Islam Sebagai Agama Rahmatan Lil Alamin
Islam Sebagai Agama Rahmatan Lil Alamin
Sesungguhnya Kami menciptakan kamu laki-laki dan perempuan dan kami menjadikan kamu
berbagai suku bangsa dan golongan supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling
mulia di antara kamu adalah yang paling takwa.’ (QS. Al-Hujurat; 13)
Dari ayat tersebut dapat kita pahami bahwa islam menyeru kepada umatnya untuk saling
mengenal antar suku bangsa yang dengan kata lain untuk melakukan tindakan sosial
(berinteraksi).
Namun, tindakan sosial yang seperti apa juga telah diatur oleh islam sebagai bentuk
pedoman serta larangan dalam melakukan sosialisasi yang akan penulis bahas pada sub-bab
berikutnya.
Sosialisasi yang baik dalam pandangan islam ialah tindakan yang saling bekerja sama dalam
hal kebaikan. Dan tidak diperbolehkan melakukan tindakan sosial dalam kejahatan
walaupun sianjurakan untuk berinteraksi.
- Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu
bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah
apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang
aku sembah. Untukmu agamamu,dan untukkulah,agamaku. (QS al-Kaafiruun [109]:1-66)
Tindakan untuk saling mengenal, berinteraksi dan memberikan rasa tenggang rasa
terhadap seluruh manusia tanpa terkecuali memeang benar adanya. Namun, dewasa ini
acapkali perintah Allah SWT ntuk bersosial ditannggapi sedikit berbeda oleh beberapa orang.
Anggapan yang keliru ialah ketika umat muslim menganggap bahwa perbdaan dalam agama
dan ibadah Habluminallah adalah hal yang termasuk tindakan untuk saling mengenal.
Menanggapi hal tersebut, maka munculllah penegasan Allah SWT pada ayat yang dituliskan
di atas. Sehingga dapat sama-sama kita ketahui bahwa batasan interaksi sosial ialah berada
pada tataran Habluminannas, bukan pada Habluminallah.
- Islam pada dasarnya adalah Siyasatullah fil Ardh. Maksudnya, dengan Islam inilah Allah
mengatur semesta alam, yang didelegasikan kepada manusia. Islam itu secara substantif bersifat
politis. Konteks pemberian amanah kepada manusia yang dimaksud di atas adalah Istikhlaf
sebagai konsep politik. Istikhlaf berarti "menjadikan khalifah untuk mewakili dan melaksanakan
tugas yang diwakilkan kepadanya."
Untuk lebih memahaminya, perlu kita ingat kembali bahwa Allah memberikan manusia dua
amanah:
Allah SWT berfirman, "Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara
kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum
mereka berkuasa, ..." (QS. An Nur: 55)
Dengan demikian, Islam secara substantif adalah siyasah, yaitu menghendaki agar ummat
menjalankan kepemimpinan politik.
Salah satu tujuan Islam adalah bagaimana agar bisa menerapkan kehidupan secara
Islami dan agar sampai tidak ada lagi fitnah di muka bumi. Untuk itu perlu dilakukan suatu
tindakan untuk merubah situasi saat yang masih jauh dari harapan ini agar mencapai tujuan di
atas. Ada dua pendekatan dalam agenda perubahan tersebut (secara berurut):
1. Pendekatan secara kultural. Tersirat dalam firman Allah SWT pada Surat Al Jumuah ayat 2,
"Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang
membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka
Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam
kesesatan yang nyata."
2. Pendekatan secara struktural. Pendekatan inilah yang lebih bersifat siyasi. Jadi, ketika telah
terbentuk masyarakat yang Islami secara kultural, maka dibutuhkanlah pemerintahan yang
Islami. Contohnya dalam peristiwa Piagam Madinah. Ketika itu masyarakat Madinah sudah
terkondisikan sebagai masyarakat yang Islami secara kultural.
Kedua pendekatan di atas tidak dapat dipilah-pilahkan satu sama lain. Tidak ada dikotomi antara
kedua-duanya. Kedua hal di atas hanyalah terkait pada tahapan perubahan saja. Jadi,
sebenarnya tidak ada istilah Islam kultural, dan Islam Politik. Islam itu adalah menyeluruh.
Dalam sejarah, Usman Bin Affan pernah berkata kurang lebih, "Apabila ada suatu masalah yang
tidak bisa diselesaikan dengan Al Qur’an, maka (selesaikan) dengan pedang." Bisa kita ambil
ibrohnya, yaitu apabila sulit diselesaikan secara kultural, maka gunakanlah struktural.
Yang perlu kita jadikan pegangan di sini adalah bahwa eksistensi Islam sebagai sebuah kekuatan
akan timbul ketika Islam tampil secara politis. Karena kitalah ummat terbaik, sebagaimana yang
Allah firmankan dalam ayat,
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah..." (QS. Ali Imran: 110).
“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan oleh Allah SWT dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah
datang kepadamu” (TQS. Al-Maidah [105]:48)
Kedua, syara telah mewajibkan kaum Muslim untuk hirau terhadap urusan umat sehingga
keberlangsungan hukum syara bisa terjamin. karenanya dalam Islam ada kewajiban untuk
mengoreksi penguasa (muhasabah li al-hukkam). Kewajiban ini didasarkan kepada Firman
Allah SWT yang artinya:
“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan,
menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang-orang
yang beruntung” (TQS. Ali Imran [03]: 104).