.13.
(Shifrina, 2011)
(a)

(b)
Gambar 2.13. Metode Laser Ablation
2.4 Stir Casting
Proses stir casting merupakan salah satu proses pembuatan
komposit dalam kondisi cair yang paling sederhana. Prinsip dari proses
stir casting adalah penyatuan partikel penguat ke dalam logam cair
dengan pengadukan secara mekanik diatas garis liquidus, lalu
dituangkan ke dalam cetakan. Skema dari proses stir casting dilihat
pada gambar 2.14. (Kartaman, 2010)
Keuntungan dari proses ini adalah mampu menggabungkan
partikel penguat yang tidak dibasahi oleh logam cair. Bahan yang tidak
dibasahi tersebut terdistribusi oleh adanya gaya pengadukan secara
mekanik yang menyebabkan partikel penguat terperangkap dalam logam
cair.
Gambar 2.14. Proses stir casting
Metode pembuatan ini merupakan metode yang paling
sederhana, relatif lebih murah dan tidak memerlukan peralatan
tambahan. Namun proses stir casting ini kadangkala mengalami
beberapa kendala diantaranya adalah distribusi partikel yang kurang
homogen dan wettability aluminium terhadap beberapa jenis
keramik yang kurang baik. Ketidak homogenan mikrostruktur
disebabkan oleh penggumpalan partikel penguat (clustering) dan
pengendapan selama pembekuan berlangsung akibat perbedaan
densitas matrik dan penguat, terutama pada fraksi volume partikel
tinggi. Secara umum fraksi volume penguat hingga 30% dan ukuran
partikel 5 – 100 µ m dapat disatukan kedalam logam cair dengan
metode stir casting. Parameter yang dapat mempengaruhi dalam
proses stir casting yaitu : kecepatan pengadukan, temperatur
pengadukan, perlakuan panas terhadap penguatnya, waktu
pengadukan dan kecepatan penuangan serbuk. (Kartaman, 2010)

2.5 Pengujian Kekerasan


Pada umumnya, kekerasan menyatakan ketahanan terhadap deformasi dan
merupakan ukuran ketahanan logam terhadap deformasi plastik atau deformasi
permanen (Dieter, 1988). Untuk para insinyur perancang, kekerasan sering
diartikan sebagai ukuran kemudahan dan kuantitas khusus yang menunjukkan
sesuatu mengenai kekuatan dan perlakuan panas dari suatu logam.

2.5.1 Uji Kekerasan Rockwell

Pengujian kekerasan dengan metode Rockwell bertujuan menentukan


kekerasan suatu material dalam bentuk daya tahan material terhadap
indentor berupa bola baja ataupun kerucut intan yang ditekankan pada
permukaan material uji tersebut. Untuk mencari besarnya nilai
kekerasan dengan menggunakan metode Rockwell dijelaskan pada
gambar 2.15, yaitu:

Gambar 2.15. Pengujian Rockwell


langkah 1 benda uji ditekan oleh indentor dengan beban minor (Minor
Load F0)
langkah 2, ditekan dengan beban mayor (major Load F1)
langkah 3 beban mayor diambil sehingga yang tersisa adalah minor load
dimana pada kondisi 3 ini indentor ditahan seperti kondisi pada saat total
load F yang terlihat pada Gambar 16

Gambar 2.16. Prinsip kerja metode pengukuran kekerasan Rockwell


2.5.2 Pengujian Impack
Uji impact bertujuan untuk mengetahui ketangguhan logam akibat
pembebanan kejut pada beberapa macam kondisi suhu. Ketangguhan
adalah suatu ukuran energi yang diperlukan untuk mematahkan bahan.
Suatu bahan ulet dengan kekuatan yang sama dengan bahan rapuh akan
memerlukan energy perpatahan yang lebih besar dan mempunyai sifat
tangguh yang lebih baik. (Syam dan Mahadi, 2005)
Penurunan ketangguhan dapat berakibat fatal, oleh karena itu
ketangguhan perlu diukur atau dikuantifitasikan secara konvensional
yang mana hal tersebut dilakukan dengan uji impact/benturan. Test
dalam pengujian impact ada dua, yaitu:
a . Drop Weight Test
Dikembangkan oleh laboratorium riset Naval, standarisasinya
berdasarkan ASTM adalah ASTM E 208-69. Test Naval (dikenal
juga dengan Nil-Ductility-Transition Temperature Test) dimaksud
untuk keperluan luas, yakni untuk mengetahui patah getas ( brittle
fracture) dari bahan baja.

Gambar 2.17. Alat uji impact Drop Weight Test

b. Metode Charpy
Menggunakan batang impat yang ditumpu pada ujung-ujungnya.
Benda uji Charpy mempunyai luas penampang lintang bujur sangkar
dan mengandung takik V- , dengan jari-jari dasar 0,25 mm dan
kedalaman 2 mm. Benda uji diletakkan pada tumpuan dalam posisi
mendatar dan bagian yang tidak bertakik diberi beban impact dengan
ayunan bandul. Benda uji akan melengkung dan patah pada laju
regangan yang tinggi.

Gambar 2.18. Alat Uji Impact Metode Charpy

Untuk mengetahui kekuatan impact /impact strength (Is) di


dapatkan persamaan 2.2 :

Is = ∆E/A
𝜕
= W ℓ( cos β - cos α ) =𝐴 ………………………..(2.2)

Dimana; ℓ = panjang lengan bandul (m)

α = sudut awal (o)

β = sudut akhir (o)

W = Berat bandul (N)

∂ = energi yang terbaca (j)

A = luas sampel setelah patah (mm²)

2.5.3 Kekuatan Tarik


Uji tarik mungkin adalah cara pengujian bahan yang paling
mendasar. Pengujian ini sangat sederhana, tidak mahal dan sudah
mengalami standarisasi di seluruh dunia, misalnya di Amerika dengan
ASTM E8 dan Jepang dengan JIS 2241. Dengan menarik suatu bahan
kita akan segera mengetahui bagaimana bahan tersebut bereaksi
terhadap tenaga tarikan dan mengetahui sejauh mana material itu
bertambah panjang.
Alat eksperimen untuk uji tarik ini harus memiliki cengkeraman
(grip) yang kuat dan kekakuan yang tinggi (highly stiff). Proses
pengujian tarik mempunyai tujuan utama untuk mengetahui kekuatan
tarik bahan uji. Bahan uji adalah bahan yang akan digunakan sebagai
konstruksi, agar siap menerima pembebanan dalam bentuk tarikan.
Pembebanan tarik adalah pembebanan yang diberikan pada benda
dengan memberikan gaya yang berlawanan pada benda dengan arah
menjauh dari titik tengah atau dengan memberikan gaya tarik pada salah
satu ujung benda dan ujung benda yang lain diikat.

Gambar 2.19. Pembebanan Tarik


Penarikan gaya terhadap bahan akan mengakibatkan
terjadinya perubahan bentuk (deformasi) bahan tersebut.
Kemungkinan ini akan diketahui melalui proses pengujian
tarik. Proses terjadinya deformasi pada bahan uji adalah
proses pergeseran butiran-butiran kristal logam yang
mengakibatkan melemahnya gaya elektromagnetik setiap
atom logam hingga terlepasnya ikatan tersebut oleh penarikan
gaya maksimum. Penyusunan butiran kristal logam yang
diakibatkan oleh adanya penambahan volume ruang gerak
dari setiap butiran dan ikatan atom yang masih memiliki gaya
elektromagnetik, secara otomatis bisa memperpanjang bahan
tersebut.
Hasil yang diperoleh dari proses pengujian tarik adalah
grafik tegangan regangan, parameter kekuatan dan keliatan
material pengujian dalam prosen perpanjangan, kontraksi
atau reduksi penampang patah, dan bentuk permukaan
patahannya.
Tegangan dapat diperoleh dengan membagi beban
dengan luas penampang mula-mula benda uji (Dieter, 1993) :

Dimana : σ = Tegangan nominal (kg/mm2)


P = Gaya tarik aksial (kg)

A0 = Luas penampang normal (mm2)


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu Dan Tempat Penelitian


Penelitian dilakukan di laboratorium pengecoran logam fakultas teknik
universitas hasanuddin Makassar. Penelitian ini dilakukan dalam jangka
waktu 3 bulan yaitu mulai dari bulan Mei 2018 sampai bulan Juli 2018.
3.2 Metode Pengambilan data
Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah :
1. Studi lapangan yaitu dengan mengambil data secara langsung terhadap
objek yang akan diamati sesuai yang ada pada lapangan. Dicatat secara
langsung pada lokasi penelitian guna mendapatkan data-data yang
dibutuhkan dalam peneltian ini.
2. Studi pustaka dilakukan dengan membaca atau mengutip literature yang
relavan atau berkaitan dengan masalah yang akan dibahas baik dari segi
teori mencakup dari segi formal perhitungan, sehingga dapat membuat
penyelesaian tugas akhir ini.
3. Kajian literature terhadap teori-teori yang mendasari permasalahan yang
diangkat dari dosen pembimbing dan dosen mata kuliah.
3.3 Alat Dan Bahan
3.3.1 Alat
Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Tungku
Tungku digunakan untuk meleburkan aluminium dan CNT
Gambar 3.1 Tungku
b. Cetakan Logam
Cetakan digunakan sebagai alat untuk membentuk spesimen

Gambar 3.2 Cetakan Logam


c. Pengaduk (stir cast)
Digunakan untuk mencampur aluminium dengan CNT. Pengaduk
terbuat dari stainless steel yang diberi blade pada ujungnya.

Gambar 3.3 Pengaduk (stir cast)


d. Thermocouple
Digunakam untuk mengukur suhu lebur aluminium, suhu
pencampuran, dan suhu tuang dari paduan aluminium dan CNT.
Gambar 3.4 Thermocouple
e. Ayakan
Digunakan untuk menyaring CNT

Gambar 3.5 Ayakan


3.3.2 Bahan
Adapun bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah:
a. Aluminium 6061
Aluminium 6061 berfungsi sebagai bahan yang akan di leburkan

Gambar 3.6 Aluminium 6061


b. Carbon Nanocomposite
Carbon Nanocomposite berfungsi sebagai bahan yang digunakan
untuk pencampuran aluminium (Al) yang telah dileburkan

Gambar 3.7 Carbon nanocomposite


3.4 Diagram Alir Penelitian

Mulai

Studi Literatur

Penyiapan Alat dan Bahan

Pembuatan Cetakan

Persiapan bahan Al 6061 – CNT

Pengecoran Stir casting

Pencampuran 95% Al 6061 - 5% CNT

Variasi Temperatur (670℃, 700 ℃, dan 730 ℃ ), Putaran 500 rpm

Pengujian

Uji tarik Uji Impact Uji kekerasan

Analisa Dan Pembahasan

Kesimpulan

selesai
ssesele
sai
3.5 Prosedur Penelitian
Adapun tahap penelitian yang akan saya lakukan dalam rangka
mengumpulkan data hingga penyelesaian masalah dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Proses pengecoran
a. Mempersiapkan bahan seperti Aluminium dan CNT.
b. Aluminium dipotong sesuai ukuran yang telah ditentukan.
c. Aluminium kemudian dibersihkan dan ditimbang
d. CNT diayak hingga didapatkan ukuran serbuk 350 mesh
e. Tungku dipersiapkan dan dinyalakan hingga temperature 670 oC.
f. Masukkan aluminium batangan terlebih dahulu hingga mencair.
g. Setelah Aluminium mulai mencair , suhu dipertahankan lalu
didegassing menggunakan gas Argon dan dimasukkan CNT dengan
persentase yang telah ditentukan
h. Kemudian pengaduk dinyalakan dan disetting pada putaran 500 rpm
dengan temperatur dipertahankan 670 oC
i. Setelah keduanya tercampur, aluminium kemudain diangkat dan
dituangkan ke dalam cetakan.
j. Setelah cetakan mengeras lalu dikeluarkan dari cetakan logam
k. Cetakan yang di buat sebanyak 3 buah untuk specimen uji kekerasan
rockwell ,uji impact, dan uji tarik dengan presentase campuran CNT dan
aluminium komposit (Al 6061) yaitu 95% Al - 5% CNT.
l. Mengulangi prosedur d – j dengan variasi suhu tungku 700 oC dan 730
o
C.

2. Pengujian dan pengambilan data


a. Pengujian kekerasan rockwell
Gambar 3.8 Spesimen uji kekerasan rockwell standar ASTM E 18
Langkah-langkah dalam melakukan pengujian rockwell :
1. Membuka dush pot valve untuk percobaan yang menggunakan
indicator bola baja dan membuka penuh untuk indicator intan.
2. Meletakkan posisi awal crankhandle mengarah kedepan kita bila
indicator gauge didepan kita
3. Menyesuaikan beban yang dipakai menurut nilai kekerasan
specimen uji, yaitu 0,98 Kn untuk indicator bola baja dan 1,47 Kn
untuk indicator intan.
4. Membersihkan permukaan spisimen dan meletakkan pada meja uji
shingga permukaan rata dan sejajar dengan meja uji (anvil).
5. Memutar handwell sehingga permukaan specimen
menyentuh indentor dengan memutar kapstan hingga jarum kecil
pada indentor gauge pada posisi titik merang (minor load).
6. Melakukan pensettingan yaitu dengan mmenggunakan ring terluar
dari indicator gauge untuk meletakan posisi jarum panjang ke posisi
B-30/C-0 atau B-130-/C-100.
7. Mendorong crankhandle kebawah untuk memakai beban mayor.
8. Memperhatkan jarum sampai berhenti (minimal 7 detik), kemudian
mengangkat crankhandle ke posisi semula, posisi pelepasan beban
mayor, tetapi beban mayor masih dipakai.
9. Membaca angka yang ditunjukan pada dial gauge:
a. warna merah untuk indentor bola baja
b. warna hitam untuk indentor intan

b. Proses pengujian impact

Gambar 3.9 Spesimen uji impact standar ASTM 23


Langkah-langkah dalam melakukan pengujian impact
1. Diukur dimensi specimen.
2. Diletakkan specimen pada tempatnya sehingga posisi punggung
tepat pada posisi bidang lintasan.
3. Diatur posisi pendulum pada posisi siap ayun (90ᵒ) dan melakukan
penguncian
4. Diatur posisi jarum pada posisi tersebut
5. Dibuka kunci penahan pendulum sehingga pendulum berayun dan
mematahkan spesimen
6. Dicatat sudut jarum pada posisi setelah menumbukkan specimen
c. Proses pengujian tarik

Gambar 3.10 Spesimen uji tarik standar ASTM E-8


Dimana : Panjang spesimen uji = 57 mm
Tebal = 9 mm
Langkah-langkah dalam melakukan uji tarik:
1. Menandai daerah Lo pada benda kerja sepanjang 57 mm.
2. Mesin uji dihidupkan.
3. Mengatur posisi rahang atas agar spesimen dalam skala nol dengan
cara menggerakkan tuas penggerak rahang atas.
4. Mengatur posisi rahang bawah sesuai dengan panjang spesimen
dengan menekan tombol pengatur rahang bawah.
5. Menyesuaikan bentuk pencekam dengan dimensi spesimen.
6. Menyesuaikan besar beban yang akan dugunakan dengan bahan
material.
7. Memposisikan kedua jarum analog gaya pada skala nol dengan
memutar tuas masing-masing dan laju penarikan diatur posisi nol
8. Melakukan penarikan yang sesuai dan mencatat besarnya beban
pada setiap pertambahan panjang spesimen 1mm
9. Setelah spesimen patah, laju penarikan dikembalikan keposisi nol
dan spesimen dilepaskan dari pencekam.
10. Mengukur besarnya perubahan panjang benda kerja (Li)
DAFTAR PUSTAKA
C. P. Poole Jr., F. J. Ourens, Introduction to Nanotechnology, 2003, New Jersey

Dieter George E, 1988. Mechanical metallurgy. New York: McGraw- Hill Book
Company

Hatch, 1984, Aluminium Properties and Physical Metalurgy, ASM Internasional


Ohio

James K. Wessel, 2004, Handbook of Advanced Materials, John Wiley & Sons,
Inc., New Jersey

Isranuri I., dan Kurniawan A. 2014. Studi Kekuatan Tarik Las Dari Bahan Plat
Dasar Aluminium – Magnesium. Departemen Teknik Mesin, Fakultas Teknik,
Universitas Sumatera Utara

Kartaman, M., 2010, Fabrikasi Komposit Al/Al2O3 Coated dengan Metode Stir
Casting dan Karakterisasinya, Depok: Universitas Indonesia.

M.H.Jokhio, M.I.Panhwar and M.A Unar. Manufacturing of Aluminum Composite


Materials Using Stir Casting Process. Quarterly Mehran University Research
Journal of Engineering & Technology, Volume 30, No 1 January 2011.

M. W. Hadi, H. Sudibyo, 2017, The Study of Carbon Nanotube FET Inverter,


Sensor Device Research Group, E.E. Department Engineering Faculty University
of Indonesia

Subagyo, Nur Imam. 2017. Analisis Pengaruh Artificial Aging Terhadap Sifat
Mekanis Pada Aluminium Seri 6061. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Shadakshari R et al. Carbon Nanotube Reinforced Aluminium Matrix Composites


(2012). Assistant Professor, Department of Mechanical Engineering, Acharya
Institute of Technology

Surappa, M K., 2003, Aluminium Matrix Composites: Challenges and


Opportunities, India: Department of Metallurgy, Indian Institute of Science.

Shifrina, Polina. 2011. Synthesis of Carbon Nanotubes. Freie Universitat Berlin

Syam B., dan Mahadi B., 2005, Modifikasi Metoda Pengujian Kekuatan Helmet
Industri Akibat Beban Impak Kecepatan Tinggi, Program Studi Magister Teknik
Mesin, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatra Utara.

Anda mungkin juga menyukai