Anda di halaman 1dari 7

A.

Islam Sebagai Agama Rahmatan Lil Alamin


“Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh
manusia” (QS. Al Anbiya: 107).
Islam sebagai ajaran agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. berdasarkan ayat
tersebut di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa Islam sebgai ajaran yang berisikan pedoman,
aturan dan sanksi bagi keberlangsungan kehidupan seluruh umat manusia. Agama islam
menjadi suatupetunjuk untuk bermasyrakat dan bersoialisasi ( dalam Hal ini berhubungan
dengan ibadah sesama manusia). Berangkat dari hal tersebut pada penulisan makalah ini,
penulis mencoba menjelaskan secara gamblang pandangan islam terhadap kehidupan umat
manusia yang terjadi selama ini. Pola interaksi kehidupan manusia dalam penulisan ini diwakili
dalam tindakan sosial, Politik serta Budaya.

B. Pandangan Islam terhadap Sosial


Islam amat menjunjung tinggi umatnya untuk melakukan tindakan sosial , yang berarti saling
berinterksi dengan manusia lainya. Hal ini dibuktikan oleh Islam melalui beberapa firmanya
dalam Al-Qura’an :

Sesungguhnya Kami menciptakan kamu laki-laki dan perempuan dan kami menjadikan kamu
berbagai suku bangsa dan golongan supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling
mulia di antara kamu adalah yang paling takwa.’ (QS. Al-Hujurat; 13)

Dari ayat tersebut dapat kita pahami bahwa islam menyeru kepada umatnya untuk saling
mengenal antar suku bangsa yang dengan kata lain untuk melakukan tindakan sosial
(berinteraksi).
Namun, tindakan sosial yang seperti apa juga telah diatur oleh islam sebagai bentuk
pedoman serta larangan dalam melakukan sosialisasi yang akan penulis bahas pada sub-bab
berikutnya.

a. Etika Islam dalam Bersosialisasi


Tindakan sosial memang dianjurkan dalam agama islam, namun batasan serta
perannya juga diatur dalam pandangan islam, sehingga proses interaksi sosial yang terjadi
tidak menyalahi ibadah manusia dengan sang khlaiknya Allah SWT.( Habluminallah). Oleh
karena itu pada dalam beberapa firmanNya Allah SWT telah menegaskan etika dalam
bersosialisasi, sebagai berikut ;
- “…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al Maa-idah 2)

Sosialisasi yang baik dalam pandangan islam ialah tindakan yang saling bekerja sama dalam
hal kebaikan. Dan tidak diperbolehkan melakukan tindakan sosial dalam kejahatan
walaupun sianjurakan untuk berinteraksi.

- Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu
bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah
apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang
aku sembah. Untukmu agamamu,dan untukkulah,agamaku. (QS al-Kaafiruun [109]:1-66)

Tindakan untuk saling mengenal, berinteraksi dan memberikan rasa tenggang rasa
terhadap seluruh manusia tanpa terkecuali memeang benar adanya. Namun, dewasa ini
acapkali perintah Allah SWT ntuk bersosial ditannggapi sedikit berbeda oleh beberapa orang.
Anggapan yang keliru ialah ketika umat muslim menganggap bahwa perbdaan dalam agama
dan ibadah Habluminallah adalah hal yang termasuk tindakan untuk saling mengenal.
Menanggapi hal tersebut, maka munculllah penegasan Allah SWT pada ayat yang dituliskan
di atas. Sehingga dapat sama-sama kita ketahui bahwa batasan interaksi sosial ialah berada
pada tataran Habluminannas, bukan pada Habluminallah.

C. Pandangan Islam terhadap Politik


adalah pengaturan urusan-urusan (kepentingan) umat baik dalam negeri maupun luar negeri
berdasarkan hukum-hukum Islam. Pelakunya bisa negara (khalifah) maupun kelompok atau
individu rakyat.

- Islam pada dasarnya adalah Siyasatullah fil Ardh. Maksudnya, dengan Islam inilah Allah
mengatur semesta alam, yang didelegasikan kepada manusia. Islam itu secara substantif bersifat
politis. Konteks pemberian amanah kepada manusia yang dimaksud di atas adalah Istikhlaf
sebagai konsep politik. Istikhlaf berarti "menjadikan khalifah untuk mewakili dan melaksanakan
tugas yang diwakilkan kepadanya."

Untuk lebih memahaminya, perlu kita ingat kembali bahwa Allah memberikan manusia dua
amanah:

1. Ubudiyah, yaitu untuk beribadah, penghambaan kepada Allah.


2. Amanah Kekhalifahan, hal ini lebih dekat kepada otoritas untuk mengendalikan kehidupan (di
atas bumi).

Allah SWT berfirman, "Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara
kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum
mereka berkuasa, ..." (QS. An Nur: 55)

Dengan demikian, Islam secara substantif adalah siyasah, yaitu menghendaki agar ummat
menjalankan kepemimpinan politik.

Salah satu tujuan Islam adalah bagaimana agar bisa menerapkan kehidupan secara
Islami dan agar sampai tidak ada lagi fitnah di muka bumi. Untuk itu perlu dilakukan suatu
tindakan untuk merubah situasi saat yang masih jauh dari harapan ini agar mencapai tujuan di
atas. Ada dua pendekatan dalam agenda perubahan tersebut (secara berurut):

1. Pendekatan secara kultural. Tersirat dalam firman Allah SWT pada Surat Al Jumuah ayat 2,
"Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang
membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka
Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam
kesesatan yang nyata."

2. Pendekatan secara struktural. Pendekatan inilah yang lebih bersifat siyasi. Jadi, ketika telah
terbentuk masyarakat yang Islami secara kultural, maka dibutuhkanlah pemerintahan yang
Islami. Contohnya dalam peristiwa Piagam Madinah. Ketika itu masyarakat Madinah sudah
terkondisikan sebagai masyarakat yang Islami secara kultural.

Kedua pendekatan di atas tidak dapat dipilah-pilahkan satu sama lain. Tidak ada dikotomi antara
kedua-duanya. Kedua hal di atas hanyalah terkait pada tahapan perubahan saja. Jadi,
sebenarnya tidak ada istilah Islam kultural, dan Islam Politik. Islam itu adalah menyeluruh.

Dalam sejarah, Usman Bin Affan pernah berkata kurang lebih, "Apabila ada suatu masalah yang
tidak bisa diselesaikan dengan Al Qur’an, maka (selesaikan) dengan pedang." Bisa kita ambil
ibrohnya, yaitu apabila sulit diselesaikan secara kultural, maka gunakanlah struktural.

Yang perlu kita jadikan pegangan di sini adalah bahwa eksistensi Islam sebagai sebuah kekuatan
akan timbul ketika Islam tampil secara politis. Karena kitalah ummat terbaik, sebagaimana yang
Allah firmankan dalam ayat,

"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah..." (QS. Ali Imran: 110).

Rasulullah saw bersabda:


“Adalah Bani Israel, para Nabi selalu mengatur urusan mereka. Setiap seorang Nabi
meninggal, diganti Nabi berikutnya. Dan sungguh tidak ada lagi Nabi selainku. Akan ada
para Khalifah yang banyak” (HR Muslim dari Abu Hurairah ra).
Hadits diatas dengan tegas menjelaskan bahwa Khalifahlah yang mengatur dan
mengurus rakyatnya (kaum Muslim) setelah nabi saw. hal ini juga ditegaskan dalam
hadits Rasulullah:
“Imam adalah seorang penggembala dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas
gembalaannya”.
Jadi, esensi politik dalam pandangan Islam adalah pengaturan urusan-urusan rakyat yang
didasarkan kepada hukum-hukum Islam. Adapun hubungan antara politik dan Islam
secara tepat digambarkan oleh Imam al-Ghajali: “Agama dan kekuasaan adalah dua
saudara kembar. Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala
sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan runtuh dan segala sesuatu yang tidak
berpenjaga niscaya akan hilang dan lenyap”.
Berbeda dengan pandangan Barat politik diartikan sebatas pengaturan kekuasaan,
bahkan menjadikan kekuasaan sebagai tujuan dari politik. Akibatnya yang terjadi
hanyalah kekacauan dan perebutan kekuasaan, bukan untuk mengurusi rakyat. Hal ini
bisa kita dapati dari salah satu pendapat ahli politik di barat, yaitu Loewenstein yang
berpendapat “politic is nicht anderes als der kamps um die Macht” (politik tidak lain
merupakan perjuangan kekuasaan).

Wajib Berpolitik Bagi Setiap Muslim


Berpolitik adalah kewajiban bagi setiap Muslim baik itu laki-laki maupun perempuan.
Adapun dalil yang menunjukkan itu antara lain:
Pertama, dalil-dalil syara telah mewajibkan bagi kaum Muslim untuk mengurus
urusannya berdasarkan hukum-hukum Islam. Sebagai pelaksana praktis hukum syara,
Allah SWT telah mewajibkan adanya ditengah-tengah kaum Muslim pemerintah Islam
yang menjalankan urusan umat berdasarkan hukum syara. Firman Allah SWT yang
artinya:

“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan oleh Allah SWT dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah
datang kepadamu” (TQS. Al-Maidah [105]:48)

Kedua, syara telah mewajibkan kaum Muslim untuk hirau terhadap urusan umat sehingga
keberlangsungan hukum syara bisa terjamin. karenanya dalam Islam ada kewajiban untuk
mengoreksi penguasa (muhasabah li al-hukkam). Kewajiban ini didasarkan kepada Firman
Allah SWT yang artinya:
“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan,
menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang-orang
yang beruntung” (TQS. Ali Imran [03]: 104).

D. Pandangan Islam terhadap Budaya


Islam adalah agama yang diturunkan kepada manusia sebagai rohmat bagi alam
semesta. Ajaran-ajarannya selalu membawa kemaslahatan bagi kehidupan manusia di
dunia ini. Allah swt sendiri telah menyatakan hal ini, sebagaimana yang tersebut dalam
( QS Toha : 2 ) : “ Kami tidak menurunkan Al Qur’an ini kapadamu agar kam menjadi
susah “. Artinya bahwa umat manusia yang mau mengikuti petunjuk Al Qur’an ini, akan
dijamin oleh Allah bahwa kehidupan mereka akan bahagia dan sejahtera dunia dan
akherat. Sebaliknya siapa saja yang membangkang dan mengingkari ajaran Islam ini,
niscaya dia akan mengalami kehidupan yang sempit dan penuh penderitaan.
Ajaran-ajaran Islam yan penuh dengan kemaslahatan bagi manusia ini, tentunya
mencakup segala aspek kehidupan manusia. Tidak ada satupun bentuk kegiatan yang
dilakukan manusia, kecuali Allah telah meletakkan aturan-aturannya dalam ajaran Islam
ini. Kebudayaan adalah salah satu dari sisi pentig dari kehidupan manusia, dan Islampun
telah mengatur dan memberikan batasan-batasannya.Tulisan di bawah ini berusaha
menjelaskan relasi antara Islam dan budaya. Walau singkat mudah-mudahan
memberkan sumbangan dalam khazana pemikian Islam.

E. Arti dan Hakekat Kebudayaan


Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hal. 149, disebutkan bahwa: “ budaya “
adalah pikiran, akal budi, adat istiadat. Sedang “ kebudayaan” adalah hasil kegiatan dan
penciptaan batin ( akal budi ) manusia, seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat.
Ahli sosiologi mengartikan kebudayaan dengan keseluruhan kecakapan ( adat, akhlak,
kesenian , ilmu dll). Sedang ahli sejarah mengartikan kebudaaan sebagai warisan atau
tradisi. Bahkan ahli Antropogi melihat kebudayaan sebagai tata hidup, way of life, dan
kelakuan. Definisi-definisi tersebut menunjukkan bahwa jangkauan kebudayaan
sangatlah luas. Untuk memudahkan pembahasan, Ernst Cassirer membaginya menjadi
lima aspek : 1. Kehidupan Spritual 2. Bahasa dan Kesustraan 3. Kesenian 4. Sejarah 5.
Ilmu Pengetahuan.
Aspek kehidupan Spritual, mencakup kebudayaan fisik, seperti sarana ( candi,
patung nenek moyang, arsitektur) , peralatan ( pakaian, makanan, alat-alat upacara).
Juga mencakup sistem sosial, seperti upacara-upacara ( kelahiran, pernikahan,
kematian )
Adapun aspek bahasa dan kesusteraan mencakup bahasa daerah, pantun, syair, novel-
novel.
Aspek seni dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu ; visual arts dan performing arts,
yang mencakup ; seni rupa ( melukis), seni pertunjukan ( tari, musik, ) Seni Teater
( wayang ) Seni Arsitektur ( rumah,bangunan , perahu ). Aspek ilmu pengetahuan
meliputi scince ( ilmu-ilmu eksakta) dan humanities ( sastra, filsafat kebudayaan dan
sejarah ).

F. Hubungan Islam dan Budaya


Untuk mengetahui sejauh mana hubungan antara agama ( termasuk Islam )
dengan budaya, kita perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini : mengapa
manusia cenderung memelihara kebudayaan, dari manakah desakan yang
menggerakkan manusia untuk berkarya, berpikir dan bertindak ? Apakah yang
mendorong mereka untuk selalu merubah alam dan lingkungan ini menjadi lebih baik ?
Sebagian ahli kebudayaan memandang bahwa kecenderungan untuk berbudaya
merupakan dinamik ilahi. Bahkan menurut Hegel, keseluruhan karya sadar insani yang
berupa ilmu, tata hukum, tatanegara, kesenian, dan filsafat tak lain daripada proses
realisasidiri dari roh ilahi.
Sebaliknya sebagian ahli, seperti Pater Jan Bakker, dalam bukunya “Filsafat
Kebudayaan” menyatakan bahwa tidak ada hubungannya antara agama dan budaya,
karena menurutnya, bahwa agama merupakan keyakinan hidup rohaninya pemeluknya,
sebagai jawaban atas panggilan ilahi. Keyakinan ini disebut Iman, dan Iman merupakan
pemberian dari Tuhan, sedang kebudayaan merupakan karya manusia. Sehingga
keduanya tidak bisa ditemukan. Adapun menurut para ahli Antropologi, sebagaimana
yang diungkapkan oleh Drs. Heddy S. A. Putra, MA bahwa agama merupakan salah satu
unsur kebudayaan. Hal itu, karena para ahli Antropologi mengatakan bahwa manusia
mempunyai akal-pikiran dan mempunyai sistem pengetahuan yang digunakan untuk
menafsirkan berbagai gejala serta simbol-simbol agama. Pemahaman manusia sangat
terbatas dan tidak mampu mencapai hakekat dari ayat-ayat dalam kitab suci masing-
masing agama. Mereka hanya dapat menafsirkan ayat-ayat suci tersebut sesuai dengan
kemampuan yang ada.
Di sinilah, , bahwa agama telah menjadi hasil kebudayaan manusia. Berbagai
tingkah laku keagamaan, masih menurut ahli antropogi,bukanlah diatur oleh ayat- ayat
dari kitab suci, melainkan oleh interpretasi mereka terhadap ayat-ayat suci tersebut.
Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa para ahli kebudayaan mempunyai
pendapat yang berbeda di dalam memandang hubungan antara agama dan kebudayaan.
Kelompok pertama menganggap bahwa Agama merupakan sumber kebudayaaan atau
dengan kata lain bahwa kebudayaan merupakan bentuk nyata dari agama itu sendiri.
Pendapat ini diwakili oleh Hegel. Kelompok kedua, yang di wakili oleh Pater Jan Bakker,
menganggap bahwa kebudayaan tidak ada hubungannya sama sekali dengan agama.
Dan kelompok ketiga, yeng menganggap bahwa agama merupakan bagian dari
kebudayaan itu sendiri.
Untuk melihat manusia dan kebudayaannya, Islam tidaklah memandangnya dari
satu sisi saja. Islam memandang bahwa manusia mempunyai dua unsur penting, yaitu
unsur tanah dan unsur ruh yang ditiupkan Allah kedalam tubuhnya. Ini sangat terlihat
jelas di dalam firman Allah Qs As Sajdah 7-9 : “ ( Allah)-lah Yang memulai penciptaan
manusia dari tanah, kemudian Dia menciptakan keturunannya dari saripati air yan hina (
air mani ). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam ( tubuh )-nya roh
( ciptaan)-Nya “
Selain menciptakan manusia, Allah swt juga menciptakan makhluk yang bernama
Malaikat, yang hanya mampu mengerjakan perbuatan baik saja, karena diciptakan dari
unsur cahaya. Dan juga menciptakan Syetan atau Iblis yang hanya bisa berbuat jahat ,
karena diciptkan dari api. Sedangkan manusia, sebagaimana tersebut di atas, merupakan
gabungan dari unsur dua makhluk tersebut.
Dalam suatu hadits disebutkan bahwa manusia ini mempunyai dua pembisik ;
pembisik dari malaikat , sebagi aplikasi dari unsur ruh yang ditiupkan Allah, dan pembisik
dari syetan, sebagai aplikasi dari unsur tanah. Kedua unsur yang terdapat dalam tubuh
manusia tersebut, saling bertentangan dan tarik menarik. Ketika manusia melakukan
kebajikan dan perbuatan baik, maka unsur malaikatlah yang menang, sebaliknya ketika
manusia berbuat asusila, bermaksiat dan membuat kerusakan di muka bumi ini, maka
unsur syetanlah yang menang. Oleh karena itu, selain memberikan bekal, kemauan dan
kemampuan yang berupa pendengaran, penglihatan dan hati, Allah juga memberikan
petunjuk dan pedoman, agar manusia mampu menggunakan kenikmatan tersebut untuk
beribadat dan berbuat baik di muka bumi ini.
Allah telah memberikan kepada manusia sebuah kemampuan dan kebebasan
untuk berkarya, berpikir dan menciptakan suatu kebudayaan. Di sini, Islam mengakui
bahwa budaya merupakan hasil karya manusia. Sedang agama adalah pemberian Allah
untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Yaitu suatu pemberian Allah kepada manusia
untuk mengarahkan dan membimbing karya-karya manusia agar bermanfaat,
berkemajuan, mempunyai nilai positif dan mengangkat harkat manusia. Islam
mengajarkan kepada umatnya untuk selalu beramal dan berkarya, untuk selalu
menggunakan pikiran yang diberikan Allah untuk mengolah alam dunia ini menjadi
sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan manusia. Dengan demikian, Islam telah
berperan sebagai pendorong manusia untuk “ berbudaya “. Dan dalam satu waktu
Islamlah yang meletakkan kaidah, norma dan pedoman. Sampai disini, mungkin bisa
dikatakan bahwa kebudayaan itu sendiri, berasal dari agama. Teori seperti ini,
nampaknya lebih dekat dengan apa yang dinyatakan Hegel di atas.

Anda mungkin juga menyukai