Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH TEORI-TEORI KONSELING & PENDEKATAN-PENDEKATAN

KONSELING

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR........................................................................................................ ii
DAFTAR ISI...................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah......................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan........................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Konseling........................................................................................ 3
B. Teori-Teori Dalam Konseling........................................................................ 5
C. Pendekatan-Pendekatan Konseling.............................................................. 26
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................................... 29
B. Saran............................................................................................................. 30
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 31

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Saat ini kita hidup dalam dunia yang kompleks, sibuk, dan terus berubah. Hal tersebut membuat
beberapa masalah, khususnya dalam dunia pendidikan. Dalam dunia pendidikan masalah-masalah yang
muncul banyak dialami oleh para siswa, misalnya masalah belajar, masalah pribadi siswa, maupun
masalah psikologis siswa. Hal tersebut membuat beberapa masalah yang dapat menggangu proses
pendidikan.
Berbagai cara dapat dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam dunia
pendidikan, salah satu di antaranya adalah degnan mencari dan memberikan solusi pada anak itu sendiri
atau bisa disebut konseling. Permasalahan-permasalahan dalam pendidikan tiap sekolah bahkan tiap
anak berbeda-beda, oleh karena itu dibutuhkan solusi yang berbeda pula. Sehingga beberapa teori-teori
tentang konseling ini bermunculan. Dalam melakukan konseling tidak dapat dilakukan oleh sembarang
orang, maka dari itu muncul istilah konselor. Konselor memberikan solusi pada masalah-masalah yang
diharapkan dapat membantu dalam dunia pendidikan.
Tapi konselorpun harus mengerti mengenai teori dalam bimbingan konseling, hal ini agar
konselor mampu mengatasi masalah dengan cara yang tepat yang sesuai dengan teori konseling.
Maka dalam makalah ini yang akan dibahas adalah mengenai teori-teori konseling dan
pendekatan konseling. Diharapkan dengan makalah ini, maka pembaca akan mampu mengerti,
memahami, dan mengaplikasikan teori-teori konseling dan pendekatan-pendekatan konseling.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan konseling?
2. Apa saja teori-teori yang ada dalam konseling itu?
3. Pendekatan-pedekatan apa saja yang bisa digunakan oleh konselor?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari konseling.
2. Untuk mengetahui teori-teori apa saja yang ada dalam konseling.
3. Untuk mengetahui pendekatan-pedekatan apa saja yang bias digunakan oleh seorang konselor.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Teori Konseling
1. Definisi Teori
Teori konseling ialah konseptualisasi atau kerangka acuan berpikir tentang bagaimana proses
konseling berlangsung.
2. Jenis-Jenis Teori Dalam Konseling
a) Client-Centered Counseling

Istilah client centered sukar diganti dengan istilah bahasa Indonesia yang singkat dan mengena,
paling-paling dapat didiskripsikan dengan mengatakan: corak konseling yang menekankan peranan klien
sendiri dalam proses konseling. Mula-mula corak konseling ini disebut konseling non directif untuk
membedakanya dari corak konseling yang mengandung banyak pengarahan dan kontrol terhadap
proses konseling dipihak konselor, seperti dalam konseling klinikal dan psikoanalisis. Kemudian mulai
digunakan nama Client-centered counseling, dengan maksud menggarisbawahi individualitas klien yang
staraf dengan individualitas konselor. Sehingga dapat dihindari kesan bahwa klien menggantungkan diri
pada konselor. Pelopor dan promotor utama adalah Carl Rogers (1951). Corak konseling ini berpijak
pada beberapa keyakinan dasar tentang martabat manusia dan hakekat kehidupan manusia. Keyakinan-
keyakinan itu untuk sebagian bersifat falsafah dan sebagain bersifat psikologis, sebagai berikut:

a. Setiap manusia berhak mempunyai setumpuk pandangan sendiri dan menentukan haluan hidupnya
sendiri, serta bebas untuk mengejar kepentingannya sendiri selama tidak melanggar hak-hak orang lain.
Kehidupan masyarakat akan berkembang bila setiap warga masyarakat didorong dan dibantu untuk
mengembangkan diri sebagai pribadi yang mandiri dan mampu mengatur kehidupannya sendiri. Inipun
berarti bahwa masing-masing orang bertanggung jawab sepenuhnya terhadap pengaturan hidupnya
dalam lingkungan masyarakat tertentu.
b. Manusia pada dasarnya berahklak baik, dapat diandalkan dapat diberi kepercayaan, cenderung
bertindak secara konstruktif. Naluri manusia berkeinginan baik, bagi dirinya, dan bagi orang lain. Rogers
berpandangan optimis terhadap daya kemampuan yang terkandung dalam batin manusia. Kalau mausia
bertindak dengan cara yang tidak baik, seperti menipu, mencelakakan orang lain karena rasa benci dan
berbuat sadis itu karena usaha membela diri yang telah menjauhkan seseorang dari nalurinya yang
paling dasar. Bilamana orang dapat menemukan kembali naluriya yang asli, usaha membela diri akan
berkurang dan seluruh tindakannya akan lebih kostruktif.

c. Manusia seperti makhluk-makhluk hidup yang lainnya, membawa dalam dirinya sendiri kemampuan,
dorongan dan kecenderungan untuk mengembangkan diri sendiri semaksimal mungkin. Arah hidup yang
dikejar seseorang bercorak sedemikian rupa sehingga orang berkembang menikmati kesehatan mental
yang baik, dapat membawa diri, didalam masyarakat secara memuaskan, merealisasikan segala potensi
yang dimilikinya, serta berhasil hidup secara mandiri. Kemampuan, dorongan serta kecenderungan itu
disebut actualizing tendency dan merupakan kekuatan motivasioanal yang utama dan yang paling
mendasar, yang menggerakkan individu untuk mengejar kemandirian dalam hidupnya tanpa
menggantungkan diri pada orang lain dan mau diatur serta dikontrol oleh orang lain. Kemampuan,
dorongan serta kecenderungan itu akan tampak dan beroperasi sepenuhnya bila tercipta kondisi
psikologis positif, misalnya selama proses konseling. Peranan konselor yang pokok ialah menciptakan
segala kondisi yang memungkinkan kemampuan dan kecenderugan itu untuk menampilkan diri.

d. Cara berperilaku seseorang dan cara menyesuaikan dirinya terhadap keadaan hidup yang dihadapinya,
selalu sesuai dengan pandangannya sendiri terhadap diri sendiri dan keadaan yang dihadapi. Pandangan
subyektif ini mendasari tingkah laku manusia karena keadaan pada dirinya sendiri dan keadaan dalam
lingkungan hidup diberi makna sesuai dengan penilaianya sendiri. Dengan kata lain, keadaan tertentu
yang secara obyektif mungkin sama bagi dua orang, akan dihayati dengan caranya sendiri, sehingga
menjadi situasi yang berbeda. Setiap manusia membangun suatu dunia subyektif, yaitu alam pikiran
perasaan, kebutuhan, dan keinginan sendiri yang khas. Dan hanya dia sendirilah yang dapat menghayati
(experiential field, internal frame of reference). Berdasarkan dunia subyektif ini manusia menghadapi
dunia disekelilingnya dan dirinya sendiri. Penghayatan dan kesadaran akan dirinya sendiri dengan semua
perasaan, padangan dan ingatan membentuk apa yang disebut konsep diri (self-concept), yaitu
gambaran yang dimiliki individu tentang diri sendiri bersama dengan evaluasi terhadap gambaran itu.

Gambaran diri itu terdiri atas beberapa unsur seperti pandangan tentang ciri-ciri kepribadian
sendiri, tentang hubungan sosialnya dengan orang lain, tentang cita-cita yang ingin dikejar, tentang
penghargaan atau celaan yang patut diberikan kepada diri sendiri. Maka dibentuk gambaran mengenai
siapa saya ini menurut pandangan saya (the person I think Iam), siapa saya ini sebenarnya (the person I
really am), Saya bercita-cita mejadi orang yang bagaimana (The person I would like to be) saya
seharusnya menjadi orang yang bagaimana (The person I ought to be). Misalnya seorang sadar akan
dirinya sebagai pria, suami yang mempunya istri dan anak-anak, juga dosen yang mengajar di PT. Dia
memandang dirinya sebagai suami yang setia pada keluarganya dan tugasnya sebagai tenaga edukatif.
Namun dalam kenyataan dia agak sering bertindak lain dengan kurang menunjukkan kesetiaan pada
keluarganya dan kepada mahasiswa. Pada suatu ketika dia sadar akan pegalaman nyata itu dan mulai
mengakui kepada dirinya sendiri siapa dia sebenarnya. Pengalaman itu menyadarkan dia akan cita-cita
yang akan dikejarnya yaitu menjadi suami yang setia dan dosen yang baik dan dia memperingatkan
dirinya bahwa dirinya seharusnya seperti itu.

Dalam konsep diri yang utuh tidak terdapat kesenjangan atau jurang pemisah antara unsur-unsur,
sehingga gambaran diri yang ideal pada pria di atas adalah: saya memandang diri sebagai suami dan
dosen yang setia; ini sesuai dengan kenyataan yang tampak dalam seluruh tindakan saya; sehingga saya
terbukti mengejar cita-cita saya yang tampak luhur; dan telah bertindak sesuai dengan yang seharusnya
saya lakukan. Keadaan yang ideal oleh Rogers disebut congruence.

e. Seorang akan menghadapi persoalan jika diantara unsur-unsur dalam gambaran terhadap diri sendiri
timbul konflik dan pertentangan, lebih-lebih antara siapa saya ini sebenarnya (real self) da saya
seharusnya menjadi orang yang bagaimana (ideal self). Berbagai pengalaman hidup menyadarkan orang
akan keadaan dirinya yang tidak selaras itu, kalau keseluruhan pengalaman nyata itu sungguh diakui dan
tidak di sangkal. Misalnya seorang mahasiswi mengira dia tidak mengalami masalah atau gangguan
traumatik pasca erupsi gunung merapi, tetapi suatu saat dia mulai sadar dengan tingkah lakunya yang
bertentangan dengan perkiraan itu, karena ternyata berkali-kali berkeringt dingin, muntah-muntah dan
gemeteran apabila teringat malam kejadian erupsi. Pengalaman yang nyata ini menunjukkan suatu
pertentangan antara siapa saya sebenarnya dan saya seharusnya menjadi orang yang bagaimana. Bila
seseorang mulai menyadari kesenjangan dan mengakui pertentangan itu, dia menghadapi keadaan
dirinya sebagaimana sebagaimana adanya, dan cemas dalam evaluasi diri sebagai orang yang tidak
pantas (wortless). Mahasiswi ini siap menerima layanan konseling dan menjalani proses konseling untuk
menutup jurang pemisah antara dua kutub di dalam dirinya, serta akhirnya menemukan dirinya kembali
sebagai orang yang pantas (person of worth)

Selama proses konseling semua pengalaman nyata dalam dalam dirinya dibiarkan muncul dan
disadari sepenuhnya, sehingga dapat diberi tempat dalam keseluruhan konsep diri. Kesenjangan dan
pertentangan antara semua unsur dalam konsep diri itu mulai tampak, sehingga akhirnya dapat lebih
diintegrasikan satu sama lain. Perubahan yang dituju ialah perubahan dalam konsep diri, supaya lebih
sesuai dengan pengalaman nyata yang dihadapi. Klien dianggap mampu mencapai perubahan itu,
bahkan cenderung untuk mengusahakannya karena dorongan naluri untuk mencari perkembangan diri
yang optimal dan maksimal.

Pada dasarnya klien berakhlak baik dan cenderung bertindak konstruktif. Semua ini lama
kelamaan akan muncul dengan sendirinya dan membawa klien ke penyelesaian masalah yang
menguntungkan bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain. Dalam proses konseling perhatian klien
dipusatkan pada keadaan sekarang ini tanpa menggali-gali secara mendalam. Konselor tidak mencoba
mengadakan diagnosa yaitu mencari sebab akibat dalam sejarah hidup hingga mulai tampaklah suatu
hubugan sebab akibat. Tugas konselor adalah membantu klien mengakui dan mengungkapkan seluruh
perasaan yang dialami sekarang ini serta menghayatinya denga harapan bahwa klien pada suatu ketika
akan meninjau segala perasaan itu secara lebih objektif dengan mengambil jarak dari dirinya sendiri.

Untuk memudahkan dan memperlancar proses yang berlangsung dalam diri klien, konselor
menciptakan beberapa kondisi yang mendukung. Kalau kondisi tertetu terpenuhi, maka akan berlangsug
suatu proses dalam diri dan tingkah laku. Di pihak konselor kondisi-kondisi itu adalah: menunjukkan
penerimaan dan penghargaan tanpa syarat (unconditional positive regard) pemahaman terhadap apa
yang diungkapkan oleh klien sesuai dengan kerangka acuan klien sendiri (phenomenal field), seolah-olah
konselor mengenakan kepribadian klien (emphatic understanding), penerimaan, penghargaan dan
pemahaman itu dapat dikomunikasikan kepada klien dalam suasana interaksi pribadi yang mendalam,
sehingga klien merasakan semua itu sungguh-sungguh ada, kejujuran, keihlasan dan keterbukaan
mengenai apa yang dihayati oleh konselor sendiri tentang klien (conselor congruence).

Menurut pandangan Rogers, kondisi-kondisi itu diperlukan dan sekaligus mencukupi untuk
menjamin keberhasilan proses konseling. Oleh karena itu, hubungan antar pribadi (relationship) antara
konselor dan klien yang saling berkomunikasi menjadi kunci sukses atau gagalnya proses konseling dan
wawancara konseling. Kalau digunakan istiah teknik konseling, inilah teknik yang diterapkan oleh
konselor, yaitu menciptakan suasana komunikasi antar pribadi yang merealisasikan segala kondisi yang
disebutkan dengan menjadi seorang pendengar yang sabar dan peka, yang meyakinkan klien diteria dan
dipahami, konselor memungkinkan klien untuk mengungkapkan seluruh perasaannya secara jujur, lebih
memahami diri sendiri dan mengembangkan suatu tujuan perubahan dalam diri sendiri dan perilakuya.
Jelaslah kiranya, bahwa peranan konselor yang demikian bukanlah peranan yang bercorak pasif,
melainkan peranan yang sangat aktif, meskipun konselor tidak memberikan pengarahan seperti dalam
pendekatan konseling lain.

Pendekatan ini mengandung banyak unsur positif, seperti tekanannya pada peranan klien
sendiri sebagai pihak yang pada akhirnya menentukan keberhasilan atau kegagalan proses konseling,
kebebasan yang diberikan kepada klien untuk menentukan apa yang akan diubahnya pada diri sendiri,
pentingnya hubungan antar pribadi, dalam proses konseling, pentingnya konsep diri, dan keharusan
konselor untuk menunjukkan sikap penuh pemahaman dan penerimaan.

Sebagai kelemahan sejumlah ahli psikologi konseling merujuk pada tekanan terlalu besar yang
diberikan kepada perasaan, sehingga komponen berpikir rasional tidak mendapatkan tempat yang
sewajarnya. Tujuan konseling pengembangan diri yang maksimal dianggap terlalu umum, sehingga
diragukan apakah suatu proses konseling akan menghasilkan perubahan konkret yang tampak jelas
dalam perilaku klien pada saat-saat perubahan semacam itu dibutuhkan, apalagi tanpa pengarahan dan
sugesti/saran pihak konselor. Tidak semua klien akan menangkap makna dari pendekatan yang
diterapkan oleh konselor, sehingga mereka merasa seolah-olah dibiarkan berputar-putar dalam dirinya
sendiri tanpa ada tujuan dan arah yang jelas.

Di samping itu, pendekatan ini dianggap terlalu terikat pada lingkungan kebudayaan Amirika,
yang sangat menghargai kemandirian seseorang dalam kehidupan masyarakat dan pengembangan
potensi individual yang dimiliki masing-masing warga masyarakat. Dengan demikian, pendekatan Rogers
dalam lingkungan kebudayaan yang menekankan ketergantungan hubungan sosial yang enak dan peran
aktif dari pimpinan dalam keluarga serta masyarakat, dinilai kurag sesuai.

Dewasa ini dibedakan antara pendekatan Client-Centered Couseling yang bercorak ortodoks
(seluruhnya sesuai dengan paham Rogers), dan pendekatan yang beraliran Client Centered, namun juga
memperbolehkan konselor untuk mengadakan strukturalisasi terhadap wawancara konseling dan
memberikan informasi, petunjuk, usul dan sugesti mengenai apa yang sebaiknya diusahakan oleh klien.
Jadi, menurut pendekatan yang merupakan pengembangan dari Client-Centered Counseling yang
ortodoks, koselor tidak membiarkan klien berjalan sendiri dan pada suatu ketika menemukan sendiri
apa yang ingin dicapai, tetapi ikut mengatur proses konseling menurut fase-fase tertentu dengan
mengambil pula sejumlah langkah kerja tertentu (strukturalisasi). Narasumber seperti Gendlin, Goron,
de Haas dan Carkhuff berpedapat bahwa stukturalisasi terhadap proses konseling oleh konselor tidak
harus bertentangan dengan susana komunikasi antar pribadi seperti digambarkan oleh Rogers dan
bahwa ajakan konselor untuk menggunakan pikiran rasional tidak harus bertentangan dengan
kelonggaran bagi klein untuk mengungkapkan banyak perasaan.

Aliran-aliran konseling lainnya, yang tidak langsung mengembangkan warisan konsepsi Roger,
dewasa ini telah menintegrasikan satu aspek dari pendekatan Client-Centered Counseling dalam
pendekatannya, yaitu perlunya komunikasi pribadi yang didukung oleh sikap dasar konselor dalam
menunjukkan penerimaan, pemahaman dan penghargaan,terhadap klien sebagai sesama manuisa. Oleh
karena itu boleh dikatakan bahwa konsepsi Rogers mempunyai pengaruh positif yang besar terhadap
semua pendekatan konseling yang diterapkan dewasa ini.

Hal ini tampak anatara lain dalam penggunaan beraneka teknik konseling yang verbal, seperti
refleksi pikiran, refleksi perasaa, klarifikasi pikirn, klarifikasi perasaan dan penerimaan yang digunakan
oleh konselor dari aliran manapun lebih-lebih pada awal proses koseling.

b) Trait-Factor Couseling

Istialah Trait-Factor Counseling sukar diganti dengan istilah bahasa Indonesia yang mengena,
paling-paling dapat dideskripsikan dengan mengatakan: corak konseling yang menekankan pemahaman
diri melalui testing psikologis dan penerapan pemahaman itu dalam memecahkan beraneka problem
yang dihadapi, terutama yang menyangkut pilihan program studi dan atau bidang pekerjaan. Pelopor
pengembangan corak koseling ini yang paling terkenal ialah E.G. Williamson, yang lama bertugas sebagai
pembantu rektor urusan akademik dan kemahasiswaan pada universitas di Minnesota.

Corak konseling ini dikenal dengan nama directive counseling atau counselor centerd counseling,
karena konselor sadar mengadakan strukturalisasi dalam proses konseling dan berusaha mempengaruhi
arah perkembangan klien demi kebaikan klien sendiri. Corak konseling ini menilai tinggi kemampuan
manusia untuk berpikir rasional dan memandang masalah klien sebagai problem yang harus dipecahkn
dengan menggunakan kemampuan itu (problem-solving approach). Dalam segi teoritis dan dalam segi
pendekatannya, corak bersumber pada gerakan bimbingan jabatan, sebagaimana dikembangkan di
Amirika Serikat sejak awal abad yang ke 20.

Dalam bukunya yang berjudul Vocational Counseling (1965) Williamson menguraikan sejarah
perkembangan bimbingan jabatan dan proses lahirnya konseling jabatan yang berpegang pada teori
Trait-Factor. Pada akhir abad ke 19 Frank Parson mulai mencari suatu cara untuk membantu orang-
orang muda dalam memilih suatu bidang pekerjaan, yang sesuai dengan potensi mereka, sehingga dapat
cukup berhasil dibidang pekerjaan itu. Dalam bukunya Choosing a Vocation (1909), Frank Persons
menunjukkan tiga langkah yang harus diikuti dalam memilih suatu pekerjaan yang sesuai, yaitu pertama,
pemahaman diri yang jelas mengenai kemampuan otak, bakat, minat, berbagai kelebihan dan
kelemahan, serta ciri-ciri lain. Kedua, pengetahuan tentang keseluruhan persyaratan yang harus
dipenuhi supaya dapat mencapai sukses dalam berbagai bidang pekerjaan, serta tentang balas jasa dan
kesempatan untuk maju dalam semua bidang pekerjaan itu. Ketiga, berpikir secara rasional mengenai
hubungan antara kedua kelompok fakta di atas. Jadi, langkah yang pertama menggunakan analisis diri,
langkah yang kedua memanfaatkan informasi jabatan (vocational information), langkah yang ketiga
menerapkan kemampuan untuk berpikir rasional guna menemukan kecocokan antara ciri-ciri
kepribadian, yang mempunyai relevansi terhadap kesuksesan atau kegagalan dalam suatu pekerjaan
atau jabatan.

Dengan demikian, orang muda bukannya mencari pekerjaan demi asal punya pekerjaan (the
hunt of a job), melainkan memilih secara sadar suatu pekerjaan yang berfungsi sebagai jabatan (the
choice of vocation). Namun, prosedur yang digunakan oleh Frank Parsons untuk menemukan fakta
dalam rangka langkah kerja yang pertama dan yang kedua ternyata tidak seluruhnya dapat
dipertanggungjawabkan dari segi analisis psikologis dan sosial secara ilmiah.

c) Konseling Behavioristik

Istilah konseling behavioristik berasal dari istilah bahasa Inggris Behavioral Counseling yang
untuk pertama kali digunakan oleh John D. Krumboltz (1964, dalam Winkel, 2006: 419), untuk menggaris
bawahi bahwa konseling diharapkan menghasilkan perubahan yang nyata dalam perilaku klien
(counselee behavior).

Krumboltz adalah promotor utama dalam menerapkan pendekatan behavioristik terhadap


konseling, meskipun meskipun melanjutkan suatu aliran yang sudah dimulai sejak tahu 1950, sebagai
reaksi terhadap corak konseling yang memandang hubungan antar pribadi (personal relatioship) antara
konselor dan klien sebagai komponen yang mutlak diperlukan dan sekaligus cukup untuk memberikan
bantuan psikologis kepada seseorang.

Aliran baru ini menekankan bahwa hubungan antar pribadi itu tidak dapat diteliti secara ilmiah,
sedangkan perubahan nyata dalam perilaku klien memungkinkan dilakukan penelitian ilmiah. Tokoh-
tokoh seperti Dollard dan Miller (1950), Eysenck (1952), Wolpe (1958), dan Lazarus (1958) meletakkan
dasar aliran baru ini yang akhirnya dipromosikan sebagai pendekatan baru terhadap konseling dan
kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh tokoh-tokoh seperti Thoresen (1966), Bandura (1969),
Goldstien (1966) Lazarus (1966), Yates (1970) serta Dustin dan George (1977). Dalam bukunya
counceling Methods (1976) Krumboltz dan Thoresen sudah tidak menggunakan istilah Behavioral
Counceling, karena mereka menganggap kesadaran akan perlunya perubahan dalam perilaku klien
sudah tertanam dalam kalangan para ahli psikoterapi dan konseling.
Perubahan dalam perilaku itu harus diusahakan melalui proses belajar (learning ) atau belajar
kembali (relearing) yang berlangsung selama proses konseling. Oleh karena itu, proses konseling
dipandang sebagai suatu proses pendidikan (an educational process) yang terpusatkan pada usaha
membatu dan kesediaan dibantu untuk belajar perilaku baru dan dengan demikian mengatasi berbagai
macam permasalahan.

Perhatian difokuskan pada perilaku-perilaku tertentu yang dapat diamati (observable) yang
selama proses konseling melalui berbagai prosedur dan aneka teknik tertentu akhirnya menghasilkan
perubahan yang nyata, yang juga dapat disaksikan dengan jelas. Semua usaha untuk mendatangkan
perubahan dalam tingkah laku (behaviorisme change) didasarkan pada teori belajar yang terkenal
dengan nama behaviorisme dan sudah dikembangkan sebelum lahir aliran pendekatan behavioristik
dalam konseling.

Teori belajar behaviorisme mengandung banyak variasi dalam sudut pandangan. Oleh karena
itu, pendekatan behaviorisme mengandung banyak variasi dalam prosedur, metode dan teknik yang
diterapkan. Meskipun demikian jajaran pelopor pendekatan behavioristik pada dasarnya berpegang
pada keyakinan bahwa banyak perilaku manusia merupakan hasil suatu proses belajar dan karena itu
dapat diubah dengan belajar baru. Dengan demikian proses konseling pada dasarnyapun dipandang
sebagai suatu proses belajar.

Konseling behavioristik berpangkal pada beberapa keyakinan tentang martabat manusia, yang
sebagian bersifat falsafah dan sebagian lagi bercorak psikologis yaitu:

a) Manusia pada dasarnya tidak berakhlak baik atau buruk, bagus atau jelek. Manusia mempunyai potensi
untuk bertingkah laku baik atau buruk, tepat atau salah. Berdasarkan bekal keturunan atau pembawaan
dan berkat interaksi antara bekal keturunan dan lingkungan, terbentuk aneka pola bertingkah laku yang
menjadi suatu ciri khas pada kepribadiannya.

b) Manusia mampu untuk berefleksi atas tingkah lakunya sendiri, menangkap apa yang dilakukannya dan
mengatur serta mengontrol perilakunya sendiri.

c) Manusia mampu untuk memperoleh dan membentuk sendiri suatu pola tingkah laku yang baru melalui
suatu proses belajar. Kalau pola yang lama dahulu dibentuk melalui belajar, pola itu dapat pula diganti
melalui usaha belajar yang baru.

d) Manusia dapat mempengaruhi perilaku orang lain dan dirinya pun dipengaruhi oleh perilaku orang lain.

Keyakinan tersebut itu, sebagaimana pernah dirumuskan oleh Dustin dan George, dikutip dalam
buku karangan George dan Christiani Teory, Methods, and Processes of Counseling and Psychotherapy
(1981, halaman 108) sejalan dengan keyakinan mendasar itu, bagi seorang konselor behavioristik
perilaku klien merupakan hasil dari keseluruhan pengalaman hidupnya dalam berinteraksi dengan
lingkungan. Kalau perilaku klien ditinjau dari sudut pandangan apakah perilaku itu tepat dan sesuai
dengan situasi kehidupannya (well-adjusted) atau tidak tepat dan salah suai (maladjusted), harus
dikatakan bahwa baik tingkah laku tepat maupun tingkah laku salah itu juga dapat dihapus dan diganti
dengan tingkah laku yang tepat melalui suatu proses belajar.

Dengan kata lain, kalau seseorang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri (adjusment) hal
itu disebabkan karena orang itu telah belajar bertingkah laku yang salah. Dimasa yang lampau orang
belajar dalam interaksi dengan lingkungannya, lebih-lebih orang lain (lingkungan sosial). Dia telah
berhadapan dengan sejumlah rangsangan (stimulus ditingkat S dan telah bereaksi pula dengan cara
tertentu (Response, ditingkat R).

Cara bereaksi itu lama-kelamaan akan dapat membentuk suatu pola bertingkah laku, yang
sesuai dengan situasi kehidupannya pada saat tertentu. Suatu pola bertingkah laku yang dahulu
mungkin sesuai, diwaktu kemudian dapat tidak sesuai lagi karena situasi kehidupannya telah berubah,
akan ada kesulitan, alias orang mengalam kesulitan dalam penyesuaian diri. Proses konseling dipandang
sebagai proses belajar yang akan menghasilkan suatu perubahan dalam perilaku nyata. Perubahan itu
dimungkinkan karena pola bertingkah laku yang lama, ketika masih tinggal bersama orang tua, dan pola
bertingkah laku yang baru. Cara belajar di asa yang lampau dapat sama dengan cara belajar yang dapat
ditempuh pada masa sekarang.

Menurut pandangan behavioristik tentang belajar, manusia belajar, manusia belajar dengan
berbagai cara, antara lan Belajar Signal menurut konsepsi Pavlov, belajar melalui peneguhan atau
penguatan (reinforcement) menurut konsepsi Skinner, dan belajar menurut konsepsi Bnadura. Dalam
semua konsepsi itu dipegang paradigma Stimulus-Response (S-R), masing-masing konsepsi menjelaskan
dengan cara bagaimana akan dibentuk hubungan antara rangsangan dan reaksi melalui suatu proses
belajar.

Dalam konsepsi Pavlov dan Skinner, reaksi mengikuti rangsangan secara spontan tanpa melalui
suatu proses kognitif lebih dahulu seperti mengadakan persepsi dan berpikir, ini juga terjadi pada
manusia. Konsepsi ketiga menerima kemungkinan terjadi sesuatu dalam diri subyek yang bereaksi
terhadap suatu ragsangan, seperti berpikir mengenai reaksi yang sebaiknya diberikan.

Beberapa konsepsi yang lain memberikan banyak perhatian pada apa yang terjadi dalam diri
subyek sesudah menerima rangsangan dan sebelum memberikan reaksi, lebih-lebih pada manusia yang
belajar. Dalam hal ini diikuti paradigma S-r-R, dimana r adalah tanggapan kognitif, terhadap S sebelum
memberikan R. Tanggapan kognitif itu tidak dapat langsung diamati karena berlangsung dalam batin,
namun ikut menentukan R yang diberikan. Terdapat kemungkinan orang mengubah perilakunya (R) yang
sampai sekarang ini, dengan berpikir dhulu (r) tentang reaksinya (perilakunya) yang seharusnya
terhadap rangsangan tertentu. Dalam rangka pendekatan Behavioristik dalam konseling, rangkaian S R
dikonsepsikan sebagai rangkaian Antecedent-Behavior-Consequence, yang disebut model A-B-C.
Antecedent adalah kejadian atau kejadian-kejadian yang mendahului Behavior, Consequence adalah
segala efek yang mengikuti atau berlangsung sesudah Behavior. Perilaku (Behavior) sama dengan reaksi
(response). Kejadian atau pengalaman yang berlangsung sebelum perilaku muncul (Antecedent) disebut
rangsangan (Stimulus). Efek yang timbul sesudah perilaku (Consequence) sama dengan yang dalam
konsepsi Skiner disebut peneguhan atau penguatan (Reinforment), yaitu efek yang memperbesar
kemungkinan bahwa perilaku yang sama akan muncul kembali pada lain kesempatan bila rangsangan
yang sama diberikan.

Pendekatan Konseling Behavioristik masih dalam taraf penelitian untuk menentukan


efektivitas dari berbagai prosedur spesifik. Namun dewasa ini semakin ditekankan bahwa pendekatan
Behavioristik dapat menunjukkan fleksibilitas yang besar, karena tujuan konseling (perubahan dalam
tingkah laku) dan prosedur yang diikuti untuk sampai pada tujuan itu disesuaikan dengan kebutuhan
nyata pada klien dalam setiap kasus. Selain itu, seorang konselor Behavioristik dewasa ini mengakui
sepenuhnya bahwa suasana kepercayaan dan hubungan antarpribadi yang menyenangkan (working
relationship) juga sangat penting. Dengan demikian, kritik negatif yang dahulu kerap dilontarkn terhadap
pendekatan Behavioristik sebagai manipulasi manusia yang tidak manusiawi agak kehilangan sengatnya.
Diprakirakan bahwa pendekatan behavioristik akan semakin bergeser dari usaha membantu orang yang
mempunyai masalah ke arah membekali orang dengan aneka siasat untuk mencegah timbulnya
persoalan kejiwaan yang serius.

Pendekata ini kiranya tidak bermanfaat bagi orang yang masalahnya bukan cara bertingkah laku
yang salah/tidak sesuai, melainkan kehilangan arti dan makna dalam hidup atau memandang dirinya
sebagai pribadi gagal.

d) Rational-Emotif Therapy

Istilah Rational-Emotive Therapy sukar diganti dengan istilah bahasa Indonesia yang mengena,
paling dapat didiskripsikan dengan mengatakan: corak konseling yang menekankan kebersamaan dan
iteraksi antara berpikir dengan akal sehat (rational thinking), berperasaan (emoting) dan berperilaku
(acting), serta sekaligus menekankan bahwa suatu perubahan yang mendalam dalam cara berpikir dapat
menghasilkan perubahan yang berarti dalam cara berperasaan dan berperilaku. Maka orang yang
mengalami gangguan dalam alam perasaannya harus dibantu untuk meninjau kembali caranya berpikir
dan memanfaatkan akal sehat. Pelopor dan sekaligus promotor utama corak konseling ini adalah Albert
Ellis, yang telah menerbitkan banyak karangan dan buku, antara lain buku yang berjudul Reason and
Emotion in Psychoteraphy (1962), A new Guide to rational Living (1975), serta karangan yang berjudul
The Rational-Emotive Approach to Counseling dalam buku Burks Theoriesof Counseling (1979). Menurut
pengakuan Ellis sendiri, corak konseling Rational-Emotive Therapy (disingkat RET) berasal dari aliran
kognitf-behavioristik. Banyak buku yang telah terbit mengenai cara-cara memberikan konseling pada diri
sendiri, mengambil inspirasi dari gerakan RET, misalnya J. Lembo, Help Your self yang telah disadur pula
ke dalam bahasa Indonesia degan judul Berusahalah sendiri (1980).

Corak konseling RET berpangkal pada beberapa keyakinan tentang martabat manusia dan tentang
proses manusia dapat mengubah diri, yang sebagian bersifat filsafat dan sebagian lagi bersifat
psikologis, yaitu:

a) Manusia adalah makhluk yang manusiawi, artinya dia bukan supermen dan juga bukan makhluk yang
kurang dari manusia. Manusia mempunyai kekurangan dan keterbatasan yang dapat mereka atasi
sampai taraf tertentu. Selama manusia hidup di dunia ini, dia harus berusaha untuk menikmatinya
sebaik mungkin.

b) Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh bekal keturunan atau pembawaan, tetapi sekaligus
tergantung dari pilihan-pilihan yang kita buat sendiri. Nilai-nilai kehidupan (values) untuk sebagian
ditentukan baginya, namun untuk sebagian juga dibentuk sendiri serta dikejar sendiri. Salah satu nilai
kehidupan adalah kebahagiaan, yang dipilih atau tidak dipilih sendiri sebagai tujuan utama yang pantas
dikejar. Tujuan utama ini terwujud dalam berbagai bidang kehidupan, merasa bahagia dengan dirinya
sendiri, merasa bahagia dalam berinteraksi dengan orang lain, merasa bahagia dalam kemandirian
ekonomis dan merasa bahagia dalam menikmati berbagai kegiatan rekreatif.

c) Hidup secara rasional berarti berpikir, berperasaan dan berperilaku sedemikian rupa, sehingga
kebahagiaan hidup dapat dicapai secara efisien dan efektif. Bilamana orang berpikir, berperasaan dan
berperilaku sedemikian rupa, sehingga segala tujuan yang dikejar tidak tercapai, mereka ini hidup secara
tidak rasional. Dengan demikian, berpikir rasional menunjuk pada akal sehat, sehingga sungguh-sungguh
membantu mencapai kebahagiaan hidup ini. Orang yang tidak mencapai kebahagiaan itu harus
mempersalahkan dirinya sendiri karena tidak menggunakan akal sehatnya secara semestinya, tidak
pantaslah mereka lalu mempersalahkan orang lain atau nasib hidup malang sebagai biang keladi
ketidakbahagiaan mereka.

d) Manusia memiliki kecenderungan yang kuat hidup secara rasioanal dan sekaligus untuk hidup secara
tidak rasional. Dia dapat berpikir dengan akal sehat, tetapi juga berpikir salah dan dengan demikian
menimbulkan kesukaran bagi dirinya sendiri. Kesukaran ini menggejala dalam alam perasaannya dan
dalam caranya bertindak, tetapi pada dasarnya bersumber pada berpikir yang keliru atau berpikir yang
disebut berpikir yang tidak rasional (irrational thinking illogical thinking). Karena perasaan menyertai
berpikir dan bahkan sering diciptakan oleh pikiran, pikiran yang irasional akan mengasilkan perasaan
yang tidak mendukung perilaku yang tepat. Misalnya seseorag memandang suatu kegagalan sebagai
pukulan yang menghancurkan kehidupannya untuk selanjutnya (berpikir irasional), dia akan merasa
putus asa dan sangat depresif (berperasaan yang mematikan semangat) dan akan bertindak yang kurang
sesuai, seperti mmempersalahkan orang lain (bertindak deskrtrukrif). Sebaliknya bila orang itu
memandang kegagalan itu sebagai cermin dan sebagai cambuk untuk berusaha lagi (berpikir rasional),
dia akan tetap merasa kecewa dan sedih, tetapi perasaan itu tidak mematikan semangat. Selanjutnya
dia akan berpikir bagaimana sebaiknya bertindak kemudian, sehingga tingkahlakunya tepat dan sesuai.

e) Orang kerap berpegang pada setumpuk keyakinan yang sebenarnya kurang masuk akal atau irasional
(irrasional beliefs) yang ditanamkan sejak kecil dalam lingkungan kebudayaan atau diciptakannya
sendiri. Mungkin juga keyakinan-keyakinan itu merupakan gabungan dari pengaruh lingkungan sosial
dan gagasannya sendiri. Tumpukan keyakinan irasional cenderung untuk bertahan lama, bahkan orang
cenderung memperkuatnya sendiri dengan berbagai dalih. Allbert Ellis sendiri mengakui mula-mula
merumuskan 11 keyakinan irasional yang dianggapnya dipegang oleh banyak orang, tetapi kemudian
ditinjau kembali. Jumlah itu dikurangi sampai pada tiga keyakinan dasar irasional, yaitu tiga keharusan
yang disampaikan oleh orang kepada dirinya sendiri:
o Saya harus berhasil dalam segala-galanya dan harus disayangi oleh semua orang yang penting dalam
hidup saya. Kalau saya tidak mendapat rasa sayang, saya mengalami musibah, maka saya adalah orang
yang brengsek.

o Kamu harus memperlakukan saya dengan ramah dan adil. Bagi saya timbul musibah kalau kamu tidak
berbuat demikian. Saya tidak tahan lagi berurusan dengan kamu! Maka kamu tak lain dan tak bukan
adalah setan belaka!

o Kehidupan ini harus bersikap manis terhadap saya dan membekali saya dengan semua yang saya inginkan.
Ini pun harus terlaksana segera. Kalau tidak, saya akan hancur. Maka saya tidak bertahan lagi hidup
dalam dunia ini. Dunia ini hanya neraka besar dan hutan rimba belaka.

f) Pikiran-pikiran manusia biasanya menggunakan berbagai lambang verbal dan dituangkan dalam betuk
bahasa. Bila berpikir, manusia seolah-olah mengucapkan kata-kata kepada diri sendiri. Orang
mempertahankan pikiran yang rasional atau yang tidak rasional dengan berbicara pada diri sendiri dan
mengucapkan dalam batinnya sendiri uraian kalimat tertentu.

g) Bilamana seorang merasa tidak bahagia dan mengalami berbagai gejolak perasaan yang tidak
menyenangkan serta membunuh semangat hidup, rasa-rasa itu bukan berpangkal pada rentetan
kejadian dan pengalaman kemalangan yang telah berlangsung (activating event, activating experiene),
melainkan pada tanggapannya yang tidak rasional terhadap kejadian dan pengalaman itu (irrational
beliefs). Tanggapan kognitif yang tidak masuk akal itu biasanya terdiri atas beraneka tuntutan mutlak,
perintah keras kepada diri sendiri dan berbagai keharusan. Perasaan negatif yang muncul sebagai akibat
dari pikiran irasional itu, dipandang sebagai reaksi perasaan yang tidak wajar (inappropriate emotions)
yang biasanya terdiri atas rasa depresif, rasa cemas dan gelisah yang mendalam, rasa putus asa, rasa
bermusuhan dan rasa tak punya harga diri. Perasaan yang demikian disebut tidak wajar, karena
menghambat orang lain dalam enghadapi tantangan/bantingan hidup dan membunuh semangat
berusaha, bahkan sering membuat keadaan orang lebih buruk. Sebaliknyalah tanggapan rasional
(rational belief) isertai suatu reaksi perasaan yang wajar ( Appropriate feelings). Tanggapan yang masuk
akal biasanya terdiri atas berbagai keinginan, aneka harapan dan bermacam preferensi, sedangkan
reaksi perasaan yang wajar meliputi perasaan positif, seperti rasa cinta, rasa bahagia, rasa tentram, dan
rasa puas. Serta perasaan negatif seperti rasa sedih, rasa kesal, rasa kecewa, rasa bosan, rasa tidak suka
dan rasa marah. Semua reaksi perasaan itu, baik yang positif maupun yang
negatif

disebut wajar. Karena menimbulkan semangat untuk


berusaha mengubah hal-hal yang tidak diinginkan dan mengganggu kebahagiaan hidup.

h) Untuk membantu orang mencapai taraf kebahagiaan hidup yang lebih baik dengan hidup secara
rasional, RET memfokuskan perhatiannya pada perubahan pikiran irasional menjadi rasional. Maka pada
dasarnya konselor yang menerapkan corak konseling ini mengusahakan rehabilitasi kognitif (cognitive
restructuring). Untuk itu tidak perlu konselor menggali seluruh sejarah kehidupan klien bahkan juga
tidak perlu konselor menggali seluruh asal-usul permasalahan yang dihadapi klien sekarang dengan
membongkar masa lampau. Konselor RET memusatkan perhatiannya pada masa sekarang dan tidak
begitu mengindahkan apa yang terjadi di masa yang lampau. Dalam hal ini terdapat perbedaan dengan
pendekatan behavioristik meskipun Ellis berpegang pada banyak unsur dalam pendekatan Behavioristik
secara tidak langsung.

i) Mengubah diri dalam berpikir irasional bukan perkara yang mudah, karena orang memiliki
kecenderungan untuk mempertahankan keyakinan-keyakinan yang sebenarnya tidak masuk akal,
ditambah dengan perasaan cemas tentang ketidakmampuannya mengubah tingkah lakunya dan akan
kehilangan berbagai keuntungan yang diperoleh dari perilakunya. Meskipun perubahan pada diri sendiri
tidak mudah, patut diusahakan dengan menyerang kekacauannnya dalam berpikir dan melatih diri
mewujudkan landasan pikiran yang lebih sehat dalam tingkah laku yang konkret.

j) Konselor RET harus berusaha membantu orang menaruh perhatian wajar pada kebahagiaan batinnya
sendiri, menerima atas tanggug jawab atas pengaturan hidupnya sendiri tanpa menuntut secara mutlak
dukungan dari orang lain. Memberikan hak kepada orang lain untuk berbuat salah tanpa menjatuhkan
hukuman neraka atas mereka sebagai manusia. Menerima kenyataan, bahwa banyak hal dalam
kehidupannya tidak dapat diramalkan secara pasti, berpikir obyekyf tentang diri sendiri dan
hubungannya dengan orang lain, berani mengambil resiko yang wajar dan mencoba hal-hal yang baru,
menerima diri sendiri dan merasa puas denga diri sendiri sehingga dapat meikmati hidup dan mengakui
bahwa mustahil jika tidak pernah mengalami rasa frustasi, rasa sedih, rasa kesal dan sebagainya.

k) Konselor harus membantu klien mengubah pikirannya yang irrasional dengan mendiskusikannya secara
terbuka dan terus terang (Dispute). Dalam kaitan ini konselor mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
menantang, mengajarkan tata cara berpikir yang lain, memperolok-olok pikiran yang bodoh,
memberikan contoh-contoh tentang orang lain, menyuruh membayang-bayangkan dan sebagainya,
mana yang ternyata efektif bagi klien tertentu.

l) Diskusi itu akan menghasilkan efek-efek (effects), yaitu pikiran-pikiran yag lebih rasional (cognitive
effects), perasaan-perasaan yang lebih wajar (emmotional effects) dan berperilaku yang lebih tetap dan
lebih sesuai (behaviorel effects).

Dalam melayani klien konselor berpegang pada urutan A-B-C-D-E. A adalah kejadian atau
pengalaman tertentu (Activating event, Activating Experience), yang ditanggapi oleh subyek dalam
bentuk suatu interpretasi terhadap A atau suatu keyakinan tentang A (Belief) yang dapat rasional atau
tidak rasional. Reaksi emosional dan perilaku (Consequences) merupakan akibat dari interpretasi atau
keyakinan kognitif, yang dapat berupa reaksi perasaan wajar atau tidak wajar dan perilaku yang sesuai
atau jelas tidak sesuai. Masalah klien timbul karena keyakinan-keyakinan yang irasional, yang pada
gilirannya menimbulkan reaksi perasaan yang tidak wajar dan tingkah laku yang salah suai.

Dalam urutan A-B-C ini A bukan sebab dari C, melainkan B terhadap A menjadi sebab timbulnya
C. Kalau B adalah irasional dan tidak masuk akal, akibatnya C akan tidak wajar dan salah suai. Kalau B
adalah rasional dan masuk akal, akibatnya C akan wajar dan sesuai. Maka, bila ternyata bahwa klien
berpegang pada B yang irasional, konselor kemudian akan melangkah ke D (Dispute) untuk
menumbuhkan efek-efek yang diharapkan pada akhir proses konseling, yaitu E (Effects).

Tentukan saja proses konseling tidak mulai pada A, tetapi pada suatu saat setelah A-B-C telah
terjadi. Selama proses konseling A-B-C akan menjadi jelas dan konselor menangkap hubungan antara A-
B-C. Kemudian konselor menjelaskan peranan B yang irasional dan mulai menantangnya untuk
mencapai efek E. Namun, konselor biasanya tidak membiarka klien untuk mengutarakan kejadian atau
pengalaman (A) dengan panjang lebar dan secara mendetail, hanya secukupnya supaya menjadi jelas
terhadap hal apa diberikan tanggapan kognitif (B). Demikian pula, tidak dianggap berguna ungkapan
perasaan seperti putus asa, depresif, tidak bersemanagt dan bermusuhan diperpanjang, karena yang
jauh lebih penting adalah berbagai keyakinan irasionl yang melandasi ungkapan perasaan itu. Konselor
menunjukkan sikap penerimaan, pemahaman dan penghargaan sejauh diperlukan untuk menciptkn
suasana komunikasi antarpribadi yang memuaskan (working relationship), tetapi hubungan antarpribadi
tidak dianggap sebagai satu-satunya kondisi yang mencukupi bagi keberhasilan konseling , seperti pada
Cient-Centered Counseling. Untuk melengkapi diskusi tentang rangkaian keyakinannya yang tidak masuk
akal, membayangkan reaksi perasaan yang wajar untuk melawan yang tidak wajar (Rational Emotive
Imagery) dan mengisi format yang disebut Rational Self Help Form yang diterbitkan oleh The Institute for
Rational-Emotive Therapy di New York City.

RET menunjukkan baik kelebihan maupun kelemahan. Kelebihannya ialah tekananya pada
peranan berbagai tanggapan kognitif terhadap timbulnya suatu reaksi perasaan. Kelemahannya ialah
kurangya pengakuan terhadap timbulnya suatu reaksi perasaan. Kelemahannya ialah kurangnya
pengakuan terhadap perasaan nada dasar (steemming) sebagai suatu yang sangat dominan dalam
kehidupan manusia, yang tidak sebegitu mudah mengalami perubahan. Meskipun demikian, corak
konseling ini sangat bermanfaat untuk diterapkan oleh konselor terhadap klien yang mengalami reaksi-
reaksi perasaan-perasaan negatif yang kuat dan agak mewarnai suasana hati, seperti rasa cemas, rasa
gelisah, rasa putus asa, tidak bergairah dan tidak bersemangat. Konselor menduga bahwa ungkapan
perasaan itu berkaitan dengan suatu pengalaman hidup yang diberi interpretasi negatif berdasarkan
cara berpikir yang kurang “sehat” dan/kurang masuk akal.

Suatu sistematika lain yang juga mengusahakan rehabilitasi kognitif (kognitive restructuring)
dikembangkan oleh Meichenbaum, yang terpusat pada pesan-pesan negatif yang disampaikan oleh
orang kepada diri sendiri dan cendeung melumpuhkan kretivitasnya serta menghambat dalam
mengambil tindakan peyesuaian diri yang realistis. Menurut pandangan Miechenbaum orang
mendengarkan sendiri dan berbicara kepada diri sendiri, yang bersama-sama menciptakan suatu dialog
internal (internal dialoque) dan berkisar pada mendengarkan pesan negatif dari diri sendiri dan
menyampaikan pesan negatif pula kepada diri sendiri. Dialog internal yang berisikan penilaian negatif
terhadap diri sendiri akan membuat orang itu merasa gelisah dalam menghadapi tantangan hidup dan
kurang mampu mengambil tindakan penyesuaian diri yang tepat. Maka perlulah mengubah penilaian
diri yang negatif itu menjadi lebih positif, sehingga keyakinn akan diri sendiri menguat dan kemampuan
menyesuaikan diri dengan situasi konkret bertambah.
Siasat yang digunakan oleh konselor pada dasarnya sama dengan yang diterapkan dalam RET,
yaitu mengkaji ulang pola berpikir yang bercorak negatif dan menghasilkan tindakan penyesuaian yang
kurang tepat. Hanyalah Albert Ellis lebih memperhatikan pikiran irasional yang dapat berisikan lebih
luas daripada pikiran tentang diri sendiri, sedangkan Meichenbaum lebih menitikberatkan evaluasi diri
yang bercorak negatif. Namun, dalam praktek koseling di intitusi pendidikan dapat dijumpai kasus corak
berpikir negatif tentang dirinya sendiri yng sebenarnya bersifat irasional (tidak masuk akal sehat), dalam
kasus seperti itu penerapan pendekatan RET mencakup pula rehabilitasi kognitif terhadap corak berpikir
tentang diri sendiri yang melumpuhkan semangat hidup.

e) Konseling Eklektik

Istilah Konseling Eklektik (Eclectic Counseling) menunjuk pada suatu sistematika dalam konseling
yang berpegang pada pandangn teortis dan pendekatan (approach), yang merupakan perpaduan dari
berbagai unsur yang diambil atau dipilih dari beberapa konsepsi serta pendekatan. Konselor yang
berpegang pada pola eklektik berpendapat bahwa mengikuti satu orientasi teoritis serta menerapkan
satu pendekatan saja terlalu membatasi ruang gerak konselor, sebaiknya dia ingin menggunakan variasi
dalam sudut pandangan, prosedur dan teknik, sehingga dapat melayani masing-masing klien sesuai
dengan kebutuhannya dan sesuai dengan ciri khas masalah yang dihadapinya. Ini tidak berarti bahwa
konselor berpikir dan bertindak seperti orang yang bersikap oportunis, dalam arti diterapkan saja
pandangan, prosedur dan teknik yang kebetulan membawa hasil yang paling baik.

Konselor yang berpegang pada pola eklektik menguasai sejumlah prosedur dan teknik serta
memilih dari berbagai prosedur dan aneka teknik yang tersedia, mana yang dianggapnya paling sesuai
dalam melayani klien tertentu. Disamping itu, konselor juga mempertimbangkan gayanya sendiri dalam
berinteraksi dengan orang-orang yang datang kepadanya untuk membicarakan masalah mereka.
Dengan demikian konselor bermaksud mengembangkan suatu fleksibilitas besar, yang memungkinkan
untuk melayani banyak orang dengan cara yang cocok untuk setiap orang dan memperoleh hasil yang
optimal.

Promotor utama dari pola eklektik adalah Frederik Thorne yang mulai mengelola majalah
Journal Of Clinical Psychology pada tahun 1945 dan menyebarluaskan rangkaian pandangannya dalam
beberapa buku antara lain Principles of Personality Counseling (1950). Dalam tulisan-tulisannya Thorne
menganalisis tumpukan sumbangan pikiran dari berbagai aliran dalam psikologi konseling dan mencoba
mengintegrasikan unsur-unsur positif dari masing-masing aliran dalam suatu sistematika baru dan
terpadu. Sistematika terpadu ini dalam segi-seginya yang toritis dan praktis bermaksud mengembangkn
dan memanfaatkan kemampua klien untuk berpikir benar dan tepat, sehingga klien menjadi mahir
dalam memecahkan beraneka persoalan yang dihadapinya (problem-solving). Bilamana seseorang tidak
berhasil dalam menyesuaikan diri terhadap tuntutan-tuntunan hidup, kegagalan ini dianggap bersumber
pada ketidakmampuan mempergunakan daya berpikir yang dimiliki sebagaimana mestinya. Konseling
dipandang sebagai proses rehabilitasi dalam mendidik diri sendiri. Tugas konselor adalah mendampingi
klien dalam melatih diri sendiri untuk memanfaatkan kemampuan berpikir yang dimilikinya.
Tujuan layanan konseling adalah menggantikan tingkah laku yang terlalu kompulsif dan
emosional dengan tingkah laku yang bercorak lebih rasional dan lebih konstruktif. Konselor sebagai
psikologis ahli yang menguasai berbagai prosedur dan teknik untuk memberikan bantuan psikologi
kepada orang lain, berkompeten untuk mendampingi klien dalam menyelesaikan beraneka persoalan
hidup secara tuntas. Konseling eklektik sebagaimana dikembangkan oleh Thorne dianggap sesuai untuk
diterapkan terhadap orang-orang yang tergolong normal, yaitu tidak menunjukkan suatu gejala kelainan
dalam kepribadiannya atau gangguan kesehatan mental yang berat. Namun, orang yang normal itu
dapat saja menghadapi berbagai persoalan hidup yang dapat mereka selesaikan tanpa dituntut
perombakan total dalam kepribadiannya.

Bilamana seseorang menghubungi seorang konselor, dia berbuat demikian karena dia
mempunyai masalah yang belum dapat diselesaikan sendiri. Para klien mengharapkan berjumpa dengan
seorang ahli yang lebih pandai dari mereka dalam memikirkan persoalan hidup dan memiliki lebih
banyak pengalaman dalam bidang ini daripada mereka sediri. Oleh karena itu konselor memberikan
pengarahan sejauh diperlukan.

Dalam wawancara dengan klien, konselor harus menentukan kapan klien membutuhkan banyak
pengarahan berupa penyaluran arus pikiran, informasi, instruksi, usul serta saran dan kapan klieni tidak
membutuhkan pengarahan itu. Konselorlah yang menyesuaikan diri dengan kebutuhan klien dalam hal
ini pada fase tertentu dalam proses konseling. Klien sebagai manusia dianggap memiliki dorongan yang
timbul dari dirinya sendiri untuk mempertahankan (maintenance), namun realisasi dari dorongan dasar
ini dapat terhambat karena klien belum mempergunakan kemampuannya untuk berpikir secara efisien
dan efektif. Selama proses konseling, setiap klien menunjukkan kemunduran dalam mengatur diri
sendiri konselor menambah pengarahan dengan membantu berpikir yang lebih baik.

Bagi klien proses konseling merupakan suatu proses belajar yang mengalami gelombang pasang
surut dalam arti mengalami masa kemajun dan masa kemunduran, tetapi dalam keseluruhannya proses
belajar itu memperlihatkan tanda-tanda kemajuan. Untuk itu klien dituntut bermotivasi cukup kuat,
mampu berkomunikasi dalam suasana kontak pribadi, mampu mengugkapkan asal-usul persoalannya
dengan kata-kata yang memadai dan memiliki kepribadian yang cukup stabil, sehingga dimungkinkan
menemukan suatu penyelesaian dan melaksanakannya alam kehidupan sehari-hari sesudah konseling
berakhir.

Selama proses konseling berlangsung, konselor berpegang pada suatu rangkaian langkah kerja
yang seiring dengan urutan fase-fase dalam proses konseling, yaitu fase pembukaan, fase inti dan fase
penutupan. Dia menggunakan teknik-teknik konseling verbal yang sesuai untuk saat-saat klien tidak
memerlukan pengarahan berupa penyaluran arus pikiran, informasi, saran dan sebagainya. Serta
menggunakan teknik-teknik konseling verbal yang sesuai untuk saat-saat klien tidak membutuhkan
banyak pengarahan.

Thore menganjurkan setiap kali klien diberi kesempatan untuk menemukan sendiri penyelesaian
atas masalahnya tanpa pengarahan dari konselor. Bilamana teryata klien belum dapat menemukan
penyelesaian atas prakarsa sendiri, baru konselor mulai memberikan pengarahan yang jelas. Pada awal
proses konseling, bila klien baru mengutarakan masalahnya serta mengungkapkan semua pikiran dan
perasaannya tentang masalah itu, digunakan banyak teknik verbal yang tidak mengandung pengarahan
tegas oleh konselor, seperti ajakan untuk mulai, refleksi pikiran dan perasaan, klarifikasi pikiran dan
perasaan, permintaan untuk melanjutkan, pengulangan satu-dua kata dan ringkasan sementara. Namun,
dalam keseluruhan proses konseling tidak dibiarkan berjalan ala kadarnya, tetapi diatur menurut urutan
fase pembukaan, fase inti dan fase penutup.

Oleh karena itu bantuan yang diberikan oleh konselor, bukan hal yang bersifat dikotomis, (tidak
ada pengarahan-ada pengarahan), melainkan bergeser-geser pada suatu kontinum dari pengarahan
minimal sampai pengarahan maksimal, sesuai dengan keadaan klien pada saat tertentu.

Thorne menekankan perlu dikumpulkannya data sebanyak mungkin tentang klien, yang
diperoleh dari berbagai sumber informasi(Case History). Data itu dianggap perlu, supaya konselor dapat
mebuat diagnosis dan hubungan sebab akibat antara unsur-unsur dalam persoalan klien menjadi jelas
(psychological diagnosis) dan supaya kelanjutan dari proses konseling dapat direncnakan dengan baik.
Menurut norma atau patokan yang dipegang oleh Thorne, seseorang dikatakan telah berhasil dalam
menjalani proses konseling bila dia mampu mengungkapkan isi alam perasaan dan motif-motifnya
secara lebih memadai, mampu mengatur dirinya sendiri dengan lebih baik, memandang dirinya sendiri
dan lingkungan hidupnya secara lebih realistis, mampu berpikir lebih rasional dan logis,
mengembangkan tata nilai dan bekal sikap yang selaras dan lebih konsisten antara hal yang satu dengan
yang lainnya, mengatasi penipuan diri dengan meninggalkan penggunaan berbagai mekanisme
pertahanan diri dan menunjukkan tanda-tanda lebih mampu mandiri dan bertindak secara lebih dewasa.

Menurut pandangan Shertzer dan Stone dalam buku Fundamentals of Counseling (1980),
konseling eklektik sebagaiman dikonsepkan oleh Thorne, mengandung unsur-unsur positif dan negatif.
Sebagai unsur positif, usaha menciptakan suatu sistematika dalam memberikan layanan konseling,
menghindari posisi dogmatis dan kaku denga berpegang pada suatu kerangka teoritis dan pendekatan
praktis saja. Sebagai unsur negatif disebut: menjadi mahir dalam penerapan dalam satu pendekatan
konseling sudah cukup sulit bagi konselor, apabila mengembangkan suatu pendekatan konseling yang
memadukan unsur-unsur dari berbagai pendekatan konseling, klien bisa merasa bingung bila konselor
mengubah-ubah siasatnya sesuai dengan keadaan klien pada suatu saat tertentu dalam proses
konseling. Diragukan apakah konselor mampu menentukan siasat yang paling sesuai hanya berdasarkan
reaksi dan tanggapan klien pada saat-saat tertentu selama proses konseling berlangsung.

Timbul pertanyaan, sampai berapa jauh seorang konselor di institusi pendidikan dapat
menerapkan sistematika konseling eklektik menurut model Thorne. Mengingat kenyataan bahwa para
konselor di lembaga pendidikan menengah dan pendidikan tinggi pada umumnya bukan psikolog
profesional yang berwewenang untuk melakukan diagnosis psikologis (seperti yang dituntutkan oleh
Thorne) dan akan mengalami kesulitan harus sering berubah siasat menurut kebutuhan klien pada
setiap saat selama proses konseling. Sistematika konseling eklektik ini kiranya tidak dapat mereka
terapkan secara memadai. Namun, gagasan menerapkan suatu pendekatan konseling eklektik yang tidak
seluruhnya berpegang pada model Thorne, tetap menarik bagi konselor diinstitusi pendidikan karena:
a. Konselor dapat menyesuaikan pelayanannya dengan jenis masalah yang dihadapi klien, misalnya
memilih masalah pilihan hidup yang lebih baik di selesaikan menurut pola pendekatan Trait and Factor,
masalah perasaan takut dan benci yang bersumber pada suatu pengalaman yang negatif lebih baik
diselesaikan menurut pola pendekatan Behavioristik, masalah yang bersumber pada pikiran irrasional
lebih baik diselesaikan menurut pendekatan Rational-emotive Therapy. Dengan demikian konselor tidak
menerapkan pola pendekatan yang sama terhadap semua masalah yang diungkapkan kepadanya. Hal ini
sudah mengandung unsur memilih sesuai dengan kebutuhan klien dan sedikit banyak sudah berarti
mengambil sikap eklektik. Harus diakui di sini, bahwa yang dimaksud dengan “sikap eklektik” tidak
seluruhnya sama dengan “pendekatan eklektik” dalam konseling. Istilah yang kedua menunjuk pada
pandangan teoritis dan pendekatan praktis yang merupakan perpaduan dari berbagai unsur yang
diambil dari beberapa konsepsi serta pendekatan.

b. Konselor dapat mengambil posisi tertentu pada garis kontinum antara ujung memberikan pengarahan
minimal dan ujung memberikan pengarahan banyak, sesuai dengan kebutuhan klien dalam hal ini.
Pengambilan posisi ini dikaitkan dengan kebutuhan klien untuk diberi pengarahan sedikit atau banyak.
Pendekatan terhadap klien yang mengandung pengarahan minimal menggunakan metode konseling
disebut: metode non direktif, pendekatan yang mengandung pengarahan banyak menggunakan metode
yang disebut metode direktif, pedekatan yang memberikan pengarahan yang dibutuhkan oleh klien
memakai metode eklektik. Bagian terakhir ini tidak berarti bahwa konselor selama proses konseling
bergeser-geser posisi pada garis kontinum antara dua ujung itu, tetapi mula-mula mengambil posisi
dekat ujung pengarahan minimal dan kemudian mengambil posisi dekat ujung pengarahan lebih banyak.
Perpindahan ini bukan bergeser-geser posisi, melainkan siasat yang diterapkan secara konsekuen, sesuai
dengan jalannya wawancara yang direncanakan oleh konselor. Khususnya dalam berwawancara dengan
klien yang masih kurang pengalaman hidup. Penerapan metode eklektif dalam hal memberikan
pengarahan minimal atau memberikan pengarahan banyak sesuai dengan fase awal atau fase tengahan
dalam proses konseling, kiranya sangat masuk akal. Bahkan pendekatan Trait and Factor Rational-
Emotive Therapy dan konseling Behavioristik yang sebenarnya menggunakan metode direktif karena
mengandung banyak pengarahan, juga diperlunak dengan masuknya unsur dari metode nondirektif.

Konselor yang menerapkan salah satu dari ketiga pendekatan ini pada awal proses konseling akan
berusaha menciptakan suasana hubungan antar pribadi yang memungkinkan suatu “kerjasama” yang
baik (working relationship) dan memberikan kesempatan kepada klien untuk mengutarakan pikiran dan
perasaannya.

c. Konselor perlu menguasai pendekatan (approach) yang secara luas dapat diterapkan terhadap banyak
kasus yang dibicarakan dengannya. Konselor mungkin sekali tidak menguasai semua kerangka teoritis
bersama dengan pendekatannya yang khas, atau beranggapan bahwa suatu pendekatan yang khusus
sebaiknya tidak diterapkan terhadap klien tertentu. Khususnya teori-teori yang membutuhkan latihan
khusus seperti teori psikoanalisis, teori Gestalt, teori psiko-individual, teori analisis transaksional.
Biarpun konselor menguasai teori dan pendekatan tertentu namun konselor dapat berpendapat bahwa
teori dan pendekatan itu sebaiknya tidak diterapkan terhadap kliennya. Seperti teori konseling
eksistensial dan teori menurut model Robbert Carkhuff. Jika demikian, konselor membutuhkan suatu
pendekatan yang secara luas dapat diterapkan terhadap banyak kasus dan banyak klien.
Dalam hal ini gagasan Thorne tentang konseling eklektik dapat digunakan sebagai pedoman karena di
dalamnya telah dipadukan sejumlah unsur yang baik dari beberapa pendekatan yang lain, khususnya
yang menyangkut penggunaan teknik-teknik verbal yang mengandung pengarahan minimal dan
megandung pengarahan lebih banyak.

d. Konselor menyadari bahwa tidak semua kasus yang diutarakan klien kepadanya mengandung suatu
persoalan atau masalah yang memerlukan pembahasan mengenai penyelesaiannya pada saat sekarang.
Misalnya, dapat terjadi bahwa seorang klien hanya ingin mendapatkan suatu dukungan moral dalam
menghadapi suatu situasi kehidupan yang sulit baginya, namun penyelesaiannya sebenarya sudah jelas
baginya. Dalam kasus-kasus seperti itu proses konseling hanya meliputi fase pembukaan, fase
menjelaskan persoalan, fase tanggapan dari konselor sesuai dengan kebutuhan klien, fase penutup. Jadi
tidak terdapat fase penggalian masalah dan fase penyelesaian masalah. Dalam keadaan demikian
konselor dapat menerapkan suatu pola pendekatan yang bersifat umum dan sedikit banyak bersifat
eklektik.

3. Pendekatan-Pendekatan Konseling

A. Pendekatan Afektif
a. Psikoanalisis

Psikoanalisis (Psychoanalysis) yang bersumber pada sederetan pandangan Sigmund Freud dalam
abad 20 mengalami perkembangan yang pesat. Pengarang ahli yang berpegang pada beberapa konsep
Freud yang paling dasar, namun mengadakan modifikasi sesuai dengan perkembangan ilmu psikologi,
disebut Noe-Freudians, antara lain Carl Jung, Otto Rank, Wilhelm Reich, Karen Horney, Theodore Reih
dan Harry Stack Sullivan. Terapi psikoanalitis berusaha membantu individu untuk mengatasi ketegangan
psikis yang bersumber pada rasa cemas dan rasa terancam yang berlebih-lebihan (anxiety). Sebelum
orang datang kepada ahli terapi, dia telah berusaha untuk menghilangkan ketegangan itu, tetapi tidak
berhasil.

Menurut pandangan Freud setiap manusia didorong-dorong oleh kekuatan irasional di dalam
dirinya sendiri, oleh motif-motif yang tidak disadarinya sendiri dan oleh kebutuhan-kebutuhan alamiah
yang bersifat biologis dan naluri. Bilamana beraneka dorongan itu tidak selaras dengan apa yang
diperkenankan serta diperbolehkan menurut kata hati atau kode moral seseorang, timbul ketegangan
psikis yang disertai kecemasan dan ketidaktenangan tinggi. Kalau seseorang tidak berhasil
mengontrol dan membendung kecemasan itu dengan cara rasional dan realistis dia akan menggunakan
prosedur yang irasional dan tidak realistis, yaitu menggunakan salah satu mekanisme pertahanan diri
demi menjaga keseimbangan psikis dan rasa harga diri, seperti rasionalisasi, penyangkalan, proyeksi dan
sebagainya. Selama proses terapi klien menerapkan terhadap konselor corak hubungan antarpribadi
sama seperti dilakukannya dimasa yang lampau terhadap orang-orang yang berperanan penting dalam
hidupnya.

Dengan kata lain, perasaan terpendam terhadap orang tertentu serta segala konflik yang dialami
dalam komunikasi dengan pihak /orang itu, selama prose terapi dihidupkan kembali dan dilimpahkan
pada konselor sebagai wakil dari pihak/orang itu (transference). Perasaan, pertentangan dan konflik
yang sengaja ditimbulkaan itu, kemudian diolah kembali sampai kien menjadi sadar akan berbagai
dorongan yang ternyata berperanan sekali dalam kehidupanya sampai sekarang. Kesadaran ini
memungkinkan suatu perubahan keadaan dalam batin klien dan dalam cara mengatur kehidupannya
sendiri.

b. Psikologi Individual

Aliran Psikologi Individual (Individual Psychology) dipelopori Alfred Adler dan dikembangkan
sebagai sistematika terapi oleh Rudolf Dreikurs dan Donald Dinkmeyer, yang dikenal dengan nama
Adlerian Counseling. Dalam corak terapi ini perhatian utama diberikan pada kebutuhan seseorang untuk
menempatkan diri dalam kelompok sosialnya. Ketiga konsep pokok dalam corak terapi ini adalah rasa
rendah diri (inferiority feeling), usaha untuk mencapai keunggulan (striving for superiority) dan gaya
hidup perseorangan (a person’s lifestyle). Manusia kerap mengalami rasa rendah diri karena berbagai
kelemahan dan kekurangan yang mereka alami dan berusaha untuk menghilangkan ketidakseimbangan
dalam diri sendiri melalui aneka usaha mencari kompensasi terhadap rasa rendahnya itu, dengan
mengejar kesempurnaan dan keunggulan dalam satu atau beberapa hal.

Dengan demikian manusia bermotivasi untuk menguasai situasi hidupya, sehingga dia merasa
puas dapat menunjukkan keunggulannya, paling sedikit dalam bayangannya sendiri. Untuk mencapai itu
anak kecil sudah mengembangkan suatu gaya hidup perseorangan, yang mewarnai keseluruhan
perilakunya dikemudian hari, meskipun biasanya tidak disadari sendiri. Selama proses terapi konselor
mengumpulkan informasi tentang kehidupan klien dimasa sekarang dan dimasa yang lampau sejak
berusia sangat muda, antara lain berbagai peristiwa di masa kecil yang masih diingat, urutan kelahiran
dalam keluarga, impian-impian, dan keanehan dalam perilaku. Dalam semua informasi itu konselor
menggali perasaan rendah diri pada klien yang bertahan sampai sekarang dan merupakan segala
usahanya untuk menutupi perasaannnya itu melalui suatu bentuk kompensasi, sehingga mulai tampak
gaya hidup perseorangan. Selanjutnya konselor membantu klien untuk mengembangkan tujuan-tujuan
yang lebih membahagiakan bagi klien dan merancang suatu gaya hidup yang lebih kostruktif.

Dalama melayani anak muda yang meneunjukkan gajala salah suai dalam bergaul, konselor
berusaha menemukan perasaan rendah diri yang mendasari usaha kompensasi dengan bertingkah laku
aneh, yang ternyata menimbulkan berbagai gangguan. Menurut pendapat Schmidt (1993) banyak unsur
dalam psikologi individual cocok untuk diterapkan dalam individual maupun konseling kelompok.

c. Teori Gestalt

Terapi Gestalt (Gestalt Therapy) dikembangkan oleh Frederick Perls. Dalam corak terapi ini
konselor membantu klien untuk menghayati diri sendiri dalam situasi kehidupan yang sekarang dan
menyadari halangan yang diciptakannya sendiri untuk merasakan serta meresapi makna dari konstelasi
pengalaman hidup. Keempat konsep pokok dalam terapi ini ialah penghayatan diri sendiri dalam situasi
hidup yang konkret (awareness) tanggung jawab perseorangan (pesonal responnsibility) keutuhan dan
kebulatan kepribadian seseorang (unity of the person) dan penyadaran akan berbagai halangan yang
menghambat penghayatan diri sendiri (blocked awarness). Klien harus mengusahakan keterpaduan dan
integrasi dari berpikir , berperasaan dan berperilaku, yang mencakup semua pengalamannya yang nyata
pada saat sekarang. Klien tidak boleh berbicara saja tentang kesulitan dan keukaran yang dihadapi,
karena berbicara itu mudah menjadi suatu permainan memutarbalikkan kata-kata (word game) tanpa
disertai peghayatan seluruh perasaannya sendiri dan tanpa menyadari tanggungjawabya sendiri.

Oleh karena itu, konselor mendesak klien untuk menggali macam-macam perasaan yang belum
terungkapkan secara jujur dan terbuka , seperti jengkel, sakit hati, duka cita dan sedih. Rasa bersalah,
rasa berdosa, rasa kesal atau rasa diasingan. Semua rasa itu belum pernah dibiarkan muncul ke
permukaan dan masuk alam kesadaran klien, namun berpengaruh sekali dalam kehidupan batin
(unfinishid business). Isi batin ini harus diterima sebagi milik klien sendiri dan tanggung jawabnya sendiri
serta tidak boleh dipandang sebagai tanggung jawab orang lain dengan demikian klien menyadari bahwa
dia telah memasuki suatu jalan buntu, tetapi sekaligus diakui bahwa seharusnya dia berdiri di atas kaki
sendiri dan harus mendapat dukungan moral dari diri sendiri, bukan dari orang lain.

Dengan bantuan konselor, klien lalu mulai membuka jalan buntu itu dengan meninggalkan
berbagai siasat untuk mendapatkan simpati dari orang lain dan mulai mengambil peran lebih aktif dalam
mengatur kehidupannya sendiri. Berbeda dengan kebanyakan terapi lain, Terapy Gestald membuat klien
merasa frustasi (berada di jalan buntu), tetapi frustasi itu dipandag sebagai landasan bagi usaha baru
yang lebih konstruktif . dengan kata lain, mengakui kegagalan dalam diri sendiri adalah cermin bagi diri
sendiri pula.

d. Konseling Eksistensi

Aliran Konseling Eksistensial (Existential Counseling) tidak terikat pada nama salah seorang
pelopor. Konseling eksistensial dilakukan dengan berbagai variasi, yang semuanya dengan satu atau lain
cara mengambil inspirasinya dari karya-karya ilmuwan falsafah di eropa barat, seperti seperti Paul
Tillich, Martin Heidegger, Jean Paul Sarte, Ludwig Binswanger dan Eugene Minkowski. Konseling
eksistensial sangat menekankan implikasi dari falsafah hidup ini dalam menghayati makna kehidupan
manusia didunia ini. Jajaran promotor dari konseling eksistensial di Amirika Serikat adalah Rollo May,
Victor E. Frankl dan Adrian Van Kaam.

Konseling eksistensial berfokus pada situasi kehidupan manusia di alam semesta yang mencakup
kemampuan kesadaran diri, kebebasan untuk memilih dan menentukan nasib hidupnya sendiri.
Tanggung jawab pribadi, kecemasan sebagai unsur dasar dalam kehidupan batin, usaha untuk
menemukan makna dari kehidupan manusia, keberadan dalam komunikasi dengan manusia lain,
kematian serta kecenderungan dasar untuk mengembangkan dirinya semaksimal mungkin. Selama
wawancara konseling, klien membuka pikiran dan perasaannya, bagaimana dia menghayati dan
meresapi kehidupan dunia ini. sebaliknya, konselor juga membuka diri dan ingin berkomunikasi sebagai
manusia yang menghadapi beraneka tuntutan kehidupan manusiawi yang sama. Melalui proses
komunikasi antar pribadi ini, konseli mulai semakin menyadari kemampuannya sendiri untuk mengatur
dan menentukan arah hidupnya sendiri secara bebas dan bertanggung jawab.

Dalam hal ini klien belajar dari konselor yang mengkomunikasikan sikap hidup penuh rasa dedikasi
terhadap segala tuntutan hidup sebagai tanggung jawab pribagi. Klien diharapkan akan menjadi semakin
mampu mengatasi beraneka kesulitan dan bermacam tantangan dengan menempatkannya dalam
kerangka suatu sikap mendasar terhadap kehidupannya sebagai manusia, yang harus menerima realita
hidup sebagaimanan adanya dan harus memperkaya diri sendiri melalui penghayatan makna
kehidupannya. Klien yang melibatkan diri sepenuhnya dalam hidup secara otentik (commitment to life),
akan dapat menemukan apa yang sebaiknya dilakukannya pada saat tertentu dalam kehidupannya.

B. Pendekatan Kognitif

a. Analisis Transaksional

Analisis Transaksional (Transaksional Analisys) dipelopori oleh Erick Berne dan diuraikan dalam
beberapa buku yang dikarang oleh Berne sendiri, seperti Games People Play (1964) atau dikarang oleh
orang lain, seperti Thomas A. Harris dalm buku I’m Ok-You’re Ok (1969). Analisis transaksional
menekankan pada pola interaksi antara orang-orang, baik yang verbal maupun yang non verbal
(transactions). Corak konseling ini dapat diterapkan dalam konseling individual , tetapi dianggap paling
bermanfaat dalam konseling kelompok, karena konselor mendapat kesempatan untuk langsung
mengamati pola-pola interaksi antara seluruh anggota kelompok. Perhatian utama diberikan pada
manipulasi pada siasat yang digunakan oleh orang dalam berkomunikasi satu sama lain (games people
play). Dibedakan antara tiga pola berperilaku atau keadaan diri (ego states) yaitu orangtua (parent),
orang dewasa (adult), dan anak (child).

Keadaan orang tua (parent ego state) adalah berperilaku yang dianjurkan oleh pihak orang atau
instansi sosial yang berperanan penting selama masa pendidikan seseorang, seperti orang tua kandung,
sekolah dan badan kegamaan. Dalam keadaan ini seseorang berpesan kepada dirinya sendiri dan kepada
orang lain seperti yang dialami sendiri dari pihak orang atau instansi yang memiliki wewenng
terhadapnya. Keadaan orang dewasa (adult ego state) adalah bagian kepribadian yang berhadapan
dengan realitas sebagaimana adanya dan mengolah fakta serta data untuk membuat keputusan-
keputusan. Segala situasi kehidupan yang dihadapi ditafsirkan untuk kemudian mengambil sikap dan
bertindak menurut apa yang dianggap tepat. Keadaan anak (child ego state) adalah bagian kepribadian
yang didorong oleh beraneka perasaan spontan dan keinginan untuk melakukan apa yang disukai,
seperti dapat disaksikan dalam perilaku tindakan anak kecil. Dalam keadaan ini orang berperilaku secara
bebas dan spontan. Pada kebanyakan orang, hal ini berarti bahwa mereka mengejar kesenangannya
sendiri. Tiga keadaan diri ini tidak terikat pada umur atau fase perkembangan tertentu, sehingga
seoarang yang berumur dewasa bearada dalam salah satu dari tiga keadaan diri dan dapat berpindah
dari keadaan diri yang satu ke keadaan diri yang lain.
Selama proses konseling orang belajar mengidentifikasikan tiga keadaan diri pada dirinya sendiri
dan menyadari keadaan diri manakah yang menjadi dominan serta menentukan pola interaksi dengan
orang-orang lain. Konselor memberikan informasi tentang pola-pola interaksi sosial sesuai dengan
berbagai keadaan diri (transactions) dan membantu untuk mengnalisis diri sendiri sehingga disadari
keadaan diri mana yang dominan dalam perilakunya. Dalam berhadapan dengan orang lain pada suatu
saat orang dapat berbicara dalam keadaan diri tertentu dan mengharapkan tanggapan dari pihak yang
lain dalam keadaan diri yang sama, misalnya suami bertanya kepada istri, “makan malam nanti pukul
berapa?” dan mendapat jawaban “pukul 7” (orang dewasa bicara dengan orang dewasa).

Bilamana suami mendapat jawaban dari istri, “Jangan memburu-buru saya! Kamu tidak pernah
memberi waktu kepada saya menghidangkn makanan yang lezat, lihat nih!”. Dia tidak mendapatkan
jawaban dari istrinya dalm keadaan orang dewasa, tetapi dalam keadaan anak-anak. Dengan demikian
komunikasi mereka pada saat itu tidak lancar dan dapat menghasilkan rasa sakit hati di kedua belah
pihak. Istri itu mungkin mengharapkan tanda simpati dari suami atas jerih payahnya sebagai ibu rumah
tangga (a positive stroke), namun cara yang ditempuh untuk mendapatkan tanda penghargaan itu
adalah dengan menimbulkan rasa kasihan dalam hati suami. Dengan kata lain ia memanipulsi hati
suaminya (play game) yang mengganggu kontak antarpribadi sebagai suami dan istri.

Jadi tujuan dari konseling menurut pendekatan analisis transaksional ialah supaya klien menjadi
sadar akan seluruh hambatan yang diciptakannya sendiri dalam berkomunikasi dengan orng lain, serta
kemudian mengembangkan suatu pola interaksi sosial yang sesuai dengan situasi dan kondisi dengan
menempatkan diri dalam keadaan diri yang memungkinkan proses komunikasi yang sehat.

Harris mendiskripsikan empat sikap hidup terhadap diri sendiri dan orang lain, yaitu:

1) I am okay-you are okay: sikap hidup seseorang yang mampu mengatur dirinya sendiri dengan baik dan
membina kotak sosial yang memuaskan.

2) I am okay-you are not okay: sikap hidup seseorang yang melimpahkan kesukaran-kesukarannya sendiri
pada orang lain dan menyalahkan orang lain. Dia bersikap sombong dan menjauhkan diri dari orang lain

3) I am not okay-you are okey: sikap hidup seseorang yang merasa depresif dan tak berdaya, dibanding
dengan orang lain. Dia cenderung untuk mengasingkan diri atau melayani orang lain untuk
mendapatkan pengakuan dan simpati

4) I am not okay-you not okey: sikap hidup seseorang yang menyerah saja, tidak mempunyai harapan dan
membiarkan dirinya dibawa oleh pasang surutnya kehidupan.

b. Sistematika Carkhuff

Sistematika ini merupakan pola pendekatan tersendiri, yang dikembangkan oleh Robbert R.
Carkhuff dan diuraikan serta dipertanggung jawabkan dalam banyak publikasi, antara lain dalam buku
yang berjudul The Skill Of Helping (1979) dan The Art Of Helping IV (1980). Sistematika ini dapat
dipandang sebagai suatu pola eklektik dalam konseling karena merupakan perpaduan dari berbagai
unsur yang diambil dari beberapa konsepsi serta pendekatan terhadap konseling, namun berbeda degan
Konseling Eklektif yang dikembangkan oleh Frederick Thorne. Dalam sistematika Carkhuff proses
konseling dipandang sebagai suatu proses belajar, baik bagi klien sebagai orang yang dibantu (helpee)
maupun bagi konselor sebagai orang yang membantu (helper).

Klien akan belajar bagaimana caranya menghadapi dan mengatasi suatu masalah dengan berpikir
dan bertindak secara lebih konstruktif, bahkan klien belajar bahwa cara menyelesaikan masalah tertentu
pada saat sekarang dapat pula diterapkan dalam menghadapi permasalahan, kesulitan, persoalan yang
lain di kemudian hari.

Konselor akan belajar, melalui penghayatan pengalamannya membantu orang-orang tertentu,


meningkatkan kemampuannya untuk membantu orang lain dengan memperoleh semakin banyak
keterampilan praktis (skills) dalam berwawancara konseling. Dalam sejarah perkembangan teori-teori
konseling, Carkhuff menemukan dua konsepsi pokok serta dua pola dasar pendekatan dalam konseling,
yaitu konsepsi serta pendekatan yang menekankan memahami (insight approach) dan konsepsi serta
pendekatan yang mengutamakan bertindak (action approach) kedua pola pendekatan harus dipandang
sebagai pola yang berat sebelah dan kurang menjamin keberhasilan dalam konseling karena memahami
tidak dituangkan dalam suatu program nyata dan bertindak tidak didasarkan pada pengertian serta
keyakinan yang harus menjamin kelangsungan dari berbagai tindakan yang diambil. Supaya orang
mengubah diri dan mengubah perilakunya dibutuhkan baik memahami maupun bertindak.

Oleh karena itu, kedua pola pendekatan harus dipadukan dalam suatu pendekatan sistematis yang
menjamin efisiensi dan efektifitas dari proses konseling serta menghasilkan perubahan positif yang
nyata dalam perilaku klien. Orang yang menjalani proses konseling akan melewati tiga fase pokok dalam
proses itu, yaitu eksplorasi (eksploration), pemahaman diri (understanding) dan bertindak (action).

Untuk membantu klien melewati tiga fase itu secara tuntas, konselor harus memiliki keterampilan
berwawancara konseling. Keterampilan ini harus berakar dalam kondisi-kondisi internal yang harus
dipenuhi oleh konselor, kondisi-kondisi itu oleh Carkhuff disebut dimensi-dimensi pada konselor.
Penelitian terhadap dimensi itu ternyata menunjukkan suatu garis perkembangan, mulai dari pengertian
terhadap pengalaman pikiran dan perasaan klien (emphatic understanding), yang dilengkapi dengan
penerimaan tak bersyarat (unconditional positive regard) dan keikhlasan (genuiness). Sebagaimana
tampak dalam karya-karya tulis Carl Rogers.

Tiga dimensi itu dikembangkan lebih lanjut sebagai ketujuh kondisi yang memperlancar proses
komunikasi antar pribadi (facilitative conditions), yaitu pengertian yang tepat terhadap klien (accurate
emphaty); penghargaan (respect), kejujuran dan keterbukaan (genuinesess), kemampuan berbicara
secara konkrit dan spesifik (concretness, specificity), kemampuan dan kerelaan untuk membuka diri
sejauh menyangkut kepentingan klien (selfdisclosure), kemampuan untuk menghadapkan klien dengan
segera (immediacy).

Semua dimensi itu kemudian dikelompokkan sebagai dimensi mendengarkan


(responsive dimension) untuk membantu klien memahami diri dan situasi kehidupannya, yang meliputi
empati, penghargaan dan kemampuan berbicara secara spesifik dan dimensi memprakarsai (initiative
dimension) untuk membantu klien menyusun suatu rencana kerja dan bertindak sesuai dengan rencana
itu, yang meliputi keikhlasan, kemampuan menghadapkan klien pada dirinya sendiri, kemampuan
menanggapi dengan segera dan berbicara secara konkret. Lalu dua dimensi mendengarkan dan
memprakarsai itu oleh Car-huff diwujudkann dan dijabarkan menjadi keterampilan-keterampilan
tertentu (skills) yang digunakan oleh konselor untuk membantu klien melewati fase-fase pokok dalam
konseling.

Keterampilan yang dimaksud mencakup keterampilan untuk menaruh perhatian dan menciptakan
suasana berkomunikasi antarpribadi (attending skills), ketrampilanmemperoleh pemahaman yang tepat
mengenai klien dan mengkomunikasikan pemahaman itu secara memadai (responding skills),
keterampilan membantu klien untuk lebih memahami diri sendiri dan situasi kehidupannya dengan
melihat semua implikasi dari susituasi yang menyangkut dirinya secara pribadi (personalizing
skills), keterampilan membantu klien menetapkan tujuan-tujuan yang ingin dicapai dan mengambil
urutan langkah konkret untuk mencapai semua tujuan itu (initiating skills).

Ketiga fase dalam proses konseling, yaitu eksplorasi, pemahaman diri dan bertindak didahului oleh
suatu fase persiapan, dimana klien melibatkan diri dalam proses konseling (involvement).

C. Pendekatan Behavioristik

a. Reality Therapy

Reality Therapy dikembangkan oleh William Glasser. Yang dimaksudkan dengan istilah reality ialah
suatu standar atau patokan obyektif yang menjadi kenyataan atau realitas yang harus diterima. Realitas
atau kenyataan ini dapat berwujud suatu realitas praktis, realitas sosial atau realitas moral. Sesuai
dengan pandangan behavioristik, yang terutama disoroti pada seseorang adalah tingkah lakunya yang
nyata. Tingkah laku itu dievaluasi menurut kesesuaian dan ketidaksesuaiannya dengan realitas yang ada.
Glesser memfokuskan perhatian pada perilaku seseorang pada saat sekarang, dengan menitik beratkan
tanggung jawab yang dipikul setiap orang untuk berprilaku sesuai dengan realitas atau kenyataan yang
dihadapi. Penyimpangan atau ketimpangan dalam tingkah laku seseorang, dipandang sebagai akibat dari
tidak adanya kesadaran mengenai tanggung jawab pribadi, bukan sebagai indikasi atau gejala adanya
gangguan dalam kesehatan mental menurut konsepsi tradisional.

Bagi, Glesser, bermental sehat adalah menunjukkan rasa tanggung jawab dalam semua perilaku.
Tanggung jawab diartikan sebagai kemampuan untuk dapat memenuhi dua kebutuhan psikologis yang
mendasar, yaitu kebutuhan untuk dicintai dan mencintai serta kebutuhan menghayati dirinya sebagai
orang yang berharga dan berguna tetapi tidak merampas hak orang lain untuk memenuhi kebutuhan
mereka. Kemampuan untuk memenuhi kedua kebutuhan dasar itu tidak dimiliki sejak lahir, tetapi harus
diperoleh melalui proses belajar. Dengan demikin tanggung jawab merupakan hasil dari aneka usaha
belajar memenuhi kebutuhan itu dalam realitas hidup, yang menghadapkan orang pada norma-norma
moralitas, adat istiadat sosial, nilai-nilai kehidupan, serta pembatasan gerak gerik yang lain. Orang
perorangan tidak diperkenankan untuk bertindak sesuka hati, dia harus menunjukkan tingkah laku yang
tepat dan menghindari tingkah laku yang salah (rigth and wrong behavior).

Selama proses konseling, konselor membantu klien untuk menilai kembali tingkah lakunya dari
sudut bertindak secara bertanggung jawab. Dengan demikian, proses konseling bagi klien menjadi
pengalaman belajar menilai diri sendiri dan dimana perlu menggantikan tingkah laku yang keliru dengan
tingkah laku yang tepat. Sampai teraf tertentu, konselor berperan sebagai seorang guru yang
mengajarkan tata cara bertindak secara tepat dan meluruskan bila klien tidak bertindak secara
bertanggung jawab. Konselor menolak segala macam alasan untuk membela diri bila klien tidak
menunjukkan tanggung jawab itu, apabila menimpakan kesalahannya sendiri pada orang lain atau
situasi dan kondisi. Kalau klien ingin menikmati kebahagiaan dalam hidup dia harus menjadi orang yang
bersikap dan bertindak penuh tanggung jawab ditengah-tengah medan kenyataan hidup.

Menurut pendapat Schmidt (1993) pendekatan ini cocok utuk diterapkan oleh konselor sekolah
karena tekanan yang diberikan pada kemampuan individu untuk mengatur kehidupannya sendiri dan
berani mempertanggungjawabkan tingkah lakunya. Namun harus diingat bahwa pendapat itu
menyangkut suatu lingkungan kebudayaan yang mengutamakan pengembangan segala potensi yang
dimiliki oleh seorang dan karena itu mungkin kurang selaras dengan ciri kebudayaan yang menghargai
kelancaran dalam hubungan sosial biarpun berarti mengorbankan suatu potensi yang sebenarnya
dimiliki.

b. Multimodal Counseling

Nama “Multimodal Counseling” sulit diganti dengan istilah bahasa Indonesia yang sesuai,
pendekatan konseling ini memadukan berbagai unsur (multi) dari beberapa pendekatan yang tersedia
(modal counseling), sehingga terciptalah sistematika yang baru. Mengingat sejarah perkembangan
demikin, pendekatan ini bersifat eklektik. Pelopornya adalah Lazarus yang mengembangkan pendekatan
ini selama 1970-an dan menyaksikan perluasan aplikasi pendekatan ini oleh boleh banyak konselor
selama dasawarsa berikutnya, antara lain karena sifatnya yang sangat eklektik dan berasaskan wawasan
yang sangat luas. Pendekatan ini berakar dalam medan teori behavioristik, tetapi sekaligus mencakup
banyak unsur lain yang saling berkaitan dalam lingkup sejarah perkembangan individu, proses belajar
dan hubungan antar pribadi. Selain itu, pendekatan ini sekaligus dirancang untuk mengembangkan
suatu proses konseling yang dapat memenuhi kebutuhan masing-masing klien. Seperti seorang penjahit
memotong kain menurut ukuran badan orang yang akan mengenakan baju baru.

Untuk itu selama prose konseling perhatian konselor terpusatkan pada tujuh faktor atau
komponen dalam pola kehidupan klien, yaitu perilaku nyata (Behavior), alam perasaan (Affectt), proses
persepsi melalui alat indera (Sensation), konsep diri daalam berbagai aspeknya (imagery) keyakinan dan
nilai-nilai dasar sebagai pegangan berpikir dan menentukan sikap (Cognition), hubungan antar pribadi
dengan orang yang dekat (Interpersonal Relationships) dan keadaan fisik serta kesehatan jasmani
(Biological Functioning). Setiap komponen atau mode ditinjau dan dibahas untuk mengumpulkan data
yang relevan.
Bilamana diambil ketujuh huruf pertama dalam Bahasa Inggris, dengan menggantikan huruf yang
terakhir B menjadi D (Drug=obat), diperoleh akronim BASIC ID yang menjadi kerangka berpikir dan
pegangan mental bagi konselor dalam mengumpulkan data tentang pola kehidupan klien. Data yang
terhimpun itu kemudian klien dapat dikonsepsikan secara jelas dan ditemukan sumber timbulnya
masalah pada saat sekarang. Kemudian ditentukan cara menanggulani masalah yang paling tepat dan
cara membantu klien mengatasi yang paling efisien dengan memiih dari sekian banyak siasat yang
tersedi, misalnya perubahan tingkah laku secara langsung, rehabililitasi kognitif atau lain lain siasat.

Ahli konseling yang lain, D. Keat, kemudian mengadaptasikan format akronim BASIC ID dengan
kebutuhan yang khas bagi anak yang belum mencapai umur masa remaja dan belum sebegitu
termotivasi untuk mengubah tingkah lakunya atas dasar prakarsa sendiri (motivasi ekstrinik versus
motivasi instrinsik). Pengadaptasian ini menghasilkan akronim baru, yaitu HELPING dengan komponen
kesehatan (Health), perasaan (Emotion), belajar (Learning), bersifat pribadi (Personal ), pandangan dan
bayangan mengenai diri sendiri (Imagination), kebutuhan untuk mengetahui (Need to know) dan
pendampingan serta bimbingan (Guidance of behaviors). Menurut pandangan Schmidt dalam bukunya
Counseling in Schools (1993), pendekatan konseling menurt sistematika Lazarus dan Keat sangat
sesuailah dengan setuasi kehidupan yang kerap dijumpai dan memungkinkan untuk memfokuskan
perhatian pada salah satu komponen dalam pola kehidupan yang sebaiknya mengalami
perubahan lebih dahulu .

Misalnya diusahakan perubahan dalam cara memandang sesuatu dan penentuan sikap (cognition)
yang diperkirakan akan berdampak positif terhadap proses perkembangan selanjutnya atau dimulai
suatu perubahan dalam perawatan kejasmanian biarpun sedikit demi sedikit (Drugs). Dengan kata lain,
hal/unsur/komponen yang paling menonjol dapat ditangai lebih dahulu tanpa mengusahakan suatu
perubahan menyeluruh dan radikal, yang biasanya sangat sulit dilakukan oleh orang yang masih
berumur muda.

Biarpun ada keuntungan demikian pendekatan “multimodal counseling” bagi sebagian konselor
pada saat sekarang menjadi terlalu kompleks karena peninjauan terhadap 7 komponen sekaligus. Jadi
keberatannya sama dengan yang dikemukakan terhadap sistematika Carkhuff.

BAB III

KESIMPULAN

Teori konseling ialah konseptualisasi atau kerangka acuan berpikir tentang bagaimana proses
konseling berlangsung.
a. Teori-teori dalam konseling sebagai berikut :
1. Client-Centered Counseling
2. Trait-Factor Counseling
3. Konseling Bihavioristik
4. Rational-Emotif Therapy
5. Konseling Eklektif
b. Pendekatan-Pendekatan D

SARAN

1. Semoga dengan adanya makalah ini bisa membantu baik itu, para konselor maupun calon konselor
dalam memahami kliennya.

2. Mampu membantu konselor dalam melaksanakan tugasnya.

3. Seorang konselor dan calon konselor seharusnya memahami teori-teori dan pendekatan-pendekatan
dalam konseling.

4. Mudah-mudahan makalah ini bisa membatu para mahasiswa khususnya program studi psikologi dan
bimbingan konseling dalam menambah perbendaharaan ilmu psikologi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Mc Leod, John.2006.Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus.Jakarta:Fajar Interpratama Offset.

2. http://eko13.wordpress.com/2008/03/18/ciri-ciri-teori-konseling/

3. http://waskitamandiribk.wordpress.com/2010/04/01/teori-teori-konseling/

4. http://waskitamandiribk.wordpress.com
5. Walgito Bimo. Bimbingan + konseling. CV Andi : Yogyakarta. 2010.

6. Surya Muhamad. Teori-Teori Konseling. Pustaka Bani Quraisy : Bandung. 2003.

Anda mungkin juga menyukai